Anda di halaman 1dari 30

1

BENTUK PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK


PIDANA PENCUCIAN UANG

1.1 Latar Belakang

Seiring kemajuan teknologi dan pekembangan zaman korporasi dapat

dijadikan subjek hukum pidana dan pertanggungjawaban korporasi. Tindak

pidana korporasi dalam tindak pidana pencucian uang, diatur dalam UU No 8

Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberatasan Tindak Pidana Pencucian

Uang, pertanggungjawaban korporasi diatur dalam Pasal 6 sampai Pasal 9.

Korporasi beroperasi untuk bertanggung jawab atas tujuan didirikannya

korporasi tersebut.Korporasi merupakan kumpulan orang dan/atau kekayaan

yang terorganisir, baik badan hukum maupun bukan badan hukum.1

Korporasi sebagai subyek tindak pidana, terutama berkembang dengan

adanya kejahatan yang menyangkut korporasi sebagai subyek tindak pidana,

yang disebabkan adanya pengaruh perkembangan perekonomian nasional yang

semakin pesat. Di Indonesia dalam perundang-undangannya baru muncul dan

dikenal badan hukum atau korporasi sebagai subyek hukum tindak pidana pada

tahun 1951, yaitu dalam Undang-Undang Penimbunan Barang–barang dan

mulai dikenal secara luas dalam Undang-Undang Nomor 7 Drt Tahun 1955

Tentang Tindak Pidana Ekonomi. Selanjutnya terdapat dalam Undang- Undang

Nomor 31 Tahun 1999 sebagaiman telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian

Uang, dan Peraturan perundangan lainnya.

1
Dwidja Priyatno, 2018, Bunga Rampai Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Bandung:
Pustaka Reka Cipta, , hlm. 60.
2

Secara singkat, kalimat di atas menjelaskan terdapat pemisahan harta

kekayaan antara korporasi dan pemegang saham, aset perusahaan hanya dapat

digugat oleh kreditor. Sementara personal asset / asset individu para pemegang

saham menjadi tanggung jawab pemiliknya. Dengan demikian, untuk melihat

dan menilai sebuah korporasi, setidaknya dibutuhkan tiga batasan. Pertama,

legal personality. Ada unsur dalam sebuah korporasi yang memiliki otoritas

mengelola aset atau membuat perjanjian. Kedua, limited liability. Harus

dipisahkan antara aset korporasi dan aset individu dalam korporasi tersebut.

Ketiga, delegated management. Terdapat struktur yang diisi oleh masing-

masing.

Berkaitan dengan tujuan penelitian ini, contoh paling relevan adalah

definisi berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana

diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Penberantasan

Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal 1 disebutkan bahwa korporasi adalah

kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan

hukum maupun bukan badan hukum. Kitab Undang-Undang Hukum perdata

(KUHPerdata) membagi subjek hukum menjadi dua yakni manusia pribadi

(natuurlijke persoon) dan badan hukum (rechtpersoon).

Perilaku korporasi akan selalu menjadi tindakan fungsional ketika para

pelaku bertindak dalam konteks rangkaian kerja sama antar manusia, in casu

melalui suatu organisasi tertentu. Tindakan tersebut harus masuk dalam rentang

kekuasaan atau lingkungan kekuasaan (machtssfeer) dan pada lazimnya ia

menerima atau menyetujui tindakan tersebut.2


2
Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana,Komentar atas Pasal-Pasal terpenting dari kitab
Undang-2Undang Hukum Pidana Belanda dan padanannya dalam kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, (Jakarta Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama),. H. 107.
3

Seiring kemajuan teknologi dan pekembangan zaman korporasi dapat

dijadikan subjek hukum pidana dan pertanggungjawaban korporasi ada dalam

hukum positif. Tindak pidana korporasi yang dilakukan dalam tindak pidana

pencucian uang, diatur dalam UU No 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan

Pemberatasan Tindak Pidana Pencucian Uang (selanjutnya disebut UU TPPU),

pertanggungjawaban korporasi cukup jelas dalam UU TPPU tersebut dalam

Pasal 6 sampai Pasal 9, dalam Pasal 9 yang menyebutkan “ Perampasan Harta

Kekayaan Korporasi dan/atau Personil Pengendali Korporasi apabila tidak

membayar pidana pokok yaitu denda dalam melakukan tindak pidana

pencucian uang”. UU TPPU tidak menyebutkan siapa yang mempunyai

wewenang dalam melakukan perampasan terhadap harta kekayaan milik

korporasi dan/personil pengendali korporasi, di dalam yang juga tidak

merupakan subjek hukum pidana berupa korporasi hanya orang perorangan dan

KUHP juga tidak menjelaskan penyidik berwenang untuk merampas.3

Salah satu sasaran pokok kriminalitas money laundering adalah industri

keuangan khususunya perbankan. Industri perbankan merupakan sasaran

empuk serta dijadikan sebagai sumber pendulangan uang kotor dan sebagai

mata rantai nasional dan internasional dalam proses money laundering. Sektor

ini selain sasaran utama juga memang merupakan sarana yang paling

efektif/canggih untuk memudahkan money laundering. Hal itu disebabkan

bank cukup banyak menawarkan jasa-jasa instrumen dalam lalu lintas

keuangan yang dapat menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul suatu

dana. Bahkan lewat sistem perbankan pelaku dalam waktu yang sangat cepat

3
Nurmalawaty, 2006, Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Pencucian (Money
Laundering ) Dan Upaya Pencegahannya. Jurnal Equality Vol 11 hal 12.Utama), 2003, h. 107.
4

dapat memindahkan dana hasil kejahatan melampaui batas yurisdiksi negara,

sehingga pelacakannya akan bertambah sulit apalagi kalau dana tersebut masuk

ke dalam sistem perbankan yang negaranya menerapkan ketentuan rahasia

bank yang sangat ketat.

