Anda di halaman 1dari 37

PROBLEMATIK HUKUM TPPU DAN PARTAI POLITIK

SEBAGAI KORPORASI DALAM PERSPEKTIF CRITICAL LEGAL STUDIES


MAKALAH

DOSEN PENGAMPU :
Dr. M. Hatta Roma Tampubolon, SH.,MH

Makalah ini disusun untuk memenuhi penugasan mata kuliah


Sosiologi Hukum pada Semester Ganjil. TA. 2021/2022
Program Magister Hukum Fakultas Hukum

Oleh :

KORENGKENG JOHNSTON
NIM. D 102 2I 064

PROGRAM MAGISTER HUKUM


UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2021

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Kepada Khalik Pencipta oleh karena kemurahanNya serta kasihNya
yang selalu menyertai penulis sampai dengan saat dimana penulis menulis tugas mata
kuliah sosiologi hukum ini , penulis merasa sangat diberkati oleh Sang Pencipta. Penulis
sangat menyadari bahwa tanpa penyertaan Sang Pencipta, maka tentunya tugas yang diberi
judul “Problematika Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang Dan Partai Politik
Sebagai Korporasi Dalam Perspektif Critical Legal Studies” ini tidaklah dapat
diselesaikan tepat pada waktunya.

Adapun maksud dari penulisan ini adalah sebagai pemenuhan tuntutan akademis bagi
program Pasca Sarjana strata 2 Megister Hukum pada Universitas Tadulako Palu, dan
melalui kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Doktor M. Hatta
Roma Tampubolon, SH.,MH sebagai Dosen Pengampuh mata kuliah Sosiologi Hukum
yang telah memberikan bimbingan serta arahan demi untuk penulis dalam menempuh
program S2 Pasca Sarjana Magister Hukum.

Adapun Tulisan ini tentunya masih banyak memiliki kekurangan-kekurangan oleh


karena penulis juga hanya merupakan manusia ciptaan yang penuh dengan kekurangan,
sehingga penulis sangat mengharapkan saran-saran serta tentunya kritik yang membangun
dari rekan-rekan seangkatan, terutama saran dan masukan dari Bapak Doktor M. Hatta
Roma Tampubolon.SH.,MH sebagai dosen pengampu mata kuliah ini. Akhir kata sekali
lagi penulis menyampaikan banyak terima kasih.

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR………………………………………………………………….2
DAFTAR ISI………………………………………………………………………....…3

BAB I. PENDAHULUAN ……………………………………………………………..4


I.I. Latar Belakang Masalah……………………………………………………………4
1.2. Rumusan Masalah…………………………………………………………………13
1.3. Tujuan Penulisan…………………………………………………………………..13
1.4. Manfaat Penulisan……………………………………………………………...….13

BAB. II. PEMBAHASAN…………………………………………………….……….15


2.1. Pengaturan Pertanggung jawaban Korporasi sebagai Partai Politik Dalam Tindak
Pidana Pencucian Uang ……………………………………………….……..
….15
2.2. Pengaturan Sanksi Pidana Korporasi Sebagai Partai Politik Dalam Tindak Pidana
Pencucian Uang…………………………………………………………………25

BAB. III. PENUTUP…………………………………………………………………33


3.1. Kesimpulan………………………………………………………………………33
3.2. Saran……………………………………………………………………………..33

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………...…………35

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Era globalisasi dan modernisasi yang berkembang pesat menimbulkan tindak

pidana dengan modus operandi yang berbeda-beda diantaranya tindak pidana pencucian

uang (money loundering) dimana tindak pidana ini sulit sekali untuk membuktikan dan

menjerat pelakunya. Permasalahan pencucian uang (money loundering) merupakan

permasalahan yang menjadi perhatian dari berbagai kalangan baik regional maupun

global terutama di Indonesia, hal mana kenyataannya dari waktu ke waktu kejahatan

pencucian uang (money loundering) semakin marak, terutama dalam hubungannya

dengan Lembaga Perbankan. Berawal pada tahun 2002 di terbitkanlah Undang-Undang

Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pencucian Uang yang selanjutnya dilakukan

penyempurnaan dengan diterbitkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25

tahun 2003, kemudian terhadap kedua undang undang tersebut digantikan dengan

Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak

Pidana Pencucian Uang.. Adapun diterbitkannya peraturan perundang-undangan ini

sebagai langkah antisipasi terhadap tekanan masyarakat international yang memandang

Negara Indonesia sebagai lahan baru untuk kejahatan pencucian uang (money

loundering) . Keadaan ini dikarenakan oleh pertama Indonesia pada waktu itu belum

memiliki ketentuan yang mengatur bank atau pelaku bisnis local untuk menerima uang

hasil kejahatan . Tidak ada ketentuan yang membolehkan pelacakan dari mana uang

tersebut diperoleh, melainkan justru mengatur tentang kerahasiaan perbankan yang ketat.

4
Kedua para pelaku kejahatan banyak melihat peluang yang dapat dimasuki . Dilain pihak

pencucian uang (money londering) merupakan salah satu aspek kriminalitas yang

berhadapan dengan baik indifidu maupun korporasi, bangsa dan negaara, sehingga

kemudian sifat pencucian uang (money londering) menjadi universal, dan bahkan

memungkinkan menembus batas-batas yurisdiksi negara.. Financial Action Task Force

on Money Loundering (untuk selanjutnya disebut FATF)1 yang masih menempatkan

Indonesia dalam daftar hitam (blac list) tempat pencucian uang pada tahun 20132.

Indonesia memang tidak tergabung dalam FATF, tetapi tergabung dalam Asia Pasific

Group on Money Loundering (APG)3 akan tetapi APG sangat mendukung implementasi

Fourty Recommendation revisi tahun 2012 dari FATF trsebuut.

Secara umum aktifitas pencucian uang merupakan suatu metode untuk

menyembunyikan, memindahkan dan menggunakan hasil dari suatu tindak pidana,

kegiatan organisasi kejahatan, kejahatan ekonomi korupsi, perdagangan narkotika dan

kegiatan-kegiatan lainnya yang merupakan aktifitas kejahatan.Pencucian uang pada

intinya melibatkan asset (pendapatan/kekayaan) yang disamarkan sehingga dapat

dipergunakan tanpa terdeteksi bahwa asset tersebut berasal dari kegiatan terlarang.

Pendapatan atau kekayaan yang diperoleh dari kegiatan yang melawan hukum diubah

menjadi asset keuangan yang seolah-olah berasal dari sumber yang sah /legal. Perbuatan

tersebut dapat dilakukan oleh indifidu, secara perorangan maupun terorganisir, atau

1
FATF suatu Lembaga yang didirikan oleh negara-negara yang tergabung dalam kelompok G7 yaitu,
kegiatan organisasi Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris dan Amerika Serikat tahun 1989 di Paris
sebagai bentuk keprihatinan terhadap karakteristik pencucian uang
2
Financial Action Task Force on Money Loundering (FATF) Public Statement hari Jumat, tanggal 22
Februari 2013 sumber http://www,fatf.gafi.org/topics-riskandnon-
cooperativejurisdictions/documents/fatfpublicstatemant/22februari2013.html. dilihat pada 25 Oktober 2021
3
Asia Pasific Group on Money Loundering (APG), Indonesia, APG Members sumber
http.//www.apgml.org/apg-members/default.aspx?funsdictianID=10, dilihat pada 25 Oktober 2021

5
melalui suatu korporasi. Suatu tindak pidana akan menjadi lebih rapi dan sulit terdeteksi

apabila dilakukan oleh lebih banyak orang atau secara korporasi dibandingkan dilakukan

seorang diri.

Pada dasarnya kejahatan korporasi (corporate crime) lazim di identikan dengan

berbagai macam terminology kejahatan, seperti kejahatan jabatan (occupational crime),

kejahatan terorganisasi (organizet crime), kejahatan profesi (profedsional crime),

kejahatan terhadap korporasi (crime against corporation) dan korporasi sebagai sarana

untuk melakukan kejahatan (criminal corporation). Menurut J.E Sahetapy kejahatan

korporasi bukan merupakan barang baru, tetapi banyak kemasan, bentuk dan

perwujudannyya yang baru. Kejahatan korporasi sudah ada sejak lebih dari tiga ribu

tahun yang lalu atau aad ke-14 SM di Mesir. Pada masa lampau di Yunani kejahatan

korporasi juga terjadi , misalnya ketika Alcamenoids yang diberi kepercayaan untuk

membangun rumah ibadah dengan batu pualam diganti dengan semen yang dilapisi batu

pualam.4

Kejahatan korporasi adalah kejahatan yang bersifat organisatoris. Begitu luasnya ,

penyebaran tanggungjawab serta struktur hirarkis dari korporasi besar dapat membantu

berkembangnyya kondisi-kondisi yang kondusif bagi kejahatan korporasi . Anatomi

kejahatan korporasi yang sangat kompleks dan penyebaran tanggung jawab yang sangat

luas bermuara pada sifat-sifat ekonomis yaitu tercermin pada anggaran dasar, dan

kontradiksi antara tujuan korporasi dengan kepentingan berbagai pihak , seperti kopetitor

(pesaing) dan negara. Berdasarkan motif-motif tersebut korban kejahatan korporasi

tentunya juga mencakup pada spektrum yang amat luas.

