Anda di halaman 1dari 72

UNIVERSITAS INDONESIA

POLITIK HUKUM ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM


MENCIPTAKAN PEMBANGUNAN HUKUM DI INDONESIA
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG DASAR TAHUN 1945

MAKALAH AKHIR POLITIK HUKUM

Arim Raharjo
2106781111

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER HUKUM
JAKARTA
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha esa, karena berkat rahmat dan

karunia-Nyalah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah berjudul “POLITIK

HUKUM ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM MENCIPTAKAN

PEMBANGUNAN HUKUM DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-

UNDANG DASAR TAHUN 1945” yang merupakan salah satu syarat untuk

memperoleh nilai tugas pada makalah akhir mata kuliah “Politik Hukum”

Penulis menyadari akan berbagai kekurangan atau ketidaksempurnaan dari

skripsi,yang disebabkan keterbatasan pengetahuan penulis, untuk itu berbagai kritik

dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini akan sangat

penulis harapkan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang

berkepentingan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu

penulis selama penulis menjalani pendidikan maupun dalam penyelesaian makalah

ini.

Jakarta, 9 Desember 2021

(Penulis)

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN......................................................................... 1

A. Latar Belakang Permasalahan ................................................. 1

B. Pokok Permasalahan ............................................................... 6

C. Maksud dan Tujuan Penelitian ................................................ 7

D. Kerangka Teori dan Konseptual .............................................. 8

E. Metode Penelitian .................................................................... 17

F. Sistematika Penulisan .............................................................. 24

BAB II ANALISIS POLITIK HUKUM TERHADAP ORMAS

DI INDONESIA ............................................................................. 26

A. Sistem Politik Hukum Checks And Balances Lahir Berbagai

Produk Politik........................................................................... 26

B. Ormas merupakan Lembaga Non Pemerintahan ...................... 30

C. Keberadaan Ormas dalam Pemberdayaan Politik .................... 33

BAB III ANALISIS PERAN ORMAS DALAM MENCIPTAKAN

KEAMANAN DAN PEMBANGUNAN HUKUM

BERDASARKAN UUD 1945......................................................... 36

A. Tujuan dan Fungsi Ormas Menurut Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1985.............................................................. 36

ii
B. Dinamika Hubungan Ormas dengan Negara ......................... 40

C. Budaya Demokrasi Bertumpu pada Ormas dan LSM............ 43

BAB IV PERBANDINGAN ANALISIS 1 DAN 2.................................... 47

BAB V PENUTUP .................................................................................... 64

A. Kesimpulan ............................................................................ 64

B. Saran ....................................................................................... 65

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 67

BIBLIOGRAFI .............................................................................................. 26

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Politik hukum merupakan arah pembangunan hukum yang berpijak pada

sistem hukum nasional untuk mencapai tujuan dan cita-cita negara atau

masyarakat bangsa. Hukum di Indonesia harus mengacu pada cita-cita masyarakat

bangsa, yakni tegaknya hukum yang demokratis dan berkeadilan sosial.

Pembangunan hukum harus ditujukan untuk mengakhiri tatanan sosial yang tidak

adil dan menindas hak-hak asasi manusia; dan karenanya politik hukum harus

berorientasi pada cita-cita negara hukum yang didasarkan atas prinsip-prinsip

demokrasi dan berkeadilan sosial dalam satu masyarakat bangsa Indonesia yang

bersatu, sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.

Dalam konteks politik hukum jelas bahwa hukum adalah alat yang bekerja

dalam sistem hukum tertentu untuk mencapai tujuan negara atau cita-cita

masyarakat Indonesia. Tujuan negara kita, bangsa Indonesia, adalah membentuk

atau membangun masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. 

Dalam membangun sebuah bangsa dapat dicapai melalui proses yang diawali

dengan kesadaran rakyatnya baik secara individu atau bersama kelompok

masyarakat yang berjalan dengan landasan dan tujuan yang sama. Cita-cita dalam

melaksanakan tujuan kegiatan, dan kepentingan bersama yang dibangun dengan

kesadaran dan berkelompok yang diyakini dapat memecahkan kepentingan

1
bersama dalam sebuah wadah yang populer dengan nama organisasi

kemasyarakatan (Ormas). Ormas dapat dibentuk oleh kelompok masyarakat

berdasarkan beberapa kesamaan kegiatan, profesi dan tujuan fungsi, seperti

agama, pendidikan, budaya, ekonomi, hukum dan sebagainya.

Ormas merupakan peran serta masyarakat dalam melaksanakan

pembangunan untuk memajukan kehidupan yang berkeadilan dan kemakmuran.

Keberadaan Ormas di Indonesia sebenarnya sudah terbentuk semenjak awal abad

ini dan mempunyai kedudukan paling strategis bagi proses kebangsaan Indonesia.

Membahas tentang masalah politik hukum terhadap keberadaan Organisasi

kemasyarakatan (selanjutnya disebut Ormas) dalam menciptakan keamanan dan

pembangunan hukum di Indonesia tidak lepas dari kedudukan hukum sebagai

fenomena sosial. Kedudukan tersebut saling terkait dengan sektor-sektor

kehidupan lain seperti dinamika politik yang berkembang di masyarakat. hukum

harus senantiasa melakukan penyesuaian terhadap dinamika yang ingin dicapai

oleh masyarakatnya. Politik hukum merupakan salah satu faktor yang

menyebabkan terjadinya dinamika kehidupan masyarakat.1

Politik hukum yang diterapkan Pemerintah melalui Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan lahir dari semangat

mengontrol dan merepresi dinamika organisasi masyarakat. Dalam tataran

implementasinya sumber hukum tersebut hingga saat ini masih menimbulkan pro

dan kontra. Seperti masih rancunya pengertian tentang Ormas. Konsep Ormas
1
Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstituti dan Pelaksanaannya di
Indonesia, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994, hal. 3

2
masih dianggap sebagai “wadah tunggal” organisasi organisasi yang ada

dimasyarakat. Undang undang tersebut digunakan untuk melokalisir satu

kelompok yang dianggap sejenis dalam satu wadah yang “sah” sehingga mudah

dikontrol. Selain itu, sumber hukum tersebut juga memuat ancaman pembekuan

dan pembubaran yang represif tanpa mensyaratkan proses pengadilan yang adil

dan berimbang.2

Secara lebih substansial, politik hukum Ormas dapat dirumuskan sebagai

kebijakan hukum (legal policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional

oleh pemerintah terkait dengan keberadaan Ormas sebagai kekuatan Civil Society.

Secara lebih khusus akan dikaji bagaimana politik mempengaruhi hukum

(Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan)

dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan

penegakan hukum itu. Dasar hukum keberadaan UU Ormas tidak dapat hanya

dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif atau keharusan-keharusan

yang bersifat das sollen, melainkan harus dipandang sebagai sub sistem yang

dalam kenyataan (das sein) bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik,

baik dalam perumusan materi dan pasal-pasalnya maupun dalam implementasi dan

penegakannya.3

2
Lihat penjelasan Binny Buchori, Sekjen International NGO Forum for Indonesia
Development (Infid) dalam seminar Masalah Efektifitas Ormas dalam Mendukung Sistem Demokrasi,
tanggal 17 Februari 2012 di Jakarta.
3
Dalam Disertasi ini akan dikaji tentang Politik hukum pemerintah yang akan berdampak
pada keamanan masyarakat serta penegakan hukum.Untuk lebih jelasnya masalah politik hukum dapat
dilihat tulisan Mahfud, MD, dalam bukunya Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Pustaka LP3ES.
Indonesia, 1998, hal. 1-2

3
Bagian substansial dari politik hukum Ormas ini ini akan terletak pada

bahasan mengenai teknik perundang-undangan secara interlisipliner (Ilmu hukum

yang dipadukan dengan ilmu politik dan kebijakan publik), selain penguasaan

bidang-bidang didalam sistem hukum itu sendiri, seperti hukum pidana, perdata,

bisnis dan seterusnya. Penguasaan ini terutama menyangkut keterkaitan asas-asas

yang terdapat pada masing-masing bidang hukum tersebut.4

Dalam perspektif politik hukum di Indonesia, keberadaan Ormas merupakan

bagian dari pemberdayaan politik yang dipahami sebagai proses perwujudan

kekuatan posisi dan daya tawar politik yang berintikan upaya perluasan partisipasi

massa dan penyebar luasan kebijakan dalam pengambilan kebijakan dengan

memposisikan kekuatan publik pada tempat yang semestinya dalam pengelolaan

Negara. Perkembangan politik, demokrasi,pembangunan ekonomi dan kemajuan

teknologi informasi merupakan faktorfaktor yang mendorong terus bertambahnya

jumlah Ormas di Indonesia.5

Untuk memperkuat keberadaannya, Politik hukum Ormas yang diterapkan

oleh Pemerintah setidaknya mengacu pada:

1. Pendirian Ormas /institusi publik, ini dilakukan untuk menjadi wadah yang

mengakomodir kepentingan publik.

