Penulis :
Dr. Sigit Sapto Nugroho, SH, M.Hum
Dr. Yulias Erwin, SH, M.H
Dr. Rina Rohayu. H, SH.,M.H
Editor :
Dr. Elviandri, S.HI., M.Hum
Farkhani, S.HI., S.H., M.H
Layout :
IVORIE
ISBN :
Diterbitkan oleh:
Penerbit Taujih
Jl. Merak 51 Gonilan Kartosuro 57162
Email : penerbit.taujih@gmail.com
Cetakan I, Januari 2019
Dicetak oleh :
Percetakan IVORIE, Solo
isi di luar tanggungjawab percetakan.
Wassalamualaikum wr.wb.
Penulis
KATA PENGANTAR............................................................................... 3
DAFTAR ISI........................................................................................... 5
BAB I SUMBER DAYA ALAM.................................................................7
A.. Pengertian Sumber Daya............................................................... 7
B.. Pengertian Sumber Daya Alam (SDA)........................................ 8
C.. Kondisi Faktual Sumber Daya Alam Indonesia....................15
D.. Bidang Sumber Daya Alam dan Kelembagaan .................. 24
BAB II HAK DAN PENGUASAAN SUMBER DAYA ALAM.................. 27
A.. Rezim Hak Kepemilikan atas Sumber Daya Alam...............27
B.. Penguasaan Negara atas Sumber Daya Alam di Indonesia..
33
BAB III PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF
HUKUM DAN KEBIJAKAN................................................... 39
A.. Indonesia Kaya Sumber Daya Alam ........................................39
B.. Karakteristik Perundang-Undangan Mengenai
Pengelolaan Sumber Daya Alam...............................................44
C.. Ideologi Penguasaan dan Pemanfaatan Sumber Daya
Alam....................................................................................................47
BAB IV. PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF
OTONOMI DAERAH.............................................................. 55
A.. Otonomi Daerah atas Sumber Daya Alam.............................55
B.. Kebijakan Nasional dan Daerah dalam Pengelolaan
Sumber Daya Alam........................................................................59
C.. Pengaturan dan Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang
Sumber Daya Alam .......................................................................66
D.. Implikasi Alih Kewenangan dalam Pengelolaan Sumber
Daya Alam.........................................................................................71
BAB V PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN.................................... 77
BAB I 1
SUMBER DAYA ALAM
a. Seluruh faktor produksi/input produksi untuk menghasilan
output;
b. Berbagai faktor produksi yang dimobilisasikan dalam suatu
proses produksi, atau lebih umum dalam aktivitas ekonomi,
misalkan modal, tenaga manusia, energi, air mineral dan lain-lain;
c. Aset untuk pemenuhan kepuasan dan utilitas manusia;
d. Segala bentuk input yang dapat menghasilkan utilitas
(kemanfaatan) dalam proses produksi atau penyediaan barang
dan jasa;
e. Sumber daya adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas
smber daya manusia, sumber daya alam, baik hayati maupun
non hayati, dan sumber daya buatan.
Dari definsi sumber daya di atas dapat diyatakan bahwa secara
konseptual istilah sumber daya merujuk pada pengertian : (1) Terkait
dengan kegunaan (usefulness); (2) Diperlukan sebagai sarana untuk
mencapai tujuan; (3) Menghasilkan utilitas (kepuasan) dengan
melalui aktivitas produksi; dan (4) Utilitas dikonsumsi baik secara
langsung maupun tidak langsung (jasa lingkungan, pemandangan
dan lain-lain).3
3 Sigit Sapto Nugroho, 2012, Diktat Hukum Sumber Daya Alam, Fakultas Hukum
Universitas Merdeka Madiun, Tidak dipublikasikan, hal 2
BAB I 3
SUMBER DAYA ALAM
Terdapat berbagai cara mengelompokan atau
mengklasifikasikan SDA. Salah satu cara mengklasifikasikan yang
paling umum adalah dengan memilah sumber daya atas SDA yang
dapat diperbaharui (renewable resources) atau dipakai istilah flows
dan SDA yang tidak dapat diperbaharui (no-renewable resources) atau
dipakai istilah stock.
Ketersediaan kuantitas fisik SDA berbentuk stock bersifat
tetap, yaitu jumlah yang sudah dipakai saat ini tidak akan tersedia
lagi di masa depan. Oleh karena itu stock bersifat dapat habis dan
tidak dapat diperbaharui. Sedangkan yang bersifat flows dapat
diperbaharui dan dapat dikelola keberlanjutan dalam menghasilkan
barang dan jasa.
Klasifikasi SDA menurut Hanley6 dapat digambarkan dalam
bagan berikut :
6 A. Fauzi, 2004, Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, hal 6-8
7 Yance Arizona, 2008, Karakter Peraturan Daerah Sumber Daya Alam, Huma, Jakarta, hal 1
8 Ibid, hal 1
9 Ibid, hal 1
BAB I 5
SUMBER DAYA ALAM
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)
mengartikan stock sebagai “sumber daya alam yang tersedia dalam
jumlah, kualitas, tempat dan waktu tertentu,” sedangkan flows
adalah “aliran sumber daya alam baik berupa penambahan maupun
pengurangan stock yang ada di alam.” Sebagai stock sumber daya
alam tidak dapat diperbaharui: apa yang dimanfaatkan sekarang
tidak dapat dimanfaatkan kemudian hari. Sedangkan sebagai flows
sumber daya alam dapat diperbaharui. Bila dikelola dengan baik
dapat memberikan manfaat yang berlanjut: apa yang dimanfaatkan
sekarang dapat memberikan manfaat lagi dikemudian hari.10
Dietz11 menyebutkan “sumber daya alam bukan hanya
dihubungkan dengan ketersediaanya saja atau karena kegunaan
potensialnya yang menjadikan unsur-unsur alam, seperti bahan
galian, lahan, air, tumbuhan dan satwa, udara, sumber-sumber energi,
sebagai suatu sumber daya tetapi karena penggunaan dampak
aktualnya bagi manusia. Alam menjadi suatu sumber daya apabila
manusia berhubungan dengan alam. Jadi ia merupakan sumber daya
dalam pengertian sosialnya.”
Sedangkan menurut BAPPENAS, sumber daya alam Indonesia
diartikan sebagai semua sumber daya baik dalam bentuk materi,
energi, dan informasi yang tersedia di alam, baik di dalam maupun
di muka bumi, yang berada pada satu kesatuan ekosistem Indonesia.
Termasuk dalam pengertian sumber daya alam adalah ekonomi
berbasis sumber daya alam seperti pertanian, karena kegiatan
tersebut memanfaatkan dan mempengaruhi berbagai unsur alam.12
Dari definisi SDA yang disebut di atas, maka sumber daya alam
dapat dibedakan berdasarkan fungsinya (pendapat Kartodihardjo)
13 Siti Sundari Rangkuti, 2000, Hukum Lingkungan dan kebijakan Lingkungan Nasional,
Airlangga University Press, Surabaya, hal 3
BAB I 9
SUMBER DAYA ALAM
Sejalan dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan bahwa
bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat, maka pengelolaan sumber daya alam harus berorientasi
kepada konservasi sumber daya alam (natural resource oriented) untuk
menjamin kelestarian dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam,
dengan menggunakan pendekatan yang bercorak komprehensif dan
terpadu.15
Namun kenyataannya apa yang diidealkan dan diharapkan
sebagaimana uraian di atas adalah jauh dari harapan. Telah terjadi
banyak kerusakan atas sumber daya alam kita, yang ternyata
persoalan pokok dari sumber daya alam dan lingkungan hidup
yang terjadi selama ini justru dipicu oleh persoalan hukum dan
kebijakan atas sumber daya alam tersebut.
Sumber daya alam selain dapat dikategorikan dalam bentuk
modal alam (natural resources stock) seperti daerah aliran sungai,
danau, kawasan lindung, pesisir dan lain-lain. Juga dalam bentuk
faktor produksi atau komoditas seperti kayu, rotan, air, mineral, ikan,
dan lain-lain. Upaya pelestarian kedua kategori sumber daya alam
tersebut sangat ditentukan oleh daya dukungnya, karena memiliki
keterbatasan untuk menghasilkan komoditas secara berkelanjutan.
Selain itu, sumber daya alam dapat dikategorisasi menjadi sumber
daya alam yang terbarukan dan tidak terbarukan, sehingga
pemanfaatan sumber daya alam perlu ada perlakuan yang berbeda
sesuai dengan karakteristiknya.
Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang
melimpah. Di sektor kelautan dan perikanan, total garis pantai
mencapai 81 ribu km. Total perairan darat seluas 5.500.000
15 Kadarsah, 2014, Hukum Sumber Daya Alam, Penerbit R.A. Derosarie, Surabaya, hal 5
BAB I 11
SUMBER DAYA ALAM
sistem perijinan pertambangan yang dikelola secara tersentralisasi,
sehingga menciptakan ketidakadilan bagi masyarakat adat/lokal.
Manajemen pertambangan yang sentralistik juga menimbulkan
benturan kepentingan antara pertambangan dengan sektor-sektor
lainnya. Wilayah pertambangan yang diberikan kepada para investor
melalui sistem kontrak karya sebagian besar terletak dalam kawasan
hutan lindung atau bahkan dalam kawasan taman nasional, sehingga
menimbulkan kerusakan kawasan hutan dan taman nasional yang
seharusnya terjaga kelestariannya.
Dalam kondisi krisis, pemerintah mengharapkan ekspor
pertambangan di pasar global akan menambah pendapatan negara
dan menstabilkan nilai tukar asing serta mengontrol defisit. Namun
dari pengelolaan pertambangan di Indonesia saat ini, akan sukar
untuk mengandalkan industri pertambangan yang bisa selalu eksis
saat ini. Peningkatan pendapatan negara hanya akan terjadi jika
industri yang ada saat ini meningkatkan produksi atau profit. Artinya,
akan terjadi berbagai implikasi yang terkait dengan lingkungan dan
sumber daya alam.
Peningkatan aktivitas pertambangan tentunya akan
menambah kerusakan lingkungan yang sudah terjadi sebelumnya
akibat eksploitasi pertambangan yang berlebihan. Pertambangan
skala kecil hanya akan memberi masukan pencemaran lingkungan
dibandingkan hasilnya. Kesulitan pengawasan dan lemahnya
pengaturan untuk pertambangan skala kecil ini akan mempercepat
kerusakan lingkungan. Selain itu juga dengan adanya pemotongan
biaya di setiap departemen akan berimplikasi pada pengawasan
aktivitas pertambangan serta penegakan hukum yang mengabaikan
aspek lingkungan (ecology).18
18 H. Salim, 2012, Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara, Sinar Grafika , Jakarta, hal
222
BAB I 13
SUMBER DAYA ALAM
maka Sumatera akan kehilangan hutannya pada tahun 2035 dan
Kalimantan 2040. Kondisi kehutanan semakin memprihatinkan,
ketika ditemukan bahwa dari US$ 51.5 milyar utang swasta,
ternyata US$ 4.1 milyar adalah utang industry kehutanan,
dimana US$ 2.7 milyar masuk ke dalam kelas non performing.19
Di sektor perikanan, hampir 70% terumbu karang mengalami
rusak berat akibat endapan erosi, pengambilan batu karang,
penangkapan ikan dengan menggunakan bom atau racun, dan
pencemaran laut oleh limbah industri. Dari total hutan bakau
seluas 3.000.000 ha, hanya terdapat 36% yang hidup dalam kondisi
baik. Sedangkan sisanya telah mengalami kerusakan yang serius
akibat penebangan untuk kayu bakar dan telah dikonversi menjadi
tambak. 20
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, Pemerintah daerah dilibatkan dalam alokasi
dan pengelolaan kawasan hutan lainnya, seperti daerah resapan
air dan perlindungan hutan, hutan produksi dan kawasan lindung
terbatas untuk konservasi, seperi taman hutan raya dan taman wisata.
Kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam
yang dilaksanakan sejauh ini belum didasarkan pada prinsip
keadilan, keberlanjutan dan demokrasi, karena lebih diorientasikan
untuk mengejar pertumbuhan ekonomi sehingga kurang
memperhatikan kaidah-kaidah keadilan, pelestarian, konservasi, dan
keberlanjutan fungsi sumber daya alam. Persoalan lainnya adalah
limbah industri dan limbah domestik (rumah tangga) serta
penggunaan pestisida yang tidak terkendali telah menimbulkan
pencemaran hampir seluruh sungai di Indonesia, terutama di Pulau
Jawa.
21 Ibid, hal 9…lihat juga dalam Sigit Sapto Nugroho, Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya
Dan Beracun Perspektif Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan
Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jurnal Sosial Volume 14 Nomor 2 tahun 2013, hal
22-26
BAB I 15
SUMBER DAYA ALAM
kebijakan pemanfaatan sumber daya alam yang bercorak sentralistik,
juga karena pendekatan yang digunakan bersifat sektoral. Kebijakan
Pemerintah yang bercorak sentralistik dan pendekatan yang bersifat
sektoral dalam pengelolaan sumber daya alam pada pokoknya
memiliki kelemahan-kelemahan mendasar sebagai berikut:22
1. Orientasi produksi komoditas bersifat spesifik di setiap sektor
(misalnya kayu dalam kehutanan, padi dalam pertanian).
Pola ini tidak menghargai peran sumber daya alam sebagai
fungsi publik misalnya hutan yang menjadi bagian penentuan
kualitas dan keberlanjutan daerah aliran sungai. Semakin
rendah keragaman pangan menyebabkan semakin rendah
ketahanan pangan. Secara inheren, pendekatan sektoral
merupakan pendekatan reduksionis sehingga memiliki cacat
bawaan karena ukuran kinerja pembangunan dirumuskan
secara parsial. Dalam kondisi yang demikian, seandainya
setiap sektor berhasil pun berbagai kebutuhan publik yang
diperlukan seperti aspek lingkungan hidup, kebutuhan antar
generasi, dan lain-lain tidak akan mampu terpenuhi;
2. Perwujudan efisiensi ekonomi lebih menonjol daripada
k e a d i l a n ( equity) yang berakibat minimnya perhatian
terhadap penyelesaian masalah-masalah tenurial, terjadinya
kesenjangan penyediaan infrastruktur ekonomi antar wilayah
dan antar desa kota, dan rendahnya perhatian terhadap
berbagai dampak negatif pembangunan terhadap sumber
daya alam dan lingkungan hidup.
3. Terdapat kecenderungan bahwa pelaksanaan otonomi
daerah merupakan replikasi dari pendekatan sektor di daerah
dengan orientasi pada peningkatan pendapatan asli daerah.
Di sisi lain, pemerintah pusat yang memegang fungsi-
fungsi pengendalian dengan kriteria, standar, dan pedoman
22 Kadarsah, 2014, hal 10
23 Sigit Sapto Nugroho, Hilman Syahrial Haq, Rekonstruksi Pengelolaan Sumber daya
Hutan Di Jawa dengan Model Kolaboratif Holistik, Jurnal Yustisia Merdeka, Volume 2
Nomor 1 Maret 2016, hal 68-80
BAB I 17
SUMBER DAYA ALAM
D. Bidang Sumber Daya Alam dan Kelembagaan
Bidang-bidang yang terkait dan melingkupi persoalan sumber
daya alam di Indonesia antara lain dapat dikategorikan sebagai
berikut:24
1. Bidang Agraria yang telah diatur oleh Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok- Pokok Agraria (UUPA);
2. Bidang Pengairan yang telah diatur oleh Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1974 tentang
Pengairan, Tahun 2004 lahir Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2004 tentang pengelolaan Sumber Daya Air tetapi Undang-
undang ini dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi;
3. Bidang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya
yang telah diatur oleh Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati Dan Ekosistemnya;
4. Bidang Kehutanan yang telah diatur oleh Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan;
5. Bidang Minyak dan Gas Bumi yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi;
6. Bidang Perkebunan diatur dalam Undang-Undang Nomor 18
tahun 2004 tentang Perkebunan;
7. Bidang Panas Bumi diatur dalam Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2004 tentang Panas Bumi;
8. Bidang Tata Ruang diatur dalam Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Tata Ruang;
24 Sigit Sapto Nugroho, Harmonisasi Hukum: Sebuah Dialektik Interaksi Norma Hukum
Adat dan Hukum Negara dalam Pengelolaan Konservasi, Sumber Daya Alam, Jurnal
Yustisia Merdeka, Volume 2 Nomor 2 September 2016, hal 27-40
BAB I 19
SUMBER DAYA ALAM
Kenyataannya sampai sekarang persoalan sumber daya alam masih
dikelola secara sektoral, oleh karena itu kedepan harus diupayakan
bahwa sumber daya alam dikelola secara terpadu dan diatur tidak
lagi secara sektoral sehingga tidak terjadi tumpang tindih baik se-
cara kelembagaan maupun dari segi pengaturannya.
BAB II 21
HAK DAN PENGUASAAN SUMBER DAYA ALAM
main yang jelas tentang pemanfaatan dan pendayagunaan
sumber daya alam, sehingga setiap anggota masyarakat
dapat memaksimumkan pemenuhan kebutuhan individualnya
melalui pemanfaatan sumber daya alam tanpa memperhatikan
kebutuhan anggota masyarakat lainnya maupun daya dukung
lingkungan sumber daya yang bersangkutan karena sumber
daya alam dianggap sebagai milik bersama (common property).
b. Private property
BAB II 23
HAK DAN PENGUASAAN SUMBER DAYA ALAM
pada doktrin rule of law dengan mengadopsi konsep property
rights. Tujuannya adalah menciptakan kondisi bagi bekerjanya
mekanisme pasar bebas (neo-liberalisme).31
c. State property
Berangkat dari motivasi yang kuat untuk mengatur
pengelolaan sumber daya alam, maka pada masyarakat politik
modern, sumber daya alam ditetapkan sebagai “milik negara”
atau “state property”. Tesis yang disampaikan Hardin tentang
“tragedy of the commons” dijadikan sebagai pembenar bagi
tindakan negara (pemerintah) untuk menguasai dan mengatur
sumber daya alam dalam arti yang seluas-luasnya.
BAB II 25
HAK DAN PENGUASAAN SUMBER DAYA ALAM
d. Communal property
Pengelolaan sumber daya alam sebagai “milik negara”
maupun milik privat terutama swasta telah meninggalkan
jejak yang sama, yaitu kerusakan lingkungan dan peminggiran
masyarakat lokal. Jejak tersebut di tingkat lokal menimbulkan
konflik dengan frekuensi kejadian yang cukup signifikan.
Berkaca dari pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat
yang menghasilkan kesimpulan positif, maka advokasi
internasional secara tegas menyebutkan, bahwa partisipasi
masyarakat lokal yang seluas-luasnya merupakan solusi
optimum terhadap masalah pengelolaan sumber daya alam.
Sebagaimana contoh apa yang dikatakan oleh Lynch dan Talbott
dengan mempromosikan sejumlah kunci untuk pengelolaan
sumber daya alam berkelanjutan oleh masyarakat adat
terutama bidang kehutanan yang disebut sebagai community-
based tenure.
BAB II 27
HAK DAN PENGUASAAN SUMBER DAYA ALAM
(3): “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya ke-
makmuran rakyat.”
Penguasaan negara di atas ditafsirkan oleh Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Agraria (UUPA),
menjadi tiga bentuk kewenangannegara, sebagaimana terjabarkan
dalam Pasal 1 ayat (2) undang-undang tersebut, yang berbunyi: Hak
menguasai negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi we-
wenang untuk:
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persedian dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa
tersebut;
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum
mengenai bumi, air dan ruang Angkasa.
Selanjutnya semenjak berkuasanya rezim Orde Baru hubungan
negara dengan sumber daya alam diturunkan dalam beberapa
produk undang-undang khusus, misalkan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan (seka-
rang diganti dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 juncto
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004) dan Undang-Undang No-
mor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertam-
bangan ( sekarang diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara). Dua undang-
undang sektoral tersebut dulu menjadi landasan penting penopang
ekonomi Orde Baru melalui sektor pertambangan dan kehutanan.
Adanya perubahan melalui gerakan reformasi pada tahun 1998 telah
membawa perubahan berbagai dimensi. Salah satunya adalah ten-
BAB II 29
HAK DAN PENGUASAAN SUMBER DAYA ALAM
mah Kontitusi yang memiliki kewenangan menguji undang-undang
terhadap UUD. Kewenangan untuk menguji undang-undang itu se-
cara implisit membuat Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan
untuk menafsir UUD, termasuk menafsir konsep penguasaan negara
atas sumber daya alam. Sebagaimana telah disebutkan di bagian
terdahulu, tafsir pertama Mahkamah Konstitusi tentang konsep
hubungan negara dengan sumber daya alam ditemukan dalam Pu-
tusanPerkara Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 mengenai Pengujian
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan
yang menyebutkan bahwa kepemilikan perdata negara atas sumber
daya alam harus diakui sebagai salah satu konsekuensi logis pen-
guasaan oleh negara yang mencakup juga pengertian kepemilikan
publik oleh kolektivitas rakyat.
Selanjutnya disebutkan:“............Rakyat secara kolektif itu dikon-
struksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara un-
tuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestu-
ursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan
pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat ....”
No Fungsi Penjelasan
1 Pengaturan Fungsi pengaturan oleh negara
(Regelendaad) dilakukan melalui kewenangan
legislasi oleh DPR bersama dengan
Pemerintah, dan regulasi oleh
Pemerintah (eksekutif). Jenis peraturan
yang dimaksud sebagaimana
BAB II 31
HAK DAN PENGUASAAN SUMBER DAYA ALAM
5 Pengawasan Dilakukan oleh negara c.q. Pemerintah
(Toezichthouden- dalam rangka mengawasi dan
sdaad) mengendalikan agar pelaksanaan
penguasaan oleh negara atas cabang
produksi yang penting dan/atau yang
menguasai hajat hidup orang banyak
dimaksud benar-benar dilakukan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran seluruh
rakyat. Termasuk dalam fungsi ini
yaitu kewenangan pemerintah pusat
melakukan pengujian Perda (executive
review).