4
J.E.Sahetapi. Kejahatan Korporasi .PT. Radika Aditma. Nandung 2002,hlm 4

6
Pengaturann ketentuan mengenai korporasi sebagai subjek hukum dalam tindak

pidana pencucian uang telah diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian

Uang yang selanjutnya disebut UUTPPU baik yang lama maupun yang baru. Konsep

korporasi adalah orang dan/atau kekayaan yang terorganisir baik yang merupakan badan

hukum maupun bukan badan hukum. Diterimanyan korporasi sebagai pelaku tindak

pidana menimbulkan permasalahan baru dalam hukum pidana di Indonesia khususnya

yang menyangkut tentang pertanggungjawaban pidana pada korporasi. Adapun beberapa

permasalahan diantaranya perumusan dakwaan dengan pelaku korporasi hingga

pembuktian adanya kesalahan dalam tindakan suatu korporasi sampai pada akhirnya

dapat dipodananya korporasi serta berbagai macam sanksi pidana yang dapat diterapkan

pada korporasi.

Tindak pidana pencucian merrupakan tindak pidana ganda artinya selalu ada

tindak pidana utama (core crime), dan tindak pidana pencucian sbagai tindak pidana

lanjutan (follow up crime) . Tindak pidana pencucian uang selalu diawali dengan

kejahatan utama yang menghasilkan dirty money atau uang haram, uang kotor dimana

uang tersebut diperoleh dengan cara-cara yang tentunya melanggar hukum . Teknik

memperoleh uang haram tersebut dapat berasal penjualan obat-obat terlarang,

perdagangan senjata ilegal, perjudian gelap, hingga tindak pidana korupsi. Khusu dengan

tindak pidana korupsi beberapa tahun terakhir ini marak diperbincangkan sebagai tindak

pidana awal dari tindak pidana pencucian uang yang kemudian banyak melibatkan kader-

kader Partai Politik. Beberapa kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kader-

kader politik yang menduduki jabatan sebagai Anggota Dewan Perwakilan Rakyat

(untuk selanjutnya disebut DPR) atau juga yang dilakukan oleh Para Kepala Daerah yang

7
terjerat kasus tindak pidana korupsi, dan beberpa diantaranya telah dijatuhi hukuman

melalui putusan pengadilan serta telah menjalani hukuman pidana.

Adapun para anggota dewan yang terlibat dalam kasus tindak pidana korupsi

beberapa diantaranya Emir Moeis (sebagai mantan anggota DPR dari Fraksi PDIP),

Anggelina Sondakh (mantan anggota dewan dari fraksi Demokrrat) M. Nasaruddin

(mantan anggota dewan dari Fraksi Demokrat), Ahmad (mantan Walikota Mojokerto dari

Partai PKB), serta masih banyak lagi kasus-kasus anggota dewan yang terjerat tindak

pidana korupsi, maupun Para Kepala Daerah yang kemudian terjerat kasus yang sama.

Adapun kasus Anggota Dewan yang banyak menjadi perhatian public yakni kasus suap

impor daging sapi yang melibatkan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (untuk selanjutnya

disebut PKS), Anas Urbaningrum yang melibatkan Partai Demokrat, serta kasus Setiano

Fanto sebagai Ketua Umum Partai Golongan Karya (yang selanjutnya disebut

GOLKAR). Khusus kasus yang melibatkan Luthfi Hasan Ishaq, dimana pada siding

perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Penuntut Umum membacakan

dakwaan yang mencengangkan banyak pihak. Bahwa Partai Keadilan Sejahtera PKS

menargetkan Rp. 2.000.000.000.00 (dua triliyun rupiah) dari tiga kementerian untuk

pembiyaan pemilu tahun 2014. 5

Tindakan korupsi pejabat negara tersebut dilatarbelakangi antara lain bahwa

penalonan seseorang menjadi Anggota DPR, atau Kepala Daerah membutuhkan dana

kampanya yang tidak sedikit. Dalam penelitian disertasinya, Pramono Anung yang

menduduki jabatan Wakil Ketua DPR. RI kala itu mengatakan odal untuk menjadi calon

legislator tergantung pada latar belakang si kandidat. Untuk figur public dan artis lainnya
5
PKS Targetkan 2 Triliyun Dari Tiga Kementerian, berita hari Selasa 25 Juni 2013. Sumber
www.tribunnews,com, dilihat pada hari senin tanggal 14 November. tahun 2021

8
biasanya harus menyiapkan dana maksimal Rp. 6.000.000.000.00 (enam miliyar rupiah),

sementara untuk birokrat dan pengusaha setidaknya menyiapkan dana

Rp.6.000.000.000.00 (enam miliyar rupiah) bahkan lebih.Kemudian Pramono Anung

mengakui biaya calon untuk kampanye tidak sebanding dengan pendapatan bersih

anggota DPR, yang rata-rata Rp. 50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah) per bulannya6.

Dewan Perwakilan Rakyat merupakan bentuk implementasi kedaulatan rakyat

sebagaiman dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

tahun 1945 (untuk selanjutnya disebut UUDNRI 1945) . Dengan memperhatikan

ketentuan yang tterdapat dalam UUDNRI 1945 tersebut, Azas kedaulatan rakyat

dilaksanakan dalam 2 (dua) tahapan, yaitu tahap pelaksanaan langsung oleh rakyat

melalui pemilihan umum, kemudian dilanjutkan dengan tahap kedua yaitu tahapan tidak

langsung yang dilaksanakan oleh Lembaga-lembaga perwakilan. 7 Orang-orang yang

duduk dalam Lembaga perwakilan tersebut (terutama DPR) terlebih dahulu haruslah

diajukan oleh partai olitik , sebagaimana dijelaskan Pasal 22E ayat (3) Undang-Undang

Negara Republik Indonesia tahun 1945 bahwa peserta pemilihan umum adalah partai

politik dan bukan perseoranggan. Begitu pula dengan Kepala Daerah sebagaimana diatur

dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 Nomor

125 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437 , untuk selanjutnya

6
Biaya calon anggota DPR hingga 6.miliyar. berita hari kamis tanggal 30 Mei 2013, sumber
www.tempo.co/red/folis/2013/04/22/2745/Biaya-Calon-Anggota-DPR-hingga-RP-6-Miliayar, dilihat pada
tanggal30 Nofember 2021
7
Harjono , Transformasi Demokrasi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi,
Jakarta,2009,h5

9
disebut UU Pemda) bahwa peserta Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

adalah sala satunya berasal dari partai politik.

Aktifitas partai politik adalah memperjuangkan program dan menyampaikan

aspirasi rakyat yang diwakili melalui Lembaga perwakilan .Pentingnya partai politik

dalam demokrasi perwakilan dalam system politk Indonesia mewakili rakyat, untuk

memperjuangkan kepentingan rakyat Bersama yang dipilh melalui pemilihan umum

Partai politi memegang peran yang sangat penting untuk menentukan dalam sebuah

sistim demokrasi, sistim politik dan merupakan pilar utama dalam pranata sistim

politik.Akan tetapi faktanya sering tterjadi bahwa terkait dengan peran partai politik tidak

mewakili aspirasi rakyat, melainkan aspirasi partai politik itu sendiri, serta untuk

kepentingan partai politik tersebut. Hal ini dikarenakan partai politik tentunya sangat

memerlukan biaya dalam menjalankan roda partai serta untuk mendanai penyelenggaraan

pemilihan umum dengan jumlah yang besar. Oleh karena itu banyak yang kemudian

diantara kader-kader partai politik yang telah menjadi pejabat negara melakukan tindak

pidana dengan menyalah gunakan kewenangan yang dimilikinya. Dalam sistim politik

demokrasi, kebutuhan akan uang menjadi tak terhindarkan karena basis legitimasi

kekuasaan adalah dukungan rakyat yang dicerminkan oleh hasil pemilu. Dari uraian

tersebut diatas terlihat jelas bahwa uang mempengaruhi kompetisi politik bahkan

merupakan suber daya utama bagi politisi yang ingin memenangkan kekuasaan atau

untuk bertahan sebagai penguasa.