2. Merebut ruang publik atau menciptakan ruang-ruang publik. Ruang publik

dimaksud adalah tempat bagi publik untuk mengekspresikan kebebasan dan

otonomi mereka, baik kebebasan bicara, dan berserikat dan berkumpul,

kebebasan berakal sehat dan lain-lain.


4
Ilmu hukum sebagai sebuah Ilmu murni dapat diterapkan bersama sama dengan ilmu-ilmu
sosial lain nya. Secara khusus Satjipto Rahardjo, menjelaskan tentang substansi Ilmu Hukum dalam
bukunya Ilmu Hukum, Bandung: Alumni, 1986, hal. 335.
5
Muhammad AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society, Jakart: LP3ES, 1999, hal. 6.

4
3. Penguatan gerakan sosial berupa upaya mendorong berfungsinya institusi-

institusi sosial yang tumbuh secara mandiri ditengah masyarakat untuk

menjadi wadah dan penyelaras aspirasi masyarakat.6 Ormas berperan yang

sangat besar dalam kehidupan masyarakat sebagai alternatif untuk munculnya

civil society.7

Dalam perspektif global, keberadaan politik hukum Ormas dalam

mendukung sistem keamanan dan hukum nasional dapat dilihat bahwa lemahnya

posisi Ormas (dalam istilah global disebut sebagai masyarakat sipil Global/MSG)

di tengah sistem hukum disebabkan karena adanya ketergantungan masyarakat

dan sistem pemerintah pada agen-agen yang umumnya menjadi target aksi dari

MSG, seperti World Bank, IMF dan WTO. Lemahnya posisi MSG tersebut, tidak

berarti MSG bergerak tanpa power yang cukup.

Keberadaan MSG tidak dapat dipungkiri memang ada secara fisik dalam

kehidupan masyarakat internasional. Hanya saja peran dan efektifitasnya belum

dirasakan secara merata. MSG pada dasarnya membawa agenda-agenda untuk

memperjuangkan hak individu dan umumnya bersifat baik. Posisinya yang berada

di antara negara dan pasar juga memberikan keuntungan bagi MSG dalam

berkembang. Tidak ada jaminan pasti MSG akan melemah atau punah di masa

depan, walaupun fakta yang ada sekarang mengarah kepada kemungkinan yang

pesimis. Di masa depan MSG tidak dapat dijustifikasi secara pasti karena bentuk

sistem internasional yang bersifat dinamis.

6
Eef Saefullah Fattah, 1998, Catatan atas Gagalnya Politik Orde Baru, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, hal 265 dan Zaman Kesempatan, Agenda-agenda Dasar Pasca Demokratisasi, Bandung:
Mizan, hal. 200.
7
Affan Gafar. Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2006, hal. 205.

5
Peran politik hukum dalam masyarakat madani yang berkembang di

Indonesia harus didipahami dan dikembangkan sebagai satu kesatuan sistem yang

di dalamnya terdapat elemen kelembagaan, elemen materi hukum, dan elemen

budaya hukum. Politik hukum adalah kesatuan hukum yang dibangun untuk

mencapai tujuan Negara yang bersumber dari falsafah dan konstitusi negara, di

dalam kedua hal itulah terkandung tujuan, dasar, dan cita hukum negara Indonesia.

B. Pokok Permasalahan

Rumusan masalah merupakan rincian dari beberap permasalahan yang

timbul dan akan dicari pemecahannya. Menurut Husaini, masalah adalah

kesenjangan antara sesuatu yang diharapkan (das sollen) dengan sesuatu

kenyataan (das sein). Masalah pada hakekatnya tidak pernah berdiri sendiri atau

terisolasi dengan faktor-faktor lainnya.8 Masalah selalu berkonstelasi dengan

faktor lainnya, sehingga menjadi latar belakang suatu masalah tertentu, apakah

berlatar belakang idiologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, keamanan, agama dan

sebagainya. Berdasarkan latar masalah diatas maka dirumuskan masalah

penelitian yaitu :

1. Bagaimana politik hukum terhadap organisasi kemasyarakatan di Indonesia

8
Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta: Bumi
Aksara, 1998, hal. 5.

6
2. Bagaimana peran Ormas dalam menciptakan keamanan dan pembangunan

hukum berdasarkan UUD 1945 ?

C. Maksud dan Tujuan Penelitian

1. Maksud Penelitian

Menurut Soerjono Soekanto 9 manfaat yang diharapkan dalam penelitian

ini dilihat dari dua sisi yaitu sisi akademis dan sisi praktis:

a. Dari sisi akademis

Dari sisi akademis kegunaan penelitian di samping berguna bagi

pengembangan ilmu penulis juga dapat bermanfaat bagi peneliti- peneliti

yang akan datang. Pentingnya hasil penelitian ini bagi peneliti-penelitiyang

akan datang terutama terletak pada sisi ketersediaan data awal, karakteristik

termasuk masalah-masalah yang belum mendapatkan analisis yang fokus.

b. Dari sisi praktis

Secara praktis penelitian ini berguna bagi informasi dan sekaligus solusi

yang ditawarkan kepada pihak yang berkepentingan. Beberapa hal tawaran

praktis dalam penelitian ini menyangkut mekanisme penanganan Organisasi

massa yang ada dihadapkan pada perspektif politik hukum pemerintah

dalam rangka mengantisipasi dampak di bidang keamanan dan hukum.

2. Tujuan Penelitian
9
Ibid, hal. 8.

7
Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang

didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan

untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan

menganalisisnya, kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam

terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu

pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala

bersangkutan10. Dalam proposal penelitian ini, perlu dijabarkan tujuan yang

akan dicapai yaitu :

a. Untuk mengetahui politik hukum terhadap organisasi kemasyarakatan di

Indonesia.

b. Untuk mengetahui peran Ormas dalam menciptakan keamanan dan

pembangunan hukum berdasarkan UUD 1945.

D. Kerangka Teori dan Konseptual

1. Kerangka Teori

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan

abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka dan acuan yang pada dasarnya

bertujuan mengadakan kesimpulan terhadap dimensi-dimensi. Kerangka teori

yang dimaksud di sini adalah:

a. Teori Politik Hukum

10
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia, 1981,
hal 5.

8
Secara etimogis istilah politik hukum merupakan terjemahan dari

rechtspolitiek yang terdiri atas dua kata yakni recht dan politiek. Kant

menyatakan law, in generic sense, is a body of rules of action or conduct

prescribed by controlling authority and having binding legal force. Kata

politiek mengandung arti beleid. Kata beleid sendiri dalam bahasa Indonesia

berarti kebijakan (policy). Istilah rechtspolitiek sering dirancukan dengan

politieekrecht yang berarti hukum politik. Menurut Hence van Maarseveen

istilah politieekrecht merujuk pada istilah hukum tata negara. Politik hukum

secara singkat berarti kebijakan hukum, selanjutnya dikatakan politik hukum

adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana

dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak dalam

bidang hukum. Secara etimologis politik hukum secara singkat berarti

kebijaksanaan hukum.11

Padmo Wahyono, mengatakan bahwa; politik hukum adalah kebijakan

dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang dibentuk. 12

Law is command of the lawgiver (hukum adalah perintah dari penguasa),

dalam arti perintah dari mereka yang memiliki kekuasaan tertinggi atau yang

memegang kedaulatan. Demikian John Austin, seperti dikutip oleh Lili

Rasyidi. Perdebatan mengenai hubungan hukum dan politik memiliki akar

sejarah panjang dalam ilmu hukum.