35 Sigit Sapto Nugroho, 2017, Hukum Kehutanan , Kafilah Publishing, Surakarta, hal 99-
101
BAB III 33
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN KEBIJAKAN
merupakan wujud keanekaragaman koral terbesar di dunia. Demikian
pula, sumber daya mineral yang terkandung di dalam perut bumi
Indonesia, seperti emas, tembaga, baru bara, perak, nikel, timah,
bauksit, dan lain-lain. Merupakan kekayaan alam bumi Nusantara
yang luar biasa.37
Kekayaan sumber daya alam Indonesia dipahami pemerintah
sebagai modal penting dalam penyelenggaraan pembangunan
nasional. Karena itu, atas nama pembangunan yang diabdikan
pada pengejaran target pertumbuhan ekonomi (economic growth
development), demi peningkatan pendapatan dan devisa negara
(state revenue), maka pemanfaatan sumber daya alam dilakukan
tanpa memperhatikan prinsip-prinsip keadilan, demokratis, dan
keberlanjutan fungsi sumber daya alam.Implikasi yang ditimbulkan dari
praktik-praktik pemanfaatan sumber daya alam yang mengedepankan
pencapaian pertumbuhan ekonomi semata adalah secara perlahan
tetapi pasti menirnbulkan kerusakan dan degradasi kuantitas maupun
kualitas, sumber daya alam, yang meliputi antara lain :38
a. laju kerusakan hutan mencapai 1,8 juta hektar per tahun
dan sejumlah spesies hutan tropis terancam punah akibat
eksploitasi sumber daya hutan yang tak terkendali;39
b. sekitar 70 % terumbu karang mengalami kerusakan serius
akibat endapan erosi. pengambilan batu karang, penangkapan
ikan yang menggunakan bom atau racun (sianida), dan
pencemaran air laut oleh limbah industri;
37 Sigit Sapto Nugroho, 2012, Op-Cit Hal 12
38 Ibid
39 Menurut data tahun 2012, luas terjadinya deforestasi hutan di Indonesia mencapai
840.000 Ha pertahun, melebihi kerusakan hutan yang terjadi di Brazil yang hanya
460.000 Ha….lihat dalam Sigit Sapto Nugroho, 2019, Hukum dan Kehutanan: Studi
Formulasi Hukum Pengelolaan sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat Menuju
Kemakmuran Rakyat di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, Desertasi, Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Muhammadiyah Surakarta, hal 4…lihat juga dalam Absori, Sigit Sapto
Nugroho, Elviandri, Legalitas Perhutanan Sosial: Sebuah Harapan Menuju Kemakmuran
Rakyat Kawasan Hutan, Jurnal Yustisia Merdeka Volume 3 Nomor 2 Septembar 2017,
hal 97-106
BAB III 35
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN KEBIJAKAN
Paradigma seperti ini selain tidak mengutamakan kepentingan
konservasi dan perlindungan serta keberlanjutan fungsi sumber
daya alam, juga tidak secara utuh memberi ruang bagi partisipasi
masyarakat serta mengabaikan hak-hak masyarakat adat/lokal atas
penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam. Implikasinya,
dari segi ekonomi menghilangkan sumber-sumber ekonomi bagi
kehidupan masyarakat adat/lokal (economic resources loss), dari segi
sosial dan budaya secara nyata telah merusak sistem pengetahuan,
teknologi, institusi, tradisi, dan religi masyarakat/lokal (social
and cultural loss); dari segi ekologi menimbulkan kerusakan dan
degradasi kualitas maupun kuantitas sumber daya alam (ecological
loss); dan dari segi politik pembangunan hukum telah mengabaikan
fakta pluralisme hukum (legal pluralism) dalam penguasaan dan
pemanfaatan sumber daya alam yang secara nyata hidup dan
berkembang dalam masyarakat.
Dari perspektif hukum dan kebijakan, maka cerminan dari
panutan paradigma seperti di atas secara jelas dapat dicermati dari
substansi dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan pengelolaan sumber daya alam, seperti :
1. Bidang Agraria yang telah diatur oleh Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok- Pokok Agraria (UUPA);
2. Bidang Pengairan yang telah diatur oleh Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1974 tentang
Pengairan, Tahun 2004 lahir Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2004 tentang pengelolaan Sumber Daya Air tetapi Undang-
undang ini dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi;
3. Bidang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya yang
telah diatur oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
BAB III 37
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN KEBIJAKAN
pengelolaan sumber daya alam, prinsip-prinsip global pengelolaan
sumber daya alam dan implikasinya bagi politik pembangunan
hukum nasional, diskusi dan rekomendasi untuk mencapai tujuan
pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan, demokratis, dan
berkelanjutan sebagaimana diamanatkan dalam Ketetapan MPR RI
Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumber Daya Alam .
41 Sigit Sapto Nugroho, 2004, Pengelolaan Sumber Daya Hutan Bersama Masyarakat
Perspektif Hukum, Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya, Malang, hal 78
42 Ibid
BAB III 39
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN KEBIJAKAN
Sementara itu, beberapa undang-undang seperti : (1) Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi PBB
tentang Keanekaragaman Hayati; (2) Undang-Undang Pemerintahan
Daerah; dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak-hak Asasi Manusia, mengatur prinsip-prinsip penting yang
mendukung pengelolaan sumber daya alam yang adil, demokratis,
dan berkelanjutan. Tetapi, prinsip-prinsip global pengelolaan sumber
daya alam antara lain seperti : konservasi dan keberlanjutan fungsi
sumber daya alam, transparansi dan partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan sumber daya alam, desentralisasi, dan pengakuan
dan perlindungan atas hak-hak masyarakat adat/lokal, belum
terakomodasi dan terintegrasi secara komprehensif dalam undang-
undang yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam yang
telah ada.
Karena itu, persoalan-persoalan mendasar dalam pengaturan
mengenai pengelolaan sumber daya alam yang berpotensi mengancam
keberlanjutan fungsi sumber daya alam dan kelangsungan hidup
bangsa perlu segera diselesaikan. Salah satu agenda nasional yang
mendesak untuk direalisasikan untuk menjamin kelestarian dan
keberlanjutan fungsi sumber daya alam, meningkatkan partisipasi
masyarakat, transparansi dan mendukung proses demokratisasi
dalam pengelolaan sumber daya alam, menciptakan koordinasi
dan keterpaduan antar sektor, serta mendukung terwujudnya good
environmental governance, adalah membentuk undang-undang
pengelolaan sumber daya alam yang mencerminkan prinsip-prinsip
keadilan, demokratis, dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam.
Dari realitas yang bersumber dari fenomena-fenomena yang
ada di berbagai wilayah di Indonesia tersebut maka bisa dikatakan
bahwa buruknya pengelolaan sumber daya alam yang mengakibatkan
kerusakan lingkungan hidup bersumber dari: (1) kemiskinan; (2)
43 Aji Samekto dkk, 2015, Membangun Politik Hukum Sumber Daya Alam Berbasis Cita
Hukum Indonesia, Penerbit Tafa Media, Yogyakarta, hal 21
44 Ibid
BAB III 41
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN KEBIJAKAN
Jabaran lebih lanjut dari ideologi penguasaan dan pemanfaatan
sumber daya agraria seperti dimaksud di atas dituangkan dalam
Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria
dan Pengelolaan Sumber Daya Alam; Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional; Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004 – 2009;
dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 - 2025. Dalam
konsideran Menimbang Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam secara
eksplisit dinyatakan: ”........peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan pengelolaan sumber daya agraria dan sumber
daya alam saling tumpang tindih dan bertentangan; oleh karena itu
pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam yang adil,
berkelanjutan, dan ramah lingkungan harus dilakukan dengan cara
terkoordinasi, terpadu dan menampung dinamika, aspirasi dan peran
serta masyarakat, serta menyelesaikan konflik”.
Prinsip-prinsip yang harus diakomodasi dalam peraturan pe-
rundang-undangan mengenai pengelolaan sumber daya alam (Pasal
4 Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria
dan Pengelolaan Sumber Daya Alam) adalah sebagai berikut:
a. Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
b. Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
c. Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi
keanekaragaman dalam unifikasi hukum;
d. Mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan
kualitas sumber daya manusia Indonesia;
BAB III 43
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN KEBIJAKAN
dimonitoring, dan dievaluasi secara berkesinambungan untuk
memenuhi keadilan inter-antar generasi, keadilan gender, termasuk
keadilan dalam alokasi dan distribusi sumber daya agraria; (b) Prinsip
Demokrasi mengacu pada kebijakan pengelolaan sumber daya
agraria/sumber daya alam yang mendesentralisasi kewenangan
pusat ke daerah, akses informasi yang terbuka bagi rakyat, ruang bagi
partisipasi semua pemangku kepentingan (stakeholder), transparansi
dalam penyusunan kebijakan, pertanggungjawaban kepada publik
(public acountability), koordinasi dan keterpaduan antar sektor,
penyelesaian konflik secara bijaksana, pengakuan dan perlindungan
terhadap hak rakyat atas penguasaan dan pemanfaatan sumber
daya agraria/sumber daya alam; dan (c) Prinsip Berkelanjutan adalah
kebijakan penguasaan harus mampu menjamin keberlanjutan
fungsi dan manfaat sumber daya agraria/sumber daya alam dengan
melakukan konservasi, pemahaman tentang makna sumber daya
yang tak terbarukan (non-renewable), keterbatasan daya dukung dan
daya tampung (carrying capacity), serta keterbatasan kemampuan
sumber daya agraria/sumber daya alam.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa
kebijakan penguasaan dan pengelolaan sumber daya agraria/
sumber daya alam perlu mengintegrasikan prinsip-prinsip penting
dalam pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development)
seperti berikut:45
Prinsip Pertama: Sumber daya agraria/sumber daya alam harus
dimanfaatkan dan dikelola untuk tujuan kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan dari generasi ke generasi;
Prinsip Kedua: Sumber daya alam harus dimanfaatkan dan
dialokasikan secara adil dan demokratis secara inter-antar generasi
dalam kesetaraan gender;
45 Sigit Sapto Nugroho, 2012, Op-Cit, hal 18
BAB III 45
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN KEBIJAKAN
hukum adat (adat law) selain eksistensi hukum negara (state law)
sebagai fakta kemajemukan hukum di Indonesia.
Jika dicermati dari karakteristik peraruran perundang-undangan
yang berkaitan dengan sumber daya alam seperti diuraikan pada
bagian terdahulu, maka dapat dikritisi bahwa prinsip-prinsip global
pengelolaan sumber daya alam yang bernuansa adil, demokratis,
dan berkelanjutan belum secara utuh dan tegas diakomodasi dan
diintegrasikan dalam kaidah-kaidah hukum pengelolaan sumber
daya alam yang ada.
Ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang
tercermin dalam peraturan perundang-undangan masih bercorak
sentralisrik dengan mengacu pada manajemen yang berpusat
pada negara atau pemerintah (state-based resource management).
mengedepankan pendekatan sektoral, berorientasi pada eksploitasi
dengan mengabaikan kepentingan konservasi dan keberlanjutan
sumber daya alam demi pencapaian target pertumbuhan ekonomi
(economic oriented), mengutamakan kepentingan pemodal-pemodal
besar (capital oriented), hak-hak asasi masyarakat belum diakui dan
dilindungi secara utuh, membatasi ruang bagi partisipasi masyarakat
dan transparansi dalam pembuatan kebijakan, tidak mengatur secara
tegas mengenai akuntabilitas publik dalam pengelolaan surnber
daya alam, dan juga mengabaikan fakta kemajemukan hukum (legal
pluralism) yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Guna mengakhiri atau setidak-tidaknya mengeliminasi prak-
tik-praktik penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria yang
bercorak sentralistik, eksploitatif, sektoral, dan bernuansa represif,
dalam rangka mewujudkan tata pengelolaan lingkungan hidup yang
baik (good environmental governance) dalam pembangunan nasional
yang berkelanjutan, maka perlu adanya reformasi paradigma politik
pembangunan hukum nasional yang semula bercorak sentralisme
BAB III 47
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN KEBIJAKAN
7. Mengatur mekanisme pengawasan dan akuntabilitas publik
dalam pengelolaan sumber daya agraria secara lebih eksplisit;
8. Mengakui keberadaan tatanan hukum rakyat (folk law)
sebagai entitas hukum (legal entity) dalam sistem hukum
Indonesia, khususnya tatanan hukum adat yang secara nyata
hidup dan didayagunakan dalam wujud kearifan lingkungan
(environmental wisdom) masyarakat adat setempat.
BAB IV 49
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF OTONOMI DAERAH
4. Meningkatkan kemampuan daya dukung lingkungan setempat
dan bukan menghancurkan daya dukung ekosistem dengan
eksploitasi yang melewati daya dukung;
5. Pelibatan secara aktif masyarakat adat dan penduduk setempat
sebagai pihak yang paling berkepentingan (menentukan)
dalam pembuatan kebijakan pengelolaan sumber daya alam
dan lingkungan hidup.
Agar kebijakan pemerintah dan penyelenggaraan kekuasaan
daerah dapat memenuhi rasa keadilan, kebutuhan dan keadilan
masyarakat setempat, maka pelaksanaan otonomi harus memenuhi
prasyarat sebagai berikut:48
1. Otonomi bukan hanya menyangkut penyelenggaraan
kekuasaan pemerintah atau pun legislatif, tetapi yang lebih
penting lagi adalah merupakan perwujudan kedaulatan rakyat.
Oleh karena itu, pengalihan kekuasaan dari pemerintahan
yang selama ini terpusat harus menjadi bagian dari proses
demokratisasi yang dicirikan oleh adanya pengembangan
kemampuan (capacity) dan sistem pertanggung-jawaban
secara politik maupun hukum (tanggung-gugat) secara terbuka
oleh para pejabat daerah; serta pengembangan kemampuan
dan peluang rakyat setempat dalam melakukan pengawasan;
2. Untuk menjamin adanya demokratisasi dan pertanggung-
jawaban pemerintah daerah dan DPRD maka sangatlah
penting untuk mengubah sistem pemilihan umum;
3. Pemilihan umum harus dilakukan dengan sistem distrik,
sehingga para anggota DPRD yang dipilih langsung oleh rakyat
akan lebih bertanggung-jawab kepada para pemilihnya dan
bukan kepada partai seperti yang terjadi saat ini. Selain itu,
sistem pemilihan kepala daerah (Gubernur, Bupati, Walikota,
48 Ibid
BAB IV 51
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF OTONOMI DAERAH
7. Oleh karena itu, otonomi memerlukan adanya masyarakat
sipil (civil society) yang terdiri dari berbagai unsur yang ada
di dalam masyarakat, yang kuat, solid, selalu berpikir kritis,
dan mampu melakukan kontrol atau pengawasan terhadap
penyelenggaraan kekuasaan daerah yang berada di tangan
eksekutif, legislatif dan yudikatif;
8. Otonomi haruslah mengubah pandangan dan perilaku
penyelenggara kekuasaan di daerah untuk benar-benar
menjadi pelayan masyarakat. Artinya pemerintah benar-
benar meletakkan kepentingan dan suara masyarakat sebagai
pijakan dari semua kebijakan publik yang dibuat.
Berdasarkan uraian di atas, nampak bahwa begitu banyak
masalah yang terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup
khususnya pemanfaatan sumber daya alam yang berkaitan dengan
otonomi daerah. Masalah tersebut dapat timbul akibat proses
pembangunan daerah yang kurang memperhatikan aspek lingkungan
hidup. Di era otonomi ini tampak bahwa ada kecenderungan
permasalahan pengelolaan sumber daya alam semakin bertambah
kompleks, yang seharusnya tidak demikian halnya. Ada sementara
dugaan bahwa kemerosotan pengelolaan sumber daya alam
dan lingkungan terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah, di
mana daerah ingin meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
dengan melakukan eksploitasi sumber daya alam yang kurang
memperhatikan aspek lingkungan hidup dengan semestinya.
Dengan cara seperti ini maka terjadi kemerosotan kualitas
sumber daya alam dan lingkungan di mana-mana, yang diikuti
dengan timbulnya bencana alam. Terdapat banyak hal yang
menyebabkan aspek lingkungan hidup menjadi kurang diperhatikan
dalam proses pembangunan daerah, yang bervariasi dari daerah satu
dengan daerah yang lain, dari hal-hal yang bersifat lokal seperti
BAB IV 53
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF OTONOMI DAERAH
Penyelenggaraan pemerintahan daerah memasuki era
baru yaitu dengan digantikannya Undang-Undang Nomor 32 ta-
hun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan lahirnya Un-
dang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Dae-
rah. Lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, dilatarbelakangi adanya berbagai permasala-
han yang timbul dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor 32 tahun
2004 selama ini. Beberapa permasalahan yang terjadi diantaranya
lemahnya fungsi gubernur dan pemerintah pusat dalam melakukan
pengawasan terhadap Kabupaten/Kota dan munculnya raja-raja ke-
cil dengan arogansi kekuasaannya karena merasa memiliki basis
politik yang kuat (dipilih oleh rakyat secara langsung). Dengan le-
mahnya pengawasan dan adanya arogansi kekuasaan, memunculkan
berbagai kebijakan yang cenderung melanggar hukum dan melang-
gar asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).49
Atas dasar fakta tersebut di atas, melalui Undang-Undang No-
mor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, beberapa urusan
pemerintahan pada sektor sumber daya alam, yang semula meru-
pakan kewenangan pemerintah Kabupaten/Kota “ditarik” dan “diali-
hkan” menjadi kewenangan pemerintah provinsi dan pusat. Penga-
lihan ini dimaksudkan agar penyelenggaraan urusan pemerintahan
pada sektor dimaksud jauh lebih bersih, akuntabel, efektif-efisien,
dan mampu memberikan jaminan bagi upaya pelestarian fungsi
lingkungan dan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelan-
jutan.
Bagaimana apabila setelah kewenangan terkait dengan pen-
gelolaan sumber daya alam tersebut dialihkan menjadi urusan
49 Iskandar, Aktualisasi Prinsip Hukum Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup dalam
Kebijakan Perubahan Peruntukan, Fungsi, dan Penggunaan Kawasan Hutan, Jurnal
Dinamika Hukum, Volume 11 Nomor 3, September 2011, FH UNSOED, Purwokerto,
hal. 513.
BAB IV 55
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF OTONOMI DAERAH
perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
Kondisi lingkungan hidup dari waktu ke waktu ada kecend-
erungan terjadi penurunan kualitasnya, penyebab utamanya yaitu
karena pada tingkat pengambilan keputusan, kepentingan pelestar-
ian sering diabaikan sehingga menimbulkan adanya pencemaran
dan kerusakan lingkungan. Dengan terjadinya pencemaran dan keru-
sakan lingkungan ternyata juga menimbulkan konflik sosial maupun
konflik lingkungan. Dengan berbagai permasalahan tersebut diper-
lukan perangkat hukum perlindungan terhadap lingkungan hidup,
secara umum telah diatur dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UUPPLH).
Namun berdasarkan pengalaman dalam pelaksanaan berb-
agai ketentuan tentang penegakan hukum sebagaimana tercantum
dalam UUPLH, maka undang-undang ini merupakan salah satu alat
yang kuat dalam melindungi lingkungan hidup. Dalam penerapan-
nya ditunjang dengan peraturan perundang-undangan sektoral. Hal
ini mengingat pengelolaan sumber daya alam memerlukan koordi-
nasi dan keterpaduan secara sektoral dilakukan oleh departemen
dan lembaga pemerintah non-departemen sesuai dengan bidang
tugas dan tanggungjawab masing-masing, seperti Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Gas dan Bumi, Undang-Undang No-
mor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan diikuti pengaturan lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan
Menteri, Peraturan Daerah maupun Peraturan Gubernur.
Mengingat kompleksnya pengelolaan sumber daya alam dan
permasalahan yang bersifat lintas sektor dan wilayah, maka dalam
pelaksanaan pembangunan daerah diperlukan perencanaan dan
BAB IV 57
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF OTONOMI DAERAH
2. Pendanaan yang masih sangat kurang untuk bidang lingkungan
hidup. Program dan kegiatan mesti didukung dengan dana
yang memadai apabila mengharapkan keberhasilan dengan
baik. Walaupun semua orang mengakui bahwa lingkungan
hidup merupakan bidang yang penting dan sangat diperlukan,
namun pada kenyataannya PAD masih terlalu rendah yang
dialokasikan untuk program pengelolaan sumber daya alam,
diperparah lagi tidak adanya dana dari APBN yang dialokasikan
langsung ke daerah untuk pengelolaan sumber daya alam;
3. Keterbatasan sumber daya manusia. Harus diakui bahwa
didalam pengelolaan sumber daya alam selain dana yang
memadai juga harus didukung oleh sumber daya yang
mumpuni. Sumber daya manusia seringkali masih belum
mendukung. Personil yang seharusnya bertugas melaksanakan
pengelolaan sumber daya alam (termasuk aparat pemda)
banyak yang belum memahami secara baik tentang arti
pentingnya lingkungan hidup;
4. Eksploitasi sumber daya alam masih terlalu mengedepankan
profit dari sisi ekonomi. Sumber daya alam seharusnya
digunakan untuk pembangunan untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat. Walaupun kenyataannya tidak demikian;
eksploitasi bahan tambang, logging hanya menguntungkan
sebagian masyarakat, aspek lingkungan hidup yang seharusnya,
kenyataannya banyak diabaikan. Fakta menunjukkan bahwa
tidak terjadi keseimbangan antara ekonomi dan lingkungan
hidup. Masalah lingkungan hidup masih belum mendapatkan
porsi yang semestinya guna mendukung fungsi kelestarian
(ecologi);
BAB IV 59
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF OTONOMI DAERAH
ramah lingkungan secara turun-temurun. Tentu saja masih banyak
masalah-masalah lingkungan hidup yang terjadi di daerah-daerah
otonom yang hampir tidak mungkin untuk diidentifikasi satu per
satu, yang kesemuanya ini timbul akibat “pembangunan” di daerah
yang pada intinya ingin mensejahterakan masyarakat, dengan segala
dampak yang ditimbulkan.
