1
pembuat undang-undang Perancis, konsep tersebut lebih peka secara hukum
daripada yang lama dan karena tiadanya cara yang efektif bagi Perancis untuk
dapat memidana korporasi yang melakukan perbuatan yang tidak terpuji.
Prosesnya terakumulasi dalam Nouveau Code Penale pada 1994.4
Untuk pertama kalinya dalam sistem hukum pidana Perancis
memperkenalkan seperangkat asas dan sanksi berkenaan dengan
pertanggungjawaban pidana sebagaimana hal tersebut ditentukan dalam Pasal
121-2 KUHP Perancis. Menurut Pasal 121-2 KUHP Perancis tersebut. semua
subjek hukum (persons), kecuali Negara, bertanggung jawab terhadap tindak
pidana yang dilakukan untuk dan atas nama organ atau perwakilannya.
Diberlakukannya pertanggungjawaban pidana di Perancis, telah
mengundang ribuan kritik dari berbagai korporasi yang tidak meyakini terjadinya
revolusi yang demikian itu. Sejak saat itu, Perancis telah banyak menerapkan
pertanggungjawaban pidana korporasi. Langkah Perancis tersebut di atas telah
diikuti oleh negara-negara Eropa lainnya. Belgia melalui undang-undang tanggal
4 Mei 1999 telah memodifikasi Pasal 5 KUHP Belgia dan mencantumkan
penanggungiawaban pidana bagi subjek hukum.5
JERMAN
2
kewenangan tertentu untuk menjatuhkan sanksi kepada perusahaan-pemsahaan
yang melakukan pelanggaran hukum. Kebanyakan ketentuan mengenai
kewenangan otoritas yang dimaksud, tertuang dalam Ordnungswidrigkeitengesetz
(OWiG) atau German Act on Regulatory Offences.
Menurut Section 30 para. 1 OWiG, denda (Penulis: denda adminismtif)
dapat dijatuhkan kepada suatu entitas korporasi apabila seorang yang mewakili
entitas korporasi tersebut melakukan criminal offences atau melakukan regulatory
offence. Denda juga dapat dijatuhkan apabila pausahaan telah diperkaya
(enriched) atau dimaksudkan untuk diperkaya (intended tobe enriched) oleh orang
yang melakukan pelanggaran tersebut. Denda tersebut dapat mencapai jumlah €
10 juta apabila tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja dan sebesar sampai €
5 juta untuk tindak pidana yang dilakukan karna kelalaiam. Apabila
pelanggarannya tersebut mempakan pelanggaran terhadap kewajlban (Penulis :
kewajiban administratif) perusahaan, besarnya denda tergantung kepada
pelanggarannya.7
Menurut Section 130 para. 1 OWiG, lebih jauh denda dapat dijatuhkan
pada pemilik suatu perusahaan karena melakukan pelanggaran (termasuk
pelanggaran berupa tidak melakukan sesuatu yang diwajibkan oleh peraturan atau
omisi) terhadap tindakan-tindakan pengawasan (supervisory measures) yang
ditentukan dengan tujuan untuk mencegah pelanggaran terhadap kewajiban yang
harus dilakukan oleh pemilik perusahaan. Tindakan tersebut termasuk
pengangkatan, pemilihan yang harus dilakukan dengan hati-hati, dan pengawasan
terhadap personal yang harus melakukan supervisi. Terhadap regulatory offences
dapat dikenai denda setinggi-tingginya sebesar € 1 juta, apabila pelanggaran
terhadap kewajiban tersebut dapat dikenai sanksi pidana (criminal penalty).
Apabila pelanggaran terhadap kewajiban tersebut dapat dikenai denda yang
berupa suatu regulatory fine, besarnya denda tersebut tergantung kepada
maksimum dari regulatory fine yang dapat dijatuhkan terhadap pelanggaran
kewajiban tersebut. (IBID)
7
Norron Rose Fullbright (contact : Jamie Nowaj), "Corporate Criminal Liability in Germany",
cfm http ://www.nortonrosefulbright.com/knowledge/publications/138883/corporate-criminal-
liability-in-germany, dalam Ibid., hlm. 85.
3
Menurut Ordnungswidrigkeitengesetz (OWiG), apabila keuntungan
ekonomis yang diperoleh dari dilakukannya pelanggaran tersebut melebihi jumlah
€ 10 iuta, batas denda tersebut dapat dijatuhkan lebih besar dari batas tersebut dan
keuntungan yang diperoleh melebihi regulatory fine tersebut dapat disita. (IBID)
Pada 2000 suatu komisi reformasi yang bertugas untuk melakukan
evaluasi terhadap perlunya Ierman memiliki suatu undang-undang mengenai
tindak pidana korporasi. Karena komisi reformasi tersebut berpendapat Jerman
tidak memililki perundang-undangan yang bersifat supranasional (supranational
regulation) yang sesuai dengan ketentuan tersebut, maka komisis reformasi
tersebut memerintahkan untuk dibuatnya undang-undang tentang tlndak pidana
korporasi bagi Jerman. Apabila terdapat undang-undang yang demikian, maka
pelaksanaan undang-undang supranasional tersebut dapat menimbulkan berbagai
masalah konstitusional dan hukum acara pidana. Menurut kebanyakan orang, hal
tersebut tidak mungkin mencegah terjadinya pelanggaran pidana oleh korporasi.
Pilihan untuk menjatuhkan sanksi berkenaan dengan pelanggaran yang dilakukan
oleh perusahaan atau pengurusnya, telah ada di Jerman, terutama yang tertuang
dalam the Act on Regulatory Offences seperti yang telah diterangkan di atas.
Apablla masih ada kekurangan aturan menurut undang-undang tersebut, maka
undang-undang tersebut dapat diubah. Lebih lanjut, pencegahan bagi tindak
pidana korporasi dapat diperkuat dengan cara penyitaan bukan saja terhadap
keuntungan perusahaan, tetapi juga terhadap seluruh gross income perusahaan
apabila terjadi pelanggaran yang dimaksud. Hal ini dikenal sebagai Bruttoprinzip.8
Mereka yang menentang dlberlakukannya undang-undang tindak pidana
korporasi di Jerman berpendapat bahwa akan muncul masalah konstitusional dan
dogmatik karena menurut hukum Jerman berkenaan dengan pertanggungjawaban
pidana selalu mengharuskan adanya unsur kesalahan pada pelaku tindak pidana
sesuai dengan berlakunya adagium "societas delinquere non potest". Di samping
itu, perlu dipertanyakan pula apakah otoritas penegak hukum Jerman telah
dilengkapi dengan cukup dan telah memiliki kualifikasi yang canggih untuk dapat
memahami prosedur dan memantau dengan baik kehidupan korporasi di Jerman.
8
Ibid., hlm. 85-86.
4
Mereka yang membela perlunya diperkenalkan undang-undang tentang
tindak pidana korporasi bagi Jerman, berpendapat bahwa pemidanaan terhadap
korporasi, yaitu selain berupa sanksi berupa regulatory fines, dapat memberikan
dampak preventif yang positif agar korporasi tidak melakukan perbuatan-
perbuatan yang melanggar hukum. Ada pula yang berpendapat bahwa pentingnya
diperkenalkannya undang-undang tindak pidana korporasi di Jerman adalah untuk
alasan unifikasi, karena negara-negara Uni Eropa lainnya telah melaksanakan
undang-undang berkenaan dengan kriminalitas korporasi.
Pengenalan undang-undang tindak pidana korporasi di Jerman pasti akan
merupakan sinyal positif bagi publik. Hal tersebut juga akan dapat membantu
Jerman untuk memperoleh kepercayaan sebagai negara yang memiliki lingkungan
investasi yang sehat dan tepercaya serta dapat meningkatkan perilaku yang
bertanggung jawab dari korporasi.
Namun pengenalan terhadap pertanggungjawaban pidana korporasi
tersebut memerlukan perenungan yang fundamental karena pada saat ini menurut
undang-undang pidana Jerman korporasi tidak dapat dlibebani
pertanggungjawaban pidana. Adopsi konsep pertanggungjawaban pidana oleh
Jerman akan mengharuskan bahwa setiap undang-undang tindak pidana harus
memuat keharusan mengenai dimungkinkannya penuntutan pidana terhadap
korporasi. Agar dapat menghindarkan masalah-masalah konstitusional dan
prosedural, maka undang-undang tersebut harus mempertimbangkan berlakunya
asas “Schuldprinzip", yaitu asas "tiada pidana tanpa kesalahan” sebagaimana
dikemukakan di atas atau undang-undang tersebut menyajikan solusi alternatif
bagi masalah tersebut.
Norton Rose dalam artikelnya yang berjudul : “Corporate Criminal
Liability in Gennany" mengemukakan bahwa akan menarik sekali untuk dapat
melihat bagaima Jerman akan menanggapi terjadinya berbagai skandal korporasi
yang menyangkut beberapa korporasi Jerman. Lebih lanjut Norton Rose
mengemukakan bahwa dari perspektif kebijakan hukum, pengenalan beberapa
perubahan terhadap sistem pertanggungjawaban korporasi di Jerman (Penulis :
5
penerimaan konsep pertanggungjawaban korporasi), akan terjadi di Jerman dan
seharusnya hal tersebut disambut dengan baik.
Pada tahun 2013, Menteri Kehakiman dari Rhine Westphalia Utara, yaitu
Thomas Kutschaty, menyajikan draf pertama dari Kitab Undang-undang yang
mengatur mengenai tindak pidana korporasi (corporate criminal code) atau
Verbandsstrafgesetzbuch untuk Jerman. Sejak saat itu, sekalipun kebutuhan untuk
suatu undang-undang pidana korporasi untuk Jerman telah didiskusikan dengan
intensif tetapi sampai sekarang (November 2016) Jerman belum memiliki aturan
pidana yang mengatur mengenai tindak pidana korporasi.9
6
musyawarah untuk mencapai mufakat bersama guna menemukan jati diri keadilan
itu sendiri yang ada di dalam batin tiap orang, proses penyelesaiannya dengan
pemberian kesempatan kepada kedua belah pihak untuk berperan dalam proses
penyelesaian tindak pidana tersebut.
Umbreit sebagaimana dikutip Rufinus Hotmaulana Hutahuruk
menjelaskan bahwa :11
“restoratif justice is a “victim-centered response to crime that allows the victim,
the offender, their families, and representatives of the community to address the
harm caused by the crime”.
(keadilan restoratif adalah sebuah “respon tindak pidana yang berpusat pada
korban yang mengijinkan korban, pelaku tindak pidana, pihak keluarga mereka,
dan perwakilan komunitas masyarakat untuk menyelesaikan kerusakan dan
kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana”.)
11
Ibid.
12
Tony F. Marshall, Restoratif Justice an Overview, http://www.aic.gov.au/ rjustice/other.html,
dalam G. Widiartana, Paradigma Keadilan Restoratif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan
Menggunakan Hukum Pidana, tersedia di
7
a. Sumber dari kejahatan adalah kondisi dan relasi sosial dalam masyarakat;
b. Pencegahan kejahatan tergantung pada tanggung jawab masyarakat
(termasuk pemerintah lokal dan pemerintah pusat dalam kaitannya dengan
kebijakan sosial pada umumnya) untuk menangani kondisi-kondisi sosial
yang dapat menyebabkan terjadinya kejahatan;
c. Kepentingan para pihak dalam penyelesaian kasus kejahatan tidak dapat
diakomodasi tanpa disediakannya fasilitas untuk terjadinya keterlibatan
secara personal;
d. Ukuran keadilan harus bersifat fleksibel untuk merespon fakta-fakta
penting, kebutuhan personal, dan penyelesaian dalam setiap kasus;
e. Kerjasama diantara aparat penegak hukum serta antara aparat dengan
masyarakat dianggap penting untuk mengoptimalkan efektifitas dan
efisiensi cara penyelesaian kasusnya.
f. Keadilan dicapai dengan prinsip keseimbangan kepentingan diantara para
pihak.
2. Donald J. Schmid
Menurut Donald J. Schmid, keadilan restoratif adalah suatu sistem atau
praktek yang menekankan pada upaya untuk menyembuhkan penderitaan
akibat dari adanya pelanggaran hukum.13 Dengan demikian, dalam keadilan
restoratif, para pihak (pelaku, korban, dan masyarakat) didorong untuk
membuat keputusan secara kolektif tentang bagaimana caranya
menyembuhkan atau memperbaiki kerusakan akibat dari suatu tindak pidana.
3. John Braithwaite
Secara singkat John Braithwaite memberikan pengertian keadilan restoratif
sebagai pemulihan korban. Selanjutnya dikatakan bahwa yang dimaksud
dengan pemulihan korban tersebut terdiri dari : 14
a. Restore property loss (Kembalikan kehilangan property);
b. Restore injury (Kembalikan cedera);
c. Restore sense of security (Kembalikan rasa aman);
d. Restore dignity (Kembalikan martabat);
e. Restore sense of empowerment (Kembalikan rasa pemberdayaan);
f. Restore deliberative democracy (Kembalikan demokrasi deliberatif);
8
g. Restore harmony based on a feeling that justice has been done
(Kembalikan harmoni berdasarkan perasaan bahwa keadilan telah
dilakukan);
h. Restore social support (Kembalikan dukungan sosial).
4. Mark Umbreit
Meskipun tidak secara tegas menyebutkan pengertiannya, menurut Mark
Umbreit, keadilan restoratif merupakan suatu cara pemikiran atau pemahaman
mengenai kejahatan dan viktimisasi yang sangat berbeda dibanding dengan
paham retributif.15 Pada paham retributif, negara dianggap sebagai pihak yang
paling dirugikan ketika kejahatan terjadi. Oleh karena itu, dalam proses
pemidanaan, korban dan pelaku ditempatkan pada peran serta posisi yang
pasif. Sedangkan dalam pandangan keadilan restoratif, kejahatan dipahami
sebagai konflik antar individu. Oleh karena itu, mereka yang terkait lebih
langsung dengan terjadinya kejahatan, yaitu korban, pelaku dan masyarakat,
harus diberi kesempatan untuk secara aktif terlibat dalam upaya penyelesaian
konflik tersebut.
9
kesalahan dan melihat ke masalah, penentuan tanggung jawab
belakang (pada apa yang telah dan kewajiban serta melihat ke masa
diperbuat pelaku)16 depan
3. Posisi para pihak saling Posisi para pihak adalah untuk
berlawanan dan menekankan pada berdialog dan menekankan pada
proses hukum proses negosiasi
4. Mengenakan penderitaan untuk Restitusi sebagai sarana untuk
pemidanaan dan pencegahan memperbaiki kedua belah pihak;
tujuannya adalah untuk
rekonsiliasi/pemulihan
5. Keadilan diberi pengertian secara Keadilan didefinisikan menurut hak
kaku menurut hukum yang muncul karena keterkaitannya
dengan pihak lain
6. Kejahatan dilihat sebagai konflik Kejahatan dilihat sebagai konflik
antara individu melawan negara antar individu
7. Penderitaan warga masyarakat Perbaikan atau pemulihan pada
(korban) digantikan dengan kerusakan/penderitaan warga
penderitaan warga masyarakat masyarakat
yang lain (pelaku)
8. Masyarakat tidak terlibat secara Masyarakat sebagai fasilitator dalam
aktif dalam proses hukum karena proses pemulihan
sudah diwakili oleh negara.
9. Mendorong (semangat) Mendorong semangat saling tolong
persaingan dengan menolong
mengedepankan nilai-nilai
individualistik
10. Penyelesaian konflik dilakukan Dalam upaya pemecahan masalah,
oleh negara kepada pelaku peran korban dan pelaku diakui
(korban diabaikan dan pelaku (hak/kepentingan korban diakui dan
bersifat pasif) pelaku didorong bertanggung jawab
untuk memenuhinya)
11. Pertanggungjawaban pelaku Pertanggungjawaban pelaku diberi
diwujudkan dengan pemidanaan pengertian sebagai akibat yang
disadari dari perbuatan salahnya dan
pelaku dibantu untuk memutuskan
bagaimana segala sesuatunya dibuat
menjadi baik kembali
12. Perbuatan salah hanya diberi Perbuatan salah dipahami dalam
batasan menurut hukum dengan keseluruhan konteksnya, baik moral,
mengabaikan dimensi moral, ekonomi, dan politik
sosial, ekonomi atau politik
16
Mengenai hal ini juga dikatakan oleh Michael Cavadino dan James Dignan sebagai berikut :
“retributivism looks backwards in time, to the offence. It is the fact that the offender has
committed a wrongful act which deserves punishment, not the future consequences of the
punishment, that is important to the retributist, dalam Michael Cavadino and James Dignan,
1992, The Penal System : An Introduction, SAGE Publications, California, hlm. 38, dalam Ibid.
10
13. Pertanggungjawaban pelaku Pertanggungjawaban pelaku
diberikan kepada negara dan ditujukan kepada korban
masyarakat secara abstrak
14. Reaksi terhadap konflik Reaksi terhadap konflik difokuskan
difokuskan pada perbuatan pelaku pada penderitaan yang ditimbulkan
yang telah lalu oleh perbuatan pelaku
15. Stigma kejahatan tidak dapat Stigma kejahatan dapat dihilangkan
dihilangkan melalui tindakan pemulihan
16. Tidak ada dorongan (terhadap Munculnya penyesalan pada pelaku
pelaku) untuk menyesali dan pengampunan dari korban
perbuatannya dan (terhadap dimungkinkan
korban) untuk mengampuni
pelaku
17. Penyelesaian konflik Penyelesaian konflik dilakukan
tergantung/didominasi pada aparat dengan melibatkan para pihak
penegak hukum (korban, pelaku, dan masyarakat)
2. Mark Umbreit
Menurut Mark Umbreit keadilan restoratif berpijak pada prinsip-prinsip
sebagai berikut :17
a. Keadilan restoratif lebih terfokus pada upaya pemulihan bagi korban
daripada pemidanaan terhadap pelaku.
b. Keadilan restoratif menganggap penting peranan korban dalam proses
peradilan pidana.
c. Keadilan restoratif menghendaki agar pelaku mengambil tanggung jawab
langsung kepada korban.