11
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, 2008, Dasar-dasar Politik Hukum, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2008, hal. 98.
12
Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, Cet. II, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1986), hal. 39.

9
Bagi kalangan penganut aliran positivism hukum seperti John Austin,

hukum adalah tidak lain dari produk politik atau kekuasaan. Pada sisi lain,

pandangan berbeda datang dari kalangan aliran sejarah dalam ilmu hukum

yang melihat hukum tidak dari dogmatika hukum dan undang-undang semata,

akan tetapi dari kenyataan-kenyataan sosial yang ada dalam masyarakat dan

berpandangan bahwa hukum itu tergantung pada penerimaan umum dalam

masyarakat dan setiap kelompok menciptakan hukum yang hidup.

Mahfud MD13mengatakan bahwa politik hukum itu merupakan legal

policy tentang hukum yang akan di berlakukan atau tidak diberlakukan untuk

mencapai tujuan Negara. Dapat di katakan pengertian politik hukum dalam

penulisan makalah ini adalah : “kebijakan” yang di ambil (ditempuh) oleh

negara (melalui lembaganya atau pejabatnya) untuk menetapkan hukum mana

yang perlu dipertahankan atau hukum mengenai apa yang perlu diatur atau di

keluarkan agar dengan kebijakan itu penyelengaraan negara dan pemerintah

dapat berlangsung dengan baik dan tertip sehingga tujuan negara (seperti

mensejahterakan rakyat secara bertahap dan terencana dapat teruwujud).

Secara sederhana dapat dirumuskan sebagai kebijakan hukum (legal

policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah.

Mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum

dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada dibelakang pembuatan dan

penegakan hukum itu. Di sini hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai
13
Mahfud.M.D. Politik Hukum di Indonesia, Cetakan I, Jakarta:Rajawali Pers, 2009, hal.16.

10
Pasal-Pasal yang bersifat imperatif atau keharusan-keharusan yang bersifat

das sollen, melainkan harus dipandang sebagai sub sistem yang dalam

kenyataan (das sein) bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik

dalam perumusan materi dan Pasal-Pasalnya maupun dalam implementasi dan

penegakannya.

Pengertian politik hukum nasional dimaksud adalah kebijakan dasar

penyelenggara negara, Republik Indonesia dalam bidang hukum yang akan,

sedang dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di

masyarakat untuk mencapai tujuan negara (Republik Indonesia) yang dicita-

citakan hukum merupakan kristalisasi kepentingan politik yang

melatarbelakangi terbitnya suatu peraturan perundang-undangan.14

b. Teori Peran

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, peran diartikan sebagai

perangkat yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan dalam

masyarakat.15 Menurut Soerjono Soekanto, “peranan (role) disebut sebagai

aspek dinamis kedudukan (status)”.16 Apabila seseorang melaksanakan hak

dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka dia telah menjalankan

suatu peranan. Keduanya sangat berkaitan dan tak dapat dipisah karena yang

14
Mahfud.M.D. Politik Hukum di Indonesia, cetakan I (Jakarta: Rajawali Pers,2009), hal.16.
15
Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2007, hal. 17.
16
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Edisi Baru, Jakarta: Rajawali Pers, 2012,
hal. 213.

11
satu tergantung pada yang lain dan begitu juga sebaliknya. Tidak ada ada

peranan tanpa kedudukan atau kedudukan tanpa peran. 

Menurut Soerjono Soekanto, kedudukan merupakan tempat seseorang

dalam suatu pola tertentu dan seseorang dapat memiliki beberapa kedudukan.

Ada dua macam kedudukan yang dikembangkan dalam masyarakat, yaitu

sebagai berikut:17

1. Ascribed status yaitu kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa

memperhatikan perbedaan-perbedaan rohaniah dan kemampuan.

Kedudukan tersebut diperolah karena kelahiran.

2. Achieved status yaitu kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan

usaha-usaha yang disengaja. Kedudukan ini tidak diperoleh atas dasar

kelahiran, tetapi bersifat terbuka bagi siapa saja, tergantung dari

kemampuan masing-masing dalam mengejar serta mencapai tujuan-

tujuannya.

Terkadang dalam masyarakat dibedakan lagi satu macam kedudukan

yaitu assignedstatus yang merupakan kedudukan yang diberikan. Assigne-

status tersebut sering mempunyai hubungan erat dengan achieved status,

dalam arti bahwa suatu kelompok atau golongan memberikan kedudukan yang

lebih tinggi kepada seseorang yang berjasa, yang telah memperjuangkan

sesuatu untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat.

17
Ibid., hal. 217

12
Perilaku individu dalam kesehariannya hidup bermasyarakat

berhubungan erat dengan peran. Hal ini disebabkan karena peran mengandung

hal dan kewajiban yang harus dijalani seorang individu dalam bermasyarakat.

Sebuah peran harus dijalankan sesuai dengan norma-norma yang berlaku juga

di masyarakat. Seorang individu akan terlihat  status sosialnya hanya dari

peran yang dijalankan dalam kesehariannya. Hubungan-hubungan sosial yang

ada dalam masyarakat merupakan hubungan antara peranan-peranan individu

dalam masyarakat.

c. Teori Organisasi Kemasyarakatan

Ormas adalah singkatan dari organisasi kemasyarakatan yaitu organisasi

yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan

kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan dan tujuan

untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan negara

Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.

Menelusuri kelahiran Undang-Undang No. 8 Tahun 1985 tentang

Organisasi Kemasyarakatan, bentuk “ormas” sendiri sesungguhnya tidak jelas

posisinya di dalam kerangka hukum karena ia adalah sebuah bentuk yang

dicari-cari untuk mengontrol dan merepresi kebebasan berorganisasi. Terkait

Ormas sendiri, aroma politik yang kental mewarnai kelahiran Undang-Undang

No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Keberadaannya

memang didesain untuk menerapkan konsep “wadah tunggal”, yaitu konsep

13
untuk menempatkan segala jenis organisasi dengan kepentingannya masing-

masing (kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, atau agama) ke dalam satu jenis

format organisasi yaitu organisasi kemasyarakatan sehingga lebih mudah

untuk dikontrol.

UU Ormas ini jelas merupakan UU yang salah kaprah dan salah arah.

Untuk itu, memang UU ini seharusnya dicabut, bukan direvisi (seperti yang

telah diusulkan oleh DPR melalui RUU Ormas). Sedikit banyak UU Ormas

ini mengalami permasalahan dalam implementasinya, mulai dari pengaturan

soal asas tunggal, berbagai mekanisme kontrol, hingga kewenangan

pembubaran. Dari penggambaran di atas dapat dilihat secara sekilas bahwa

ormas sejatinya memang lebih sebagai mahluk politik dibandingkan dengan

mahluk hukum.Dari segi hukum, Ormas sendiri sebetulnya masuk ke dalam

wilayah Perkumpulan.

RUU Ormas ini menggunakan definisi yang absurd. Di mana segala

organisasi yang bersifat nirlaba masuk kategori ormas. Dari organisasi

berdasarkan minat olahraga, seni/budaya, profesi (advokat, notaris, dokter,

wartawan, dll), hobi, keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, sosial,

kepemudaan dan sebagainya (Pasal 7, Ayat 2 RUU Ormas).Apa pun istilah

lain bagi ormas itu (lembaga swadaya masyarakat, organisasi non-pemerintah,

dan organisasi sosial, RUU Ormas memang serba mencakup. Padahal semua

pemilihan istilah tersebut tentunya memiliki alasan dan sudut pandang

tertentu.

14
e. Teori Keamanan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, keamanan nasional adalah

suatu keadaan negara atau bangsa yang aman, tentram, dan bebas dari rasa

takut/khawatir, dari ancaman dan gangguan.18

Definisi Keamanan Nasional sendiri bukan hanya mencakup masalah

keamanan secara mental tetapi juga secara fisik. Keamanan Nasional yang

berorientasi dalam negeri atau internal, biasanya identik dengan Bidang

Pertahanan Keamanan Nasional adalah lazim dimiliki bagi setiap negara.