Dengan banyaknya korporasi yang terjerat kasus pencucian uang jelas

saat ini pekembangan masalah tersebut sudah sedemikian parahnya dan

menjadi kejahatan luar biasa (Extra ordinary crime). Jika pada masa lalu

pencucian uang sering diidentikan dengan pejabat atau pegawai negeri yang

menyalahgunakan keuangan negara, dalam perkembangannya kini korupsi dan

pencucian uang juga telah melibatkan anggota Legislatif, Yudikatif, Bankir,

Konglomerat, dan juga Korporasi.

Dalam perkembangan terbaru, untuk melengkapi kelemahan-kelemahan

sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Undang-Undang Nomor

31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20

tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, telah terbit

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016

tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi.4

Prinsip pertanggungjawaban korporasi pertama kali diatur pada tahun

1951 yaitu dalam Undang-Undang tentang Penimbunan Barang, dan dikenal

secara lebih luas lagi dalam UU No. 71 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana

Ekonomi. Dalam perkembangan terakhir, selain sebagi pelaku, korporasi juga

dapat dituntut pertanggungjawabannya atas suatu tindak pidana, Undang-

undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang menganut

4
Kristian, 2016, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada Tindak Pidana Korupsi,
Jakarta: Sinar Grafika, , hlm. 6.
5

model ini. Perundang-undangan lainnya yang juga menganut model ini

diantaranya UU No.23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, UU No.31

Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.

Kemudian untuk menjangkau dan memberantas kejahatan korporasi terkait

perkembangan tindak pencucian uang beserta kompleksitasnya, dilakukan

perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 dengan dikeluarkannya

UU No. 25 Tahun 2003 kemudian UU No. 8 Tahun 2010 dan mengenai tata

cara penanganan perkara diatur dalam perma No.13 tahun 2016.

Kokosongan norma yang terdapat dalam UU TPPU tersebut dalam masa

yang akan datang dapat kita songsong dan sambut dengan peraturan-peraturan

yang baik. KUHP Nasional dimasa yang akan datang harus dapat

menyesuaikan diri dengan perkembangan baru, yang sampai saat ini masih

menagut subjek hukum pidana berupa perorang/manusia. Peraturan perundang-

undangan yang tentunya berdasarkan UUD NRI 1945 dan didukung oleh

seluruh masyarakat, pemerintah, maka hal ini dapat merupakan salah satu

wujud ketahanan nasional khususnya di bidang kejahatan korporasi di era

globalisasi.

Isu hukum lainnya yang dipakai adanya Pasal 59 dalam buku I KUHP

yang menyatakan “Dalam hal menentukan hukuman karena pelanggaran

terhadap pengurus, anggota salah satu pengurus, atau komisari, mak hukuman

tidak dijatuhkan atas pengurus atau komisaris, jika nyata bahwa pelanggaran

itu telah terjadi di luar tanggungannya” Jadi dalam pasal tersebut tidak

mengancamkan pidana kepada orang yang tidak melakukan tindak pidana.


6

Artinya walaupun dia melakukan itu untuk korporasi atau badan hukum

tersebut, korporasi tidak dapat dikenakan pidana.

Berdasarkan uraian diatas penulis akan melakukan penelitian dengan

judul “Bentuk Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Tindak Pidana

Pencucian Uang ”

1.2 Orisinalitas Penelitian

Sejauh penelusuran peneliti, ada beberapa penelitian yang memiliki

kemiripan dengan judul penelitian ini, sebagaimana berikut :

No Nama Peneliti dan Judul Rumusan Masalah


Tahun Penelitian
1. Rodliyah (2020) Konsep Pertanggung Bagaimana bentuk pertang
jawaban Pidana Korporasi gungjawaban pidana korpo
Fakultas Hukum (Corporate Crime) Dalam rasi pada sistem hukum di
Universitas Mataram Sistem Hukum Pidana Indonesia
Indonesia
2. Lilik Shanty (2017) Aspek Teori Hukum Dalam Bagaimana teori hukum
Kejahatan yang diberikan pada tindak
Fakultas Hukum Korporasi pidana kejahatan korporasi
Universitas Mataram
3. Budi Suharyanto (2017)
Pertanggungjawaban Pidana 1. Bagaimanakah Pertang
Korporasi Berdasarkan gungjawaban Pidana
Pusat Penelitian dan Corporate Culture Model Korporasi Berdasarkan
Pengembangan Hukum Dan Implikasinya Bagi Corporate Culture Model
dan Peradilan MA-RI
Kesejahteraan Masyarakat 2 Bagaimana Implikasinya
Bagi Kesejahteraan
Masyarakat
Sumber : Jurnal Ilmu Hukum

Penelitian Rodliyah (2020) menunjukkan adanya persamaan dengan

peneliti pada tinjauan hukum pertanggungjawaban korporasi dalam sistem

hukum pidana. Perbedaan dalam penelitian menunjukkan tindak pidana

korporasi dalam corporate crime sedangkan peneliti saat ini meneliti adanya

tindak pidana korporasi pada tindak pidana pencucian uang.

Penelitian Budi Suharyanto (2017) menunjukkan adanya persamaan

dengan peneliti pada tinjauan hukum kejahatan korporasi. Perbedaan dalam


7

penelitian menunjukkan tindak pidana korporasi ditinjau dari aspek hukum

sedangkan peneliti saat ini meneliti adanya tindak pidana korporasi pada

tindak pidana pencucian uang.

Penelitian Rodliyah (2020) menunjukkan adanya persamaan dengan

peneliti pada tinjauan hukum pertanggungjawaban korporasi dalam sistem

hukum pidana. Perbedaan dalam penelitian menunjukkan tindak pidana

korporasi dalam corporate culture bagi kesejahteraan masyarakat sedangkan

peneliti saat ini meneliti adanya tindak pidana korporasi pada tindak pidana

pencucian uang dilakukan secara individual.

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis akan mengajukan

beberapa rumusan masalah sebgai berikut :

1. Bagaimanakah bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi

yang melakukan tindak pidana pencucian uang?

2. Apa upaya hukum bagi korporasi yang melakukan Tindak Pidana

Pencucian Uang ?

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap

korporasi yang melakukan tindak pidana pencucian uang.

