Anda di halaman 1dari 156

HUKUM SUMBER DAYA ALAM i

PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI


HUKUM SUMBER DAYA ALAM
PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI

Penulis :
Dr. Sigit Sapto Nugroho, SH, M.Hum
Dr. Yulias Erwin, SH, M.H
Dr. Rina Rohayu. H, SH.,M.H

Editor :
Dr. Elviandri, S.HI., M.Hum
Farkhani, S.HI., S.H., M.H

Layout :
IVORIE

ISBN :

Diterbitkan oleh:
Penerbit Taujih
Jl. Merak 51 Gonilan Kartosuro 57162
Email : penerbit.taujih@gmail.com
Cetakan I, Januari 2019

Dicetak oleh :
Percetakan IVORIE, Solo
isi di luar tanggungjawab percetakan.

ii HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr. wb.

Sumber daya alam yang melimpah merupakan anugerah


Tuhan Yang Maha Esa yang diberikan kepada bangsa Indonesia,
dalam konteks masyarakat Jawa, Negara Indonesia sebagai negara
yang panjang punjung pasir wukir gemah ripah loh jinawi tata tentrem
kerto raharja (negara yang begitu luas baik darat, gunung dengan
kehidupan yang serba kecukupan tidak kekurangan, masyarakat
yang tentram dan damai serta makmur).

Pengelolaan sumber daya alam menjadi sesuatu yang sangat


penting untuk dilakukan pengaturan baik dari sisi hukum maupun
kebijakan karena pada satu sisi sumber daya alam merupakan
sumber pendapatan negara melalui devisa yang dihasilkan, di sisi
yang lain perlu untuk dilestarikan fungsi keberlanjutannya untuk
kepentingan generasi yang akan datang guna mewujudkan keadilan
inter-antar generasi (transgenerasi).

Buku ini merupakan rangkaian kumpulan dari berbagai


tulisan, artikel, jurnal dan hasil penelitian penulis yang merupakan
kolaborasi bidang yang merupakan kompetensi para penulis,
dengan harapan agar berbagai tulisan tersebut dapat memberikan
secercah harapan bagi rasa dahaga keilmuan di bidang hukum
sumberdaya alam yang masih sangat jarang ditemukan. Di samping
itu merupakan suatu tantangan tersendiri bagi penulis untuk
mempersembahkan keilmuan dalam sebuah komitmen untuk selalu
bisa istiqomah dalam menulis ide, gagasan maupun berbagai hasil
penelitian dalam sebuah literatur yang tentunya akan lebih banyak
memberikan manfaat bagi orang banyak.

HUKUM SUMBER DAYA ALAM iii


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada segenap rekan-
rekan dosen di Fakultas Hukum Universitas Merdeka Madiun,dan
Universitas Muhammadiyah Mataram, segenap pimpinan dan seluruh
civitas akademika ke dua perguruan tinggi yang selalu memberikan
support dan dorongan semangat bagi para penulis untuk selalu
eksis dalam menulis dan berkolaborasi dalam sebuah kajian ilmiah
dalam wujud literatur.

Semoga dengan terbitnya buku ini dapat memberikan


harapan akan dahaga keilmuan di bidang Hukum Sumber Daya
Alam khususnya dan bidang ilmu hukum pada umumnya. Tiada
gading yang tak retak, saran kritik yang bersifat konstruktif sangat
diharapkan para penulis guna dapat memberikan sebuah karya yang
terbaik bagi dunia ilmu pengetahuan dan dunia literasi Indonesia.

Wassalamualaikum wr.wb.

Madiun & Mataram, Oktober 2019

Penulis

iv HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................... 3
DAFTAR ISI........................................................................................... 5
BAB I SUMBER DAYA ALAM.................................................................7
A.. Pengertian Sumber Daya............................................................... 7
B.. Pengertian Sumber Daya Alam (SDA)........................................ 8
C.. Kondisi Faktual Sumber Daya Alam Indonesia....................15
D.. Bidang Sumber Daya Alam dan Kelembagaan .................. 24
BAB II HAK DAN PENGUASAAN SUMBER DAYA ALAM.................. 27
A.. Rezim Hak Kepemilikan atas Sumber Daya Alam...............27
B.. Penguasaan Negara atas Sumber Daya Alam di Indonesia..
33
BAB III PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF
HUKUM DAN KEBIJAKAN................................................... 39
A.. Indonesia Kaya Sumber Daya Alam ........................................39
B.. Karakteristik Perundang-Undangan Mengenai
Pengelolaan Sumber Daya Alam...............................................44
C.. Ideologi Penguasaan dan Pemanfaatan Sumber Daya
Alam....................................................................................................47
BAB IV. PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF
OTONOMI DAERAH.............................................................. 55
A.. Otonomi Daerah atas Sumber Daya Alam.............................55
B.. Kebijakan Nasional dan Daerah dalam Pengelolaan
Sumber Daya Alam........................................................................59
C.. Pengaturan dan Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang
Sumber Daya Alam .......................................................................66
D.. Implikasi Alih Kewenangan dalam Pengelolaan Sumber
Daya Alam.........................................................................................71
BAB V PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN.................................... 77

HUKUM SUMBER DAYA ALAM v


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
A.. Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Pembangunan
Berkelanjutan..................................................................................77
B.. Pembangunan Berkelanjutan yang Berwawasan
Lingkungan Hidup. ........................................................................80
BAB VI PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM BERBASIS
KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI................................105
A.. Konflik Sumber Daya Alam di Indonesia.............................105
B.. Pengelolaan Sumber Daya Alam Perspekif Keadilan Inter-
Antar Generasi..............................................................................113
BAB VII.POLITIK HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM.120
A.. Politik Hukum Pengelolaan Sumber Daya Alam, Sumber
Daya Manusia dan Sumber Daya Buatan............................120
B.. Politik Hukum Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis
Pada Cita Hukum.........................................................................123
REFERENSI.......................................................................................146
TENTANG PENULIS.........................................................................153

vi HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
BAB I
SUMBER DAYA ALAM

A. Pengertian Sumber Daya


Istilah sumber daya (resource), mulai populer di Indonesia sejak
dekade 1980-an. Hal ini tercermin dari penggunaan istilah sumber
daya dalam peraturan perundang-undangan di bawah tahun 1980-
an dan setelah tahun 1980-an. Dalam berbagai perturan perundang-
undangan di bawah tahun 1980-an, istilah sumber daya lebih disebut
sebagai kekayaan atau sumber (alam). Pada peraturan perundang-
undangan di atas tahun 1980-an, istilah sumber daya menjadi umum
digunakan untuk merujuk pada berbagai konotasi seperti sumber daya
manusia, sumber aya alam dan sumber daya buatan.1
Pada dasarnya istilah sumber daya merujuk pada sesuatu yang
memiliki nilai ekonomi atau dapat memenuhi kebutuhan manusia,
atau input-input bersifat langka yang dapat menghasilkan utilitas
(kegunaan/kemanfaatan) baik melalui proses produksi maupun
bukan, dalam bentuk barang dan jasa. Secara etimologis istilah
sumber daya dapat berarti merujuk pada beberapa pengertian
sebagai: (1) Kemampuan untuk memenuhi atau menangani sesuatu;
(2) Sumber persediaan, penunjang dan pembantu: (3) Sarana yang
dihasilkan oleh kemampuan atau pemikiran seseorang. Dengan
demikian pengertian sumber daya sangat luas, yang dapat meliputi
sumber daya alam, manusia, modal, buatan dan sebagainya.2
Dalam beberapa literatur juga dijumpai pengertian sumber
daya sebagai sebutan singkat untuk sumber daya alam. Beberapa
definisi mengenai sumber daya dapat disajikan sebagai berikut :
1  Maria S.W Sumardjono, Dkk, 2011, Pengaturan Sumber Daya alam di Indonesia: Antara
yang Tersurat dan Tersirat, Fakulas Hukum Universitas Gajah Mada,Gajah Mada
University Press, hal 7
2  Ibid

BAB I 1
SUMBER DAYA ALAM
a. Seluruh faktor produksi/input produksi untuk menghasilan
output;
b. Berbagai faktor produksi yang dimobilisasikan dalam suatu
proses produksi, atau lebih umum dalam aktivitas ekonomi,
misalkan modal, tenaga manusia, energi, air mineral dan lain-lain;
c. Aset untuk pemenuhan kepuasan dan utilitas manusia;
d. Segala bentuk input yang dapat menghasilkan utilitas
(kemanfaatan) dalam proses produksi atau penyediaan barang
dan jasa;
e. Sumber daya adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas
smber daya manusia, sumber daya alam, baik hayati maupun
non hayati, dan sumber daya buatan.
Dari definsi sumber daya di atas dapat diyatakan bahwa secara
konseptual istilah sumber daya merujuk pada pengertian : (1) Terkait
dengan kegunaan (usefulness); (2) Diperlukan sebagai sarana untuk
mencapai tujuan; (3) Menghasilkan utilitas (kepuasan) dengan
melalui aktivitas produksi; dan (4) Utilitas dikonsumsi baik secara
langsung maupun tidak langsung (jasa lingkungan, pemandangan
dan lain-lain).3

B. Pengertian Sumber Daya Alam (SDA)


Merujuk pada istilah sumber daya, maka SDA dapat dimengerti
sebagai bagian dari sumber daya secara luas. Dari pengertian sumber
daya, SDA dapat berbentuk sebagai : (1) faktor produksi dari alam
yang digunakan untuk menyediakan barang dan jasa; (2) Komponen
dari ekosistem yang menyediakan barang dan jasa yang beranfaat
bagi kebutuhan manusia; (3) Sumber daya yang disediakan atau
dibentuk oleh alam.

3  Sigit Sapto Nugroho, 2012, Diktat Hukum Sumber Daya Alam, Fakultas Hukum
Universitas Merdeka Madiun, Tidak dipublikasikan, hal 2

2 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
Definisi SDA yang disajikan oleh kantor Menteri Negara
Lingkungan Hidup sebagaimana dikutip oleh Maria SW Sumardjono
dkk4 dinyatakan bahwa SDA adalah kesatuan tanah, air dan ruang
udara termasuk kekayaan alam yang ada di atas dan di dalamnya
yang merupakan hasil proses alamiah baik hayati maupun non
hayati, terbarukan dan tidak terbarukan, sebagai fungsi kehidupan
yang meliputi fungsi ekonomi, sosial dan lingkungan.
Sebagaimana pendapat Rustiadi dalam Maria SW Sumardjono
dkk5 mengajukan lebih generik dengan memberikan pra kondisi
mengenai SDA. Dalam definisi tersebut dinyatakan bahwa SDA
merupakan sumber daya yang tersedia secara alamiah, dengan kondisi
jika : (1) Manusia telah memiliki atau menguasai teknologi untuk
memanfaatkannya, (2) adanya permintaan untuk memanfaatkannya.
Secara skematik dapat digambarkan sebagai berikut :

Sumber : Maria S.W Sumardjono, 2011


4  Maria S.W. Sumardjono, Dkk, 2011, Op-Cit, hal 12
5  Ibid, hal 12…lihat juga dalam E. Rustiadi, S. Saeful Hakim dan D.R. Panuju, 2008,
Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Institut Pertanian Bogor, hal 14

BAB I 3
SUMBER DAYA ALAM
Terdapat berbagai cara mengelompokan atau
mengklasifikasikan SDA. Salah satu cara mengklasifikasikan yang
paling umum adalah dengan memilah sumber daya atas SDA yang
dapat diperbaharui (renewable resources) atau dipakai istilah flows
dan SDA yang tidak dapat diperbaharui (no-renewable resources) atau
dipakai istilah stock.
Ketersediaan kuantitas fisik SDA berbentuk stock bersifat
tetap, yaitu jumlah yang sudah dipakai saat ini tidak akan tersedia
lagi di masa depan. Oleh karena itu stock bersifat dapat habis dan
tidak dapat diperbaharui. Sedangkan yang bersifat flows dapat
diperbaharui dan dapat dikelola keberlanjutan dalam menghasilkan
barang dan jasa.
Klasifikasi SDA menurut Hanley6 dapat digambarkan dalam
bagan berikut :

Sumber : Fauzi ,2004

6  A. Fauzi, 2004, Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, hal 6-8

4 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia belum
ditemukan definisi hukum tentang sumber daya alam (SDA).
Pengertian tentang SDA dapat ditelusuri dari pandangan beberapa
pakar. Menurut Kartodihardjo sebagaimana dikutip Yance Arizona7
SDA dapat digolongkan ke dalam dua bentuk. Pertama, sumber
daya alam sebagai stock atau modal alam (natural capital) seperti
watershed, danau, kawasan lindung, pesisir, dll, yang keberadaannya
tidak dibatasi oleh wilayah administrasi. Kedua, sumber daya alam
sebagai faktor produksi atau sebagai barang/komoditas seperti kayu,
rotan, air, mineral, ikan, dll, yang diproduksi oleh berbagai sektor/
dinas sebagai sumber-sumber ekonomi.
Lebih jauh Kartodihardjo mengatakan, bahwa SDA dalam
bentuk stock dapat menghasilkan fungsi-fungsi yang in-tangible
sifatnya, seperti menyimpan air dan mencegah terjadinya banjir di
musim hujan dan mengendalikan kekeringan di musim kemarau,
menyerap CO2 yang ada di udara, mempertahankan kesuburan tanah,
mengurai berbagai bahan beracun, maupun kekayaan alam sebagai
sumber pengetahuan serta hubungan sosial dan budaya masyarakat,
dan lain-lain.8
SDA dalam bentuk stock mempunyai fungsi-fungsi yang
berguna bagi publik, dan fungsi-fungsi tersebut tidak dapat dibagi-
bagikan kepada perorangan dan tidak pula dapat dimiliki oleh
perorangan, meskipun setiap orang memerlukannya.
Pengertian lain tentang sumber daya alam dikemukakan oleh
Gibbs dan Bromley yang menyebutkan: “natural resources (sumber
daya alam) exist as stock, such as coal or mineral deposits, or flows such
as water, sunlight, forest or fisheries.9

7  Yance Arizona, 2008, Karakter Peraturan Daerah Sumber Daya Alam, Huma, Jakarta, hal 1
8  Ibid, hal 1
9  Ibid, hal 1

BAB I 5
SUMBER DAYA ALAM
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)
mengartikan stock sebagai “sumber daya alam yang tersedia dalam
jumlah, kualitas, tempat dan waktu tertentu,” sedangkan flows
adalah “aliran sumber daya alam baik berupa penambahan maupun
pengurangan stock yang ada di alam.” Sebagai stock sumber daya
alam tidak dapat diperbaharui: apa yang dimanfaatkan sekarang
tidak dapat dimanfaatkan kemudian hari. Sedangkan sebagai flows
sumber daya alam dapat diperbaharui. Bila dikelola dengan baik
dapat memberikan manfaat yang berlanjut: apa yang dimanfaatkan
sekarang dapat memberikan manfaat lagi dikemudian hari.10
Dietz11 menyebutkan “sumber daya alam bukan hanya
dihubungkan dengan ketersediaanya saja atau karena kegunaan
potensialnya yang menjadikan unsur-unsur alam, seperti bahan
galian, lahan, air, tumbuhan dan satwa, udara, sumber-sumber energi,
sebagai suatu sumber daya tetapi karena penggunaan dampak
aktualnya bagi manusia. Alam menjadi suatu sumber daya apabila
manusia berhubungan dengan alam. Jadi ia merupakan sumber daya
dalam pengertian sosialnya.”
Sedangkan menurut BAPPENAS, sumber daya alam Indonesia
diartikan sebagai semua sumber daya baik dalam bentuk materi,
energi, dan informasi yang tersedia di alam, baik di dalam maupun
di muka bumi, yang berada pada satu kesatuan ekosistem Indonesia.
Termasuk dalam pengertian sumber daya alam adalah ekonomi
berbasis sumber daya alam seperti pertanian, karena kegiatan
tersebut memanfaatkan dan mempengaruhi berbagai unsur alam.12
Dari definisi SDA yang disebut di atas, maka sumber daya alam
dapat dibedakan berdasarkan fungsinya (pendapat Kartodihardjo)

10  Sigit Sapto Nugroho, 2012, Op-Cit, hal 4


11  Ton Dietz, 2005, Pengakuan Hak Atas Sumberdaya Alam: Kontur Geografi Lingkungan
Politik, Pengantar Masour Fakih, Insist Press, Yogyakarta, hal vii
12  Sigit Sapto Nugroho, 2012, Op-Cit, hal 4-5

6 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
dan berdasarkan jenisnya (Gibbs dan Bromley). Sedangkan pendapat
Dietz dan BAPPENAS tidak membedakan sumber daya alam
berdasarkan fungsi maupun jenisnya, karena sumber daya alam
didefinisikan atas apa saja yang bisa diberikan alam dalam hubungan
aktualnya dengan manusia.
Istilah Sumber Daya Alam sendiri secara yuridis dapat ditemukan
di Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Nomor IV/MPR RI/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan
Negara Tahun 1999-2004, khususnya Bab IV Arah Kebijakan Huruf H
Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup angka 4, yang menyatakan
“Mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan
keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan,
kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal, serta penataan
ruang, yang pengusahaannya diatur dengan undang- undang”.
Demikian juga pada ketentuan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001
tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam,
khususnya Pasal 6 yang menyatakan “Menugaskan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat bersama Presiden Republik Indonesia untuk
segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan
pengelolaan sumber daya alam serta mencabut, mengubah dan/atau
mengganti semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannya
yang tidak sejalan dengan dengan Ketetapan ini”.
Pengertian sumber daya alam sendiri secara yuridis cukup
sulit ditemukan, namun kita dapat meminjam pengertian sumber
daya alam ini dari Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Sumber
Daya Alam yang memberikan batasan/pengertian sebagai berikut
“Sumber daya alam adalah semua benda, daya, keadaan, fungsi
alam, dan makhluk hidup, yang merupakan hasil proses alamiah,
baik hayati maupun non hayati, terbarukan maupun tidak terbarukan”.
BAB I 7
SUMBER DAYA ALAM
Demikian juga halnya dengan istilah dan pengertian Hukum
Sumber Daya Alam sendiri ternyata cukup sulit untuk mencari hal
tersebut. Secara yuridis kita dapat menemukan istilah Hukum
Sumber Daya Alam (yang dapat penulis interpretasikan secara bebas)
adalah di Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2000 tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2000, khususnya
Lampiran Bab VIII Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup
Butir VIII.2.4.Program Penataan Kelembagaan dan Penegakan Hu-
kum Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan
Hidup, yang menyatakan “Kegiatan pokok program ini dalam tahun
2001 diantaranya adalah Penyusunan undang-undang sumber daya
alam berikut perangkat peraturannya”. Namun demikian penjela-
san dan pengertian atas istilah Hukum Sumber Daya Alam pada
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2000 tersebut juga belum mem-
berikan pemahaman yang tuntas. Penjelasan yang agak cukup gam-
blang dapat kita pahami dari pendapat Siti Sundari Rangkuti13,
yang menyatakan “Pada pengelolaan lingkungan kita berhadapan
dengan hukum sebagai sarana pemenuhan kepentingan”. Berdasar-
kan kepentingan- kepentingan lingkungan yang bermacam-macam
dapat dibedakan bagian-bagian hukum lingkungan:
1. Hukum bencana (ramperenrecht);
2. Hukum kesehatan lingkungan (milieuhygienerecht);
3. Hukum tentang sumber daya alam (recht betreffende
natuurlijke rijkdommen) atau hukum konservasi (natural
resources law); hukum tentang pembagian pemakaian ruang
(recht betreffende de verdeling van het ruimtegebruik) atau
hukum tata ruang;
4. Hukum perlindungan lingkungan (milieu beschermingsrecht)”.

13  Siti Sundari Rangkuti, 2000, Hukum Lingkungan dan kebijakan Lingkungan Nasional,
Airlangga University Press, Surabaya, hal 3

8 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
Berdasarkan penjelasan itu tampak bahwa sebetulnya Hukum
Sumber Daya Alam merupakan bagian dari Hukum Lingkungan.
Menurut Rangkuti14, Hukum Lingkungan menyangkut penetapan
nilai-nilai (waardenbeoordelen), yaitu nilai-nilai yang sedang berlaku
dan nilai- nilai yang diharapkan diberlakukan di masa mendatang
serta dapat disebut hukum yang mengatur tatanan lingkungan hidup.
Berdasarkan hal dengan demikian Hukum Lingkungan adalah
hukum yang mengatur hubungan timbal balik antara manusia dengan
mahluk hidup lainnya yang apabila dilanggar dapat dikenakan
sanksi. Apabila hal tersebut kemudian kita kaitkan dengan persoalan
sumber daya alam maka Hukum Sumber Daya Alam adalah hukum
yang merupakan bagian dari Hukum Lingkungan yang mengatur
hubungan timbal balik antara manusia dengan mahluk hidup lainnya
dalam hal menyangkut persoalan sumber daya alam maupun
lingkungannya yang apabila dilanggar dapat dikenakan sanksi
atau hukuman.

C. Kondisi Faktual Sumber Daya Alam Indonesia


Sumber daya alam merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha
Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia sebagai kekayaan
yang tak ternilai harganya. Oleh karena itu sumber daya alam wajib
dikelola secara bijaksana agar dapat dimanfaatkan secara berdaya
guna, berhasil guna dan berkelanjutan bagi sebesar- besarnya
kemakmuran rakyat, baik generasi sekarang maupun generasi yang
akan datang. Ketersediaan sumber daya alam baik hayati maupun
non-hayati sangat terbatas, oleh karena itu pemanfaatannya baik
sebagai modal alam maupun komoditas harus dilakukan secara
bijaksana sesuai dengan karakteristiknya.

14  Ibid, hal 3

BAB I 9
SUMBER DAYA ALAM
Sejalan dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan bahwa
bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat, maka pengelolaan sumber daya alam harus berorientasi
kepada konservasi sumber daya alam (natural resource oriented) untuk
menjamin kelestarian dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam,
dengan menggunakan pendekatan yang bercorak komprehensif dan
terpadu.15
Namun kenyataannya apa yang diidealkan dan diharapkan
sebagaimana uraian di atas adalah jauh dari harapan. Telah terjadi
banyak kerusakan atas sumber daya alam kita, yang ternyata
persoalan pokok dari sumber daya alam dan lingkungan hidup
yang terjadi selama ini justru dipicu oleh persoalan hukum dan
kebijakan atas sumber daya alam tersebut.
Sumber daya alam selain dapat dikategorikan dalam bentuk
modal alam (natural resources stock) seperti daerah aliran sungai,
danau, kawasan lindung, pesisir dan lain-lain. Juga dalam bentuk
faktor produksi atau komoditas seperti kayu, rotan, air, mineral, ikan,
dan lain-lain. Upaya pelestarian kedua kategori sumber daya alam
tersebut sangat ditentukan oleh daya dukungnya, karena memiliki
keterbatasan untuk menghasilkan komoditas secara berkelanjutan.
Selain itu, sumber daya alam dapat dikategorisasi menjadi sumber
daya alam yang terbarukan dan tidak terbarukan, sehingga
pemanfaatan sumber daya alam perlu ada perlakuan yang berbeda
sesuai dengan karakteristiknya.
Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang
melimpah. Di sektor kelautan dan perikanan, total garis pantai
mencapai 81 ribu km. Total perairan darat seluas 5.500.000
15  Kadarsah, 2014, Hukum Sumber Daya Alam, Penerbit R.A. Derosarie, Surabaya, hal 5

10 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
km persegi, sedangkan total perairan laut seluas 5.800.000 km
persegi. Potensi maksimum perikanan laut sebesar 6.700.000
sampai 7.700.000 metrik ton sedangkan untuk perikanan darat
sebesar 3.600.000 metrik ton dan baru dapat dimanfaatkan sebesar
30%. Terumbu karang di Indonesia mengandung lebih dari 70 (tujuh
puluh) genus dan merupakan salah satu negara yang mempunyai
keragaman karang (coral) paling tinggi di dunia.16
Di sektor pertambangan, Indonesia memiliki sumber daya
mineral yang cukup besar seperti emas, tembaga, perak, nikel,
batubara, bauksit dan sebagainya. Saat ini Indonesia merupakan
salah satu produsen emas, tembaga dan batubara terpenting di
dunia. Produksi batubara Indonesia yang pada awal tahun 1970-
an kurang dari 1.000.000 ton per tahun, pada akhir tahun 1990-
an telah mencapai kurang lebih 80.000.000 ton per tahun bahkan
sekarang jauh melebihi di atas 100.000.000 ton pertahun . Produksi
pertambangan yang lain seperti emas, tembaga, dan nikel juga
meningkat dengan tajam. Dengan demikian, pertumbuhan produksi
di bidang pertambangan merupakan sektor yang tertinggi dari
seluruh industri primer dalam beberapa dekade terakhir.17
Kegiatan pertambangan yang dilakukan secara besar-besaran
berakibat telah mengubah bentang alam yang selain merusak
tanah juga menghilangkan vegetasi yang berada diatasnya. Lahan-
lahan bekas pertambangan membentuk kubangan-kubangan
raksasa, sehingga hamparan tanah menjadi gersang dan bersifat
asam akibat limbah tailing dan batuan limbah yang dihasilkan
dari kegiatan pertambangan. Dalam kurun waktu bebarapa
dekade sejarah pertambangan banyak diwarnai konflik dengan
masyarakat lokal karena ketidakpuasan unsur-unsur masyarakat di
daerah atas pengeloaan tambang. Salah satu penyebabnya adalah
16  Ibid, hal 6
17  Ibid, hal 6

BAB I 11
SUMBER DAYA ALAM
sistem perijinan pertambangan yang dikelola secara tersentralisasi,
sehingga menciptakan ketidakadilan bagi masyarakat adat/lokal.
Manajemen pertambangan yang sentralistik juga menimbulkan
benturan kepentingan antara pertambangan dengan sektor-sektor
lainnya. Wilayah pertambangan yang diberikan kepada para investor
melalui sistem kontrak karya sebagian besar terletak dalam kawasan
hutan lindung atau bahkan dalam kawasan taman nasional, sehingga
menimbulkan kerusakan kawasan hutan dan taman nasional yang
seharusnya terjaga kelestariannya.
Dalam kondisi krisis, pemerintah mengharapkan ekspor
pertambangan di pasar global akan menambah pendapatan negara
dan menstabilkan nilai tukar asing serta mengontrol defisit. Namun
dari pengelolaan pertambangan di Indonesia saat ini, akan sukar
untuk mengandalkan industri pertambangan yang bisa selalu eksis
saat ini. Peningkatan pendapatan negara hanya akan terjadi jika
industri yang ada saat ini meningkatkan produksi atau profit. Artinya,
akan terjadi berbagai implikasi yang terkait dengan lingkungan dan
sumber daya alam.
Peningkatan aktivitas pertambangan tentunya akan
menambah kerusakan lingkungan yang sudah terjadi sebelumnya
akibat eksploitasi pertambangan yang berlebihan. Pertambangan
skala kecil hanya akan memberi masukan pencemaran lingkungan
dibandingkan hasilnya. Kesulitan pengawasan dan lemahnya
pengaturan untuk pertambangan skala kecil ini akan mempercepat
kerusakan lingkungan. Selain itu juga dengan adanya pemotongan
biaya di setiap departemen akan berimplikasi pada pengawasan
aktivitas pertambangan serta penegakan hukum yang mengabaikan
aspek lingkungan (ecology).18

18  H. Salim, 2012, Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara, Sinar Grafika , Jakarta, hal
222

12 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
Sumber daya alam hutan, khususnya hutan tropis Indonesia
sejak tahun 1967 telah dieksploitasi untuk meningkatkan pendapatan
dan menghasilkan devisa negara, sehingga laju kerusakan hutan di
Indonesia mencapai 1.800.000 ha per tahunnya. Kawasan hutan yang
sudah ditebang oleh para pemegang HPH mengalami kerusakan
mencapai 55% atau hampir mencapai 23.000.000 ha. Selain itu,
kerusakan hutan juga banyak terjadi di kawasan hutan lindung dan
konservasi,yang seharusnya tidak boleh dilakukan karena Indonesia
yang dikenal sebagai negara yang memiliki keanekaragaman hayati
terkaya di dunia, yaitu 10.000 jenis tumbuh-tumbuhan, 1.500 jenis
burung, 500 jenis mamalia, 21 jenis reptil, 65 jenis ikan air tawar,
pada satu dekade terakhir ini terancam semakin punah.
Kebakaran hutan sejak tahun 1997-1998 akibat pembukaan
lahan (konversi hutan) untuk perkebunan besar kelapa sawit dengan
cara dibakar, mencapai hampir 5 ha luas hutan dengan kerugian
ekonomi sebesar US$ 8 milyar. Di Sumatera, total penurunan luas
kawasan hutan dari 23.000.000 ha menjadi 16.000.000 ha di mana
Sumatera Selatan, Riau dan Jambi tercatat sebagai wilayah yang
tercepat penurunan luas hutannya. Di Kalimantan, total penurunan
luas kawasan hutan dari 40.000.000 ha menjadi 30.000.000 ha, di
mana Kalimantan Timur memiliki tingkat konversi hutan tertinggi.
Sedangkan di Sulawesi laju penurunan luas hutan tergolong
rendah, namun lebih karena konversi hutan sudah dilakukan pada
pertengahan tahun 1980-an. Bahkan kebakaran hutan sampai
sekarang menjadi bencana kabut asap yang terus dihadapi ketika
musim kemarau dikawasan tersebut. Dari tiga pulau, yaitu Sumatera,
Kalimantan dan Sulawesi, dari kurang lebih 69.000.000 ha luas
hutan, saat ini hanya sekitar 57.000.000 ha. Artinya terjadi
pengurangan kawasan hutan lebih dari 12.000.000 ha. Menurut
World Bank, jika pengelolaan sumber daya hutan tidak berubah,

BAB I 13
SUMBER DAYA ALAM
maka Sumatera akan kehilangan hutannya pada tahun 2035 dan
Kalimantan 2040. Kondisi kehutanan semakin memprihatinkan,
ketika ditemukan bahwa dari US$ 51.5 milyar utang swasta,
ternyata US$ 4.1 milyar adalah utang industry kehutanan,
dimana US$ 2.7 milyar masuk ke dalam kelas non performing.19
Di sektor perikanan, hampir 70% terumbu karang mengalami
rusak berat akibat endapan erosi, pengambilan batu karang,
penangkapan ikan dengan menggunakan bom atau racun, dan
pencemaran laut oleh limbah industri. Dari total hutan bakau
seluas 3.000.000 ha, hanya terdapat 36% yang hidup dalam kondisi
baik. Sedangkan sisanya telah mengalami kerusakan yang serius
akibat penebangan untuk kayu bakar dan telah dikonversi menjadi
tambak. 20
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, Pemerintah daerah dilibatkan dalam alokasi
dan pengelolaan kawasan hutan lainnya, seperti daerah resapan
air dan perlindungan hutan, hutan produksi dan kawasan lindung
terbatas untuk konservasi, seperi taman hutan raya dan taman wisata.
Kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam
yang dilaksanakan sejauh ini belum didasarkan pada prinsip
keadilan, keberlanjutan dan demokrasi, karena lebih diorientasikan
untuk mengejar pertumbuhan ekonomi sehingga kurang
memperhatikan kaidah-kaidah keadilan, pelestarian, konservasi, dan
keberlanjutan fungsi sumber daya alam. Persoalan lainnya adalah
limbah industri dan limbah domestik (rumah tangga) serta
penggunaan pestisida yang tidak terkendali telah menimbulkan
pencemaran hampir seluruh sungai di Indonesia, terutama di Pulau
Jawa.