BAB IV 61
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF OTONOMI DAERAH
san Pemerintahan Pilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (1) meliputi: a) kelautan dan perikanan; b) pariwisata; c) perta-
nian; ). kehutanan; e) energi dan sumber daya mineral; f) perdagan-
gan; g) perindustrian; dan h) transmigrasi.
Dalam Pasal 13 ayat (1) disebutkan bahwa pembagian uru-
san pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Dae-
rah Provinsi serta Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (3) didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisien-
si, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional. Pada Ayat
(3) dinyatakan bahwa berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) kriteria Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenan-
gan Daerah Provinsi adalah: a) Urusan Pemerintahan yang lokasinya
lintas Daerah Kabupaten/Kota; b) Urusan Pemerintahan yang peng-
gunanya lintas Daerah Kabupaten/Kota; c). Urusan Pemerintahan
yang manfaat atau dampak negatifnya lintas Daerah Kabupaten/
Kota; dan/atau d) Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber
dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh Daerah Provinsi.
Pada Ayat (4) menyatakan bahwa Berdasarkan prinsip seb-
agaimana dimaksud pada ayat (1) kriteria Urusan Pemerintahan
yang menjadi kewenangan Daerah Kabupaten/Kota adalah: a) Uru-
san Pemerintahan yang lokasinya dalam Daerah Kabupaten/Kota; b)
Urusan Pemerintahan yang penggunanya dalam Daerah Kabupaten/
Kota; c) Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya
hanya dalam Daerah Kabupaten/Kota; dan/atau d. Urusan Pemerin-
tahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila di-
lakukan oleh Daerah Kabupaten/Kota.
Pada Pasal 14 ayat (1) disebutkan bahwa Penyelenggaraan
Urusan Pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan
sumber daya mineral dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah
Provinsi. Ayat (2) bahwa Urusan Pemerintahan bidang kehutanan se-
BAB IV 63
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF OTONOMI DAERAH
dimaksud pada ayat (4) dapat dilakukan sepanjang tidak bertentan-
gan dengan prinsip dan kriteria pembagian urusan pemerintahan
konkuren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
BAB IV 65
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF OTONOMI DAERAH
berbagai sektor dapat dipastikan akan berimplikasi secara politik
(kebijakan sentralisasi dan desentralisasi), secara yuridis (terkait
dengan hak dan kewajiban, tanggungjawab dan tanggung gugat).
Oleh karena itu, pada tataran implementasi undang-undang ini,
kiranya perlu hati-hati dan cermat, jangan sampai tujuan untuk
mendorong peningkatan efektivitas pemerintahan dalam rangka
memantapkan pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan
pembangunan keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis
sumber daya alam (SDA) yang tersedia, sumber daya manusia (SDM)
yang berkualitas, serta kemampuan IPTEK.
1. Implikasi terhadap struktur kelembagaan.
Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah, berimplikasi terhadap
penyelenggaraan berbagai urusan pemerintahan dalam rangka
pelayanan terhadap masyarakat dan pengelolaan sumber daya
alam. Terkait dengan pengelolaan sumber daya alam, terutama
pada sektor Kelautan dan Perikanan, Kehutanan, dan sektor
energi dan sumber daya mineral (ESDM), implikasi tersebut
bukan hanya berkait dengan kewenangan (siapa melakukan
apa), tapi juga berimplikasi pada struktur organisasi/
kelembagaan, personil, pendanaan, sarana dan prasarana,
dokumen serta berbagai kebijakan dan keputusan terkait
dengan penyelenggaraan yang telah dilakukan selama ini.
BAB IV 67
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF OTONOMI DAERAH
dikhawatirkan akan timbul sentimen kedaerahan yang
berlebihan dan terjadi konflik kepentingan, yang tentunya
akan berdampak tidak baik bagi upaya pembangunan
daerah dan pembangunan nasional.
2) Keputusan (perizinan)
Dengan telah dialihkannya kewenangan bupati/
walikota dalam hal pengelolaan sumber daya alam,
khususnya sebagaimana yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, maka bupati/walikota tidak berwenang lagi untuk
menerbitkan keputusan kepala daerah terkait dengan
penetapan perizinan pengelolaan sumber daya alam
dimaksud. Sedangkan terhadap keputusan perizinan yang
telah dikeluarkan, berdasarkan Asas Umum Pemerintahan
yang baik (asas kepercayaan, asas kepastian hukum, asas
keadilan, asas kebijakan yang memberatkan tidak boleh
berlaku surut) seharusnya masih dinyatakan tetap berlaku
sampai dengan berakhirnya masa izin yang diberikan.
Namun yang menjadi persoalan manakala masa izin
masih berlaku cukup lama, apakah pejabat pemberi izin
masih mau melakukan pengawasan atas keputusan izin
BAB IV 69
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF OTONOMI DAERAH
yang telah dikeluarkan. Karena berdasarkan asas hukum
administrasi (contrarius actus), pejabat pemberi izin
merupakan pejabat yang berwenang untuk melakukan
pengawasan dan penegakan hukum atas keputusan
izin yang dikeluarkan, padahal kewenangan atas urusan
pemerintahan dimaksud telah dicabut/dialihkan. Hal ini
yang kiranya perlu dikoordinasikan antara pemerintah
provinsi/pusat dengan pemerintah Kabupaten/Kota.
54 Syaiful Bahri Ruray, 2012, Tanggung Jawab Hukum Pemerintah Daerah dalam Pengelolaaan
dan Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup (Seri Desertasi), Alumni Bandung, hal 89
55 Siti Sundari Rangkuti, 2000, Op-Cit, hal 27
BAB V 71
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN....
Dilaksanakannya konferensi tersebut adalah sejalan dengan
keinginan dari PBB untuk menanggulangi dan memperbaiki keru-
sakan lingkungan yang terjadi, bertepatan dengan di umumkannya
“Strategi Pembangunan Internasional” bagi “Dasawarsa Pembangu-
nan Dunia ke–2” (The Second UN Development Decade) yang dimu-
lai pada tanggal 1 Juni 1970. Sidang Umum PBB menyerukan untuk
meningkatkan usaha dan tindakan nasional serta Internasional guna
menanggulangi “proses pemerosotan kualitas lingkungan hidup”
agar dapat diselamatkan keseimbangan dan keserasian ekologis,
demi kelangsungan hidup manusia, secara khusus resolusi Sidang
Umum PBB No. 2657 (XXV) Tahun 1970 menugaskan kepada Pani-
tia Persiapan untuk mencurahkan perhatian kepada usaha “melind-
ungi dan mengembangkan kepentingan-kepentingan negara yang
sedang berkembang” dengan menyesuaikan dan memperpadukan
secara serasi kebijakan nasional di bidang lingkungan hidup den-
gan rencana Pembangunan Nasional. Amanat inilah yang kemudian
dikembangkan dan menjadi hasil dari Konferensi Stocholm yang
dapat dianggap sebagai dasar-dasar atau cikal bakal konsep Pem-
bangunan Berkelanjutan.56
Pengaruh Konferensi Stocholm terhadap gerakan kesadaran
lingkungan tercermin dari perkembangan dan peningkatan perha-
tian terhadap masalah lingkungan dan terbentuknya perundang-un-
dangan nasional di bidang lingkungan hidup, termasuk di Indonesia.
Semua keputusan Konferensi tersebut diatas, disahkan oleh resolusi
SU PBB No. 2997 (XXVII) tertanggal 15 Desember 1972. Pentingnya
Deklarasi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia bagi negara-neg-
ara yang terlibat dalam konferensi ini dapat dilihat dari penilaian
negara peserta yang mengatakan bahwa deklarasi dianggap sebagai
“a first step in developing international environment law”.
BAB V 73
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN....
lingkungan hidup, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
(RPJPN) menyebutkan bahwa Konsep Pembangunan Berkelanjutan
telah diletakkan sebagai kebijakan, namun dalam pengalaman prak-
tek selama ini, justru terjadi pengelolaan sumber daya alam yang
tidak terkendali. Karena itu pembangunan berkelanjutan adalah se-
buah harapan yang harus diwujudkan dan dalam upaya mewujud-
kannya itu peranan hukum menjadi sangat relevan.
BAB V 75
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN....
“Umat memiliki kemampuan untuk menjadikan pembangunan ini
berkesinambungan (sustainable) untuk memastikan bahwa pemban-
gunan ini dapat memenuhi kebutuhanya” .
Selanjutnya dalam laporan Komisi Dunia untuk lingkungan
hidup dan pembangunan tentang “Hari Depan Kita Bersama” (1988)
dikemukakan beberapa penegasan lebih lanjut tentang pemban-
gunan berkelanjutan ini. Dikatakan konsep pembangunan yang
berkesinabungan memang mengimplikasikan batas bukan batas
absolut akan tetapi batas yang ditentukan oleh tingkat teknologi
dan organisasi sosial sekarang ini mengenai sumber daya lingkun-
gan serta oleh kemampuan biosfer menyerap pengaruh-pengaruh
kegiatan manusia, akan tetapi teknologi untuk memberi jalan bagi
era baru pertumbuhan ekonomi. Kemudian ditambahkan pula bah-
wa pembangunan global yang berkesinambungan juga mensyarat-
kan mereka yang hidup lebih mewah untuk mengambil gaya hidup
dalam batas-batas kemampuan ekologi planet ini dalam hal peng-
gunaan energi, misalnya. Lebih lanjut penduduk yang bertambah
cepat dapat meningkatkan tekanan pada sumber daya dan penyela-
matan naiknya taraf hidup, jadi pembangunan yang berkelanjutan
hanya dapat dikejar bila besarnya populasi penduduk dan pertum-
buhan selaras dengan potensi produktif yang terus berubah dari
ekosistem. Akhirnya pembangunan yang berkelanjutan bukanlah
suatu tingkat keselarasan yang tetap, akan tetapi lebih berupa suatu
proses dengan pemanfaatan sumber daya, arah investasi, orientasi
pengembangan teknologi, serta perubahan kelembagaan yang kon-
sisten dengan kebutuhan hari depan dan kebutuhan masa kini. Kami
menyadari bahwa proses itu tidak mudah. Pilihan-pilihan yang me-
nyakitkan harus dibuat. Jadi dalam analisis akhirnya, pembangunan
yang berkelanjutan pasti bersandar pada kemauan politik.