2. Untuk mengetahui upaya hukum bagi korporasi yang melakukan Tindak

Pidana Pencucian Uang.

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang didapat dari penelitian ini adalah :


8

1. Manfaat Teoritis

Berupa penemuan teori baru bidang hukumnya, khususnya

pengembangan ilmu hukum pidana dan kriminologi, serta diharapkan

dapat menambah referensi bagi penelitian-penelitian dimasa yang akan

datang yang berhubungan dengan kebijakan kriminal dalam

penanggulangan korupsi yang juga banyak terjadi di Indonesia.

2. Secara praktis

Penelitian ini diharapkan hasilnya dapat memberikan rekomendasi yang

bersifat korektif dan evaluatif bagi aparat penegak hukum dalam upaya

penanggulangan korupsi yang terjadi. Disamping itu, hasil penelitian

juga kiranya dapat menjadi masukan bagi Pemerintah untuk menyusun

kebijakan strategis pertanggungjawaban pidana korporasi.

1.6 Tinjauan Pustaka

1.6.1 Korporasi

1. Pengertian Korporasi

Secara etimologis pengertian korporasi yang banyak dipakai orang

pada zaman abad pertengahan atau sesudah itu, “Corporer” sendiri

berasal dari kata “corpus” (Indonesia=badan), yang berarti memberikan

badan atau mebadankan, dengan demikian maka akhirnya “Corporatio”

itu berarti hasil dari pekerjaan membadankan, dengan lain perkataan

badan yang dijadikan orang, badan yangdiperoleh dengan perbuatan


9

manusia sebagai lawan terhadap badan manusia, yang terjadi menurut

alam5.

Korporasi adalah suatu badan hasil ciptaan hukum. Badan yang

diciptakannya itu terdiri dari „corpus‟ yaitu struktur fisiknya dan

kedalamnya hukum memasukkan unsur “animus” yang membuat badan

itu mempunyai kepribadian. Oleh karena badan hukum itu merupakan

ciptaan hukum maka kecuali penciptanya, kematiannya pun juga

ditentukan oleh hukum6.

Korporasi merupakan figur hukum yang eksistensi dan

kewenangannya untuk dapat atau berwenang melakukan perbuatan

hukum diakui oleh hukum perdataArtinya, hukum perdatalah yang

mengakui eksistensi dari korporssi dan memberikannya hidup untuk

dapat berwenang melakukan perbuatan hukum sebagai suatu figur

hukum. Demikian juga halnya dengan “matinya” korporasi. Suatu

korporasi hanya mati secara hukum apabila matinya korporasi itu diakui

oleh hukum"7.

Berdasarkan pengertian di atas, dapat dikatakan korporasi

merupakan suatu badan hukum yang diciptakan dari hukum. Badan ini

dapat dibentuk untuk selama-lamanya ataupun untuk jangka tertentu,

memiliki nama serta identitas yang dapat dituntut di muka pengadilan,

dan berhak mengadakan suatu persetujuan menurut kontrak dan

5
Dwidja Priyanto, 2017, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Kebijakan
Legislasi, Kencana, Depok, hlm. 13
6
Farhah Anaqah Jauharah, 2019, “Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak
Pidana Korupsi”, Skripsi, Sarjana Hukum, Fak. Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, hlm. 26
7
Priyatno Dwidja, 2018, Bunga Rampai Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Bandung:
Pustaka Reka Cipta, , hlm. 89.
10

melaksanakan semua fungsi lainnya yang seorang dapat

melaksanakannya menurut undang-undang suatu negara

2. Subyek Hukum Korporasi

Subyek hukum korporasi di Indonesia sudah mulai dikenal sejak

tahun 1951, yaitu terdapat dalam Undang-Undang Penimbunan Barang.

Mulai dikenal luas dalam Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi

(Pasal 15 ayat (1) UU Drt. Tahun 1955), juga diketemukan dalam Pasal

17 ayat (1) UU No. 11 PNPS Tahun 1963 Tentang Tindak Pidana

Subversi, Pasal 49 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976, pasal 1 ayat

(1) Undang-Undang 31Tahun 1999 sebagaimana diubah Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001, Pasal 1 butir 13 Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1997 Tentang Psikotropika, Pasal 1 butir 19 Undang-Undang Nomor 22

Tahun 1997 Tentang Narkotika, serta dalam Undang-Undang Nomor 25

Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Dengan demikian,

korporasi sebagai subyek hukum pidana di Indonesia hanya ditemui

dalam perundang-undangan khusus diluar KUHP, yang merupakan

pelengkap KUHP, sebab untuk hukum pidana atau KUHP itu sendii

masih menganut subyek hukum pidana secara umum, yaitu manusia

sesuai pasal 59 KUHP 8.

3. Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana

Korporasi diatur atau dijadikan subjek hukum pidana karena

adanya perkembangan masyarakat yang tidak terbendung lagi. Dengan

demikian dirasakan perlu dan mendesak untuk menjadikan korporasi

8
Muladi dan Dwidja Priyatno. 2010. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group., , hlm. 89.
11

sebagai subjek hukum (khususnya hukum pidana) di mana korporasi

bertindak sebagai “wadah” yang membawa hak dan kewajiban84.

Korporasi sebagai subjek hukum pidana mengalami beberapa

perkembangan secara bertahap.

Tahap-tahap perkembangan korporasi sebagai subjek hukum

pidana, sccara garis besar dapat dibagi menjadi 3 (tiga) tahap sebagai

berikut:

1) Tahap Pertama: Hanya Manusia Alamiah Sebagai Subjek Hukum

Pidana

Tahap pertama ditandai dengan usaha-usaha agar sifat delik atai

tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dibatasi pada orang-

perorangan (natuurlijk persoon). Pada tahap ini, apabila suatu

tindak pidana terjadi dalam lingkungan korporasi, maka tindak

pidana tersebut dianggap dilakukan oleh pengurus korporasi, yang

nota bene adalah manusia alamiah.Hal ini dilakukan karena

korporasi membebankan “tugas mengurus” (zorgplicht) kepada

pengurusnya.9

2) Tahap Kedua: Badan Usaha (Korporasi) Dinilai Dapat Melakukan

Tindak Pidana Tetapi Pertanggungjawabannya Dilimpahkan

Kepada Pengurus-pengurusnya.