Berdasarkan pengalaman demokrasi dunia terdapat tiga alternative sumber dana

partai politik yaitu : internal partai (iuran anggota, sumbangan dari kader partai yang

duduk dalam Lembaga legislative dan eksekutif), kalangan swasta (sumbangan dari

10
indifidu, badan usaha swasta, organisasi kelompok masyarakat), dan dari negara

(Anggaran Pendapatan Belanja Negara, dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah). 8

Berdasarkan peraturan perundang-undangan Indonesia juga mengatur tentang sumber

dana partai politik sebagaimana dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2011

tentang Partai Ploitik. Pada pasal tersebut keuangan partai politik berasal dari :

1. Iuran anngota
2. Sumbangan yang sah menurut hukum, dan
3. Bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Iuran anggota merupakan sumbangan yang diatur dalam Anggaran Dasar dan Rumah

Tangga yang selanjutnya disebut AD/RT partai politi itu sendiri, yang kemudian bagi

kader-kader partai yang duduk pada Lembaga legislative maupun Lembaga eksekutif

menyalah gunakan kewenangan untuk melakukan tindakan, ataupun perbuatan yang

melanggar hukum sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Tindakan oknum kader

partai politik tersebut, dapat menyeret organisasi partai politik mereka kedalam pusaran

tindak pidana. Adapun hal yang akhir-akhir ini menjadi perdebatan adalah adanya

indikasi suatu partai poliltik di Indonesia yang diduga turut menerima hasil tindak

pidana utamanya hasil tindak pidana korupsi.

Perdebatan kemudian berkembang apakah ppartai politik dapat dikatakan sebagai

pelaku tindak pidana pencucian uang hal mana telah dijelaskan sebelumnya bahwa

pelaku tindak pidana pencucian uang dapat berupa orang perseorangan maupun

korporasi atau dalam hal siapa saja, termasuk pimpinan parttai politik dapat dengan UU

8
Donita Paskalina Tamba, Rekomendasi Pengaturan Keuangan Partai Politik di Indonesia. Standar
Pengaturan Keuangan Partai Politik,http://donitapaskalina.blogspot.com/2013/07/rekomendasi-
pengaturan-keuangan—partai.html?m=1. Diakses pada Kamis tanggal…….Agustus 2022

11
TPPU. Ancaman pidana cukup berat sebagaimana Pasal 6 jo Pasal 7 UU TPPU yang

dengan jelas sanksi podanya dapat dijatuhkan pada korporasi meliputi :

a. Pidana pokok berupa denda paling banyak Rp 100.000.000.000.00 (seratus miliyar


rupiah)
b. Pidana tambahan berupa :
1. Pengumuman Putusan Hakim
2. Pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi
3. Pencabutan Izin Usaha
4. Pembubaran dan/atau pelarangan korporasi
5. Perampasan asset korporasi untuk negara dan/atau
6. Pengambilan korporasi oleh Negara.

Apabila partai politik terlibat tindak podana pencuciian uang, sanksi pidana yang

menarik bagi penulis dalam tulisan ini adalah adanya pembubaran. Permasalahan

kemudian muncul kembali yaitu apakah Hakim daam lingkup peradilan umum

berwenang melakukan pembubaran khususnya terhadap partai politk, mengingat

pembubaran partai politik merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana

di atur pada Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2003 Nomor 98, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316 untuk selanjutnya disebut UU MK)

Sebagai konsekuensi partai politik yang dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur

dalam UU TPPU khususnya Pasal 3 dan Pasal 5, maka partai politik tersebut harus tetap

dipertanggung jawabkan secara piidana. Selanjutnya apakah partai politik dapat

memenuhi kualifikasi pelaku tindak pdana dalam UU TPPU yang berupa korporasi .

Model pertanggungjawaban pidananyapun tentunya akan berbeda dengan pertanggung

jawaban pidana terhadap orang perorangan. Terkait pengenaan ancaman sanksi pidana

pokok ataupun pidana tambahan khususnya mengenai pembubaran, manjadi kajian

12
menarik, apakah partai politik yang terlibat pencucian uang dapat dilakukan pembubaran

langsung melalui putusan pengadilan pada lingkup peradilan umum atau harus terlebih

dahulu diserahkan Kepada Mahkamah Konstitusi.

B. Rumusan Masalah

Beranjakk dari latar belakan sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka

permasalahan hukum yang diajukan dalam ppenelitian iini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah Pengaturan Pertanggung jawaban Partai Politik Sebagai

Korprasi Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang ?

2. Bagaimana Pengaturan Sanksi Pidana Partai Politik Sebagai Korporasi Dalam

Tindak Pidana Pencucian Uang ?

C. Tujuan Penelitian

1. Penelitian tentang Pertanggung jawaban Pidana Partai Politik Yang Terlibat

Tindak Pidana Pencucian Uang ?

2. Untuk Mengetahui Pengaturan Sanksi Pidana Partai Politik Sebagai Korporasi

Dalam Tindak Pdana Pencucian Uang

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi atau manfaat teoritis,

yaitu dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan peraturan

perundang-undangan hukum pidana pencucian uang, khususnya yang menyangkut

pertanggung jawaban pidana terhadap partai politk yang terlibat tindak pidana pencucian

uang.

13
2. Manfaat Praktis

Selain itu penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan kontribusi atau

manfaat praktis, yaitu dapat dijadikan bahan pertimbangan atau pedoman bagi akademisi

maupun praktisi sehingga penegakan hukum materiil dan formiil mengenai tindak

pidana pencucian uang dapat berjalan lebih baik lagi ke depannya.

14
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengaturan Pertanggung jawaban Korporasi sebagai Partai Politik Dalam

Tindak Pidana Pencucian Uang

Dalam ilmu hukum subjek hukum adalah setiap hak atau penyandang hak dan
9
kewajiban dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum.. dengan demikian

subjek hukum pidana adalah pembawa atau penyandang hak-hak dan kewajiban-

kewajiban dalam ranah hukum pidana seperti apabila seseorang melakukan tindak

pidana, maka kewajibannya harus dipertanggung jawabkan dan haknya diperlakukan

ebagai subjek pemeriksaan, bukan sebagai objek, serta dapat memperoleh bantuan

hukum dari penasehat hukumnya.

Berdasarkan Pasal 59 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang selanjutnya

disebut KUHP, korporasi sebagai subjek hukum pidana sama sekali tidak dikenal,

melaikan hanyalah manusia yang menjadi subjek sebagai pelaku tindak pidana.

Dalam Undan-Undang Hukum Acara Pidana baik yang lama (HIR) maupun yang

baru dan yang sekarang masih tetap berlaku yaitu Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahunn 1981 Nomr 76, Tambahan Lembaran NegaraRepublik

Indonesia Nomor309, untuk selanjutnya disebut KUHAP) ternyata juga hanya

dijumpai pengaturan untuk melakukan penuntutan terhadap manusia. Dalam KUHAP

9
Jimly Asshidddiqie,Op.Cit , h 69

15
tidak dijumpai untuk melakukan penuntutan terhadap pelau tindak pidana selain

manusia.

Perkembangan konsep korporasi sebagai subjek hukum pidana merupakan akibat

perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat untuk menjalankan aktifitas

usaha.Sebagian besar masyarakat masih kurang memahami adanya tindak pidana

yang dilakukan oleh korporasi. Pada masyarakat yang masih sederhana , kegiatan

usaha cukup dijalankan secara perorangan. Namun dalam perkembangan masyarakat

yang tidak lagi sederhana muncul pemikiran tentang pemahaman tindak pidana yang

dilakukan oleh korporasi. Adapun ketidak pahaman masyarakat tentang tindak pidana

yang dilakukan oleh korporasi disebabkan karakteristik tindak pidana korporasi ini

adalah sangat kompleks.disamping itu yang tidak kalah penting menyebabkan

sampai tidak dikenalnya tindak pdana korporasi di masyarakat adalah memang tidak

diaturnya tindak pdana korporasi di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

sebagaimana telah diuraikan di atas, namun secara parsial sudah banyak diatur

didalam hukum pidana diluar KUHP.Pada dasarnya kejahatan korporasi (corporate

crime) lazim diidentikan dengan berbagai macam terminology kejahatan, seperti

kejahatan jabatan (occupational crime), kejahatan terorganisasi (organized crime),

kejahatan profesi (profesionalcrime), kejahatan terhadap korporasi (crime orginst

corporation), dan korporasi sebagai sarana untuk melakukan kejahatan (criminal

corporation).