BAB V 77
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN....
Keempat, pembangunan berkelanjutan menumbuhkan soli-
daritas transgenerasi, dimana pembangunan ini memungkinkan
generasi sekarang untuk meningkatkan kesejahteraannya, tanpa
mengurangi kemungkinan bagi generasi masa depan untuk mening-
katkan kesejahteraannya.
Pandangan yang tidak jauh berbeda dikemukakan oleh Ignas
Kleden yang antara lain menyatakan bahwa ada dua hal yang diper-
taruhkan disini, yaitu daya dukung sumber-sumber daya tersebut,
dan solidaritas transgenerasi; maksudnya adalah bagaimana kita
mengekang diri untuk tidak merusak sumber-sumber daya yang ada,
agar dapat bersikap adil terhadap masa depan umat manusia. Kega-
galan kita untuk memelihara daya dukung sumber-sumber daya itu
akan menyebabkan kita berdosa karena telah melakukan sesuatu
(sin of commission) sementara kegagalan untuk mewujudkan solidar-
itas transgenerasi itu akan menyebabkan kita berdosa karena telah
melalaikan sesuatu.
Sebagai sebuah konsep, pembangunan berkelanjutan tidak
lepas dari berbagai interpretasi. Moeljarto Tjokrowinoto misalnya
menyebutkan ada interpretasi yang lahir dari pemikiran kaum envi-
ronmentalist dan ada pula interpretasi yang datang dari para pakar
lembaga-lembaga donor. Kedua interpretasi pembangunan berkelan-
jutan tadi mempunyai implikasi administratif tertentu. Menurut
Moeljarto munculnya konsep pembangunan berkelanjutan didorong
oleh kenyataan tingginya mortality rate proyek-proyek pembangunan
di negara berkembang. Alokasi input yang berkesinambungan tidak
menjadikan proyek pembangunan tadi berkembang dengan kekua-
tan tersendiri. Dikatakan pula bahwa sustainable development atau
pembangunan berkelanjutan ini mungkin diwujudkan melalui keter-
kaitan (interlinkages) yang tepat antara alam, aspek sosio-ekonomis
dan kultur. Dikatakan juga bahwa sustainable development bukanlah
BAB V 79
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN....
resources base, it can continue to develop by adopting and through
improvement in knowledge, organization, technical efficiency and
wisdom”.
BAB V 81
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN....
hidup dalam GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) tetapi juga
membentuk institusi atau lembaga yang membidangi lingkungan
hidup, sejak tahun 1973 aspek lingkungan hidup masuk dalam
GBHN. Kemudian pengelolaan lingkungan hidup dimasukkan
ke Repelita II dan berlangsung terus dalam GBHN 1978 dengan
penjabarannya dalam Repelita III. Pada tahun 1978 dibentuk Menteri
Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH)
yang kemudian pada tahun 1982 diubah menjadi Menteri Negara
Kependudukan dan Lingkungan Hidup (KLH) yang kemudian pada
1992 dirubah menjadi Menteri Negara Lingkungan Hidup (LH)
sampai sekarang. Kelembagaan ini mempunyai peranan penting
dalam memberi landasan aspek lingkungan bagi pelaksanaan
pembangunan di negara kita.
Pada tahun 1982 telah diundangkan Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1982 (LN 1982 No. 12) tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pengelolaan Lingkungan hidup (UULH) secara terpadu
dengan mengamanatkan keharusan untuk mengkaitkan pelaksanaan
pembangunan dengan pengelolaan lingkungan hidup melalui apa
yang dinamakan “pembangunan berwawasan lingkungan” Undang-
Undang ini mempunyai arti penting tersendiri, menurut Siti Sundari
Rangkuti UULH ini mengadung berbagai konsepsi dari pemikiran
inovatif dibidang hukum lingkungan baik nasional maupun
internasional yang mempunyai implikasi terhadap pembinaan
hukum lingkungan Indonesia, sehingga perlu dikajinya perundang-
undangan lingkungan modern sebagai satu sistem keterpaduan.66
Dalam Pasal 4 huruf d Undang-Undang ini disebutkan
bahwa salah satu tujuan pengelolaan lingkungan hidup adalah
“terlaksananya pembangunan berwawasan lingkungan untuk
kepentingan generasi sekarang dan mendatang”. Mengenai
pengertian pembangunan bewawasan lingkungan dirumuskan
66 Ibid, hal 66
BAB V 83
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN....
Dalam perkembangan selanjutnya Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1982 dicabut dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor.
23 Tahun 1997 (LN 1997: 68) tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UUPLH) dan yang terakhir Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
(UUPPLH). Dalam UUPLH ini tidak lagi diadakan pembedaan antara
pembangunan yang berwawasan lingkungan dengan pembangunan
yang berkesinambungan seperti dikemukakan di atas akan tetapi
UUPLH ini menggunakan istilah baru lagi yaitu “Pembangunan
Berkelanjutan Yang Berwawasan Lingkungan Hidup”.
Konsideran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 antara lain
menjelaskan tentang mengapa kita harus melaksanakan‘Pembangunan
Berkelanjutan yang Berwawasan Lingkungan Hidup” seperti pada
pertimbangan huruf b, bahwa dalam rangka mendayagunakan sumber
daya alam untuk memajukan kesejahteraan umum seperti diamanatkan
dalam UUD 1945 dan untuk mencapai kebahagiaan hidup berdasarkan
Pancasila, perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan hidup berdasarkan kebijaksanaan nasional
yang terpadu dan menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan
generasi masa kini dan generasi masa depan. Penegasan tersebut
diatas menunjukkan bahwa pelaksanaan pembangunan berkelanjutan
yang berwawasan lingkungan hidup berkaitan erat dengan
pengelolaan SDA sebagai suatu asset mewujudkan kesejahteraan
rakyat. Dalam pertimbangan berikutnya (huruf c) ditegaskan bawa
dipandang perlu melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup untuk
melestarikan dan mengembangkan kemampuan lingkungan hidup
yang serasi selaras dan seimbang guna menunjang terlaksananya
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup.
Dalam pertimbangan ini pengelolaan lingkungan hidup dianggap
sebagai penunjang terhadap pelaksanaan pembangunan berwawasan
lingkungan.
BAB V 85
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN....
1. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efesiensi,
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan
ekonomi nasional;
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanan pasal ini diatur
dalam undang-undang.
Sejalan dengan pembahasan tersebut juga diadakan
perubahan terhadap judul Bab XIV Undang-Undang Dasar yang
melengkapi pasal tersebut dan judul semula “Kesejahteraan
Sosial” menjadi “Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial”.
Dalam konteks ini tampak ada penonjolan dimensi ekonomi dalam
penguasaan sumber daya alam, yang perlu mendapat perhatian
adalah aspek keberlanjutan dan berwawasan lingkungan bukan
hanya berada dalam dimensi ekonomi belaka tetapi juga dalam
dimensi kehidupan menusia termasuk dimensi sosial budaya,
kesejahteraan sosial pada dasarnya juga harus menonjolkan aspek
keberlanjutan dan berwawasan lingkungan dengan demikian konsep
pembangunan berkelanjutan di Indonesia pada umumnya dan sistem
hukum lingkungan pada khususnya. Walaupun penjabarannya dalam
pengaturan mengenai pengelolaan sumber daya alam masih belum
begitu tampak secara jelas.
Pengaturan tentang bagaimana pengelolaan sumber daya
alam di Indonesia sudah dilakukan sejak berdirinya Negara Republik
Indonesia. Selain Pasal 33 UUD 1945 yang merupakan ketentuan
dasar, ada seperangkat Undang-Undang yang mengatur tentang
hal tersebut, antara lain Undang-Undang Nomor 5 atahun 1960
tentang Ketentuan Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 5 atahun
1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan, kemudian dicabut dan
digantikan dengan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang
BAB V 87
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN....
kemudian diperluas dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
dengan menambah unsur ruang angkasa sehingga meliputi “ Bumi,
air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya.
Ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 memberikan penegasan
tentang dua hal yaitu:
1. Memberikan kekuasaan kepada negara untuk “menguasai”
bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
sehingga negara mempunyai “Hak Menguasai”. Hak ini adalah
hak yang berfungsi dalam rangkaian hak-hak penguasaan
sumber daya alam di Indonesia;
2. Membebaskan di satu sisi serta memberikan kewajiban di sisi
lain kepada negara untuk mempergunakan sumber daya alam
yang ada untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pengertian sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
menunjukkan kepada kita bahwa rakyatlah yang harus menerima
manfaat kemakmuran dari sumber daya alam yang ada di Indonesia.
Secara singkat pasal ini memberikan hak kepada negara untuk
mengatur dan menggunakan sumber daya alam yang wajib ditaati
oleh seluruh rakyat Indonesia, juga membebankan suatu kewajiban
kepada negara untuk menggunakan sumber daya alam untuk
kemakmuran rakyat, bilamana hal ini merupakan kewajiban negara,
maka pada sisi lain adalah merupakan hak bagi rakyat Indonesia
untuk mendapat kemakmuran melalui pengelolaan sumber daya
alam.
Pertanyaan yang muncul adalah rakyat Indonesia yang
mana yang paling berhak untuk mendapatkan kemakmuran dari
pengelolaan sumber daya alam Indonesia? Pada dasarnya seluruh
rakyat Indonesia yang berdiam di seluruh wilayah Negara Kesatuan
BAB V 89
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN....
Selanjutnya UU lain yang berhubungan dengan pengelolaan sumber
daya alam adalah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025.
Dalam Lampiran UU tersebut Bab II Kondisi Umum arah kebijakan
pembangunan bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup
disebutkan:
1. Mengelola sumber daya alam dan memelihara daya dukungnya
agar bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dari
satu generasi ke generasi lain;
2. Meningkatkan pemanfaatan potensi sumber daya alam dan
lingkungan hidup dengan melakukan konservasi, rehabilitasi
dan penghematan penggunaan dengan menerapkan teknologi
ramah lingkungan;
3. Mendelegasikan secara bertahap wewenang pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah dalam pelaksanaan pengelolaan
sumber daya alam secara selektif dan pemeliharaan lingkungan
hidup sehingga kualitas ekosistem tetap terjaga yang diatur
dengan Undang-Undang;
4. Mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi
dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang
berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat
lokal, serta penataan ruang yang pengusahaanya diatur
dengan Undang-Undang;
5. Menerapkan indikator-indikator yang memungkinkan
pelestarian kemampuan, keterbatasan sumber daya alam yang
dapat diperbaharui untuk mencegah kerusakan yang tidak
dapat balik.
BAB V 91
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN....
5. Menerapkan secara efektif penggunaan indikator-indikator
untuk mengetahui keberhasilan pengelolaan sumber daya
alam dan lingkungan hidup;
6. Memelihara kawasan konservasi yang sudah ada dan
menetapkan kawasan konservasi baru di wilayah tertentu, dan
7. Mengikutsertakan masyarakat dalam rangka menanggulangi
permasalahan lingkungan global.