Pada tahap kedua, korporasi diakui dapat melakukan tindak pidana,

akan tetapi yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatan

tersebut secara pidana adalah para pengurusnya Yang secara nyata

memimpin korporasi yang bersangkutan


9
Moeljatno, 2008, Asas-asas hukum pidana. Jakarta: Rineka Cipta, hlm.16
12

Pasal 4 ayat (1): “Bilamana sesuatu perbuatan yang dapat dihukum

menurut undang-undang ini dilakukan oleh atau atas kekuasaan

suatu badan hukum, maka penuntutan dapat dilakukan dan

hukuman dapat dijatuhkan kepada pengurus atau kepada wakilnya

setempat”.

Pasal 4 ayat (2): “Ketentuan pada ayat (1) di muka, berlaku

juga terhadap badan-badan hukum, yang bertindak selaku pengurus

atau wakil dari suatu badan hukum lain”.

3) Tahap Ketiga: Korporasi Dinilai Dapat Melakukan Tindak Pidana

dan Mempertanggungjawabkannya Secara Pidana.

Tahap ini merupakan permulaan adanya pertanggungjawaban

pidana langsung dari korporasi yang dimulai sesudah Perang Dunia

Kedua. Pada tahap ini, dibuka kemungkinan untuk menuntut

korporasi dan meminta pertanggungjawabannya menurut hukum

pidana.

Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1955

tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi

yang telah dikenal dengan nama Undang-Undang tentang Tindak Pidana

Ekonomi tepatnya pada Pasal 15, Pasal 38 ayat (1) huruf f Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos, Pasal 20

ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi


13

dan Pasal 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010

tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

4. Pertanggungjawaban Korporasi

Korporasi hanya bertanggungjawab jika orang diidentifikasi

dengan korporasi, bertindak dalam ruang lingkup jabatan, korporasi tidak

akan bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh orang

tersebut dalam lingkup pribadinya.10

Terdapat dua ajaran pokok yang menjadikan landasan pembenaran

untuk dibedakannya pertanggungjawaban pidana kepada korporasi.

Adapun ajaran tersebut sebagai berikut:

a. Doktrin Pertanggungjawaban Pengganti (Vicarious-Liability)

Sistem pertanggungjawaban pidana pengganti dapat diartikan

pertanggung jawaban seorang tanpa kesalahan pribadi atau

pertanggung jawaban atas tindakan orang lain.

b. Doktrin Pertanggungjawaban yang Ketat Menurut Undang-Undang

(Strict Liability)

Prinsip tanggungjawab berdasarkan kepada adanya unsur kesalahan

(liability on fault or negli-gence atau liabiliti) merupakan reaksi

terhadap prinsip atau teori tanggung jawab mutlah yang berlaku

pada zamanmasyarakat primitif, dengan kata lain seorang

bertanggungjawab atas setiap kerugian bagi orang lain sebagai

akibat perbuatannya.

1.6.2 Pertanggungjawaban Hukum

10
Dwidja Priyatno. 2014. Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi Di Indonesia. Bandung : CV Utomo., hlm.16
14

1. Pengertian Pertanggungjawaban Hukum

Pertanggungjawaban berasal dari kata tanggung jawab. Menurut

kamus besar Bahasa Indonesia, Pengertian tanggungjawab adalah

keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa

boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya) Hak fungsi

menerima pembebanan sebagai akibat sikap pihak sendiri atau pihak lain.

Sedangkan pertanggungjawaban adalah perbuatan (hal dan sebagainya)

bertanggungjawab sesuatu yang di pertanggungjawabkan.

Ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam

kamus hukum, yaitu liability (The state of being liable) dan responsibility

(the state or fact being responsible). Liability merupakan istilah hukum

yang luas (a board legal term) yang menunjuk hampir semua karakter

resiko atau tanggungjawab, yang pasti, yang bergantung atau mungkin

meliputi semua karakter hak dan kewajiban secara aktual atau potensial

seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya atau kondisi yang

menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-undang. Sedangkan

responsibility berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu

kewajiban, dan termasuk putusan, keterampilan, kemampuan dan

kecakapan meliputi juga kewajiban bertanggungjawab atas undang-

undang yang dilaksanakan.11

Tangungjawab (responsibility) merupakan suatu refleksi tingkah

laku manusia, penampilan tingka laku manusia terkait denagn kontrol

jiwanya, merupakan bagian dari bentuk pertimbangan intelektualnya atau

11
Sonny Tobelo, Artikel Teori Pertanggungjawaban Hukum, http://
sonnytobelo.blogspot.com/2010/12/teori -pertanggungjawaban.html.
15

mentalnya. Bilamana suatu keputusan telah diambil atau ditolak,suda

merupakan bagian dari tanggungjawab dan akibat pilihannya. Tidak ada

alasan lain mengapa hal itu dilakukan atau ditinggalkan. Keputusan

tersebut dianggap telah dipimpin oleh kesadaran intelektualnya.

Tanggungjawab dalam arti hukum adalah tanggungjawab yang benar-

benar terkait dengan hak dan kewajiban buka dalam arti tanggungjawab

yang dikaitkan dengan gejolak jiwa sesaat atau yang tidak disadari

akibatnya12

Sementara itu responsibility hal yang dapat dipertanggung

jawabkan atas suatu kewajiban, dan termasuk putusan, keterampilan,

kemampuan, dan kecakapan. Responsibility juga berarti kewajiban

bertanggungjawab atas undang-undang yang dilaksankan untuk

memperbaiki atau sebaliknya memberi ganti rugi atas kerusakan apapun

yang telah ditimbulkannya.

2. Prinsip Pertanggungjawaban Hukum

Adapaun prinsip-prinsip yang berkaitan dengan pertanggungjawaban

hukum antara lain sebagai berikut : 13

a. Prinsip Tanggungjawab Berdasarkan Unsur Kesalahan.