Kejahatan korporasi adalah kejahatan yang bersifat organisatoris. Begitu luasnya

penyebaran serta struktur hirarkis dari korporasi besar dapat membantu

berkembangnya kondisi-kondisi yang kondusif bagi kejahatan korporasi. Anatomi

16
kejahatan korporasi yang sangat luas bermuara pada motif-motif yang bersifat

ekonomis dengan kepentingan berbagai pihak dan yang kontradiksi antara tujuan

korpoasi dengan kepentingan berbagai pihak termasuk kepentingan negara menuju

pada spektrum yang amat luas.

Sebagai upaya untuk mengetahui pengaturan pertanggung jawaban tindak pdana

korporasi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, ternyata korporasi

dapat melakukan suatu tindak pidana, dalam perkembangannya diatur dalam

perundang-undangan diluar KUHP sudah dikenal sejak tahun 1951, yatu dengan

dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 7 Drt taahun 1955 tentang Tindak Pidana

Ekonomi. Beberapa perundang-undangan yang menjadikan korporasi sebagai subjek

hukum pidana adalah salah satunya UU TPPU. Dari beberapa ketentuan perundang-

undangan tampaknya ada keinginan untuk menempatkan korporasi sebagai pelaku

tindak pidana, tetapi mengenai pertanggungjawabannya tidak jelas arah

perkembagannyya. Jika diklasifikasikan maka akan tampak ada beberapa cara

pembuat undang-undang dalam merumuskan kedudukan korporasi sebgai pelaku dan

pertanggungjawabannya sebagai berikut :

a. Hanya pengurus ebagai pelaku dan penguruslah yang bertanggungjawab.

Kepada pengurus korporasi dibebankan kewajiban-kewajiban tertentu yang

sebenarnya adalah kewajiban korprasi.Rumusan demikian dapat dilihat dalam Pasal

169,398.399 KUHP. Dalam hal perumusan yang demikian, maka berlakulah syarat-

syarat umum tentang perbuatan dan pertanggungjawaban dalam hukum pidana

terhadap orang atau manusia pribadi.

17
b. Korporasi dapat diakui dapat melakukan tindak pidaana, tetapi

pertanggungjawaban pidananya dibebankan kepada pengurus.

Pendapat ini berdasarkan kepada anggapan bahwa suatu perbuatan hanya dapat

dilakukan oleh manusia secara fisik dalam keadaan nyata, dan kemampuan

bertanggungjawab atas perbuatan tersebut menyangkut kejiwaan yang hanya dapat

dimiliki oleh manusia saja.. Rumusan seperti ini dapat dilihat dalam Pasal 19 UU.

Nomor 1 tahun 1951, Pasal 30 UU Nomor 2 tahun 1951, Pasal 7 UU. Nomor 3 tahun

1951. Ketentuan ini menganut prinsip pertanggungjawaban secara tanpa syarat.

Disebut demikian karena menempatkan pengurus korporasi sebagai pihak yang harus

menerima pelimpahan tanggung jawab pidana dengan mengabaikan apakah yang

bersangkutan mengetahui atau tidak tentang tindak pidana yyang dilakukan oleh

korporasi tersebut. Dalam hal ini beban tanggungjawab pidana dan pengurus seakan-

akan hanya sebagai konsekuensi dari suatu jabatan yang telah ditetapkan oleh

peraturan internal korporasi. Sejalan dengan prinsip pertanggungjawaban pengurus

menurut kewenangannya berdasarkan anggaran dasar badan hukum tersebut, maka

dalam hal ini pertanggungjawaban pidana itu diidentikan dengan apa yang diatur

dalam hukum perdata, khususnya tentang perbuatan “intra vires” dan “ultra vires”

yang secara eksplisit atau implisit tercakup dalam kecakapan bertindak

c. Korporasi secara tegas diakui dapat menjadi pelaku tindak pidana dan dapat

dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana hal iini dapat dijumpai dalam rumusan

Pasal 15. UU. Nomor 7 Drt tahun 1955, Pasal 25. UU. Nomor 32 tahun 1964, Pasal

45 UU. Nomo 23 tahun 1997, Pasal 70 UU. Nomor 5 tahun 1997.

18
Dilain pihak nampaknya masih ada keraguan pada pihak legislative untuk

menempatkan korporasi sebagai subjek yang dapat dibebani tanggungjawab pidana.

Hal tersebut didasarkan pada kenyataan yang terjadi pada perubahan Undang-Undang

Nomor 6 tahun 1982 oleh Undang-Undang Nomor 7 tahun 1987 tentang Hak Cipta.

Dalam hal ada ketentuan yang menyatakan bahwa korporasi dapat melakukan tindak

pidana dan dapat dituntut serta dapat dijatuhi pidana , maka selanjutnya harus

ditentukan kriteria/ukuran-ukuran tetang beberaha hal yang antaranya :

1. Kapankah korporasi dapat dikatakan melakukan tindak pidana

2. Perbuatan yang manakah yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan

korporasi

3. Siapakah yang dapat dipertanggungjawabkan

4. Jenis-jenis sanksi apa yang dapat dijatuhkan untuk korporasi.

Tentunya daalam hal pemidanaan korporasi diperlukan pemikiran-pemikiran

yang benar-benar untuk kepentingan hukum yang berlaku di Indonesia yang kritis

dalam perubahan undang-undang yang kemudian hasil dari pemikiran reformasi

dibidang hukum. Walaupun ada beragam arus pemikiran kritis dalam studi hukum

(critical studies). Denggan melakukan pembongkaran ini, maka dapat dilakukan

rekonstruksi pemikiran hukum.10

Dalam sejarah perundang-undangan tentang partai politik baik melalui Undang-

Undang Nomor 2 tahun 1999, kemudian dicabut dengan Undang-Undang Nomor 31

tahun 2002 yang kemudian dicabut lagi dengan Undang-Undang 2 tahun 2008 hingga
10
Nadir Filsafat Hukum dan Dekonstruksi Critical Legal Studies Sebuah Paradigma Pembaharuan
Hukum Dalam Menggugat Eksistensi Dominasi Asumsi Kemapanan Hukum Jln Panglegur. KM.3.5
Pamekasan Madura Email : mh_dira@yahoo.co.id

19
terakhir pada tahun 2011 diubah dengan Undang-Undang Partai Politik, kesemua

Undang-Undang tersebut mengatur ketentuan bahwa Parti Politik harus didaftarkan

pada Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia dengan terlebih dahulu memenuhi

syarat-syarat yang dditentukan untuk mendapatkan status badan hukumnya. Status

badan hukum ini sangatlah penting dalam hubungan partai politik itu sebagai subjek

dalam lalu lintas hukum.Hal ini menjdi penting dalam kaitannya dengan fungsi dan

tujuan partai politik terkait dengan perannya untuk mengaitkan antara rakyat dngan

pemerintahan dalam system demokrasi perwakilan saat ini. Beberapa fungsi partai

politik yaitu sebagai sarana politik , sebagai sarana sosialisasi politik, sebagai

rekrutmen politik, dan sebagai pengelola politik.11

Konsep partai politik dalam lingkup ukum pidana khususnya dalam bahasan ini

terkait dengan pelaku tindak pidana pencucian uang sebagaimana diatur Pasal 1

angka 9 dan angka 10 Undang-Undang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak

Pdana Pencucian Uang yang selanjutnya disebut UU PPTPPU adalah sesuai dan

dapat dikategorian sebagai subjek hukum pidana. Rumusan setiap orang dalam delik

pencucian uang adalah mengandung arti orang perseorangan atau korporasi dimana

korporasi adalah baik badan hukum maupun bukan badan hukum. Suatu undang-

undang memberikan Batasan terhadap suatu istilah yang digunakan dalam undang-

undang, agar setiap orang yang menemukan istilah tersebut dalam undang-undang

yang bersangkutan harus memberikan arti sebagaimana yang disebut dalam batasan

pengertian undang-undang itu.