Bilamana kita teliti pengarusutamaan tentang rencana
pembangunan sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2007 tersebut khususnya yang berkenaan
dengan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup –
menggambarkan telah dimasukkannya perkembangan pemikiran
di bidang lingkungan dalam pelaksanaan pembangunan nasional,
sehingga cukup beralasan bahwa di Indonesia, pembangunan
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup telah dilaksanakan
walaupun mungkin baru sebatas dalam aturan hukum.
Selanjutnya yang perlu mendapat perhatian adalah Tap MPR/
IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber
Daya Alam Pasal 3 ketetapan ini menyatakan bahwa pengelolaan
sumber daya alam yang terkandung di daratan, lautan dan angkasa
dilakukan secara optimal, adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Kemudian dalam Pasal 4 ditentukan bahwa pembaharuan
agraria dan pengelolaan sumber daya harus dilaksanakan sesuai
dengan prinsip-prinsip:
1. Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
2. Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
3. Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi
keanekaragaman dalam unifikasi hukum;
BAB V 93
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN....
Selanjutnya dalam Pasal 5 ayat (2) ketetapan ini menentukan bahwa
arah kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam adalah:
1. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan
sumber daya alam dalam rangka sosialisasi kebijakan antar
sektor yang berdasarkan prinsip-prinsip sebagaimana
dimaksud Pasal 4 ketetapan ini;
2. Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan berbagai sumber
daya alam melalui identifikasi dan inventarisasi kualitas dan
kuantitas sumber daya alam sebagai potensi pembangunan;
3. Memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat
mengenai potensi sumber daya alam di daerahnya dan
mendorong terwujudnya tanggung jawab sosial untuk
menggunakan teknologi ramah lingkungan termasuk teknologi
tradisional;
4. Memeperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis
sumber daya alam dan melakukan upaya-upaya meningkatkan
nilai tambah dari produk sumber daya alam tersebut;
5. Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumber daya alam
yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi
konflik dimasa mendatang guna menjamin terlaksananya
penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip
sebagai mana dimaksud Pasal 14 ketetapan ini;
6. Mengupayakan pemulihan ekosistem yang telah rusak akibat
eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan;
7. Menyusun strategi pemanfaatan sumber daya alam yang
didasarkan pada optimalisasi manfaat dengan memperhatikan
potensi, kontribusi, kepentingan masyarakat dan kondisi
daerah maupun nasional.
BAB V 95
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN....
berkelanjutan. Dalam tulisannya, Sonny Keraf67 menyebutkan ada
dua penyebab kegagalan penerapan konsep pembangunan yang
berkelanjutan. Menurut pendapatnya salah satu sebab dari kegagalan
mengimplementasikan paradigma tersebut adalah, paradigma
tersebut kurang dipahami sebagai prinsip-prinsip kerja yang
menentukan dan menjiwai seluruh proses pembangunan. Paradigma
ini tidak dipahami sebagai bentuk prinsip pokok politik pembangunan
itu sendiri. Pada akhir cita-cita yang dituju dan ingin diwujudkan
dibalik paradigma tersebut tidak tercapai. Karena, prinsip politik
pembangunan yang seharusnya menuntut pemerintah dan semua
pihak lainnya dalam rencana dan implementasi pembangunan tidak
dipatuhi dengan kata lain, paradigma pembangunan berkelanjutan
harus dipahami sebagai etika politik pembangunan, yaitu sebuah
komitmen moral tentang bagaimana seharusnya pembangunan itu
diorganisir dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan. Dalam kaitan
dengan itu, paradigma pembangunan berkelanjutan bukti sebuah
konsep tentang pembangunan lingkungan hidup.
Paradigma pembangunan berkelanjutan juga bukan
hanya tentang pembangunan ekonomi. Ini sebuah etika politik
pembangunan mengenai pembangunan secara keseluruhan dan
bagaimana pembangunan itu seharusnya dijalankan. Dalam arti
ini, selama paradigma pembangunan berkelanjutan tersebut tidak
dipahami, atau dipahami secara luas, cita-cita moral yang terkandung
di dalamnya tidak akan terwujud . Alasan kedua, mengapa paradigma
itu tidak jalan, khususnya mengapa krisis ekologi tetap saja
terjadi, karena paradigma tersebut kembali menegaskan ideologi
developmentalisme. Apa yang dicapai di KTT Bumi di Rio de Janeiro
tujuh belas tahun lalu, tidak lain adalah sebuah kompromi usulan
tentang pembangunan, dengan fokus utama berupa pertumbuhan
ekonomi. Akibatnya, selama tujuh belas tahun terakhir ini, tidak
67 Sonny Keraf, 2014, Loc-Cit, hal 124
BAB V 97
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN....
solen dan melalui perangkat hukum diharapkan dapat diwujudkan
pada tataran das sein. Namun keberhasilan ini masih tergantung
pada banyak faktor, selain faktor yang bersifat yuridis, juga politis
dan budaya termasuk kondisi sumber daya manusia yang menjadi
pelaksanaanya.
BAB VI 99
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM BERBASIS KEADILAN....
mengelola sumber daya alam tidak didasari pertimbangan sumber
daya alam berkelanjutan atau benefit buat masyarakat.
Kondisi tersebut menciptakan konflik laten yang dapat
meledak setiap saat. Puncaknya, konflik di area hutan terjadi pada
tahun 2001 di Kalimantan Tengah ketika terjadi bentrokan antara
Masyarakat Dayak dan Madura yang berujung pada pembantaian
lebih dari 500 orang Etnis Madura dan pengusiran ribuan Suku
Madura dari wilayah tersebut.
Sistem pemerintahan desentralisasi menjadikan semakin
kelihatan betapa pentingnya peran sumber daya alam bagi
perekonomian daerah. Mayoritas daerah masih menggantungkan
pendapatannya kepada eksploitasi sumber daya alam dan hanya
sedikit saja yang mendapatkan penerimaannya dari sektor industri
dan perdagangan. Pada zaman Orde Baru, daerah tidak terlalu ambil
pusing dengan pengelolaan sumber daya alam karena pemerintah
pusat memberikan dana bantuan daerah dengan besaran yang
seragam. Pada sistem desentralisasi, daerah harus berjuang sendiri
dan mencari pendapatan dari potensi kekayaan lokal. Sumber dana
yang paling memungkinkan adalah kekayaan alam. Sebagian besar
daerah yang kaya saat ini mendapatkan penerimaan daerahnya dari
sumber daya alam, seperti Kutai Kartanegara.
Secara umum dikatakan bahwa terjadinya konflik dalam
masyarakat bersumber dari persoalan-persoalan sebagai berikut :70
1. Penguasaan, pemanfaatan dan distribusi sumber daya alam
yang menjadi pendukung kehidupan manusia (natural resource
control and distribution);
2. Ekspansi batas wilayah kehidupan suatu kelompok masyarakat
(territoriality expantion);
3. Kegiatan ekonomi masyarakat( economic activity);
70 I Nyoman Nurjaya, 2006, Op-Cit, hal 40-41
BAB VI 101
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM BERBASIS KEADILAN....
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) juga mencatat terjadi
659 konflik agraria sepanjang 2017, dengan luasan mencapai
520.491,87 hektar (ha). Jumlah konflik agraria meningkat 50 persen
dibandingkan 2016.
Dari seluruh sektor yang dimonitor, perkebunan masih
menempati posisi pertama, sebanyak 208 konflik, atau 32 % dari
seluruh jumlah konflik berturut-turut setelahnya yaitu properti 199
konflik (30 %), infrastruktur 94 konflik (14 %), pertanian 78 konflik
(12 %), kehutanan 30 konflik (5 %), pesisir/kelautan 28 konflik (4 %),
serta pertambangan 22 konflik (3 %).74
Tema sentral penyelesaian konflik dalam pengelolaan
sumber daya alam merupakan pemikiran yang cerdas di mana saat
sekarang menjadi permasalahan krusial pada era otonomi. Tujuan
Pembangunan sebagaimana yang diamanatkan dalam Garis-Garis
Besar Haluan Negara adalah mewujudkan suatu masyarakat
adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang merdeka, berdaulat, bersatu dan berkedaulatan rakyat dalam
suasana peri kehidupan bangsa yang aman, tentram,tertib dan damai.
Guna mewujudkan hal tersebut dan agar tercipta suasana
kehidupan yang aman, tertib dan damai diperlukan perangkat
peraturan yang dapat memberikan rasa keadilan dan ketertiban
dalam masyarakat, sehingga masyarakat dapat merasa aman
dan tenang dalam melakukan aktivitas-aktivitasnya, memanfaatkan
potensi dan sumber daya yang ada guna peningkatan kesejahteraan
masyarakat dengan tetap memperhatikan keseimbangan
lingkungan dan kelestarian alam serta memperhatikan kebutuhan
generasi yang akan datang. Dalam konstelasi wilayah nasional,
dalam era otonomi daerah, dinamika pluralitas yang demikian harus
74 Ibid
BAB VI 103
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM BERBASIS KEADILAN....
Memperhatikan ketiga pendekatan tersebut, apabila kita
cermati seksama maka pengelolaan sumber daya alam saat sekarang
ini lebih dipacu untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah
dengan kecenderungan menguras sumber daya alam tanpa
memperhatikan keberlanjutannya serta kurang memperhatikan
aspek sosial, kerusakan, pencemaran dan bahkan terjadi degradasi
lingkungan secara massal.
Padahal dalam pembangunan dan pemanfaatan sumber
daya alam yang berkelanjutan, senantiasa harus dapat memadukan
antara kepentingan pertumbuhan ekonomi yang berorientasi
jangka panjang dengan prinsip-prinsip keberlanjutan hidup
manusia sekarang dan yang akan datang. Pengutamaan manusia
dalam pembangunan dan pemanfaatan sumber daya alam yang
berkelanjutan ini bukan berarti berkarakter antroponsentris, namun
lebih merupakan perpaduan dari 3 (tiga) pendekatan di atas.
Konteks pembangunan hendaknya ditujukan untuk
kesejahteraan masyarakat, dan kelestarian lingkungan hidup. Tuhan
telah menganugerahkan kekayaan sumber daya alam, kemajemukan
masyarakat dan keanekaragaman kebudayaan, untuk dimanfaatkan
bagi kesejahteraan manusia, namun untuk itu kita dituntut
tanggung jawab untuk melestarikannya dan menjaga keserasian
sosial (menghindari konflik). Oleh karena itu sesuai dengan konsep
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, sudah
sepantasnya kesejahteraan sosial dibangun secara terintegrasi
dengan pembangunan ekonomi dan lingkungan sosial.
Konsep pelestarian yang modern, pemeliharaan dan
pemanfaatan sumber daya alam harus dilakukan secara bijaksana.
Konsep ini jika kita perhatikan, pada hakikatnya mengandung 2
(dua) aspek: Pertama, Kebutuhan untuk merencanakan pengelolaan
sumber daya yang didasarkan pada inventarisasi yang akurat. Kedua,
BAB VI 105
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM BERBASIS KEADILAN....