19  Kadarsah, 2014, Op-Cit, hal 6


20  Ibid

14 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
Kondisi lingkungan seperti ini juga menyebabkan sebagian
besar air sungai di Pulau Jawa menjadi tidak layak lagi diproses dan
diproduksi menjadi air minum. Hasil pemantauan BAPEDAL terhadap
kualitas air sungai memperlihatkan sebanyak 25-50% dari polutan
yang mencemari air sungai ternyata berasal dari industri- industri
yang membuang limbahnya ke sungai. Setiap tahun diperkirakan
lebih dari 2.200.000 ton limbah B3 telah dibuang ke sungai-sungai
di wilayah Jakarta dan Jawa Barat.21
Sampai satu dekade ke depan, perekonomian Indonesia
masih akan tergantung pada sektor sumber daya alam, seperti hutan,
tambang, perikanan, yang tentunya akan menjadi peluang maupun
risiko. Dalam situasi krisis ekonomi dan ketidakpastian politik
serta banyaknya pelanggaran hukum, risiko yang mungkin terjadi
dengan adanya desentralisasi di bidang sumber daya alam akan
mempercepat penurunan kualitas lingkungan.
Dengan adanya kewenangan baru yang diberikan kepada
pemerintah daerah maka kecenderungannya pemerintah daerah
mengabaikan atau akan lebih intensif meningkatkan pendapatan
asli daerah tanpa melihat keseimbangan dan keamanan lingkungan.
Kurangnya kapasitas teknis pengelolaan serta ketidakberpihakan
pada kebutuhan masyarakat lokal akan akses sumber daya alam,
kemungkinan besar akan mengakibatkan hilangnya sumber daya
alam dan kerusakan dalam jangka panjang dan mungkin juga tidak
dapat dipulihkan bagi kebutuhan dasar akan sumber daya alam
daerah tersebut.
Berbagai kerusakan sumber daya alam dan pencemaran
lingkungan hidup sebagaimana diuraikan di atas selain dipicu oleh

21  Ibid, hal 9…lihat juga dalam Sigit Sapto Nugroho, Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya
Dan Beracun Perspektif Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan
Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jurnal Sosial Volume 14 Nomor 2 tahun 2013, hal
22-26

BAB I 15
SUMBER DAYA ALAM
kebijakan pemanfaatan sumber daya alam yang bercorak sentralistik,
juga karena pendekatan yang digunakan bersifat sektoral. Kebijakan
Pemerintah yang bercorak sentralistik dan pendekatan yang bersifat
sektoral dalam pengelolaan sumber daya alam pada pokoknya
memiliki kelemahan-kelemahan mendasar sebagai berikut:22
1. Orientasi produksi komoditas bersifat spesifik di setiap sektor
(misalnya kayu dalam kehutanan, padi dalam pertanian).
Pola ini tidak menghargai peran sumber daya alam sebagai
fungsi publik misalnya hutan yang menjadi bagian penentuan
kualitas dan keberlanjutan daerah aliran sungai. Semakin
rendah keragaman pangan menyebabkan semakin rendah
ketahanan pangan. Secara inheren, pendekatan sektoral
merupakan pendekatan reduksionis sehingga memiliki cacat
bawaan karena ukuran kinerja pembangunan dirumuskan
secara parsial. Dalam kondisi yang demikian, seandainya
setiap sektor berhasil pun berbagai kebutuhan publik yang
diperlukan seperti aspek lingkungan hidup, kebutuhan antar
generasi, dan lain-lain tidak akan mampu terpenuhi;
2. Perwujudan efisiensi ekonomi lebih menonjol daripada
k e a d i l a n ( equity) yang berakibat minimnya perhatian
terhadap penyelesaian masalah-masalah tenurial, terjadinya
kesenjangan penyediaan infrastruktur ekonomi antar wilayah
dan antar desa kota, dan rendahnya perhatian terhadap
berbagai dampak negatif pembangunan terhadap sumber
daya alam dan lingkungan hidup.
3. Terdapat kecenderungan bahwa pelaksanaan otonomi
daerah merupakan replikasi dari pendekatan sektor di daerah
dengan orientasi pada peningkatan pendapatan asli daerah.
Di sisi lain, pemerintah pusat yang memegang fungsi-
fungsi pengendalian dengan kriteria, standar, dan pedoman
22  Kadarsah, 2014, hal 10

16 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
yang ditetapkan secara sentralistik akan kehilangan sifat
komprehensif, apabila fungsi- fungsi pengendalian tersebut
didasarkan pada kepentingan masing-masing sektor;
4. Pola ini makin diperburuk oleh kondisi di mana tidak terdapat
departemen yang mengkoordinasikan pemanfaatan dan
pengelolaan sumber daya alam, sehingga setiap departemen
berjalan sesuai dengan visi sektoralnya masing-masing tanpa
memperhatikan dan memperhitungkan pelestarian dan
keberlanjutan fungsi sumber daya alam;
5. Kebijakan hukum pengelolaan sumber daya alam yang
bercorak sentralistik seperti yang digunakan sampai saat ini
selain tidak memberikan perlindungan bagi kelestarian dan
keberlanjutan fungsi sumber daya alam dan lingkungan hidup,
juga kurang memberi ruang bagi akses, kepentingan, dan hak-
hak masyarakat adat atas penguasaan, pemanfaatan, dan
pengelolaan sumber daya alam.
Implikasi dari kondisi-kondisi seperti diuraikan di atas dari
segi politis telah mengabaikan fakta pluralisme hukum dalam
pengelolaan sumber daya alam; dari segi ekonomi menghilangkan
sumber-sumber kehidupan masyarakat adat; dari segi kehidupan
sosial-budaya secara nyata telah merusak sistem pengetahuan,
teknologi, institusi, tradisi, dan religi masyarakat adat; dan secara
ekologi telah menimbulkan degradasi kuantitas maupun kualitas
sumber daya alam; sehingga kemudian selain muncul konflik-konflik
penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam, juga terjadi proses
pemiskinan struktural dalam kehidupan masyarakat lokal. 23

23  Sigit Sapto Nugroho, Hilman Syahrial Haq, Rekonstruksi Pengelolaan Sumber daya
Hutan Di Jawa dengan Model Kolaboratif Holistik, Jurnal Yustisia Merdeka, Volume 2
Nomor 1 Maret 2016, hal 68-80

BAB I 17
SUMBER DAYA ALAM
D. Bidang Sumber Daya Alam dan Kelembagaan
Bidang-bidang yang terkait dan melingkupi persoalan sumber
daya alam di Indonesia antara lain dapat dikategorikan sebagai
berikut:24
1. Bidang Agraria yang telah diatur oleh Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok- Pokok Agraria (UUPA);
2. Bidang Pengairan yang telah diatur oleh Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1974 tentang
Pengairan, Tahun 2004 lahir Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2004 tentang pengelolaan Sumber Daya Air tetapi Undang-
undang ini dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi;
3. Bidang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya
yang telah diatur oleh Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati Dan Ekosistemnya;
4. Bidang Kehutanan yang telah diatur oleh Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan;
5. Bidang Minyak dan Gas Bumi yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi;
6. Bidang Perkebunan diatur dalam Undang-Undang Nomor 18
tahun 2004 tentang Perkebunan;
7. Bidang Panas Bumi diatur dalam Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2004 tentang Panas Bumi;
8. Bidang Tata Ruang diatur dalam Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Tata Ruang;
24  Sigit Sapto Nugroho, Harmonisasi Hukum: Sebuah Dialektik Interaksi Norma Hukum
Adat dan Hukum Negara dalam Pengelolaan Konservasi, Sumber Daya Alam, Jurnal
Yustisia Merdeka, Volume 2 Nomor 2 September 2016, hal 27-40

18 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
9. Bidang wilayah Pesisir pantai diatur dalam Undang-Undang
Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil;
10. Bidang energi diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun
2007 tentang Energi;
11. Bidang Pertambangan yang telah diatur oleh Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara;
12. Bidang lingkungan hidup yang telah diatur dalam Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
13. Bidang Perikanan yang telah diatur oleh Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang
Perikanan;
Masing-masing bidang itu secara kelembagaan dikelola oleh
lembaga-lembaga sektoral yang berada di lingkup departemen yang
menanganinya diantaranya adalah Departemen Dalam Negeri
melalui Badan Pertanahan; Departemen Pertambangan dan Energi;
Departemen Pekerjaan Umum; Departemen Perikanan dan Kelautan;
dan Departemen Kehutanan.
Padahal idealnya kelembagaan yang mengatur soal sumber
daya alam tidak diatur dan dikelolah secara sektoral namun
dikelola secara terpadu di bawah koordinasi lembaga yang memang
berwenang untuk itu. Adapun lembaga yang dimaksudkan adalah
Kementerian Lingkungan Hidup (Menteri Lingkungan Hidup). Hal ini
sebagaimana amanat yang diatur di dalam Undang- Undang Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup Pasal 8 hingga Pasal 11 juncto Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

BAB I 19
SUMBER DAYA ALAM
Kenyataannya sampai sekarang persoalan sumber daya alam masih
dikelola secara sektoral, oleh karena itu kedepan harus diupayakan
bahwa sumber daya alam dikelola secara terpadu dan diatur tidak
lagi secara sektoral sehingga tidak terjadi tumpang tindih baik se-
cara kelembagaan maupun dari segi pengaturannya.

20 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
BAB II
HAK DAN PENGUASAAN SUMBER DAYA ALAM

A. Rezim Hak Kepemilikan atas Sumber Daya Alam


Berdasarkan konsep Rezim Hak Kepemilikan (Property Rights
Regime), hak atas sumberdaya digolongkan ke dalam empat jenis
hak, yaitu open access (tak bertuan), private property (kepemilikan
pribadi), state property (kepemilikan negara),dan common property
(kepemilikan bersama).25
a. Open access
Menurut open acces sumber daya alam dipandang tidak
dimiliki oleh siapapun. Oleh karena itu, masyarakat merdeka
melakukanpemanfaatan dengan caranya sendiri. Sebagian
masyarakat memanfaatkannya secara arif. Namun lebih
banyak lagi yang memanfaatkannya secara tidak bijaksana.
Dalam terminologi Garret Hardin26 (ahli biologi dan ekologi
manusia), ketidakarifan dalam pengelolaan sumber daya
tersebut menghasilkan suatu “tragedy of the commons”,27
yaitu suatu bentuk kehancuran sumber daya akibat adanya
pendayagunaan yang berlebihan dank arena keserakahan
manusia. Apa yang dalam dimensi tragedi yang terjadi pada
masyarakat hanya akan terjadi jika tidak terdapat aturan
25  Sigit Sapto Nugroho, 2012, Op-Cit, hal 5
26  G. Hardin, 1968, The Tragedy of the Commons, Science 162, hal 1243-1248…lihat Juga
dalam Maria S.W. Sumardjono, Dkk, 2011, Op-Cit, hal 30
27  Tragedy of the common yaitu suatu bentuk kehancuran sumber daya alam akibat
adanya pendayagunaan yang berlebihan, Hal ini hanya terjadi apabila tidak terdapat
aturan main yang jelas tentang pendayagunaan sumber daya alam sehingga setiap
setiap anggota masyarakat berpacu untuk memaksimumkan pemenuhan kebutuhan
individualnya melalui pendayagunaan sumber daya alam tanpa memperhatikan
kebutuhan anggota masyarakat lainnya maupun daya dukung sumber daya yang
bersangkutan karena sumber daya alam dianggap sebagai milik bersama (common
property)…lihat juga dalam Stephane Mc. Whinnie, The tragedy of Commons in
International Fisheries: An empirical Examination, Research Paper No. 2007-05, The
University of Adelaide Scholl of Economic, Juli 2016

BAB II 21
HAK DAN PENGUASAAN SUMBER DAYA ALAM
main yang jelas tentang pemanfaatan dan pendayagunaan
sumber daya alam, sehingga setiap anggota masyarakat
dapat memaksimumkan pemenuhan kebutuhan individualnya
melalui pemanfaatan sumber daya alam tanpa memperhatikan
kebutuhan anggota masyarakat lainnya maupun daya dukung
lingkungan sumber daya yang bersangkutan karena sumber
daya alam dianggap sebagai milik bersama (common property).

Kritik apa yang disampaikan Hardin28 terhadap


ketiadaan aturan tentang pendayagunaan sumber daya alam
ditujukan kepada kepemilikan bersama (common property).
Tetapi sebenarnya yang dikritik Hardin adalah pada open
acces atau res nullius29 di mana sumber daya alam dianggap
tanpa pemilik. Jadi seseorang dapat menentukan pengaturan
tentang pengelolaan sumber daya alam sebagai sesuatu yang
terdiri atas : Pertama, pengaturan akses (terhadap pengelolaan
aliran sumber daya alam) yang didasarkan pada pengaturan
tentang pembagian hasil, dan kedua, pengaturan konservasi
(pada pengelolaan cadangan sumber daya alam) yang
menekankan pada pembatasan pengeluaran jumlah sumber
daya, mengorganisi pemeliharaan dan pengambilalihan
investasi.

b. Private property

Private property atau kepemilikan pribadi atas sumber


daya alam seperti tanah atau benda yang mengakar pada
tanah secara “tetap” dalam literatur Hukum Perdata termasuk
sebagai pemilikan atas benda tidak bergerak (roerende zaken).
28  Ibid
29  Open Acces atas sumber daya alam dipandang tidak ada yang memiliki (Res Nullius)
oleh siapapun Oleh arena itu masyarakat merdeka untuk melakukan, memanfaatkan
dengan caranya sendiri. Sebagian memanfaatkan secara arif namu lebih banyak lagi
yang memanfaatkan secara tidak bijaksana….lihat dalam Sigit Sapto Nugroho, 2016,
Op-Cit hal 38

22 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
Pengemban hak atas private property ini adalah pribadi alamiah
(naturalijke person) atau pribadi buatan/badan hukum (recht
person). Menurut Machperson, baik pribadi alamiah maupun
pribadi buatan adalah sama-sama pribadi sebagai suatu subjek
pengemban hak. Private property sebagai kepemilikan pribadi
(individual atau korporasi) adalah jenis hak yang terkuat karena
memiliki empat sifat yang tidak dimiliki oleh tiga jenis hak
lainnya, yaitu: (a) completeness, di mana hak-hak didefinisikan
secara lengkap, (b) exclusivity, di mana semua manfaat dan
biaya yang timbul menjadi tanggungan secara ekslusif
pemegang hak, (c) transferable, di mana hak dapat dialihkan
kepada pihak lain baik secara penuh (jual-beli) maupun secara
parsial (sewa, gadai), dan (d) enforcebility, di mana hak-hak
tersebut dapat ditegakkan. Oleh karena empat alasan itu maka
private property dianggap sebagai hak yang paling efisien dan
mendekati sempurna. Dorongan kesempurnaan hak yang
memiliki empat sifat tadi berorientasi pada kepastian dan
efisiensi dalam industrialisasi.30 Kecenderungan ekonomi
politik global yang tercantum di dalam Washington Consensus
juga menjadikan private property sebagai satu syarat penting
dalam pembangunan ekonomi dengan mendorong negara-
negara eks komunis dan negara berkembang yang mengalami
transisi pemerintahan untuk melakukan privatisasi.

Bahkan Joseph Stiglitz penerima Nobel Ekonomi


mengemukakan, bahwa jaminan atas property rights dalam
perubahan hukum pada negara-negara transisi dari komunis
dilakukan seiring dengan percepatan privatisasi. Penelitian
Stiglitz menunjukkan kedekatan antara private property sebagai
pengutamaan dalam pembaruan hukum yang bersandar
30  Yance Arizona, 2008, Op-Cit, hal 34

BAB II 23
HAK DAN PENGUASAAN SUMBER DAYA ALAM
pada doktrin rule of law dengan mengadopsi konsep property
rights. Tujuannya adalah menciptakan kondisi bagi bekerjanya
mekanisme pasar bebas (neo-liberalisme).31

c. State property
Berangkat dari motivasi yang kuat untuk mengatur
pengelolaan sumber daya alam, maka pada masyarakat politik
modern, sumber daya alam ditetapkan sebagai “milik negara”
atau “state property”. Tesis yang disampaikan Hardin tentang
“tragedy of the commons” dijadikan sebagai pembenar bagi
tindakan negara (pemerintah) untuk menguasai dan mengatur
sumber daya alam dalam arti yang seluas-luasnya.

Negara menjadi aktor yang paling ekstensif dalam


mengatur dan mengelola sumber daya alam karena sifatnya
sebagai badan publik yang melingkupi seluruh warganegara.
Karena hubungan negara dengan sumber daya alam dan
masyarakatnya bersifat publik, maka tujuan dari hubungan
negara dengan sumber daya alam adalah untuk kemakmuran
masyarakat. Namun, pengakuan konsep idealistik tentang
kedaulatan dan kekuasaan negara sebagai badan publik
seringkali terdistorsi.

Setidaknya terdapat dua distorsi berkaitan dengan


state property: Pertama, konsep negara sebagai “penguasa”
(aspek publik) didistorsi menjadi negara sebagai “pemilik”
(aspek private); Kedua, “Negara” direpresentasikan menjadi
“Pemerintah,” sehingga pemerintah lantas bertindak sebagai
pemilik, pengelola, pengurus dan pengawas terhadap
tindakan pengelolaan sumber daya alam. Bahkan kebanyakan
hak-hak privat lahir sebagai hak berian dari negara c.q
31  Ibid

24 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
pemerintah seperti hak guna usaha, hak guna bangunan,dan
hak-hak pengelolaan baik yang diberikan kepada masyarakat
atau berkolaborasi antara pemerintah dengan masyarakat.
Distorsi tersebut membuat state property bukan menjadi
milik umum, melainkan menjadi milik pribadi buatan atau
milik kelembagaan yang disebut Pemerintah. Sebagaimana
dikatakan oleh Macpherson: dengan demikian, milik negara
(state property) harus digolongkan sebagai milik kelembagaan,
yang merupakan milik ekslusif dan bukanlah sebagai milik
umum, yang merupakan milik non-ekslusif. Milik negara adalah
hak ekslusif dari suatu pribadi buatan.32

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia


yang menafsirkan Konsep Penguasaan Negara atas Sumber
Daya Alam dalam Putusan Perkara Nomor 001-021-022/
PUU-I/2003 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan juga membenarkan
hubungan hak kepemilikan yang bersifat privat atau
keperdataan antara negara dengan sumber daya alam:

“Menimbang bahwa jika pengertian kata “dikuasai


oleh negara” hanya diartikan sebagai pemilikan dalam
arti perdata (privat), maka hal dimaksud tidak akan
mencukupi dalam menggunakan penguasaan itu untuk
mencapai tujuan “sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat”, . . .
Namun demikian, konsepsi kepemilikan perdata itu sendiri
harus diakui sebagai salah satu konsekuensi logis penguasaan
oleh negara yangmencakup juga pengertian kepemilikan publik
oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud.

32  Ibid, hal 45

BAB II 25
HAK DAN PENGUASAAN SUMBER DAYA ALAM
d. Communal property
Pengelolaan sumber daya alam sebagai “milik negara”
maupun milik privat terutama swasta telah meninggalkan
jejak yang sama, yaitu kerusakan lingkungan dan peminggiran
masyarakat lokal. Jejak tersebut di tingkat lokal menimbulkan
konflik dengan frekuensi kejadian yang cukup signifikan.
Berkaca dari pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat
yang menghasilkan kesimpulan positif, maka advokasi
internasional secara tegas menyebutkan, bahwa partisipasi
masyarakat lokal yang seluas-luasnya merupakan solusi
optimum terhadap masalah pengelolaan sumber daya alam.
Sebagaimana contoh apa yang dikatakan oleh Lynch dan Talbott
dengan mempromosikan sejumlah kunci untuk pengelolaan
sumber daya alam berkelanjutan oleh masyarakat adat
terutama bidang kehutanan yang disebut sebagai community-
based tenure.

Di Indonesia telah banyak contoh nyata yang


menunjukkan, bahwa masyarakat lokal itu memiliki kemampuan
dan kemauan yang baik untuk mengelola sumber daya alam
(hutan) secara produktif dan lestari, misalnya seperti yang
dilakukan masyarakat Krui (Lampung Barat) dan masyarakat
Meru Betiri (Jawa Timur), Suku Samin (Bojonegoro Jawa Timur).

Communal property bukanlah konsep baru dalam


hubungan antara manusia dengan sumber daya alam. Di
beberapa tempat, konsep communal property/commons
property atau community-based management dicoba dihidupkan
kembali dengan mengangkat konsep ulayat dari hubungan
masyarakat secara tradisional dengan sumber daya alam
yang sudah ada sejak lama. Bahkan konsep itu merupakan

26 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
konsep sebelum kemunculan negara dan hak privat di negara-
negara berkembang. Para pakar seperti Bromley, Ostrom,Lynch
dan Talbott menyatakan, bahwa apa yang dimaksud dengan
common property bukanlah open access sebagaimana
disangkakan oleh para ekonom dengan menggunakan “the
tragedy of the commons” dari Garret Hardin.33

Konsep komunal dalam menjaga alam semesta


sebenarnya sudah lama sebagaimana diajarkan masyarakat
Jawa yang secara filsafat maupun secara spiritual dalam
menjaga harmonisasi hubungan antara Tuhan, Alam semesta
dan manusia dalam konsep “Memayu Hayuning Bawana”34
yang dicerminkan dalam menjaga kehidupan alam semesta.

B. Penguasaan Negara atas Sumber Daya Alam di


Indonesia
Landasan hukum hubungan negara dengan sumber daya alam
di Indonesia ditegaskan dalam konsitusi negara Pasal 33 ayat (2) dan
ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Landasan konstitusional itu terdapat dalam Pasal 33 Ayat (2)
berbunyi: “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Ayat
33  Maria S.W. Sumardjono, Dkk, 2011, Op-Cit hal 36-37
34  Konsep Memayu Hayuning Bawana memiliki makna bagaimana untuk dapat
memakmurkan alam semesta (SDA) mempercantik keindahan alam atau menjaga
alam semesta dengan baik memadukan konsep fisik dan spiritual dalam kehidupan
(commun). Di samping itu Konsep Memayu Hayuning Bawana juga merupakan
filosofi yang mengandung dimensi karakter secara komprehensif juga sebagai filsafat
spiritual masyarakat Jawa dalam menjaga aktualisasi dalam hukum pengelolaan
sumber daya alam agar harmonisasi alam semesta tetap terjaga kelestariannya
dan berkelanjutan yang selalu menekankan keselarasan manusia dengan manusia,
manusia dengan alam dan manusia dengan Tuhan-nya….lihat dalam Sigit
Sapto Nugroho, Elviandri, 2018, Memayu Hayuning Bawana: Melacak Spiritualitas
Transendensi Hukum Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Masyarakat Jawa,
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers Hukum Transendental, Sekolah
Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta, hal 346-355

BAB II 27
HAK DAN PENGUASAAN SUMBER DAYA ALAM
(3): “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya ke-
makmuran rakyat.”
Penguasaan negara di atas ditafsirkan oleh Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Agraria (UUPA),
menjadi tiga bentuk kewenangannegara, sebagaimana terjabarkan
dalam Pasal 1 ayat (2) undang-undang tersebut, yang berbunyi: Hak
menguasai negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi we-
wenang untuk:
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persedian dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa
tersebut;
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum
mengenai bumi, air dan ruang Angkasa.
Selanjutnya semenjak berkuasanya rezim Orde Baru hubungan
negara dengan sumber daya alam diturunkan dalam beberapa
produk undang-undang khusus, misalkan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan (seka-
rang diganti dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 juncto
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004) dan Undang-Undang No-
mor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertam-
bangan ( sekarang diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara). Dua undang-
undang sektoral tersebut dulu menjadi landasan penting penopang
ekonomi Orde Baru melalui sektor pertambangan dan kehutanan.
Adanya perubahan melalui gerakan reformasi pada tahun 1998 telah
membawa perubahan berbagai dimensi. Salah satunya adalah ten-

28 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
tang hubungan negara dengan sumber daya alam yang dapat dilihat
dalam beberapa perubahan pada peraturan perundang-undangan di
bidang sumber daya alam..
Perubahan pertama dapat dilihat dengan ditambahkannya
ayat (4) dalam Pasal 33 UUD 1945. Ayat (4) tersebut berbunyi: “Per-
ekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi eko-
nomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelan-
jutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”
Penambahan ayat (4) itu berimplikasi pada semakin masifnya
upaya ekonomisasi sumber daya alam. Sumber daya alam sebagai
sumber ekonomi dan kesejahteraan masyarakat yang diukur dari
asumsi peningkatan ekonomi nasional membuat anggapan sumber
daya alam seperti tanah atau hutan yang memiliki nilai-nilai tradisi,
religi dan budaya semakin tergerus.
Di samping itu penambahan ayat (4) secara kumulatif menam-
bah nilai-nilai yang harus diperhatikan dalam kegiatan perekono-
mian serta pengelolaan sumber daya alam. Nilai-nilai tersebut di-
antaranya demokrasi ekonomi, kebersamaan, efisiensi berkeadilan
yang membuka peluang dilakukannya kompetisi dan liberalisasi
sebagai ciri yang dominan dalam sistem ekonomi neo-liberal untuk
melakukan swastanisasi serta penyejajaran negara dengan swasta.
Penambahan nilai-nilai baru itu tidak sepenuhnya menjadi sekum-
pulan nilai yang mesti diagregasi secara kumulatif, melainkan nilai-
nilai tersebut dikontestasikan dan bertarung dominasi. Sehingga
tidak heran dalam praktiknya, semangat Koperasi dari Pasal 33 ayat
1 UUD menjadi “mati suri.”
Tahap selanjutnya tentang konsep penguasaan negara atas
sumber daya alam diramaikan seiring kemunculan lembaga Mahka-

BAB II 29
HAK DAN PENGUASAAN SUMBER DAYA ALAM
mah Kontitusi yang memiliki kewenangan menguji undang-undang
terhadap UUD. Kewenangan untuk menguji undang-undang itu se-
cara implisit membuat Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan
untuk menafsir UUD, termasuk menafsir konsep penguasaan negara
atas sumber daya alam. Sebagaimana telah disebutkan di bagian
terdahulu, tafsir pertama Mahkamah Konstitusi tentang konsep
hubungan negara dengan sumber daya alam ditemukan dalam Pu-
tusanPerkara Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 mengenai Pengujian
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan
yang menyebutkan bahwa kepemilikan perdata negara atas sumber
daya alam harus diakui sebagai salah satu konsekuensi logis pen-
guasaan oleh negara yang mencakup juga pengertian kepemilikan
publik oleh kolektivitas rakyat.
Selanjutnya disebutkan:“............Rakyat secara kolektif itu dikon-
struksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara un-
tuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestu-
ursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan
pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat ....”

Tabel 1. Fungsi Penguasaan Negara atas Sumber Daya Alam

No Fungsi Penjelasan
1 Pengaturan Fungsi pengaturan oleh negara
(Regelendaad) dilakukan melalui kewenangan
legislasi oleh DPR bersama dengan
Pemerintah, dan regulasi oleh
Pemerintah (eksekutif). Jenis peraturan
yang dimaksud sebagaimana

30 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
dinyatakan dalam Pasal 7 Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2004 jo
Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011, serta Surat Keputusan yang
dikeluarkan oleh instansi pemerintah
(eksekutif) yang bersifat mengatur
(regelendaad)

2 Pengelolaan Dilakukan melalui mekanisme


(Beheersdaad) pemilikan saham (share-holding) dan/
atau melalui keterlibatan langsung
dalam manajemen Badan Usaha Milik
Negara. Dengan kata lain negara c.q.
Pemerintah (BUMN) mendayagunakan
penguasaannya atas sumber-sumber
kekayaan untuk digunakan bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dalam peyelenggaraan pemerintahan
daerah, fungsi ini dilakukan oleh
perusahaan daerah.

3 Kebijakan (Beleid) Dilakukan oleh pemerintah dengan


merumuskan dan mengadakan
kebijakan.
4 Pengurusan Dilakukan oleh pemerintah dengan
(Bestuursdaad) kewenangannya untuk mengeluarkan
dan mencabut fasilitas perizinan
(vergunning), lisensi (licentie), dan
konsesi (concessie).

BAB II 31
HAK DAN PENGUASAAN SUMBER DAYA ALAM
5 Pengawasan Dilakukan oleh negara c.q. Pemerintah
(Toezichthouden- dalam rangka mengawasi dan
sdaad) mengendalikan agar pelaksanaan
penguasaan oleh negara atas cabang
produksi yang penting dan/atau yang
menguasai hajat hidup orang banyak
dimaksud benar-benar dilakukan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran seluruh
rakyat. Termasuk dalam fungsi ini
yaitu kewenangan pemerintah pusat
melakukan pengujian Perda (executive
review).

Konsep tentang hubungan negara atas sumber daya alam yang


dikonstruksi oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Pengujian
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan
juga diadopsi kembali dalam Putusan Pengujian Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, putusan pengujian
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi dan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal. Dengan demikian konsep penguasaan
negara atas sumber daya alam yang sudah ada di dalam putusan
Mahkamah Konstitusi terdahulu sudah menjadi yurisprudensi tetap
Mahkamah Konstitusi.35

35  Sigit Sapto Nugroho, 2017, Hukum Kehutanan , Kafilah Publishing, Surakarta, hal 99-
101

32 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
BAB III
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
PERSPEKTIF HUKUM DAN KEBIJAKAN

A. Indonesia Kaya Sumber Daya Alam


Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya dengan sumber
daya alam sumber daya alam yang terbarukan (renewable) maupun
yang tak terbarukan (non renewable) serta yang berbentuk modal
alam (natural resources stock), seperti daerah aliran sungai, danau,
kawasan lindung, pesisir, dan lain-lain atau dalam bentuk komoditas
seperti kayu, rotan, mineral dan gas bumi, ikan, dan lain-lain. terdapat
merata hampir di seluruh wilayah Indonesia.
Hutan tropis (tropical rain forest) Indonesia adalah terluas
kedua di dunia. Hutan yang diperkirakan luasnya mencapai 144
juta hektar, atau sekitar 74 % dari luas daratan Indonesia, termasuk
Hutan di Jawa sekitar 3 juta ha36 Hutan tropis Indonesia menyimpan
keanekaragaman hayati (biodiversity) terkaya di dunia, yang melipufi
1500 jenis burung, 500 jenis mamalia, 21 jenis repril, 65 jenis ikan
air tawar, dan 10 ribu jenis terumbu tropis. Garis pantai Indonesia
sepanjang 81 ribu kilometer menjadikan Indonesia sebagai negara
yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia. Perairan yang luas
menyediakan wadah yang nyaman bagi pertumbuhan populasi ikan.
Potensi maksimum perikanan laut Indonesia berkisar antara 6,7
sampai 7,7 metrik ton. Terumbu karang dengan 70 genus yang ada
36  Sigit Sapto Nugroho, Absori, Harun, Rahmanta Setiahadi, Reconstruction law Resources
Management Community-Based Fores Towards Prosperity of People in Java, Indonesia,
International Journal of Business, Economic and Law, Vol.13, Issue 4 (August 2017),
ISSN 2289-1552, Hal. 210-216...lihat dalam juga dalam Sigit Sapto Nugroho, Absori,
Harun, Rahmanta Setiahadi, Legal Prespektif of Forest Resources Management Community
Based Studi for Prosperity in The Distric Ngawi, East Java, Indonesia, Journal of Law, Policy
and Globalization Vol 66, 2017, hal. 122-129

BAB III 33
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN KEBIJAKAN
merupakan wujud keanekaragaman koral terbesar di dunia. Demikian
pula, sumber daya mineral yang terkandung di dalam perut bumi
Indonesia, seperti emas, tembaga, baru bara, perak, nikel, timah,
bauksit, dan lain-lain. Merupakan kekayaan alam bumi Nusantara
yang luar biasa.37
Kekayaan sumber daya alam Indonesia dipahami pemerintah
sebagai modal penting dalam penyelenggaraan pembangunan
nasional. Karena itu, atas nama pembangunan yang diabdikan
pada pengejaran target pertumbuhan ekonomi (economic growth
development), demi peningkatan pendapatan dan devisa negara
(state revenue), maka pemanfaatan sumber daya alam dilakukan
tanpa memperhatikan prinsip-prinsip keadilan, demokratis, dan
keberlanjutan fungsi sumber daya alam.Implikasi yang ditimbulkan dari
praktik-praktik pemanfaatan sumber daya alam yang mengedepankan
pencapaian pertumbuhan ekonomi semata adalah secara perlahan
tetapi pasti menirnbulkan kerusakan dan degradasi kuantitas maupun
kualitas, sumber daya alam, yang meliputi antara lain :38
a. laju kerusakan hutan mencapai 1,8 juta hektar per tahun
dan sejumlah spesies hutan tropis terancam punah akibat
eksploitasi sumber daya hutan yang tak terkendali;39
b. sekitar 70 % terumbu karang mengalami kerusakan serius
akibat endapan erosi. pengambilan batu karang, penangkapan
ikan yang menggunakan bom atau racun (sianida), dan
pencemaran air laut oleh limbah industri;
37  Sigit Sapto Nugroho, 2012, Op-Cit Hal 12
38  Ibid
39  Menurut data tahun 2012, luas terjadinya deforestasi hutan di Indonesia mencapai
840.000 Ha pertahun, melebihi kerusakan hutan yang terjadi di Brazil yang hanya
460.000 Ha….lihat dalam Sigit Sapto Nugroho, 2019, Hukum dan Kehutanan: Studi
Formulasi Hukum Pengelolaan sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat Menuju
Kemakmuran Rakyat di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, Desertasi, Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Muhammadiyah Surakarta, hal 4…lihat juga dalam Absori, Sigit Sapto
Nugroho, Elviandri, Legalitas Perhutanan Sosial: Sebuah Harapan Menuju Kemakmuran
Rakyat Kawasan Hutan, Jurnal Yustisia Merdeka Volume 3 Nomor 2 Septembar 2017,
hal 97-106

34 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
c. sekitar 64 % dari total hutan mangrove seluas 3 juta hektar
mengalami kerusakan yang serius akibat penebangan liar
untuk kayu bakar dan dikonversi menjadi areal pertambakan;
d. kegiatan pertambangan yang dilakukan secara besar-besaran
telah mengubah bentang alam, yang selain merusak tanah
juga menghilangkan vegetasi yang berada diatasnya. Lahan-
lahan bekas pertambangan membentuk kubangan-kubangan
raksasa, sehingga hamparan tanah menjadi gersang dan
bersifat asam akibat limbah tailing dan batuan limbah yang
dihasilkan dari kegiatan pertambangan.
Dari sisi lain, pemanfaatan sumber daya alam yang semata-
mata mementingkan target peningkatan pendapatan dan devisa
negara juga menimbulkan implikasi sosial dan budaya yang cukup
memperihatinkan. Banyak konflik mengenai hak penguasaan
dan pemanfaatan sumber daya alam antara masyarakat adat/
lokal dengan pemerintah atau pemegang konsesi hutan dan
pertambangan terjadi di berbagai kawasan Indonesia. Kemiskinan
juga mewarnai kehidupan masyarakat adat/lokal di tempat-tempat
di mana berlangsung kegiatan-kegiatan pemanfaatan sumber
daya alam. Demikian pula, berbagai bentuk pelanggaran hak-hak
asasi manusia, terutama hak-hak masyarakat adat/lokal mengiringi
praktik-praktik pemanfaatan sumber daya alam selama tiga dekade
terakhir ini.40

Jika dicermati secara substansial, persoalan-persoalan yang


muncul dalam pemanfaatan sumber daya dalam seperti diuraikan di
atas sesungguhnya bersumber dari anutan paradigma pengelolaan
sumber daya alam yang bercorak sentralistik, berpusat pada negara
(state-based resource management), mengedepankan pendekatan
sektoral dan mengabaikan perlindungan hak-hak asasi manusia.
40  Sigit Sapto Nugroho, 2016, Op-Cit, dalam Jurnal Yustisia Merdeka Volume 2 Nomor
2 September 2016

BAB III 35
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN KEBIJAKAN
Paradigma seperti ini selain tidak mengutamakan kepentingan
konservasi dan perlindungan serta keberlanjutan fungsi sumber
daya alam, juga tidak secara utuh memberi ruang bagi partisipasi
masyarakat serta mengabaikan hak-hak masyarakat adat/lokal atas
penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam. Implikasinya,
dari segi ekonomi menghilangkan sumber-sumber ekonomi bagi
kehidupan masyarakat adat/lokal (economic resources loss), dari segi
sosial dan budaya secara nyata telah merusak sistem pengetahuan,
teknologi, institusi, tradisi, dan religi masyarakat/lokal (social
and cultural loss); dari segi ekologi menimbulkan kerusakan dan
degradasi kualitas maupun kuantitas sumber daya alam (ecological
loss); dan dari segi politik pembangunan hukum telah mengabaikan
fakta pluralisme hukum (legal pluralism) dalam penguasaan dan
pemanfaatan sumber daya alam yang secara nyata hidup dan
berkembang dalam masyarakat.
Dari perspektif hukum dan kebijakan, maka cerminan dari
panutan paradigma seperti di atas secara jelas dapat dicermati dari
substansi dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan pengelolaan sumber daya alam, seperti :
1. Bidang Agraria yang telah diatur oleh Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok- Pokok Agraria (UUPA);
2. Bidang Pengairan yang telah diatur oleh Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1974 tentang
Pengairan, Tahun 2004 lahir Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2004 tentang pengelolaan Sumber Daya Air tetapi Undang-
undang ini dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi;
3. Bidang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya yang
telah diatur oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

36 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
Dan Ekosistemnya;
4. Bidang Kehutanan yang telah diatur oleh Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan;
5. Bidang Minyak dan Gas Bumi yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi;
6. Bidang Perkebunan diatur dalam Undang-Undang Nomor 18
tahun 2004 tentang Perkebunan;
7. Bidang Panas Bumi diatur dalam Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2004 tentang Panas Bumi;
8. Bidang Tata Ruang diatur dalam Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Tata Ruang;
9. Bidang wilayah Pesisir pantai diatur dalam Undang-Undang
Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil;
10. Bidang energi diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun
2007 tentang Energi;
11. Bidang Pertambangan yang telah diatur oleh Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara;
12. Bidang lingkungan hidup yang telah diatur dalam Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
13. Bidang Perikanan yang telah diatur oleh Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang
Perikanan;
Buku ini mengkaji secara kritis karakteristik dari perundang-
undangan yang digunakan sebagai instrumen hukum dalam

BAB III 37
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN KEBIJAKAN
pengelolaan sumber daya alam, prinsip-prinsip global pengelolaan
sumber daya alam dan implikasinya bagi politik pembangunan
hukum nasional, diskusi dan rekomendasi untuk mencapai tujuan
pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan, demokratis, dan
berkelanjutan sebagaimana diamanatkan dalam Ketetapan MPR RI
Nomor IX/MPR/2001  tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumber Daya Alam . 