17
Mark Umbreit, Encyclopedia of Crime and Justice : Second Edition (Editor in Chief : Joshua
Dessler), Macmillan Reference, Gale Group, USA, 2002, hlm. 1334. Mengenai pendapat dari
Mark Umbreit ini lihat juga dalam : Katherine Beckett and Theodore Sasson, The Politics of
Justice:Crime and Punishment in America (Second Edition), SAGE Publications, California,
2004, hlm. 196. (Laurence M. Newell menyebut prinsip-prinsip keadilan restorative ini dengan
istilah “ firman “ sebagai berikut : The Ten Commandments Of Restorative Justice is : 1. You
will focus on the harms of crime rather than the rules that have been broken; 2. You will be
equally concerned about victims and offenders, involving both in the process of justice; 3. You
will work toward the restoration of victims, empowering them and responding to their needs as
they see them; 4. You will support offenders while encouraging them to understand; accept, and
carry out their obligations; 5. You will recognise that while obligations may be difficult for
offenders, they should not be intended as pain; 6. You will provide opportunities for dialogue,
direct or indirect, between victim and offender as appropriate; 7. You will find meaningful ways
to involve the community and to respond to the community bases of crime; 8. You will
encourage collaboration and reintegration rather than coercion and isolation; 9. You will be
mindful of the unintended consequences of your actions and programs; 10. You will show
respect to all parties - victims, offenders, justice colleagues. (Laurence M. Newell, A Role for
ADR in the Criminal Justice System?, http://www.aic.gov.au/rjustice/newell/ presentation.pdf),
dalam Ibid.
11
d. Keadilan restoratif mendorong masyarakat untuk terlibat dalam
pertanggungjawaban pelaku dan mengusulkan suatu perbaikan yang
berpijak pada kebutuhan korban dan pelaku.
e. Keadilan restoratif menekankan pada penyadaran pelaku untuk mau
memberikan ganti rugi sebagai wujud pertanggungjawaban atas
perbuatannya (apabila mungkin), daripada penjatuhan pidana.
f. Keadilan restoratif memperkenalkan pertanggungjawaban masyarakat
terhadap kondisi sosial yang ikut mempengaruhi terjadinya kejahatan.
Bertitik tolak dari pendapat para ahli di atas maka dapat dikatakan bahwa
sanksi pidana yang dirumuskan dan dijatuhkan dalam hukum pidana yang
dibangun atas dasar paradigma restoratif haruslah sanksi yang bersifat
rehabilitatif. Sanksi pidana yang dirumuskan dan dijatuhkan dalam hukum pidana
yang dibangun atas dasar paradigma restoratif juga tidak bertujuan untuk
membalas pelaku tindak pidananya. Sanksi yang restoratif adalah sanksi yang
dapat menggugah rasa tanggung jawab pelaku terhadap penderitaan yang dialami
korban akibat dari perbuatannya. sanksi pidana yang dirumuskan dan dijatuhkan
dalam hukum pidana yang dibangun atas dasar paradigma restoratif adalah sanksi
yang memperhatikan kebutuhan pelaku untuk menebus kesalahannya, sanksi yang
mempertimbangkan kebutuhan korban untuk pulih dari penderitaannya, dan
sanksi yang mempertimbangkan kepentingan negara untuk menjaga/memelihara
ketentraman dalam hidup bermasyarakat.
Disamping itu proses penyelesaian perkara pidana yang dilakukan
berdasar sistem hukum yang berbasis paradigma restoratif adalah suatu proses
penyelesaian yang melibatkan para pihak yang secara riil terlibat atau berkaitan
dalam peristiwa pidana tersebut. proses penyelesaian perkara pidana yang
dilakukan berdasar sistem hukum yang berbasis paradigma restoratif juga
membuka ruang yang luas bagi keterlibatan pihak-pihak lain yang dianggap juga
berkepentingan dengan terselesaikannya konflik (baca: perkara pidana) tersebut.
Dalam proses penyelesaian ini para pihak akan berhadap-hadapan secara sejajar
sehingga diharapkan dapat mendukung tercapainya keadilan substantif.18
12
Penyelesaian tindak pidana melalui pendekatan restoratif tidak akan
menjadi suatu realitas yang dapat diimplementasikan jika tidak dapat dibangun
atau dikembangkan suatu model struktural dengan paradigma restoratif yang akan
menjadi pilihan alternatif dalam sistem hukum pidana. Sehubungan dengan hal
itu, Van Ness19 mempostulatkan beberapa model pendekatan sebagai pilihan
alternatif yang dapat menggambarkan tempat dan kedudukan pendekatan
resroratif dalam sistem hukum pidana sebagai berikut.
1. Unified System
Dalam masyarakat yang semakin sadar akan pentingnya kesetaraan
dalam hukum melihat hipotesa Christie, yaitu bahwa negara telah mencuri
konflik dari para pihak menjadi suatu pilihan yang dapat memberi pandangan
untuk memvisikan pendekatan restoratif menggantikan peradilan pidana. 20
Untuk mengembalikan kbnfiik itu ke “pemiliknya” yang berhak, memerlukan
suatu pendekatan yang benar-benar berbeda dalam mengelola pemberian
proses-proses keadilan, yang memungkinkan korban dan pelanggar dapat
menentukan sendiri hasil penyelesaian konfliknya tersebut dan negara tidak
memiliki hak mutlak atas konflik dimaksud, sehingga berdasar pandangan ini,
proses-proses penyelesaian tindak pidana melalui pendekatan restoratif
seharusnya dapat menggantikan semua proses dalam sistem peradilan pidana
pada umumnya. Pandangan ini paling tidak bisa berwujud dengan dua cara,
yaitu :
a. Pertama, suatu sistem restoratif membuktikan dirinya mampu menangani
semua kasus dan diberikan tanggung jawab tunggal untuk semua
permasalahan tindak pidana.
b. Kedua, sistem peradilan kontemporer ditransfonnasikan melalui nilai-nilai
baru dan proses-proses ke dalam suatu sistem restoratif.
19
Van Ness, Legal Issues, http://www.restorativejustice.org, dalam Rufinus Hotmaulana
Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan Restoratif Suatu
Terobosan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm.141
20
Ibid.
13
2. Dual Track System
Model dual track system ini dapat dibuat menjadi suatu pendamping
alternatif bersama sistem peradilan pidana yang ada. Dalam suatu model jalur
ganda, proses restoratif dan proses tradisional akan berdampingan secara
bersama-sama, di mana para pihak yang menentukan wacana jalannya proses
dari suatu kasus tertentu. Jika kesepakatan untuk memasuki proses rcstoratif
tidak dapat dicapai (dengan konsesus semua pihak yang berkepentingan) maka
sistem pengadilan peradilan pidana akan tetap tersedia. Jadi, dalam hal ini
pendekatan restoratif ditempatkan menduduki posisi primer sedangkan
lembaga-lembaga formal adalah berperan sebagai suatu unsur pendukung,
sebagaimana model peradilan pidana Jepang pada dasarnya terdiri dari suatu
sistem dua jalur,21 yang sistem peradilan formalnya sama dengan mayoritas
negara demokrasi industri, dengan hukum pidana materiil dan hukum pidana
formilnya yang mengatur jalannya proses suatu kasus tindak pidana.
Namun demikian, secara informal, pejabat-pejabat pengadilan Jepang
(polisi, jaksa, pengacara dan hakim) mendorong tindakan-tindakan yang
mendukung penerapan nilai-nilai restoratif secara nyata, dengan memberi
kesempatan kepada korban dan pelanggar untuk menentukan apakah kasus itu
diteruskan ke suatu proses formal, atau alternatifnya ke suatu proses informal.
Petugas mendorong pelanggar untuk mengakui kesalahannya dan
mengungkapkan penyesalan yang dalam atas kesalahannya (yang dibuktikan
oleh pembayaran restitusi). Korban didorong untuk memaafkan, dan
menerima pembayaran restitusi itu. Masyarakat didorong untuk
mengintegrasikan kembali pelaku yang telah menyesal am kesalahannya. Di
samping mempertimbangkan sifat dan berat pelanggaran ketika memutuskan
tindakan formal apa yang harus diambil untuk suatu pelanggar tertentu (seperti
kebanyakan negara demokrasi dengan sistem kekuasaan kehakiman yang telah
maju).
21
Haley, diakses di http://www.restorativejustice.org, dalam Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Ibid,
hlm. 142.
14
Model sistem peradilan pidana di Jepang juga mengintegrasikan
kondisi-kondisi yang disebutkan di atas ketika membuat putusan-putusan
tentang pengakuan salah dari si pelanggar, ungkapan penyesalan yang murni,
pembayaran restitusi, dan pemberian maaf oleh korban. Sistem peradilan
Jepang secara primer memperhatikan nilai dan tindakan koreksi sebagai suatu
alat penanggulangan tindak pidana. Oleh karena itu, sistem tersebut tidak
enggan untuk mengadaptasikan sistem pemidanaan formal untuk mendukung
tujuan koreksional. Demikian pula terhadap proses-proses informal, jika
proses-proses ini digunakan untuk mendukung tujuan koreksional. Oleh
karena sistem ini menitikberatkan pada koreksi sebagai alat mencapai
pengendalian tindak pidana, sistem ini dipertahankan dalam penggunaan
pemenjaraan ketika proses koreksional telah dimulai. Ini berarti bahwa sistem
ini memungkinkan faktor-faktor ini mempengaruhi keputusan untuk menuntut,
menunda penghukuman, ataupun langsung memulangkan pelanggar kembali
ke dalam masyarakat.
Sistem peradilan di Jepang, memberi kesempatan setiap saat untuk
menunda hukuman jika terjadi suatu kesepakatan yang dibuat oleh korban dan
pelanggar. Kadang-kadang penuntutan akan dihindari bersama ketika
pelanggar bersedia menerima tanggung jawab. Jika terdapat bukti pengakuan
perbuatan salah, restitusi, kesepakatan, dan/atau pemberian maaf , ada yang
menunjukkan bahwa proses koveksional telah dimulai, pejabat-pejabat
peradilan akan memberikan prioritas pada suatu disposisi informal untuk
penanganan kasus tersebut. Model Jepang adalah suatu sistem dua jalur, yang
menggunakan proses-proses formal dan proses-proses informal. Korban dan
pelanggar mempunyai kesempatan untuk mengambil tindakan yang
memungkinkan mereka untuk memutuskan hasil akhir dari konflik mereka.
Nilai-nilai restoratif dari penemuan (encounter), partisipasi, restitusiz
penerimaan tanggung jawab, dan kesempatan untuk rekonsiliasi dengan kuat
ditegaskan. dengan tetap disediakannya forum peradilan formal. 22
22
Ibid., hlm. 142-144.
15
Keberhasilan model penyelesaian tindak pidana di Jepang dalam
mengurangi tindak pidana dalam empat dekade terakhir menunjukkan bahwa
Prinsip-prinsip restoratif yang membentuk basis skema dua jalur formal atau
informal ini telah memperlihatkan hasil yang sangat positif. Manfaat paling
nyata dari sebuah sistem jalur ganda adalah adanya pengaturan (syarat-syarat)
untuk proses-proses tradisional dan proses-proses restoratif. Masing-masing
mempunyai kelebihannya yang unik dan setiap penyelesaian kasus diarahkan
ke masing-masing sistem, di mana korban dan pelanggar masih dapat
menentukan wacana jalannya proses kasus, apakah pergi ke proses formal atau
informal dengan syarat harus mengutamakan kepentingan dan keselamatan
publik.
Model penyelesaian yang dilakukan di Jepang dianggap telah memberi
dorongan untuk menguatkan nilai-nilai restoratif tanpa mengsubordinasikan
nilai-nilai restoratif tersebut pada dorongan-dorongan sistem retributif
tradisional, karena masing-masing sistem berdiri di atas alas pijak yang setara
dengan legitimasi yang sama dan dapat saling mengoreksi masing-masing
sistem.
3. Safeguard System
Model ini adalah suatu model yang dirancang untuk menangani tindak
pidana melalui pendekatan restoratif, di mana program-program restorasi akan
mnjadi sarana utama untuk menangani permasalahan-permasalahan tindak
pidana maka hal ini berarti bahwa akan terjadi suatu peralihan besar dari
sistem peradilan pidana pidana pada umumya yang akan mengalami reduksi
ke sistem keadilan restoratif. Namun, untuk kasus-kasm tertentu akan tetap
ditangani oleh sistem peradilan pidana kontemporer, yaitu kasus-kasus yang
dianggap tidak sesuai untuk ditangani oleh suatu proses atau program
restoratif. Contoh-contohnya mungkin dalam situasi-aituasi dimana diperlukan
suatu jawaban pasti atas adanya suatu pertanyaan yang riil perihal
“bersalahnya” si terdakwa, atau situasi-situasi di mana tindakan-tindakan
16
koersif signifikan atau tindakan-tindakan pengendalian tampak diperlukan
untuk perlindungan masyarakat.23
4. Hybrid System
Dalam model ini, prosces penentuan atau penetapan seseorang
bersalah diproses dalam sistem peradilan pidana pada umumnya dan
kemudian dalam proses penentuan sanksi "maka konsep pendekatan restoratif
dapat dipergunakan untuk menentukan jenis sanksinya. Dalam sistem hybrida,
baik respon pendekatan restoratif maupun respon peradilan pidana
kontemporer dipandang sebagai bagian-bagian normatif dari sistem peradilan.
Martin Wright memberi kerangka isu model-model sistem peradilan restoratif
yang otoritarian, yang dikarakteristikkan dengan pembuatan keputusan oleh
dua sistem peradilan pengadilan yang masing memiliki batas otoritas sendiri-
sendiri. Sebagai alternatif lainnya terdapat sistem peradilan restoratif yang
demokratis, yang kedudukannya di luar sistem peradilan pidana dan pembuat
keputusan adalah korban, pelanggar, dan anggota-anggota masyarakat.
Persuasi dan pemberdayaan digunakan sebagai pengganti untuk tindakan
koersif (walaupun koersif mungkin dibutuhkan suatu upaya terakhir). Dalam
sistem ini, proses mediasi biasanya akan dikelola oleh organisasi nirlaba
bukannya oleh badan-badan pemerintah dan fokusnya adalah memberi
manfaat pada korban dan pelanggar, tidak kepada satu pihak saja dan dalam
sistem model inilah konsep pendekatan restoratif lebih dianjurkan.
Wright mengatakan, bahwa pendekatan yang paling baik untuk
mengimplementasikan berdasarkan pada prinsip-prinsip restoratif adalah
dengan dimulai dengan organisasi-organisasi nirlaba, bersifat sukarela, yang
bekerja bersama-sama dengan sistem yang resmi namun tetap
mempertahankan independensi dari sistem resmi tersebut sejauh mungkin.
Untuk mencapai suatu sistem restoratif utuh, beberapa langkah dapat/harus
diambil untuk mengurangi ketegangan yang tercipta antara sistem restoratif
dan sistem adversarial.
23
Ibid., hlm. 144-145.
17
Dalam model Wright, sistem pengadilan akan hanya dipedukan dalam
sejumlah kasus-kasus tertentu di mana pemulihan atau reparasi sukarela
tidaklah cukup, seperti pelanggar menolak untuk melakukan pemulihan atau
reparasi secara sukarela; korban menerima pemulihan atau reparasi yang tidak
sesuai dengan memenuhi harapan publik; pelanggar menolak atau tidak
mengakui telah melakukan pelanggaran; pemenjaraan atau pembatasan-
pembatasan kebebasan si pelanggar diperlukan untuk melindungi publik.
Menurut penulis, untuk memperkecil perbedaan visi dan misi
pendekatan restoratif dibanding dengan sistem peradilan pidana pada
umumnya maka diperlukan tindakan-tindakan berikut :24
a. Sosialisasi mengenai dampak positif penerapan pendekatan restoratif
dalam penyelesaian tindak pidana sebagai alternatif dari sistem peradilan
pidana yang ada.
b. Himbauan dan dorongan terhadap para penegak hukum agar dirinya
berinisiatif atau berprakarsa untuk menerapkan pendekatan restoratift di
dalam penyelesaian suatu tindak pidana berdasarkan kewenangan diskresi
yang dimilikinya.
c. Penggalangan dan penyediaan dana pembiayaan untuk penerapan
implementasinya dengan mendirikan proyek-proyek percobaan (pilot
project) baik dalam lingkup tindak pidana anak-anak atau remaja, dewasa
maupun terhadap tindak pidana korporasi dengan melibatkan para aparat
penegak hukum, kaum akademisi, pelaku, korban, masyarakat luas.
1. Prancis
Prancis adalah suatu negara yang menganut sistem hukum pidana civil
law, yang telah memberi otoritas hukum bagi penyelesaian suatu tindak
pidana melalui mediasi yang dikenal dengan victim-offender mediation
(VOM). Otoritas tersebut bersumber pada dasar hukum yang kuat yang
berasal dari suatu kombinasi beberapa ketentuan dan hasil amandemen
24
Ibid., hlm. 145-146.
18
ketentuan Undang-Undang Nomor 147/174 Tahun 1945 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Sebelumnya diketahui bahwa dalam ketentuan Pasal 12 ayat (1) UU
No. 47/174 Tahun 1945, memang secara tidak langsung telah memberi hak
kepada seorang hakim panel (paneljudge) untuk mendorong perundingan
penyelesaian pada tahapan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana.
Namun mengingat hal tersebut hanya semata-mata merupakan suatu
bentuk pertanggungjawaban pengadilan atas pemberian sanksi pidana yang
tepat melalui pendekatan rehabilitasi, dan belum mencerminkan perlindungan
hak atas korban yang dirugikan, maka pada tahun 1993, pemerintah Prancis
mengamandemen ketentuan tersebut dengan dasar dan pertimbangan untuk
memberi perlindungan yang maksimal bagi hak-hak korban.
Sejak dilakukan amandemen terhadap KUHAP Prancis tersebut maka
terlihat dengan jelas adanya dasar hukum yang kuat bagi dan pelaku untuk
menyelesaikan suatu perkara tindak pidana melalui pendekatan mediasi, yang
kemudian diikuti oleh beberapa ketentuan yang mengatur tentang hak korban
untuk menyelesaikan suatu perkara tindak pidana melalui mediasi, seperti
yang diatur dalam keputusan-keputusan badan pemerintah, surat-surat edaran
departemen dan petunjuk-petunjuk operasional yang dikeluarkan oleh
Lembaga Nasional untuk Bantuan korban dan Mediasi (INAVEM).25
Menurut Lazeerges,26 Pasal 41 ayat (6) KUHAP Prancis yang mulai
berlaku sejak bulan Januari 1993 menetapkan bahwa :
The prosecutor may prior to his decision on further action and with the
agreement of the parties, decide on mediation if it seems to him thaat such a
step would ensure reparation of the damage caused to the victim, pat an end
to the difficulties arising from the breaking of the law and help in the
rehabilitation of the individual.