2. Menjamin adanya pengakuan dan perlindungan hak-hak
masyarakat adat/lokal atas penguasaan dan pemanfaatan
sumber daya alam;
3. Menghormati dan melindungi modal sosial (capital sosial)
seperti etika sosial, kearifan lingkungan, system religi, maupun
pranata-pranata sosial dikalangan masyarakat; dan
4. Mengakui dan mengakomiodasi adanya kemajemukan
hukum (legal pluralism) yang tumbuh dan berkembang dalam
kehidupan masyarakat.75
Berdasarkan tataran empirik, permasalahan krusial kita
jumpai bersama dalam mewujudkan konsep pembangunan dan
pernanfaatan sumber daya alam adalah tingginya resistensi dalam
mengaktualisasikan eksistensi desentralisasi, kesan yang tampak,
terjadi perebutan kewenangan dan terjadi upaya maksimalisasi
pencapaian kebutuhan ekonomi sesaat, sehingga dalam pengelolaan
sumber daya alam sarat dengan potensi konflik, latent maupun terbuka.
Meminjam istilah John Naisbitt, tingginya resistensi dalam
mengaktualisasikan desentralisasi merupakan konsekuensi proses
paradoksal, ketika kran kebebasan dan globalisasi merambah, orang
bebas untuk mengutarakan aspirasi.76
Pada saat yang demikian, menguatlah gejala tribalisme
(kesukuan). Akibatnya persinggungan antar identitaspun sangat
rentan untuk terjadi. Tentu saja paradoks ini melambangkan suatu
konflik yang berkarakter manifestasi, misalnya konflik kewenangan
antar daerah, konflik masyarakat yang merebutkan sumber daya
alam dan lain sebagainya. Bahkan ironisnya konflik yang terjadi
terkadang diekspresikan dalam bentuk-bentuk kekerasan.
BAB VI 107
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM BERBASIS KEADILAN....
a. Masyarakat antar satu generasi dengan generasi lainnya
adalah mitra;
b. Generasi sekarang tidak memberikan beban ekstemalitas
pembangunan pada generasi selanjutnya;
c. Setiap generasi mewarisi kekayaan sumber daya alam
serta kualitas habitat yang kurang lebih ekuivalen secara
fisik, ekologis, sosial serta ekonomi.
Kreteria dalam menilai pemanfaatan sumber daya
alam terutama yang tidak dapat diperbaharui adalah kreteria
efisiensi, tetapi juga harus mengedepankan dari sudut
keadilan (equity) antar masyarakat pada saat sekarang dan
dalam distribusi pemanfaatan antar generasi (intergeneration
distribution). Karena dalam pertimbangan keadilan
pemanfaatan sumber daya alam oleh generasi sekarang harus
memperhatikan kepentingan generasi yang akan datang.
Generasi yang akan datang juga membutuhkan sumber
daya alam. Akankah menjadi tidak adil apabila generasi
yang akan datang mengalami kehabisan sumber daya alam
karena pemanfaatan sumber daya alam yang berlebihan oleh
generasi sekarang.79
BAB VI 109
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM BERBASIS KEADILAN....
c. Belum terbangunnya hubungan sosial antara sesama,
bahwa sumber daya alam merupakan tanggung jawab
bersama.
5. Alternatif solusi untuk mengeliminasi konflik dalam
pengelolaan sumber daya alam. Dalam bidang sumber daya
alam, berarti:
a. Menyesuaikan kebijakan pengelolaan sumber daya
alam dengan ekosistem (ecosystem) setempat;
b. Menghormati kearifan lokal/tradisional yang sudah
dikembangkan masyarakat di dalam pengelolaan sumber
daya alam;
c. Tidak berdasarkan batas administrasi tetapi berdasarkan
batas ekologi (bio-region)
6. Meningkatkan kemampuan daya dukung lingkungan
setempat dan bukan menghancurkan daya dukung ekosistem
dengan eksploitasi yang melewati daya dukung. Untuk itu
upaya strategis yang perlu segera mendapatkan pertimbangan
adalah:
a. Melakukan upaya kegiatan menciptakan suatu regulasi
yang dapat menciptakan atau merajut bersama-sama
aturan-aturan untuk dipergunakan bersama dengan segera
meninggalkan egoisme kewenangan sektoral antar daerah;
b. Kebersamaan dalam mencipta regulasi yang demikian
membuka peluang kepada semua pihak untuk tahu akan
hak dan kewajiban, tahu bersikap dan bertindak, sehingga
tercipta relasi sosial yang anggun, selaras, serasi dan
seimbang.
c. Melakukan restrukturisasi dan pengorganisasian peran-
peran sosial di dalam masyarakat dalam rangka pengelolaan
BAB VI 111
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM BERBASIS KEADILAN....
Upaya antisipatif melalui formulasi regulasi di atas,
setidak-tidaknya akan dapat memberikan harapan pada kita
bersama, untuk lebih arif dan bijak dalam menyelesaikan
konflik pengelolaan sumber daya alam. Kita menyadari
memang sering dihadapkan pada permasalahan problematik
dalam pengelolaan sumber daya alam, antara kepentingan
dan kewenangan sering kali tidak bersinergi. Untuk itu di
samping regulasi yang responsif, diperlukan penanganan
penyelesaian konflik secara win-win solution, melalui budaya
harmoni, yang titik beratnya bukan terletak pada asumsi
keutamaan formalisme kalah menang atau berwenang atau
tidak berwenang, yang akhimya menyandarkan pada
egosentris ke-aku-an dengan justifikasi yang mengedepankan
kepentingan sesaat.
BAB VI 113
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM BERBASIS KEADILAN....
BAB VII
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
88 Maxensius Tri Sambodo and Siwage Dharma Negara, Designing Conceptual Framework
and State of Energy Security in Indonesia, Jurnal Ekonomi dan Pembangunan, Vol. XX (1),
2012, Jakarta: LIPI, hal 1
89 Octavianus Hartono, Aspek Hukum Penataan Ruang Dalam Mendukung Pembangunan
Infrastruktur Bisnis, Jurnal Dialogia Juridica, Volume 3, Nomor 1, November 2011,
Jakarta: Fakultus Hukum Universitas Kristen Maranatha, hal 91
90 Elisa Ruozzi, The Obligation not to Pollute: From Corollary of State Sovereignty to the
Right to a Decent Environment, Indonesian Journal of International Law, Volume 8,
Number 1, October 2010, Jakarta: Center for International Law Studies, Faculty of
Law University of Indonesia, hal 80
91 A. Sony Keraf, Bioregionalisme: Menyatunya Ekonomi Dengan Ekologi, Jurnal Respons,
Volume 17, Nomor 01, Juli 2012, Jakarta: Pusat Pengembangan Etika Unika Atma
Jaya, hal 11
92 Sutoyo, Paradigma Perlindungan Lingkungan Hidup, Jurnal Adil, Vol. 4, No. 1, Juli 2013,
Fakultas Hukum Universitas YARSI, Jakarta, hal 192-193
a. Pro Ketertiban
Tujuan hukum yang utama adalah menciptakan
ketertiban. Hal ini bisa dikembalikan pada adagium tidak
terbantahkan dari Cicero (106-43 Sebelum Masehi) seorang
filosof Romawi yang menyatakan: ubi societas ibi ius yang
artinya: dimana ada masyarakat di sana ada hukum. Adagium
dari Cicero benar-benar tidak terbantahkan dan bisa
dimaknai dalam perspektif yuridis normatif maupun yuridis
sosiologis. Dalam perspektif yuridis-normatif, ubi societas ibi
ius memberikan makna bahwa tujuan hukum adalah untuk
menjaga ketertiban. Logika historiknya, ketika masyarakat
semakin membesar, ada kebutuhan untuk menyatukan lebih
banyak manusia dengan kehendak yang berbeda-beda.
Kesemuanya itu memerlukan kehadiran penguasa yaitu negara,
berikut sarana untuk menjamin ketertiban yaitu hukum.
113 Franz Magnis Suseno,1995, Etika Politik,Gramedia Pustaka Utama,Jakarta, hal 295
114 Dalam mewujudkan keadilan sosial yang bersifat substansial kiranya pendapat John
Stuart Mill bisa dijadikan batu uji. John Stuart Mill mengemukakan ada indikator
yang umumnya disepakati sebagai sesuatu yang tidak adil: (1) memisahkan
seseorang atau masyarakat dari hal-hal yang seharusnya dimilikinya sebagai hak
legal; (2) memisahkan manusia dari hal-hal yang seharusnya dimilikinya sebagai
hak moral; (3) menghilangkan kesempatan bagi seseorang atau masyarakat untuk
memperoleh apa yang layak diterimanya; (4) mengancam atau menekan orang lain
atau masyarakat yang tidak setara dengannya. …lihat dalam Karen Lebacqz, Six
Theories of Justice, 1986, (penerjemah: Yudi Santoso), Bandung, Penerbit Nusa Media,
hal 19-20
117 Strategi pembangunan ekonomi Indonesia saat ini sudah seharusnya bergeser,
dimulai dengan orientasi terhadap peningkatan keadilan dan pemerataan dengan
menempatkan penghapusan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja sebagai
tujuan utama pembangunan. Pangkal tolak pemikiran ini adalah bahwa kegagalan
penyelesaian masalah-masalah fundamental di negara-negara berkembang bukan
hanya disebabkan oleh kegagalan pasar, bukan pula karena kegagalan faktor
kebijakan, tetapi juga karena kegagalan institusional. Kelembagaan tersebut meliputi
undand-undang maupun produk-produk kebijakan normatif lainnya termasuk
hukum kebiasaan ….lihat dalam FX Sugiyanto, 2007, Op-Cit, hal 46-47
118 Pasal 18B UUD 1945: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur
dalam Undang- Undang.
f. Pro Lingkungan
Perlindungan lingkungan jelas merupakan syarat mutlak
kalau semua menyadari betapa pentingnya peran daya dukung
lingkungan bagi manusia dalam kondisi apapun termasuk
ketika proses perubahan sosial (dalam hal ini pembangunan)
dilaksanakan. Diakui bahwa pembangunan merupakan
proses yang tidak boleh dihindari demi menuju kemajuan
sebuah masyarakat. Pembangunan hakekatnya adalah proses
perubahan sosial yang tidak bisa dihindari. Di dunia tidak ada
yang lebih abadi, selain perubahan itu sendiri. Oleh karena
itu pembangunan tetap penting dilakukan, akan tetapi yang
harus diperhatikan adalah bahwa pelaksanaan pembangunan
itu tidak boleh mengorbankan lingkungan hidup sedemikian
rupa sehingga tidak ada lagi daya dukung lingkungan yang
akan menyangga kehidupan. Biaya hidup dan biaya sosial akan
menjadi semakin tinggi apabila lingkungan hidup dkorbankan
hanya semata-mata untuk kepentingan pembangunan.