B. Karakteristik Perundang-Undangan Mengenai


Pengelolaan Sumber Daya Alam
Menurut I Nyoman Nurjaya sebagaimana dikutip Sigit Sapto
Nugroho41, Instrumen hukum yang berkaitan dengan sumber daya
alam dalam sistem hukum hukum Indonesia pada dasarnya memiliki
karakteristik dan kelemahan-kelemahan substansial seperti berikut:
1. Berorientasi pada eksploitasi sumber daya alam (resources
use-oriented) sehingga mengabaikan kepentingan konservasi
dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam, karena hukum
semata-mata digunakan sebagai perangkat hukum (legal
instrument) untuk mendukung pencapaian target pertumbuhan
ekonomi (economic growth) dan peningkatan pendapatan dan
devisa negara;
2. Berorientasi dan berpihak pada pemodal-pemodal besar (capital
oriented), sehingga mengabaikan akses dan kepentingan serta
mematikan potensi-potensi perekonomian masyarakat adat/lokal;
3. Menganut ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber
daya alam yang berpusat pada negara/pemerintah (state-
based resource management), sehingga orientasi pengelolaan
sumber daya alam bercorak sentralistik;

41  Sigit Sapto Nugroho, 2004, Pengelolaan Sumber Daya Hutan Bersama Masyarakat
Perspektif Hukum, Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya, Malang, hal 78

38 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
4. Manajemen pengelolaan sumber daya alam menggunakan
pendekatan sektoral, sehingga sumber daya alam tidak dilihat
sebagai sistem ekologi yang terintegrasi (ecosystem);
5. Corak sektoral dalam kewenangan dan kelembagaan
mennyebabkan tidak adanya koordinasi dan keterpaduan
antar sektor dalam pengelolaan sumber daya alam; dan
6. Tidak diakui dan dilindunginya hak-hak asasi manusia
secara utuh, terutama hak-hak masyarakat adat/lokal dan
kemajemukan hukum dalam penguasaan dan pemanfaatan
sumber daya alam.
Berdasarkan perkembangan selanjutnya, setelah pemerintah
menyadari adanya berbagai kelemahan substansial di atas, maka
sejumlah upaya perbaikan guna memperbaiki kelemahan-kelemahan
tersebut. Namun demikian, persoalan mendasar dalam pengelolaan
sumber daya alam masih belum terjawab dalam substansi maupun
implementasi dari undang-undang tersebut, karena masih ditemu-
kan kelemahan-kelemahan seperti berikut:42
1. Pemerintah masih mendominasi peran dalam penguasaan
dan pemanfaatan sumber daya alam (state-dominated resource
management);
2. Keterpaduan dan koordinasi antar sektor masih lemah;
3. Pendekatan dalam pengelolaan tidak komprehensif;
4. Hak-hak masyarakat adat/lokal atas penguasaan dan
pemanfaatan sumber daya alam belum diakui secara utuh;
5. Ruang bagi partisipasi masyarakat dalam pengeloaan sumber
daya alam masih diatur secara terbatas; dan
6. Transparansi dan akuntabilitas pemerintah kepada publik  dalam
pengelolaan sumber daya alam belum diatur secara tegas.

42  Ibid

BAB III 39
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN KEBIJAKAN
Sementara itu, beberapa undang-undang seperti : (1) Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi PBB
tentang Keanekaragaman Hayati; (2) Undang-Undang Pemerintahan
Daerah; dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak-hak Asasi Manusia, mengatur prinsip-prinsip penting yang
mendukung pengelolaan sumber daya alam yang adil, demokratis,
dan berkelanjutan. Tetapi, prinsip-prinsip global pengelolaan sumber
daya alam antara lain seperti : konservasi dan keberlanjutan fungsi
sumber daya alam, transparansi dan partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan sumber daya alam, desentralisasi, dan pengakuan
dan perlindungan atas hak-hak masyarakat adat/lokal, belum
terakomodasi dan terintegrasi secara komprehensif dalam undang-
undang yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam yang
telah ada.
Karena itu, persoalan-persoalan mendasar dalam pengaturan
mengenai pengelolaan sumber daya alam yang berpotensi mengancam
keberlanjutan fungsi sumber daya alam dan kelangsungan hidup
bangsa perlu segera diselesaikan. Salah satu agenda nasional yang
mendesak untuk direalisasikan untuk menjamin kelestarian dan
keberlanjutan fungsi sumber daya alam, meningkatkan partisipasi
masyarakat, transparansi dan mendukung proses demokratisasi
dalam pengelolaan sumber daya alam, menciptakan koordinasi
dan keterpaduan antar sektor, serta mendukung terwujudnya good
environmental governance, adalah membentuk undang-undang
pengelolaan sumber daya alam yang mencerminkan prinsip-prinsip
keadilan, demokratis, dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam.
Dari realitas yang bersumber dari fenomena-fenomena yang
ada di berbagai wilayah di Indonesia tersebut maka bisa dikatakan
bahwa buruknya pengelolaan sumber daya alam yang mengakibatkan
kerusakan lingkungan hidup bersumber dari: (1) kemiskinan; (2)

40 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
lemahnya penegakan hukum; (3) rendahnya taraf sinkronisasi
peraturan terkait dengan pengelolaan sumber daya alam; (4)
dorongan peningkatan pendapatan asli daerah; (5) perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup tidak menjadi agenda politik
utama; (6) masih belum kuatnya pengakuan peran masyarakat lokal;
(7) upaya pemaksaan kehendak melalui instrument hukum.43
Maka perlu dibangun karakter politik hukum pengelolaan
sumber daya alam yang pro-ketertiban, pro-keadilan sosial dan pro-
kesejahteraan rakyat, pro-penghapusan kemiskinan, pro-kearifan
lokal dan pro-lingkungan.44

C. Ideologi Penguasaan dan Pemanfaatan Sumber Daya


Alam
Landasan konstitusional untuk membentuk peraturan
perundang-undangan yang mencerminkan prinsip keadilan,
demokrasi, dan berkelanjutan sumber daya agraria adalah Alinea
IV Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menyatakan: “........ Kemudian daripada itu untuk membentuk
suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan turut serta menciptakan perdamaian dunia yang abadi .....
dst.” yang selanjutnya diformulasi dalam Pasal 33 ayat (3) yang
menyatakan: ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat”.

43  Aji Samekto dkk, 2015, Membangun Politik Hukum Sumber Daya Alam Berbasis Cita
Hukum Indonesia, Penerbit Tafa Media, Yogyakarta, hal 21
44  Ibid

BAB III 41
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN KEBIJAKAN
Jabaran lebih lanjut dari ideologi penguasaan dan pemanfaatan
sumber daya agraria seperti dimaksud di atas dituangkan dalam
Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria
dan Pengelolaan Sumber Daya Alam; Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional; Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004 – 2009;
dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 - 2025. Dalam
konsideran Menimbang Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam secara
eksplisit dinyatakan: ”........peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan pengelolaan sumber daya agraria dan sumber
daya alam saling tumpang tindih dan bertentangan; oleh karena itu
pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam yang adil,
berkelanjutan, dan ramah lingkungan harus dilakukan dengan cara
terkoordinasi, terpadu dan menampung dinamika, aspirasi dan peran
serta masyarakat, serta menyelesaikan konflik”.
Prinsip-prinsip yang harus diakomodasi dalam peraturan pe-
rundang-undangan mengenai pengelolaan sumber daya alam (Pasal
4 Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria
dan Pengelolaan Sumber Daya Alam) adalah sebagai berikut:
a. Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
b. Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
c. Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi
keanekaragaman dalam unifikasi hukum;
d. Mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan
kualitas sumber daya manusia Indonesia;

42 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
e. Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi
dan optimalisasi partisipasi masyarakat;
f. Mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam
penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan
pemeliharaan sumber daya agraria/sumber daya alam;
g. Memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat
yang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi
mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan
daya dukung lingkungan;
h. Melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis
sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat;
i. Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor
pembangunan dan antar daerah dalam pelaksanaan
pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam;
j. Mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat
hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya
agraria/sumber daya alam;
k. Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara,
pemerintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa
atau yang setingkat), masyarakat dan individu;
l. Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian
kewewenangan di tingkat nasional, daerah provinsi, kabupaten/
kota, dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan alokasi
dan pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam.
Dengan demikian, jika dikemas ringkas maka prinsip-prinsip
yang dimaksud di atas pada dasarnya meliputi tiga prinsip dasar, yaitu
keadilan, demokrasi, dan keberlanjutan sumber daya agraria/sumber
daya alam, dengan pemahaman dalam penjelasan sebagai berikut:
(a) Prinsip Keadilan merujuk pada kebijakan pengelolaan sumber
daya agraria/sumber daya alam harus direncanakan, dilaksanakan,

BAB III 43
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN KEBIJAKAN
dimonitoring, dan dievaluasi secara berkesinambungan untuk
memenuhi keadilan inter-antar generasi, keadilan gender, termasuk
keadilan dalam alokasi dan distribusi sumber daya agraria; (b) Prinsip
Demokrasi mengacu pada kebijakan pengelolaan sumber daya
agraria/sumber daya alam yang mendesentralisasi kewenangan
pusat ke daerah, akses informasi yang terbuka bagi rakyat, ruang bagi
partisipasi semua pemangku kepentingan (stakeholder), transparansi
dalam penyusunan kebijakan, pertanggungjawaban kepada publik
(public acountability), koordinasi dan keterpaduan antar sektor,
penyelesaian konflik secara bijaksana, pengakuan dan perlindungan
terhadap hak rakyat atas penguasaan dan pemanfaatan sumber
daya agraria/sumber daya alam; dan (c) Prinsip Berkelanjutan adalah
kebijakan penguasaan harus mampu menjamin keberlanjutan
fungsi dan manfaat sumber daya agraria/sumber daya alam dengan
melakukan konservasi, pemahaman tentang makna sumber daya
yang tak terbarukan (non-renewable), keterbatasan daya dukung dan
daya tampung (carrying capacity), serta keterbatasan kemampuan
sumber daya agraria/sumber daya alam.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa
kebijakan penguasaan dan pengelolaan sumber daya agraria/
sumber daya alam perlu mengintegrasikan prinsip-prinsip penting
dalam pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development)
seperti berikut:45
Prinsip Pertama: Sumber daya agraria/sumber daya alam harus
dimanfaatkan dan dikelola untuk tujuan kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan dari generasi ke generasi;
Prinsip Kedua: Sumber daya alam harus dimanfaatkan dan
dialokasikan secara adil dan demokratis secara inter-antar generasi
dalam kesetaraan gender;
45  Sigit Sapto Nugroho, 2012, Op-Cit, hal 18

44 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
Prinsip Ketiga: Pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya agraria/
sumber daya alam harus mampu menciptakan kohesivitas sosial,
mampu melindungi dan mempertahankan eksistensi budaya lokal,
termasuk tatanan hukum yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat;
Prinsip Keempat: Pengelolaan sumber daya agraria harus dilakukan
dengan pendekatan ekosistem (ecosystem) untuk mencegah
terjadinya praktik-praktik pengelolaan yang bersifat parsial, ego-
sektoral atau ego-daerah, tidak terpadu dan terkoordinasi;
Prinsip Kelima: Kebijakan dan praktik-praktik pengelolaan sumber
daya agraria/sumber daya alam harus bersifat spesifik lokal,
disesuaikan dengan ekosistem daerah dan tatanan kehidupan sosial-
budaya masyarakat setempat.

Kelima prinsip dasar di atas satu sama lain saling terkait


dan melengkapi, sebagai satu kesatuan yang mengandung makna
bahwa pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya agraria/sumber
daya alam dimaksudkan untuk mewujudkan kemakmuran ekonomi
dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan dan berkelanjutan
sesuai amanat UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbasis
kemajemukan budaya serta keutuhan bangsa Indonesia. Karena itu,
pemerintah pada dasarnya sekadar berperan sebagai administrator
dan fasilitator yang berkewajiban untuk: (a) mendorong peningkatan
kapasitas masyarakat dalam pengelolaan sumber daya agraria; (b)
menjamin adanya pengakuan dan perlindungan hak-hak rakyat atas
penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria/sumber daya
alam; (c) mengakui dan melindungi modal sosial dan budaya (socio-
cultural capital) seperti etika sosial, kearifan lingkungan, sistem religi,
maupun pranata-pranata sosial yang hidup dalam masyarakat;
dan (d) mengakui keberadaan tatanan hukum rakyat (folk law) atau

BAB III 45
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN KEBIJAKAN
hukum adat (adat law) selain eksistensi hukum negara (state law)
sebagai fakta kemajemukan hukum di Indonesia.
Jika dicermati dari karakteristik peraruran perundang-undangan
yang berkaitan dengan sumber daya alam seperti diuraikan pada
bagian terdahulu, maka dapat dikritisi bahwa prinsip-prinsip global
pengelolaan sumber daya alam yang bernuansa adil, demokratis,
dan berkelanjutan belum secara utuh dan tegas diakomodasi dan
diintegrasikan dalam kaidah-kaidah hukum pengelolaan sumber
daya alam yang ada.
Ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang
tercermin dalam peraturan perundang-undangan masih bercorak
sentralisrik dengan mengacu pada manajemen yang berpusat
pada negara atau pemerintah (state-based resource management).
mengedepankan pendekatan sektoral, berorientasi pada eksploitasi
dengan mengabaikan kepentingan konservasi dan keberlanjutan
sumber daya alam demi pencapaian target pertumbuhan ekonomi
(economic oriented), mengutamakan kepentingan pemodal-pemodal
besar (capital oriented), hak-hak asasi masyarakat belum diakui dan
dilindungi secara utuh, membatasi ruang bagi partisipasi masyarakat
dan transparansi dalam pembuatan kebijakan, tidak mengatur secara
tegas mengenai akuntabilitas publik dalam pengelolaan surnber
daya alam, dan juga mengabaikan fakta kemajemukan hukum (legal
pluralism) yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. 
Guna mengakhiri atau setidak-tidaknya mengeliminasi prak-
tik-praktik penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria yang
bercorak sentralistik, eksploitatif, sektoral, dan bernuansa represif,
dalam rangka mewujudkan tata pengelolaan lingkungan hidup yang
baik (good environmental governance) dalam pembangunan nasional
yang berkelanjutan, maka perlu adanya reformasi paradigma politik
pembangunan hukum nasional yang semula bercorak sentralisme

46 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
hukum (legal centralism) ke arah ideologi pluralisme hukum (legal
pluralism), sebagai prinsip dasar yang memberi ruang secara pro-
porsional bagi pengakuan fakta kemajemukan sistem hukum dalam
masyarakat, khususnya dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber
daya agraria.
Jika prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya agraria seperti
dimaksud di atas diakomodasi dan diintegrasikan ke dalam instru-
men hukum nasional, maka substansi perundang-undangan yang
mengatur penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria se-
mestinya mencerminkan karakter seperti berikut:46
1. Orientasi pemanfaatan bukan pada eksploitasi (use-oriented),
tetapi untuk kepentingan konservasi (resources-oriented) yang
menjamin kelestarian dan keberlanjutan sumber daya agrarian
bagi kepentingan inter-antar generasi;
2. Pengelolaan bercorak komprehensif, holistik dan terintegrasi
(komprehensif-integral), karena sumber daya agraria
merupakan satu kesatuan ekologi (ecological system) yang
menjadi sumber dan dapat mempengaruhi kehidupan manusia;
3. Mengatur mekanisme koordinasi dan keterpaduan antar sektor
dalam pengelolaan sumber daya agraria;
4. Menganut ideologi pengelolaan sumber daya yang berbasis
masyarakat (community-based agrarian resource management);
5. Menyediakan ruang bagi partisipasi publik yang sejati (genuine
public participation) dan transparansi pembuatan kebijakan
pengelolaan sumber daya agraria;
6. Memberi ruang bagi pengakuan yang hakiki dan perlindungan
hak rakyat atas penguasaan dan pemanfaatan sumber daya
agraria;
46  I Nyoman Nurjaya, 2006, Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Perspektif Antropologi
Hukum, Universitas Negeri Malang Press, hal 46

BAB III 47
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN KEBIJAKAN
7. Mengatur mekanisme pengawasan dan akuntabilitas publik
dalam pengelolaan sumber daya agraria secara lebih eksplisit;
8. Mengakui keberadaan tatanan hukum rakyat (folk law)
sebagai entitas hukum (legal entity) dalam sistem hukum
Indonesia, khususnya tatanan hukum adat yang secara nyata
hidup dan didayagunakan dalam wujud kearifan lingkungan
(environmental wisdom) masyarakat adat setempat.

48 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
BAB IV
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
PERSPEKTIF OTONOMI DAERAH

A. Otonomi Daerah atas Sumber Daya Alam


Otonomi Daerah adalah salah satu mekanisme untuk
mendekatkan pemerintah dengan rakyat sehingga ruang partisipasi
rakyat demi demokratisasi menjadi terbuka. Dengan dekatnya
‘jarak’ baik politik maupun geografis antara rakyat dengan pembuat
kebijakan seharusnya, kontrol terhadap kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah daerah semakin besar. Otonomi dianggap
jauh lebih demokratis dibanding sistem yang terpusat, bahkan
lebih menjamin adanya pluralitas (tidak menggunakan pendekatan
yang seragam seperti pada masa orde baru), karena menghindari
dominasi suatu kekuasaan berdasarkan budaya atau agama atau
kepercayaan/ideologi tertentu. Dengan otonomi maka daerah
diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan
kebijakan sendiri sesuai dengan kebutuhannya.
Berdasarkan bidang pengelolaan sumber daya alam, otonomi
daerah berarti:47
1. Menyesuaikan kebijakan pengelolaan sumber daya alam
dengan ekosistem setempat;
2. Menghormati kearifan tradisional yang sudah dikembangkan
masyarakat didalam pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan hidup secara lestari;
3. Tidak berdasarkan batas administratif, tetapi berdasarkan
batas ekologi (bio-ecoregion);

47  Yance Arizona, 2008, Op-Cit, hal 135

BAB IV 49
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF OTONOMI DAERAH
4. Meningkatkan kemampuan daya dukung lingkungan setempat
dan bukan menghancurkan daya dukung ekosistem dengan
eksploitasi yang melewati daya dukung;
5. Pelibatan secara aktif masyarakat adat dan penduduk setempat
sebagai pihak yang paling berkepentingan (menentukan)
dalam pembuatan kebijakan pengelolaan sumber daya alam
dan lingkungan hidup.
Agar kebijakan pemerintah dan penyelenggaraan kekuasaan
daerah dapat memenuhi rasa keadilan, kebutuhan dan keadilan
masyarakat setempat, maka pelaksanaan otonomi harus memenuhi
prasyarat sebagai berikut:48
1. Otonomi bukan hanya menyangkut penyelenggaraan
kekuasaan pemerintah atau pun legislatif, tetapi yang lebih
penting lagi adalah merupakan perwujudan kedaulatan rakyat.
Oleh karena itu, pengalihan kekuasaan dari pemerintahan
yang selama ini terpusat harus menjadi bagian dari proses
demokratisasi yang dicirikan oleh adanya pengembangan
kemampuan (capacity) dan sistem pertanggung-jawaban
secara politik maupun hukum (tanggung-gugat) secara terbuka
oleh para pejabat daerah; serta pengembangan kemampuan
dan peluang rakyat setempat dalam melakukan pengawasan;
2. Untuk menjamin adanya demokratisasi dan pertanggung-
jawaban pemerintah daerah dan DPRD maka sangatlah
penting untuk mengubah sistem pemilihan umum;
3. Pemilihan umum harus dilakukan dengan sistem distrik,
sehingga para anggota DPRD yang dipilih langsung oleh rakyat
akan lebih bertanggung-jawab kepada para pemilihnya dan
bukan kepada partai seperti yang terjadi saat ini. Selain itu,
sistem pemilihan kepala daerah (Gubernur, Bupati, Walikota,
48  Ibid

50 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
dan Kepala Desa/Lurah) hingga pemerintah yang ada pada unit
terkecil harus dilakukan dengan cara pemilihan langsung. Ini
akan menghindari munculnya persokongkolan antara partai
atau DPRD dengan kepala daerah, bahkan membuka peluang
bagi rakyat untuk mempersoalkan atau menggugat kebijakan
pemerintah setempat yang merugikan kepentingan rakyat;
4. Otonomi yang paling dasar haruslah ada pada tingkat
komunitas masyarakat yang terkecil seperti desa atau sejenis.
Di sini rakyatlah yang memutuskan dalam pengambilan
keputusan yang menyangkut kehidupannya. Rakyat diberi
hak dan jaminan hukum untuk ikut menentukan kebijakan
pengelolaan sumber daya alam di desanya, misalnya soal
penataan ruang atau kawasan, pemberian ijin investasi, bahkan
hak untuk memperoleh prioritas dalam memanfaatkan atau
menikmati hasil pengelolaan sumber daya alam setempat;
5. Agar otonomi terhindar dari sistem negara di dalam negara,
maka pengelolaan daerah-daerah otonom harus dilandaskan
pada konstitusi nasional maupun pada peraturan perundangan
lainnya yang berlaku secara nasional dan universal yaitu
peraturan perundangan yang mengatur lingkungan hidup, hak
azasi manusia, moneter, kebijakan luar negeri, dan pertahanan;
6. Daerah otonom juga harus menghormati hukum internasional
yang telah disepakati oleh banyak negara, misalnya konvensi
tentang hak-hak buruh; tentang anak-anak dan perempuan;
tentang keanekaragaman hayati; tentang perdagangan
bahan beracun berbahaya atau B3 (konvensi Basel); tentang
perdagangan satwa (CITES); tentang hak azasi manusia;
tentang hak untuk berpindah dan menetap; diskriminasi etnik
dan ras, dan sebagainya;

BAB IV 51
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF OTONOMI DAERAH
7. Oleh karena itu, otonomi memerlukan adanya masyarakat
sipil (civil society) yang terdiri dari berbagai unsur yang ada
di dalam masyarakat, yang kuat, solid, selalu berpikir kritis,
dan mampu melakukan kontrol atau pengawasan terhadap
penyelenggaraan kekuasaan daerah yang berada di tangan
eksekutif, legislatif dan yudikatif;
8. Otonomi haruslah mengubah pandangan dan perilaku
penyelenggara kekuasaan di daerah untuk benar-benar
menjadi pelayan masyarakat. Artinya pemerintah benar-
benar meletakkan kepentingan dan suara masyarakat sebagai
pijakan dari semua kebijakan publik yang dibuat.
Berdasarkan uraian di atas, nampak bahwa begitu banyak
masalah yang terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup
khususnya pemanfaatan sumber daya alam yang berkaitan dengan
otonomi daerah. Masalah tersebut dapat timbul akibat proses
pembangunan daerah yang kurang memperhatikan aspek lingkungan
hidup. Di era otonomi ini tampak bahwa ada kecenderungan
permasalahan pengelolaan sumber daya alam semakin bertambah
kompleks, yang seharusnya tidak demikian halnya. Ada sementara
dugaan bahwa kemerosotan pengelolaan sumber daya alam
dan lingkungan terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah, di
mana daerah ingin meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
dengan melakukan eksploitasi sumber daya alam yang kurang
memperhatikan aspek lingkungan hidup dengan semestinya.
Dengan cara seperti ini maka terjadi kemerosotan kualitas
sumber daya alam dan lingkungan di mana-mana, yang diikuti
dengan timbulnya bencana alam. Terdapat banyak hal yang
menyebabkan aspek lingkungan hidup menjadi kurang diperhatikan
dalam proses pembangunan daerah, yang bervariasi dari daerah satu
dengan daerah yang lain, dari hal-hal yang bersifat lokal seperti

52 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
ketersediaan SDM sampai kepada hal-hal yang berskala lebih luas
seperti penerapan teknologi yang tidak ramah lingkungan.
Peraturan perundangan yang berkaitan dengan pengelolaan
sumber daya alam sudah cukup memadai, namun demikian di dalam
pelaksanaanya, termasuk dalam pengawasan, pelaksanaannya perlu
mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh. Hal ini sangat
terkait dengan niat baik pemerintah termasuk pemerintah daerah,
masyarakat dan pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengelola
sumber daya alam dengan sebaik-baiknya agar prinsip pembangunan
berkelanjutan berwawasan lingkungan dapat terselenggara dengan
baik. Oleh karena pembangunan pada dasarnya untuk kesejahteraan
masyarakat, maka aspirasi dari masyarakat perlu didengar dan
program-program kegiatan pembangunan betul-betul yang
menyentuh kepentingan masyarakat.

B. Kebijakan Nasional dan Daerah dalam Pengelolaan


Sumber Daya Alam
Pengelolaan sumber daya alam termasuk pencegahan,
penanggulangan kerusakan dan pencemaran serta pemulihan
kualitas lingkungan telah menuntut dikembangkannya berbagai
perangkat kebijaksanaan dan program serta kegiatan yang didukung
oleh sistem pendukung pengelolaan lingkungan lainnya. Sistem
tersebut mencakup kemantapan kelembagaan, sumber daya manusia
dan kemitraan lingkungan, di samping perangkat hukum dan perun� -
dangan, informasi serta pendanaan. Sifat keterkaitan (interdepen-
densi) dan keseluruhan (holistik) dari esensi lingkungan telah mem-
bawa konsekuensi bahwa pengelolaan sumber daya alam, termasuk
sistem pendukungnya tidak dapat berdiri sendiri, akan tetapi terinte-
grasikan dan menjadi roh dan bersenyawa dengan seluruh pelaksa-
naan pembangunan sektor dan daerah.

BAB IV 53
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF OTONOMI DAERAH
Penyelenggaraan pemerintahan daerah memasuki era
baru yaitu dengan digantikannya Undang-Undang Nomor 32 ta-
hun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan lahirnya Un-
dang-Undang Nomor 23 Tahun 2014  tentang Pemerintahan Dae-
rah. Lahirnya Undang-Undang Nomor  23 Tahun 2014  tentang
Pemerintahan Daerah, dilatarbelakangi adanya berbagai permasala-
han yang timbul dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor 32 tahun
2004 selama ini. Beberapa permasalahan yang terjadi diantaranya
lemahnya fungsi gubernur dan pemerintah pusat dalam melakukan
pengawasan terhadap Kabupaten/Kota dan munculnya raja-raja ke-
cil dengan arogansi kekuasaannya karena merasa memiliki basis
politik yang kuat (dipilih oleh rakyat secara langsung). Dengan le-
mahnya pengawasan dan adanya arogansi kekuasaan, memunculkan
berbagai kebijakan yang cenderung melanggar hukum dan melang-
gar asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).49
Atas dasar fakta tersebut di atas, melalui Undang-Undang No-
mor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, beberapa urusan
pemerintahan pada sektor sumber daya alam, yang semula meru-
pakan kewenangan pemerintah Kabupaten/Kota “ditarik” dan “diali-
hkan” menjadi kewenangan pemerintah provinsi dan pusat. Penga-
lihan ini dimaksudkan agar penyelenggaraan urusan pemerintahan
pada sektor dimaksud jauh lebih bersih, akuntabel, efektif-efisien,
dan mampu memberikan jaminan bagi upaya pelestarian fungsi
lingkungan dan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelan-
jutan.
Bagaimana apabila setelah kewenangan terkait dengan pen-
gelolaan sumber daya alam tersebut dialihkan menjadi urusan
49  Iskandar, Aktualisasi Prinsip Hukum Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup dalam
Kebijakan Perubahan Peruntukan, Fungsi, dan  Penggunaan Kawasan Hutan, Jurnal
Dinamika Hukum, Volume 11  Nomor 3, September 2011, FH UNSOED, Purwokerto,
hal. 513.