11
Muchammad Ali Safa’at, Op. Cit, h 66

20
Dalam dunia modern ketentuan yang mengatur tentang pertanggung jawaban

pidana partai politik sudah selayaknya diatur dalam ketentuan perundang-undangan

yang bertujuan kebijakan hukum pidana yang memerlukan adanya reformasi,

rekonstruksi, dan reorientasi tentang alas filosofis pemidanaan korporasi sebagai

partai politik terkait dengan tindak pidana pencucian uang. Substansi ini penting

dilakukan seiring dengan perkembangan zaman, teknologi, motif, modus operandi,

dan corak kejahatan berkembang begitu cepat sehingga perkembangan hukum (law in

book) tertinggal begitu cepat dan tertatih-tatih untuk mengikti perkembangan

masyarakat (law in action).12

Pada dasarnya meskipun kororasi sebgai prtai politik merupakan entitas atau

subjek hukum hal mana eksistensinya memberi kontribusi besar dalam

ketatanegaraan untuk menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan nasional,

namun kerap pula partai politik justru sebagai pelaku atau pembuat, dan juga sebagai

alat untuk melakukan tindak pidana (corporate crime). Dengan melihat peranan

partaim politik dalam tindak pidana pencuciian dewas ini maka sudah selayaknya

untuk melakukan reformasi bidang hukum agar hukum tidak hanya sebagai kumpulan

teks-teks hukum, melainkan sebagai norma moral kehidupan yang disepakati

Bersama dalam upaya menjaga ketertiban social. 13.Praktek perjalanan roda

pemerintahan ditemukan beberapa kasus kejahatan ternyata korporasi sebagai partai

politik merupakan pelaku tindak pidana pencucian uang. Korporasi partai politik

malah dijadikan tempat untuk menyembunyikan dan menyamarkan (mencuci uang)


12
Lilik Mulyadi, Membangun Model Ideal Pemidanaan Korporasi, Pelaku Tindak Pidana Korupsi Berbasis
Keadilan, Edisi Pertama, Copyright 2021, Cetakan ke-1 , Maret 2021, Kencana 2021. 1446. H 46
13
Konsep Dasar Critical Legal Studies : Kritik Atas Formalisme Hukum p-ISSN 2337-6368 HTTP;//
Jurnal,ugj.ac.id/index.php/HERMENEOTIKA. H. 6. Dilihat Pada 16. November. 2021

21
hasil tindak pidana korupsi. Korporasi partai politik Menghibahkan, mengalihkan,

menempatkan harta kekayaan hasil tindak pidana yang merugikan keuangan atau

perekonomian negara dalam berbagai sector.

Selain dimensi sebagaimana konteks di atas, kejahatan korporasi sebagai partai

politik juga dihadapkan kepada dimensi kesulitan untuk menentukan kapan terjadinya

suatu tindak pdana (tempus delicti) dilakukan oleh suatu korporasi sebagai partai

politik. Tegas dan konkritnya, terhadap penentuan tempus delictinya adalah aspek

yang tidakmudah, rumit atau kompleks karena ada keterlibatan, keterkaitan satu

pelaku dengan pelaku lainnya dalam waktu yang Panjang.Dalam hal tindakan

korporasi sebagai partai politik dengan tindakan-tindakan yang nyata terhadap tindak

pidana pencucian hukum, maka tentunya perlu dilakukan kajian-kajian yang

komprehensif terhadap hukum positif (hukum pidana) yang didasarkan pada

perkembangan masyarakat yang sangat dinamis, maka persoalan-persoalan atas

hukum positiif.14

Pembaharuan hukum pidana materiil dalam rancangan Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana Nasional tidak membedakan lagi antara (delik) kejahatan dengan

tindak pidana (delik) pelanggaran. Untuk keduanya dipakai istilah tindak pidana. 15.

Asasnyya korporasi partai politik dapat melakukan dan/atau sebagai pelaku atau

pembuat dan bahkan juga sebagai alat untuk melakukan tindak pidana (corporate

crime). Pada aspek tindak pidana pencucian uang, kerap kali korporasi partai politik
14
Kajian Hukum Kritis : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dalam Landasan Filosifis.Anwar.Hidayat.dan
Irma Garwan Fakultas Bisnis dan Ilmu Sosial. Universitas Buana Perjuangan Karawng Jln H.S.Ronggowaluyo, Teluk
Jambe Timur Karawang. anwar. Hidayat @ubp.karawang.ac.id, h. 5. Dilihat Pada 16 November 2021
15
I. Dewa. Made. Suarta. Hukum. Pdana. Korporasi. Pertanggungjawaban Pddana. Dalam. Kebijakan.
Hukum. Pdana. Indonesia. Copyright Agustus. 2015. Setara. Press (Kelompok Intrans Publishing) Wisma Kli Metro.
Jln. Joyosuko, Metro 42. Malang. Jatim. Distributor. Cita. Intrans. Selaras, h. 2.

22
berperan besar terhadap terjadinya kerugian keuangan dan perekonomian negara,

dimana dilakukan dalam ruang lingkup kerja korporasi partai politik, dan bertujuan

untuk menguntungkan korporasi partai politik. Pada dasarnya tindak pidana korporasi

oartai politik tersebut dapat diidentifikasi dengan timbulnya kerugian (harm) yang

pada akhirnya bermuara kepada pertanggung jawaban pidana.Perilaku korporasi

partai politik akan selalu menjadi tindakan fungsional, ketika para pelaku bertindak

dalam konteks rangkaian kerja. Tegasnya secara mutatis mutandis melalui organisasi

tertentu. Tindakan harus masuk dalam rentang kekuasaan atau lingkungan kekuasaan

(machtssfeer) dan pada lasimnyya menerima atau menyetujui tindakan tersebut oleh

pengurus atau organ korporasi artai politik.

Dalam ruang lingkup pembentukan KUHP Nasional Indonesia muncul perhatian

khusus mengenai perlindungan social terhadap aktifitas korporasi partai politik yang

bersifat merugikan masyarakat dan negara sehingga korporasi partai politik perlu

untuk dirumuskan sebagai pelaku dan yang bertanggung jawab demi untuk kebaikan

dan untuk menuju kepada rasa keadilan.Untuk mengantisipasi realitas tersebut dapat

menjadi opsi lain dalam membangun system hukum di Indonesia baik dari aspek

substansi maupun dari aspek penegakan hukum 16 .

Ebutuhan biaya bagi partai politik yang begitu besar menjadi factor pendorong

terjadinya penyimpangan. Sumber keuangan untuk kelangsungan partai politik

terutama saat pemilihan umum menjadi tujuan akhir dari partai politik demi untuk

menguasai pemerintahan yang kemudian secara langsung maupun tidak langsung

16
Indra Rahmatulah Filsafat Hukum. Aliran Studi Hukum Kritis (Critical Legal Studies) ; Konsep dan
Aktualisasinya Dalam Hukum Indonesia. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
10.15408/adalah.v.5i.3.21393.

23
mendorong terjadinya tindak pdana pencucian uang. Tindakan untuk menyamarkan

hasil penyimpangan atau kejahatan tersebut menimbulkan konsekuensi bagi partai

politik tersebut memenuhi unsur-unsur sebagai pelaku tindak pidana pencucian uang

dan terjerat UU PPTPPU, baik sebagai pelaku aktif, maupun sebagai pelaku pasif.

Partai politik sebagai pelaku aktif tindak pidana pencucian uang manakala

tindakan partai politik memenuhi unsur Pasal 3 UU PPTPPU. Partai politik melalui

pengurus sebagai pengendali personil korporasi dlam UU PPTPPU memang sengaja

membuat suatu kejahatan untuk melaukan pengambilan hasil suatu tindak pidana

sebagai sumber keuangan partai politik. Hal ini demi beragam tujuan dan manfaat

yang dirasakan partai politik seperti kelangsungan roda partai politik , atau lebih

spesifik dalam rangka kristalisasi tujuan partai politik dalam pemilihan umum.