25
David Miers, An lnternational Review of Restorative Justice, Crime Reduction Research Series
Paper 10, Barry Webb, ed., Home Office, Policing and Reducing Crime Unit Research.
Development and Statistic Directorate, Clive House, Petty Franco, London, hlm. 28, dalam
Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Ibid., hlm. 148.
26
Lazeerges, C. (1998), A study of types of process in criminal mediation in France, In Support
for Crime Victims in a Comparative Perspective, Fattah, E., and Peters. T., eds., hlm. 212,
Belgium : Louven University Press, dalam Ibid.
19
Terjemahan bebas : Sebelum keputusannya atas tindakan yang lebih lanjut,
penuntut umum dapat, dengan persetujuan dari para pihak, memutuskan untuk
mediasi jika tampak baginya bahwa langkah seperti itu akan menjamin
atau memastikan perbaikan kerusakan yang terjadiatas korban, mengakhiri
berbagai kesulitan-kesulitan yang timbul dari pelanggaran hukum dan
membantu dalam rehabilitasi dari Individual.
20
seperti pengaturan tentang adiminstrasi penanganan berkas-berkas perkara,
proses tahapan mediasi dan tindakan selanjutnya tetap sesuai dengan standar
serta dapat mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Peraturan pelaksanaan Pasal 41 KUHAP tersebut diatur dalam bentuk
Surat Edaran Menteri Kehakiman sebagai acuan yang baku tentang
pelaksanaan mediasi yang melibatkan mediator (dalam hal mereka bertindak
atas rujukan langsung dari penuntut umum) termasuk pengaturan mengenai
biaya yang harus dikeluarkan kepada setiap mediator sebagai beban biaya
lembaga peradilan.
Adapun jenjang mediasi yang sering dilakukan oleh para mediator di
lakukan melalui beberapa tahapan.27
a. Pertama, tahapan pendahuluan yang meliputi pertukaran informasi antara
penuntut umum dan asosiasi, analisis konflik, dan kemudian diikuti
dengan pertemuan pendahuluan dengan para pihak.
b. Kedua, adalah proses mediasi.
c. Ketiga, proses penyelesaian kesepakatan yang dituangkan dalam suatu
perjanjian antar mereka (korban dan pelaku tindak pidana). Keempat,
mencakup implementasi, pengakhiran mediasi atau kasus dan evaluasi.
27
Ibid.
21
tindak melalui pendekatan restoratif yang sudah barang tentu akan sangat
membantu lembaga peradilan dalam menyelesaikan berbagi kasus tindak
pidana dan sekaligus mengurangi biaya berperkara.
Menurut kesimpulan penulis, bahwa penerapan pendekatan keadilan
restoratif dalam sistem hukum pidana Prancis, menggambarkan bahwa sistem
hukum pidana di Prancis telah memberi ruang bagi masyarakat untuk secara
langsung berperan menanggulangi dan mencegah terjadinya tindak pidana
sehingga beban waktu dan biaya negara dapat dikurangi dan masyarakat akan
merasakan apa yang menjadi makna dan tujuan hukum pidana itu sendiri.28
2. Jerman
Dalam ketentuan Pasal 46a KUHP, Pasal 153a KUHAP di Jerman dan
Undang-Undang Pengadilan Remaja 1953 (Juvenile Justice Act 1953)
sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Hukum Pengadilan Remaja/
Youth Court Law Amendment Act 1990 (Pasal 10, Pasal 15, Pasal 45, dan Pasal
47) menetapkan penggunaan lembaga mediasi sebagai suatu cara untuk
melakukan diversi atau pengalihan dari penuntutan, sem pembayaran
kompensasi sebagai suatu opsi pemidanaan.
Dalam konteks perlindungan terhadap korban (victim-oriented
measures), hukum pidana Jerman membedakannya dalam dua kategori
tindakan yang dapat dilakukan, yaitu suatu tindakan yang dapat dilakukan
tanpa melalui proses peradilan dan tindakan yang dilalui dengan mengikuti
proses peradilan karena Undang-Undang Hukum Pidana di Jerman memberi
kewenangan kepada penuntut umum untuk dapat melakukan hal tersebut.
Kilchling dan Loschnig-Gspandel berpendapat bahwa29 :
In general, there is a dual structure of restorative measures available to
public prosecution authorities. The first category of provisions deals with
mediation and compensation in the context of diversion, i.e. without a formal
conviction of the offender. The second category becomes relevant when the
offender formally sentenced.
28
Ibid., hlm. 150.
29
Kilchling dan Loschnig-Gspandel, 2000, Legal and practical perspectives on victim/offender
mediation in Austria and Germany, Internsyional Review od Victimology, 7, hlm. 310 dalam
Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Ibid., hlm. 151.
22
(Terjemahan bebas : Pada umumnya, penuntut umum memiliki kewenangan
ganda untuk melakukan tindakan-tindakan yang bersifat restoratif, yang
pertama adalah ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan mediasi dan
kompensasi dalam konteks diversi, sebagai contoh tanpa adanya suatu
dakwaan formal bagi pelaku tindak pidana si penuntut umum dapat melakukan
tindakan restoratif. Kategori kedua adalah melakukan tindakan-tindakan yang
berhubungan dengan sanksi yang telah dijatuhkan kepada pelaku.)
23
ini tercermin pula dalam isi Pasal 15 ketentuan yang sama, yang pada
prinsipnya mengatakan bahwa restitusi atau penggantian atau melakukan
permohonan maaf dapat dilakukan tanpa tergantung dengan kesediaan dati
tersangka pelaku tindak pidana untuk mengakui penanggungjawabannya
(sebagaimana kasus pada Pasal 45 dan Pasal 47).
Kondisi seperti itu dimaksudkan untuk memberikan hukuman kepada
si pelaku serta untuk memperjelas bahwa suatu ketidakadilan telah terjadi,
namun demikian dalam Pasal 15, jaksa juga memiliki hak untuk
memerintahkan pelaku untuk melakukan kewajiban perbaikan (compulsory
reparation order) melalui bentuk ganti rugi lainnya untuk kepentingan korban.
Dalam praktiknya, sanksi-sanksi yang disebutkan dalam Pasal 10 dan Pasal 15
sangat jarang diterapkan (tidak lebih dari dua persen (2%), sehingga dengan
demikian dapat dikatakan bahwa penggunaan proses mediasi untuk tujuan
diversi adalah jauh lebih umum sifatnya.
Bagi pelaku tindak pidana yang sudah dewasa, sebagaimana diatur
dalam Pasal 153a KUHAP Jerman, penuntut umum diperbolehkan untuk
menghentikan proses pidana khususnya bagi pelaku tindak pidana yang
berusia di atas 21 tahun dan dalam beberapa kasus tertentu diterapkan juga
bagi pelaku yang berusia di atas 18 tahun. Penerapan ketentuan tersebut dapat
dilakukan terhadap, yaitu31 :
a. Pertama, dalam kasus yang bersifat sumir yang tidak begitu mengganggu
kepentingan publik, maka penuntut umum tanpa persetujuan Pengadilan
diberi hak secara informal untuk tidak meneruskan investigasi bila pelaku
secara sukarela telah memberikan restitusi kepada korban, atau telah
dicapai suatu rekonsiliasi dengan korban melalui cara mediasi antar
mereka.
b. Kedua, pada kasus-kasus yang lebih serius yang mengakibatkan pelaku
dapat didakwa, walau telah terjadi kesepakatan melalui restitusi atau
rekonsiliasi, maka hakim dengan persetujuan dari penuntut umum diberi
hak untuk meniadakan dakwaan tersebut.
31
Ibid.
24
Dalam praktiknya, Pasal 153a adalah merupakan ketentuan diversi
yang paling sering dipergunakan dalam menyelesaikan kasus-kasus tertentu
yang dilakukan oleh orang dewasa. Dalam hal ini Walther mengatakan32 :
While only certain misdemeanor offences are eligible settlement without trial,
the prerequisites for such disposition are typically met in at least
half of all proseutable cases.
32
Walher, Reparation In The German Criminal Justice System : What Is And What Remains To
Get Done, International Review of Victimology, 7, 2000, hlm. 265, dalam Rufinus Hotmaulana
Hutauruk, Ibid, hlm. 154.
25
Ketentuan-ketentuan ini diterapkan terhadap semua tindak pidana yang
tidak memiliki korban (save victimless crimes) seperti drug offences
(pelanggaran pemakaian obat-obatan atau narkoba), tindak pidanatindak
pidana terhadap negara (crimes against the state) seperti pelanggaran
mengemudi (driving offences) atau tindak pidana-tindak pidana perpajakan
(tax offences). Korbannya biasanya secara pasti adalah subjek hukum manusia
biasa, namun korban-korban yang berupa korporasi (corporate victims) dapat
pula dicakup apabila mereka bertindak melalui wakilnya. Walaupun KUHP
Jerman telah menetapkan, bahwa perbaikan (reparation orders) harus
didahulukan daripada denda (Pasal 56b), namun menurut pengamatan
Bannenberg, di dalam praktiknya, manfaamya tidak terlalu besar pengaruhnya
dalam proses penyelesaian tindak pidana dimaksud.
Mengenai struktur kelembagaan VOM berada di bawah Koordinasi
Kantor Bantuan Pengadilan Remaja dan orientasi jasa pelayanannya terdiri
atas tiga jenis, yaitu sebagai berikut33 :
a. Jasa yang berorientasi terhadap mediasi korban dan pelaku dengan
mediator yang bersifat umum.
b. Jasa yang berorientasi terhadap pelaku dan korban melalui mediator yang
khusus.
c. Jasa yang berorientasi terhadap pelaku dan korban yang dilakukan oleh
VOM secara eksklusif.
33
Ibid.
26
dan Pasal 47 Juvenile Justice Act, dan Pasal 153 a KUHAP Jerman, sehingga
dapat dikatakan bahwa penyelsaian kasus melalui mediasi atas rujukan hakim
dan pengacara sangat sedikit sebagaimana diatur dalam Pasal 46a KUHP
Jerman.
Dari hasil survei sebagaimana disebut di atas, diketahui pula bahwa
50% dari kasus yang diselesaikan melalui mediasi atas rujukan jaksa tersebut
adalah berhubungan dengan tindak pidana terhadap orang (offences against
the person), sedangkan sisanya terdiri atas kerugian pidana akibat pencurian
dan 95 % korbannya adalah orang dan 5% lagi adalah korporasi.
Ketentuan perundang-undangan yang mendukung terselenggaranya
proses penyelesaian kasus tindak pidana melalui mediasi didukung oleh
adanya Undang-Undang Perlindungan Korban Tahun 1986 (The Victim
Protection Act 1986), yang memperluas hak-hak korban untuk ikut ber.
partisipasi di dalam sistem peradilan pidana, yang kemudian diikuti dengan
lahirnya Undang-Undang Peradilan Remaja 1990 (The Juvenile Justice Art
1990) yang pada prinsipnya mengatur pentingnya dilakukan usaha-usaha
untuk rekonsiliasi sebagai suatu pertimbangan sebelum dilakukannya
penuntutan. Dalam undang-undang tersebut diatur pula tentang bentuk sanksi
pemidanaan yang bersifat lebih mendidik seperti dikirim kepada lembaga
pendidikan untuk memberi pemahaman bahwa atas perbuatannya tersebut
telah terjadi suatu kerugian atau penderitaan terhadap orang lain. Pada tahun
1994, KUHP Jerman diamandemen untuk mengintrodusir mediasi yang
mengarah pada pemberian kompensasi dan tindakan perbaikan kerusakan atau
pemulihan sebagai suatu bentuk sanksi pemidanaan yang berlaku dalam
sistem hukum pidana di Jerman.
3. Belanda
Di negeri Belanda pada awalnya, konsep pendekatan restoratif tidak
dapat tempat dan perhatian yang serius dari berbagai kalangan praktisi dan
27
akademisi.34 Namun lambat laun terdapat perkembangan, yaitu seiring dengan
timbulnya berbagai Studi tentang penyelesaiaan suatu tindak pidana melalui
mediasi, conferencing, dan bentuk-bentuk pendekatan restoratif lainnya, serta
studi banding tentang kemungkinan-kemungkinan penerapannya dalam sistem
peradilan pidana, seperti studi perbandingan yang dilakukan pada tahun 2000
oleh DCI (Defense for Children International) tentang pendekatan restoratif di
berbagai negara g berbeda (Van jeugdsanctierecht naar hertelrecht, Defence
for Children International, section the Netherlands).
Walaupun sistem hukum pidana di Belanda, belum mengatur
kelembagaan pendekatan restoratif, namun dalam peraturan perundang-
undangan hukum pidana bagi remaja telah mengadopsi berbagai jenis sanksi
alternatif yang sering dipergunakan untuk menghindari adanya sanksi-sanksi
pemenjaraan, seperti sanksi-sanksi yang terdapst dalam HALT, 35 yaitu suatu
program pemberian sanksi alternatif yang didasarkan atas kesediaan dari
pelaku dan korban atas suatu rujukan dari pihak kepolisian, sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 77e KUHP Belanda. Di bawah ini diberikan garis besar
bentuk-bentuk yang tersedia dari sanksi-sanksi alternatif, yaitu36 :
a. HALT, adalah sanksi alternatif khusus bilamana polisi dapat mengusulkan
kepada pelaku remaja untuk mengikuti proses penyembuhan melalui suatu
program untuk menghindari adanya suatu proses penuntutan dan kepada
para pelaku ditawarkan suatu pekerjaan atau kompensasi atas kerugian
untuk paling banyak sejumlah 20 jam.
b. Kerja sosial (community service), yaitu suatu pekerjaan sosial yang
diterima sebagai ganti sanksi pidana lainnya, yang diharapkan akan dapat
membangun rasa tanggung jawab pelaku tindak pidana. Jenis pekerjaan-
pekerjaan yang dikerjakan harus dapat mempromosikan kepentingan-
kepentingan dari masyarakat luas dan memiliki nilai edukasi.
c. Pekerjaan sebagai kompensasi atas kerusakan-kerusakan yang terjadi
(work to compensate for damages incurred), di mana karakter dari koneksi
34
Annemieke Wolthuis, Restorative Aspects In The Dutch Juvenile Justice System, Defence tor
Children International Afdeling Nederland. Amsterdam, Desember, 2000,
Sumber : http://iirp.org/library/t2000/t2000_awolthuis.html, dalam Ibid.
35
Dalam sistem hukum pidana di Belanda dikenal suatu ketentuan yang mengatur tentang
penyelesaian kasus tindak pidana melalui proses mediasi. Ketentuan tersebut terdapat pada Pasal
77a-ff KUHP, Stb. 1994, 528 yang mengatur tentang the alternative (HALT), yaitu suatu
akronom untuk altematif penyelesaian yang merupakan revisi atas ketentuan hukum pidana bagi
para remaja, dalam Ibid.
36
Ibid.
28
antara tindak pidana dan kerusakan yang terjadi harus dibuat secara tegas
dalam rangkaian dari skema tersebut.
d. Skema-skema pembelajaran (learning schemes). Jenis pembelajaran yang
akan diterapkan adalah disesuaikan pada sifat/karakter dari tindak pidana
yang telah dilakukan, antara lain sebagai berikut :
1) Proyek pembelajaran fokus terhadap korban (the focus on the Victim
learning project/slachtoffer in beeld). Proyek ini cocok bagi kasus-
kasus pencurian, perampokan, atau penyerangan dengan penganiayaan
(theft, robbery or assault). Skemanya ditujukan untuk memastikan
bahwa pelaku remaja tersebut memahami atas konsekuensi dari
tindakan-tindakannya terhadap korban. Namun, korban sendiri dalam
hal ini tidak secara fisik turut mengambil peran sertanya dalam proyek
tersebut.
2) Proyek pembelajaran pendidikan seksual (the Jamal education (the
sexual education learning project/seksuele vorming). Proyek ini
mungkin bermanfaat dalam kasus-kasus penyalahgunaan/pelecehan
seksual (sexual abuse) di mana kliennya adalah seorang yang pertama
kali melakukan tindak pidana dan di mana kekerasan tidak terdapat di
dalamnya. Skema proyek ini ditujukan untuk menolong remaja pelaku
tindak pidana untuk menyesuaikan kondisi-kondisi dari seksualitas
dirinya dan kondisi seksualitas dari pihak-pihak lainnya.
3) Proyek pembelajaran kecakapan sosial (the social skills learning
project/sociale vaardigheden). Di sini, remaja pelaku tindak pidana
diajar untuk berinteraksi secara lebih baik dengan orang lain.
29
PENERAPAN ASAS ULTIMUM REMEDIUM TERHADAP TINDAK
PIDANA KORUPSI YANG TERJADI DI LINGKUNGAN BUMN
PERSERO
Sajipto Rahardjo mengemukakan bahwa asas hukum bukanlah norma
hukum konkret karena asas hukum adalah jiwanya norma hukum. Asas hukum
dikatakan sebagai jiwanya norma hukum atau peraturan hukum karena merupakan
dasar lahirnya peraturan hukum (ratio legis-nya peraturan hukum). Tepatnya
pernyataan Sajipto Rahardjo bahwa pada akhirnya semua peraturan hukum harus
dapat dikembalikan kepada asas hukumnya. Asas hukum adalah dasar-dasar
umum yang terkandung dalam peraturan hukum dan dasar-dasar umum tersebut
30
adalah merupakan yang mengandung nilai-nilai etis.37 Hukum pidana dalam arti
“ius poenale” yang memuat larangan terhadap perbuatan yang bertentangan
dengan hukum (onrech) dan mengenakan suatu penderitaan kepada yang
melanggar larangan tersebut, maupun sebagai “ius poenandi” yang merefleksikan
hak negara atau alat-alat perlengkapan negara untuk mengancam dan mengenakan
pidana terhadap perbuatan tertentu, merupakan hukum yang sanksinya lebih berat
dibandingkan dengan sanksi bidang hukum lain seperti hukum perdata dan hukum
administrasi.38
H.A.Zainal Abidin Farid menyimpulkan bahwa hukum pidana berbeda
dengan hukum lain karena sanksinya bersifat penderitaan istimewa dan oleh
karena itu harus tetap merupakan ultimum remedium. Dalil Ultimum Remedium
atau disebut sarana terakhir dalam teori hukum pidana dijadikan rangka untuk
menentukan perbuatan apa saja yang akan dikriminalisasi (dijadikan delik atau
perbuatan yang apabila dilakukan akan berhadapan dengan pemidanaan).