Prinsip tanggungjawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability
atau liability based on fault) adalah prinsip yang cukup umum
berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam kitab Undang-
Undang Hukum Perdata,
Khususnya Pasal 1365,111366,12 dan 1367,13 prinsip ini dipegang
secara teguh. Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat
dimintakan pertanggung jawaban secara hukum jika ada unsu
kesalahan yang dilakukannya.
b. Prinsip Tanggung jawab Mutlak
12
Jimly Asshiddiqie dan Ali Safa’at. 2006. Teori Hans Kelsen Tengtang Hukum, Penerbit
Sekretariat.
13
E.Y. Kanterdan S.R. Sianutri, 2012,Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, hlm.249..
16

Prinsip Tanggung jawab Mutlak (strict liability) sering


diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab obsolut (absolute
liability). Kendati demikian ada pula para ahli yang membedakan
kedua termonologi di atas. Ada pendapat yang menyatakan, strict
liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan
tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun ada pengecualian-
pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari
tanggungjawab, misalnya pada keadaan force majeure. Sebaliknya
absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan
dan tidak ada pengecualian.
c. Prinsip Tanggung Jawab Individual dan Kolektif
Menurut Hans Kelsen,suatu sanksi dapat dikenakan terhadap
individu yang melakukan sendiri atau kesalahan tetapi berposisi
dalam suatu hubungan hukum tertentu dengan pelaku kesalahan.
Dalam bahasa hukum, Korporasi atau negara dipersonafikasikan:
mereka adalah juristic person sebagai lawan dari natural person.
Ketika suatu sanksi dikenakan terhadap individu-individu yang
memiliki komunitas hukum yang sama dengan individu yang
melakukan kesalahan sebagai organ komunitas tersebut, maka
disebut sebagai pertanggungjawaban kolektif yang merupakan
elemen karakteristik hukum primitif. Pertanggungjawaban
individual terjadi pada saat sanksi dikenakan hanya pada pelaku.

1.6.3 Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana banyak sekali ditemukan istilah-istilah yang

memiliki makna yang sama dengan tindak pidana, yang dilarang atau

yang diwajibkan oleh undang-undang.

Menurut R. Soesilo, tindak pidana yautu suatu perbuatan yang

dilarang atau yang diwajibkan oleh undang-undang yang apabila

dilakukan atau diabaikan maka orang yang melakukan atau mengabaikan

diancam dengan hukuman 14

Menurut Moeljanto “peristiwa pidana itu ialah suatu perbuatan atau

rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang

14
R. Soesilo, 2011, Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-delik Khusus,
Politeia, Bogor, , hal. 11
17

atau peraturan undang-undang lainnya terhadap perbuatan mana diadakan

tindakan penghukuman” 15

Simons, peristiwa pidana adalah perbuatan melawan hukum

yang berkaitan dengan kesalahan (schuld) seseorang yang mampu

bertanggung jawab, kesalahan yang dimakdu oleh Simons ialah

kesalahan yang meliputi dolus dan culpulate.

Mengenai kewajiban untuk berbuat tetapi tidak berbuat, yang di

dalam undang-undang menentukan pada Pasal 164 KUHP, ketentuan

dalam pasal ini mengharuskan seseorang untuk melaporkan kepada pihak

yang berwajib apabila akan timbul kejahatan, ternyata dia tidak

melaporkan, maka ia dapat dikenai sanksi.

Jadi berdasarkan pendapat tersebut di atas tindak pidana yang

dimaksud adalah bahwa perbuatan pidana atau tindak pidana senantiasa

merupakan suatu perbuatan yang tidak sesuai atau melanggar suatu

aturan hukum atau perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum yang

disertai dengan sanksi pidana yang mana aturan tersebut ditujukan

kepada perbuatan sedangkan ancamannya atau sanksi pidananya

ditujukan kepada orang yang melakukan kejadian tersebut.

2. Unsur – Unsur Tindak Pidana

Apabila melihat pengertian perbuatan pidana menurut Moeljanto

dan pengertian tindak pidana menurut Rancangan Kitab Undang –

Undang Hukum Pidana Nasional, maka terdapat unsur – unsur tindak

pidana ialah:

a. Unsur – unsur formal


15
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2012, hal. 62
18

b. Unsur – unsur material 16

Unsur – Unsur Formal

Perbuatan manusia, yaitu perbuatan dalam arti luas, artinya tidak

berbuat yang termasuk perbuatan dan dilakukan oleh manusia.

Melanggar peraturan pidana dalam artian bahwa sesuatu akan

dihukum apabila sudah ada peraturan pidana sebelumnya yang

telah mengatur perbuatan tersebut, jadi hakim tidak dapat menuduh

suatu kejahatan yang telah dilakukan dengan suatu peraturan

pidana, maka tidak ada tindak pidana, seperti :

1) Perbuatan manusia;

2) Perbuatan itu dilarang oleh suatu aturan hukum;

3) Larangan itu disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana

tertentu;

4) Larangan itu dilarang oleh manusia.

Diancam dengan hukuman, hal ini bermaksud bahwa KUHP

mengatur tentang hukuman yang berbeda berdasarkan tindak

pidana yang telah dilakukan. Dilakukan oleh orang yang bersalah,

dimana unsur-unsur kesalaha yaitu harus ada kehendak, keinginan

atau kemauan dari orang yang melakukan tindak pidana serta orang

tersebut berbuat sesuatu dengan sengaja, mengetahui dan sadar

sebelurnnya terhadap akibat perbuatannya.

Unsur – unsur material :

16
Softjan Sastrawidjaja, 2015, Hukum Pidana I, CV. ARMICO, Bandung, hlm. 111
19

Perbuatan itu harus bersifat melawan hukum, yaitu harus betul –

betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tak

boleh atau tak patut dilakukan. 17

Tindak pidana bersifat bertentangan dengan huk:um, yaitu harus

benar- benar dirasakan oleh masyarakat sehingga perbuatan yang

tidak patut dilakukan. Jadi meskipun perbuatan itu memenuhi

rumusan undang-undang, tetapi apabila tidak bersifat melawan

hukum, maka perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana.