Dalam mempertahankan persatuan dan kesadan Ketahanan negara, yang mana

konsep keamanan adalah berorientasi pada pertahanan dan ketahanan secara

militer. Namun dalam kenyataanya, isu-isu keamanan dalam negara tidaklah

selalu bersifat militer semata. Persoalan keamanan nasional maupun

internasional juga kerap berkaitan dengan aspek-aspek non militer seperti

kesenjangan ekonomi, masalah kesehatan, penyelundupan narkotika, dan

lainnya.tentunya, setiap negara harus dapat mendirikan suatu ketahanan yang

kokoh agar dapat menciptakan situasi yang aman dan terbebas dari ancaman

dan gangguan apapun. Seperti halnya yang dilakukan oleh pemerintah Uganda

yang tetap memperjuangkan bangsanya dari ancaman virus HIV/AIDS yang

mengancam keamanan nasionalnya.

18
Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Balai Pustaka, 1989, hal. 49.

15
Secara konseptual, keamanan nasional bersifat dapat diperdebatkan

(debatable), karena maknanya berbeda bagi individu kelompok, atau entitas

yang berbeda. Bahkan keamanan nasional sering disalingtukarkan dengan

keamanan rejim, penguasa atau pemerintah. Inilah sebabnya keamanan

nasional adalah sebuah konsep yang menjadi perdebatan, sebuah constested

concept, yang berakar dari persoalan legitimasi politik yaitu hubungan antara

neara dan masyarakat (state and society). Keamanan nasional yang

diperdebatkan secara politik di atas cenderung dirumuskan atas dasar

kepentingan (interest based national security) yang melibatkan interaksi

politik. 19

2. Kerangka Konseptual

Politik Hukum terhadap Ormas di Indonesia mengacu pada (1)

pendirian Ormas/institusi publik, ini dilakukan untuk menjadi wadah yang

mengakomodir kepentingan publik, (2) merebut ruang publik atau

menciptakan ruang-ruang publik dan (3) penguatan gerakan sosial berupa

upaya mendorong berfungsinya institusi-institusi sosial yang tumbuh secara

mandiri ditengah masyarakat untuk menjadi wadah dan penyelaras aspirasi

masyarakat. Peran Ormas dalam menciptakan keamanan di NKRI

berdasarkan UUD 1945 adalah sebagai penyalur aspirasi rakyat sebagaimana

tujuan dari organisasi kemasyarakatan yang dilakukan lewat hubungan


19
Hermawan Sulistyo et al., Keamanan Nasional dan Civil Society, Jakarta: Pensil-324, 2009,
hal. 64.

16
pribadi, perwakilan langsung, dan juga lewat saluran formal dan institusi

lain. Peran pemerintah dalam memperkuat Ormas dalam pembangunan

hukum berdasarkan UUD 1945 adalah melakukan pemberdayaan Ormas

untuk meningkatkan kinerja dan menjaga keberlangsungan hidup Ormas

serta melakukan mediasi dalam proses penyelesaian konflik internal

organisasi kemasyarakatan (ormas).

E. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Pada dasarnya hukum itu bersifat normatif, namun hukum tidak dapat

dipahami dengan baik tanpa menyertakan faktor-faktor sosial disekitarnya,

dengan demikian perlu juga mempelajari realitas empirik hukum terhadap

aspek masyarakat bersangkutan. Oleh karenanya, penelitian ini menggunakan

pendekatan social-legal research yaitu perpaduan antara legal research

dengan social science research,20 ditunjang dengan pendekatan yuridis

komparatif. Menurut Sunaryati Hartono,21 penggunaan pendekatan terpadu

demikian, akan memberikan bobot lebih pada suatu penelitian karena berarti

telah melakukan teknik membandingkan antara ketentuan-ketentuan hukum

yang ada dengan fakta-fakta sosial.


20
Bambang Sunggono. Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Graflndo Persada, Jakarta,
1997), hal. 103.
21
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Alumni,
Bandung, 1994, hal.14. Pendekatan yuridis sosiologis dipandang penting pula oleh Soerjono Soekanto
(dalam Soerjono Soekanlo dan R. Otje Salman, Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1996. hal.78).

17
Pendekatan legal research atau pendekatan yuridis-normatif, adalah

suatu metode dalam penelitian hukum normatif dengan mempelajari dan

mengkaji asas-asas hukum khususnya kaidah-kaidah hukum posilif yang

berasal dari bahan-bahan kepustakaan, dan peraturan perundang-undangan

serta ketentuan-ketentuan hukum terutama yang berkaitan dengan fokus

kajian penelitian, yakni hukum berkaitan dengan politik hukum organisasi

kemasyarakatan dalam menciptakan keamanan dan pembangunan hukum di

Indonesia berdasarkan UUD 1945. Pada prinsipnya penelitian dengan

pendekatan yuridis-normatif ini menggunakan sumber utama data sekunder

atau bahan pustaka. Data sekunder dimaksud meliputi bahan hukum primer,

bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

Disisi lain, untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dalam

penelitian ini, digunakan dua jenis penelitian, yaitu penelitian hukum

normatif (yuridis normatif) dan penelitian yuridis empiris:

1. Penelitian hukum normatif (yuridis normatif)22 adalah metode penelitian

hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder

belaka. Metode berpikir yang digunakan adalah metode berpikir deduktif

(cara berpikir dalam penarikan kesimpulan yang ditarik dari sesuatu yang

sifatnya umum yang sudah dibuktikan bahwa dia benar dan kesimpulan itu

ditujukan untuk sesuatu yang sifatnya khusus).23


22
C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20,
Alumni, Bandung, 1994, hal. 139
23
Sedarmayanti & Syarifudin Hidayat, Metodologi Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung,
2002, hal. 23

18
Dalam kaitannya dengan penelitian normatif di sini akan digunakan

beberapa pendekatan, yaitu :24

a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach)

b. Pendekatan Konsep (conceptual approach)

c. Metode pendekatan Yuridis Empiris

2. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu bertujuan untuk

memperoleh suatu uraian atau gambaran umum yang menyeluruh serta

menguraikan keadaan yang sebenarnya ataupun fakta dari objek penelitian

yaitu terkait politik hukum organisasi kemasyarakatan dalam menciptakan

keamanan dan pembangunan hukum di Indonesia berdasarkan UUD 1945.

Hasilnya kemudian dianalisis berlandaskan pada aturan perundang-undangan

serta pendapat para ahli dengan tujuan untuk mendapatkan jawaban atas

permasalahan yang teridentifikasi dalam penelitian ini. Dengan demikian,

penelitian ini bersifat deskriptif karena bertujuan memberikan gambaran

menyeluruh terkait politik hukum organisasi kemasyarakatan dalam

menciptakan keamanan dan pembangunan hukum di Indonesia berdasarkan

UUD 1945.

Penelitian ini juga berbentuk perskriptif karena hasil analisis

dimaksudkan juga untuk mendapatkan jawaban mengenai sebab-sebab dari

24
Johnny Ibrahim, Teori, Metode dan Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia
Publising, 2007, hal. 300

19
berbagai persoalan yang muncul,25 terkait dengan politik hukum organisasi

kemasyarakatan dalam menciptakan keamanan dan pembangunan hukum di

Indonesia berdasarkan UUD 1945. Menurut Bagir Manan26 penelitian seperti

demikian atau penelitian hukum terapan adalah suatu penelitian yang

bertujuan untuk menjawab masalah hukum atau yang berkaitan dengan hukum

dalam suatu keadaan yang konkrit.

3. Sumber Data

Penelitian yang dilakukan Peneliti, terpusat di beberapa wilayah

diantaranya adalah Provinsi Maluku Utara (Ternate), Provinsi Sulawesi Utara

(Manado) dan Nusa Tenggara Barat (Mataram). Diharapkan nantinya akan

memperoleh data yang akurat tentang Politik Hukum pemerintah terhadap

keberadaan Ormas.

Di samping itu, penelitian ini menggunakan sumber data:

25
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Yurimeteri, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1999, hal. 72.
26
Bagir Manan, Peranan Hukum dalam Pergeseran Sosial Budaya Masyarakat Memasuki Era
Reformasi, Makalah : FISIP-UNPAD, 1999.

20
1. Data primer

Yaitu data yang diperoleh langsung oleh peneliti melalui pengamatan

dan observasi di lapangan serta melalui wawancara dengan responden atau

informan. Untuk mendapatkan data primer dilakukan melalui wawancara

dengan narasumber (sering pula disebut sebagai infonnan kunci) yang

berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah disiapkan.