Sedangkan langkah kriminalisasi sendiri termasuk dalam teori Kebijakan
Kriminal (Criminal Policy).39
Hukum pidana sebagai ultimum remedium atau sebagai alat terakhir
apabila usaha-usaha lain tidak bisa dilakukan, ini disebabkan karena sifat pidana
yang menimbulkan nestapa, demikan Sudarto mengemukkan pada pelaku
kejahatan, sehingga sebisa mungkin dihindari penggunaan pidana sebagai sarana
pencegah kejahatan. Fungsi hukum pidana yang besifat subsidair tersebut juga
sering disebut dengan ultimum remedium atau sebagai obat terakhir, yaitu sebagai
obat yang baru akan digunakan manakala obat lain diluar hukum pidana sudah
tidak dapat efektif digunakan. 40
Van Bemmelen berpendapat bahwa yang membedakan antara hukum
pidana dengan bidang hukum lain adalah sanksi hukum pidana merupakan
37
Sajipto Rahardjo dalam J.B Daliyo, Pengantar Ilmu Hukum, Prenhallindo, Jakarta, 2001, hlm.
88, dalam Sarah Hasibuan, Asas Ultimum Remedium Dalam Penerapan Sanksi Pidana
Terhadap Tindak Pidana Perpajakan Oleh Wajib Pajak, USU Law Journal, Vol.3.No.2 (Agustus
2015), hlm. 117-118.
38
Muladi, Makala Ambiguitas Dalam Penerapan Doktrin Hukum Pidana Antara Doktrin Ultimum
Remedium dan Doktrin Primum remedium, Makasar, 2003, hlm.l 13, dalam Ibid.
39
H.A.Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 13.
40
H. Setiyono, Kejahatan Korporasi, Bayumedia Publishing, Malang, 2005, hlm. 102.
31
pemberian ancaman penderitaan dengan sengaja dan sering juga pengenaan
penderitaan, hal mana dilakukan juga sekalipun tidak ada korban kejahatan.
Perbedaan demikian menjadi alasan untuk menggangap hukum pidana sebagai
ultimum remedium, yaitu usaha terakhir guna memperbaiki tingkah laku manusia,
terutama penjahat, serta memberikan tekanan psikologi agar orang lain tidak
melakukan kejahatan. Penerapan hukum pidana sedapat mungkin dibatasi oleh
karena sanksinya yang bersifat penderitaan, dengan kata lain penggunaanya
dilakukan jika sanksisanksi hukum lain tidak memadai lagi.41
Berbicara ultimum remedium juga akan bersinggungan langsung dengan
tujuan pemidanaan yang antara lain menurut Cesare Beccaria Bonesana dikatakan
ada 2 (dua) hal yaitu untuk tujuan prevensi khusus dan prevensi umum. Tujuan
pemidanaan hanyalah supaya si pelanggar tidak merugikan sekali lagi kepada
masyarakat dan untuk menakuti-nakuti orang lain agar jangan melakukan hal itu.
Menurut Beccaria yang paling penting adalah akibat yang menimpa masyarakat.
Keyakinan bahwa tidak mungkin meloloskan diri dari pidana yang seharusnya
diterima, begitu pula dengan hilangnya keuntungan yang dihasilkan oleh
kejahatan itu. Namun Becaria mengingatkan sekali lagi bahwa segala kekerasan
yang melampaui batas tidak perlu karena itu berarti kelaliman.42
Selanjutnya akan dibahas mengenai penerapan asas Ultimum Remedium
terhadap tindak pidana korupsi yang terjadi di lingkungan BUMN Persero.
BUMN Persero atau badan hukum lainnya yang didirikan untuk kepentingan
bisnis dalam beroperasinya tunduk kepada norma logika perdata. Logika perdata
yang dimaksud, antara lain adalah bahwa kontrak bisnis berlaku sebagai undang-
undang bagi para pihak. Itikad baik dianggap ada pada para pihak sampai terbukti
sebaliknya. Apabila suatu prestasi yang diperjanjikan tidak dapat dipenuhi, maka
akan dituntut wanprestasi dengan berbagai alternatif untuk memenuhinya, seperti
halnya ganti rugi.
Sejalan dengan logika perdata, logika bisnis mengandung prinsip kehati-
hatian, kemitraan, kerjasama, dan trust. Sebagai contoh, suatu mitra bisnis yang
41
PAF Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung,
1997, hal 17, dalam Sarah Hasibuan, Op.Cit., hlm. 118.
42
Ibid.
32
kesulitan melakukan pembayaran dan terlilit utang, penyelesaiannya dapat berupa
penundaan kewajiban pembayaran utang, haircut (pelunasan sebagian), konversi
utang menjadi penyertaan modal, dan sebagainya. Apabila ada sengketa bisnis,
penyelesaiannya pun diusahakan dengan mediasi, dan/atau dengan arbitrase
sebagai alternatif penyelesaian sengketa yang memberi win-win solution. Solusi
pidana dalam hukum bisnis hanya upaya terakhir (ultimum remedium).
Dalam hal logika pidana yang digunakan, maka logika perdata tidak akan
atau sulit untuk berjalan. Kesulitan pembayaran oleh mitra bisnis dapat dituntut
dengan delik penipuan atau penggelapan. Demikian juga dalam hal timbul
kerugian. Penyelesaian seperti haircut, cut-off melalui restrukturisasi, serta model
release and discharge seperti yang ditempuh dalam penyelesaian BLBI, hanya
dipandang sebagai upaya administrasi semata yang tidak menuntaskan persoalan.
Logika pidana adalah untuk memberi efek jera, bukan win-win solution, tetapi
adalah zero sum game dengan win-loss solution.43 Ini dapat kita lihat dalam Pasal
4 UU PTPK yang berbunyi, “… pengembalian kerugian keuangan negara atau
perekonomian negara, tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana …”.
Ini berarti logika pidana yang lebih ditekankan, bahwa penghukuman (repressive
model) untuk memberi efek jera lebih mengemuka dibandingkan dengan
pendekatan asset economic recovery yang dianut hukum perdata. Kehadiran UU
PTPK ini telah membawa implikasi yang tidak sederhana. Sekarang dapat kita
saksikan bahwa hal-hal yang dahulu adalah murni business judgement rule (BJR),
sekarang bergeser ke ranah pidana dengan ancaman korupsi karena merugikan
keuangan negara atau membuat orang lain menjadi kaya.
Kondisi ini merupakan akibat dari logika yang dibangun dengan perluasan
definisi keuangan negara menurut sistem hukum positif di bidang keuangan
negara. Penulis berpendapat bahwa secara normatif, dan bahkan dalam tataran
praktis, perluasan makna keuangan negara yang merambah hingga ke korporasi
dengan kekayaan negara yang dipisahkan, telah mengikis pula “kekebalan” dan
43
Prasetio, Dilema BUMN:Benturan Penerapan Business Judgment Rule (BJR) dalam Keputusan
Bisnis Direksi BUMN, Rayyana Komunikasindo, Jakarta, 2014. hlm. 198, dalam Mas Putra
Zenno Januarsyah, Penerapan Asas Ultimum Remedium Terhadap Tindak Pidana Korupsi Yang
Terjadi Di Lingkungan BUMN Persero, dalam Jurnal Wawasan Yuridika, Vol. 1 | No. 1 | Maret
2017 | hlm. 26-27.
33
“mengancam” para direksi atau pimpinan profesional BUMN Persero. Pada
gilirannya, ini juga berpotensi memberikan efek negatif kepada mitra bisnis
BUMN Persero.
Idealnya, keberadaan doktrin Business Judgement Rule (BJR) yang
memberikan perlindungan kepada direksi dan pimpinan BUMN Persero atas
tindakan atau pengambilan keputusan yang berdasarkan itikad baik, jujur, hati-
hati, dan dilakukan sepenuhnya untuk kepentingan perusahaan harus terus
didorong. Dengan adanya doktrin BJR, maka direksi suatu perusahaan tidak
bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dari tindakan atau pengambilan
keputusan tersebut. Perlindungan bagi direksi ini bahkan mengikat hakim dalam
mempertimbangkan dan memutus perkara dimana hakim dianggap tidak
mempunyai kemampuan untuk menilai atau mengadili keputusan atau tindakan
bisnis yang dilakukan direksi.
Eko Setiawan sebagai Kepala Bagian Perundang-Undangan pada Biro
Hukum Kementerian BUMN mengatakan, bahwa karena seringkali kerugian
keuangan negara yang terjadi ternyata hanyalah kerugian bisnis semata akibat
aktivitas dari kegiatan BUMN Persero, aparat penegak hukum terkadang
memaksakan untuk diprosesnya indikasi kerugian tersebut masuk ke ranah tindak
pidana korupsi dan apabila kasusnya ternyata tidak cukup bukti untuk dibawa ke
persidangan, tidak jarang suatu BUMN diistilahkan menjadi “ajang pemerasan”
atau “ATM” dari oknum-oknum aparat penegak hukum, sehingga Biro Hukum
Kementerian BUMN pada pokoknya menyetujui atas diterapkannya asas ultimum
remedium terhadap tindak pidana korupsi yang terjadi di lingkungan BUMN
Persero. Melalui penerapan asas ultimum remedium, maka BUMN Persero yang
selama ini tidak dapat berlari kencang karena pada saat mengalami kerugian
bisnis lalu aparat penegak hukum cenderung mengaitkannya dengan tindak pidana
korupsi, akan lebih berani dan tenang dalam mengambil setiap keputusan bisnis
yang tidak jarang dari keputusan bisnis yang diambil tersebut berujung dengan
kerugian ataupun justu mendapatkan raupan keuntungan yang besar.44
44
Keterangan Eko Setiawan sebagai Kepala Bagian Perundang-Undagan pada Biro Hukum
Kementerian BUMN, Jakarta 3 September 2014, dalam Mas Putra Zenno Januarsyah, Ibid.
34
Dengan demikian, sudah sepatutnya salah satu asas yang paling
fundamental dalam hukum pidana yaitu asas ultimum remedium tersebut
diterapkan. Jika dengan menggunakan instrumen hukum lain masalah dapat
terselesaikan, untuk apalagi mengoperasionalkan hukum pidana. Terkecuali
pelanggaran hukum yang terjadi amatlah berat dan tidak bisa ditolelir oleh rasa
kemanusiaan. Pemberantasan korupsi pada sektor BUMN sebenarnya memasuki
wilayah abu-abu atau grey area, jangan sampai dikatakan terjerat korupsi padahal
nyatanya BUMN tersebut hanya mengalami kerugian akibat risiko bisnis dari
ribuan transaksi bisnis yang justru menguntungkan. Maka, negara lah kembali
yang merugi. Hal dimaksud juga merupakan faktor penyebab kinerja BUMN di
Indonesia tertinggal jauh dari beberapa negara. Tahun 2008 total net profit 142
BUMN Indonesia mencapai USD 9,6 Milyar bandingkan dengan Petronas yang
menyumbang 40% APBN Malaysia atau dengan mencatat net profit USD 20,0
Milyar. Bahkan BUMN Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 2007 mencatatkan
net profit USD 150,4 Milyar.45
Memperkuat pendapat di atas, dalam tataran praktis melalui Putusan
Mahkamah Agung Nomor 2149 K/Pid. Sus/201146 dapat terlihat penerapan dari
asas ultimum remedium. Berdasarkan Pertimbangan hukum atas perkara dimaksud
bahwa Terdakwa dalam kasus pengadaan rotor Gas Turbin Generator adalah
Direktur Teknik PT. Pupuk Kaltim Tbk yang didakwa dalam dakwaan primair
melanggar Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 UU PTPK jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHP serta dakwaan subsidiair melanggar Pasal 3 jo. Pasal 18 UU PTPK jo.
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Kebijakan tersebut telah mengakibatkan kerugian
PT. Pupuk Kaltim Tbk cq. Keuangan negara USD 1.484.000,- (satu juta empat
ratus delapan puluh empat ribu dollar Amerika Serikat). Alasan kasasi jaksa
penuntut umum ditolak oleh Mahkamah Agung, oleh karena Skup Perusahaan
tidak tercakup dalam UU PTPK tetapi tercakup dalam UU PT. Dengan demikian
perkara dimaksud tidak tercatat dalam hukum pidana tetapi dalam hukum
ekonomi, perusahaan dianggap rugi setelah ada RUPS tahunan memutuskan
45
Tanri Abeng, dalam Prasetio, Op.Cit. hlm. 16-17.
46
Putusan Mahkamah Agung Nomor 2149 K/Pid.Sus/2011.
35
perusahaan rugi dan bagi yang merasa dirugikan dapat menuntut tindakan sebagai
akibat tindakan Direksi/ Komisaris Perseroan Terbatas, kemudian Tindakan
Terdakwa berakibat kemahalan pembelian dari CV Sumi Jaya Utama sebesar
USD 1.484.000 (satu juta empat ratus delapan puluh empat ribu dollar Amerika
Serikat) sebagai keuangan perusahaan bila ditetapkan RUPS tahunan dan bukan
dalam lingkup tindak pidana tetapi dalam lingkup hukum ekonomi keperdataan,
sehingga Terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.
Melihat pertimbangan hukum dari Putusan Mahkamah Agung di atas,
jelaslah asas ultimum remedium dapat diterapkan terhadap tindak pidana korupsi
yang terjadi di lingkungan BUMN Persero. Kendatipun Terdakwa telah didakwa
melakukan tindak pidana korupsi, akan tetapi majelis hakim yang memeriksa dan
mengadili perkara tersebut berpendapat bahwa perbuatan terdakwa memang
terbukti namun perbuatannya bukan merupakan tindak pidana korupsi, melainkan
masuk dalam ruang lingkup hukum ekonomi keperdataan. Secara tidak langsung,
tujuan dari penyelesaian perkara tersebut, menekankan pada penyelesaian melalui
hukum perdata dan hukum administrasi.
Hal ini sejalan pula dengan karakteristik BJR dalam suatu perusahaan,
maka terlepas dari perdebatan tentang status keuangan persero, direksi dan/atau
komisaris persero harus menerapkan prinsip-prinsip fiduciary duty serta selalu
mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam
melaksanakan tugasnya. Syarat adanya perbuatan melawan hukum dalam
melakukan penyelidikan terhadap suatu transaksi komersial atas dugaan tindak
pidana korupsi pada dasarnya tidak memiliki landasan yuridis serta meniadakan
doktrin BJR. Tanpa adanya bukti bahwa telah terjadi kecurangan dalam perseroan,
maka sulit untuk mengajukan tuntutan secara pribadi kepada para direksi dan/atau
komisaris. Merujuk pada pendapat tersebut, maka relevan dengan penerapan asas
ultimum remedium terhadap tindak pidana korupsi yang terjadi di lingkungan
BUMN Persero. Seharusnya, sebelum penegak hukum menentukan bahwa suatu
perbuatan merupakan tindak pidana korupsi, perlu diperhatikan agar mendapatkan
ketegasan dalam hal apakah suatu risiko bisnis yang diambil telah memenuhi
unsur sebagai tindak pidana korupsi ataukah murni penyelesaiannya diajukan
36
melalui prosedur hukum administrasi atau hukum perdata. Dengan demikian,
pengambilan keputusan direksi yang merupakan cikal bakal terbentuknya
kebijakan perusahaan, sepanjang telah dilakukan sesuai dengan good corporate
governance yang berlaku (sesuai anggaran dasar, penerapan risk management,
serta pengendalian internal yang konservatif dan efektif), bukanlah pelanggaran
hukum, apa pun hasilnya.47
Mengutip Posner, Cooter, dan Ullen, Menteri BUMN RI Pertama Tanri
Abeng menyatakan bahwa economic analysis of law yang menyimpulkan “the
most common meaning of justice is efficiency”. Efficiency adalah sumber dari daya
saing dan value creation BUMN mana pun. Jika value creation ditunjukan untuk
kemakmuran masyarakat, seyogianya penerapan hukum mendukung pendekatan
ekonomi yang intinya adalah efisiensi untuk menjadikan BUMN berdaya guna
bagi bangsa dan negara.48 Implikasi dari pendekatan ini ialah bahwa direksi
BUMN Persero sebetulnya dapat melakukan keputusan bisnis berdasarkan cost
and benefit analysis. Itu artinya, kerugian bisa saja terjadi dan tidak merupakan
kesalahan, apalagi pelanggaran hukum, sepanjang hal itu memberikan manfaat
yang terbesar bagi perusahaan. Juga perlu ditekankan bahwa cost dalam sebuah
korporasi atau perusahaan dihitung secara kumulatif dalam setahun. Oleh karena
itu, timbulnya cost ataupun kerugian dalam satu transaksi tidak otomatis dapat
dijadikan sumber penilaian kerugian perusahaan maupun kerugian negara (apabila
hal ini dikaitkan dengan BUMN Persero).
47
Prasetio, Op.Cit. hlm. 348-349.
48
Tanri Abeng, dalam Ibid. hlm. 17.
37
Istilah fiduciary duty berasal dari 2 (dua) kata, yaitu fiduciary, dan
duty. Istilah duty banyak dipakai dimana-mana yang berarti tugas, sedangkan
istilah fiduciary (bahasa Inggris) berasal dari bahasa Latin fiduciaries dengan
akar kata fiducia yang berarti kepercayaan (trust) atau dengan kata kerja
fidere yang berarti mempercayai (to trust). Sehingga dengan istilah fiduciary
diartikan sebagai memegang sesuatu dalam kepercayaan atau seseorang yang
memegang sesuatu dalam kepercayaan untuk kepentingan orang lain. Dengan
demikian, dalam bahasa Inggris, orang yang memegang sesuatu secara
kepercayaan untuk kepentingan orang lain tersebut disebut dengan istilah
“truste” sementara pihak yang dipegang untuk kepentingan tersebut disebut
dengan istilah beneficiary.