54 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
provinsi dan pusat, ternyata pengelolaan lingkungan hidup dan
sumber daya alam tidak menjadi lebih baik dan bahkan rakyat se-
makin tidak merasakan keadilan dan kesejahteraan dari peman-
faatan sumber daya alam tersebut?, sebagaimana amanat Sila ke-5
dari Pancasila, Alinea ke-4 Pembukaan dan Pasal 33 UUD NKRI ta-
hun 1945.  Apakah lalu kemudian kewenangan tersebut akan dikem-
balikan lagi pada Kabupaten/Kota?, atau urusan pemerintahan
tersebut tidak perlu didesentralisasikan, dan menjadi urusan pusat
melalui skema sentralisasi dan atau dekonsentrasi dan atau tugas
pembantuan?, seperti pada saat berlakunya undang-undang tentang
pemerintahan daerah sebelumnya.
Persoalan dampak negatif yang timbul berupa pencemaran
dan kerusakan lingkungan dan sumber daya alam, perbuatan me-
langgar hukum oleh aparatur (melakukan kolusi, korupsi dan nep-
otisme) dalam pengelolaan sumber daya alam, bukan disebabkan
oleh diberikannya kewenangan pada suatu wilayah (Kabupaten/
Kota), melainkan tergantung pada bagaimana mentalitas dan kuali-
tas para penyelenggara urusan pemerintahan tersebut. Bila mentali-
tas dan kualitas para penyelenggaranya tidak baik, semakin besar
kekuasaan dan kewenangan yang diberikan kepadanya, maka akan
semakin besar pula peluang dan kesempatannya untuk melakukan
penyimpangan.50
Pengelolaan Sumber Daya Alam adalah upaya terpadu un-
tuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijakan
penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan,
pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup, sedangkan yang
dimaksud lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua
benda, daya, keadaan dan makhluk hidup termasuk manusia dan

50  Iskandar, et.al., 2012, Potret Hukum, Mentalitas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dalam


Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Suatu Kajian dari Perspektif Konsep Etika Uber
Ich Sigmund Freud dan Good Governance, Penerbit Total Media, Jakarta, hal.245

BAB IV 55
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF OTONOMI DAERAH
perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
Kondisi lingkungan hidup dari waktu ke waktu ada kecend-
erungan terjadi penurunan kualitasnya, penyebab utamanya yaitu
karena pada tingkat pengambilan keputusan, kepentingan pelestar-
ian sering diabaikan sehingga menimbulkan adanya pencemaran
dan kerusakan lingkungan. Dengan terjadinya pencemaran dan keru-
sakan lingkungan ternyata juga menimbulkan konflik sosial maupun
konflik lingkungan. Dengan berbagai permasalahan tersebut diper-
lukan perangkat hukum perlindungan terhadap lingkungan hidup,
secara umum telah diatur dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UUPPLH).
Namun berdasarkan pengalaman dalam pelaksanaan berb-
agai ketentuan tentang penegakan hukum sebagaimana tercantum
dalam UUPLH, maka undang-undang ini merupakan salah satu alat
yang kuat dalam melindungi lingkungan hidup. Dalam penerapan-
nya ditunjang dengan peraturan perundang-undangan sektoral. Hal
ini mengingat pengelolaan sumber daya alam memerlukan koordi-
nasi dan keterpaduan secara sektoral dilakukan oleh departemen
dan lembaga pemerintah non-departemen sesuai dengan bidang
tugas dan tanggungjawab masing-masing, seperti Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Gas dan Bumi, Undang-Undang No-
mor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan diikuti pengaturan lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan
Menteri, Peraturan Daerah maupun Peraturan Gubernur.
Mengingat kompleksnya pengelolaan sumber daya alam dan
permasalahan yang bersifat lintas sektor dan wilayah, maka dalam
pelaksanaan pembangunan daerah diperlukan perencanaan dan

56 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam yang sejalan dengan
prinsip pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan ekonomi,
sosial budaya, lingkungan hidup yang berimbang sebagai pilar-pilar
yang saling tergantung dan saling memperkuat satu sama lain. Di
dalam pelaksanaannya melibatkan berbagai fihak, serta ketegasan
dalam penaatan hukum lingkungan.
Diharapkan dengan adanya partisipasi barbagai pihak dan
pengawasan serta penaatan hukum yang betul-betul dapat ditegak-
kan, dapat dijadikan acuan bersama untuk mengelola lingkungan
hidup dengan cara yang bijaksana sehingga tujuan pembangunan
berkelanjutan betul-betul dapat diimplementasikan di lapangan dan
tidak berhenti pada slogan semata. Namun demikian fakta di lapan-
gan seringkali bertentangan dengan apa yang diharapkan.
Berdasarkan kajian banyak bukti dengan menurunnya kualitas
lingkungan hidup dari waktu ke waktu, ditunjukkan beberapa fakta
di lapangan yang dapat diamati. Hal-hal yang berkaitan dengan pen-
gelolaan sumber daya alam di daerah dalam era otonomi daerah
antara lain sebagai berikut:51
1. Ego sektoral dan ego kedaerahan. Otonomi daerah yang
diharapkan dapat melimpahkan sebagian kewenangan
mengelola sumber daya alam di daerah belum mampu
dilaksanakan dengan baik. Ego kedaerahan masih sering
nampak dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam,
demikian juga ego sektor. Pengelolaan sumber daya alam
sering dilaksanakan overlaping antar sektor yang satu dengan
sektor yang lain, tumpang tindih perencanaan antar sektor.
Kenyataan menunjukkan bahwa dalam perencanaan program
(termasuk pengelolaan sumber daya alam) terjadi tumpang
tindih antara satu sektor dan sektor lain;

51  Sigit Sapto Nugroho, 2012, Op-Cit, hal 32

BAB IV 57
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF OTONOMI DAERAH
2. Pendanaan yang masih sangat kurang untuk bidang lingkungan
hidup. Program dan kegiatan mesti didukung dengan dana
yang memadai apabila mengharapkan keberhasilan dengan
baik. Walaupun semua orang mengakui bahwa lingkungan
hidup merupakan bidang yang penting dan sangat diperlukan,
namun pada kenyataannya PAD masih terlalu rendah yang
dialokasikan untuk program pengelolaan sumber daya alam,
diperparah lagi tidak adanya dana dari APBN yang dialokasikan
langsung ke daerah untuk pengelolaan sumber daya alam;
3. Keterbatasan sumber daya manusia. Harus diakui bahwa
didalam pengelolaan sumber daya alam selain dana yang
memadai juga harus didukung oleh sumber daya yang
mumpuni. Sumber daya manusia seringkali masih belum
mendukung. Personil yang seharusnya bertugas melaksanakan
pengelolaan sumber daya alam (termasuk aparat pemda)
banyak yang belum memahami secara baik tentang arti
pentingnya lingkungan hidup;
4. Eksploitasi sumber daya alam masih terlalu mengedepankan
profit dari sisi ekonomi. Sumber daya alam seharusnya
digunakan untuk pembangunan untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat. Walaupun kenyataannya tidak demikian;
eksploitasi bahan tambang, logging hanya menguntungkan
sebagian masyarakat, aspek lingkungan hidup yang seharusnya,
kenyataannya banyak diabaikan. Fakta menunjukkan bahwa
tidak terjadi keseimbangan antara ekonomi dan lingkungan
hidup. Masalah lingkungan hidup masih belum mendapatkan
porsi yang semestinya guna mendukung fungsi kelestarian
(ecologi);

58 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
5. Lemahnya implementasi paraturan perundang-undangan.
Peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan lingkungan hidup, cukup banyak, tetapi dalam
implementasinya masih lemah. Ada beberapa pihak yang
justru tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan
dengan baik, bahkan mencari kelemahan dari peraturan
perundang-undangan tersebut untuk dimanfaatkan guna
mencapai tujuannya;
6. Lemahnya penegakan hukum lingkungan khususnya dalam
pengawasan. Berkaitan dengan implementasi peraturan
perundang-undangan adalah sisi pengawasan pelaksanaan
peraturan perundang-undangan. Banyak pelanggaran yang
dilakukan (pencemaran lingkungan, perusakan lingkungan),
namun sangat lemah di dalam pemberian sanksi hukum;
7. Pemahaman masyarakat tentang lingkungan hidup.
Pemahaman dan kesadaran akan pentingnya lingkungan
hidup sebagian masyarakat masih lemah dan hal ini, perlu
ditingkatkan. Tidak hanya masyarakat golongan bawah, tetapi
dapat juga masyarakat golongan menegah ke atas, bahkan
yang berpendidikan tinggi pun masih kurang kesadarannya
tentang lingkungan hidup;
8. Penerapan teknologi yang tidak ramah lingkungan. Penerapan
teknologi tidak ramah lingkungan dapat terjadi untuk
mengharapkan hasil yang instant, cepat dapat dinikmati.
Mungkin dari sisi ekonomi menguntungkan tetapi mengabaikan
dampak lingkungan yang ditimbulkan. Penggunaan pupuk,
pestisida, yang tidak tepat dapat menyebabkan pencemaran
lingkungan.
Perlu dicatat bahwa sebetulnya di tiap-tiap daerah terdapat
kearifan lokal yang sering sudah menggunakan teknologi yang

BAB IV 59
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF OTONOMI DAERAH
ramah lingkungan secara turun-temurun. Tentu saja masih banyak
masalah-masalah lingkungan hidup yang terjadi di daerah-daerah
otonom yang hampir tidak mungkin untuk diidentifikasi satu per
satu, yang kesemuanya ini timbul akibat “pembangunan” di daerah
yang pada intinya ingin mensejahterakan masyarakat, dengan segala
dampak yang ditimbulkan.

C. Pengaturan dan Pembagian Urusan Pemerintahan


Bidang Sumber Daya Alam
Sebagaimana diamanatkan UUD Tahun 1945, terdapat urusan
pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah
Pusat yang dikenal dengan istilah urusan pemerintahan absolut dan
ada urusan pemerintahan konkuren. Urusan pemerintahan konkuren
terdiri atas urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan
pilihan yang dibagi antara pemerintah pusat, Daerah Provinsi, dan
daerah Kabupaten/Kota. Urusan pemerintahan wajib dibagi dalam
urusan pemerintahan wajib yang terkait pelayanan dasar dan
urusan pemerintahan wajib yang tidak terkait pelayanan dasar.
Untuk urusan pemerintahan wajib yang terkait Pelayanan Dasar
ditentukan Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk menjamin hak-
hak konstitusional masyarakat.
Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Daerah
Provinsi dengan Daerah Kabupaten/Kota walaupun urusan pemer-
intahan sama, perbedaannya akan nampak dari skala atau ruang
lingkup urusan pemerintahan tersebut. Walaupun Daerah Provinsi
dan Daerah Kabupaten/Kota mempunyai urusan pemerintahan ma-
sing-masing yang sifatnya tidak hierarki, namun tetap akan terdapat
hubungan antara pemerintah pusat, Daerah Provinsi dan daerah Ka-
bupaten/Kota dalam pelaksanaannya dengan mengacu pada Norma,
Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) yang dibuat oleh Pemerin-

60 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
tah Pusat. Prinsip pembagian urusan pemerintahan konkuren yaitu
akuntabilitas, efisiensi, eksternalitas dan strategis nasional.

Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang  Nomor 23 Ta-


hun 2014  Pemerintahan Daerah, klasifikasi urusan pemerintahan,
sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) Urusan Pemerintahan
terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan
konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Pada Ayat (2), disebut-
kan bahwa Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya men-
jadi kewenangan Pemerintah Pusat. Ayat (3) Urusan pemerintah-
an konkuren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan
Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah
Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota.
Urusan Pemerintahan Konkuren yaitu sebagaimana diatur
dalam Pasal 11 ayat (1) bahwa urusan pemerintahan konkuren
sebagaimana di maksud dalam Pasal 9 ayat (3) yang menjadi ke-
wenangan Daerah terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib dan
Urusan Pemerintahan Pilihan. Ayat (2) menyebutkan bahwa Urusan
Pemerintahan Wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas Urusan Pemerintahan yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar
dan Urusan Pemerintahan yang tidak berkaitan dengan Pelayanan
Dasar. Pada ayat (3) bahwa Urusan Pemerintahan Wajib yang berkai-
tan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
adalah Urusan Pemerintahan Wajib yang sebagian substansinya
merupakan Pelayanan Dasar.
Pada Pasal 12 ayat (2) disebutkan bahwa Urusan Pemerintah-
an Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2); Ayat (3) menyebutkan bahwa Uru-

BAB IV 61
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF OTONOMI DAERAH
san Pemerintahan Pilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (1) meliputi: a) kelautan dan perikanan; b) pariwisata; c) perta-
nian; ). kehutanan; e) energi dan sumber daya mineral; f) perdagan-
gan; g) perindustrian; dan h) transmigrasi. 
Dalam Pasal 13 ayat (1) disebutkan bahwa pembagian uru-
san pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Dae-
rah Provinsi serta Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (3) didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisien-
si, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional. Pada Ayat
(3) dinyatakan bahwa berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) kriteria Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenan-
gan Daerah Provinsi adalah: a) Urusan Pemerintahan yang lokasinya
lintas Daerah Kabupaten/Kota; b) Urusan Pemerintahan yang peng-
gunanya lintas Daerah Kabupaten/Kota; c). Urusan Pemerintahan
yang manfaat atau dampak negatifnya lintas Daerah Kabupaten/
Kota; dan/atau d) Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber
dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh Daerah Provinsi.
Pada Ayat (4) menyatakan bahwa Berdasarkan prinsip seb-
agaimana dimaksud pada ayat (1) kriteria Urusan Pemerintahan
yang menjadi kewenangan Daerah Kabupaten/Kota adalah: a) Uru-
san Pemerintahan yang lokasinya dalam Daerah Kabupaten/Kota; b)
Urusan Pemerintahan yang penggunanya dalam Daerah Kabupaten/
Kota; c) Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya
hanya dalam Daerah Kabupaten/Kota; dan/atau d. Urusan Pemerin-
tahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila di-
lakukan oleh Daerah Kabupaten/Kota.
Pada Pasal 14 ayat (1) disebutkan bahwa Penyelenggaraan
Urusan Pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan
sumber daya mineral dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah
Provinsi. Ayat (2) bahwa Urusan Pemerintahan bidang kehutanan se-

62 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
bagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan pengelo-
laan taman hutan raya Kabupaten/Kota menjadi kewenangan Daerah
Kabupaten/Kota. Sedangkan pada ayat (5) dinyatakan bahwa Daerah
Kabupaten/Kota penghasil dan bukan penghasil mendapatkan bagi
hasil dari penyelenggaraan Urusan Pemerintahan sebagaimana di-
maksud pada ayat (1). Ayat (6) bahwa Penentuan Daerah Kabupaten/
Kota penghasil untuk penghitungan bagi hasil kelautan adalah hasil
kelautan yang berada dalam batas wilayah 4 (empat) mil diukur dari
garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulau-
an. Batas wilayah 4 (empat) mil dalam ketentuan ini hanya semata-
mata untuk keperluan penghitungan bagi hasil kelautan, sedangkan
kewenangan bidang kelautan sampai dengan 12 (dua belas) mil
tetap berada pada Daerah Provinsi.
Pasal 15 ayat (1) bahwa Pembagian urusan pemerintahan
konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi serta Daerah
Kabupaten/Kota tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari undang-undang ini. Ayat (2) bahwa Uru-
san pemerintahan konkuren yang tidak tercantum dalam lampiran
undang-undang ini menjadi kewenangan tiap tingkatan atau susu-
nan pemerintahan yang penentuannya menggunakan prinsip dan
criteria pembagian urusan pemerintahan konkuren sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13. Ayat (3) bahwa Urusan pemerintahan
konkuren sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan
peraturan presiden. Sedangkan ayat (4) mengatur bahwa Peruba-
han terhadap pembagian urusan pemerintahan konkuren antara
Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/
Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak berakibat ter-
hadap pengalihan urusan pemerintahan konkuren pada tingkatan
atau susunan pemerintahan yang lain ditetapkan dengan peraturan
pemerintah. Ayat (5) menyatakan bahwa perubahan sebagaimana

BAB IV 63
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF OTONOMI DAERAH
dimaksud pada ayat (4) dapat dilakukan sepanjang tidak bertentan-
gan dengan prinsip dan kriteria pembagian urusan pemerintahan
konkuren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.

Dalam Pasal 16 ayat (1) disebutkan bahwa Pemerintah Pusat


dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan konkuren seb-
agaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) berwenang untuk: a).
menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria dalam rangka
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan; dan b). melaksanakan
pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. Pada ayat (5) bah-
wa penetapan norma, standar, prosedur, dan criteria sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan paling lama 2 (dua) tahun
terhitung sejak peraturan pemerintah mengenai pelaksanaan urusan
pemerintahan konkuren diundangkan.

Pengaturan dalam Pasal 17 ayat (4) disebutkan bahwa apabila


dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (5) Pemerintah Pusat belum menetapkan norma, stan-
dar, prosedur, dan kriteria, Penyelenggara Pemerintahan Daerah
melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
Daerah.  Selanjutnya dalam  Pasal 20 ayat (1) bahwa Urusan pemer-
intahan konkuren yang menjadi kewenangan Daerah Provinsi dis-
elenggarakan: a) sendiri oleh Daerah Provinsi; b) dengan cara menu-
gasi Daerah Kabupaten/Kota berdasarkan asas Tugas Pembantuan;
atau c) dengan cara menugasi Desa.  Ayat (2) bahwa penugasan oleh
Daerah Provinsi kepada Daerah Kabupaten/Kota berdasarkan asas
Tugas Pembantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan
kepada Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetap-
kan dengan peraturan gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksa-

64 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
naan urusan pemerintahan konkuren akan diatur dalam peraturan
pemerintah (Pasal 21).
Terkait dengan kewenangan Daerah Provinsi di laut diatur
dalam Pasal 27. Pada ayat (1) disebutkan bahwa Daerah Provinsi di-
beri kewenangan untuk mengelola sumber daya alam di laut yang
ada di wilayahnya. Ayat (2) Kewenangan Daerah Provinsi untuk men-
gelola sumber daya alam di laut sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi: a) eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan
kekayaan laut di luar minyak dan gas bumi; b) pengaturan admi-
nistratif; c) pengaturan tata ruang; d) ikut serta dalam memelihara
keamanan di laut; dan e) ikut serta dalam mempertahankan ke-
daulatan negara. Ayat (3) menyebutkan bahwa kewenangan Daerah
Provinsi untuk mengelola sumber daya alam di laut sebagaimana di-
maksud pada ayat (1) paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari
garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.
Kebijakan ini sudah menunjukkan good will negara memberi-
kan daerah untuk melakukan pengelolaan sumber daya alam yang
berbasis kesejahteraan rakyat.52

D. Implikasi Alih Kewenangan dalam Pengelolaan Sumber


Daya Alam53
Secara normatif, pengaturan urusan pemerintahan dimaksud
sepertinya sederhana, karena hanya sekedar pengalihan kewenangan
dalam pengurusan dan pengelolaannya. Namun, bila dikaji dengan
cermat, alih kewenangan beberapa urusan pemerintahan pada
52  Rodiyah, 2015, Politik Hukum Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia, Prespektif
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Berbasis Pada Efektifitas Pemerintahan yang
Mensejahterakan, Prosiding Makalah Seminar Membangun Politik Hukum Sumber
Daya Alam Berbasis Cita Hukum Indonesia, Undip Semarang, hal 115
53  Iskandar, Implikasi Alih Kewenangan dalam Pengelolaan sumber Daya Alam Pasca
Berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan daerah, dalam
http://suttaniskandaralam.blogspot.com/2015/07/pengelolaan-sumber daya-
alam.html, Diakses tanggal 9 Oktober 2019, Pukul 09.15 WIB

BAB IV 65
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF OTONOMI DAERAH
berbagai sektor dapat dipastikan akan berimplikasi secara politik
(kebijakan sentralisasi dan desentralisasi), secara yuridis (terkait
dengan hak dan kewajiban, tanggungjawab dan tanggung gugat).
Oleh karena itu, pada tataran implementasi undang-undang ini,
kiranya perlu hati-hati dan cermat, jangan sampai tujuan untuk
mendorong peningkatan efektivitas pemerintahan dalam rangka
memantapkan pem­bangunan secara  menyeluruh dengan  menekankan
pembangunan keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis
sumber daya alam (SDA) yang tersedia, sumber daya manusia (SDM)
yang berkualitas, serta kemampuan IPTEK.
1. Implikasi terhadap struktur kelembagaan.
Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah, berimplikasi terhadap
penyelenggaraan berbagai urusan pemerintahan dalam rangka
pelayanan terhadap masyarakat dan pengelolaan sumber daya
alam. Terkait dengan pengelolaan sumber daya alam, terutama
pada sektor Kelautan dan Perikanan, Kehutanan, dan  sektor
energi dan sumber daya mineral (ESDM), implikasi tersebut
bukan hanya berkait dengan kewenangan (siapa melakukan
apa), tapi juga berimplikasi pada struktur organisasi/
kelembagaan, personil, pendanaan, sarana dan prasarana,
dokumen serta berbagai kebijakan dan keputusan terkait
dengan penyelenggaraan yang telah dilakukan selama ini.

Berkenaan dengan hal ini, Pasal 404 Undang-Undang


Nomor 23 Tahun 2014 menyatakan bahwa serah terima
personel, pendanaan, sarana dan prasarana, serta dokumen
(P3D) sebagai akibat pembagian urusan pemerintahan antara
Pemerintah Pusat, Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/
Kota yang diatur berdasarkan undang-undang ini dilakukan
paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak undang-undang ini

66 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
diundangkan. Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 404
di atas, siklus anggaran dalam APBN dan APBD, serta untuk
menghindari stagnasi penyelenggaraan pemerintahan daerah
yang berakibat terhentinya pelayanan kepada masyarakat,
maka penyelenggaraan urusan pemerintahan konkuren
yang bersifat pelayanan kepada masyarakat luas dan masif,
yang pelaksanaannya tidak dapat ditunda dan tidak dapat
dilaksanakan tanpa dukungan P3D, tetap dilaksanakan
oleh tingkatan/susunan pemerintahan yang saat ini
menyelenggarakan urusan pemerintahan konkuren tersebut
sampai dengan diserahkannya P3D.

2. Implikasi terhadap stakeholders dan pemangku kepentingan


a. Potensi konflik antara Pemerintah Kabupaten/Kota dengan
Pemerintah Provinsi/Pusat
Ditarik atau dialihkannya kewenangan dalam
penyelenggaraan urusan pemerintahan sektor sumber daya
alam dari Kabupaten/Kota menjadi urusan provinsi/pusat,
walaupun merupakan urusan pemerintahan konkuren yang
sifatnya pilihan, dapat menjadi potensi timbulnya konflik
atau paling tidak dapat terjadi disharmoni hubungan antara
pemerintah kabupaten dengan pemerintah provinsi/pusat.
Apalagi bila Kabupaten/Kota tersebut memiliki banyak
potensi sumber daya alam, dan skema bagi hasil dirasakan
tidak cukup memadai, maka akan menjadi pemicu timbulnya
konflik yang semakin besar.  Kondisi seperti ini yang pernah
terjadi pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1974. Apabila tidak hati-hati dan cermat dalam
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang
secara kewilayahan berada pada wilayah Kabupaten/Kota,
tidak memperhatikan asas keadilan dan pemerataan, maka

BAB IV 67
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF OTONOMI DAERAH
dikhawatirkan akan timbul sentimen kedaerahan yang
berlebihan dan terjadi konflik kepentingan, yang tentunya
akan berdampak tidak baik bagi upaya pembangunan
daerah dan pembangunan nasional.

b. Potensi konflik antara  masyarakat dan  pelaku usaha


dengan Pemerintah Provinsi/Pusat
Pengalihan kewenangan penyelenggaraan urusan
pemerintahan bidang sumber daya alam ini juga dapat
memicu konflik antara masyarakat dan pelaku usaha dengan
pemerintah Provinsi/Pusat. Hal ini antara lain disebabkan:
bagi masyarakat, akan semakin jauhnya rentang akses
informasi dan pemberian perlindungan atas pemenuhan
hak-hak masyarakat terutama masyarakat yang berada
di sekitar usaha, manakala berhadapan dengan suatu
persoalan. Sedangkan terhadap pelaku usaha, dengan
semakin jauhnya rentang kendali, semakin besar peluang
para pelaku usaha untuk melakukan penyimpangan,
apalagi dalam pelaksanaanya nanti instrumen dan sistem
pengawasan tidak dilaksanakan dengan baik. Potensi
konflik antara pelaku usaha dengan pemerintah provinsi/
pusat dapat juga terjadi, terkait dengan masa transisi
dalam alih kewenangan tersebut.

c. Implikasi terhadap peraturan sektoral dan berbagai produk


hukum daerah
1) Peraturan Perundang-undangan Sektoral
Berkenaan dengan alih kewenangan ini, kiranya
terhadap berbagai ketentuan peraturan perundangan-
undangan sektoral, perlu dilakukan penyesuaian dan
penyelarasan. Undang-undang yang bersifat sektoral

68 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
seperti UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Pertambangan,
UU Pengelolaan Pesisir, Laut, dan Pulau-pulau Kecil, UU
Perikanan, dan undang-undang sektoral terkait lainnya
terutama yang mengatur dan memberikan kewenangan
kepada bupati/walikota dalam penyelenggaraan urusan
pemerintahannya, termasuk peraturan pelaksanaanya.
Penyesuaian dan penyelarasan undang-undang sektoral ini
dapat saja diperdebatkan, mana yang harus menyesuaikan,
apakah UU sektoral atau UU Pemda, mana yang spesialis
dan mana yang generalis. Terlebih lagi untuk melakukan
perbaikan/penyesuaian agar tidak bertentangan antar
undang-undang tersebut, bukanlah pekerjaan yang mudah,
dan butuh waktu yang panjang.

2) Keputusan (perizinan)
Dengan telah dialihkannya kewenangan bupati/
walikota dalam hal pengelolaan sumber daya alam,
khususnya sebagaimana yang diatur dalam  Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, maka bupati/walikota tidak berwenang lagi untuk
menerbitkan keputusan kepala daerah terkait dengan
penetapan perizinan pengelolaan sumber daya alam
dimaksud. Sedangkan terhadap keputusan perizinan yang
telah dikeluarkan, berdasarkan Asas Umum Pemerintahan
yang baik (asas kepercayaan, asas kepastian hukum, asas
keadilan, asas kebijakan yang memberatkan tidak boleh
berlaku surut) seharusnya masih dinyatakan tetap berlaku
sampai dengan berakhirnya masa izin yang diberikan.
Namun yang menjadi persoalan manakala masa izin
masih berlaku cukup lama, apakah pejabat pemberi izin
masih mau melakukan pengawasan atas keputusan izin

BAB IV 69
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF OTONOMI DAERAH
yang telah dikeluarkan. Karena berdasarkan asas hukum
administrasi (contrarius actus), pejabat pemberi izin
merupakan pejabat yang berwenang untuk melakukan
pengawasan dan penegakan hukum atas keputusan
izin yang dikeluarkan, padahal kewenangan atas urusan
pemerintahan dimaksud telah dicabut/dialihkan. Hal ini
yang kiranya perlu dikoordinasikan antara pemerintah
provinsi/pusat dengan pemerintah Kabupaten/Kota.

70 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
BAB V
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
PERSPEKTIF PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

A. Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Pembangunan


Berkelanjutan
Pembangunan Berkelanjutan atau sustainable development
sebenarnya bukanlah suatu konsep yang baru di tingkat global
maupun nasional. Namun dalam pelaksanaannya masih belum
dipahami dengan baik, karena masih banyak menimbulkan kerancuan
pada tingkat kebijakan dan pengaturan serta mempunyai banyak
hambatan pada tataran implementasi atau pelaksanaan.
Sebagai sebuah konsep, pembangunan berkelanjutan
mengandung pengertian sebagai pembangunan yang memperhatikan
dan mempertimbangkan dimensi lingkungan hidup. Dalam
pelaksanaannya konsep tersebut sudah menjadi topik pembicaraan
dalam konferensi Stockholm (UN Conference on the Human
Environment) tahun 1972 yang menganjurkan agar pembangunan
dilaksanakan dengan memperhatikan faktor lingkungan, dalam Kon�-
ferensi ini menyepakati rencana aksi (Action Plan) yang terdiri atas
106 rekomendasi dan dekalrasi mengenai 26 prinsip-prinsip ling-
kungan manusia dan juga menyepakati pembentukan badan PBB
bidang lingkungan hidup (united Nation Environment Programme
(UNEP).54 menurut Siti Sundari Rangkuti Konferensi Stocholm telah
membahas masalah lingkungan serta jalan keluarnya, agar pem-
bangunan dapat terlaksana dengan memperhitungkan daya dukung
lingkungan (eco-development).55

54  Syaiful Bahri Ruray, 2012, Tanggung Jawab Hukum Pemerintah Daerah dalam Pengelolaaan
dan Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup (Seri Desertasi), Alumni Bandung, hal 89
55  Siti Sundari Rangkuti, 2000, Op-Cit, hal 27

BAB V 71
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN....
Dilaksanakannya konferensi tersebut adalah sejalan dengan
keinginan dari PBB untuk menanggulangi dan memperbaiki keru-
sakan lingkungan yang terjadi, bertepatan dengan di umumkannya
“Strategi Pembangunan Internasional” bagi “Dasawarsa Pembangu-
nan Dunia ke–2” (The Second UN Development Decade) yang dimu-
lai pada tanggal 1 Juni 1970. Sidang Umum PBB menyerukan untuk
meningkatkan usaha dan tindakan nasional serta Internasional guna
menanggulangi “proses pemerosotan kualitas lingkungan hidup”
agar dapat diselamatkan keseimbangan dan keserasian ekologis,
demi kelangsungan hidup manusia, secara khusus resolusi Sidang
Umum PBB No. 2657 (XXV) Tahun 1970 menugaskan kepada Pani-
tia Persiapan untuk mencurahkan perhatian kepada usaha “melind-
ungi dan mengembangkan kepentingan-kepentingan negara yang
sedang berkembang” dengan menyesuaikan dan memperpadukan
secara serasi kebijakan nasional di bidang lingkungan hidup den-
gan rencana Pembangunan Nasional. Amanat inilah yang kemudian
dikembangkan dan menjadi hasil dari Konferensi Stocholm yang
dapat dianggap sebagai dasar-dasar atau cikal bakal konsep Pem-
bangunan Berkelanjutan.56
Pengaruh Konferensi Stocholm terhadap gerakan kesadaran
lingkungan tercermin dari perkembangan dan peningkatan perha-
tian terhadap masalah lingkungan dan terbentuknya perundang-un-
dangan nasional di bidang lingkungan hidup, termasuk di Indonesia.
Semua keputusan Konferensi tersebut diatas, disahkan oleh resolusi
SU PBB No. 2997 (XXVII) tertanggal 15 Desember 1972. Pentingnya
Deklarasi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia bagi negara-neg-
ara yang terlibat dalam konferensi ini dapat dilihat dari penilaian
negara peserta yang mengatakan bahwa deklarasi dianggap sebagai
“a first step in developing international environment law”.

56  Ibid, hal 32

72 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
Bagi Indonesia konsep saat itu sebenarnya merupakan suatu
konsep yang relatif baru. Menurut Emil Salim, inti pokok dari pem-
bangunan yang lama tidak mempertimbangkan lingkungan, dan me-
mandang kerusakan lingkungan sebagai biaya yang harus dibayar.
Walaupun demikian konsep ini sebenarnya sudah dibahas menda-
hului Konferensi Stockholm dalam Seminar Nasional Pengelolaan
Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional di Bandung tang-
gal 15-18 Mei 1972 sedangkan Konferensi Stockholm berlangsung
tanggal 15-18 Juni 1972. Sedangkan Menurut Daud Silalahi dalam
Seminar Nasional Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangu-
nan Nasional 1972 di UNPAD yang bekerjasama dengan BAPPENAS
telah mengawali konsep pembangunan yang berwawasan lingkun-
gan (eco-development). Menurut pendapatnya pertemuan ini memba-
wa pengaruh pada pengaturan hukum lingkungan dan pada konsep
pembangunan dengan masuknya pertimbangan lingkungan dalam
setiap keputusan rencana pembangunan. Seminar Lingkungan Hid-
up dan Pembangunan Nasional (1972) dengan tema “hanya dalam
lingkungan hidup yang optimal, manusia dapat berkembang dengan
baik, dan hanya dengan lingkungan akan berkembang ke arah yang
optimal”. Otto Sumarwoto menilai seminar tersebut sebagai suatu
tonggak sejarah tentang permasalahan lingkungan hidup di Indo-
nesia. Karena itu perbincangan tentang pembangunan tentang Pem-
bangunan Berkelanjutan sudah dibahas di Indonesia selama lebih
dari tiga dasawarsa, namun hingga sekarang masih menjadi masalah
yang belum dapat diwujudkan secara baik. 57
Dalam kurun waktu tersebut bangsa Indonesia telah berusaha
untuk menjadikan Pembangunan Berkelanjutan sebagai pembangu-
nan yang berkelanjutan bahkan ditambah dengan berwawasan ling-
kungan, namun prakteknya menunjukkan lain. Dalam gambaran ten-
tang kondisi umum mengenai pengelolaan Sumber daya alam dan
57  Ibid, hal 60

BAB V 73
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN....
lingkungan hidup, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
(RPJPN) menyebutkan bahwa Konsep Pembangunan Berkelanjutan
telah diletakkan sebagai kebijakan, namun dalam pengalaman prak-
tek selama ini, justru terjadi pengelolaan sumber daya alam yang
tidak terkendali. Karena itu pembangunan berkelanjutan adalah se-
buah harapan yang harus diwujudkan dan dalam upaya mewujud-
kannya itu peranan hukum menjadi sangat relevan.

B. Pembangunan Berkelanjutan yang Berwawasan


Lingkungan Hidup.
Istilah pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan hidup yang kita pergunakan disini merupakan terjemahan
dari “sustainable development” yang sangat populer dipergunakan di
negara-negara Barat. Istilah Pembangunan Berkelanjutan secara
resmi dipergunakan dalam Tap MPR No. IV /MPR/1999 tentang
GBHN, sedangkan istilah pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan hidup digunakan dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Selain itu juga dikenal ada istilah lingkungan dan pembangunan,
sedang sebelumnya lebih popular digunakan istilah embangunan
yang berwawasan lingkungan sebagai terjemahan dari Eco-develop-
ment. Sejak tahun 1980-an agenda politik lingkungan hidup mulai
dipusatkan pada paradigma pembangunan berkelanjutan. Pertama
kali istilah ini muncul dalam World Conservation Strategy dari the In-
ternational Union for the Conservation of Nature, lalu dipakai oleh Les-
ter R. Brown dalam bukunya Building a Suistainable Society (1981).
Istilah tersebut kemudian menjadi sangat popular melalui lapo-
ran Bruntland, Our Common Future (1987). Tahun 1992 merupakan
puncak dari proses politik, yang akhirnya pada konferensi tingkat
tinggi (KTT) Bumi di Rio de Jainero, Brazil, paradigma Pembangunan

74 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
Berkelanjutan diterima sebagai sebuah agenda politik pembangu-
nan untuk semua negara di dunia.
Perkembangan kebijakan lingkungan hidup, menurut Koesna-
di Hardjasoemantri58, didorong oleh hasil kerja World Commission
on Environment and Development, disingkat WCED. WCED dibentuk
PBB memenuhi keputusan Sidang Umum PBB Desember 1983 No.
38/161 dan dipimpin oleh Nyonya Gro Harlem Bruntland (Norwegia)
dan dr. Mansour Khalid (Sudan), salah satu anggotanya dari Indone-
sia adalah Prof. Dr. Emil Salim. Salah satu tugas WCED adalah men-
gajukan strategi jangka panjang pengembangan lingkungan menuju
pembangunan yang berkelanjutan di tahun 2000 dan sesudahnya.
WCED telah memberikan laporannya pada tahun 2000 yang
diberi judul “Our Common Future” yang memuat banyak rekomendasi
khusus untuk perubahan institusional dan perubahan hukum. Sedan-
gkan Soerjani menambahkan bahwa panitia ini menghasilkan lapo-
ran yang berjudul “Our Common Future” pada tahun 1987. Buku itu
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dengan judul “Hari Depan
Kita Bersama” tahun 1988. Salah satu tonggak penting yang di pan-
cangkan oleh panitia ini adalah agar pemahaman tentang perlunya
wawasan lingkungan dalam pembangunan di praktekkan di semua
sektor dan terkenal dengan istilah “Sustainable Development”. 59
Berdasarkan laporan WCED “Our Common Future” ditemui se-
buah rumusan tentang “Sustainable Development” sebagai berikut:
“Suistainable Development is defined as development that meet the
needs of the present without comprosing the ability of future genera-
tions to meet their own needs”. Ada beberapa penekanan yang kita
temukan dalam terjemahan rumusan ini. Dalam terjemahan Lapo-
ran Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan disebutkan
58  Koesnadi Hardjasoemantri, 1999, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada Univerity
Press, hal 10-11
59  Ibid

BAB V 75
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN....
“Umat memiliki kemampuan untuk menjadikan pembangunan ini
berkesinambungan (sustainable) untuk memastikan bahwa pemban-
gunan ini dapat memenuhi kebutuhanya” .
Selanjutnya dalam laporan Komisi Dunia untuk lingkungan
hidup dan pembangunan tentang “Hari Depan Kita Bersama” (1988)
dikemukakan beberapa penegasan lebih lanjut tentang pemban-
gunan berkelanjutan ini. Dikatakan konsep pembangunan yang
berkesinabungan memang mengimplikasikan batas bukan batas
absolut akan tetapi batas yang ditentukan oleh tingkat teknologi
dan organisasi sosial sekarang ini mengenai sumber daya lingkun-
gan serta oleh kemampuan biosfer menyerap pengaruh-pengaruh
kegiatan manusia, akan tetapi teknologi untuk memberi jalan bagi
era baru pertumbuhan ekonomi. Kemudian ditambahkan pula bah-
wa pembangunan global yang berkesinambungan juga mensyarat-
kan mereka yang hidup lebih mewah untuk mengambil gaya hidup
dalam batas-batas kemampuan ekologi planet ini dalam hal peng-
gunaan energi, misalnya. Lebih lanjut penduduk yang bertambah
cepat dapat meningkatkan tekanan pada sumber daya dan penyela-
matan naiknya taraf hidup, jadi pembangunan yang berkelanjutan
hanya dapat dikejar bila besarnya populasi penduduk dan pertum-
buhan selaras dengan potensi produktif yang terus berubah dari
ekosistem. Akhirnya pembangunan yang berkelanjutan bukanlah
suatu tingkat keselarasan yang tetap, akan tetapi lebih berupa suatu
proses dengan pemanfaatan sumber daya, arah investasi, orientasi
pengembangan teknologi, serta perubahan kelembagaan yang kon-
sisten dengan kebutuhan hari depan dan kebutuhan masa kini. Kami
menyadari bahwa proses itu tidak mudah. Pilihan-pilihan yang me-
nyakitkan harus dibuat. Jadi dalam analisis akhirnya, pembangunan
yang berkelanjutan pasti bersandar pada kemauan politik.