Berpijak dari pemikiran bahwa pencapaian tujuan partai politik itu selalu

diwujudkan melalui perbuatan manusia alamiah, maka wajar apila kemampuan

bertanggung jawab korporasi sebagai partai politik itu diambil alihkan dari

kemampuan bertanggungjawab dari orang-orangyang bertindak untuk dan atas nama

partai politik. Terhadap petanggungjawaban partai politik dalam tindak pidana

pencucian seyogyanya dapat diterapkan dalam sitem hukum nasional Indonesia

sebagai suatu perkembangan konsep realisme hukum atau legal realism yang

memberikan kebebasan kepada hakim untuk mengambil keputusan dengan akseologi

keadilan.17..Dalam pembaharuan hukum kedepan pembebanan pertanggungjawaban

partai politik cukuplah apabila penuntut umum dapat membuktikan perbuatan yang

17
Arif Budiono’ Wavda vivid Izziyana” Theistic Legal Realism Suatu Pilihan Radikal Bagi Pengembangan
Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Ponorogo Email areevahims@gmail.com
wavda.vivid@yahoo.com. H. 5 DDilihat Pada 16 November 2021

24
ditentukan dalam rumusan dlik pencucian uang itu secara nyata telah terjadi, tanpa

perlu membuktikan adanya kesalahan partai ppolitik tersebut. Hal menentukan lainya,

partai politik dapat dipertanggung jawabkan sebagai pelaku aktif tindak pidana

pencucian uang hanya apabila ada perintah pengurus partai politik tersebut masih

dalam kerangka tujuan dasarnya, dan secara nyata memberikan manfaat baginya

Parati politik dapat juga dikatakan sebagai pelaku tindak piidana pencucian pasif

manakala tindakan partai politik memenuhi unsur Pasal 5 Undang-Undang Tindak

Pidana Pencucian Uang. Partai politik melalui pengurus partai yang sesuai dengan

personil pengendli korporasi dalam UU PPTPPU, menerima sumbangan dana dari

berbagai pihak sebagai sumber keuangan partai.Asal usul dana yang diberikan

tersebut apabila tidak dilaukan audit lebih mendalam akan menyeret partai politik

tersebut kedalam pusaran pencucian uang.

B. Pengaturan Sanksi Pidana Korporasi Sebagai Partai Politik Dalam Tindak

Pidana Pencucian Uang

Semakin besarnya dampak negative yang ditimbulkan oleh korporsi sebagai partai

politik dalam tindak pidana pencucian uang sehingga bagi penulis mengharapkan

adanya perubahan terhadap hukum positif nasional (hukum pidana) sehingga setiap

warga negara akan tunduk dan taat terhadap hukum, hal mana kepatuhan terhadap

hukum adalah kewajiban yang tidak dapat ditawar-tawar.18. Banyak hal yang harus

diperbaiki atau direvisi karena tidak memihak pada rakyat, pembaharuan hukum tidak

18
Ahmad Kodir Jaelani Tanjung. Hari Purwadi, Harti winingsih. Para Dikma Hakim Dalam Memutuskan
Perkara Pidana Di Indonesia email : ahmadkodir.akjt@gmail.com, email: Hpurwadi@gmail.com. Email
{hartiwi50@yahoo.com

25
hanya pada pembuat undang-undang yaitu lembaga legislatif , namun juga terhadap

Lembaga eksekutif dan Lembaga yudikatif.19.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia yang merupakan peninggalan

jaman colonial Belanda masih menganut subjek tindak pidana berupa orang/manusia.

Snksi pidana yang dirumuskan pada Pasal 10 KUHP seuai dengan ddasar

filosofisnya, hanya ditujukan kepada orang/manusia. Sementara ketentuan

pemidanaan korporasi diakomodir dalam beberapa undang-undang hukum pidana

Indonesia diluar KUHP yang mengakui korporasi sebagai pelaku tindak pidana mulai

menentukan sendiri sanksi pidana terhadapnya, itulah hukum dapat dikembangkan

kearah yang dicita-citakan.20

Dalam tindak pidana dalam undang-undang hukum pidana Indonesia diluar

KUHP-pun berbeda dengan stelsel pidana pada umumnya yang terdapat pada

KUHUP. Dalam menjatuhkan pidana pokok, KUHP hanya dapat menjatuhkan satu

jenis pidana , atau tidak dikenal adanya kumulasi pidana pokok. 21. Hal ini berbeda

dengan undang-undang hukum pidana diluar KUHP, salah satunya dalam ketentuan

pasal-pasal UU PPTPPU, khususnya pasal 3 dan pasal 5. UU PPTPPU mengenal

stelsel pidana kumulatif dimana selain ada ancaman pidana penjara, juga ada

ancaman pidana denda.Penggunaan hukum pidana sebagai sarana untuk melindungi

berbagai kepentingn tersebt memerlukan kreatifitas pembentuk undang-undang dalam

mencari berbagai alternative sanksi pidana kepada korporasi agar kemudian tindakan
19
Dewi Iriani. Lusiana. Al Vionita. Uswatul Khsanah Critical Legal Studies. Politik Etis Terhadap Mahar
Politik Dalam Pembaharuan Hukum Pidana. Email : dewiiriani.iainponorogo@gmail.com. h. 2. Dilihat pada 16
November 2021
20
Tely Sumba. Ralfi Pinasang. Frans. Maramis. Buku Ajar. Filsafat. Hukum. H. 6. Dilihat Pada 16.
November. 2021
21
. Hermien. Hadiati.Koeswadji. Op. Cit, h.13

26
korporasi tidak melakukan perbuatan-perbuatan melanggar hukum yang ddalam hal

ini korupsi, Sebagaimana laporan Transparanci International Indonesia masyarakat

Indonesia mempersepsikan anggota DPR sebagai institusi terkorup di Indonesia, dan

partai politik sebagai actor terkorup di Inddonesia.22.Sehubungan dengan diterimanya

korporasi sebagai subjek hukum pidana, maka pidana yang dapat diterapkan juga

mendasarkan pada sifat korporasi yang berbeda dengan subjek hukum perorangan.

Pada dasarnyya pengenaan sanksi pidana terhadap korporasi masih tetap dapat

dilakukan, hany saja tentunya sanksi pidana yang sesuai dan dapat diterapkan pada

korporasi. Pembentukan hukum dan konstruksi hukum sangat diperlukan untuk dapat

memberikan rasa aman terhadap masyarakat sebagai akses untuk keadilan.23

Dalam Pasal 6 UU PPTPPU dikenal istilah personil pengendali korporasi, yang

pada Pasal 1 angka 14 diartikan setiap orang yang memiliki kekuasaan atau

wewenang sebagai penentu kebijakan korporasi atau memiliki kewenangan untuk

melakukan kebijakan korporasi tersebut tanpa harus mendapat otorisasi dari

atasannyya. Pengertian personil pengendali korporasi tersebut, dapat diberi makna

pengurus korporasi yang formal dalam anggaran dasar dari korporasi yang

bersangkutan karena dia memiliki kekuasaan atau wewenang sebagai penentu

kebijakan korporasi.

Partai politik sebagai pelaku aktif atau sebagai pelaku pasif tindak pidana

pencucian uang dapat dikenai sanksi pidana sebagaimana diatur dlam UU PPTPPU

khususnya pada Pasal 7. Sanksi-sanksi pidana tersebut, termasuk yang berupa


22
Maria Silvya. E. Wangga. Pertanggungjawaban Pidana Partai Politik sebagai Badan Hukum Tindak Pidana
Korupsi. mariasilvya@yahoo.com. h 3 Dilihat Pada 16 November 2021.
23
Mukhamad Lutfan. Setiaji. Aminullah Ibrahim. Kajian Hak Asasi Dalam Negara. The Rull Of Law Antara
Hukum Progresif dan Hukum Positif, h 71. Dilihat Pada 17 Novenber 2021

27
pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan yang tentunya juga dapat dimaknai

sebagai partai politik sebagaimana dalam prasyarat untuk mendirikan partai politik

haruslah didaftarkan pada Kementerian Hukum dan HAM untuk mendapatkan badan

hukum, maka korporasi sebagaimana pada UU PPTPPU haruslah juga dimaknai

partai politik dalam pembaharuan hukum pidana nasional yang berpotensi dijatuhi

hukuman pidana berupa pencabutan izin dan pembubaran apabila dijatuhkan kepada

partai [olitik. Sanksi pidana tersebut termasuk pembekuan sebagian atau seluruh

kegiatan partai politik masih relevan pelaksanaannya dan tidak berpotensi

menimbulkan masalah hukum. Hal menarik adalah terkait sanksi pidana pencabutan

izin hingga pembubaran apabila dijatuhkan kepada partai politik. Dalam Undang-

undang Partai Politik khususnya pada Pasal 41 disebutkan bahwa partai politik dapat

bubar hanya karena 3 (tiga) syarat yaitu

1. Membubarkan diri atas keputusan sendiri.

2. Menggabungkan diri dengan partai politik yang lain atau

3. Dibubarkan oleh Mahamah Konstitusi

Kewenangan partai politik juaga secara jelas disebutkan dalam Pasal 24 ayat

(6) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah onstitusi (Lembaran

Negara Republik Indonesia tahun 2003 Nomor 98 Tambahan Lembaran Negra

Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 4316 selanjutnya disebut UU MK) Secara

organisasi, partai politik sebagai sebuah organisasi masyarakat tunduk pada undag-

undag partai politik dan peraturan perundang0undangan terkait lainnya, salah satunya

juga tunduk pada undang-undang Mahkamah Konstitusi. Pada saat partai politik

28
tersebut terjerat tindak pidana pencucian uang baik sebagai pelaku aktif maupus

sebagai pelaku pasif maka seharusnya partai politik tersebut tunduk pada aturan yang

secara lebih khusus mengaturnya yaitu UU PPTPPU.