Isu utama dari fiduciary duty adalah bagaimana meminimalisasi
kemungkinan seorang direktur menggunakan wewenangnya untuk
kepentingan dan keuntungan pribadinya, tetapi sebaliknya direktur seharusnya
menggunakannya seoptimal mungkin untuk kepentingan dan keuntungan
perseroan. Selanjutnya di dalam tataran suatu penerapannya, fiduciary duty
pengertiannya diperluas tidak saja mengenai tindakan mementingkan diri
sendiri, tetapi juga mencakup adanya kemungkinan sikap yang ceroboh atau
tidak berhati-hati. Atau dengan perkataan lain, fiduciary duty memiliki unsur
loyalitas (loyalty component) dan unsur kepedulian (care component),
sehingga Direktur harus bertindak dengan pertimbangan yang jujur
berdasarkan kepentingan perusahaan dan bukan atas dasar kepentingan
sekelompok orang atau badan.49
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
menyebutkan bahwa direksi ditunjuk oleh perseroan melalui RUPS.
Keberadaan direksi sebagai organ badan hukum timbul karena terbentuknya
badan hukum itu. Direksi perseroan berwenang dan bertanggung jawab penuh
atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan sesuai dengan
ketentuan Pasal 1 dan Pasal 92 Ayat 1 Undang – Undang No. 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas dan berwenang menjalankan pengurusan
49
I.G Rai Widjaya, Hukum Perusahaan, PT. Kesain Blanc, Bekasi Timur, 2000, hlm. 142.
38
sebagaimana dimaksud pada Pasal 92 ayat 1 Undang – Undang No. 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas, sesuai dengan kebijakan yang dianggap
tepat, dalam batas yang ditentukan dalam Undang – Undang No. 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas atau anggaran dasar sesuai dengan Pasal 92
ayat 2 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dan
Pasal 98 ayat 1 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas menyebutkan bahwa direksi mewakili perseroan baik di dalam
maupun di luar pengadilan. Seluruh ketentuan tersebut menunjukkan adanya
ketergantungan perseroan terhadap direksi. Antara direksi dan perseroan
terdapat suatu ikatan hubungan, karena tanpa direksi, maka maksud dan tujuan
serta usaha perseroan tidak akan tercapai. Sebaliknya, tanpa adanya perseroan,
direksi tidak akan ada.
b. Syarat substansif
Sementara itu, syarat substansif yang tebit dari prinsip kepedulian (due
care) terhadap seorang Direktur perusahaan adalah bahwa dalam
mengambil keputusan perseroan, pihak Direktur haruslah melakukannya
berdasarkan pertimbangan yang rasional.
50
Ibid., hlm. 220.
51
Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law Dan Eksistensinya Dalam
Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hlm. 7.
39
Beberapa prinsip hukum yang terbit dari adanya duty of care dari
Direksi adalah sebagai berikut :
a. Agar terpenuhinya unsur duty of care, maka terhadap Direksi berlaku
standar kepedulian (standard of care) sebagai berikut :
1) Selalu beritikad baik.
2) Tugas-tugas dilakukan dengan kepeduliannya seperti yang dilakukan
oleh biasa yang berhati-hati dalam posisi dan situasi yang sama atau
seperti yang dilakukan oleh orang tersebut untuk kepentingan bisnis
pribadinya
3) Tugas-tugas dilakukan dengan cara yang dipercayanya secara logis
(reasonable believe) merupakan kepentingan yang terbaik (best
interest) dari perseroan.
b. Secara hukum, seorang Direktur perseroan tidak akan bertanggung jawab
semata-mata atas salah dalam mengambil keptusan. Bahkan, asalkan dia
beritikad baik dan cukup berhati-hati, keputusan yang salah tidak dapat
dibebankan kepada Direksi sungguhpun kesalahan tersebut akibat kurang
pengalaman atau kurang komprehensif dalam mengambil keputusan.
Dengan demikian, suatu honest mistake yang dilakukan oleh Direksi dapat
ditoleransi oleh hukum. Bahkan, hakim tidak diperkenankan untuk
melakukan penilaian bisnis yang berbentuk second guess terhadap
keputusan Direksi, ini sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang terdapat
dalam teori keputusan bisnis (business judgment rule).52
52
Ibid., hlm. 49.
40
kewajiban seseorang dalam kedudukannya sebagai seorang direksi untuk tidak
terlibat dalam kegiatan yang merupakan self dealing, atau menggunakan
kedudukannya untuk kepentingan pribadi, bukan untuk kepentingan untuk
siapa dia bekerja. Intinya, duty of loyalty melarang adanya unsur
ketidaksetiaan atau faithlessness, dan self dealing, sehingga duty of loyalty
mengandung dimensi tanpa pengkhianatan dan aspek pengabdian yang positif,
yang bukan hanya menjaga untuk tidak membahayakan perseroan, tetapi
menuntut direksi untuk memajukan perusahaan. sehingga duty of loyalty
adalah menjauhkan tindakan yang salah, benturan kepentingan, dan
ketidakjujuran yang disengaja.53 Duty of loyalty juga berarti menghindar dari
tindakan dengan tujuan yang ilegal, yang memerlukan direksi berusaha
dengan itikad baik untuk mengawasi jalannya perusahaan sesuai dengan
hukum.
41
direksi wajib melakukannya dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas jelas
mengandung unsur itikad baik, yang diwajibkan pada direksi dalam
menjalankan tugasnya untuk mengurus usaha perseroan, sedangkan pada Pasal
97 Ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
menentukan bahwa direksi bertanggungjawab atas pengurusan perseroan
sebagaimana yang dimaksud dengan Pasal 92 ayat (1) di atas, dan untuk itu
setiap anggota direksi wajib melaksanakan kepengurusannya itu dengan itikad
baik dan penuh tanggung jawab, dan bertanggungjawab penuh apabila yang
bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan
ketentuan.
Dalam ketentuan Pasal 97 Ayat (5) Undang-Undang No. 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas lebih lanjut menyebutkan bahwa direksi tidak
dapat dipertanggung jawabkan atas kerugian sebagaimana yang dimaksud
pada Ayat (3) apabila dapat membuktikan, bahwa 55:
a. Kerugian tersebut bukan kesalahan atau kelalaiannya.
b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk
kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.
c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik secara langsung maupun
tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian.
d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul dan berlanjutnya
kerugian tersebut. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas tidak secara jelas mendefinisikan, atau tidak memberikan standar
ukuran, untuk unsur itikad baik. Namun, secara keseluruhan unsur itikad
baik dapat diartikan dan disimpulkan dari berbagai ayat yang dikandung
dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
42
direktur harus melaksanakan reasonable diligence dalam tugas jabatannya
atau disclosure.56 Selain tanggung jawab fiduciary duties dan duties of skill
terhadap perseroan, anggota direksi juga memiliki tanggung jawab atau
kewajiban terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas.
Tanggung Jawab Direksi berdasarkan Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut :
a. Tanggung jawab memberitahukan dan mengumumkan pengurangan modal
sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (2) Undang – Undang No. 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
b. Tanggung jawab menyimpan daftar pemegang saham diatur dalam Pasal
50 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas.
c. Tanggung jawab mencatat pemindahan hak atas saham atas nama,
sebagaimana diatur dalam Pasal 56 ayat (3) Undang-Undang No. 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas.
d. Tanggung jawab memberikan persetujuan atau penolakan pemindahan hak
atas saham sebagaimana diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang No. 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
e. Tanggung jawab membuat rencana kerja tahunan, sesuai dengan Pasal 63
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
f. Tanggung jawab membuat laporan tahunan yang diatur dalam Pasal 66
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
g. Menandatangani laporan tahunan sebagaimana rumusan Pasal 67 Undang-
Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
h. Menyerahkan perhitungan tahunan kepada akuntan publik dan
menyampaikannya kepada RUPS sebagaimana ketentuan Pasal 68 Undang
-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
43
g. Menyelenggarakan RUPS sebagaimana ketentuan Pasal 79 ayat (1) dan (5)
Undang – Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. h.
Tanggung jawab melakukan pengurusan sebagaimana rumusan Pasal 92
ayat (1) Undang – Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,
bahwa kepengurusan perseroan dilakukan oleh direksi.
58
Ibid.
44
karyawan perseroan atau lebih atau orang lain untuk dan atas nama
perseroan melakukan perbuatan hukum tertentu.
j. Tanggung jawab mengajukan permohonan pailit, sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 104 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas, sebagai berikut :
1) Direksi tidak berwenang mengajukan permohonan pailit atas Perseroan
sendiri kepada pengadilan niaga sebelum memperoleh persetujuan
RUPS, dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang.
2) Dalam hal kepailitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi
karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan harta pailit tidak cukup
untuk membayar seluruh kewajiban Perseroan dalam kepailitan
tersebut, setiap anggota Direksi secara tanggung renteng bertanggung
jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit
tersebut.
3) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku juga
bagi anggota Direksi yang salah atau lalai yang pernah menjabat
sebagai anggota Direksi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum
putusan pernyataan pailit diucapkan.
59
Ibid.
45
bertanggungjawab atas kerugian yang timbul dari suatu indakan pengambilan
keputusan, apabila tindakan direksi tersebut didasari itikad baik dan sifat hati-
hati. Business judgment rule sebenarnya mengenai pembagian tanggung jawab
di antara perseroan dan organ yang mengurusnya, terutama direksi, dan
pemegang saham manakala terjadi kerugian yang menimpa perseroan yang
diakibatkan oleh kesalahan manusia. Black’s Law Dictionary mendefinisikan
business judgment rule sebagai suatu tindakan dalam membuat suatu
keputusan bisnis tidak melibatkan kepentingan diri sendiri, kejujuran dan
mempertimbangkan yang terbaik bagi perusahaan (the presumption that in
makin business decision not involving direct self interest or self dealing,
corporate directors act in the honest belief that their actions are in the
corporation best interest ).60 Dengan prinsip ini, direksi mendapatkan
perlindungan, sehingga tidak perlu memperoleh justifikasi dari pemegang
saham atau pengadilan atas keputusan mereka dalam pengelolaan perusahaan.
Doktrin putusan bisnis (business judgment rule) ini merupakan suatu doktrin
yang mengajarkan bahwa suatu putusan Direksi mengenai aktivitas perseroan
tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun meskipun putusan tersebut
kemudian ternyata salah atau merugikan perseroan, sepanjang putusan
tersebut memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Putusan sesuai hukum yang berlaku.
b. Dilakukan dengan itikad baik.
c. Dilakukan dengan tujuan yang benar (proper purpose).
d. Putusan tersebut mempunyai dasar – dasar yang rasional (rational basis).
e. Dilakukan dengan kehati – hatian (due care) seperti dilakukan oleh orang
yang cukup hati – hati pada posisi yang serupa.
f. Dilakukan dengan cara yang secara layak dipercayainya (reasonable
belief) sebagai yang terbaik (best interest) bagi perseroan.
60
Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, West, Thomson Group, 2010, America, hlm 21,
dalam Sartika Nanda Lestari, Business Judgment Rule Sebagai Immunity Doctrine Bagi Direksi
Badan Usaha Milik Negara Di Indonesia, Jurnal NOTARIUS ▪ Edisi 08 Nomor 2 September
(2015), hlm. 305.
46
Dengan demikian, doktrin ini lebih melindungi direksi, tetapi masih
dalam koridor hukum perseroan yang umum bahwa pengadilan dapat
melakukan penilaian terhadap setiap putusan, termasuk putusan bisni yang
sudah disetujui oleh RUPS, sepanjang untuk memutuskan apakah putusan
tersebut sesuai dengan hukum yang berlaku atau tidak. Akan tetapi tidak untuk
menilai apakah sesuai atau tidak dengan kebijakan bisnis. Adapaun latar
belakang munculnya doktrin ini, karena diantara semua pihak dalam
perseroan, sesuai dengan kedudukannya selaku direksi, maka direksilah yang
paling berwenang untuk memutuskan apa yang tebaik bagi perseroan. Bila
terjadi kerugian karena putusan bisnis, dalam batas-batas tertentu masih dapat
ditoleransi mengingat tidak semua bisnis harus mendapat untung.
Dengan kata lain, perseroan juga harus menanggung risiko bisnis,
termasuk risiko kerugian. Karena itu direksi tidak dapat dimintai pertanggung
jwaban hanya karena alasan salah dalam memutuskan atau hanya karena
kerugian perusahaan. direksi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban karena
minmanagemen.61 Dengan demikian, berbeda (tetapi tidak bertentangan
dengan) dengan doktrin – doktrin lain yang lebih memberatkan Direksi,
seperti doktrin fiduciary duty, piercing the corporate veil, ultra vires dan lain
– lain. Oleh karena itu, doktrin putusan bisnis ini lebih memihak kepada
Direksi, tetapi masih dalam koridor hukum perseroan yang umum bahwa
pengadilan dapat melakukan scrutiny (penilaian) terhadap setiap putusan dari
Direksi, termasuk putusan bisnis yang sudah disetujui oleh Rapat Umum
Pemegang Saham, sepanjang untuk memutuskan apakah putusan tersebut
sesuai dengan hukum yang berlaku atau tidak. Meskipun begitu, doktrin
putusan bisnis ini tidak untuk menilai sesuai atau tidaknya dengan kebijaksaan
bisnis.62 Sebenarnya inti dari pemberlakuan dokrin putusan bisnis adalah
bahwa semua pihak, termasuk pengadilan harus menghormati keputusan binis
yang diambil oleh orang – orang yang memang mengerti dan berpengalaman
dibidang bisnisnya, terutama sekali terhadap masalah – masalah bisnis yang
61
Sentosa Sembiring, Hukum Perusahaan tentang Perseoran Terbatas, CV. Nuansa Aulia,
Bandung, 2013, hlm. 41.
62
Munir Fuady, Op.Cit., hlm. 186.
47
kompleks. Mereka yang berpengalaman dan mempunyai pengetahuan tentang
bisnis tentunya adalah pihak Direksi, paling tidak mereka lebih
berpengalaman dari pada hakim dipengadilan, yang sama sekali tidak
mengetahui bisnis dan memutuskan hanya berdasarkan petunjuk dan pendapat
dari penegak hukum atau pengacara.63
Dalam konteks ini, ada benarnya apa yang dikemukakan oleh praktisi
bisnis Darwin Noor, berbeda dengan Indonesia, di Negara-Negara yang
menganut common law khususnya Amerika Serikat telah banyak pendapat
pengadilan yang menentukan standar yang jelas untuk menentukan apakah
seorang Direktur dapat dimintai pertanggung jawabannya dalam tindakan
yang diambilnya sejalan dengan pengelolaan perusahaan business judgment
rule selain melindungi tanggung jawab pribadi seorang Direksi apabila terjadi
pelanggaran, ia juga dapat diberlakukan terhadap pembenaran keputusan
bisnis. Disinilah pentingnya Business Judgment Rule sebab Direksi dalam
posisinya adalah risk taker yang bertujuan untuk mencari keuntungan, niscaya
dalam mengambil keputusan bersifat spekulatif yang bertendensi mengalami
kerugian. Tanpa adanya standar yang jelas mengenai itikad baik dan
pertanggung jawaban Direksi maka dikhawatirkan Direksi tidak akan berani
mengambil keputusan bisnis.64
Mulanya business judgment rule merupakan doktrin yang berasal dari
sistem common law dan merupakan derivatif dari Hukum Perusahaan di
Amerika Serikat sebagai upaya untuk mencegah pengadilan-pengadilan di
Amerika Serikat mempertanyakan pengambilan keputusan bisnis oleh direksi.
Stephen M. Bainbridge menjelaskan fungsi business judgment rule adalah
untuk mencapai jalan tengah dalam hal terjadinya pertentangan antara otoritas
direksi dalam menjalankan perseroan dan tuntutan akuntabilitas direksi
terhadap para pemegang saham.65
Latar belakang dari diberlakukannya business judgment rule
disebabkan oleh pertimbangan direksi merupakan pihak yang paling
63
Ibid, hlm. 187.
64
Sentosa Sembiring, Op.Cit., hlm.42.
65
Hendra Setiawan Boen, Op.Cit., hlm. 100.
48
berwenang serta professional dalam memutuskan hal-hal yang terkait dengan
perseroan. Hal ini terkait dengan Pasal 1 ayat 5 Undang-Undang Perseroan
Terbatas yang mengatur bahwa Direksi adalah Organ Perseroan yang
berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk
kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta
mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan
ketentuan anggaran dasar.
Pengaturan lebih lanjut mengenai business judgement rule diatur
dalam Pasal 97 ayat 5 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas yang mengatur bahwa anggota direksi tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana termasuk dalam Pasal 97
(3) apabila dapat membuktikan66 :
a. Kerugian timbul bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk
kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan Terbatas;
c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak
langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya
kerugian tersebut.
66
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
49
kepada direksi dibebankan fiduciary duty yang membebankan tanggung jawab
yang besar.
Ada beberapa kasus di Amerika Serikat yang menjadi dasar business
judgment rule diantaranya adalah kasus yang dijadikan pertimbangan oleh
Delaware Supreme Court yang menyatakan bahwa business judgment rule
melibatkan 2 (dua) hal yaitu proses dan substansi.67 Sebagai proses, business
judgment rule melibatkan formalitas pengambilan keputusan dalam perseroan,
sedangkan sebagai subtansi, business judgment rule tidak dapat diberlakukan
dalam suatu transaksi, haruslah dapat dibuktikan bahwa tindakan tersebut
secara subtansi tidak memberikan manfaat bagi perseroan.
Dalam kasus yang lain Grobow v. Perot dijelaskan bahwa agar
terlaksana business judgment rule direksi memperhatikan itikad baik;
memberikan pertimbangan terbaik bagi perusahaan; melakukan penelaahan;
berdasarkan loyalitas terhadap perusahaan. Namun, bagi negara-negara civil
law system yang sumber hukum terletak pada peraturan perundang-undangan,
maka pengadilan bertugas untuk melakukan interpretasi terhadap doktrin
tersebut yang disebabkan oleh belum adanya pengaturan yang secara
komprehensif, jelas dan spesifik mengenai Business Judgment Rule. Business
Judgment Rule timbul sebagai akibat telah dilaksanakannya kewajiban sebagai
direksi dengan penuh tanggungjawab (fiduciary duty) oleh seorang direksi,
yang didalamnya termasuk pelaksanaan atas duty of skill and care.68
Salah satu negara bagian di Amerika Serikat yang menerapkan
Business Judgment Rule adalah Delaware, dimana menurut ketentuan Hukum
Perusahaan Delaware, Business Judgment Rule merupakan turunan dari
prinsip dasar, yang dikodifikasi dari Del Code Ann. tit. 8, s 141(a), dimana
keputusan bisnis dan urusan dari suatu perseroan di Delaware diurus oleh atau
di bawah kewenangan direksi. Dimana dalam menjalankan peran pengurusan
perseroan tersebut, direksi dituntut untuk tidak mudah putus asa dalam
67
Gunawan Widjaja, Risiko Hukum Pemilik, Direksi dan Komisaris¸ Forum Sahabat, Jakarta,
2008, hlm. 80.