Unsur-unsur tindak pidana dalam ilmu hukum pidana dibedakan

dalam dua macam, yaitu unsur objektif dan unsur subjektif.

Unsur objektif adalah unsur yang terdapat di luar diri pelaku tindak

pidana. Unsur ini meliputi:

1. Perbuatan atau kelakuan manusia, dimana perbuatan atau

kelakuan manusia itu ada yang aktif (berbuat sesuatu), misal

membunuh (Pasal 338 KUHP), menganiaya (Pasal 351

KUHP).

2. Ada unsur melawan hukum. Setiap perbuatan yang dilarang

dan diancam dengan pidana oleh peraturan perundang-

undangan hukum pidana itu harus bersifat melawan hukum,

meskipun unsur ini tidak dinyatakan dengan tegas dalam

perumusan.

17
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana (Edisi Revisi,), Rineka Cipta, Jakarta, 2015, hlm.
64-69.
20

Pada tindak pidana terdapat unsur-unsur tindak pidana yang

termuat dalam Hukum pidana berpokok dua hal, yaitu perbuatan yang

dapat di pidana (Verbrechen/crime atau perbuatan jahat) dan pidana.

Perbuatan pidana harus dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu :

a. Dalam arti kriminologi : disebut juga sebagai perbuatan jahat,

sebagai gejala masyarakat di pandang secara konkrit sebagaimana

terwujud dalam masyarakat, ialah perbuatan manusia yang

menyalahi norma-norma dasar dari masyarakat dalam konkreto;

b. Dalam arti hukum pidana: ialah perbuatan pidana dalam wujud in

abstracto dalam peraturan-peraturan pidana : 18

Tindak pidana terdapat dua unsur yaitu unsur subyektif dan unsur

obyektif yang menjelaskan bahwa 19

“Unsur subyektif adalah unsur - unsur yang melekat pada diri pelaku
tindak pidana atau yang berhubungan dengan diri pelaku serta termasuk
didalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.
Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya
dengan keadaan-keadaan yaitu di dalam keadaan - keadaan mana
tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.”

3. Jenis – Jenis Tindak Pidana

Keberadaan hukum tentunya sangat diharapkan untuk menertibkan

dan mengatur kehidupan sesuai aturan hukum yang ada. Aturan-aturan

hukum pidana yang ada di dalam masyarakat, tentu saja untuk

mewujudkan tujuan hukum yang baik.

18
M. Haryanto, 2017,Bahan Ajar Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya
Wacana, Salatiga, hlm. 60.
19
Eddy O. S. Hiariej, 2016, Prinsip-prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pusaka,
Yogyakarta, hlm. 158 .
21

Seperti yang dikemukakan oleh Wirjono Prodikoro dalam bukunya

menyatakan bahwa : “Tujuan hukum adalah untuk mengadakan

keselamatan, kebahagiaan, dan tata tertib dalam masyarakat” : 20

Paradigma hukum pidana memberikan arahan bahwa ketentuan

pidana ditujukan dan berfungsi untuk mengatur dan mengendalikan tata

tertib hukum dalam masyarakat, disamping menjamin ditegakkannya rasa

keadilan masyarakat atas perbuatan orang. Jenis – jenis tindak pidana,

adapun beberapa perincian jenis – jenis tindak pidana tersebut, yaitu :

a. Kejahatan dan pelanggaran

b. Delik Formil dan Delik Materiil

c. Delik Dolus dan Delik Culpa

d. Delik Aktif dan Delik Pasif

Kejahatan dan Pelanggaran

Menurut Teguh Prasetyo memberikan penjelasan kejahatan

dan pelanggaran dalam KUHP sebagai berikut :

“Kejahatan merupakan rechtsdelict atau delik hukum adalah


Pelanggaran hukum yang dirasakan melanggar rasa keadilan,
misalnya perbuatan seperti Pembunuhan, melukai orang lain,
mencuri dan sebagainya. Sedangkan Pelanggaran merupakan
wetsdelict atau delik Undang undang adalah perbuatan melanggar
apa yang ditentukan oleh Undang undang, misalnya keharusan
memiliki SIM bagi pengendara kendaraan bermotor di jalan
umum.” 21

Delik Formil dan Delik Materil (Menurut cara Merumuskannya).

Delik Formil yaitu delik yang perumusannya menitik beratkan pada

perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang -

undang. Sedangkan delik materil yaitu delik yang perumusannya menitik


20
R.Soersono, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Bandung, 2012, hlm.27.
21
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 48.
22

beratkan pada akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh

Undang – Undang.

Adapun perumusan delik formil dan delik materiil menurut Adam

Chazawi sebagai berikut :

“Perumusan delik formil tidak memperhatikan dan atau tidak


memerlukan timbulnya suatu aklibat tertentu dari perbuatan
sebagai syarat penyelesaian tindak pidana, melainkan semata mata
pada perbuatannya. Sedangkan delik materil yaitu delik yang
perumusannya menitik beratkan pada akibat yang dilarang dan
diancam dengan pidana oleh Undang – Undang, untuk selesainya
tindak pidana materil tidak bergantung pada sejauh mana wujud
perbuatan yang dilakukan, tetapi sepenuhnya digantungkan pada
syarat timbulnya akibat terlarang tersebut.” Maka dalam delik
formil dan materil memiliki perbedaan dalam segi akibat hukum
yag ditimbulkan dari perbuatan tersebut” 22

Delik Dolus dan Delik Culpa (Berdasarkan Bentuk Kesalahannya)

Delik Dolus adalah delik yang memuat unsur kesengajaan.

Sedangkan Delik Culpa adalah delik yang memuat unsur kealpaan.