Oleh karena itu apabila hakim peradilan TPPU berpendapat bahwa sanksi

sesuai salah satunya adalah tambahan yang berupa pembubaran , maka partai politik

tersebut dapat dibubarkan. Hanyya saja menjadi catatan penting bahwa dalam UU

PPTPPU tidak mengatur secara khusus mengenai proses pembubaran partai politik

sehingga proses pembubaran parttai politik tersebut tetap harus kembali kepada

ketentuan khusus mengenai partai politik secara organisasi yaitu UU Parpol dan UU

MK. Pembubaran partai politik bukan tidak mungkin untuk dilakukan , mengingat hal

ini juga pernah terjdi sebelumnya dalam pergulatan negara ini. Setiap zaman

pemerintahan yang berkuasa memiliki cerita masing-masing mengenai pembubaran

partai politik.

Dalam hal pemidanaan partai politk diperlukan adanya kebijakan hukum

sebagai salasatuh wujud dalam konteks kebijakan legislasi, mamerlukan adanya

refomasi, rekonstruksi dan reorientasi tntang alas filosofis pemidanaan korporasi

sebagai partai politik dalam tindak pidana pencucian uang. Substansi ini perlu

dilakukan seiring perkembangan zaman dan teknologi, motif, modus operandi dan

corak kejahatan berkembang begitu pesat sehingga perkembangan hukum (law in

book) tertinggal begitu cepat.

Ketentuan Pasal 1 angka 1UU Nomor 31 tahun 1999 jo UU Nomor 20

tahun2001 dan Pasal 1 angka 10 UU Nomor 8 tahun 2010 menyebutkan korporasi

29
adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisir baik yang merupakan

badan hukum maupun yang bukan badan hukum.. Adapun ketentuan Pasal 3

Peraturan Mhkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 tahun 2016 tentang

Tatacara Penanganan Tindak idana Oleh Korporasi merupakan tindak pidana yang

dilakukan oleh orrang berdasarkan hubungan kerja, atau berdasarkan hubungan lain

baik sendiri-sendiri maupun Bersama-sama yang bertindak untuk dan atas nama

korporasi di dalam maupun diluar lingkungan korporasi..Berikutnya ketentuan Pasal

45 ayat (1) dan (2) RUU KUHP 2019 menyebutkan “korporasi sebagai subjek hukum

pidana mencakup badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, Yayasan,

koperasi, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau yang disamakan

dengan itu serta perkumpulan baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan

hukum, atau badan usaha yang berbentuk firma, persekutuan komenditer atau yang

disamakan dengan itu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Kemudian dalam ketentuan Pasal 47 disebutkan bahwa “Tindak pidana oleh

Korporasi merupakan tindak podana yang dilakukan oleh pengurus yang mempunyai

kedudukan fungsional dalam dalam struktur organisasi korporasi yang bertindak

untuk dan atas nama korporasi atau bertindak demi korporasi, yang berdasarkan

hubungan kerja atau berdasrkan hubungan lain dalam lingkup usaha atau kegiatan

korporasi tersebut, baik secara sendiri-sendiri maupun secara Bersama-sama. Satjipto

Raharjo menyatakan bahwa korporasi adalah,

“Suatu badan hasil ciptaan hukum. Badan yang diciptakannya itu terdiri dari
corpus, yaitu struktur fisiknya dan kedalamnya hukum memasukan unsur
animus yang membuat badan itu mempunyai kepribadian. Oleh karena badan

30
hukum ini merupakan ciptaan hukum, maka kecuali penciptaannya,
kematiannya pun juga ditentukan oleh hukum.’

Kemudian selanjutnya Sutan Sjahdeini mengatakan dengan titik tolak

pengertian korporasi dalam dimensi sempit dan luas mendefinisikan korporasi

bahwa ;

“Menurut artinya yang sempit yaitu ebgai badan hukum, korporasi


merupakan figure hukum yang eksistensi dan kewenangannya dapat atau
berwenang melakukan perbuatan hukum diakui oleh hukum perdata. Artinya
hukum perdatalah yang mengakui eksistensi dari korporasi dan
memberikannya hidup untuk dapat berwenang melakukan perbuatan hukum
sebagai suatu figure hukum. Demikian juga halnya dengan “matinya”
korporasi hanya mati secara hukum apabila matinya korporasi itu diakui oleh
hukum”
Konklusi konteks diatas , pengertian korporasi dapat dilihat perspektif

statusnya dan perspektif kegiatannya. Perspektif status dapat berupa korporasi yang

berbadan hukum dalam artian didirikan berdasarkan undang-undang dan

mendapatkan pengesahan oleh pemerintah.Kemudian korporasi tidak berbadan

hukum dapat berupa korporasi yang terdaftar maupun tidak terdaftar. Dari perspektif

kegiatannya korporasi dapat bebentuk perusahaan maupun bukan berbentuk

perusahaan.

Pada dasarnya tindak pidanaa korporasi dikenal dan dimaknai dalam tiga

perspektif. Pertama, tindak pidana korporasi yaitu tindak pidana yang dilakukan

secara Bersama-sama lebih dari satu orang. Dalam konteks ini perbuatan tersebut

dapat dilakukan dalam bentuk permufakatan jahat (samenspanning), perbuatan jahat

dilakukan secara Bersama-sama (meerdaadse samenloop), dan lain sebagainya. Pada

31
tindak pidana korporasi ini lazimnya tidak mungkin dilakukan secara sendiri, seperti

tindak pidana korupsi, tindak pidana peerbankan dan tindak pidana bermotif ekonomi

maupun tindak pidana pencucian uang.dan tindak pidana lainnya. Konsekuensi tindak

pidana korporasi ini dilakukan secara Bersama-sama, maka kedudukannya dapat

sebagai pelaku (dader), orang yang disuruh (doen plager), dibujuk (uitloker),

pembantuan (medeplikhtgheid), intelektual pembuat (actor intellectual). Kedua,

tindak pidanaa dalam korporasi dimana tindak pidana tersebut dilakukan oleh

pengurus (beheren). Konteks pengurus lazimnya dilakukan oleh direksi atau

komisaris, serta berbasis aturan yang bersifat lex specialis, seperti UU Nomor 40

tahun 2007 tentang perseroan terbatas. Ketiga, tindak pidana yang dilakukan oleh

korporasi dimana korporasi yang melakukan kejahatan, dan lazimnya dalam praktik

peradilan dilakukan dan diwakili oleh direksi atau dewan komisaris..

Perkembangan dan perjalanan sejarah dan teori korporasi sebagai subjek

hukum pidana tidak dapat dilepas dari proses kriminalisasi. Pada hakekatnya, secara

etimologis kriminalisasi berasal dari Bahasa inggris “criminalization” atau padanan

dalam Bahasa Belanda sebagai “criminalisatie” . Apabila dikaji dari pperspektif

ontology, kriminalisasi adalah objek hukum pidana materil dengan membahas

masalah penentuan perbuatan sebagai tindak pidana atau kejahatan yang diancam

dengan sanksi pidana tertentu. Sudarto menyebutkan “kriminalisasi sebagai suatu

proses penetapan suatu perbuatan seseorang sebagai perbuatan yang dapat dipidana .

Proses ini diakhiri dengan terbentuknya undang-undang dimana perbuatan ini

diancam dengan suatu sanksi yang berupa pidana.24..Pada dasarnya menurut Roelah
24
Sudarto. Hukum dan Hukum Pidana, PT Alumni, Bandung, 1983, hlm.31

32
Saleh asas kesalahan pada korporasi tidak mutlak berlaku, tapi cukup mendasarkan

adagium res ipsa loquitur (fakta sudah berbicara sendiri. Karna realitas paa

masyarakat menunjukan bahwa yang disebabkan oleh perbuatan-perbuatan korporasi

sangat besar, baik kerugian yang bersifat fisik, ekonomi maupun biaya social.