Pada penelitian lapangan, digunakan teknik wawancara secara

langsung dalam bentuk dialog (bebas terpimpin/tak berstruktur) maupun

dalam bentuk tertulis dengan menggunakan pertanyaan yang sifatnya

terbuka (terstruktur).

Data primer meliputi :

a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2013 tentang

Organisasi Kemasyarakatan.

b. Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2012 tentang

Pedoman Pendaftaran Organisasi Kemasyarakatan.

c. Undang-Undang No 25 tahun 2003 Tentang Sistem Perencanaan

Pembangunan Nasional.

d. Dan peraturan lainnya.

2. Data Sekunder

Yaitu data yang berasal dari literatur berupa buku-buku, laporan,

dokumen-dokumen, hasil peneliti-peneliti lain, serta sumber lain termasuk

studi media yang memiliki relevansi dengan permasalahan penelitian.

21
Jenis data kepustakaan atau data sekunder diteliti dari dua referensi utama

yaitu:

a. Bersifat umum terutama terdiri dari buku-buku teks, ensiklopedia.

b. Bersifat khusus terutama dokumen atau risalah perundang-undangan,

rancangan undang-undang, sumber hukum dari perundang-undangan

negara, serta dokumen putusan-putusan pengadilan.

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk dan

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,

antara lain: kamus dan ensiklopedia.

Pada dasarnya, bahan hukum primer, sekunder dan tersier dalam

penelitian ini diambil dari :

1. Perpustakaan Kementerian Dalam Negeri.

2. Perpustakaan Nasional Jakarta.

3. Perpustakaan Universitas Borobudur Jakarta.

4. Teknik dan Alat Pengumpulan Data

Pada intinya, analisa data sekunder dan data primer sebagaimana dalam

penelitian yang sifatnya deskriptif analisis dengan pendekatan yuridis

normatif, yuridis sosiologis, dan komparatif, maka analisis data dalam

peneiitian ini dilakukan secara kualitatif yaitu analisis data non statistik yang

disesuaikan dengan data yang dikumpulkan yaitu data deskriptif atau data

textular. Jenis data yang digunakan dalam studi baik data primer maupun data

22
sekunder umumnya berbentuk deskripsi yang terdiri dari teks atau tulisan,

kata-kata serta gambar bukannya angka-angka.

Langkah-langkah yang diambil dalam melakukan analisa data dalam

penelitian ini adalah:

1. Menelaah seluruh data yang terkumpul, dari berbagai sumber yaitu hasil

wawancara, dokumen berupa laporan, artikel, buku-buku, maupun

dari sumber lain.

2. Reduksi data, sebagai proses pemusatan perhatian dengan melakukan

pemilihan dan penyederhanaan. Melakukan abstraksi dan transformasi

data kasar yang telah terkumpul. Abstraksi sebagai usaha membuat

rangkuman inti dari pernyataan-pemyataan yang perlu dijaga sehingga

tetap berada didalamnya.

Dengan melakukan reduksi data, peneliti dapat menggolongkan,

mengarahkan dan mengorganisasikan data sehingga dapat diambil

kesimpulan. Langkah ini dilakukan untuk menjelaskan hubungan-hubungan

yang muncul dari data yang terkumpul, berdasarkan kategori-kategori yang

telah dilakukan. Interpretasi data dilakukan secara terpadu, beriringan dengan

dilakukannya analisis data.

5. Teknik Analisis Data

Untuk memeriksa validasi data digunakan teknik triangulasi baik

melalui sumber maupun metoda. Teknik triangulasi dilakukan dengan

23
mengadakan komparasi data dengan sumbernya, untuk mengestimasi

perbedaan dan persamaan pandangan berdasarkan kualifikasi, situasi sumber

saat penyampaian data dan kesesuaiannya dengan dokumen yang menjadi data

penelitian. Teknik triangulasi data melalui sumber ini, pada intinya teknik

memanfaatkan sumber data lain sebagai pembanding dengan cara, antara lain:

1. Membandingkan antara data hasil wawancara dengan data hasil

observasi.

2. Membandingkan antara pernyataan informan/responden di depan

umum dengan pernyataan mereka secara pribadi.

3. Membandingkan antara hasil wawancara maupun hasil observasi

dengan isi dokumen berkaitan (data sekunder)

F. Sistematika Penulisan

Bab I. Pendahuluan

Bab ini menjelaskan tentang latar belakang permasalahan, pokok

permasalahan, maksud dan tujuan penelitian, kerangka teori dan

konseptual, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II. Analisis Politik Hukum Terhadap Ormas di Indonesia

Bab ini memaparkan secara mendalam dan tajam tentang anaisis

politik hukum terhadap ormas di Indonesia.

24
Bab III. Analisis Peran Ormas Dalam Menciptakan Keamanan dan

Pembangunan Hukum Berdasarkan UUD 1945

Bab ini membahas tentang analisis peran ormas dalam menciptakan

keamanan dan pembangunan hukum berdasarkan UUD 1945.

Bab IV. Perbandingan Analisis 1 Dan 2

Bab ini membahas mengenai perbandingan dari analisis 1 dan 2 yaitu

anaisis politik hukum terhadap ormas di Indonesia dan analisis peran

ormas dalam menciptakan keamanan dan pembangunan hukum

berdasarkan UUD 1945.

BAB V. Penutup

Bab lima ini menjelaskan tentang kesimpulan dan saran.

25
BAB II

ANALISIS POLITIK HUKUM TERHADAP ORMAS DI INDONESIA

A. Sistem Politik Hukum Checks And Balances Lahir Berbagai Produk Politik

Pengaruh kekuatan-kekuatan politik dalam membentuk hukum dibatasi

ruang geraknya dengan berlakunya sistem konstitusional berdasarkan checks and

balances, seperti yang dianut Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) setelah

perubahan. Jika diteliti lebih dalam materi perubahan UUD 1945 mengenai

penyelenggaraan kekuasaan negara adalah mempertegas kekuasaan dan

wewenang masing-masing lembaga-lembaga negara, mempertegas batas-batas

kekuasaan setiap lembaga negara dan menempatkannya berdasarkan fungsi-

fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap lembaga negara. Sistem yang

demikian disebut sistem “checks and balances” yaitu pembatasan kekuasaan

setiap lembaga negara oleh undang-undang dasar, tidak ada yang tertinggi dan

tidak ada yang rendah, semuanya sama diatur berdasarkan fungsi-fungsi masing-

masing.

Sistem politik hukum checks and balances lahir berbagai produk politik

yang berupa kebijakan politik dan peraturan perundang-undangan dilahirkan.

Dalam kerangka paradigmatik yang demikianlah produk politik sebagai sumber

hukum sekaligus sebagai sumber kekuatan mengikatnya hukum diharapkan

sebagaimana yang dianut aliran positivis, di mana mengakomodir segala

kepentingan dari berbagai lapirsan masyarakat, nilai-nilai moral dan etik yang

26
diterima umum oleh masyarakat. Sehingga apa yang dimaksud dengan hukum

adalah apa yang ada dalam perundang-undangan yang telah disahkan oleh

institusi negara yang memiliki otoritas untuk itu. Nilai-nilai moral dan etik

dianggap telah termuat dalam perundang-undangan itu karena telah melalui

proses partisipasi rakyat dan pemahaman atas suara rakyat. Dalam hal produk itu

dianggap melanggar norma-norma dan nilai-nilai yang mendasar yang dihirmati

oleh masyarakat dan merugikan hak-hak rakyat yang dijamin konstitusi, maka

rakyat dapat menggugat negara (institusi) tersebut untuk mebatalkan peraturan

yang telah dikeluarkannya dan dinyatakan tidak berlaku. Dengan demikian nilai

moral dan etik, kepentingan-kentingan rakyat yang ada dalam kenyataan-

kenyataan sosial tetap menjadi hukum yang dicita-citakan yang akan selalui

mengontrol dan melahirkan hukum positif yang baru melalui proses perubahan,

koreksi dan pembentukan perundangan-undangan yang baru.