Adapun pengertian rumusan delik Dolus dan delik Culpa menurut

Teguh Prasetyo sebagai berikut :

“Delik Dolus memuat rumusan kesengajaan itu mungkin dengan


kata-kata yang tegas, misalnya dengan sengaja, tetapi mungkin juga
dengan kata kata lain yang senada. Contohnya Pasal pasal 162,
197, 310, 338, dll. Sedangkan delik Culpa adalah delik yang
didalam rumusannya memuat unsur kealpaan. Dalam rumusannya
menggunakan kata karena kealpaannya, misalnya pada pasal 359,
360, 195. Didalam beberapa terjemahan kadang kadang di pakai
istilah karena kesalahannya.”

Delik aktif (delicta Commissionis) dan Delik Pasif (delicta omissionis).

Berdasarkan macam Perbuatannya. Delik aktif (delicta

Commissionis) adalah Delik yang terjadi karena seseorang dengan

berbuat aktif melakukan pelanggaran terhadap larangan yang telah diatur


22
Adami Chazawi, 2008, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Rajawali Pers, hlm.126.
23

dalam undang undang. Delik Pasif (delicta omissionis) adalah Delik yang

terjadi karena seseorang melalaikan suruhan (tidak berbuat), sehingga

ada sanksi hukum

4. Pertanggungjawaban Tindak Pidana

Kemampuan bertanggung jawab, menurut Kitab Undang-undang

Pidana Indonesia seseorang yang dapat dipidana tidak cukup apabila

orang tersebut telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan

hukum atau bersifat melawan hukum, akan tetapi dalam penjatuhan

pidana orang tersebut juga harus memenuhi syarat “bahwa orang yang

melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah. Dengan

perkataan lain orang tersebut dapat dipertanggung jawabkan atas

perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya itu

dapat dipertanggung jawabkan”, di sini berlaku asas tiada pidana tanpa

kesalahan (Nulla poena sine culpa) 23

Apapun alasan pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran, yang

pasti jenis pelanggaran itu adalah lebih ringan dari pada kejahatan, hal ini

dapat diketahui dari ancaman pidana pada pelanggaran tidak ada yang

diancam dengan pidana penjara, tetapi berupa pidana kurungan dan

denda, sedangkan kejahatan lebih didominir dengan ancaman pidana

penjara.

Tindak pidana antara kejahatan dan pelanggaran secara tajam

dalam KUHP, mempunyai konsekuensi berikutnya dalam hukum pidana

materiil, antara lain yaitu :

23
Ibid, hal. 105 .
24

1.
Dalam hal percobaan, yang dapat dipidana hanyalah terhadap
percobaan melakukan kejahatan saja dan tidak pada percobaan
pelanggaran
2. Mengenai pembantuan, yang dapat dipidana hanyalah pembantuan
dalam hal kejahatan dan tidak dalam hal pelanggaran,
3. Azas personaliteit hanya berlaku pada warga negara RI yang
melakukan kejahatan (bukan pelanggaran) di wilayah hukum RI
yang menurut hukum pidana negara asing tersebut adalah berupa
perbuatan yang diancam pidana
4. Dalam hal melakukan pelanggaran, pengurus atau anggota
pengurus atau para komisaris hanya dipidana apabila pelanggaran
itu terjadi adalah atas sepengetahuan mereka.
5. Dalam ketentuan perihal syarat pengaduan bagi penuntutan pidana
terhadap tindak pidana (aduan) hanya berlaku pada jenis kejahatan
saja dan tidan pada jenis pelanggaran
6. Dalam hal tenggang waktu daluwarsa hak negara untuk menuntut
pidana dan menjalankan pidana pada pelanggaran relatif lebih
pendek dari pada kejahatan,
7. Hapusnya hak negara untuk melakukan penuntutan pidana karena
telah dibayarnya secara sukarela denda maksimum sesuai yang
diancamkan serta biaya-biaya yang telah dikeluarkan jika
penuntutan telah dimulai, hanyalah berlaku pada pelanggaran saja,
8. Dalam hal menjatuhkan pidana perampasan barang tertentu dalam
pelanggaran-pelanggaran hanya dapat dilakukan jika dalam
undangundang bagi pelanggaran tersebut ditentukan dapat
dirampas
9. Dalam ketentuan mengenai penyertaan dalam hal tindak pidana
yang dilakukan dengan alat percetakan hanya berlaku pada
pelanggaran
10. Dalam hal penadahan, benda objek penadahan haruslah oleh dari
kejahatan saja dan bukan dari pelanggaran
11. Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia hanya
diberlakukan bagi setiap pegawai negeri yang di luar wilayah
hukum Indonesia melakukan kejahatan jabatan dan bukan
pelanggaran jabatan
12. Dalam hal perbarengan perbuatan sistem penjatuhan pidana
dibedakan antara perbarengan antara kejahatan dengan kejahatan
yang menggunakan sistem hisapan dengan pelanggaran yang
menggunakan sistem kumilasi murni. 24
1.7 Metode Penelitian

1.7.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif. Penelitian

hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal. Penelitian yuridis


24
Kompasiana, Pengertian Tindak Pidana, http://hukum. kompasiana.
com/2011/10/18/pengertian-tindak-pidana/,2015 .
25

normatif yaitu penelitian yang dilakukan atau ditujukan hanya pada

peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain karena

penelitian yang diteliti berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yaitu

hubungan peraturan yang satu dengan peraturan yang lain serta kaitannya

dengan penerapannya dalam praktik.25

1.7.2 Pendekatan Penelitian

Penelitian hukum normatif mengkaji dari berbagai aspek seperti teori-

teori hukum dan menelaah peraturan perundang-undangan yang berlaku

dengan pendekatan penelitian, adalah :

a) Pendekatan Perundang-undangan (Statutes Approach)

Penelitian Hukum ini menggunakan pendekatan perundang-undangan

Pendekatan perundang-undangan atau statutes approach adalah

pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang den

regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.

b) Pendekatan Konseptual (Conseptual Approach)

Pendekatan ini dilakukan dengan cara melakukan pemahaman terhadap

doktrin-doktrin dan pandangan-pandangan yang berkembang dalam ilmu

hukum yang dijadikan sebagai dasar untuk membangun argumentasi

hukum dalam menjawab permasalahan dalam penelitian.