68
Hendra Setiawan Boen, 2008, Bianglala Business Judgment Rule, Jakarta, Tatanusa, hlm. 100.
50
memenuhi fiduciary duty untuk kepentingan perseroan dan pemegang saham
perseroan.69
Hal ini selaras dengan peraturan perundang-undangan Indonesia yang
mengatur bahwa batasan yaitu pegurusan itu adalah untuk “kepentingan”
Perseroan dan harus “sesuai dengan maksud dan tujuan” Perseroan. Selain itu,
Berlakunya business judgment rule dapat dilihat dari Undang-Undang No. 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dalam Pasal 97 ayat (5), yaitu70 :
Anggota direksi tidak dapat dipertanggung jawabkan atas kerugian
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan :
a. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaian;
b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk
kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan;
c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak
langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian;
d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya
kerugian tersebut.
Banyak ahli hukum mengatakan pasal diatas adalah pasa a quo yang
dianggap sebagai pengejawantahan dari business judgment rule. Memahami
pelaksanaan dari business judgment rule, tak terlepas dari prinsip fiduciary
duty yaitu dilaksanakan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab bagi
direksi sebagaimana dalam Pasal 97 dan 99 Undang-Undang No. 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas.
Pasal-pasal tersebut diatas, terutama pada Pasal 97 ayat 1 dan 5
menekankan tugas fiduciary duty dari direksi, tapi sebenarnya dari pasal-pasal
tersebut pulalah dapat ditarik kesimpulan tentang berlaku tidaknya doktrin
business judgment rule. Pasal 97 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Perseroan
Terbatas mengindikasikan bahwa Undang-Undang Perseroan Terbatas tersebut
memberlakukan doktrin bussiness judgment rule. Dari ketentuan Pasal 97 ayat
2 dan pasal 92 ayat 1 dapat disimpulkan bahwa tindakan direksi terhadap
perseroan haruslah dilakukan dengan memenuhi ketiga syarat yuridis yaitu
69
Susan Ellis Wild, Webster’s New World Law Dictionary, Wiley Publishing, Inc, Canada, 2006,
hlm 58, dalam Sartika Nanda Lestari, Op.Cit., hlm. 308.
70
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
51
itikad baik; penuh tanggung jawab, dan untuk kepentingan perseroan (proper
purpose).
Hendra Setiawan Boen memberikan pendapat bahwa business
judgment rule dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas Indonesia bukanlah
business judgment rule yang lengkap, karena masih kurang satu unsur yang
signifikan.71 Undang-Undang Perseroan Terbatas yang lama pun dinilai masih
belum memiliki business judgment rule yang lengkap, dari keempat unsur
yang harus terpenuhi untuk menghasilkan business judgment rule yang akan
melindungi direksi. Unsur tersebut : due of care, due of skill, good faith, dan
for the best interest of the company.
71
Aiman Nariman, 2008, Commercial Applications of Company Law in Malaysia, Malaysia, CCH
Wolters Kluwer Business, hlm. 265, dalam Sartika Nanda Lestari, Op.Cit., hlm. 309-310.
52
Perubahanperubahan organisasi kelembagaan negara tersebut terdiri dari dua
hal, yaitu :72
a. Pertama, muncul kesadaran yang semakin kuat bahwa badan-badan negara
tertentu seperti organisasi militer, Kepolisian, Kejaksaan, dan Bank Sentral
harus dikembangkan secara independen. Independensi lembaga-lembaga
ini diperlukan untuk kepetingan menjamin pembatasan kekuasaan dan
demokratisasi yang lebih efektif. Untuk kasus Indonesia, yang telah
menikmati independensi adalah Militer TNI, Kepolisian Negara (POLRI),
dan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral.
b. Kedua, adalah munculnya perkembangan berkenaan dengan kasus-kasus
khusus seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM),
Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Ombudsman, Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Komisi Penyiaran Indonesia, dan
lain-lain berdasarkan suatu Undang-Undang.
53
ternyata BPKP dan Inspektorat ini berada dalam satu organisasi pengawasan
yang sama, yang dibentuk oleh cabang kekuasaan eksekutif dengan nama
Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP).
Kewenangan adalah kuasa atau hak yang dimiliki oleh suatu badan,
lembaga, atau pejabat dalam menjalankan dan melaksanakan penyelenggaraan
kenegaraan dan pemerintahan sesuai dengan aturan peraturan perundang-
undangan. Dalam kaitannya dengan lembaga-lembaga negara di atas, maka
lembaga-lembaga tersebut memang memiliki dasar kewenangan yang
tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Namun, masing-masing
dasar pembentukan lembaga negara tersebut berbeda-beda. Oleh karena itu,
perlu diketahui lebih lanjut mengenai dasar kewenangan yang dimiliki oleh
masing-masing lembaga negara di atas.
Selain diperlukan meninjau sumber kewenangannya, hal lain yang
perlu diketahui adalah unsur-unsur kerugian keuangan negara. Unsur-unsur
tersebut antara lain :
a. Timbul kerugian atau kekurangan uang negara.
Dalam Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU PN) mengatur
mengenai definisi kerugian Negara :
Pasal 1
Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan
barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan
hukum baik sengaja maupun lalai.
54
Konsep “nyata dan pasti jumlahnya” yang termaktub dalam Pasal 1
angka 22 UU PN, tidak memuat lebih lanjut mengenai penjelasan konsep
“nyata dan pasti jumlahnya” tersebut, sehingga menimbulkan pendapat
dari para praktisi untuk menafsirkan/menjabarkan konsep tersebut.
Para praktisi menafsirkan “nyata dan pasti” sebagai sesuatu yang
benar dikeluarkan atau terjadi. Dalam lingkup Undang-Undang
Perbendaharaan Negara, penafsiran ini tepat. Misalnya dalam hal
kekurangan uang, surat berharga dan barang.73 Namun dalam Penjelasan
Pasal 32 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah
dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK),
menjelaskan bahwa :
Penjelasan Pasal 32 ayat (1) Yang dimaksud dengan “secara nyata telah
ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian yang sudah dapat dihitung
jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau
akuntan publik yang ditunjuk.
73
Theodorus M. Tuanakotta, Menghitung Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana
Korupsi, Salemba Empat, Jakarta, 2009, hlm. 80.
55
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada
orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian
itu, mengganti kerugian tersebut.”
74
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia, Jakarta,
2003, hlm. 117.
75
Albert Aries, Perbuatan Melawan Hukum dalam Hukum Perdata dan Hukum Pidana, tersedia di
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5142a15699512/perbuatan-melawan-hukum-
dalam-hukum-perdata-dan-hukum-pidana, diakses pada tanggal 19 Maret 2019.
56
dengan dalam konteks hukum perdata adalah lebih dititikberatkan pada
perbedaan sifat hukum pidana yang bersifat publik, sedangkan hukum
perdata yang bersifat privat.
a. Objek Penilaian
Untuk mengetahui objek penilaian kerugian keuangan negara,
maka dapat dilihat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
yang ada. Namun, dalam kaitannya dengan kerugian keuangan negara,
tidak ditemukan satupun ketentuan peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai objek penilaian kerugian keuangan negara.
Hal inilah yang sedikit membingungkan para pemeriksa dalam
melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu, untuk mengetahui objek
penilaian kerugian keuangan negara, pemeriksa dapat mengacu pada
definisi keuangan negara. Karena pada hakikatnya, dengan melihat
definisi keuangan negara tersebut, maka dapat diketahui mengenai apa
saja yang dapat dijadikan objek penilaian kerugian keuangan negara.
Definisi Keuangan Negara termaktub dalam Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
(selanjutnya cukup disebut dengan UU KN):
“Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang
dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang
maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung
dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”.
57
Dalam Pasal 2 UU KN juga dijabarkan mengenai lingkup
Keuangan Negara, yakni76 :
a. Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1
meliputi:
a) Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan
mengedarkan uang dan melakukan pinjaman.
b) Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum
pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga.
c) Penerimaan negara.
d) Pengeluaran negara.
e) Penerimaan daerah.
f) Pengeluaran daerah.
g) Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh
pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-
hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang
dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah.
h) Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka
penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum.
i) Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas
yang diberikan pemerintah.
76
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
58
wewenang dengan wewenang yang dimiliki oleh lembaga lain atau
tidak.
1) Kewenangan Penilaian Oleh Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK)
Badan Pemeriksa Keuangan merupakan salah satu lembaga
negara yang dibentuk berdasarkan amanah UUD NRI Tahun 1945.
Hal ini dapat dibuktikan dengan tercantumnya ketentuan yang
mengatur tentang tugas dan wewenang BPK dalam konstitusi
tersebut. Dasar kewenangan penilaian oleh BPK termaktub dalam
Pasal 23E UUD NRI Tahun 1945 (setelah dilakukannya
perubahan), yang kemudian dasar kewenangan tersebut diatur lebih
lanjut dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun
2006 (UU BPK).
Pasal 23E menentukan bahwa :
“(1) Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang
keuangan negara diadakan satu badan pemeriksa keuangan
yang bebas dan mandiri;
(2) Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada DPR,
DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya;
(3) Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga
perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang-undang”.
59
2) Penilaian kerugian keuangan negara dan/atau penetapan pihak
yang berkewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan BPK.
60
Hal ini dapat dibuktikan dengan lingkup pemeriksaan BPK
yang termaktub dalam Pasal 6 ayat (3) UU BPK, “Pemeriksaan
BPK mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan
pemeriksaan dengan tujuan tertentu”. Dalam UU BPK tidak
mengatur secara eksplisit mengenai definisi pemeriksaan dengan
tujuan tertentu ini, namun dalam Pasal 4 ayat (2), ayat (3) dan ayat
(4) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
dan Pengelolaan Tanggung Jawab Keuangan Negara (UU
PPTJKN) memuat ketentuan tentang lingkup pemeriksaan BPK
tersebut.
Dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (4) UU PPTJKN tersebut
juga menjelaskan tentang pemeriksaan dengan tujuan tertentu
(pemeriksaan investigatif), bahwa78 :
Penjelasan Pasal 4 ayat (4)
Pemeriksaan dengan tujuan tertentu meliputi antara lain
pemeriksaan atas hal-hal lain di bidang keuangan, pemeriksaan
investigatif, dan pemeriksaan atas sistem pengendalian intern
pemerintah.
61
maka BPK termasuk lembaga yang berwenang melakukan
penilaian kerugian keuangan Negara dalam tindak pidana korupsi,
karena BPK berwenang melakukan pemeriksaan dengan tujuan
tertentu (pemeriksaan investigatif) guna mengungkap adanya
indikasi kerugian negara/unsur pidana (korupsi).
Apabila dianalisis berdasarkan teori kewenangan, maka
sumber wewenang yang dimiliki oleh BPK ini termasuk dalam
wewenang atribusi, yakni wewenang yang bersumber atau amanah
dari peraturan perundangundangan kepada lembaga atau organ
negara (ketentuan UUD NRI Tahun 1945 memberikan kewenangan
langsung kepada BPK, yang kemudian kewenangan tersebut diatur
lebih lanjut dalam undang-undang). Dari sumber kewenangan BPK
di atas, jelas sekali bahwa BPK itu mempunyai kedudukan tidak di
atas maupun di bawah cabang kekuasaan eksekutif (pemerintah),
legislatif maupun yudisial, melainkan berada di luar ketiga cabang
kekuasaan tersebut yang sederajat dan bersifat independen. Hal
demikian membuktikan bahwa BPK merupakan lembaga pengawas
tertinggi (external auditor) dalam bidang pemeriksaan pengelolaan
dan tanggung jawab keuangan negara yang memiliki hubungan
dengan kekuasaan legislatif dalam melakukan pengawasan
tindakan pemerintahan.
62
adalah menyelenggarakan fungsi pengawasan atau audit
penghitungan kerugian keuangan negara, hal ini sebagaimana
termaktub dalam Pasal 3 huruf e Perpres BPKP79 :
Pasal 3
e) pengawasan terhadap perencanaan dan pelaksanaan program
dan/atau kegiatan yang dapat menghambat kelancaran
pembangunan, audit atas penyesuaian harga, audit klaim, audit
investigatif terhadap kasus-kasus penyimpangan yang
berindikasi merugikan keuangan negara/daerah, audit
penghitungan kerugian keuangan negara/daerah, pemberian
keterangan ahli, dan upaya pencegahan korupsi.
63
dengan BPK yang disebut sebagai pengawas eksternal (external
auditor) yang merupakan lembaga pengawas tertinggi yang
independen dalam bidang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung
jawab keuangan negara, maka BPKP termasuk dalam lembaga
pengawas internal (internal auditor) sehingga dianggap tidak
independen, karena yang diawasinya berada dalam satu lingkup
cabang kekuasaan yang sama dengan BPKP, yakni sama-sama
kekuasaan eksekutif.
Kewenangan yang dimiliki oleh BPKP tersebut, sangatlah
memiliki kesamaan dengan kewenangan yang dimiliki oleh Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK). Kewenangan tersebut adalah
kewenangan terkait penilaian/penghitungan kerugian keuangan
negara dalam adanya indikasi tindak pidana korupsi. Perbedaan
antara kata pemeriksaan dan pengawasan yang digunakan dalam
penamaan kedua lembaga tersebut, juga menimbulkan konflik,
dikarenakan dalam satu sisi istilah memeriksa dan mengawas itu
terdapat suatu perbedaan dalam maknanya, namun dalam sisi
pelaksanaanya, kedua kata yang membedakan kedua lembaga
tersebut hampir tidak memiliki perbedaan dalam pelaksanaan
kewenangannya.
Moh. Kusnardi dan Hairmaily Ibrahim dalam bukunya yang
berjudul “Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia” menjelaskan,
Badan Pemeriksa Keuangan (masa sekarang), dengan Dewan
Pengawas Keuangan (lembaga BPK pada masa berlakunya
Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949), tidak memiliki
perbedaan kewenangan antara memeriksa dan mengawas dalam
penamaan lembaganya (BPK dan DPK). Padahal seharusnya
dengan perbedaan penggunaan kata memeriksa dan mengawas
tersebut terdapat perbedaan yang jelas dalam pelaksanaan
kewenangannya. Memeriksa adalah suatu tindakan yang bertujuan
untuk mengetahui yang telah dilakukan oleh orang lain, sedangkan
64
mengawas adalah suatu perbuatan yang berupa mengamati sesuatu
agar jangan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.80
Jika menghubungkan arti kedua istilah tersebut di atas
dengan pemakaiannya terhadap Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP),
maka mau tidak mau haruslah ada perbedaan yang dituju dalam
melaksanakan tugas-tugas yang diberikan kepada kedua lembaga
tersebut. BPK adalah suatu badan yang tugasnya lebih banyak
dititik beratkan kepada tindakan yang bersifat represif, sedangkan
BPKP lebih banyak ditekankan kepada tingkat pencegahan
(preventif). Namun demikian menurut kenyataannya, pelaksanaan
kewenangan yang dilakukan oleh kedua lembaga tersebut hampir
tidak ditemukan perbedaan. Hal ini dapat dibuktikan pada dasar
hukum kewenangan BPK dan BPKP terkait penilaian kerugian
keuangan negara.
Oleh karena itu, banyak para ahli hukum tata negara yang
menyarankan supaya BPKP digabung menjadi satu dengan BPK.
Sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie,
dalam bukunya yang berjudul “Konstitusi & Konstitusionalisme
Indonesia” Untuk menghadapi dualisme pemeriksaan oleh BPK
dan BPKP itulah maka Pasal 23E ayat (1) menegaskan bahwa,
“Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab tentang
keuangan negara, diadakan SATU badan pemeriksa keuangan yang
bebas dan mandiri”. Di sini tegas dikatakan hanya satu badan yang
bebas dan mandiri. Karena itu, BPKP dengan sendirinya harus
dilikuidasi, dan digantikan fungsinya oleh BPK yang menurut
ketentuan Pasal 23G ayat (1) “… berkedudukan di ibukota negara
dan memiliki perwakilan di setiap propinsi.”81
80
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi
Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Sinar Bakti, Jakarta, 1983,
hlm. 242, dalam Muhammad Imron Rosyadi, Op.Cit., hlm. 46.
81
Ibid., hlm. 47.
65
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Jimly
Asshiddiqie di atas, dapat diketahui bahwa kekuasaan untuk
melakukan pemeriksaan atau pengawasan pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara harusnya dijalankan secara
independen, yang hanya dijalankan oleh BPK saja, hal ini
dikarenakan menurut teori kewenangan, sumber kewenangan BPK
lebih tinggi daripada kedudukan BPKP. Sekaligus dengan adanya
penggabungan BPKP ke dalam BPK juga merupakan salah satu
upaya implementasi dari prinsip pembatasan kekuasaan secara
horizontal dalam konsep negara hukum rechtsstaat.
66
Dalam kaitannya dengan penilaian kerugian keuangan
negara dalam tindak pidana korupsi, Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan sudah dijelaskan di atas mengenai
wewenangnya terkait penilaian kerugian keuangan negara dalam
tindak pidana korupsi. Sedangkan untuk unit pengawasan intern
pada Badan Hukum Pemerintah lainnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan tidak akan saya bahas dalam penelitian ini,
karena dikhawatirkan pembahasannya nanti terlalu meluas. Jadi
dalam sub bab kewenangan penilaian oleh lembaga negara lainnya
hanya saya fokuskan pada Inspektorat saja. Inspektorat Provinsi,
Kabupaten/Kota merupakan nama baru sebagai pengganti Badan
Pengawas Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota.
Dasar kewenangan Inspektorat menilai kerugian keuangan
negara terdapat pada Pasal 48 jo. Pasal 49 ayat (1) jo. Pasal 50 jo.