Perlu dipahami bahwa kerangka hukum yang ada untuk organisasi

kemasyarakatan di Indonesia terbagi menjadi 2 (dua) jenis.Untuk organisasi

tanpa anggota, hukum Indonesia menyediakan jenis badan hukum Yayasan yang

diatur melalui Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan

(selanjutnya disebut UU Yayasan). Sementara untuk organisasi yang berdasarkan

keanggotaan, hukum Indonesia menyediakan jenis badan hukum Perkumpulan

yang masih diatur dalam peraturan Stb. 1870-64 tentang Perkumpulan-

Perkumpulan Berbadan Hukum.

27
Di Indonesia, perkumpulan jenis ini kerap disebut dengan Perhimpunan,

Ikatan, Persatuan, Perkumpulan, dll. Kedudukan badan hukum dari Perkumpulan

tersebut diperoleh sesudah ada pengakuan dari Menteri Kehakiman (konteks

terkini Menteri Hukum dan HAM). Pengesahan dilakukan oleh Menteri dengan

menyetujui anggaran dasar Perkumpulan yang memuat maksud tujuan, azas-azas,

lapangan pekerjaan, dsb.Menteri dapat menolak jika ada alasan yang

bertentangan dengan kepentingan umum dengan memuat segala alasan

penolakan dalam keputusannya.

Stb 1870-64 ini sebenarnya mengenai Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan

Hukum. Namun demikian Stb 1870-64 ini tetap mengenal dan mengakui

Perkumpulan yang tidak berbadan hukum (Pasal 8). Contoh yang bisa kita ambil

seperti forum Majelis Taklim, Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK),

Karang Taruna, bahkan kemunculan fans club atau komunitas tertentu

berdasarkan hobi, termasuk salah satu diantaranya. Rezim hukum terhadap

perkumpulan inipun masih diberlakukan hingga kini, berdasarkan Aturan

Peralihan UUD 1945.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan,

maka dapat terlihat jelas tentang arti dan fungsi daripada ormas-ormas yang

keduanya tetap hidup dalam wadah yang satu yaitu Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Baik ormas

maupun orpol juga bergerak dalam lingkup yang sama dan satu, yaitu masyarakat

Indonesia yang telah memiliki pandangan hidupnya sendiri yaitu Pancasila.

28
Keberadaan ormas mendapat jaminan konstitusional. Terdapat jaminan,

setiap individu dan kelompok untuk mendirikan organisasi. Hal ini secara tegas

ditentukan dalam konstitusi UUD 1945 sesudah amandemen maupun

sebelumnya. Pasal 28 UUD 1945 menentukan adanya jaminan “Kemerdekaan

berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan

sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.

Selanjutnya, Pasal 28E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, mengatur bahwa

“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan Keberadaan

organisasi..., mengeluarkan pendapat”. Konstitusi juga menentukan bahwa hak

tersebut lebih lanjut diatur dengan undang-undang (UU). Oleh karena itu, penting

untuk memeriksa peraturan perundangundangan yang mengatur tentang

pendirian/pembentukan, pengelolaan dan pembubaran organisasi masyarakat

sipil. Berorganisasi sebagai implementasi dari hak berserikat dan berkumpul

karena untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang tidak dapat dicapai jika tidak

bergabung dalam suatu perkumpulan.

Dalam hal keberadaan ormas di Indonesia dalam kerangka integritas Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seperti yang diatur dalam ketentua

konstitusi sebelum dan sesudah amandemen mempunyai tujuan dan kepentingan

tertentu itu sesuai dengan tujuan nasional. Bentuk organisasi masyarakat sipil

banyak sekali berbentuk organisasi kemasyarakatan atau sering disebut dengan

ormas yang lebih lanjut diatur dalam UU No. 17 Tahun 2013.

29
B. Ormas merupakan Lembaga Non Pemerintahan

Ormas merupakan lembaga non pemerintahan yang keberadaannya sangat

diperlukan dalam sebuah negara demokrasi dan berfungsi sebagai salah satu

wadah untuk menyalurkan pendapat dan pikiran anggota masyarakat warga

negara Republik Indonesia. Meski ketentuan ini bersifat universal, tetapi dalam

implementasinya orang berkewarganegaraan asing dan Warga Negara Indonesia

tidak mungkin dipersamakan haknya, dalam meningkatkan keikutsertannya

secara aktif gunamewujudkan masyarakat adil dan makmur.

Pemerintah memandang Ormas sebagai organisasi yang dibentuk anggota

masyarakat secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama,

dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Keberadaan organisasi

kemasyarakatan ini dimaksudkan sebagai penyaluran anggotanya dalam berperan

serta dalam pembangunan, dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam

kerangka NKRI. Dengan demikian ormas dapat disebut sebagai suatu bentuk

pengejawantahan suatu hubungan antar individu sebagai suatu anggota organisasi

tersebut dalam mewujudkan kepentingan dirinya dalam suatu organisasi tersebut

atau pada masyarakat luas.

Scott juga menambahkan elemen batasan-batasan organisasi dalam definisi

asli dari organisasinya tersebut yang kemudian menjadi komponen penting dalam

pembangunan konseptualisasi organisasi. Dengan demikian maka pengertian

umum yang dikemukakan Etzioni dan Scott mengenai organisasi itu dapat

disimpulkan sebagai sebuah kolektivitas atau perkumpulan dengan batas-batas

30
relatif yang dapat diidentifikasi berdasarkan tatanan normatif (peraturan), jajaran

otoritas (hirarki), sistem komunikasi, koordinasi dan keanggotaan sistem

(prosedur), kolektivitas ini mempunyai landasan relatif terus menerus dalam

suatu lingkungan, dan terlibat dalam aktivitas yang biasanya terkait dengan

serangkaian tujuan, kegiatan memiliki hasil bagi anggota organisasi, untu

organisasi itu sendiri, dan untuk masyarakat.

Berdasarkan definisi teori organisasi tersebut maka konsep umum terhadap

organisasi itu juga melekat secara yuridis dalam pengertian ormas dalam Pasal 1

UU No. 17 Tahun 2013 tentang Ormas. Dalam hal ini mengindikasikan adanya

kesamaan kepentingan masing-masing individu yang dalam hubungannya antar

anggota dan atau antar ormas yang pastinya ada sistem komunikasi, koordinasi

dankeanggotaan sistem (prosedur) di dalamnya.

Peran serta ormas itu tampak pada aktivitasnya terhadap lingkungan

masyarakat sesuai dengan ruang lingkupnya yang hasil kegiatan ormas tersebut

berguna bagi individu anggota ormas, ormas itu sendiri dan bahkan masyarakat.

Batas-batasnya adalah semua kegiatan itu dilakukan untuk mewujudkan tujuan

nasional danberdasarkan Pancasila.

Kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran

sebagaimana diakui dan dijamin dalam UUD 1945 (khususnya Pasal 28) adalah

bagian dari HAM. Adanya pengakuan dan penjaminan HAM dalam UUD 1945

apalagi dalam UUD 1945. Setelah Perubahan Pertama dan Kedua Tahun 2000

menunjukan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah sebagai

31
sebuah negara demokrasi. Untuk menumbuhkan dan mengembangkan kehidupan

berdemokrasi dan ber-HAM, diperlukan pemberdayaan Ormas dan LSM sebagai

salah satu pilar demokrasi di tingkat infrastruktur politik (kehidupan politik di

tingkat masyarakat) dalam sistem politik Indonesia.27

Keberadaan Organisasi kekuatan sosial politik dalam hal ini partai politik,

bukanlah merupakan satu-satunya implementasi dari kemerdekaan berserikat dan

berkumpul. Di samping organisasi kekuatan sosial politik masih ada organisasi

lainnya yang tak kalah pentingnya yaitu Ormas. Karena Ormas ini dapat

dijadikan sarana untuk mengeluarkan pendapat dan pikiran bagi anggota

masyarakat dan mempunyai peraturan yang sangat penting dalam meningkatkan

keikutsertaan secara aktif seluruh lapisan masyarakat dalam rangka mencapai

tujuan nasional.

Berdasarkan ketentuan tersebut maka ciri utama dari ormas adalah

kesukarelaan dalam keanggotaan dan pembentukannya. Sifat kekhususan dalam

keanggotaan dan pembentukannya adalah istilah ‘ormas’ disini jelas berbeda dari

istilah ‘ormas’ yang biasa dipakai sebelumnya. Disini ormas diidentikkan dengan

organisasi kemasyarakatan dalam arti luas, yang dibedakan dari organisasi partai

politik. Sedangkan sebelumnya ormas tersebut mempunyai konotasi sebagai

organisasi massa yang dibedakan dari organisasi kader yang stelsel

keanggotaannya tidak berorientasi pada jumlah massa.