1.7.3 Jenis Bahan Hukum

Jenis bahan hukum normatif yang dapat digunakan penulisan oleh

penulis dalam mengaktualkan bahan penulisan, sebagai berikut :

25
Ediwarman, Monograf Metodologi Penelitian Hukum (Panduan Penulisan Tesis dan
Disertasi), Medan, 2014, hlm. 96
26

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mengikat atau

yang membuat orang taat pada hukum, yaitu :

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);

3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);

4) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah

Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana

Korupsi;

5) Amandemen Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003.

6) Undang Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan

Pemberatasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dan

Pertanggungjawaban Korporasi.

7) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun

2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh

Korporasi.

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan dan petunjuk

terhadap bahan hukum primer, yang terdiri dari:

1) Berbagai literature/buku-buku yang berhubungan dengan materi

penelitian.
27

2) Berbagai hasil seminar, lokakarya, symposium, dan penelitian

karya ilmiah dan artikel lain yang berkaitan dengan materi

penelitian.

3) Undang-Undang Hukum Pidana

4) Undang-Undang Hukum Acara Pidana

1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum dalam

penelitian ini adalah teknik kepustakaan (lybrary research). Pengumpulan

bahan hukum dilakukan dengan melakukan penelusuran bahan-bahan hukum

primer, sekunder, tersier.

Studi kepustakaan adalah mengumpulkan data sekunder diperoleh dari

membaca, mencatata dan menelaah beberapa sumber dan literature seperti

buku, perundang-undangan ataupun dokumen-dokumen yang berkaitan dengan

penelitian ini untuk memeperoleh data yang valid.

1.7.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Daya yang diperoleh penulis akan diolah dan di analisis berdasarkan

rumusan masalah yang telah diterapkan sehingga diharapkan dapat diperoleh

gambaran yang jelas. Analisis data yang digunakan adalah analisis data yang

berupa memberikan gambaran secara jelas dan konkrit terhadap objek yang

dibahas secara kualitatif dan selanjutnya data tersebut disajikan secara

deskriptif yaitu menjelaskan, menguraikan, dan menggambarkan sesuai dengan

permasalahan yang erat kaitannya dengan bpenelitian ini.

1.8 Sistematika Penulisan


28

Sistematika dalam penulisan proposal skripsi ini memuat secara

singkat susunan penulisan, yaitu :

Pendahuluan, pada bab ini terdiri dari latar belakang penelitian,

orisinalitas penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat

penelitian, metode penelitian.

Kajian Pustaka, pada bab ini terdiri dari penelitian sebelumnya (state of

the art) dengan penelitian setelahnya, landasan teori yang terdiri dari dasar-

dasar teori yang digunakan sebagai acuan dalam penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Adami Chazawi, 2008, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Jakarta, Rajawali Pers
29

Dwidja Priyatno, 2018, Bunga Rampai Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia,


Bandung: Pustaka Reka Cipta,

Dwidja Priyanto, 2017, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam


Kebijakan Legislasi, Kencana, Depok,

Eddy O. S. Hiariej, 2016, Prinsip-prinsip Hukum Pidana, Yogyakarta, Cahaya Atma


Pusaka,

Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana,Komentar atas Pasal-Pasal terpenting dari


kitab Undang-2Undang Hukum Pidana Belanda dan padanannya dalam kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta Penerbit PT. Gramedia Pustaka
Utama.

Jimly Asshiddiqie dan Ali Safa’at. 2006. Teori Hans Kelsen Tengtang Hukum,
Jakarta, Penerbit Sekretariat.

E.Y. Kanterdan S.R. Sianutri, 2012,Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan


Penerapannya, Jakarta Storia Grafika,

Kristian, 2016, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada Tindak Pidana


Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika

M. Haryanto, 2017,Bahan Ajar Hukum Pidana, Salatiga,Fakultas Hukum Universitas


Kristen Satya Wacana,

Muladi dan Dwidja Priyatno. 2010. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Jakarta:


Kencana Prenada Media Group

Moeljatno, 2008, Asas-asas hukum pidana. Jakarta: Rineka Cipta

Priyatno Dwidja, 2018, Bunga Rampai Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia,


Bandung: Pustaka Reka Cipta

R. Soesilo, 2011, Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-delik


Khusus, Bogor, Politeia,

Softjan Sastrawidjaja, 2015, Hukum Pidana I, CV. ARMICO, Bandung

Perundang-Undangan

UU No 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberatasan Tindak Pidana


Pencucian Uang

UU No.20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomot 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika,


30

UU No 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberatasan Tindak Pidana


Pencucian Uang, pertanggungjawaban korporasi.

dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Penberantasan Tindak


Pidana Korupsi.

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata
Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi.

Jurnal

Budi Suharyanto (2017) Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berdasarkan


Corporate Culture Model Dan Implikasinya Bagi Kesejahteraan Masyarakat.
Jurnal Vinding, Volume 6, Nomor 3, Desember 2017

Farhah Anaqah Jauharah, 2019, “Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi Dalam


Tindak Pidana Korupsi”, Makassar, Skripsi, Sarjana Hukum, Fak. Hukum
Universitas Hasanuddin,

Lilik Shanty (2017) Aspek Teori Hukum Dalam Kejahatan Korporasi. Pakuan Law
Review Volume 3, Nomor 1, Januari-Juni 2017.

Nurmalawaty, 2006, Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Pencucian (Money


Laundering ) Dan Upaya Pencegahannya. Jurnal Equality Vol 11 hal 12.

Rodliyah, 2020, Konsep Pertanggung jawaban Pidana Korporasi (Corporate Crime)


Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia. Jurnal Kompilasi Hukum Volume
Volume 5 No. 1, Juni 2020 E-ISSN 2598-6414, P-ISSN 2502-5333.

Sonny Tobelo, Artikel Teori Pertanggungjawaban Hukum, http://


sonnytobelo.blogspot.com/2010/12/teori -pertanggungjawaban.html

Anda mungkin juga menyukai