76 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
Dalam menanggapi rumusan Pembangunan Berkelanjutan,
Emil Salim dalam terjemahan laporan ke dalam bahasa Indone-
sia mengemukakan bahwa rumusan pembangunan berkelanjutan
memuat dua konsep pokok yakni, pertama, konsep “kebutuhan”,
khususnya kebutuhan pokok kaum miskin sedunia, terhadap siapa
prioritas utama perlu diberikan; dan kedua, gagasan keterbatasan
yang bersumber pada keadaan teknologi dan organisasi sosial yang
dikenakan terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi ke-
butuhan masa kini dan masa depan. Dengan demikian keprihatinan
kemiskinan dan ikhtiar menanggapi keterbatasan akibat keadaan
teknologi dan organisasi sosial menjadi latar belakang pembahasan
masalah-masalah lingkungan dan pembangunan. Selain hal itu dike-
mukakan ada beberapa asumsi dasar serta ide pokok yang mendasa-
ri konsep pembangunan berkelanjutan ini, yaitu:60
Pertama, proses pembangunan itu mesti berlangsung secara
berlanjut, terus menerus di topang oleh sumber daya alam, kualitas
lingkungan dan manusia yang berkembang secara berlanjut.
Kedua, sumber daya alam terutama udara, air dan tanah me-
miliki ambang batas, sehingga penggunaannya akan menurunkan
kualitas dan kuantitasnya. Penurunan itu berarti berkurangnya ke-
mampuan sumber daya alam tersebut untuk menopang pembangu-
nan secara berkelanjutan, sehingga menimbulkan gangguan pada
keserasian sumber daya alam dengan sumber daya manusia.
Ketiga, kualitas lingkungan berkolerasi langsung dengan kualitas
hidup. Semakin baik kualitas lingkungan, semakin posistif pengaruhnya
pada kualitas hidup, yang antara lain tercermin pada meningkatnya
kualitas fisik, pada harapan usia hidup, pada turunnya tingkat kema-
tian dan lain sebagainya. Oleh karena itu pembangunan berkelanjutan,
akan memberi pengaruh positif terhadap kualitas hidup.
60  Sigit Sapto Nugroho, 2012, Op-Cit, hal 41

BAB V 77
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN....
Keempat, pembangunan berkelanjutan menumbuhkan soli-
daritas transgenerasi, dimana pembangunan ini memungkinkan
generasi sekarang untuk meningkatkan kesejahteraannya, tanpa
mengurangi kemungkinan bagi generasi masa depan untuk mening-
katkan kesejahteraannya.
Pandangan yang tidak jauh berbeda dikemukakan oleh Ignas
Kleden yang antara lain menyatakan bahwa ada dua hal yang diper-
taruhkan disini, yaitu daya dukung sumber-sumber daya tersebut,
dan solidaritas transgenerasi; maksudnya adalah bagaimana kita
mengekang diri untuk tidak merusak sumber-sumber daya yang ada,
agar dapat bersikap adil terhadap masa depan umat manusia. Kega-
galan kita untuk memelihara daya dukung sumber-sumber daya itu
akan menyebabkan kita berdosa karena telah melakukan sesuatu
(sin of commission) sementara kegagalan untuk mewujudkan solidar-
itas transgenerasi itu akan menyebabkan kita berdosa karena telah
melalaikan sesuatu.
Sebagai sebuah konsep, pembangunan berkelanjutan tidak
lepas dari berbagai interpretasi. Moeljarto Tjokrowinoto misalnya
menyebutkan ada interpretasi yang lahir dari pemikiran kaum envi-
ronmentalist dan ada pula interpretasi yang datang dari para pakar
lembaga-lembaga donor. Kedua interpretasi pembangunan berkelan-
jutan tadi mempunyai implikasi administratif tertentu. Menurut
Moeljarto munculnya konsep pembangunan berkelanjutan didorong
oleh kenyataan tingginya mortality rate proyek-proyek pembangunan
di negara berkembang. Alokasi input yang berkesinambungan tidak
menjadikan proyek pembangunan tadi berkembang dengan kekua-
tan tersendiri. Dikatakan pula bahwa sustainable development atau
pembangunan berkelanjutan ini mungkin diwujudkan melalui keter-
kaitan (interlinkages) yang tepat antara alam, aspek sosio-ekonomis
dan kultur. Dikatakan juga bahwa sustainable development bukanlah

78 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
suatu situasi harmoni yang tetap dan statis, akan tetapi merupakan
suatu proses perubahan dimana eksploitasi sumber daya alam, arah
investasi, orientasi perkembangan teknologi, perubahan kelembagaan
konsisten dengan kebutuhan pada saat ini dan di masa mendatang.
Pandangan lain diungkapkan Sonny Keraf. Dikemukakannya
bahwa paradigma pembangunan berkelanjutan adalah sebuah kritik
pembangunan di satu pihak tetapi di pihak lain adalah suatu teori
normatif yang menyodorkan praksis pembangunan yang baru seb-
agai jalan keluar dari kegagalan developmentalisme selama ini.61
Sedangkan menurut Mas Achmad Santoso istilah sustainable
development mengandung berbagai penafsiran yang berbeda-beda
karena terminologi pembangunan berkelanjutan sangat terbuka un-
tuk ditafsirkan dengan berbagai pengertian dan berbagai kajian. 62
Di samping konsep sustainable development yang berasal dari
WCED, muncul pula batasan tentang pembangunan yang didukung
oleh Bank Dunia, World Conservation Society (IUCN) serta IUCN ber-
sama UNEP dan WWF yang antara lain menekankan pada perbaikan
sosial ekonomi, pelestarian sumber daya alam dan perhatian pada
daya dukung sumber daya alam serta keanekaragamannya dalam
jangka panjang. Konsep ini dirumuskan dalam apa yang dinamakan “
Carrying for the Earth: The Strategy for Sustainable Living” menggan-
tikan World Conservation Strategy (WCS). Dalam rumusan Carrying for
the Earth disingkat CE (1991) perumusan tentang sustainable devel-
opment digariskan sebagai berikut: 63
“improving the quality of human life while living within the
carrying capacity of supporting ecosystem. A sustainable economy
is the product of sustainable development. It maintains natural
61  Sony Keraf, 2014, Filsafat Lingkungan Hidup: Alam Sebagai Sebuah Sistem Kehidupan,
Pernerbit Kanisius Yogyakarta, hal 124
62  Sigit Sapto Nugroho, 2012, Op-Cit, hal 41
63  Siti Sundari Rangkuti, 2000, Op-Cit, hal 41

BAB V 79
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN....
resources base, it can continue to develop by adopting and through
improvement in knowledge, organization, technical efficiency and
wisdom”.

Konsep pembangunan berkelanjutan ini mengakui tentang


pentingnya peranan hukum untuk menopang terlaksananya
pembangunan berkelanjutan. Menurut Koesnadi Hardjosoemantri,
pertama kali dalam evolusi konsep pembangunan berkelanjutan
telah dilakukan upaya untuk menggariskan kerangka hukum yang
komprehensif guna menetapkan pembangunan berkelanjutan.
Dalam mengemukakan pentingnya mekanisme hukum dalam
tingkat nasional, regional dan global dalam menetapkan dan
melaksanakan pembangunan berkelanjutan. CE menyatakan bahwa
hukum lingkungan, dalam pengertiannya yang luas, adalah sarana
esensial bagi mencapai keberlanjutan.
Konsep pembangunan berkelanjutan dikembangkan lebih
jauh dalam KTT Bumi yang diselenggarakan di Rio de Jenairo pada
tanggal 3-14 Juni 1992, konferensi ini merupakan momentum
global untuk mencapai pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) dan membentuk kemitraan dunia untuk mencapai
kehidupan dan kualitas dunia, yang lebih baik. Konferensi ini
menghasilkan banyak keputusan penting antara lain “The Rio
Declaration on Environment and Development” dan agenda 21. Prinsip
pertama dari Rio Declaration menyatakan bahwa:” human beings
are as the center of the concern for sustainable development. They
are entitled to a healthy and productive life in harmony with nature
(manusia merupakan perhatian dari pembangunan berkelanjutan.
Mereka berhak untuk mendapatkan suatu kehidupan yang baik dan
produktif yang harmonis dengan alam). Selanjutnya berdasarkan
Agenda 21, pada tahun 1992 telah diselenggarakan Sidang Umum
PBB dan The Economic and Social Council (ECOSOC) yang membentuk

80 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
Commision on Sustainable Development (CSD) yang beranggota 53
negara yang dipilih oleh ECOSOC dengan memperhatikan kelayakan
distribusi geografis. Sekretariat CSD berkedudukan di New York dan
pertemuan-pertemuan diselenggarakan di New York dan Genewa. 64
CSD bertujuan untuk : “ ensure the effective follow-up of
UNCED, as well as to enhance international cooperation and rationalize
the intergovermental decision making capacity for the integration of
environment and development issues and to examine the progress of the
implementation of agenda 21 at the national, regional and international
levels, fully guided by the principles of the Conference, in other to achive
sustainable development. Dengan demikian sudah ada suatu badan
dunia yan menangani pengembangan pembangunan berkelanjutan
yang meliputi tatanan nasional, regional dan global. 65
Pertemuan terakhir yang membahas tentang pembangunan
berkelanjutan ini adalah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang
diadakan di Johannesburg, Afrika Selatan (2002) sebagai kelanjutan
dari KTT Rio de Jenairo. Dalam KTT ini lebih ditegaskan lagi
mengenai perubahan paradigma pembangunan. Pembangunan
yang dilaksanakan tidak saja harus dilihat sebagai pembangunan
ekonomi semata, akan tetapi harus memperhatikan dimensi sosial
yaitu tentang manusianya sendiri dan alam ciptaan Tuhan yang
dianugrahkan kepada manusia. Melalui pendekatan tersebut maka
pembangunan berkelanjutan (sustainable development) mempunyai
dasar dan landasan yang lebih kokoh untuk diterapkan, hanya saja
konsep tersebut masih harus di sosialisasikan secara lebih luas.
Sebagai tindak lanjut dari seminar pengelolaan lingkungan
hidup dan pembangunan nasional (1972) untuk tingkat nasional dan
UN Conference on the Human and Environment (1972) untuk tingkat
global pemerintah tidak hanya memasukkan aspek lingkungan
64  Ibid, hal 46
65  Ibid

BAB V 81
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN....
hidup dalam GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) tetapi juga
membentuk institusi atau lembaga yang membidangi lingkungan
hidup, sejak tahun 1973 aspek lingkungan hidup masuk dalam
GBHN. Kemudian pengelolaan lingkungan hidup dimasukkan
ke Repelita II dan berlangsung terus dalam GBHN 1978 dengan
penjabarannya dalam Repelita III. Pada tahun 1978 dibentuk Menteri
Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH)
yang kemudian pada tahun 1982 diubah menjadi Menteri Negara
Kependudukan dan Lingkungan Hidup (KLH) yang kemudian pada
1992 dirubah menjadi Menteri Negara Lingkungan Hidup (LH)
sampai sekarang. Kelembagaan ini mempunyai peranan penting
dalam memberi landasan aspek lingkungan bagi pelaksanaan
pembangunan di negara kita.
Pada tahun 1982 telah diundangkan Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1982 (LN 1982 No. 12) tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pengelolaan Lingkungan hidup (UULH) secara terpadu
dengan mengamanatkan keharusan untuk mengkaitkan pelaksanaan
pembangunan dengan pengelolaan lingkungan hidup melalui apa
yang dinamakan “pembangunan berwawasan lingkungan” Undang-
Undang ini mempunyai arti penting tersendiri, menurut Siti Sundari
Rangkuti UULH ini mengadung berbagai konsepsi dari pemikiran
inovatif dibidang hukum lingkungan baik nasional maupun
internasional yang mempunyai implikasi terhadap pembinaan
hukum lingkungan Indonesia, sehingga perlu dikajinya perundang-
undangan lingkungan modern sebagai satu sistem keterpaduan.66
Dalam Pasal 4 huruf d Undang-Undang ini disebutkan
bahwa salah satu tujuan pengelolaan lingkungan hidup adalah
“terlaksananya pembangunan berwawasan lingkungan untuk
kepentingan generasi sekarang dan mendatang”. Mengenai
pengertian pembangunan bewawasan lingkungan dirumuskan
66  Ibid, hal 66

82 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
dalam Pasal 1 angka 13 yang menyatakan bahwa “pembangunan
berwawasan lingkungan adalah upaya sadar dan terencana
menggunakan dan mengelola sumber daya secara bijaksana dalam
pembangunan yang berkesinambungan untuk meningkatkan mutu
hidup”. Penjelasan UULH (TLN.3215) dinyatakan bahwa penggunaan
dan pengelolaan sumber daya secara bijaksana berarti senantiasa
memperhitungkan dampak kegiatan tersebut terhadap lingkungan
serta kemampuan sumber daya alam untuk menopang pembangunan
secara berkesinambungan. Ketentuan tersebut selain menggunakan
istilah “pembangunan berwawasan lingkungan” juga menggunakan
istilah “pembangunan berkesinabungan” istilah yang disebutkan
terakhir dapat juga dijadikan acuan istilah sustainable development
karena kata “berkesinabungan” dan “berkelanjutan “ dalam bahasa
Indonesia mempunyai makna yang sama.
Hal lain yang ditegaskan kembali dalam Pasal 3 tentang asas
pengelolaan lingkungan hidup. Dalam pasal tersebut dikatakan
bahwa “pengelolaan lingkungan hidup berazaskan pelestarian
kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang untuk menunjang
pembangunan yang berkesinambungan bagi peningkatan
kesejahteraan manusia. Sedangkan penjelasannya menyatakan
bahwa pengertian pelestarian mengandung makna tercapainya
kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang dan peningkatan
kemampuan tersebut. Hanya dalam lingkungan yang serasi dan
seimbang dapat dicapai kehidupan yang optimal. Berdasarkan
uraian tersebut diatas, UULH ini mengandung pengertian bahwa
pembangunan yang berwawasan lingkungan hanyalah satu bagian
dari pembangunan yang berkesinambungan (lihat Pasal 1 angka 13)
atau sebagai penunjang dari pembangunan yang berkesinambungan
(lihat Pasal 3).

BAB V 83
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN....
Dalam perkembangan selanjutnya Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1982 dicabut dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor.
23 Tahun 1997 (LN 1997: 68) tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UUPLH) dan yang terakhir Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
(UUPPLH). Dalam UUPLH ini tidak lagi diadakan pembedaan antara
pembangunan yang berwawasan lingkungan dengan pembangunan
yang berkesinambungan seperti dikemukakan di atas akan tetapi
UUPLH ini menggunakan istilah baru lagi yaitu “Pembangunan
Berkelanjutan Yang Berwawasan Lingkungan Hidup”.
Konsideran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 antara lain
menjelaskan tentang mengapa kita harus melaksanakan‘Pembangunan
Berkelanjutan yang Berwawasan Lingkungan Hidup” seperti pada
pertimbangan huruf b, bahwa dalam rangka mendayagunakan sumber
daya alam untuk memajukan kesejahteraan umum seperti diamanatkan
dalam UUD 1945 dan untuk mencapai kebahagiaan hidup berdasarkan
Pancasila, perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan hidup berdasarkan kebijaksanaan nasional
yang terpadu dan menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan
generasi masa kini dan generasi masa depan. Penegasan tersebut
diatas menunjukkan bahwa pelaksanaan pembangunan berkelanjutan
yang berwawasan lingkungan hidup berkaitan erat dengan
pengelolaan SDA sebagai suatu asset mewujudkan kesejahteraan
rakyat. Dalam pertimbangan berikutnya (huruf c) ditegaskan bawa
dipandang perlu melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup untuk
melestarikan dan mengembangkan kemampuan lingkungan hidup
yang serasi selaras dan seimbang guna menunjang terlaksananya
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup.
Dalam pertimbangan ini pengelolaan lingkungan hidup dianggap
sebagai penunjang terhadap pelaksanaan pembangunan berwawasan
lingkungan.

84 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
Dalam UUPLH ini diperkenalkan suatu rumusan tentang
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup
(Pasal 1 butir 3). Disebutkan dalam ketentuan tersebut bahwa
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup
adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan
hidup, termasuk sumber daya alam ke dalam proses pembangunan
untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup
generasi masa kini dan masa depan.
Selanjutnya dalam UUPLH ini dibedakan antara “asas
keberlanjutan” sebagai asas pengelolaan lingkungan hidup dan
“pembangunan berwawasan lingkungan hidup” sebagai suatu
sistem pembangunan. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 3 yang
menyatakan: “pengelolaan lingkungan hidup diselenggarakan
dengan asas tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas
manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan
yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya yang beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
Mengenai “Asas Berkelanjutan” penjelasan UUPLH (TLN 3699)
menyatakan “Asas Berkelanjutan mengandung makna setiap orang
memikul kewajibannya dan tanggung jawab terhadap generasi
mendatang, dan terhadap sesamanya dalam satu generasi, untuk
terlaksananya kewajiban dan tanggung jawab tersebut, maka
kemampuan lingkungan hidup, harus dilestarikan. Terlestarikannya
kemampuan lingkungan hidup menjadi tumpuannya dalam
meningkatkan pembangunan.” Hal ini kemudian ditegaskan dalam
UUD 1945 amandmen ke-4 (2002) yang menambahkan ayat (4) dan
(5) terhadap Pasal 33 yang sebelumnya tidak pernah mengalami
perubahan yang menyebutkan:

BAB V 85
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN....
1. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efesiensi,
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan
ekonomi nasional;
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanan pasal ini diatur
dalam undang-undang.
Sejalan dengan pembahasan tersebut juga diadakan
perubahan terhadap judul Bab XIV Undang-Undang Dasar yang
melengkapi pasal tersebut dan judul semula “Kesejahteraan
Sosial” menjadi “Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial”.
Dalam konteks ini tampak ada penonjolan dimensi ekonomi dalam
penguasaan sumber daya alam, yang perlu mendapat perhatian
adalah aspek keberlanjutan dan berwawasan lingkungan bukan
hanya berada dalam dimensi ekonomi belaka tetapi juga dalam
dimensi kehidupan menusia termasuk dimensi sosial budaya,
kesejahteraan sosial pada dasarnya juga harus menonjolkan aspek
keberlanjutan dan berwawasan lingkungan dengan demikian konsep
pembangunan berkelanjutan di Indonesia pada umumnya dan sistem
hukum lingkungan pada khususnya. Walaupun penjabarannya dalam
pengaturan mengenai pengelolaan sumber daya alam masih belum
begitu tampak secara jelas.
Pengaturan tentang bagaimana pengelolaan sumber daya
alam di Indonesia sudah dilakukan sejak berdirinya Negara Republik
Indonesia. Selain Pasal 33 UUD 1945 yang merupakan ketentuan
dasar, ada seperangkat Undang-Undang yang mengatur tentang
hal tersebut, antara lain Undang-Undang Nomor 5 atahun 1960
tentang Ketentuan Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 5 atahun
1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan, kemudian dicabut dan
digantikan dengan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang

86 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
Kehutanan. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan
Pokok Pertambangan yang diganti dengan Undang-Undang Nomor 4
tahun 2009 tentang Pertambangan Sumber Daya Mineral dan Batu
bara, Undang-Undang Nomor. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan,
berikut seperangkat ketentuan pelaksanaannya, selain hal itu
juga peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan yang
telah kita sebutkan di atas dan seperangkat ketetapan MPR yang
mengatur tentang hal ini seperti TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang
Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sebagaimana telah dirubah dalam Tahun 2002 berbunyi
selengkapnya :
1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas
asas kekeluargaan;
2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasi negara;
3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat;
4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efesiensi,
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan
dan kesatuan ekonomi nasional;
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur
dalam Undang-Undang.
Pengelolaan sumber daya alam adalah seperti apa yang
disebutkan dalam ayat (3) yaitu melingkupi “Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”. Ketentuan ini

BAB V 87
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN....
kemudian diperluas dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
dengan menambah unsur ruang angkasa sehingga meliputi “ Bumi,
air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya.
Ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 memberikan penegasan
tentang dua hal yaitu:
1. Memberikan kekuasaan kepada negara untuk “menguasai”
bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
sehingga negara mempunyai “Hak Menguasai”. Hak ini adalah
hak yang berfungsi dalam rangkaian hak-hak penguasaan
sumber daya alam di Indonesia;
2. Membebaskan di satu sisi serta memberikan kewajiban di sisi
lain kepada negara untuk mempergunakan sumber daya alam
yang ada untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pengertian sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
menunjukkan kepada kita bahwa rakyatlah yang harus menerima
manfaat kemakmuran dari sumber daya alam yang ada di Indonesia.
Secara singkat pasal ini memberikan hak kepada negara untuk
mengatur dan menggunakan sumber daya alam yang wajib ditaati
oleh seluruh rakyat Indonesia, juga membebankan suatu kewajiban
kepada negara untuk menggunakan sumber daya alam untuk
kemakmuran rakyat, bilamana hal ini merupakan kewajiban negara,
maka pada sisi lain adalah merupakan hak bagi rakyat Indonesia
untuk mendapat kemakmuran melalui pengelolaan sumber daya
alam.
Pertanyaan yang muncul adalah rakyat Indonesia yang
mana yang paling berhak untuk mendapatkan kemakmuran dari
pengelolaan sumber daya alam Indonesia? Pada dasarnya seluruh
rakyat Indonesia yang berdiam di seluruh wilayah Negara Kesatuan

88 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
Indonesia pada tingkat atau lapisan manapun mempunyai hak yang
sama untuk menikmati kemakmuran tersebut, namun kalau kita
membicarakan siapa yang lebih diutamakan tentu saja masyarakat
yang berada disekitar sumber daya alam itu berada harus lebih
diutamakan dari mereka yang bertempat tinggal jauh dari sumber
daya alam yang dimaksud.
Hal ini ditegaskan antara lain dalam Pasal 3 ayat (1) Ketetapan
MPR No. XV/MPR/1998 tetang Penyelenggaraan Otonomi Daerah,
pengaturan pembangunan dan pemanfaatan sumber daya yang
berkeadilan serta perimbangan keuangan Pusat dan daerah
dilaksanakan secara adil untuk kemakmuran masyarakat daerah dan
bangsa keseluruhannya. Dalam pasal ini disebutkan lebih dahulu
masyarakat daerah dari bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Mengisyaratkan kepada kita bahwa masyarakat setempat harus
diberikan prioritas haknya untuk menikmati kemakmuran dalam
pemanfaatan sumber daya alam ketimbang orang-orang yang jauh
bertempat dari sumber daya alam dimaksud. Hak ini telah diberi
penekanan dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah sebagai
reaksi dari apa yang selama ini dikenal hegemoni pusat. Orang-orang
yang ada di pusat lebih banyak menikmati kemakmuran dari pada
masyarakat daerah atau masyarakat setempat. Selain itu kemakmuran
dalam rangka pemanfaatan sumber daya alam bukan hanya sekedar
menjadi hak dari generasi masa kini saja. Anak cucu kita sebagai
generasi mendatang juga mempunyai hak yang sama untuk menikmati
kemakmuran dari pemanfaatan sumber daya alam yang tersedia.
Karena itu kemakmuran yang ingin diwujudkan menurut Undang-
Undang Dasar adalah bersifat transgeneration dan oleh karenanya
hak untuk mendapat kemakmuran harus berkesinambungan atau
berkelanjutan (sustainable). Karena hal ini sejalan dengan konsep
pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan .

BAB V 89
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN....
Selanjutnya UU lain yang berhubungan dengan pengelolaan sumber
daya alam adalah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025.
Dalam Lampiran UU tersebut Bab II Kondisi Umum arah kebijakan
pembangunan bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup
disebutkan:
1. Mengelola sumber daya alam dan memelihara daya dukungnya
agar bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dari
satu generasi ke generasi lain;
2. Meningkatkan pemanfaatan potensi sumber daya alam dan
lingkungan hidup dengan melakukan konservasi, rehabilitasi
dan penghematan penggunaan dengan menerapkan teknologi
ramah lingkungan;
3. Mendelegasikan secara bertahap wewenang pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah dalam pelaksanaan pengelolaan
sumber daya alam secara selektif dan pemeliharaan lingkungan
hidup sehingga kualitas ekosistem tetap terjaga yang diatur
dengan Undang-Undang;
4. Mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi
dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang
berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat
lokal, serta penataan ruang yang pengusahaanya diatur
dengan Undang-Undang;
5. Menerapkan indikator-indikator yang memungkinkan
pelestarian kemampuan, keterbatasan sumber daya alam yang
dapat diperbaharui untuk mencegah kerusakan yang tidak
dapat balik.

90 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
Lima prinsip ini kemudian dijabarkan lebih jauh dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Dalam gambaran umum mengenai pengelolaan sumber daya
alam dan lingkungan hidup ditegaskan bahwa peran pemerintah
dalam perumusan kebijakan pengelolaan sumber daya alam harus
dioptimalkan karena sumber daya alam sangat penting peranannya
terutama dalam rangka meningkatkan pendapatan negara melalui
mekanisme pajak, restribusi dan bagi hasil yang jelas dan adil
serta perlindungan dari bencana ekologis. Sejalan dengan otonomi
daerah pendayagunaan secara bertahap wewenang pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya
alam dimaksud untuk meningkatkan peranan masyarakat lokal dan
tetap terjaganya fungsi lingkungan.
Ditegaskan lebih jauh dalam UU ini, dengan memperhatikan
permasalahan dan kondisi sumber daya alam dan lingkungan hidup
dewasa ini, kebijakan di bidang sumber daya alam dan lingkungan
hidup ditujukan pada upaya:
1. Mengelola sumber daya alam, baik yang dapat diperbaharui
maupun yang tidak dapat diperbaharui melalui penerapan
teknologi ramah lingkungan dengan memperhatikan daya
dukung dan daya tampungnya;
2. Menegakkan hukum secara adil dan konsisten untuk
menghindari kerusakan sumber daya alam dan pencemaran
lingkungan;
3. Mendelegasikan kewenangan dan tanggungjawab kepada
pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan hidup secara bertahap;
4. Memberdayakan masyarakat dan kekuatan ekonomi dalam
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat global;

BAB V 91
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN....
5. Menerapkan secara efektif penggunaan indikator-indikator
untuk mengetahui keberhasilan pengelolaan sumber daya
alam dan lingkungan hidup;
6. Memelihara kawasan konservasi yang sudah ada dan
menetapkan kawasan konservasi baru di wilayah tertentu, dan
7. Mengikutsertakan masyarakat dalam rangka menanggulangi
permasalahan lingkungan global.
Bilamana kita teliti pengarusutamaan tentang rencana
pembangunan sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2007 tersebut khususnya yang berkenaan
dengan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup –
menggambarkan telah dimasukkannya perkembangan pemikiran
di bidang lingkungan dalam pelaksanaan pembangunan nasional,
sehingga cukup beralasan bahwa di Indonesia, pembangunan
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup telah dilaksanakan
walaupun mungkin baru sebatas dalam aturan hukum.
Selanjutnya yang perlu mendapat perhatian adalah Tap MPR/
IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber
Daya Alam Pasal 3 ketetapan ini menyatakan bahwa pengelolaan
sumber daya alam yang terkandung di daratan, lautan dan angkasa
dilakukan secara optimal, adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Kemudian dalam Pasal 4 ditentukan bahwa pembaharuan
agraria dan pengelolaan sumber daya harus dilaksanakan sesuai
dengan prinsip-prinsip:
1. Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
2. Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
3. Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi
keanekaragaman dalam unifikasi hukum;

92 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
4. Mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan
kualitas sumber daya manusia Indonesia;
5. Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi
dan optimalisasi partisipasi rakyat;
6. Mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam
penguasaan, peruntukan, penggunaan, pemanfatan dan
pemeliharaan sumber daya agraria/sumber daya alam;
7. Memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang
optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi yang
akan datang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan
daya dukung lingkungan;
8. Melaksanakan fungsional, kelestarian, dan fungsi ekologi
sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat;
9. Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antar pembangunan
antar daerah dalam pelaksanaan pembangunan agraria dan
pengelolaan sumber daya alam;
10. Mengakui, menghormati dan melindungi hak masyarakat
hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya
agraria/sumber daya alam;
11. Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara,
pemerintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota dan desa
atau yang setingkat) masyarakat dan individu;
12. Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan,
ditingkat nasional, daerah propinsi, kabupaten/kota dan desa
atau yang setingkat, berkaitan dengan alasan dan pengelolaan
sumber daya agraris/sumber daya alam.
Prinsip-prinsip ini memberikan landasan formal pengelolaan
sumber daya alam yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

BAB V 93
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN....
Selanjutnya dalam Pasal 5 ayat (2) ketetapan ini menentukan bahwa
arah kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam adalah:
1. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan
sumber daya alam dalam rangka sosialisasi kebijakan antar
sektor yang berdasarkan prinsip-prinsip sebagaimana
dimaksud Pasal 4 ketetapan ini;
2. Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan berbagai sumber
daya alam melalui identifikasi dan inventarisasi kualitas dan
kuantitas sumber daya alam sebagai potensi pembangunan;
3. Memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat
mengenai potensi sumber daya alam di daerahnya dan
mendorong terwujudnya tanggung jawab sosial untuk
menggunakan teknologi ramah lingkungan termasuk teknologi
tradisional;
4. Memeperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis
sumber daya alam dan melakukan upaya-upaya meningkatkan
nilai tambah dari produk sumber daya alam tersebut;
5. Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumber daya alam
yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi
konflik dimasa mendatang guna menjamin terlaksananya
penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip
sebagai mana dimaksud Pasal 14 ketetapan ini;
6. Mengupayakan pemulihan ekosistem yang telah rusak akibat
eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan;
7. Menyusun strategi pemanfaatan sumber daya alam yang
didasarkan pada optimalisasi manfaat dengan memperhatikan
potensi, kontribusi, kepentingan masyarakat dan kondisi
daerah maupun nasional.