27
Jimly Asshiddigie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstituti dan Pelaksanaannya di
Indonesia, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994, hal. 48.

32
Konsep Ormas masih dianggap sebagai “wadah tunggal” organisasi

organisasi yang ada dimasyarakat. Undang undang tersebut digunakan untuk

melokalisir satu kelompok yang dianggap sejenis dalam satu wadah yang “sah”

sehingga mudah dikontrol. Selain itu, sumber hukum tersebut juga memuat

ancaman pembekuan dan pembubaran yang represif tanpa mensyaratkan proses

pengadilan yang adil dan berimbang.

Bagian substansial dari politik hukum Ormas ini ini akan terletak pada

bahasan mengenai teknik perundang-undangan secara interlisipliner ( Ilmu

hukum yang dipadukan dengan ilmu politik dan kebijakan publik ), selain

penguasaan bidang-bidang didalam sistem hukum itu sendiri, seperti hukum

pidana, perdata, bisnis dan seterusnya. Penguasaan ini terutama menyangkut

keterkaitan azas-azas yang terdapat pada masing-masing bidang hukum tersebut.

C. Keberadaan Ormas dalam Pemberdayaan Politik

Dalam perspektif politik hukum di Indonesia, keberadaan Ormas

merupakan bagian dari pemberdayaan politik yang dipahami sebagai proses

perwujudan kekuatan posisi dan daya tawar politik yang berintikan upaya

perluasan partisipasi massa dan penyebar luasan kebijakan dalam pengambilan

kebijakan dengan memposisikan kekuatan publik pada tempat yang semestinya

dalam pengelolaan Negara. Perkembangan politik, demokrasi, pembangunan

33
ekonomi dan kemajuan teknologi informasi merupakan faktorfaktor yang

mendorong terus bertambahnya jumlah Ormas di Indonesia.28

Salah satu persoalan yang menjadi fokus perhatian dalam pemberdayaan

Ormas di Indonesia adalah realitas masih rendahnya kesadaran hukum Ormas

untuk mendaftar di Instansi Pemerintah yang ditunjuk. Sebuah realitas yang

diyakini bukan sekedar sebuah produk kultur yang melekat dalam kehidupan

masyarakat, tetapi memiliki korelasi signifikan dengan kebijakan politik hukum

pemerintahan yang kurang memberi ruang kesempatan kepada mayarakat untuk

turut serta berpartisipasi dalam pembangunan.29

Keberadaan Ormas dapat diartikan sebagai Organisasi sosial yang berbasis

masyarakat (massa). Menurut Bentley dalam Varma kelompok sosial dinyatakan

sebagai suatu aktifitas massa dan bukannya suatu kumpulan manusia. Kelompok

didefinisikan sebagai suatu porsi manusia tertentu dalam suatu masyarakat yang

diambil bukan sebagai suatu massa fisik yang terpisah dari massa manusia lain,

tetapi sebagai suatu massa tindakan, yang tidak menutup kemungkinan orang-

orang yang berpartisipasi di dalamnya untuk berpartisipasi juga dalam aktifitas-

aktifitas kelompok lain. Kelompok menjadi suatu aktifitas dari massa, namun

yang menjadi pertanyaan adalah apa yang menggerakkan aktifitas ini.

Faktor kepentinganlah yang mendorong terbentuknya jalinan aktifitas

individu-individu sehingga terbentuk kelompok. Interaksi suatu kelompok


28
Muhammad AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society, Jakarta: LP3ES, 1999, hal. 6.
29
Jalaluddin Rahmat, 2000, Rekayasa Sosial, Bandung: PT Remaja Rosda Karya. Juga
pembahasan tentang kesadaran hukum dapat dilihat dari tulisan John J. Macionis, 2000 , Society, the
basics, Fifth edition, Saddle river : Pratice Hall.

34
dengan kelompok lainnya dilandaskan pada kepentingan atau berbagai

kepentingan yang telah disadari oleh segenap warga kelompok. Kepentingan

diartikan sebagai sikap bersama dari warga suatu kelompok mengenai satu atau

beberapa tuntutan yang selayaknya dilakukan terhadap kelompok lainnya dalam

masyarakat.30

Selain kekuatan politik, terdapat kekuatan lainnya yang memberikan

kontribusi dan mempengaruhi Politik hukum Pemerintah terhadap Ormas.

Kekuatan tersebut adalah kelompok kepentingan dan Sistem politik yang

dijamin dan diakui keberadaan dan perannya menurut ketentuan hukum sebagai

negara yang menganut sistem demokrasi, seperti kalangan pengusaha, tokoh

ilmuan, kelompok organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, tokoh agama,

lembaga swadaya masyarakat dan lain-lain.

Ketiga faktor tersebut (proses politik, kelompok kepentingan, sistem

politik) akan semakin berkembang sejalan dengan kompleksnya tuntutan

masyarakat, baik gerakan masyarakat maupun kelompok kepentingan yang lain

memperlakukan organisasi sebagai salah satu sarana perjuangan untuk mencapai

tujuan atau sasaran yang disepakati.

BAB III

30
Arbi Sanit, Swadaya Politik Masyarakat, Jakarta: CV. Rajawali, 1985, hal. 35

35
PERAN ORMAS DALAM MENCIPTAKAN KEAMANAN DI NEGARA

KESATUAN REPUBLIK INDONESIA BERDASARKAN UUD 1945

A. Tujuan dan Fungsi Ormas Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985

Tujuan dan fungsi Ormas menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1985

tentang Ormas mempertegas bahwa Ormas menjadi sangat penting dalam

mempermudah kerja pemerintah dalam pencapaian tujuan Negara. Ormas dapat

menjadi agen pemerintah dalam melaksanakan program-program pemerintah

dalam berbagai hal terutama dalam konteks pemberdayaan masyarakat. Dalam

perspektif politik Ormas merupakan kelompok kepentingan, kelompok

kepentingan menjadi bersifat politis jika melakukan tuntutan kepada lembaga-

lembaga pemerintah. Individu menjadi penting secara politik jika dia menjadi

bagian dari suatu kelompok kepentingan. Kelompok ini akan menjadi jembatan

penting antara individu dengan pemerintah.31

Haryanto 32 menjelaskan bahwa kelompok kepentingan merupakan suatu

organisasi yang terdiri dari sejumlah orang yang memiliki kesamaan

kepentingan, keinginan, sifat, dan tujuan yang sepakat mengoranisasikan diri

untuk melindungi dan mencapai tujuan tersebut. Adapun jenis-jenis kelompok

kepentingan yaitu, (1) Kelompok kepentingan anomik yaitu kelompok yang

terbentuk secara spontan, (2) kelompok kepentingan non-assosiasional di mana


31
S. Kusumanegara, Model dan Aktor Dalam Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta. Gava Media,
2010, hal. 49.
32
Haryanto, Sistem Politik Suatu Pengantar, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1982, hal. 124.

36
kelompok ini jarang terorganisir dengan rapid an kegiatannya bersifat

kadangkala, (3) kelompok kepentingan institusional yaitu kelompok yang

bersifat formal dan memilki fungsi-fungsi politik dan sosial lain disamping

atikulasi kepentingan, (4) kelompok kepentingan assosiasional yaitu kelompok

kepentingan yang terasosiasi dengan baik dan rapid an punya program-program

yang jelas sesuai dengan kepentingan kelompok.

Mengacu pada pembagian kelompok kepentingan diatas maka Ormas

masuk pada kategori ke empat yaitu kelompok kepentingan assosiasional,

kelompok ini meliputi serikat buruh, kamar dagang atau perkumpulan usahawan

dan industrilis, kelompok-kelompok agama dan lainnya. Ormas di Indonesia

memiliki basis yang berbeda-beda, maka dalam kategori ini ada dua kelompok

Ormas yaitu Ormas yang berbasis keagamaan dan Ormas berbasis Nasionalis.