Penjelasan Pasal 50 ayat (3) yang termaktub dalam PP SPIP. Dari
uraian pasal-pasal tersebut, maka dapat diketahui bahwa
Inspektorat berhak melakukan audit investigatif. Audit investigatif
ini apabila dikaitkan dengan Pasal 1 angka 3 jo. Pasal 13 UU
PPTJKN. Maka maksud dari melaksanakan pemeriksaan
investigatif untuk mengungkap adanya indikasi kerugian negara
dan/atau unsur pidana di atas adalah adanya indikasi tindak pidana
korupsi. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa :
a) Apabila Inspektorat (atau nama lain yang secara fungsional
melaksanakan pengawasan intern) dalam melaksanakan
wewenang audit kerugian keuangan negara bertindak untuk dan
atas nama BPK, maka dapat melaksanakan audit (pemeriksaan)
investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian
negara/daerah dan/atau unsur pidana (indikasi tindak pidana
korupsi).
b) Namun, apabila Inspektorat melaksanakan audit kerugian
keuangan negara yang kemudian dalam pelaksanaannya tidak
67
bertindak untuk dan atas nama BPK, maka Inspektorat tidak
berwenang melakukan audit investigatif, karena dalam PP SPIP
tidak diatur secara jelas mengenai lingkup definisi audit
investigatif. Sehingga dalam penafsiran makna audit
investigatif tidak boleh diartikan lain dan mau tidak mau
apabila ingin melakukan audit investigatif, maka Inspektorat
harus mengacu pada ketentuan Pasal 1 angka 3 jo. Pasal 13 UU
PPTJKN tersebut.
Dari sumber kewenangan yang dimiliki oleh Inspektorat
tersebut, dapat diketahui bahwa Inspektorat berkedudukan di
bawah cabang kekuasaan eksekutif (Presiden) yang kedudukan
tersebut sama dengan kedudukan BPKP. Dengan demikian, apabila
dibandingkan dengan BPK yang disebut sebagai pengawas
eksternal (external auditor) yang merupakan lembaga pengawas
tertinggi yang independen dalam bidang pemeriksaan pengelolaan
dan tanggung jawab keuangan negara, maka Inspektorat termasuk
dalam lembaga pengawas internal (internal auditor) yang dianggap
tidak independen (sama dengan BPKP), karena yang diawasinya
berada dalam satu lingkup cabang kekuasaan yang sama dengan
Inspektorat sendiri, yakni sama-sama dalam lingkup kekuasaan
eksekutif.
Apabila dikaitkan dengan teori kewenangan, maka sumber
kewenangan yang dimiliki oleh Inspektorat merupakan
kewenangan delegasi, karena wewenang Inspektorat diperoleh
berdasar pelimpahan wewenang dari Pemerintah (Presiden) kepada
APIP (lembaga struktural), barulah kemudian wewenang APIP
tersebut dilaksanaan oleh Inspektorat (lembaga fungsional).
Dengan demikian, berdasarkan uraian ketiga lembaga atau organ
negara di atas, maka dapat diketahui bahwa semuanya sama-sama
memiliki wewenang untuk melakukan penilaian kerugian keuangan
68
negara dalam tindak pidana korupsi terkait dengan cara melakukan
pemeriksaan (audit) investigatif.
Namun, jika ketiga lembaga tersebut sama-sama berwenang
menilai kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi,
maka akan menimbulkan konflik kewenangan tentang lembaga
mana yang lebih berwenang untuk menilai kerugian keuangan
negara dalam tindak pidana korupsi. Untuk mengetahui siapa yang
lebih berwenang mengenai penilaian kerugian keuangan negara,
maka dapat ditinjau dari sumber kewenangan yang dimiliki
masing-masing lembaga di atas. Jika ditinjau dari aspek sumber
kewenangannya, maka BPK yang lebih berwenang untuk menilai
kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi
dibandingkan dengan lembaga BPKP dan Inspektorat. Hal tersebut
dikarenakan sumber kewenangan BPK diperoleh berdasarkan
kewenangan atribusi, sedangkan sumber kewenangan BPKP dan
Inspektorat diperoleh berdasarkan kewenangan delegasi.
Progresif adalah kata yang berasal dari bahasa asing (Inggris) yang asal
katanya adalah progress yang artinya maju. Progressive adalah kata sifat, jadi
sesuatu yang bersifat maju. Hukum Progresif berarti hukum yang bersifat maju.
Pengertian progresif secara harfiah ialah, favouring new, modern ideas,
happening or developing steadily82 (menyokong ke arah yang baru, gagasan
82
Oxford Learner's Pocket Dictionary (New Edition) (Edisi ketiga; Oxford: Oxford University
Press), hlm. 342, dalam Reza Rahmat Yamani, Pemikiran Prof Satjipto Rahardjo Tentang
Hukum Progresif Dan Relevansinya Dengan Hukum Islam Di Indonesia, Skripsi, UIN Alauddin
69
modern, peristiwa atau perkembangan yang mantap), atau berhasrat maju, selalu
(lebih) maju, meningkat.83 Istilah hukum progresif di sini adalah istilah hukum
yang diperkenalkan oleh Satjipto Rahardjo, yang dilandasi asumsi dasar bahwa
hukum adalah untuk manusia. Satjipto Rahardjo merasa prihatin dengan
rendahnya kontribusi ilmu hukum dalam mencerahkan bangsa Indonesia, dalam
mengatasi krisis, termasuk krisis dalam bidang hukum itu sendiri. Untuk itu beliau
melontarkan suatu pemecahan masalah dengan gagasan tentang hukum progresif.
Adapun pengertian hukum progresif itu sendiri adalah mengubah secara
cepat, melakukan pembalikan yang mendasar dalam teori dan praksis hukum,
serta melakukan berbagai terobosan. Pembebasan tersebut didasarkan pada prinsip
bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya dan hukum itu tidak
ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas yaitu untuk
harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia.84
Pengertian sebagaimana dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo tersebut berarti
hukum progresif adalah serangkaian tindakan yang radikal, dengan mengubah
sistem hukum (termasuk merubah peraturan-peraturan hukum bila perlu) agar
hukum lebih berguna, terutama dalam mengangkat harga diri serta menjamin
kebahagiaan dan kesejahteraan manusia.
Secara lebih sederhana beliau mengatakan bahwa hukum progresif adalah
hukum yang melakukan pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak
dalam hukum, sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk
menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan. Jadi tidak
ada rekayasan atau keberpihakan dalam menegakkan hukum. Sebab menurutnya,
hukum bertujuan untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi semua
rakyat.85
Satjipto Rahardjo mencoba menyoroti kondisi di atas ke dalam situasi
ilmu-ilmu sosial, termasuk ilmu hukum, meski tidak sedramatis dalam ilmu fisika,
70
tetapi pada dasarnya terjadi perubahan yang fenomenal mengenai hukum yang
dirumuskannya dengan kalimat dari yang sederhana menjadi rumit dan dari yang
terkotak-kotak menjadi satu kesatuan. Inilah yang disebutnya sebagai pandangan
holistik dalam ilmu (hukum). Pandangan holistik tersebut memberikan kesadaran
visioner bahwa sesuatu dalam tatanan tertentu memiliki bagian yang saling
berkaitan baik dengan bagian lainnya atau dengan keseluruhannya. Misalnya saja
untuk memahami manusia secara utuh tidak cukup hanya memahami, mata,
telinga, tangan, kaki atau otak saja, tetapi harus dipahami secara menyeluruh.86
Menurut Satjipto tumbangnya era Newton mengisyaratkan suatu
perubahan penting dalam metodologi ilmu dan sebaiknya hukum juga
memperhatikannya dengan cermat. Karena adanya kesamaan antara metode
Newton yang linier, matematis dan deterministic dengan metode hukum yang
analytical-positivism atau rechtdogmatiek yaitu bahwa alam (dalam terminology
Newton) atau hukum dalam terminologi positivistic (Kelsen dan Austin) dilihat
sebagai suatu sistem yang tersusun logis, teratur dan tanpa cacat. 87 Analogi terkait
ilmu fisika dengan teori Newton saja dapat berubah begitu pula dengan ilmu
hukum yang menganut paham positivisme.88 Sebuah teori terbentuk dari
komunitas itu memandang apa yang disebut hukum, artinya lingkungan yang
berubah dan berkembang pastilah akan perlahan merubah sistem hukum
tersebut.89
86
Ibid., hlm. 18.
87
Analytical-positivism atau rechtdogmatiek adalah suatu paham dalam ilmu hukum yang
dilandasi oleh gerakan positivisme. Gerakan ini muncul pada abad ke sembilan belas sebagai
counter atas pandangan hukum alam. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bhakti,
Bandung, 2006, hlm. 260.
88
Positivisme adalah salah satu aliran dalam filsafat (teori) hukum yang beranggapan, bahwa teori
hukum itu hanya bersangkutpaut dengan hukum positif saja. Ilmu hukum tidak membahas
apakah hukum positif itu baik atau buruk, dan tidak pula membahas soal efektivitasnya hukum
dalam masyarakat. Lihat Achmad Roestandi, Responsi Filsafat Hukum, Armico, Bandung, 1992,
hlm. 80, dalam Reza Rahmat Yamani, Op.Cit., hlm. 18.
89
Satjipto Rahardjo beranggapan bahwa teori bukan sesuatu yang telah jadi, tetapi sebaliknya
akan semakin kuat mendapat tantangan dari berbagai perubahan yang terus berlangsung, dan
kemudian selanjutnya akan lahir teori-teori baru sebagai wujud dari perubahan yang terus
berlangsung tersebut. Lihat Turiman, Memahami Hukum Progresif Prof. Satjipto Rahardjo
Dalam Paradigma “Thawaf” (Sebuah Komtemplasi Bagaimana Mewujudkan Teori Hukum Yang
Membumi/Grounded Theory Meng-Indonesia). Makalah pada Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro.
71
Hukum progresif bermakna hukum yang peduli terhadap kemanusiaan
sehingga bukan sebatas dogmatis belaka. Secara spesifik hukum progresif antara
lain bisa disebut sebagai hukum yang pro rakyat dan hukum yang berkeadilan.
Konsep hukum progresif adalah hukum tidak ada untuk kepentingannya sendiri,
melainkan untuk suatu tujuan yang berada di luar dirinya. 90 Oleh karena itu,
hukum progresif meninggalkan tradisi analytical jurisprudence atau
rechtsdogmatiek.
Aliran-aliran tersebut hanya melihat ke dalam hukum dan membicarakan
serta melakukan analisis ke dalam, khususnya hukum sebagai suatu bangunan
peraturan yang dinilai sebagai sistematis dan logis. Hukum progresif bersifat
responsif yang mana dalam responsif ini hukum akan selalu dikaitkan pada
tujuan-tujuan di luar narasi tekstual hukum itu sendiri.91
Kehadiran hukum dikaitkan pada tujuan sosialnya, maka hukum progresif
juga dekat dengan sociological jurisprudence dari Roscoe Pound.92 Hukum
progresif juga mengundang kritik terhadap sistem hukum yang liberal, karena
hukum Indonesia pun turut mewarisi sistem tersebut. Satu moment perubahan
yang monumental terjadi pada saat hukum pra modern menjadi modern. Disebut
demikian karena hukum modern bergeser dari tempatnya sebagai institusi pencari
keadilan menjadi institusi publik yang birokratis. Hukum yang mengikuti
kehadiran hukum modern harus menjalani suatu perombakan total untuk disusun
kembali menjadi institusi yang rasional dan birokratis. Akibatnya hanya peraturan
yang dibuat oleh legislatiflah yang sah yang disebut sebagai hukum.93
Progresifisme hukum mengajarkan bahwa hukum bukan raja, tetapi alat
untuk menjabarkan dasar kemanusiaan yang berfungsi memberikan rahmat
90
Karakter progresif dicirikan oleh kecenderungan pada nalar kritis dan keberpihakan pada
keadilan dan kemanusiaan.
91
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum; Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan, Muhammadiyah
Press University, Surakarta , 2004, hlm. 19
92
Teori yang sering dikemukakannya adalah law as a tool of sosial engineering. Menurutnya
tujuan dari sosial engineering adalah untuk membangun suatu struktur masyarakat sedemikian
rupa sehingga secara maksimum dicapai kepuasan akan kebutuhan dengan seminimum mungkin
terjadi benturan dan pemborosan. Lihat Novita Dewi Masyitoh, Mengkritisi Analytical
Jurisprudence Versus Sosiological Jurisprudence Dalam Perkembangan Hukum Indonesia,
dalam Al-Ahkam, XX, Edisi II Oktober 2009, h. 19.
93
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum; Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan, Muhammadiyah
Press University, Surakarta, 2004, hlm. 20.
72
kepada dunia dan manusia. Asumsi yang mendasari progresifisme hukum adalah
pertama hukum ada untuk manusia dan tidak untuk dirinya sendiri, kedua hukum
selalu berada pada status law in the making dan tidak bersifat final, ketiga hukum
adalah institusi yang bermoral kemanusiaan.
Berdasar asumsi-asumsi di atas maka kriteria hukum progresif adalah :94
a. Mempunyai tujuan besar berupa kesejahteraan dan kebahagiaan manusia.
b. Memuat kandungan moral kemanusiaan yang sangat kuat.
c. Hukum progresif adalah hukum yang membebaskan meliputi dimensi yang
amat luas yang tidak hanya bergerak pada ranah praktik melainkan juga teori.
d. Bersifat kritis dan fungsional.
Adalah Satjipto Rahardjo, atau Prof. Tjip yaitu seseorang yang dijuluki
Begawan sosiologi hukum Indonesia yang pertama kali mencetuskan gagasan
hukum progresif.95 Gagasan ini kemudian mencuat kepermukaan dan menjadi
kajian yang sangat menarik ditelaah lebih lanjut. Apa yang digagas oleh Prof. Tjip
ini menawarkan perspektif, spirit, dan cara baru mengatasi kelumpuhan hukum di
Indonesia. Hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu
menjawab perubahan zaman dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu
melayani kepentingan masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas
dari sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri.96
Dilihat dari kemunculannya, hukum progresif bukanlah sesuatu yang
kebetulan, bukan sesuatu yang lahir tanpa sebab, dan juga bukan sesuatu yang
jatuh dari langit. Hukum progresif adalah bagian dari proses pencarian kebenaran
yang tidak pernah berhenti. Hukum progresif-yang dapat dipandang sebagai yang
sedang mencari jati diri bertolak dari realitas empirik tentang bekerjanya hukum
di masyarakat, berupa ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dan
kualitas penegakan hukum dalam setting Indonesia akhir abad ke-20. Dalam
proses pencariannya itu, Prof. Tjip kemudian berkesimpulan bahwa salah satu
94
Ibid.
95
Gagasan dimaksud pertama kali dilontarkan pada tahun 2002 lewat sebuah artikel yang ditulis
di Harian Kompas dengan judul “Indonesia Butuhkan Penegakan Hukum Progresif”, Kompas,
15 juni 2002.
96
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2006, hlm. ix.
73
penyebab menurunnya kinerja dan kualitas penegak hukum di Indonesia adalah
dominasi paradigma positivisme dengan sifat formalitasnya yang melekat.97
Dalam pandangan hukum progresif hal inilah yang disebut kebijakan yang
tidak memberikan kemanfaatan sosial bagi masyarakat, dan seakan-akan ilmu
ekonomi hanya tombol kematian bagi kepentingan masyarakat secara umum.
Karena pilihan mainstream ekonomi Indonesia yang cenderung postivistik
terhadap kepentingan neo liberalisme belaka.98 Sehingga tak heran agenda untuk
menjalankan sistem ekonomi seperti ini, yang pertama adalah melakukan
globalisasi hukum yang disesuaikan dengan kepentingan pragmatis yaitu
akumulasi modal. Artinya mekanisme hukum yang diciptakan bertitik sentral pada
mazhab sistem pembangunan ekonomi neo liberalisme sampai masuk ke dalam
ranah positivisme hukum.
Paradigma hukum progresif sangat menolak meanstream seperti ini yang
berpusat pada aturan/mekanisme hukum positivistik, dan hukum progresif
membalik paham ini. Kejujuran dan ketulusan menjadi mahkota penegakan
hukum. Empati, kepedulian, dan dedikasi menghadirkan keadilan, menjadi roh
penyelenggara hukum. Kepentingan manusia (kesejahteraan dan kebahagiannya)
menjadi titik orientasi dan tujuan akhir dari hukum. Para penegak hukum menjadi
unjung tombak perubahan.99
Dalam logika inilah revitalisasi hukum dilakukan. Perubahan tak lagi pada
peraturan, tetapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasi hukum dalam
ruang dan waktu yang tepat. Aksi perubahan pun bisa segera dilakukan tanpa
harus menunggu perubahan peraturan, karena pelaku hukum progresif dapat
melakukan pemaknaan yang progresif terhadap peraturan yang ada. Menghadapi
97
Ibid., hlm. 10-11, Lihat juga Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi lain dari Hukum di Indonesia, Kompas,
Jakarta, 2003, hlm. 22-25.
98
Apa yang menjadi pendirian neo-liberalisme dicirikan sebagai berikut: kebijakan pasar bebas
yang mendorong perusahaan-perusahaan swasta dan pilihan konsumen, penghargaan atas
tanggung jawab personal dan inisiatif kewiraswastaan, serta menyingkirkan birokrasi dan parasit
pemerintah. Aturan dasar kaum neo-liberalis adalah, liberalisasikan perdagangan dan finansial,
biarkan pasar menentukan harga, akhiri inflasi, stabilitas ekonomi-makro dan privatisasi
kebijakan pemerintah haruslah menyingkirkan dari penghalang jalan. Paham inilah yang saat ini
oleh para aktor globalisasi dipaksakan untuk diterima semua bangsa-bangsa di seluruh dunia,
khususnya juga terjadi di Indonesia.
99
Sudjiono Sastroatmojo, Konfigurasi Hukum Progresif, Artikel dalam Jurnal Ilmu Hukum, Vol.8
No 2 September 2005, hlm. 186.