94 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
Pengelolaan sumber daya alam di Indonesia secara umum
sudah mempunyai landasan formal yang cukup kuat dalam
pelaksanaan pembangunan nasional yang berbasis pembangunan
berkelanjutan. Namun apakah dalam realitanya memang sudah
seperti apa yang ditentukan dalam ketentuan dimaksud? Dalam
gambaran tentang kondisi umum mengenai pengelolaan sumber
daya alam dan lingkungan hidup Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2007 tentang Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun
2005-2025 menentukan: konsep pembangunan berkelanjutan telah
diletakkan sebagai kebijakan, namun dalam pengalaman praktek
selama ini, justru terjadi pengelolaan sumber daya alam yang tidak
terkendali dengan akibat perusakan lingkungan yang mengganggu
pelestarian alam; ungkapan ini menunjukkan adanya pengakuan dari
lembaga negara di Indonesia tentang masih belum terlaksananya
pembangunan berkelanjutan dalam pengelolaan sumber daya alam.
Konsideran Tap IX/MPR/2001 menyatakan bahwa pengelolaan
sumber daya agraria/ sumber daya alam yang berlangsung selama
ini telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan
struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya
serta menimbulkan berbagai konflik. Kemudian disebutkan pula
bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
pengelolaan sumber daya agraria atau sumber daya alam saling
tumpang tindih dan bertentangan.
Persoalan ini tidak hanya dihadapi di Indonesia akan tetapi
juga berlaku secara global dan proses globalisasi itu sendirilah
sebenarnya yang memperlemah pelaksanaan pembangunan
berkelanjutan, seperti yang dikatakan oleh Martin Khor bahwa proses
globalisasi telah semakin mendapat kekuatan, dan proses tersebut
telah dan akan semakin menenggelamkan agenda pembangunan

BAB V 95
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN....
berkelanjutan. Dalam tulisannya, Sonny Keraf67 menyebutkan ada
dua penyebab kegagalan penerapan konsep pembangunan yang
berkelanjutan. Menurut pendapatnya salah satu sebab dari kegagalan
mengimplementasikan paradigma tersebut adalah, paradigma
tersebut kurang dipahami sebagai prinsip-prinsip kerja yang
menentukan dan menjiwai seluruh proses pembangunan. Paradigma
ini tidak dipahami sebagai bentuk prinsip pokok politik pembangunan
itu sendiri. Pada akhir cita-cita yang dituju dan ingin diwujudkan
dibalik paradigma tersebut tidak tercapai. Karena, prinsip politik
pembangunan yang seharusnya menuntut pemerintah dan semua
pihak lainnya dalam rencana dan implementasi pembangunan tidak
dipatuhi dengan kata lain, paradigma pembangunan berkelanjutan
harus dipahami sebagai etika politik pembangunan, yaitu sebuah
komitmen moral tentang bagaimana seharusnya pembangunan itu
diorganisir dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan. Dalam kaitan
dengan itu, paradigma pembangunan berkelanjutan bukti sebuah
konsep tentang pembangunan lingkungan hidup.
Paradigma pembangunan berkelanjutan juga bukan
hanya tentang pembangunan ekonomi. Ini sebuah etika politik
pembangunan mengenai pembangunan secara keseluruhan dan
bagaimana pembangunan itu seharusnya dijalankan. Dalam arti
ini, selama paradigma pembangunan berkelanjutan tersebut tidak
dipahami, atau dipahami secara luas, cita-cita moral yang terkandung
di dalamnya tidak akan terwujud . Alasan kedua, mengapa paradigma
itu tidak jalan, khususnya mengapa krisis ekologi tetap saja
terjadi, karena paradigma tersebut kembali menegaskan ideologi
developmentalisme. Apa yang dicapai di KTT Bumi di Rio de Janeiro
tujuh belas tahun lalu, tidak lain adalah sebuah kompromi usulan
tentang pembangunan, dengan fokus utama berupa pertumbuhan
ekonomi. Akibatnya, selama tujuh belas tahun terakhir ini, tidak
67  Sonny Keraf, 2014, Loc-Cit, hal 124

96 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
banyak perubahan yang dialami semua negara di dunia dalam
rangka mengoreksi pembangunan ekonominya yang tetap saja sama,
yaitu penguasaan dan eksploitasi sumber daya alam dengan segala
dampak negatifnya bagi lingkungan hidup, baik kerusakan sumber
daya alam maupun pencemaran lingkungan hidup.
Sekalipun pembangunan berkelanjutan berada pada suatu
titik terendah, menurut Martin Khor, namun muncul juga tanda
kebangkitannya kembali sebagai suatu paradigma. Keterbatasan
dan kegagalan globalisasi telah menyebabkan munculnya reaksi
negatif dari sebagian masyarakat yang pada akhirnya mungkin akan
berdampak pada terjadinya perubahan sejumlah kebijakan. Dengan
munculnya kekuatan pro pembangunan berkelanjutan dalam
pemerintahan di negara-negara sedang berkembang (NSB) mereka
menjadi lebih sadar akan hak-hak dan tanggungjawab untuk meralat
berbagai persoalan yang ada pada saat ini termasuk mengubah
sejumlah peraturan dalam WTO. World Summit on Sustainable
Development - WSSD (Konferensi Dunia tentang Pembangunan
Berkelanjutan) memberikan kesempatan untuk memusatkan kembali
perhatian masyarakat maupun upaya-upaya pemantapan, bukan
semata-mata mengenai persoalan itu, melainkan juga kebutuhan
untuk menggeser paradigma-paradigma.68
Jadi jelas bahwa kemampuan sumber daya manusia untuk
memberi “nilai tambah” sumber daya pendukung pembangunan
melalui penerapan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni merupakan
kunci apakah pembangunan yang dilaksanakan itu sustainable
berkelanjutan, berkesinambungan atau tidak. Dengan demikian
sekalipun secara formal sudah jelas pembangunan yang dilaksanakan
di Indonesia harus berupa Pembangunan Berkelanjutan dan
Berwawasan Lingkungan Hidup tetapi masih baru pada tataran das
68  Ibid

BAB V 97
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN....
solen dan melalui perangkat hukum diharapkan dapat diwujudkan
pada tataran das sein. Namun keberhasilan ini masih tergantung
pada banyak faktor, selain faktor yang bersifat yuridis, juga politis
dan budaya termasuk kondisi sumber daya manusia yang menjadi
pelaksanaanya.

98 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
BAB VI
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
BERBASIS KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI

A. Konflik Sumber Daya Alam di Indonesia


Konflik sumber daya alam mulai muncul pada saat eksploitasi
sumber daya alam secara masif berawal sejak masa rezim Orde Baru
berkuasa pada tahun 1966-1967. Paradigma pembangunan dan
kemajuan ekonomi pada saat itu diwujudkan dengan potensi hutan,
minyak bumi, gas dan mineral yang dieskploitasi secara berlebihan.
Pada tahun pertama saja, terdapat tiga undang-undang (UU) yang
berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam.

Pertama adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang


Penanaman Modal Asing yang memberikan kemudahan masuknya
modal asing di Indonesia beserta dengan kemudahan insentif pajak
untuk perusahaan asing. Kedua adalah Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kehutanan yang
menyatakan bahwa seluruh wilayah hutan dikuasai oleh negara.
Produk hukum ketiga adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967
tentang Pertambangan yang membuat semua lahan di wilayah
Indonesia dapat dipergunakan untuk pertambangan.69

Eksploitasi kekayaan sumber daya alam di Indonesia memang


memberikan benefit yang sangat besar bagi perekonomian.
Namun, eksploitasi yang berlebihan telah menimbulkan kerusakan
lingkungan dan sosial terutama di daerah yang kaya sumber daya
alam. Perusahaan sering tidak mempedulikan kondisi masyarakat
lokal dan lingkungan. Hal ini terjadi karena pemberian hak untuk
69  Rakmindiyarto dalam https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel-dan-opini/
revitalisasi-tata-kelola-sumber-daya-alam-indonesia, Diakses Tanggal 9 Oktober
2019, Pukul 10.45 WIB

BAB VI 99
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM BERBASIS KEADILAN....
mengelola sumber daya alam tidak didasari pertimbangan sumber
daya alam berkelanjutan atau benefit buat masyarakat.
Kondisi tersebut menciptakan konflik laten yang dapat
meledak setiap saat. Puncaknya, konflik di area hutan terjadi pada
tahun 2001 di Kalimantan Tengah ketika terjadi bentrokan antara
Masyarakat Dayak dan Madura yang berujung pada pembantaian
lebih dari 500 orang Etnis Madura dan pengusiran ribuan Suku
Madura dari wilayah tersebut.
Sistem pemerintahan desentralisasi menjadikan semakin
kelihatan betapa pentingnya peran sumber daya alam bagi
perekonomian daerah. Mayoritas daerah masih menggantungkan
pendapatannya kepada eksploitasi sumber daya alam dan hanya
sedikit saja yang mendapatkan penerimaannya dari sektor industri
dan perdagangan. Pada zaman Orde Baru, daerah tidak terlalu ambil
pusing dengan pengelolaan sumber daya alam karena pemerintah
pusat memberikan dana bantuan daerah dengan besaran yang
seragam. Pada sistem desentralisasi, daerah harus berjuang sendiri
dan mencari pendapatan dari potensi kekayaan lokal. Sumber dana
yang paling memungkinkan adalah kekayaan alam. Sebagian besar
daerah yang kaya saat ini mendapatkan penerimaan daerahnya dari
sumber daya alam, seperti Kutai Kartanegara.
Secara umum dikatakan bahwa terjadinya konflik dalam
masyarakat bersumber dari persoalan-persoalan sebagai berikut :70
1. Penguasaan, pemanfaatan dan distribusi sumber daya alam
yang menjadi pendukung kehidupan manusia (natural resource
control and distribution);
2. Ekspansi batas wilayah kehidupan suatu kelompok masyarakat
(territoriality expantion);
3. Kegiatan ekonomi masyarakat( economic activity);
70  I Nyoman Nurjaya, 2006, Op-Cit, hal 40-41

100 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
4. Kepadatan penduduk (density of population).
Berdasarkan hal tersebut dalam perspektif Antropologi
hukum, konflik yang terjadi dalam masyarakat paling tidak dapat
dikategorikan menjadi 3 macam yaitu :71
1. Konflik kepentingan (conflict of interest);
2. Konflik nilai-nilai (conflict of value);
3. Konflik norma-norma (conflict of norms).
Pada situasi seperti ini, peranan tata kelola sumber daya
alam menjadi sangat penting. Governance yang salah hanya akan
menimbulkan eskalasi konflik berkenaan dengan menejemen
sumber daya alam. Menurut Stiglitz72, penggerusan sumber daya
alam menimbulkan eksternalitas berupa kerusakan lingkungan yang
akhirnya berujung konflik.
Secara umum ada dua jenis konflik yang terjadi yaitu yang
pertama konflik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
(pemda), dan yang kedua adalah konflik antara masyarakat lokal,
pengusaha, dan pemda. Konflik yang masih terjadi sampai saat ini
adalah yang jenis kedua, dan sampai sekarang pemerintah masih
belum menemukan solusi komprehensif untuk menurunkan eskalasi
konflik tersebut.
Konflik di bidang sumber daya alam adalah salah satu
permasalahan besar di Indonesia pasca reformasi. Data dari
Konsorsium Pembaharuan Agraria tahun 2016 menyebutkan bahwa
pada tahun 2016 telah terjadi 209 konflik dengan rincian 163 kasus
pada sektor perkebunan, 25 kasus pada sektor kehutanan dan 21
kasus pada sektor pertambangan. 73
71  Ibid
72  Joseph Stiglitzm, 2000, Democratic Developmentas the Fruits of Labor, New York:
Keynote Addres Industrial Relation Research Association, Global Policy Forum.
73  Empat Tahun Implementasi Reforma Agraria, dalam http//www.kpa.or.id Diakses
tanggal 9 Oktober 2019, Pukul 12.45 WIB

BAB VI 101
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM BERBASIS KEADILAN....
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) juga mencatat terjadi
659 konflik agraria sepanjang 2017, dengan luasan mencapai
520.491,87 hektar (ha). Jumlah konflik agraria meningkat 50 persen
dibandingkan 2016.
Dari seluruh sektor yang dimonitor, perkebunan masih
menempati posisi pertama, sebanyak 208 konflik, atau 32 % dari
seluruh jumlah konflik berturut-turut setelahnya yaitu properti 199
konflik (30 %), infrastruktur 94 konflik (14 %), pertanian 78 konflik
(12 %), kehutanan 30 konflik (5 %), pesisir/kelautan 28 konflik (4 %),
serta pertambangan 22 konflik (3 %).74
Tema sentral penyelesaian konflik dalam pengelolaan
sumber daya alam merupakan pemikiran yang cerdas di mana saat
sekarang menjadi permasalahan krusial pada era otonomi. Tujuan
Pembangunan sebagaimana yang diamanatkan dalam Garis-Garis
Besar Haluan Negara adalah mewujudkan suatu masyarakat
adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang merdeka, berdaulat, bersatu dan berkedaulatan rakyat dalam
suasana peri kehidupan bangsa yang aman, tentram,tertib dan damai.
Guna mewujudkan hal tersebut dan agar tercipta suasana
kehidupan yang aman, tertib dan damai diperlukan perangkat
peraturan yang dapat memberikan rasa keadilan dan ketertiban
dalam masyarakat, sehingga masyarakat dapat merasa aman
dan tenang dalam melakukan aktivitas-aktivitasnya, memanfaatkan
potensi dan sumber daya yang ada guna peningkatan kesejahteraan
masyarakat dengan tetap memperhatikan keseimbangan
lingkungan dan kelestarian alam serta memperhatikan kebutuhan
generasi yang akan datang. Dalam konstelasi wilayah nasional,
dalam era otonomi daerah, dinamika pluralitas yang demikian harus
74  Ibid

102 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
direspon melalui model kebijakan publik yang berorientasi pada
pemenuhan kebutuhan sertarasa keadilan masyarakat.
Adanya desentralisasi lebih menjamin adanya pluralitas
dan kearifan kultural serta tidak menggunakan pendekatan
yang seragam, karena menghindari dominasi suatu kekuasaan
berdasarkan budaya atau agama atau kepercayaan/ideologi
tertentu. Dengan otonomi maka daerah diberikan kesempatan yang
seluas- luasnya untuk mengembangkan kebijakan sendiri sesuai
dengan kebutuhannya. Berlakunya otonomi daerah yang ditandai
dengan lahimya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, dan mengalami perubahan berkali-kali
dan terakhir keluarnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 jo
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 , memberikan keleluasaan
bagi Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan
atas dasar prakarsa, kreativitas dan partisipasi aktif masyarakat
dalam rangka mengembangkan dan memajukan daerahnya.
Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk mengatur,
mengurus dan mengembangkan daerahnya sesuai dengan
kepentingan dan potensi daerahnya. Sumber daya alam yang
merupakan potensi daerah diharapkan mampu didayagunakan
dan ditumbuh-kembangkan dengan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Dalam hubungannya
dengan desentralisasi pengelolaan sumber daya alam, proses
implementasi secara makro harus dapat mensinergikan antara
(3) tiga model pendekatan, yaitu:
• Sumber daya alam adalah untuk pembangunan ekonomi;
• Sumber daya alam untuk kebutuhan manusia;
• Sumber daya alam untuk kepentingan lingkungan.

BAB VI 103
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM BERBASIS KEADILAN....
Memperhatikan ketiga pendekatan tersebut, apabila kita
cermati seksama maka pengelolaan sumber daya alam saat sekarang
ini lebih dipacu untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah
dengan kecenderungan menguras sumber daya alam tanpa
memperhatikan keberlanjutannya serta kurang memperhatikan
aspek sosial, kerusakan, pencemaran dan bahkan terjadi degradasi
lingkungan secara massal.
Padahal dalam pembangunan dan pemanfaatan sumber
daya alam yang berkelanjutan, senantiasa harus dapat memadukan
antara kepentingan pertumbuhan ekonomi yang berorientasi
jangka panjang dengan prinsip-prinsip keberlanjutan hidup
manusia sekarang dan yang akan datang. Pengutamaan manusia
dalam pembangunan dan pemanfaatan sumber daya alam yang
berkelanjutan ini bukan berarti berkarakter antroponsentris, namun
lebih merupakan perpaduan dari 3 (tiga) pendekatan di atas.
Konteks pembangunan hendaknya ditujukan untuk
kesejahteraan masyarakat, dan kelestarian lingkungan hidup. Tuhan
telah menganugerahkan kekayaan sumber daya alam, kemajemukan
masyarakat dan keanekaragaman kebudayaan, untuk dimanfaatkan
bagi kesejahteraan manusia, namun untuk itu kita dituntut
tanggung jawab untuk melestarikannya dan menjaga keserasian
sosial (menghindari konflik). Oleh karena itu sesuai dengan konsep
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, sudah
sepantasnya kesejahteraan sosial dibangun secara terintegrasi
dengan pembangunan ekonomi dan lingkungan sosial.
Konsep pelestarian yang modern, pemeliharaan dan
pemanfaatan sumber daya alam harus dilakukan secara bijaksana.
Konsep ini jika kita perhatikan, pada hakikatnya mengandung 2
(dua) aspek: Pertama, Kebutuhan untuk merencanakan pengelolaan
sumber daya yang didasarkan pada inventarisasi yang akurat. Kedua,

104 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
Kebutuhan untuk melakukan tindakan perlindungan untuk
menjamin agar sumber daya tidak habis. Dari kedua aspek
tersebut, penetapan dan pengelolaan kawasan yang dilindungi
adalah salah satu cara terpenting untuk dapat menjamin agar
sumber daya alam dapat dilestarikan, sehingga sumber daya ini
dapat lebih memenuhi kebutuhan umat manusia sekarang dan di
masa mendatang. Namun kegiatan manusia semakin lama sernakin
rnengurangi kapasitas daya dukung planetnya. Peningkatan jumlah
penduduk serta konsumsinya memperbesar permintaan akan
sumber daya alam, kombinasi antara sebagian besar penduduk
miskin yang berjuang untuk dapat hidup bersama dengan sejumlah
kecil masyarakat kaya yang mengkonsumsi sebagian besar sumber
daya alam secara berlebihan inilah yang dampaknya merusak
pondasi tempat bertumpunya kehidupan seluruh umat manusia.
Kebijakan pengelolaan sumber daya alam dimaksudkan untuk
menggapai kemakmuran rakyat secara berkeadilan dan berkelanjutan
ssuai dengan konstitusi 1945. Dengan berbasis pada kemanjemukan
sosial budaya dan keutuhan bangsa Indonesia, pada intinya
kebijakan pengelolaan sumber daya alam tidak berorientasi pada
eksploitasi (use oriented) tetapi mengacu pada keberlanjutan fungsi
sumber daya alam (sustainable resource oriented). Adanya otonomi
daerah dalam pengelolaan sumber daya alam kaepada masyarakat
daerah terutama masyarakat lokal/adat sebagai manifestasi dari
paradigm pengelolaan berbasis masyarakat (community based
resource management) Dalam hal ini pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah berperan sebagai administrator dan fasilitator
yang berkewajiban untuk :
1. Mendorong peningkatan kapasitas masyarakat dalam
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan;

BAB VI 105
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM BERBASIS KEADILAN....
2. Menjamin adanya pengakuan dan perlindungan hak-hak
masyarakat adat/lokal atas penguasaan dan pemanfaatan
sumber daya alam;
3. Menghormati dan melindungi modal sosial (capital sosial)
seperti etika sosial, kearifan lingkungan, system religi, maupun
pranata-pranata sosial dikalangan masyarakat; dan
4. Mengakui dan mengakomiodasi adanya kemajemukan
hukum (legal pluralism) yang tumbuh dan berkembang dalam
kehidupan masyarakat.75
Berdasarkan tataran empirik, permasalahan krusial kita
jumpai bersama dalam mewujudkan konsep pembangunan dan
pernanfaatan sumber daya alam adalah tingginya resistensi dalam
mengaktualisasikan eksistensi desentralisasi, kesan yang tampak,
terjadi perebutan kewenangan dan terjadi upaya maksimalisasi
pencapaian kebutuhan ekonomi sesaat, sehingga dalam pengelolaan
sumber daya alam sarat dengan potensi konflik, latent maupun terbuka.
Meminjam istilah John Naisbitt, tingginya resistensi dalam
mengaktualisasikan desentralisasi merupakan konsekuensi proses
paradoksal, ketika kran kebebasan dan globalisasi merambah, orang
bebas untuk mengutarakan aspirasi.76
Pada saat yang demikian, menguatlah gejala tribalisme
(kesukuan). Akibatnya persinggungan antar identitaspun sangat
rentan untuk terjadi. Tentu saja paradoks ini melambangkan suatu
konflik yang berkarakter manifestasi, misalnya konflik kewenangan
antar daerah, konflik masyarakat yang merebutkan sumber daya
alam dan lain sebagainya. Bahkan ironisnya konflik yang terjadi
terkadang diekspresikan dalam bentuk-bentuk kekerasan.

75  I Nyoman Nurjaya, 2006, Op-Cit, hal 76


76  L.R Wibowo, Woro Murdiati R, Sabarudi, 2009, Konflik Sumber Daya Hutan dan
Reforma Agraria, Kapitalisme Mengepung Desa, Alfa Media, Yogyakarta, hal 53

106 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
Bentuk kekerasan seperti ini, sebagaimana yang dijelaskan
Johan Galtung, telah melembaga dan bersifat sistemik. Galtung
percaya bahwa mobilitas sosial, geografis, tekanan ekonomi,
persinggungan sosial kultur dan inovasi politik akan melahirkan
semacam tekanan sistemik yang mendorong lahirnya aktivitas
destruktif.77
Dalam perspektif yang demikian, tentunya kita tidak ingin
terjebak dalam konstelasi paradoksalnya John Naisbitt
atau aktivitas destruktifnya Galtung, yang kita inginkan dalam
pembangunan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya
alam adalah dapat memaksimalkan kesejahteraan rakyat, tanpa
mengabaikan prinsip-prinsip pembangunan dan pemanfaatan
sumber daya alam yang berkelanjutan serta tereliminasinya konflik.78

B. Pengelolaan Sumber Daya Alam Perspekif Keadilan


Inter-Antar Generasi
Berangkat dari berbagai konflik sumber daya alam yang terjadi
di Indonesia perlunya pemikiran yang dapat pertimbangkan sebagai
bentuk prinsip- prinsip utama dalam pembangunan dan pengelolaan
sumber daya alam berkelanjutan di masa yang akan datang antara lain:
1. Keadilan inter-antar generasi
Berangkat dari suatu gagasan bahwa generasi sekarang
menguasai sumber daya alam yang ada sebagai titipan untuk
dipergunakan generasi mendatang. Keadaan demikian
menuntut tanggung jawab kepada generasi sekarang untuk
memelihara peninggalan (warisan) seperti halnya kita
menikmati berbagai hak untuk menggunakan bumi ini dari
generasi sebelumnya. Elemen kunci dari prinsip ini adalah:
77  Surwandono dan Sidiq Ahmadi, 2011, Resolusi Konflik di Dunia Islam,  Graha Ilmu,
Yogyakarta, hal 11
78  Ibid

BAB VI 107
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM BERBASIS KEADILAN....
a. Masyarakat antar satu generasi dengan generasi lainnya
adalah mitra;
b. Generasi sekarang tidak memberikan beban ekstemalitas
pembangunan pada generasi selanjutnya;
c. Setiap generasi mewarisi kekayaan sumber daya alam
serta kualitas habitat yang kurang lebih ekuivalen secara
fisik, ekologis, sosial serta ekonomi.
Kreteria dalam menilai pemanfaatan sumber daya
alam terutama yang tidak dapat diperbaharui adalah kreteria
efisiensi, tetapi juga harus mengedepankan dari sudut
keadilan (equity) antar masyarakat pada saat sekarang dan
dalam distribusi pemanfaatan antar generasi (intergeneration
distribution). Karena dalam pertimbangan keadilan
pemanfaatan sumber daya alam oleh generasi sekarang harus
memperhatikan kepentingan generasi yang akan datang.
Generasi yang akan datang juga membutuhkan sumber
daya alam. Akankah menjadi tidak adil apabila generasi
yang akan datang mengalami kehabisan sumber daya alam
karena pemanfaatan sumber daya alam yang berlebihan oleh
generasi sekarang.79

2. Prinsip keadilan dalam suatu generasi


Merupakan prinsip yang berbicara tentang keadilan
di antara satu sama lain generasi (transgenerasi), termasuk
didalamya keberhasilan memenuhi kebutuhan-kebutuhan
dasar atau tidak terdapatnya kesenjangan antara individu dan
kelompok-kelompok dalam masyarakat tentang pemenuhan
akan sumber daya alam;
79  Rocmani, 2015, Pemanfaatan Sumber Daya Alam Dalam Perspektif Keadilan Dan HAM
Dalam Era Otonomi Daerah, Prosiding Seminar Nasional Membangun Politik Hukum
Sumber Daya Alam Berbasis Cita Hukum Indonesia, Undip Semarang , Thafa Media,
Yogyakarta, hal 141

108 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
3. Prinsip pencegahan dini
Mengandung suatu pengertian apabila terdapat ancaman
adanya kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan,
tidak ada alasan untuk menunda upaya pencegahan. Dalam
prinsip ini kebijakan publik harus dilandasi oleh:
a. Evaluasi yang sungguh-sungguh untuk mencegah
seoptimal mungkin kerusakan lingkungan atau sumber
daya alam yang tidak dapat dipulihkan;
b. Penilaian dengan melakukan analisa risiko dengan
mempergunakan berbagai pilihan untuk mengurangi
resiko kerusakan lingkungan sumber daya alam.
4. Internalisasi biaya lingkungan dan mekanisme intensif
Pentingnya penekanan prinsip ini berangkat dari suatu
keadaan di mana pengelolaan sumber daya alam merupakan
reaksi dan dorongan dari pasar. Biaya lingkungan dan sosial
harus dapat terintegrasi secara maksimal Sedangkan
mekanisme intensif berupa program untuk mengubah perilaku
dan nilai-nilai dalam masyarakat yang dapat mendorong
terwujudnya pembangunan dan pengelolaan sumber daya
alam secara berkelanjutan. Akomodasi prinsip-prinsip utama
di atas, diharapkan secara sosiologis dapat mengeliminasi
terjadinya dis--fungsionalisasi penataan sosial dalam sumber
daya alam, yang disebabkan oleh:
a. Belum responsifnya produk-produk hukum sebagai
pedoman bersama dalam mengatur perilaku dibidang
pengelolaan sumber daya alam;
b. Belum menentunya status dan peran sosial masyarakat
di lingkungan pengelolaan sumber daya alam;

BAB VI 109
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM BERBASIS KEADILAN....
c. Belum terbangunnya hubungan sosial antara sesama,
bahwa sumber daya alam merupakan tanggung jawab
bersama.
5. Alternatif solusi untuk mengeliminasi konflik dalam
pengelolaan sumber daya alam. Dalam bidang sumber daya
alam, berarti:
a. Menyesuaikan kebijakan pengelolaan sumber daya
alam dengan ekosistem (ecosystem) setempat;
b. Menghormati kearifan lokal/tradisional yang sudah
dikembangkan masyarakat di dalam pengelolaan sumber
daya alam;
c. Tidak berdasarkan batas administrasi tetapi berdasarkan
batas ekologi (bio-region)
6. Meningkatkan kemampuan daya dukung lingkungan
setempat dan bukan menghancurkan daya dukung ekosistem
dengan eksploitasi yang melewati daya dukung. Untuk itu
upaya strategis yang perlu segera mendapatkan pertimbangan
adalah:
a. Melakukan upaya kegiatan menciptakan suatu regulasi
yang dapat menciptakan atau merajut bersama-sama
aturan-aturan untuk dipergunakan bersama dengan segera
meninggalkan egoisme kewenangan sektoral antar daerah;
b. Kebersamaan dalam mencipta regulasi yang demikian
membuka peluang kepada semua pihak untuk tahu akan
hak dan kewajiban, tahu bersikap dan bertindak, sehingga
tercipta relasi sosial yang anggun, selaras, serasi dan
seimbang.
c. Melakukan restrukturisasi dan pengorganisasian peran-
peran sosial di dalam masyarakat dalam rangka pengelolaan

110 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
sumber daya alam, dengan titik berat pelibatan secara aktif
masyarakat adat dan penduduk setempat sebagai pihak yang
paling berkepentingan (menentukan) dalam pembuatan
kebijakan pengelolaan sumber daya alam.
Berbagai upaya memformulasikan regulasi yang dapat
mengakomodasi sasaran di atas, perlu juga dipertimbangkan
untuk mengubah cara pandang dan pemaknaan desentralisasi
sumber daya alam yaitu dengan cara menitikberatkan basis
otonomi sektor sumber daya alam bukan pada tingkat
kabupaten, melainkan pada tingkat propinsi sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini dilakukan dengan
pertimbangan:

a. Kemungkinan munculnya kebijakan di daerah tertentu


yang akan mempengaruhi atau merugikan daerah
lainnya yang berada pada ekosistem sumber daya alam
yang sama. Ini bisa terjadi karena selama ini pembagian
wilayah kabupaten atau kota lebih didasarkan pada
pertimbangan administratif, padahal di banyak tempat
wilayah pengelolaan sumber daya alam selalu lebih luas
dari wilayah administratif. Oleh karena itu setiap regulasi
hukum mengenai pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan hidup yang terkotak-kotak demikian justru
melahirkan konflik.
b. Titik berat basis otonomi sumber daya alam pada
daerah Kabupaten, dapat meningkatkan laju eksploitasi
sumber daya alam, karena orientasinya lebih hanya
mengejar pendapatan asli daerah. Akibatnya terjadi
pengelolaan sumber daya alam tanpa mempertimbangkan
aspek pembangunan lingkungan yang berkelanjutan.

BAB VI 111
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM BERBASIS KEADILAN....
Upaya antisipatif melalui formulasi regulasi di atas,
setidak-tidaknya akan dapat memberikan harapan pada kita
bersama, untuk lebih arif dan bijak dalam menyelesaikan
konflik pengelolaan sumber daya alam. Kita menyadari
memang sering dihadapkan pada permasalahan problematik
dalam pengelolaan sumber daya alam, antara kepentingan
dan kewenangan sering kali tidak bersinergi. Untuk itu di
samping regulasi yang responsif, diperlukan penanganan
penyelesaian konflik secara win-win solution, melalui budaya
harmoni, yang titik beratnya bukan terletak pada asumsi
keutamaan formalisme kalah menang atau berwenang atau
tidak berwenang, yang akhimya menyandarkan pada
egosentris ke-aku-an dengan justifikasi yang mengedepankan
kepentingan sesaat.

Berdasarkan konteks yang demikian, lembaga dan


prosedur penyelesaian sengketa dalam pengelolaan
sumber daya alam, idealnya dapat muncul dalam bentuk yang
beragam, sebagian dapat bersifat formal atau informal dan
bahkan terkadang bisa menyatu dalam bentuk yang kompleks
formal dan informal. Sebab apabila hanya mengandalkan
formalisme dan prosedural teknis semata, dikhawatirkan
akan sulit untuk mengakomodasi keragaman persoalan dan
aspirasi masyarakat dalam memperoleh keadilan dalam
menyelesaikan konflik pengelolaan sumber daya alam.80

Keadilan dan kedamaian terdapat di berbagai ruang,


untuk itu para pengambil kebijakan harus berpikir lebih
jernih dalam memformulasikan bentuk keadilan dalam
penyelesaian konflik sumber daya alam.

80  Aji Samekto, 2015, Op-Ci, hal 45

112 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
Kedepan secara substansi kebijakan maupun substansi
hukum produk pemerintah harus menjadi lebih responsif
terhadap perkembangan dalam masyarakat dengan
mencerminkan karakteristik sebagai berikut :81

1. Pengelolaan sumber daya alam diorientasikan untuk


kelestarian dan keberlanjutan untuk kepentingan inter dan
antar generasi (resource-based management);
2. Pendekatan yang dipergunakan bersifat komprehensif dan
terintegrasi (comprehensive-integral) dengan memperlakukan
sumber daya alam sebagai suatu kesatuan ekologi (ecosystem);
3. Paradigma pengelolaan sumber daya alam yang dianut adalah
pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat yang
memberikan ruang yang lebih proporsional bagi partisipasi
public (public participation)dan transparansi;
4. Pengelolaan sumber daya alam dilakukan sesuai dengan
karakteristik wilayah dengan pendekatan bio-region dan
kondisi sosial budaya masyarakat lokal;
5. Mengakui akses dan keberadaan hak-hak masyarakat adat/
lokal atas penguasaan dan pemanfaatn sumber daya lokal;
6. Mengakui secara utuh dan mengakomodasi secara proporsional
kemajemukan hukum (legal pluralism) yang tumbuh da
berkembang dalam masyarakat ke dalam hukum negara (state
law).

81  I Nyoman Nurjaya, 2006, Op-Cit, hal 114

BAB VI 113
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM BERBASIS KEADILAN....
BAB VII
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

A. Politik Hukum Pengelolaan Sumber Daya Alam, Sumber


Daya Manusia dan Sumber Daya Buatan.
Pembahasan tentang politik hukum pengelolaan sumber
daya alam perlu dikaitkan dengan sumber daya manusia dan
sumber daya buatan bila ingin memperoleh hasil yang optimal.
Pengkaitan tersebut dipandang perlu oleh karena sumber daya alam
dimanfaatkan dengan mempergunakan sumber daya manusia dan
sumber daya buatan. sumber daya alam meliputi sumber daya alam
hayati, non-hayati dan lingkungan, sedangkan sumber daya manusia
mencakup tenaga ahli, tenaga terampil dan tenaga pelaksana,
serta sumber daya buatan meliputi seluruh hasil karya manusia
khususnya IPTEK, hukum dan kelembagaan, serta administrasi
negara dan administrasi niaga. Masing-masing sumber daya diatur
dengan undang-undang yang mempunyai rumusan pengelolaan
sumber daya dengan pengertian dan pemahaman yang berbeda satu
sama lain. Penerapan rumusan yang berbeda dengan pengertian dan
pemahaman yang berbeda pula akan menghasilkan ketidak pastian
hukum, ketidak adilan, dan ketidak benaran atau kebohongan publik.82
Pengelolaan sumber daya alam dilaksanakan sebagai
perwujudan dari penguasaan negara atas sumber daya alam dengan
tujuan untuk menggunakannya bagi sebesar-besar kemakmuran
rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 33 (3) UUD 1945.83 Namun
demikian, kenyataan menunjukan bahwa pengelolaan sumber daya
82  Tommy Hendra, 2015, Politik Hukum Pengelolaan Sumber Daya Alam, Prosiding
Seminar Nasional Membangun Politik Hukum Sumber Daya Alam Berbasis Cita
Hukum Indonesia, Media Thafa, Yogyakarta, hal 37
83  Nurul Fajri Chikmawati, Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia,
Jurnal Adil, Volume 4, Nomor 2, Desember 2013, Fakultas Hukum Universitas
YARSI, Jakarta, hal. 397.