BAB III

PENUTP

A. Kesimpulan

Bahwa dari uraian yang telah penulis paparkan, maka kemudian penulis menarik suatu

kesimpulan terkait dengan tugas ini adalah sebagai berikut :

1. Pertanggungjawaban pidana kepada korporasi dapat dilakukan dengan alas filosofis,

sosiologis, dan yuridis pemidanaan korporasi pelaku tindak pidana korupsi maupun

tindak pidana pencucian uang. Dalam hal ini berlaku ajaran bahwa perbuatan pengurus

korporasi dialihkan pertanggungjawaban pidananya kepada korporasi. Namun

pertanggungjawaban pidana terhadap partai politik sebagai suatu korporasi , tetap akan

berkaitan erat dengan pertanggungjawaban orang-perorangan sebagai pengurus.

2. Pengurus parati politik dan partai politiknya itu sendiri dapat dikenai sanksi pidana

khususnya bagi partai politik sebagai korporasi, dengan ancaman sanksi pidana pokok

berupa pidana denda dan pidana tambahan salah satunya berupa pembekuan sementara

hingga pembekuan partai politik tersebut.

B. Saran

33
Dari hasil penulisan serta penelitian yang telah dilakukan oleh penulis dalam tugas penulisan

maka penulis menyarankan sebagai berikut :

1. Seyogyanya pengaturan terhadap korporasi dalam Undang-Undang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang UU PPTPPU dipertegas bukan hanya

berkaitan dengan pengertian korporasi yang meliputi badan hukum maupun bukan badan

hukum, melainkan penegasan tujuan korporasi yang meliputi bertujuan ekonomis

maupun yang bertujuan non ekonomis. Oleh karena itu dalam hal ada perubaha hukum

kedepannya baik terkait dengan UU PPTPPU maupun pembaharuan hukum pidana

KUHP dapat dipertimbangkan adanya penegasan ruang lingkipnya terhadap korporasi

yang sifatnya khusus seperti contohnya partai politik

2. Seyogyanya ada pengaturan yang jelas mengenai konsep pembubaran partai politik

manakala partai politik sebagaai korporasi terbukti sebagai pelaku aktif atau sebagai

pelaku pasif tindak pidana pencucian uang , sehingga diharapkan tidak menimbulkan

penafsiran-penafsiran yang dapat menjadi polemic dalam penegakan hukum pidana

khususnya partai politik sebagai pelaku aktif ataupun sebagai pelaku pasif tindak pidana

pencucian uang demi untuk menegakan keadilan.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. FATF suatu Lembaga yang didirikan oleh negara-negara yang tergabung dalam
kelompok G7 yaitu, kegiatan organisasi Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris dan
Amerika Serikat tahun 1989 di Paris sebagai bentuk keprihatinan terhadap karakteristik
pencucian uang
2. Financial Action Task Force on Money Loundering (FATF) Public Statement hari
Jumat, tanggal 22 Februari 2013 sumber http://www,fatf.gafi.org/topics-riskandnon-
cooperativejurisdictions/documents/fatfpublicstatemant/22februari2013.html. dilihat pada
25 Oktober 2021
3. Asia Pasific Group on Money Loundering (APG), Indonesia, APG Members
sumber http.//www.apgml.org/apg-members/default.aspx?funsdictianID=10, dilihat pada 25
Oktober 2021
4. J.E.Sahetapi. Kejahatan Korporasi .PT. Radika Aditma. Nandung 2002,hlm 4
5. PKS Targetkan 2 Triliyun Dari Tiga Kementerian, berita hari Selasa 25 Juni 2013.
Sumber www.tribunnews,com, dilihat pada hari senin tanggal 14 November. tahun 2021
6. Biaya calon anggota DPR hingga 6.miliyar. berita hari kamis tanggal 30 Mei 2013,
sumber www.tempo.co/red/folis/2013/04/22/2745/Biaya-Calon-Anggota-DPR-hingga-RP-6-
Miliayar, dilihat pada tanggal30 Nofember 2021
7. Harjono , Transformasi Demokrasi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi, Jakarta,2009,h5
8. Donita Paskalina Tamba, Rekomendasi Pengaturan Keuangan Partai Politik di
Indonesia. Standar Pengaturan Keuangan Partai
Politik,http://donitapaskalina.blogspot.com/2013/07/rekomendasi-pengaturan-keuangan—
partai.html?m=1. Diakses pada Kamis tanggal…….Agustus 2022
9. Jimly. Asshidddiqie,Op.Cit , h 69
10. Nadir Filsafat Hukum dan Dekonstruksi Critical Legal Studies Sebuah Paradigma
Pembaharuan Hukum Dalam Menggugat Eksistensi Dominasi Asumsi Kemapanan Hukum Jln
Panglegur. KM.3.5 Pamekasan Madura Email : mh_dira@yahoo.co.id
11. Muchammad Ali Safa’at, Op. Cit, h 66

35
12. Lilik Mulyadi, Membangun Model Ideal Pemidanaan Korporasi, Pelaku Tindak
Pidana Korupsi Berbasis Keadilan, Edisi Pertama, Copyright 2021, Cetakan ke-1 , Maret 2021,
Kencana 2021. 1446. H 46
13. Konsep Dasar Critical Legal Studies : Kritik Atas Formalisme Hukum p-ISSN 2337-
6368 HTTP;// Jurnal,ugj.ac.id/index.php/HERMENEOTIKA. H. 6. Dilihat Pada 16. November.
2021
14. Kajian Hukum Kritis : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dalam Landasan
Filosifis.Anwar.Hidayat.dan Irma Garwan Fakultas Bisnis dan Ilmu Sosial. Universitas Buana
Perjuangan Karawng Jln H.S.Ronggowaluyo, Teluk Jambe Timur Karawang. anwar. Hidayat
@ubp.karawang.ac.id, h. 5. Dilihat Pada 16 November 2021
15. I. Dewa. Made. Suarta. Hukum. Pdana. Korporasi. Pertanggungjawaban Pddana.
Dalam. Kebijakan. Hukum. Pdana. Indonesia. Copyright Agustus. 2015. Setara. Press
(Kelompok Intrans Publishing) Wisma Kli Metro. Jln. Joyosuko, Metro 42. Malang. Jatim.
Distributor. Cita. Intrans. Selaras, h. 2.
16. Indra Rahmatulah Filsafat Hukum. Aliran Studi Hukum Kritis (Critical Legal
Studies) ; Konsep dan Aktualisasinya Dalam Hukum Indonesia. Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta 10.15408/adalah.v.5i.3.21393.
17. Arif Budiono’ Wavda vivid Izziyana” Theistic Legal Realism Suatu Pilihan Radikal
Bagi Pengembangan Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Ponorogo Email
areevahims@gmail.com wavda.vivid@yahoo.com. H. 5 DDilihat Pada 16 November 2021
18. Ahmad Kodir Jaelani Tanjung. Hari Purwadi, Harti winingsih. Para Dikma Hakim
Dalam Memutuskan Perkara Pidana Di Indonesia email : ahmadkodir.akjt@gmail.com, email:
Hpurwadi@gmail.com. Email {hartiwi50@yahoo.com

19. Dewi Iriani. Lusiana. Al Vionita. Uswatul Khsanah Critical Legal Studies. Politik Etis
Terhadap Mahar Politik Dalam Pembaharuan Hukum Pidana. Email :
dewiiriani.iainponorogo@gmail.com. h. 2. Dilihat pada 16 November 2021
20. Tely Sumba. Ralfi Pinasang. Frans. Maramis. Buku Ajar. Filsafat. Hukum. H. 6.
Dilihat Pada 16. November. 2021
21.. Hermien. Hadiati.Koeswadji. Op. Cit, h.13
22. Maria Silvya. E. Wangga. Pertanggungjawaban Pidana Partai Politik sebagai
Badan Hukum Tindak Pidana Korupsi. mariasilvya@yahoo.com. h 3 Dilihat Pada 16
November 2021.
23. Mukhamad Lutfan. Setiaji. Aminullah Ibrahim. Kajian Hak Asasi Dalam Negara.
The Rull Of Law Antara Hukum Progresif dan Hukum Positif, h 71. Dilihat Pada 17 Novenber
2021
24. Sudarto. Hukum dan Hukum Pidana, PT Alumni, Bandung, 1983, hlm.31

36
37

Anda mungkin juga menyukai