74
suatu aturan, meskipun aturan itu tidak aspiratif misalnya, aparat penegak hukum
yang progresif tidak harus menepis keberadaan aturan itu. Ia setiap kali bisa
melakukan interpretasi100 secara baru terhadap aturan tersebut untuk memberi
keadilan dan kebahagiaan pada pencari keadilan.101
Berdasarkan uraian diatas, hukum progresif sebagaimana hukum yang lain
seperti positivisme, realisme, dan hukum murni, memiliki karakteristik yang
membedakannya dengan yang lain, sebagaimana akan diuraikan dibawah ini :102
a. Pertama, paradigma dalam hukum progresif adalah, bahwa hukum adalah
suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang
adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia. Artinya paradigma hukum
progresif mengatakan bahwa hukum adalah untuk manusia. Pegangan, optik
atau keyakinan dasar ini tidak melihat hukum sebagai sesuatu yang sentral
dalam berhukum, melainkan manusialah yang berada di titik pusat perputaran
hukum. Hukum itu berputar di sekitar manusia sebagai pusatnya. Hukum ada
untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Apabila kita berpegangan pada
keyakinan bahwa manusia itu adalah untuk hukum, maka manusia itu akan
selalu diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk ke dalam
skema-skema yang telah dibuat oleh hukum. 103 Sama halnya, ketika situasi
tersebut di analogikan kepada undang-undang penanaman modal yang saat ini
cenderung hanya mengedepankan kepentingan investasi belaka, tanpa melihat
aspek keadilan dan keseimbangan sosial masyarakat. Sewajarnya bahwa
undang-undang penanaman modal sebagai regulasi yang pada kaitannya juga
dengan pembangunan ekonomi di Indonesia diciptakan untuk pemenuhan hak
dasar masyarakat. Bukan dengan tujuan sebaliknya, masyarakat menjadi
victim akibat dari aturan tersebut.
75
c. Terakhir adalah hukum progresif memberikan perhatian besar terhadap
peranan perilaku manusia dalam hukum. Ini bertentangan dengan diametral
dengan paham, bahwa hukum itu hanya urusan peraturan. Peranan manusia
disini merupakan konsekuensi terhadap pengakuan, bahwa sebaiknya kita
tidak berpegangan secara mutlak kepada teks formal suatu peraturan.
Diatas telah dijelaskan betapa besar risiko dan akibat yang akan dihadapi
apabila kita menyerah bulat-bulat kepada peraturan. Cara berhukum yang penting
untuk mengatasi kemandegan atau stagnasi adalah dengan membebaskan diri dari
dominasi yang membuta kepada teks undang-undang. Cara seperti ini bisa
dilakukan, apabila kita melibatkan unsur manusia atau perbuatan manusia dalam
berhukum, karena pada dasarnya the live of law has not been logis, but
experience.104
104
Penjelasan bahwa hukum itu adalah prilaku, bukan aturan, lihat Satjipto Rahardjo, Hukum Itu
Perilaku Kita Sendiri, artikel pada Harian Kompas, 23 September 2002. Lihat juga Satjipto
Rahardjo dalam Hukum dan Perilaku Hidup Baik adalah Dasar Hukum yang Baik, Penerbit
Buku Kompas, Jakarta, 2009.
76
Tabel Penetlitian yang Relevan
78
Malang, positif di Indonesia, Korporasi.
2011105 karena KUHP
sebagai payung Persamaan dan
hukum pidana Perbedaan :
posotif yang berlaku a. Persamaan :
saat ini belum Pembahasan
mengatur mengenai
pertanggungjawaban Pertanggung
pidana korporasi. jawaban
Pidana
Korporasi
Kedua, dalam
perundang-undangan b. Perbedaan :
pidana di luar Pada
KUHP, pidana denda disertasi ini
merupakan satu- membahas
satunya jenis pidana mengenai
pokok yang Keberadaan
dianggap cocok dan
untuk korporasi. kapasitas
korporasi
Ketiga, KUHP di sebagai
masa datang sebagai subjek
payung hukum hukum
pidana positif di artifisial
Indonesia sudah yang
saatnya mengatur bergerak di
pertanggungjawaban bidang
pidana korporasi ekonomi dan
sebagai subjek kesejahteraa
hukum artifisial n
sebagai refleksi masyarakat
tanggung jawab menuntut
negara untuk adanya
melindungi rakyat perubahan
yang dapat menjadi paradigma
korban akibat penggunaan
aktivitas korporasi hukum
yang bersifat sebagai
merugikan, merusak, kaidah
dan membahayakan mengatur
kepentingan publik. dan
105
Disertasi Hamzah Hatrik: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Sebagai Subjek Hukum
Artifisial, tersedia di https://prasetya.ub.ac.id/berita/Disertasi-Hamzah-Hatrik-
Pertanggungjawaban-Pidana-Korporasi-Sebagai-Subjek-Hukum-Artifisial-7060-id.html,
diakses pada 15 Februari 2019.
79
memaksa
korporasi
mematuhi
dan
menghormat
i
kepentingan
publik. Hal
itu
disebabkan
kapasitas
korporasi
sebagai
subjek
hukum
berorientasi
profit
memunculka
n beragam
dampak
merugikan,
merusak,
dan
membahaya
kan
kepentingan
publik. Oleh
karena itu
perlu
disikapi
secara
rasional
dengan
mendayagun
akan hukum
pidana
sebagai
sarana
hukum
untuk
memaksa
tanggung
jawab sosial
korporasi
menjaga
keseimbang
80
an dalam
menjalankan
usahanya.
Pada
disertasi
yang Penulis
bahas
mengenai
Pertanggung
jawaban
Pidana
Korporasi
BUMN
dalam
Tindak
Pidana
Korupsi.
81
korporasi". Kebijakan
Sementara Malaysia formulasi
dan Philipina tentang
tampak lebih konsep
konsisten dengan korporasi
batasan organ dari sebagai
suatu korporasi subyek
sebagaimana konsep hukum
pemikiran teori pidana
organ. dalam
Sebagai konsekuensi Undang-
belum diaturnya Undang
kriteria, UUPK juga Perlindunga
belum mengatur n Konsumen
sistem (UUPK)
pertanggungjawaban merupakan
pidana korporasi. konsep yang
Sistem UUPK kabur.
Malaysia dan Subyek
Philipina hukum
menurutnya dapat pidana,
dipahami dari teori selain orang
identifikasi dimana perseoranga
perbuatan dan sikap n adalah
batin senior officer badan usaha,
dalam struktur termasuk
korporasi didalamnya
diidentifikasi adalah
sebagai perbuatan korporasi,
dan sikap batin meskipun
korporasi. belum
Sedangkan di ditentukan
Canada, Finlandia secara
dan Afghanishtan eksplisit.
dapat dipahami dari Kebijakan
delegation theory, penentuan
karena memasukkan konsep
wakil atau korporasi
perwakilan yang sebagai
bukan senior officer subyek
atau organ dari suatu tindak
korporasi ke dalam pidana
pengertian orang- seperti ini
orang yang berbuat dapat
untuk dan atas nama berpengaruh
korporasi. terhadap
82
kebijakan
aplikasi. Hal
ini berbeda
Terkait jenis sanksi, dengan
menurut Penulis Undang-
pola perumusan Undang
yang ditempuh Perlindunga
UUPK adalah n Konsumen
alternatif antara (UUPK) di
pidana penjara dan Malaysia,
pidana denda. Pola Philipina,
ini bila diterapkan Canada dan
terhadap korporasi Finlandia
yang melakukan yang telah
tindak pidana, pada menentukan
hakikatnya secara
merupakan pola eksplisit
perumusan tunggal dalam
karena korporasi Undang-
tidak dapat dijatuhi Undangnya.
pidana penjara. Hal
ini berarti bahwa Pada
jenis sanksi yang disertasi
dapat dijatuhkan yang Penulis
hanyalah pidana bahas
denda, yang terkesan mengenai
merupakan jenis Pertanggung
pidana tunggal, yang jawaban
kaku, absolute dan Pidana
imperative. Untuk Korporasi
mengatasi hal ini, BUMN
Penulis mengambil dalam
contoh Afghanishtan Tindak
yang mengatur jenis Pidana
sanksi pidana Korupsi.
tambahan berupa
perampasan dan
publikasi putusan
pengadilan sebagai
sanksi pidana
tambahan, serta
penghentian
aktivitas dan
pembubaran
korporasi sebagai
sanksi tindakan.
83
4. Herlambang Perumusan Berdasarkan hasil Teori yang
DISERTASI Tindak Pidana penelitian terhadap digunakan :
Universitas Penerima Hasil Konvensi Teori sifat
Brawijaya, Korupsi dalam Internasional, melawan
Malang, Perspektif peraturan hukum,
2011107 Kebijakan perundang-undangan pertanggungja
Pemberantasan negara lain, waban, dan
Korupsi di Peraturan sanksi pidana..
Indonesia perundang-undangan
Indonesia, hukum Persamaan dan
adat, maka bentuk Perbedaan :
sanksi yang sesuai a. Persamaan :
dengan tindak Pembahasan
pidana Penerima mengenai
Hasil Korupsi adalah Korupsi
pidana pokok
berupa pidana b. Perbedaan :
penjara seumur Pada
hidup, pidana disertasi ini
penjara, pidana membahas
pengawasan, dan mengenai
pidana denda. sanksi
pidana yang
Selain pidana pokok sesuai bagi
ada pidana tambahan tindak
berupa pencabutan pidana
hak tertentu, korupsi
perampasan barang berkaitan
tertentu dan atau dengan berat
tagihan, ringannya
pengumuman pidana
putusan hakim, dan penerima
pembayaran ganti hasil korupsi
kerugian dan atau dan tujuan
pelaksanaan pemidanaan
kewajiban adat. bagi
Terakhir, ada penerima
tindakan khusus bagi hasil korupsi
korporasi berupa serta
teguran atau pedoman
diperintahkan untuk pemidanaan
membuat pernyataan penerima
107
Disertasi-Herlambang-Tindak-Pidana-untuk-Penerima-Hasil-Korupsi, tersedia di
https://prasetya.ub.ac.id/berita/Disertasi-Herlambang-Tindak-Pidana-untuk-Penerima-Hasil-
Korupsi-5467-id.html, diakses pada 15 Februari 2019.
84
pertobatan atau manfaat
resmi permintaan hasil
maaf, sanksi korupsi.
administratif oleh
departemen yang
kompeten berupa Pada
penutupan disertasi
seluruhnya atau yang Penulis
sebagian aktifitas bahas
korporasi, mengenai
penempatan Pertanggung
korporasi, di bawah jawaban
pengampunan, dan Pidana
perbaikan akibat Korporasi
tindak pidana. BUMN
dalam
Tindak
Pidana
Korupsi.
85
mereka, serta berupa
pengaruh karib teknis
dianutnya asas ini hukum acara
bersifat delinquere pidana
no potest (pasal 59 dalam hal
KUHP) yang memproses
menetapkan hanya korporasi
manusia/ orang yang sebagai
dapat bertanggung pelaku
jawab dan dijatuhi tindak
pidana. pidana.
Pada
disertasi
yang Penulis
bahas
mengenai
Pertanggung
jawaban
Pidana
Korporasi
BUMN
dalam
Tindak
Pidana
Korupsi.
86
kepada subjek Korporasi
hukum kolektif
terlepas apakah b. Perbedaan :
memiliki Pada
personalitas hukum disertasi ini
mandiri ataukah membahas
tidak memiliki status mengenai
sebagai subjek bagaima
hukum adalah hukum
‘organisasi’. Selain pidana di
itu, Nani Indonesia
menyarankan agar dan negara
posisi korporasi lain
publik ditegaskan memaknai
dalam Kitab dan
Undang-Undang menerapkan
Hukum Pidana konsep
(KUHP). korporasi
sebagai
subjek
hukum
bukan
manusia dan
entitas apa
sajakah yang
termasuk ke
dalam
pengertian
korporasi,
dan
implementas
i
pertanggung
jawaban
pidana
korporasi
dalam
putusan
pengadilan
dan
peraturan
perundang-
undangan.
Pada
disertasi
87
yang Penulis
bahas
mengenai
Pertanggung
jawaban
Pidana
Korporasi
BUMN
dalam
Tindak
Pidana
Korupsi.
88
untuk badan hukum didiskusikan
beban pada
tanggungjawabnya kerangka
berada pada badan yang sama
hukum itu sendiri dari
(recthspersoon / pertanggung
legal entity), jawaban
sedangkan untuk pidana
badan yang bukan korporasi.
hukum beban (non
rechtspersonn / non Pada
legal entity) disertasi
tanggungjawabnya yang Penulis
berada pada para bahas
sekutu atau pesero mengenai
atau pengurusya Pertanggung
secara pribadi yang jawaban
nota bene adalah Pidana
manusia (natuurlijke Korporasi
person); BUMN
dalam
Keempat, adanya Tindak
prinsip-prinsip Pidana
hukum yang Korupsi.
melatarbelakangi
terbentuknya
karakteristik dari
masing-masing
badan hukum dan
“badan” yang bukan
badan hukum
tersebut. Prinsip-
prinsip hukum
dimaksud terutama
yang berasal dari
lingkup hukum
perdata yang
memang sejak awal
telah membentuk
karakter dari
masing-masing
badan itu.
89
the law) dalam
mempertanggungjaw
abkan secara pidana
terhadap korporasi,
dimana korporasi
diartikan secara luas
sebagai kumpulan
orang dan atau
kekayaan yang
terorganisasi baik
merupakan badan
hukum maupun
bukan badan hukum
sebagaimana yang
telah diatur dalam
berbagai undang-
undang yang selama
ini menentukan
perlakuan terhadap
keduanya secara
sama, sebagai hasil
telah dilanggarnya
prinsip-prinsip
hukum terutama
yang berasal dari
lingkup hukum
perdata (menyangkut
keberadaan “badan”
yang bukan badan
hukum) yang
memang telah diatur
sejak awal sehingga
membentuk suatu
karakteristik
tersendiri bagi
masing-masing
badan itu, baik
badan hukum
(rechtspersoon /
legal entity) maupun
“badan” yang bukan
badan hukum (non
rechtspersonn / non
legal entity).
90
DISERTASI Sanksi Pidana pidana tambahan digunakan :
Universitas Tambahan pembayaran uang a. Teori
Udayana, Pembayaran pengganti dalam UU keadilan.
Denpasar, Uang Pengganti Pemberantasan b. Teori
2016 Dalam Undang Tindak Pidana Kebijakan
Undang Tindak Korupsi memiliki Formulasi.
Pidana Korupsi urgensitas sebagai c. Teori
upaya pengembalian Pemidanaan.
kerugian keuangan d. Teori
negara. Rumusan Ganjaran.
norma sanksi pidana e. Teori
tambahan dalam UU Kewenanga
Nomor 31 Tahun n.
1999 bersifat f. Teori
fakultatif sehingga Utilitas.
penerapannya g. Teori
tergantung pada Hukum
diskresi hakim, yang Pembuktian.
berdampak sering
terjadi disparitas Persamaan dan
pemidanaan yang Perbedaan :
menciderai rasa a. Persamaan :
keadilan masyarakat. Pembahasan
Penulis mengenai
mengusulkan agar Korupsi
sanksi pidana
tambahan b. Perbedaan :
pembayaran uang Pada
pengganti ditetapkan disertasi ini
sebagai salah satu membahas
jenis pidana pokok mengenai
dengan Reformulasi
formulasi/rumusan Sanksi
norma "wajib" Pidana
diterapkan terhadap Tambahan
pelaku tindak pidana Pembayaran
korupsi sebagai Uang
sarana untuk Pengganti
mengembalikan Dalam
kerugian negara. Undang
Selain itu, Jaksa Undang
wajib menyita harta Tindak
benda terpidana Pidana
ketika terpidana Korupsi.
tidak membayar
uang pengganti. Pada
91
Demikian juga jika disertasi
terpidana tidak yang Penulis
memiliki harta bahas
benda yang cukup mengenai
untuk membayar Pertanggung
uang pengganti, jawaban
maka terpidana Pidana
harus dihukum Korporasi
dengan pidana BUMN
penjara minimal dalam
selama 5 (lima) Tindak
tahun penjara untuk Pidana
memberikan efek Korupsi.
jera.
92
berasal dari tindak Pengganti
pidana korupsi. Pidana Mati
Tindak pidana Pada Tindak
korupsi yang meluas Pidana
dan sistematis juga Korupsi.
merupakan
pelanggaran Pada
terhadap hak-hak disertasi
sosial dan hak-hak yang Penulis
ekonomi bahas
masyarakat, dan mengenai
karena itu semua Pertanggung
maka tindak pidana jawaban
korupsi tidak lagi Pidana
dapat digolongkan Korporasi
sebagai kejahatan BUMN
biasa melainkan dalam
telah menjadi suatu Tindak
kejahatan luar biasa. Pidana
Korupsi.
Hukum di Indonesia
bersumber pada
Pancasila maka
setiap produk
perundang-undangan
tidak mungkin
terlepas dari
sumbernya, yakni
dari mana hukum
dijiwai,
dipersepsikan dan
dalam
penjabarannya atau
diwujudkan dalam
bentuk
manifestasinya harus
selalu bernafaskan
Pancasila. Upaya
yang digunakan
untuk
menanggulangi
tindak pidana
korupsi pada saat ini
dengan politik
kriminal merupakan
segala usaha yang
93
rasional dari
masyarakat untuk
menanggulangi
kejahatan yang
secara garis besar
upaya
penanggulangannya
dapat dilakukan
dengan dua cara
yakni pendekatan
penal dan
pendekatan non
penal.
94
yang disebut dengan Warisnya
Undang-Undang Menurut
Pemberantasan Sistem
Korupsi. Selain itu Hukum
tentu diperlukan Indonesia.
keseriusan Indonesia
menerapkan Pada
UNCAC 2003 yang disertasi
telah di ratifikasi yang Penulis
serta penguatan bahas
koordinasi antar mengenai
lembaga penegak Pertanggung
hukum. Dengan jawaban
demikian perlu Pidana
dirumuskan norma Korporasi
tentang perbuatan BUMN
melawan hukum dalam
yang dapat dijadikan Tindak
dasar untuk Pidana
menggugat ahli Korupsi.
waris pelaku tindak
pidana korupsi.
Untuk itu tanggung
jawab tanpa
kesalahan (strict
liability) dalam
perbuatan melawan
hukum yang
berkaitan dengan
ahli waris pelaku
tindak pidana
korupsi dapat
dijadikan sebagai
pertimbangan dalam
merumuskan hukum
materiilnya.
95