114 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
alam saat ini belum mencerminkan maksud dan tujuan Pasal 33 (3)
UUD 1945. Untuk mewujudkan maksud dan tujuan tersebut pertama-
tama diperlukan adanya politik harmonisasi dan unifikasi hukum dan
kedua pelaksanaan keterpaduan hukum dan kelembagaan dalam
pengelolaan sumber daya.
Keberadaan sejumlah undang-undang yang mengatur
berbagai jenis sumber daya alam dengan pluralisme pengertian
dan pemahaman tentang makna pengelolaan sumber daya alam
mengindikasikan bahwa harmonisasi dan unifikasi hukum serta
keterpaduan hukum dan kelembagaan amat diperlukan apa bila
berkeinginan untuk mewujudkan maksud dan tujuan Pasal 33
(3) UUD 1945.84 Hampir sebagian terbesar undang-undang yang
mengatur pengelolaan sumber daya alam menerapkan asas
tanggungg jawab negara dalam pengelolaan sumber daya alam.
Artinya adalah bahwa pelaksanaan pengelolaan sumber daya
alam merupakan tanggung jawab negara. Dalam kaitan ini negara
memiliki peran besar untuk mewujudkan keadilan, kebenaran, dan
kepastian hukum85 melalui kegiatan pengelolaan sumber daya
alam.86 Apabila pengelolaan sumber daya alam menghasilkan
ketidak pastian hukum, ketidakadilan, dan ketidakbenaran, maka hal
itu berarti bahwa negara hadir tanpa wibawa.87 Negara hadir dengan
berwibawa apa bila negara melaksanakan politik harmonisasi
dan unifikasi hukum serta keterpaduan hukum dan kelembagaan
84  Tommy H. Purwaka, 2005, Fakta Perlunya Harmonisasi, dalam Jason M. Patlis, et.al.,
Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia,
USAID-BAPPENAS, Jakarta, hal 554-563)
85  Tommy Hendra Purwaka, 2011, Kerangka Pemahaman Politik Hukum Nasional, Jakarta,
Universitas Atma Jaya, hal. 72-76. …menyatakan bahwa keadilan adalah kehendak
atau cita masyarakat, kebenaran adalah kehendak atau cita moral, dan kepastian
hukum adalah kehendak atau cita hukum.
86  Mita Noveria, Pendanaan Pembangunan, Degradasi Lingkungan dan Konflik dalam
Pengelolaan Sumber Daya Alam, Jurnal Masyarakat Indonesia, Volume 38, No. 1, Juni
2012, Jakarta: LIPI, hal. 6.
87  Bambang Kesowo, Negara Hukum, Program Legislasi Nasional dan Kebutuhan Desain
Besar Bagi Perencanaannya, Jurnal Arena Hukum, Jilid 6, Nomor 1, April 2012,
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, hal 2

BAB VII 115


POLITIK HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
dalam menjalankan urusan pemerintahan di bidang pengelolaan
sumber daya alam. Dalam kaitan ini hukum UU dan pemerintahan
merupakan komponen yang paling penting untuk segera diperbaiki88
agar negara dapat hadir dengan berwibawa dalam pelaksanaan
pengelolaan sumber daya alam.
Kehadiran negara dalam pengelolaan sumber daya alam juga
merupakan jaminan bahwa pengelolaan sumber daya alam akan
menghasilkan peningkatan kualitas lingkungan hidup.89 Kewajiban
negara untuk tidak mencemari lingkungan menurut Article 21 dari
the Stockholm Declaration dan Article 2 dari the Rio Declaration90
merupakan bentuk lain dari pelaksanaan azas tanggung jawab
negara dalam pengelolaan sumber daya alam.
Permasalahan lingkungan timbul tidak hanya karena adanya
pluralisme dalam pengelolaan sumber daya alam, melainkan juga
karena pengaruh penerapan paradigma antroposentrisme yang
menempatkan lingkungan hidup hanya sebagai obyek semata.
Padahal kenyataan menunjukan bahwa ekonomi, sosial, dan
ekologi sudah menyatu dalam pembangunan nasional Indonesia.91
Paradigma ini perlu diubah dengan paradigma bioekosentrisme92
yang menempatkan lingkungan lestari sebagai kebutuhan hidup
manusia disamping kebutuhan hidup lainnya.

88  Maxensius Tri Sambodo and Siwage Dharma Negara, Designing Conceptual Framework
and State of Energy Security in Indonesia, Jurnal Ekonomi dan Pembangunan, Vol. XX (1),
2012, Jakarta: LIPI, hal 1
89  Octavianus Hartono, Aspek Hukum Penataan Ruang Dalam Mendukung Pembangunan
Infrastruktur Bisnis, Jurnal Dialogia Juridica, Volume 3, Nomor 1, November 2011,
Jakarta: Fakultus Hukum Universitas Kristen Maranatha, hal 91
90  Elisa Ruozzi, The Obligation not to Pollute: From Corollary of State Sovereignty to the
Right to a Decent Environment, Indonesian Journal of International Law, Volume 8,
Number 1, October 2010, Jakarta: Center for International Law Studies, Faculty of
Law University of Indonesia, hal 80
91  A. Sony Keraf, Bioregionalisme: Menyatunya Ekonomi Dengan Ekologi, Jurnal Respons,
Volume 17, Nomor 01, Juli 2012, Jakarta: Pusat Pengembangan Etika Unika Atma
Jaya, hal 11
92  Sutoyo, Paradigma Perlindungan Lingkungan Hidup, Jurnal Adil, Vol. 4, No. 1, Juli 2013,
Fakultas Hukum Universitas YARSI, Jakarta, hal 192-193

116 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
Paradigma bioekosentrisme juga memasukan pelestarian
keanekaragaman hayati sebagai wujud penerapan Protokol Nagoya
yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2013.93 Dengan demikian, pengelolaan
sumber daya alam yang dilakukan sesuai ketentuan hukum yang
berlaku akan menghasilkan pemenuhan kebutuhan hidup manusia,
termasuk kebutuhan akan lingkungan hidup yang baik dan sehat,
secara berkelanjutan.
Pengelolaan bumi, air, dan udara yang ada di atasnya serta
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagaimana
diuraikan di atas pada hakekatnya merupakan pengelolaan wilayah
NKRI sebagai negara kepulauan, negara kelautan, dan negara
kemaritiman.94 Dengan demikian, pelaksanaan pengelolaan sumber
daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan sebaiknya
mengacu pada konsep Indonesia sebagai negara kepulauan, negara
kelautan, dan negara kemaritiman serta berpedoman pada konsep
penataan ruang95 dan pembangunan berkelanjutan.96

B. Politik Hukum Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis


Pada Cita Hukum97
Secara geografis, Indonesia terletak pada posisi yang strategis
karena diapit dua benua dan juga dua samudera. Pada bagian barat
93  Yulia dan Zinatul Ashiqin Zainol, Melindungi Keanekaragaman Hayati Dalam Kerangka
Protokol Nagoya, Jurnal Mimbar Hukum, Vol.25, No. 2, Juni 2013, Yogyakarta:
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, hal 271, 280
94  Tommy Hendra Purwaka, Tinjauan Hukum Laut Terhadap Wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia, Jurnal Mimbar Hukum, Volume 26, Nomor 3, Oktober 2014,
Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, hal 356-362
95  Dina Sunyowati, Rancangan Model Undang-Undang Penataan Ruang Pesisir dan Laut
Daerah Berdasarkan Prinsip Integrated Coastal Management, Jurnal Yustika, Volume 13,
Nomor 2, Desember 2010, Surabaya: Fakultas Hukum Universitas Surabaya, hal 151-
153
96  Sri Wahyuni, Sustainable Forest Management in Indonesia’s Forest Law (Policy and
Institutional Framework), Jurnal Dinamika Hukum, Volume 14, No. 3, September 2014,
Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, hal 475
97  Aji Samekto, 2015, Op-Cit, hal 17

BAB VII 117


POLITIK HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
laut Indonesia berbatasan dengan Benua Asia, sedangkan pada
bagian Tenggara, Indonesia berbatasan dengan Benua Australia. Pada
arah Barat, wilayah Indonesia berbatasan dengan Samudera Hindia
dan sebelah Timur laut berbatasan dengan Samudera Pasifik. Batas-
batas geografis ini memberi sejumlah pengaruh bagi Indonesia
sebagai sebuah negara dengan kebudayaan yang beragam.
Letak geografis yang strategis ini menunjukkan betapa kaya
Indonesia akan sumber daya alam dengan segala flora, fauna dan potensi
hidrografis dan deposit sumber alamnya yang melimpah. Sumber
daya alam Indonesia berasal dari pertanian, kehutanan, kelautan dan
perikanan, peternakan, perkebunan serta pertambangan dan energi.
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 mengamanatkan pembentukan Negara
Indonesia ini untuk mencerdaskan kehidupan bangsa mewujudkan
suatu masyarakat yang adil dan sejahtera.98 Salah satu cara untuk
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh Indonesia adalah dengan
memanfaatkan sumber daya alam yang ada bagi kesejahteraan
masyarakat. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 juga mengamanatkan bahwa bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Kekayaan akan berbagai sumber daya alam, termasuk
keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya merupakan
98  Alinia ke empat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 menyetakan "Kemudian
dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan.perdamaian
abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia
itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam
suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasar kepada Ketuhanan yang maha esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaaan dalam
permusyawaratan /perwakilan serta dengan mewujudkan suatu, Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia”.

118 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
anugerah, diantaranya terdiri dari kekayaan hutan produksi, demikian
juga dengan berbagai potensi tambang lainnya seperti emas, minyak
dan gas bumi serta berbagai sumber daya alam lain yang jumlahnya
cukup besar.Demikian juga penduduknya yang beraneka ragam
suku, agama, ras sehingga dikatakan sebagai masyarakat plural
(plural society), hal ini merupakan kekayaan budaya yang senantiasa
dipertahankan dan dilestarikan karena di dalamnya terdapat tata
nilai, norma-norma adat yang berlaku dalam masyarakat tersebut.
Seiiring dengan pertambahan penduduk, pertumbuhan ekonomi dan
industrialisasi maka tekanan terhadap sumber daya alam menjadi
semakin besar.
Tingkat kebutuhan dan kepentingan terhadap sumber
daya alam juga semakin tinggi. Hal ini dapat dilihat dari berbagai
kenyataan betapa pembukaan hutan, kegiatan pertambangan, dan
eksploitasi sumber daya alam lainnya dari tahun ke tahun bukannya
menurun, akan tetapi semakin besar. Dengan demikian tentunya
kawasan-kawasan budidaya maupun kawasan lindung semakin
terancam habis, sementara recovery sumber daya alam yang dapat
diperbaharui membutuhkan waktu yang lama untuk dapat diperbaiki
kembali.
Sumber daya alam yang tersebar di berbagai wilayah
Indonesia tersebut disadari suatu ketika akan habis dan punah jika
pengelolaannya dilakukan secara tidak lestari dan berkelanjutan. Oleh
karena itu dengan meningkatnya laju pembangunan yang disertai
dengan pemanfaatan sumber daya alam, maka setiap perencanaan
pembangunan seharusnya senantiasa memperhatikan perlindungan
lingkungan dan pembangunan berkelanjutan yang berkeadilan demi
kesejahteraan masyarakat indonesia pada umumnya dan masyarakat
sekitar kegiatan pembangunan pada khususnya.

BAB VII 119


POLITIK HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
Oleh karena itu politik hukum pengelolaan sumber daya
alam senantiasa berlandaskan kefilsafatan dalam UUD 1945 yang
memberikan arah dan nilai-nilai keadilan baik untuk generasi
sekarang maupun generasi yang akan datang. Menelusuri konsep
keadilan sangatlah panjang dapat dikatakan sejak jaman yunani
kuno sudah dikenal konsep-konsep keadilan. Alinea ke empat
pembukaan UUD 1945 menyatakan: “Kemudian dari pada itu untuk
membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka
disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-Undang Dasar Negara Indonesia,yang terbentuk dalam
suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat
dengan berdasar kepada Ketuhanan yang maha esa, Kemanusiaan
yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksaaan dalam per­ musyawaratan /
perwakilan serta dengan mewujudkan suatu, Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat indonesia”99
Sila-sila yang ada dalam alinia ke empat Pembukaan UUD 1945
itu tidak lain adalah Pancasila100. Pancasila merupakan pandangan
hidup bangsa Indonesia yang mengungkapkan pandangan bangsa
Indonesia tentang hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan
manusia dengan nuraninya, hubungan manusia dengan alam
semesta, hubungan manusia dengan sesama­ nya baik yang non
hukum maupun hukum, yang berintikan keyakinan tentang tempat
manusia individual di dalam alam semesta101
99  Alinia ke empat Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
100  A.Hamid S Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Negara, Disertai Doktor, hal 310
101  B. Arief Sidharta, 2005, Struktur Ilmu Hukum Indonesia, makalah Seminar, hal. 23;
Bandingkan dengan pandangan Peter mahmud, Moral dalam Fungsi Eksistensial

120 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
Tatanan hukum yang beroperasi dalam suatu masyarakat pada
dasarnya merupakan pengejawantahan cita hukum yang dianut
dalam masyarakat yang bersangkutan ke dalam berbagai perangkat
aturan hukum positif. Cita hukum adalah gagasan,cipta,rasa,karsa
dan pikiran berkenaan dengan hukum atau persepsi tentang makna
hukum,yang dalam intinya terdiri dari tiga unsur yaitu keadilan,
kehasilgunaan dan kepastian hukum102
Sebagaimana diuraikan sebelumnya, Pancasila merupakan
pandangan hidup bangsa Indonesia yang mengungkapkan
pandangan bangsa Indonesia tentang hubungan manusia dengan
Tuhan, hubungan manusia dengan nuraninya, hubungan manusia
dengan alam semesta, hubungan manusia dengan sesamnaya baik
yang non hukum maupun hukum, yang berintikan keyakinan tentang
tempat manusia individual di dalam dan alam semesta.
Masyarakat sebagai sistem sosial merupakan wadah bagi
anggota-anggotanya di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Manusia sebagai anggota masyarakat tersebut akan senantiasa
melakukan hubungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dan
proses interaksi tersebut akan berlangsung terus menerus tanpa
henti; Agar hubungan yang berlangsung dapat mencapai tujuan
yang di harapkan diperlukan adanya ketertiban, karena ketertiban
merupakan salah satu kebutuhan utama dalam kehidupan
masyarakat. Untuk dapat mencapai ketertiban, maka harus di dukung
oleh norma-norma, yaitu petunjuk tingkah laku manusia di dalam
menjalankan kehidupannya dengan manusia yang lain.103 Norma-
norma dalam kehidupan masyarakat meliputi norma agama, norma
kebiasaan, norma susila dan norma hukum.
Manusia, Seminar Nasional Teori Hukum, Hukum: Bahasa dan Moralitas, UKSW 4-5
Februari 2015, hal 4
102  Ibid,hal 5
103  Esmi Warassih Puji Rahayu, 2001, Pemberdayaan Masyarakat Dalam Mewujudkan
Tujuan Hukum: Proses Penegakan Hukum dan Persoalan Keadilan; Pidato Pengukuhan
Guru besar madya ( Semarang, Undip, hal 5-6

BAB VII 121


POLITIK HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
Hukum di manapun akan tumbuh dari cara hidup, pandangan
hidup kebutuhan hidup masyarakatnya, sehingga hukum akan
tumbuh dan berkembang bersama masyarakatnya. Hukum berubah
sesuai dengan perkembangan masyarakat, sekaligus mengubah
masyarakat.
Oleh karena itu dalam makalah ini juga digunakan budaya
hukum karena dalam mewujudkan ide hukum dalam kenyataan
diperlukan pemahaman legal cultur dalam masyarakat sebagai
adresat hukum. Sebagaimana Rescoe Pound, berpendapat bahwa
hukum itu adalah lembaga kemasyarakatan untuk memenuhi
kebutuhan sosial.104
Pandangan yang demikian ternyata senada dengan konsep
hukum dari pemikiran aliran sejarah yang dikemukakan oleh
pendirinya Friedrich Von Savigny, di mana hukum di pandang sebagai
ekspresi dari kesadaran hukum rakyat atau Volksgeist (jiwa bangsa ).
Volksgeist adalah falsafah hidup suatu bangsa atau pola
kebudayaan yang tumbuh akibat pengalaman dan tradisi dimasa
lampau. Hukum itu tumbuh bersama pertumbuhan masyarakat,
menjadi kuat bersama kuatnya suatu bangsa. Hukum tersebut akan
hilang bersama-sama dengan lenyapnya nasionalitas.105
Hukum dipahami sebagai suatu yang tumbuh dan berkembang
secara alamiah dari dalam pergaulan masyarakat. Pertumbuhan
hukum yang berlaku dalam masyarakat tidak bisa lepas dari
budayanya dan cara pandang masyarakatnya termasuk di dalamnya
lingkungan hidup yang mempengaruhi. Cara pandang masyarakat ini
dipahami sebagai paradigma.
Budaya dan cara pandang masyarakat merasuk juga didalam
etika lingkungan dalam pengelolaan sumber daya alam yang terbagi
104  Sunarjati Hartono,1968, Kapita Selekta Perbandingan Hukum, Alumni, Bandung, hal 58
105  Sulaiman Nitiatma, 1997, Hukum Yang Baik, Semarang, GUPPI –Undaris, hal 29

122 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
menjadi tiga sudut pandang mengenai lingkungan hidup106, yaitu:
antroposentrisme, bio-sentrisme dan ekosentrisme.107
Dalam ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966 telah ditegaskan
bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum di
dalam negara Republik Indonesia. Definisi sumber dari segala
sumber hukum yang diberikan dalam Tap MPRS itu sangat luas,
yakni pandangan hidup, kesadaran, cita hukum serta cita moral
yang meliputi suasana kejiwaan serta watak bangsa Indonesia,
ialah cita mengenai kemerdekaan individu, kemerdekaan bangsa,
perikemanusiaan, keadilan sosial, perdamaian nasional dan mondial,
cita politik mengenai sifat, bentuk dan tujuan negara, cita moral
mengenai kehidupan kemasyarakatan dan keagamaan sebagai
pengejawantahan budi nurani manusia.
Rumusan yang panjang lebar di atas memberikan suatu
pengertian bahwa sumber dari segala sumber hukum itu berasal
dari pandangan hidup negara (ideologi negara) yang termuat di
dalamnya cita negara. Sebagaimana diketahui, pandangan hidup
negara tersebut berakar pada pandangan hidup bangsa (idiologi
nasional), dan pandangan hidup bangsa berakar pada pandangan
hidup masyarakat Indonesia.
Ideologi negara memuat cita negara. Salah satu aspek
penting dalam cita negara Indonesia itu adalah aspek hukumnya,
106  Sony keraf, 2010, Etika Lingkungan hidup, Penerbit Kompas, Jakarta
107  Cara pandang antroposentrisme, kini dikritik secara tajam oleh etika biosentrisme
dan ekosentrisme. Bagi biosentrisme dan ekosentrisme, manusia tidak hanya
dipandang sebagai makhluk sosial. Manusia pertama-tama harus dipahami sebagai
makhluk biologis, makhluk ekologis. Dunia bukan sebagai kumpulan objek-objek
yang terpisah, tetapi sebagai suatu jaringan fenomena yang saling berhubungan
dan saling tergantung satu sama lain secara fundamental. Etika ini mengakui nilai
intrinsik semua makhluk hidup dan memandang manusia tak lebih dari satu untaian
dalam jaringan kehidupan, dengan demikian solusi yang yang dilakukan harus
ada perubahan perilaku, perubahan paradigma pembangunan dari pembangunan
berkelanjutan ke pembangunan keberlanjutan ekologi (ecodevelop mentalism) dan
perlunnya penguatan Good Environmental Government, yang memiliki komitmen
moral yang konsisten termasuk didalamnya individu, masyarakat, dunia usaha dan
pemerintah.

BAB VII 123


POLITIK HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
sebab negara ini telah menyatakan dirinya sebagai negara berdasar
atas hukum, tidak berdasar atas kekuasaan belaka dan tidak pula
berdiri diatas hukum. Aspek hukum dalam cita negara itu disebut
dengan cita hukum. Di samping cita hukum itu tentu ada cita lainnya
seperti cita politik, cita ekonomi, cita sosial budaya dan didalamnya
termasuk pengelolaan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Politik Hukum (Politics of Law) atau Kebijakan Publik (Public
Policy)108 merupakan garis resmi untuk mencapai tujuan negara
melalui hukum dalam pengelolaan sumber daya alam. Garis resmi
untuk mencapai tujuan negara dalam era reformasi terwujud dalam
Propenas, Prolegnas, Prolegda dan latar belakang pembuatan
hukum, yang kemudian baru masuk implementasi hukum. Ancaman
terhadap globalisasi terutama adalah industri kehutanan, industri
perikanan dan industri pertambangan. Bahan tambang mineral
logam merupakan bahan tambang yang berwujud bijih, seperti bijih
besi, nikel, emas, tembaga, timah dan biji bauksil. Mineral logam
dibagi menjadi dua yaitu logam nurni dan logam campuran. Bahan
tambang mineral bukan logam, seperti batu kapur, belerang, pasir,
kaolin, asbes, mika, tanah liat dan intan menjadi pilihan.
Oleh karena itu membangunan politik hukum tidak disertai
pemahaman bahwa manusia merupakan insan pokok sebagai
pelaku utama dalam segala kegiatan untuk mewujudkan keadilan,
mengingat legal system is not a machine; it is run by human beings,109
maka untuk mewujudkan keadilan, faktor manusia- perilakunya tidak
hanya dilihat dari apa yang tampak oleh paca indera kita, tetapi
108  Istilah Politics of law sering disederhanakan dengan legal policy, tanpa melihat content,
legal policy memiliki content politik hukum ketika pencapaian tujuan ideal bersama
menjadi fokus dari kebijakan tersebut……lihat dalam Bernad L.Tanya, 2011, Politik
Hukum Agenda Kepentingan Bersama, Genta Publishing, hal 6
109  Friedman, dalam Esmi Warassih Puji Rahayu, 2001, Pemberdayaan Masyarakat Dalam
Mewujud­kan Tujuan Hukum: Proses Penegakan Hukum dan Persoalan Keadilan; Pidato
Pengukuhan Guru Besar Madya ( Semarang, Undip), hal 3

124 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
juga memahami manusia dalam proses pembentukan hukum dan
penegakan hukum selalu melakukan interaksi dengan lingkungannya
yang dilandasi oleh budaya agar hubungan mereka lebih bermakna.
Politik hukum yang yang dibuat oleh pemerintah belum
memberian jaminan kepada rakyat atas sumber daya alam yang ada
di Indonesia. Politik Hukum pengelolaan sumber daya alam sudah
diarahkan untuk memberikan kesejahteraan masyarakat sudah
menjadi cita hukum (Rechsidee) bangsa Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam pembukaan UUD NRI tahun 1945. Perlindungan dan
pengelolaan sumber daya alam sudah seharusnya dapat dinikmati
oleh generasi sekarang dan yang akan datang ( keadilan dalam dan
antar generasi). Namun demikian masih terdapat banyak kelemahan
dalam pengaturan dan implementasi terhadap perlindungan dan
pengelolaan sumber daya alam.
Secara normatif politik hukum pengelolaan sumber daya alam
di Indonesia sudah ditentukan dalam Pasal 33 (3) UUD NRI 1945.
Ketentuan pasal tersebut mengandung konstruksi yuridis bahwa
sumber daya alam yang ada di wilayah kedaulatan Indonesia, adalah
milik bangsa Indonesia. Selanjutnya pengelolaan sumber daya
alam yang ada diserahkan kepada negara untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat110. Dalam pengelolaan sumber daya alam ini,
negara dapat bertindak sebagai badan publik (iure emperii) maupaun
bertindak sebagai badan privat (iure gestiones).
110  Secara teoretik tugas utama negara adalah: to create prospherity and security. Ini adalah
ajaran klasik tentang tugas utama negara yang masih relevan hingga kini. Adapun
konsep kemakmuran rakyat yaitu keadaan kehidupan negara yang rakyatnya
mendapat kebahagiaan jasmani dan rohani akibat sudah terpenuhi kebutuhannya.
Sedangkan Dilihat dari sudut pandang ekonomi, kemakmuran rakyat adalah
kemampuan rakyat untuk memenuhi sebagian besar kebutuhan hidup, baik itu
kebutuhan primer, kebutuhan sekunder, maupun kebutuhan tertier. Dari pengertian
tersebut kemakmuran dapat juga dilihat dari tingkat konsumsi masyarakat
mengkonsumsi sesuatu. Selain dilihat dari tingkat konsumsi, produk domestik bruto
dan produk domestik bruto per-kapita juga merupakan alat ukur kemakmuran.
Namun, pengukuran kemakmuran menggunakan indikator produk domestik bruto
per-kapita lebih mencerminkan kemakmuran suatu masyarakat atau rakyat…lihat
dalam Sigit Sapto Nugroho, 2019, Op-Cit, hal 16

BAB VII 125


POLITIK HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
Terkait dengan pengelolaan sumber daya alam, negara
sebagai badan publik berwenang mengeluarkan kebijakan-kebijakan
pengelolaan sumber daya alam, aturan-aturan hukum termasuk
perijinan-perijinan. Dalam hal ini kedudukan negara tidak bisa
diganggu gugat. Dalam kedudukan negara sebagai badan privat,
negara dapat melakukan kerjasama berbasis kontrak dengan pihak
swasta asing maupun dalam negeri untuk pengelolaan sumber daya
alam. Dalam hal kedudukan negara sebagai badan privat.negara bisa
digugat pihak lain, mengingat perjanjiannya yang bersifat kontraktual.
Dari sisi normatif ini bisa disebut sebagai konstruksi hukum
yang dibangun berdasarkan Pasal 33 (3) UUD NRI 1945. Jelas bahwa
di dalam pelaksanaannya, pengelolaan sumber daya alam oleh
negara tidak terlepas dari kepentingan perekonomian nasional
dan keselarasannya dengan perlindungan lingkungan hidup.
Oleh karenanya memang tidak bisa dipungkiri bahwa harus ada
harmonisasi antara pengelolaan sumber daya alam - pembangunan
- dan perlindungan lingkungan hidup, yang diperuntukkan sebesar-
besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Realitasnya terdapat berbagai persoalan dalam pengelolaan
sumber daya alam di daerah-daerah, dan persoalan-persoalan
itu tidak bisa hanya diselesaikan secara deduktif saja, mengingat
beragamnya permasalahan. Dengan mendasarkan pada beberapa
kasus terpilih di atas, maka bisa dirangkum fakta-fakta yang menjadi
persoalan dalam pengelolaan sumber daya alam.
1. Adanya Fakta Yuridis
Berdasarkan fenomena yang terjadi, maka dikemukakan
beberapa hal berikut:
a. Ditemukan bahwa terdapat implementasi aturan hukum
yang tumpang tindih dalam pengelolaan sumber daya

126 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
alam di daerah. Aturan tata ruang nasional yang seharusnya
sinkron hingga sampai di tingkat kabupaten atau kota,
bisa dirubah demi memenuhi kepentingan-kepentingan
tertentu tetapi berpotensi merusak lingkungan dan
menghabiskan sumber daya alam;
b. Ketidak-sinkronan antara aturan tata ruang nasional
dengan tata ruang daerah terkait erat dengan pembenaran
eksploitasi sumber daya alam di daerah yang menimbulkan
kerusakan lingkungan hidup dan ketidak­adilan social;
c. Penggunaan aturan hukum yang multi-tafsir tetapi
berorientasi pada kepentingan eksploitasi sumber daya
alam belaka tanpa mempedulikan persoalan keadilan bagi
masyarakatnya;
d. Ketidaksadaran bahwa organ negara telah bersikap arogan
yang di landaskan pada pemahaman yang tidak tepat
terhadap pengertian beberapa terminologi dalam aturan
hukum. Arogansi tersebut juga terjadi karena posisi organ
negara yang sadar atau tidak selalu merasa lebih tinggi
dari masyarakat lokal;
e. Berikutnya masalah yang selalu muncul adalah tentang
keberadaan hak ulayat dan keberadaan masyarakat adat
seharusnya menjadi perhatian. Ketidak adilan yang dialami
oleh masyarakat hukum adat tercermin dari hasil penelitian
tentang masyarakat Baduy. Ketidakadilan dialami oleh
mereka karena politik hukum pengakuan negara terhadap
hak ulayat dengan syarat yang terdapat dalam Pasal 3 UUPA
dan Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 merupakan politik hukum
yang mencerminkan hegemoni dan homogenisasi111;
111  Sukirno, 20l4, Rekonstruksi Politik Hukum Pengakuan Negara Terhadap Hak Ulayat (Studi
Pengakuan Dan perlindungan Eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Baduy Dan
Hegemoni Negara), Disertasi pada Program Doktor Ilmu Hukum Undip, Semarang

BAB VII 127


POLITIK HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
f. Secara umum hampir terdapat di semua daerah adalah
bahwa terdapat kecenderungan pendekatan yang sangat
deduktif atau sebaliknya justru malah sangat lemah dalam
penyelesaian konflik pemanfaatan sumber daya alam
antara negara dengan masyarakat. Akibatnya pendekatan
penyelesaian masalahnya terlalu formal, sangat hitam
putih dan tidak menghasilkan keadilan yang substansial.

2. Adanya Fakta Sosial


Faktor yang sering tidak disadari organ negara ketika
melakukan pendekatan dengan masyarakat, untuk mencapai
tujuannya untuk mengeks­ ploitasi sumber daya alam di
suatu wilayah, adalah memandang masyarakat sebagai
pihak yang sub-ordinate sehingga dianggap bisa dengan
mudah didekati, dipengaruhi. Sering tidak terpikirkan bahwa
terhadap lingkungan hidup di sekitarnya, masyarakat memiliki
keterikatan batin yang menyejarah penuh nilai. Akibatnya
tidak akan mudah masyarakat menyerahkan hak-haknya atas
suatu kepemilikan tertentu misalnya tanah tempat tinggalnya
atau lahan pertaniannya. Dampak lebih lanjut program-
program pemerintah dalam rangka penciptaan kemakmuran
rakyat bisa terkendala hanya karena salah pendekatan dengan
masyarakat. Kasus di Mesuji Lampung, serta terkendalanya
pembangunan PLTU di Kabupaten Batang menjadi contoh
fenomena tersebut.

Demikian pula keberadaan masyarakat lokal secara


fakta masih belum diakui secara penuh eksistensinya
maupun perannya dalam pengelolaan sumber daya alam
dan lingkungan hidup, sekalipun secara yuridis pengakuan
keberadaan -mereka sudah tegas-tegas ditentukan dalam

128 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
Konstitusi dan berbagai peraturan perundang-undangan.
Ketiadaan pengakuan peran yang memadai, menyebabkan
tugas pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam
seolah-olah berperan paling penting (single actor).

Akan tetapi kejadian sebaliknya juga terjadi: faktor pola


hidup dan juga kemiskinan telah mendorong masyarakat untuk
memaksakan kehendaknya demi mempertahankan hidup.
Akibatnya lingkungan dan sumber daya alam dikelola dengan
ceroboh, merusak dan tidak bertanggung jawab. Realitas
sosial penambangan timah di Bangka Belitung bisa dijadikan
contoh fenomena tersebut, sekalipun kalau bisa disebutkan,
tentu hampir di semua daerah penyebab terjadinya eksploitasi
sumber daya alam yang tidak bertanggungjawab dipicu
oleh faktor kemiskinan dan pola hidup yang ingin mudah
mendapatkan sesuatu karena lingkungan sosial yang sudah
tidak bisa dijadikan contoh lagi.

3. Desain Politik Hukum Pengelolaan Sumber Daya Alam


Dari realitas yang bersumber dari fenomena-fenomena
yang ada di berbagai wilayah di Indonesia tersebut maka bisa
dikatakan bahwa buruknya pengelolaan sumber daya alam
yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup bersumber
dari: (1) kemiskinan; (2) lemahnya penegakan hukum; (3)
rendahnya taraf sinkronisasi peraturan terkait dengan
pengelolaan sumber daya alam; (4) dorongan peningkatan
pendapatan asli daerah; (5) perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup tidak menjadi agenda politik utama; (6)
masih belum kuatnya pengakuan peran masyarakat lokal;
(7) upaya pemaksaan kehendak melalui instrument hukum.

BAB VII 129


POLITIK HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
Berdasarkan identifikasi tersebut maka ke depan harus
dibangun politik hukum pengelolaan sumber daya alam yang
memuat cita hukum Indonesia bercirikan/berkarakter: 112

a. Pro Ketertiban
Tujuan hukum yang utama adalah menciptakan
ketertiban. Hal ini bisa dikembalikan pada adagium tidak
terbantahkan dari Cicero (106-43 Sebelum Masehi) seorang
filosof Romawi yang menyatakan: ubi societas ibi ius yang
artinya: dimana ada masyarakat di sana ada hukum. Adagium
dari Cicero benar-benar tidak terbantahkan dan bisa
dimaknai dalam perspektif yuridis normatif maupun yuridis
sosiologis. Dalam perspektif yuridis-normatif, ubi societas ibi
ius memberikan makna bahwa tujuan hukum adalah untuk
menjaga ketertiban. Logika historiknya, ketika masyarakat
semakin membesar, ada kebutuhan untuk menyatukan lebih
banyak manusia dengan kehendak yang berbeda-beda.
Kesemuanya itu memerlukan kehadiran penguasa yaitu negara,
berikut sarana untuk menjamin ketertiban yaitu hukum.

Dari perspektif yuridis-sosiologis ubi societas ibi ius


memberi implikasi ketika masyarakat semakin berkembang
maka hukum pun akan berkembang. Berdasarkan pemikiran
akademik tersebut, maka politik hukum pengelolaan sumber
daya alam sebagaimana tercantum dalam Konstitusi, harus
dijabarkan dalam kriteria: (1) peraturan-peraturan hukum
yang dilandaskan pada pembenaran filosofis Pancasila
dan Pembukaan UUD tahun 1945, dan pembenaran secara
sosiologis yang mendasarkan pada dinamika perkembangan
masyarakat lokal, nasional maupun dinamika global; (2) tetap

112  Aji Samekto, 2015, Op-Cit, hal 21

130 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
menjaga sinkronisasi peraturan-peraturan hukum secara
vertikal maupun horisontal, khususnya peraturan-peraturan
dalam lingkup administratif seperti penataan ruang, perijinan
dan sejenisnya. Tanpa ada sinkronisasi peraturan hukum,
pengelolaan sumber daya alam, yang sering menimbulkan
perselisihan antara negara dengan masyarakat akan rawan
gugatan administrasi. Tertib secara aturan hukum tidak bisa
tidak harus diikuti dengan penegakan peraturan dalam praktek
secara konsekuen, mempertimbangkan berbagai kepentingan
secara tepat.

b. Pro Keadilan Sosial


Tujuan hukum berikutnya adalah menciptakan keadilan.
Paham negara hukum didasarkan keyakinan bahwa kekuasaan
negara harus dijalankan atas dasar hukum yang baik dan
adil113. Dengan demikian selain memenuhi syarat secara
formal, hukum harus tetap mempertahankan idea hukum,
yaitu harus baik dan adil, baik karena sesuai dengan kehendak
masyarakat terhadap hukum itu sendiri, dan adil bukan hanya
secara formal tetapi secara substansial.

Keadilan itu sendiri selalu tidak dapat didefinisikan


sepihak. Apabila diandaikan keadilan sebagai gunung Merapi,
maka keadilan itu bisa dibicarakan dari sisi mana kita
melihat realitas keadilan itu. Keadilan bisa dibicarakan dari
sisi kawasan Ketep, keadilan bisa dibicarakan dari kawasan
Kaliurang, keadilan bisa dibicarakan dari wilayah Blabak
dan sebagainya. Hasilnya dengan demikian akan berbeda
tergantung dari mana kita melihatnya.

113  Franz Magnis Suseno,1995, Etika Politik,Gramedia Pustaka Utama,Jakarta, hal 295

BAB VII 131


POLITIK HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
Keadilan sosial merupakan keadilan yang harus
diwujudkan negara kepada warganya yang bersifat distributif.
Perwujudan keadilan sosial dengan demikian sangat
tergantung dari kemauan negara untuk memenuhinya.
Berdasarkan pemahaman tentang bagaimana keadilan
substansial senantiasa harus diwujudkan maka, dalam
mewujudkan keadilan sosial, sudah seharusnya negara
tidak lagi sekedar menggunakan pendekatan yang sekedar
menghasilkan keadilan formal dalam mengatasi perselisihan
antara negara dengan masyarakat dalam pengelolaan sumber
daya alam114.

Perwujudan keadilan sosial oleh negara sangat terkait


dengan bagaimana negara mengapresiasi eksistensi hak asasi
manusia, pemahaman tentang nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat (misalnya terkait dengan bagaimana seseorang
menjunjung tinggi warisan leluhur yang berupa tanah yang
tidak semata-mata hanya dihargai dengan nominal uang).
Fenomena politik hukum pengakuan negara terhadap
hak ulayat yang menimbulkan ketidak adilan sosial bagi
masyarakat adat harus diakhiri. Dalam hal ini harus dibangun
konsep hukum baru yang tidak lagi merefleksikan hegemoni
dan homogenisasi yang sesungguhnya berpotensi melanggar
HAM.

114  Dalam mewujudkan keadilan sosial yang bersifat substansial kiranya pendapat John
Stuart Mill bisa dijadikan batu uji. John Stuart Mill mengemukakan ada indikator
yang umumnya disepakati sebagai sesuatu yang tidak adil: (1) memisahkan
seseorang atau masyarakat dari hal-hal yang seharusnya dimilikinya sebagai hak
legal; (2) memisahkan manusia dari hal-hal yang seharusnya dimilikinya sebagai
hak moral; (3) menghilangkan kesempatan bagi seseorang atau masyarakat untuk
memperoleh apa yang layak diterimanya; (4) mengancam atau menekan orang lain
atau masyarakat yang tidak setara dengannya. …lihat dalam Karen Lebacqz, Six
Theories of Justice, 1986, (penerjemah: Yudi Santoso), Bandung, Penerbit Nusa Media,
hal 19-20

132 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
c. Pro Kesejahteraan
Tujuan hukum berikutnya adalah mewujudkan
kesejahteraan. Hal itu sebenarnya dapat dikembalikan pada
ajaran didirikannya negara; tujuan dibentuknya negara adalah
untuk menciptakan keamanan dan kesejahteraan. Mewujudkan
kesejahteraan dapat dikembalikan pada apa yang digagas
oleh Jeremy Bentham sebagai pendahulu John Stuart Mill. The
great happiness for the great number merupakan ajaran yang
bersumber dari keyakinan tentang kebenaran pasar bebas
yang diajarkan oleh Adam Smith. Adam Smith, menyatakan
bahwa sistem pasar bebas ini akan diatur oleh the invisible
hands, yang mengatur kehidupan ekonomi dan diyakini akan
mendorong orang untuk saling berbuat baik sehingga yang
terjadi adalah persaingan sehat115. Masing-masing individu
ini akan saling melayani. Apa yang baik bagi dirinya sendiri
dengan sendirinya akan baik serta memberi keuntungan dan
kegunaan bagi masyarakat secara keseluruhan.

Dalam teori Adam Smith persaingan bebas dimaksudkan


untuk diberlakukan bagi pengusaha demi kebaikan masyarakat
umumnya. Jika setiap pengusaha bersaing secara bebas untuk
memenuhi kebutuhan atau kepentingan konsumen maka yang
diuntungkan adalah konsumen atau masyarakat umumnya116.
115  A.Prasetyo Murniati, 1994, Jeritan dan Nestapa Dari yang Terampas, dalam, Merawat dan
Berbagi Kehidupan (Editor: YB.Banawiratma.Th.Sumartana, Yosef P.Widyatmadja),
Kanisius, Yogyakarta, hal 56-75
116  Sistem sosial menurut Adam Smith selalau mengandung tiga elemen dasar yakni:
kepercayaan pada fisika sosial.naturalisme dan derivasi dari teori moral alamiah.
Kepercayaan pada fisika sosial akan membentuk suatu kepercayaan bahwa semesta
sosial merupakan subjek dari hukum alam (natural law). Sebagaimana dalam
alam semesta, hukum alam diyakini bekerja menurut rencana Allah. Naturalisme
mempunyai implikasi bahwa hukum alam merupakan hasil dan sumber penyebab
sesuatu. Teori moral alamiah berpandangan bahwa motivasi dibalik kehendak sosial
adalah kebahagiaan (happiness). Interpretasi Smith mengenai masyarakat sebagai
suatu sistem alamiah (natural system) secara jelas paralel dengan sistem alam dalam
konsep Isaac Newton. Adam Smith menganalogikan sistem sosial seperti konsep
sistem alam semesta dari Isaac Newton. Analogi ini mempunyai konsekuensi bahwa

BAB VII 133


POLITIK HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
Akan tetapi teori itu tidak bisa langsung menjadi dasar nilai
pembentukan keadilan sosial di Indonesia karena teori Adam
Smith berangkat dari pemahaman bahwa masyarakat merupakan
sekumpulan individu yang dapat diisolasi secara bebas nilai. Hal
itu jelas tidak sejalan dengan landasan filsafat Pancasila, yang
mengkonsepsikan masyarakat merupakan sekumpulan individu
yang sebenarnya merupakan makhluk sosial.

d. Pro Penghapusan Kemiskinan


Kemiskinan merupakan persoalan yang antara lain
timbul karena persoalan kepadatan penduduk. Dampak
kemiskinan menjadi luar biasa, karena ia berimplikasi pada
lingkungan hidup dan akses sumber daya alam dan rumitnya
penegakan hukum. Fenomena di beberapa wilayah penelitian
sebagaimana disebut di atas mencerminkan hal itu. Kemiskinan
menjadi persoalan rumit dalam penegakan hukum. Penegakan
hukum formil pasti akan banyak dimenangkan kaum terdidik,
mapan dan berpengalaman dan mengalahkan kaum miskin,
sekalipun sebenarnya masyarakat miskin memang benar-
benar menjadi korban. Akan tetapi karena secara hukum, dia
tidak mampu membuktikan berbasis hubungan sebab-akibat
masyarakat miskin bisa dikalahkan dalam proses pembuktian
di Pengadilan. Akibat yang muncul dari kekalahan adalah
frustrasi. Dampak selanjutnya potensi destruksi akan muncul.
sistem sosial dalam konsep Adam Smith berangkat dari pemikiran sistem sosial juga
merupakan sistem yang dapat diisolasi seperti sistem alam semesta yang bebas nilai.
…lihat dalam FX Sugiyanto, 2007, Metode Berpikir Ekonomi Mainstream, Etika dan
Keadilan, Pidato Pengukuhan Disampaikan pada Upacara Penerimaan Jabatan Guru
Besar Dalam Ilmu Ekonomi Pada FE Universitas Diponegoro, 7 Juli 2007)
Berdasarkan hal itu maka penggunaan teori ini tidak bisa begitu saja
ditransplantasikan dalam sistem sosial Indonesia, karena dasar negara Pancasila
berangkat dari pemahaman bahwa sesungguhnya masyarakat adalah makhluk
sosial yang tidak bebas nilai. Jadi konstruksi keadilan sosial yang harus dibangun
dalam hukum pengelolaan sumber daya alam seharusnya tidak bebas nilai.

134 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
Perlindungan lingkungan hidup demi terselenggaranya
pembangunan berkelanjutan, dan perwujudan akses sumber
daya alam yang tertib tidak akan terwujud apabila kemiskinan
masih menjadi sesuatu yang dominan di Indonesia.

Berdasarkan hal itu maka politik hukum pengelolaan


sumber daya alam yang diproyeksikan ke depan seharusnya
dapat diproyeksikan sekaligus untuk memberi ruang akses
sumber daya alam kepada kelompok masyarakat yang
terpinggirkan, karena kemiskinan bisa terjadi karena struktur-
struktur kepemerintahan maupun hukum yang memang
tidak mengabdi pada keadilan sosial117. Oleh karena itulah
maka mindset penghapusan kemiskinan harus dimulai
peningkatan keadilan dan pemerataan. Dalam konteks ini
faktor kelembagaan akan menentukan keberhasilan dalam
menyelesaikan masalah pembangunan. Kelembagaan disini
dikonsepsikan sebagai pola-pola teratur (nomos) berwujud
peraturan perundang-undangan maupun produk-produk
kebijakan yang menciptakan pola-pola yang ajeg. Demikian
maka, peraturan perundang-undangan serta tata kelola
pemerintahan yang baik merupakan bagian dari faktor
kelembagaan yang diperlukan untuk peningkatan keadilan
dan pemerataan akses sumber daya alam.

117  Strategi pembangunan ekonomi Indonesia saat ini sudah seharusnya bergeser,
dimulai dengan orientasi terhadap peningkatan keadilan dan pemerataan dengan
menempatkan penghapusan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja sebagai
tujuan utama pembangunan. Pangkal tolak pemikiran ini adalah bahwa kegagalan
penyelesaian masalah-masalah fundamental di negara-negara berkembang bukan
hanya disebabkan oleh kegagalan pasar, bukan pula karena kegagalan faktor
kebijakan, tetapi juga karena kegagalan institusional. Kelembagaan tersebut meliputi
undand-undang maupun produk-produk kebijakan normatif lainnya termasuk
hukum kebiasaan ….lihat dalam FX Sugiyanto, 2007, Op-Cit, hal 46-47

BAB VII 135


POLITIK HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
e. Pro Kearifan Lokal
Kearifan lokal menjadi sesuatu yang harus dihargai
eksistensinya. Tanpa kearifan lokal lingkungan hidup dan
sumber daya alam di beberapa wilayah niscaya tidak akan
terpelihara dengan baik. Terlalu rumit apabila pengelolaan
lingkungan hidup dan sumber daya alam semuanya
dipasrahkan dan menjadi beban negara. Masyarakat lokal
dengan kearifan lokalnya harus dilibatkan dalam pengelolaan
lingkungan hidup dan sumber daya alam.

Hal inipun secara teoretik dapat dibenarkan dengan


konsep Pembangunan Berkelanjutan yang menyatakan bahwa
keberhasilan pembangunan berkelanjutan ditentukan antara
lain oleh pelibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan
lingkungan hidup dan sumber daya alam. Hal ini merupakan
fakta bukan keharusan, karena didasarkan pada historis
keberadaan lingkungan dan sumber daya alam. Berdasarkan
hal itu maka politik hukum pengelolaan sumber daya alam
juga harus meng-cover penghargaan terhadap masyarakat
lokal dengan kearifan lokalnya. Sebenarnya modal
penghargaan atas eksistensi itu sudah tercantum dalam
Pasal 18B UUD NRI 1945118. Akan tetapi pengakuan bersyarat
sebagaimana dicantumkan dalam pasal tersebut dalam
praktek menimbulkan implikasi ketidakadilan bagi masyarakat
adat. Pasal 18B tersebut masih merefleksikan politik hukum
yang semu terhadap pengakuan keberadaan masyarakat adat.
Disebut demikian karena politik hukum pengakuan keberadaan
masyarakat hukum adat merefleksikan politik hukum yang

118  Pasal 18B UUD 1945: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur
dalam Undang- Undang.

136 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
hegemonik dan homogenik karena masih menganut paradigm
sentralisme hukum.

f. Pro Lingkungan
Perlindungan lingkungan jelas merupakan syarat mutlak
kalau semua menyadari betapa pentingnya peran daya dukung
lingkungan bagi manusia dalam kondisi apapun termasuk
ketika proses perubahan sosial (dalam hal ini pembangunan)
dilaksanakan. Diakui bahwa pembangunan merupakan
proses yang tidak boleh dihindari demi menuju kemajuan
sebuah masyarakat. Pembangunan hakekatnya adalah proses
perubahan sosial yang tidak bisa dihindari. Di dunia tidak ada
yang lebih abadi, selain perubahan itu sendiri. Oleh karena
itu pembangunan tetap penting dilakukan, akan tetapi yang
harus diperhatikan adalah bahwa pelaksanaan pembangunan
itu tidak boleh mengorbankan lingkungan hidup sedemikian
rupa sehingga tidak ada lagi daya dukung lingkungan yang
akan menyangga kehidupan. Biaya hidup dan biaya sosial akan
menjadi semakin tinggi apabila lingkungan hidup dkorbankan
hanya semata-mata untuk kepentingan pembangunan.

Pada masa kini perumusan kebijakan-kebijakan yang


pro-lingkungan ke dalam perundang-undangan harus
semakin diperkuat. Dari sinilah kemudian dalam dunia
akademik kita mengenal diskursus ecocracy sebagai tema
baru terkait dengan penyelenggaraan demokrasi119. Ecocracy
berangkat dari pemikiran bahwa dalam penyelenggaraan
pemerintahan, keberadaan lingkungan hidup harus menjadi
119  Pembahasan secara komprehensif tentang bagaimana sistem demokrasi modern
berdampak buruk kepada kualitas lingkungan hidup dan upaya melakukan
konstitusionalisasi kebijakan-kebijakan yang pro lingkungan ke dalam naskah
undang-undang dasar, …lihat dalam Jimly Asshidiqqie, 2008, Green Constitution:
Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar 1945, Raja Grafindo, Jakarta.

BAB VII 137


POLITIK HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
bahan pertimbangan dalam setiap pengambilan keputusan.
Sebenarnya hal itu secara implisit sudah menjadi bagian
dari kebijakan hukum sebagaimana tertuang dalam Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Amanatnya adalah bahwa
dalam setiap pembuatan perundang-undangan di bidang
apapun harus mempertimbangkan bagaimana implikasi
keberadaan perundang-undangan tersebut terhadap
lingkungan hidup.

Berdasarkan pemahaman tentang makna cita hukum


yaitu ide atau gagasan yang harus diwujudkan dalam hukum,
maka ke depan harus dibangun politik hukum pengelolaan
sumber daya alam yang memuat cita hukum dengan karakter:
pro-ketertiban, pro-keadilan sosial, pro-kesejahteraan, pro-
kemiskinan,pro-kearifan lokal dan pro-lingkungan.

Pembenaran secara filosofis menunjuk pada nilai-nilai


yang terkandung dalam Pancasila120: (1) bahwa sesuai dengan
sila kemanusiaan yang adil dan beradab maka harus ada
perlakuan terhadap manusia secara adil, tidak memihak dan
berpegang pada kebenaran; (2) bahwa sesuai dengan sila
persatuan Indonesia maka harus dilakukan perlindungan
kepada segenap bangsa yang bersatu dalam keberagaman;
(3) bahwa sesuai dengan sila kerakyatan yang dipimpin
120  Pancasila dijadikan rujukan dan justifikasi filosofis karena: Pancasila berkedudukan
sebagai norma dasar (grundnorm) menurut Hans Kelsen dan norma fundamental
negara (staatfundamentalnorm) menurut Hans Nawiasky. Pancasila dengan demikian
merupakan dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara. Oleh
karena itu setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh
bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila (Penjelasan
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan). Demikianlah maka Pancasila harus selalu dijadikan rujukan
dalam pembangunan hukum di Indonesia……lihat dalam Sigit Sapto Nugroho,
2016, Membumikan Hukum Pancasila sebagai Basis Hukum Nasional Masa Depan,
Prosiding Seminar Nasional Revitalisasi Pancasila dalam Aras Global Perspektif
Negara Hukum, Universitas Negeri Semarang, hal 153

138 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan
perwakilan, maka rakyatlah yang sesungguhnya memiliki
kedaulatan termasuk kedaulatan terhadap sumber daya alam;
(4) bahwa sesuai dengan sila keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia, maka harus dilakukan perlindungan terhadap
seluruh rakyat Indonesia agar hidup sejahtera.

Selanjutnya pembenaran secara yuridis dapat dilandaskan


pada konstruksi Pasal 33 (3) UUD NRI 1945. Ketentuan pasal
tersebut mengandung konstruksi yuridis bahwa sumber daya
alam yang ada di wilayah kedaulatan Indonesia, adalah milik
bangsa Indonesia. Selanjutnya pengelolaan sumber daya alam
yang ada diserahkan kepada negara untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Dalam pengelolaan sumber daya alam
ini, negara dapat bertindak sebagai badan publik (iure emperii)
maupaun bertindak sebagai badan privat (iure gestiones). Akan
tetapi semua itu diabdikan pada kepentingan rakyat Indonesia.

BAB VII 139


POLITIK HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
REFERENSI

Absori, Sigit Sapto Nugroho, Elviandri, Legalitas Perhutanan Sosial:


Sebuah Harapan Menuju Kemakmuran Rakyat Kawasan Hutan,
Jurnal Yustisia Merdeka Volume 3 Nomor 2 Septembar 2017,
hal 97-106
A. Fauzi, 2004, Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Aji Samekto, 2015, Membangun Politik Hukum Pengelolaan sumber
Daya Alam Berbasis Cita Hukum Indonesia, Prosiding Seminar
Nasional, Undip, Thafa Media, Yogyakarta.
A.Hamid S Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertai Doktor.
A. Prasetyo Murniati,1994, “Jeritan dan Nestapa Dari yang
Terampas”, dalam, Merawat Dan Berbagi Kehidupan (Editor:
YB.Banawiratma.Th.Sumartana, Yosef P.Widyatmadja),
Kanisius, Yogyakarta.
B. Arief Sidharta, 2005, Struktur Ilmu Hukum Indonesia, makalah
Seminar
Bambang Kesowo, Negara Hukum, Program Legislasi Nasional dan
Kebutuhan Desain Besar Bagi Perencanaannya, Jurnal Arena
Hukum, Jilid 6, Nomor 1, April 2012, Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya, Malang.
Bernad L.Tanya, 2011, Politik Hukum Agenda Kepentingan Bersama,
Genta Publishing.
Dina Sunyowati, Rancangan Model Undang-Undang Penataan Ruang
Pesisir dan Laut Daerah Berdasarkan Prinsip Integrated Coastal
Management, Jurnal Yustika, Volume 13, Nomor 2, Desember
2010, Surabaya: Fakultas Hukum Universitas Surabaya, hal.
151-153.

140 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
Elisa Ruozzi, “The Obligation not to Pollute: From Corollary of State
Sovereignty to the Right to a Decent Environment”, Indonesian
Journal of International Law, Volume 8, Number 1, October
2010, Jakarta: Center for International Law Studies, Faculty
of Law University of Indonesia, hal. 80.
Esmi Warassih Puji Rahayu, 2001, Pemberdayaan Masyarakat dalam
Mewujudkan Tujuan Hukum: Proses Penegakan Hukum dan
Persoalan Keadilan; Pidato Pengukuhan Guru besar madya (
Semarang, Undip.
Empat Tahun Implementasi Reforma Agraria, dalam http//www.kpa.
or.id Diakses tanggal 9 Oktober 2019, Pukul 12.45 WIB
E. Rustiadi, S. Saeful Hakim dan D.R. Panuju, 2008, Perencanaan dan
Pengembangan Wilayah, Institut Pertanian Bogor.
Franz Magnis Suseno,1995, Etika Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
FX Sugiyanto, 2007, Metode Berpikir Ekonomi Mainstream, Etika dan
Keadilan, Pidato Pengukuhan Disampaikan pada Upacara
Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Ekonomi Pada
FE Universitas Diponegoro, 7 Juli 2007).
G. Hardin, 1968, The Tragedy of the Commons, Science 162
H. Salim, 2012, Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara, Sinar
Grafika , Jakarta.
Jimly Asshidiqqie, 2008, Green Constitution: Nuansa Hijau Undang-
Undang Dasar 1945, Raja Grafindo, Jakarta.
I Nyoman Nurjaya, 2006, Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam
Perspektif Antropologi Hukum, Universitas Negeri Malang
Press.
Iskandar, Aktualisasi Prinsip Hukum Pelestarian Fungsi Lingkungan
Hidup dalam Kebijakan Perubahan Peruntukan, Fungsi,
dan  Penggunaan Kawasan Hutan, Jurnal Dinamika Hukum,
Volume 11   Nomor 3, September 2011, FH UNSOED,
Purwokerto, hal. 513.

HUKUM SUMBER DAYA ALAM 141


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
Iskandar, et.al., 2012, Potret Hukum, Mentalitas Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Suatu
Kajian dari Perspektif Konsep Etika Uber Ich Sigmund
Freud dan Good Governance, Penerbit Total Media, Jakarta.
Iskandar, Implikasi Alih Kewenangan dalam Pengelolaan sumber
Daya Alam Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 23
tahun 2014 tentang Pemerintahan daerah, dalam http://
suttaniskandaralam.blogspot.com/2015/07/pengelolaan-
sumberdaya-alam.html, Diakses tanggal 9 Oktober 2019,
Pukul09.15 WIB
Joseph Stiglitzm, 2000, Democratic Developmentas the Fruits of Labor,
New York: Keynote Addres Industrial Relation Research
Association, Global Policy Forum.
Kadarsah, 2014, Hukum Sumber Daya Alam, Penerbit R.A. Derosarie,
Surabaya.
Karen Lebacqz, Six Theories of Justice, 1986, (penerjemah: Yudi
Santoso), Bandung, Penerbit Nusa Media.

Koesnadi Hardjasoemantri, 1999, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah


Mada University Press.
L.R Wibowo, Woro Murdiati R, Sabarudi, 2009, Konflik Sumber Daya
Hutan dan Reforma Agraria, kapitalisme mengepung Desa, Alfa
Media, Yogyakarta.
Maria S.W Sumardjono, Dkk, 2011, Pengaturan Sumber Daya alam di
Indonesia: Antara yang Tersurat dan Tersirat, Fakulas Hukum
Universitas Gajah Mada,Gajah Mada University Press
Maxensius Tri Sambodo and Siwage Dharma Negara, Designing
Conceptual Framework and State of Energy Security in
Indonesia, Jurnal Ekonomi dan Pembangunan, Vol. XX (1),
2012, Jakarta: LIPI, hal. 1.

142 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
Mita Noveria, Pendanaan Pembangunan, Degradasi Lingkungan
dan Konflik Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam, Jurnal
Masyarakat Indonesia, Volume 38, No. 1, Juni 2012, LIPI,
Jakarta
Nurul Fajri Chikmawati, Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil di Indonesia, Jurnal Adil, Volume 4, Nomor 2, Desember
2013, Fakultas Hukum Universitas YARSI, Jakarta, hal. 397.
Octavianus Hartono, Aspek Hukum Penataan Ruang Dalam Mendukung
Pembangunan Infrastruktur Bisnis, Jurnal Dialogia Juridica,
Volume 3, Nomor 1, November 2011, Jakarta: Fakultas
Hukum Universitas Kristen Maranatha, hal 91.
Peter Mahmud, Moral dalam Fungsi Eksistensial Manusia, Seminar
Nasional Teori Hukum, Hukum: Bahasa dan Moralitas, UKSW
4-5 Februari 2015
Purwaka, 2011, Kerangka Pemahaman Politik Hukum Nasional, Jakarta,
Universitas Atma Jaya.
Rakmindiyarto dalam https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/
artikel-dan-opini/revitalisasi-tata-kelola-sumber-daya-
alam-indonesia, Diakses Tanggal 9 Oktober 2019, Pukul
10.45 WIB
Rodiyah, 2015, Politik Hukum Pengelolaan Sumber Daya Alam
Indonesia, Prespektif UU No. 23 Tahun 2014 Berbasis Pada
Efektifitas Pemerintahan Yang Mensejahterakan, Prosiding
Makalah Seminar Membangun Politik Hukum SumberDaya
Alam Berbasis Cita Hukum Indonesia, Undip Semarang,
Thafa Media Yogyakarta.
Rocmani, 2015, Pemanfaatan Sumber Daya Alam dalam Perspektif
Keadilan dan HAM dalam Era Otonomi Daerah, Prosiding
Seminar Nasional Membangun Politik Hukum Sumber Daya
Alam Berbasis Cita Hukum Indonesia, Undip Semarang ,
Thafa Media, Yogyakarta.

HUKUM SUMBER DAYA ALAM 143


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
Siti Sundari Rangkuti, 2000, Hukum Lingkungan dan Kebijakan
Lingkungan Nasional, Airlangga University Press, Surabaya.
Sigit Sapto Nugroho, 2004, Pengelolaan Sumber Daya Hutan Bersama
Masyarakat Perspektif Hukum, Tesis Program Pasca Sarjana
Universitas Brawijaya, malang.
____, 2012, Diktat Hukum Sumber Daya Alam, Fakultas Hukum
Universitas Merdeka Madiun, Tidak dipublikasikan.
_____, 2013, Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun
Perspektif Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jurnal
Sosial Volume 14 Nomor 2 tahun 2013, hal 22-26
____, Harmonisasi Hukum: Sebuah Dialektik Interaksi Norma Hukum
Adat dan Hukum Negara dalam Pengelolaan Konservasi,
Sumber Daya Alam, Jurnal Yustisia Merdeka, Volume 2 Nomor
2 September 2016, hal 27-40
_____, 2016, Membumikan Hukum Pancasila sebagai Basis Hukum
Nasional Masa Depan, Prosiding Seminar Nasional
Revitalisasi Pancasila dalam Aras Global Perspektif Negara
Hukum, Universitas Negeri Semarang
_____, 2017, Hukum Kehutanan , Kafilah Publishing, Surakarta,
______, 2019, Hukum dan Kehutanan: Studi Formulasi Hukum Pengelo-
laan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat menuju Kemak-
muran rakyat di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, Desertasi, Seko-
lah Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Sigit Sapto Nugroho, Hilman Syahrial Haq, Rekonstruksi Pengelolaan Sum-
ber Daya Hutan di Jawa dengan Model Kolaboratif Holistik, Jurnal
Yustisia Merdeka, Volume 2 Nomor 1 Maret 2016, hal 68-80
Sigit Sapto Nugroho, Absori, Harun, Rahmanta Setiahadi, Reconstruc-
tion law Resources Management Community-Based Fores To-
wards Prosperity of People in Java, Indonesia, International
Journal of Business, Economic and Law, Vol.13, Issue 4 (Au-
gust 2017), ISSN 2289-1552, hal. 210-216.

144 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
____, Legal Prespektif of Forest Resources Management Community
Based Studi for Prosperity in The Distric Ngawi, East Java,
Indonesia, Journal of Law, Policy and Globalization Vol 66,
2017,p. 122-129
Sigit Sapto Nugroho, Elviandri, 2018, Memayu Hayuning Bawana:
Melacak Spiritualitas Transendensi Hukum Pengelolaan
Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Masyarakat Jawa,
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers Hukum
Transsendental, Sekolah Pasca Sarjana Universitas
Muhammadiyah Suarakarta, hal 346-355
Sony keraf, 2010, Etika Lingkungan hidup, Penerbit Kompas, Jakarta.
____, Bioregionalisme: Menyatunya Ekonomi Dengan Ekologi, Jurnal
Respons, Volume 17, Nomor 01, Juli 2012, Jakarta: Pusat
Pengembangan Etika Unika Atma Jaya, hal. 11.
____, 2014, Filsafat Lingkungan Hidup: Alam Sebagai Sebuah Sistem
Kehidupan, Penerbit Kanisius Yogyakarta.
Sulaiman Nitiatma, 1997, Hukum Yang Baik, Undaris-GUPPI, Semarang.
Sukirno, 20l4, Rekonstruksi Politik Hukum Pengakuan Negara Terhadap
Hak Ulayat (Studi Pengakuan Dan perlindungan Eksistensi
Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Baduy Dan Hegemoni
Negara), Disertasi pada Program Doktor Ilmu Hukum Undip,
Semarang.
Sunarjati Hartono, 1968, Capita Selecta Perbandingan Hukum, Alumni, Bandung.
Surwandono dan Sidiq Ahmadi, 2011, Resolusi Konflik di Dunia Islam, 
Graha Ilmu, Yogyakarta.
Sutoyo, Paradigma Perlindungan Lingkungan Hidup, Jurnal Adil, Vol. 4,
No. 1, Juli 2013, Fakultas Hukum Universitas YARSI, Jakarta,
hal. 192-193.
Sri Wahyuni, Sustainable Forest Management in Indonesia’s Forest Law
(Policy and Institutional Framework), Jurnal Dinamika Hukum,
Volume 14, No. 3, September 2014, Purwokerto: Fakultas
Hukum Universitas Jenderal Soedirman, hal. 475.

HUKUM SUMBER DAYA ALAM 145


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
Syaiful Bahri Ruray, 2012, Tanggung Jawab Hukum Pemerintah Daerah
dalam Pengelolaaan dan Pelestarian Fungsi lingkungan Hidup
(Seri Desertasi), Alumni Bandung.
Stephane Mc. Whinnie, The tragedy of Commons in International
Fisheries: An empirical Examination, Research Paper No.
2007-05, The University of Adelaide Scholl of Economic,
Juli 2016
Tommy H. Purwaka, 2005, Fakta Perlunya Harmonisasi dalam
Jason M. Patlis, et.al., Menuju Harmonisasi Sistem Hukum
Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia, USAID-
BAPPENAS,Jakarta.
____, Tinjauan Hukum Laut Terhadap Wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, Jurnal Mimbar Hukum, Volume 26, Nomor 3,
Oktober 2014, Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada, hal.356-362.
____, 2015, Politik Hukum Pengelolaan Sumber Daya Alam,Prosiding
Seminar Nasional Membangun Politik Hukum Sumber
Daya Alam Berbasis Cita Hukum Indonesia, Media Thafa,
Yogyakarta.
Ton Dieetz, 2005, Pengakuan Hak Atas Sumberdaya Alam: Kontur
Geografi Lingkungan Politik, Pengantar Masour Fakih, Insist
Press, Yogyakarta.
Yance Arizona, 2008, Karakter Peraturan Daerah Sumber Daya Alam,
Huma, Jakarta.
Yulia dan Zinatul Ashiqin Zainol, Melindungi Keanekaragaman Hayati
Dalam Kerangka Protokol Nagoya, Jurnal Mimbar Hukum,
Vol.25, No. 2, Juni 2013, Yogyakarta: Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, hal. 271, 280.

146 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
TENTANG PENULIS

Dr. Sigit Sapto Nugroho,SH, M.Hum, lahir di


Magetan Jawa Timur, 26 Juli 1974, Pendidikan
Sekolah Dasar dan Menengah di kota
kelahirannya, Menyelesaikan pendidikan
Sarjana Hukum (1999) di Fakultas Hukum
Unmer Madiun, Magister Hukum S2 (2004) di
Program Pascasarjana Universitas Brawijaya
Malang dan Program Doktoral S3 di Sekolah
Pascasarjana Universitas Muhammadiyah
Surakarta (2019). Selain aktif mengajar di kampus Universitas
Merdeka Madiun juga sangat aktif dalam bidang penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat yang dibiayai oleh DP2M Dikti,
menulis buku dan artikel pada jurnal-jurnal ilmiah baik nasional
maupun internasional terindeks schopus.
Buku yang sudah pernah diterbitkan : Pengantar Hukum Adat
Indonesia (2016), Hukum Waris Adat (2016), Cita Hukum Pancasila,
Ragam Paradigma Hukum Berkepribadian Indonesia (Bunga Rampai)
(2016), Hukum Kontrak dan Perkembangannnya (2016), Hukum
dan Teknologi (2017), Hukum Perseroan Terbatas (2017). Hukum
Agraria Indonesia (2017), Hukum Kehutanan (2017), Hukum Agraria
Indonesia (2017), Filsafat Hukum Paradigma Modernisme Menuju
Post Modernisme (2018), Hukum Koperasi, Usaha Potensial dan
UMKM (2018), Pemikiran Hukum Profetik: Ragam Paradigma Menuju
Hukum Berketuhanan (Bunga Rampai) (2018), Hukum Pengangkutan
Indonesia (2019).

HUKUM SUMBER DAYA ALAM 147


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
Dr. Yulias Erwin, S.H., M.H, lahir di Lombok
Tengah pada tanggal 8 Juli 1977. Dosen tetap
di Universitas Muhammadiyah Mataram sejak
tahun 2006. Pendidika SD, SMP dan SMU
diselesaikan di kota kelahirannya. Gelar
Sarjana dan Magister Hukumnya diperoleh
dari Fakultas Hukum Universitas Mataram.
Menyelesaikan pendidikan S3 di Sekolah
Pasca Sarjana Program Doktor Ilmu Hukum Universitas
Muhammadiyah Surakarta (2019). Beberapa karyanya telah terbit
dalam bentuk artikel-arikel jurnal, prosiding seminar nasional dan
buku.

Dr. Rina Rohayu. H, SH., M.H, lahir di Sumbawa


Besar, 30 November 1982. Pendidikan Sekolah
Dasar, SLTP dan SMA di selesaikan di Kota
kelahirnnya. Mendapatkan gelar sarjana
Hukum (2006) dari Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta, Magister Hukum
S2 (2009) di Program Pascasarjana Universitas
Diponegoro, Program Doktor Sekolah
Pascasarjana Universitas Muhammadiyah
Surakarta. Sejak 2010 hingga saat ini aktif mengajar di Universitas
Muhammadiyah Mataram serta menulis artikel pada jurnal-jurnal
ilmiah nasional dan internasional.

148 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
CATATAN :

HUKUM SUMBER DAYA ALAM 149


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI
CATATAN :

150 HUKUM SUMBER DAYA ALAM


PERSPEKTIF KEADILAN INTER-ANTAR GENERASI

Anda mungkin juga menyukai