Civil society atau masyarakat madani merupakan bentuk masyarakat yang

didambakan oleh Negara apalagi bagi Negara yang meniscayaakan sebuah

sistem demokrasi. Civil society digambar sebagai sebuah konsep dimana adanya

ruang yang cukup luas untuk individu dan kelompok dalam masyarakat dapat

saling berinteraksi dengan sangat toleransi. Di dalam ruang tersebut, masyarakat

dapat melakukan partisipasi dalam pembentukan kebijaksaan publik dalam suatu

Negara Pendapat lain menekankan makna civil society pada keadaan masyarakat

yang telah mengalami pemerintahan yang terbatas, kebebasan, ekonomi pasar,

dan timbulnya asosiasi-asosiasi masyarakat yang mandiri, di mana satu sama

lainnya saling menopang. Di samping itu, ada pula pandangan yang member

37
makna pada civil society sebagai sebuah masyarakat yang memiliki peradaban

(civility) yang dibedakan dari masyarakat yang tidak beradab.33

Inilah kondisi masyarakat yang berdaya yang mesti diwujudkan oleh

pemerintah agar proses demokrasi dapat berjalan dan berfungsi secara baik.

Namun situasi yang digambarkan diatas agak berbeda secara empirik. Tingkat

kemiskinan, pengangguran dan dibatasinya ruang politik masyarakat

membuktikan bahwa masih belum berdaya padahal ada banyak program-

program pemberdayaan yang telah dirancang oleh pemerintah bahkan telah

diimplementasikan namun program-program tersebut belum dapat mencapai

tujuan dan harapan yang telah dirumuskan bahkan cenderung gagal padahal tidak

sedikit biaya yang sudah dikeluarkan oleh Negara untuk menunjang program-

program tersebut.

Kegagalan program pemerintah bidang pemberdayaan inilah akhirnya

banyak menarik perhatian para pakar untuk merumuskan sebuah strategi agar

kebijakan-kebijakan dan program tersebut dapat di implementasikan dengan

maksimal, setidaknya tepat sasaran dan berdampak positif bagi masyarakat.

Akhirnya muncul satu asumsi bahwa pemerintah mesti berbagi tugas dengan

badan-badan lain yang dapat menjadi wakil pemerintah untuk menjalankan

fungsi dan programnya tersebut. Dalam konteks inilah Peran Ormas menjadi

penting. Sebagai sebuah organisasi yang dibentuk oleh masyarakat, dan punya

33
A. Gaffar, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002,
hal. 42.

38
agenda sosial yang jelas bahkan telah diamanahi oleh Undang-undang dengan

fungsi pemberdayaan sudah menjadi sebuah keniscayaan untuk memperkuat

ormas dalam melaksanakan fungsi pemberdayaan kepada masyarakat.

Mengacu pada tujuan dan fungsi Ormas menurut Undang-Undang No. 8

Tahun 1985 tentang Ormas dalam pemberdayaan mestinya ormas memainkan

berbagai macam peranan dalam proses pembangunan sebuah Negara,

diantaranya mengidentifikasi tiga jenis peranan yang dapat dimainkan, yaitu :

1. Mendukung dan memberdayakan masyarakat pada tingkat ‘grassroots’, yang

sangat esensial, dalam rangka menciptakan pembangunan yang

berkelanjutan.

2. Meningkatkan pengaruh politik secara meluas, melalui jaringan kerjasama,

baik dalam suatu Negara ataupun dengan lembaga-lembaga internasional

lainnya

3. Ikut mengambil bagian dalam menentukan arah dan agenda pemerintah.

Dari beberapa rumusan diatas maka, dapat dibuktikan bahwa peran ormas

dalam masyarakat cukup penting. Keberadaan Ormas dalam sebuah Negara

demokrasi juga dijadikan tolak ukur bagi sebuah proses demokrasi. Oleh karena

itu Ormas mestinya memperkuat pengaruhnya dalam Negara, sehingga ormas

akan dapat menjadi cerminan masyarakat dalam setiap proses kebijakan

pemerintah, adapun Ormas yang dapat secara efektif mampu menjadi mitra dan

punya pengaruh dalam proses kebijakan pemerintah adalah yang memmiliki ciri-

ciri sebagai berikut ; (1) Ormas yang Jumlah anggotanya atau massa

39
organisasinya secara jumlah sangat banyak (2) Memiliki Sumber keuangan atau

kekayaan atau amal usaha yang banyak (3) Punya aturan main yang jelas, displin

dan konsisten (4) Kepemimpinan yang kuat (5) Memiliki akses ke pembuat

keputusan.

B. Dinamika Hubungan Ormas dengan Negara

Dinamika hubungan Organisasi Kemasyarakatan dengan negara mengalami

pasang surut, terkadang harmonis tapi tidak jarang Organisasi Kemasyarakatan

dikekang kebebasannya dan diintervensi oleh kekuasaan, sebagaimana yang

terjadi pada masa Orde Baru. Di sisi lain, kemunculan Organisasi

Kemasyarakatan yang begitu semarak saat ini di tengah masyarakat dengan

segala kompleksitas menyangkut legalitas pendirian, pengelolaan organisasi dan

keuangan, hubungan dengan Organisasi Kemasyarakatan lain maupun dengan

negara, serta semakin banyaknya Organisasi Kemasyarakatan asing di Indonesia

menuntut adanya aturan hukum yang lebih baik.

Sebenarnya konstitusi negara telah menjamin kebebasan warga negara

untuk berserikat dan berkumpul, melakukan kegiatan bersama untuk

menyampaikan aspirasi yang tetap dalam tertib hukum negara melalui berbagai

wadah keorganisasian atau perkumpulan atau ikatan. Adapun yang menjadi dasar

pemikiran dan legalisasi keberadaan Organisasi Kemasyarakatan seperti tersebut

diatas diatur dalam Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28E ayat (3) UUD

1945, UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU tentang

Organisasi Kemasyarakatan) dan peraturan pelaksananya yakni PP No. 18 Tahun

40
1986 tentang Pelaksanaan UU tentang Organisasi Kemasyarakatan, dalam

perundang-undangan lain yang terkait seperti Staatsblad 1870-64 tentang

Perkumpulan, UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan jo. UU No. 28 Tahun

2004 tentang Perubahan UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, UU No. 40

Tahun 2009 tentang Kepemudaan, UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran, dan lain-lain.

Akan tetapi kondisi di lapangan yang terjadi kebebasan tanpa batas yang

menimbulkan fenomena anarkisme dalam masyarakat sejak reformasi tahun

1998. Anarkisme itu sering dibiarkan oleh aparat Kepolisian atau setidaknya

karena kelemahan yang bersifat melembaga yang dalam menghadapi berbagai

demonstrasi atau aksi yang dilakukan oleh Organisasi Kemasyarakatan untuk

menolak kebijakan pemerintah. Hal tersebut dinilai banyak pihak karena UU No.

17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan saat ini dianggap tidak

mampu menutup celah dinamika Organisasi Kemasyarakatan yang begitu intens

tersebut.

Sejumlah laporan menyatakan masih ditemukan adanya Organisasi

Kemasyarakatan asing yang melakukan pelanggaran, bahkan ada yang

terindikasi terlibat dalam tindak pidana pencucian uang. Selama ini banyak

Organisasi Kemasyarakatan asing yang programnya tidak sesuai dengan prinsip

pembangunan nasional. Bahkan cenderung kontraproduktif. Pengaturan

Organisasi Kemasyarakatan asing merupakan salah satu kelemahan UU tentang

41
Organisasi Kemasyarakatan yang tidak menyingung sama sekali mengenai hal

tersebut.

Penyempurnaan undang-undang dan peraturan hukum yang berkaitan

dengan Organisasi Kemasyarakatan sangat diperlukan demi kepentingan umum

dan memberikan perlindungan bagi Organisasi Kemasyarakatan sendiri.

Sebagaimana dinyatakan undang-undang perlu ada di dalam semua masyarakat

yang terbuka untuk menjamin dan melindungi kebebasan berpendapat, berserikat

dan berkumpul secara damai bagi seluruh warga negara.

Pada saat yang bersamaan, juga harus ada hukum yang melindungi publik

dari kemungkinan penyalahgunaan Organisasi Kemasyarakatan. Pengaturan

Organisasi Kemasyarakatan harus mencerminkan keseimbangan antara hak-hak

individual untuk melaksanakan kebebasannya dan kebutuhan perlindungan

kepentingan umum Organisasi Kemasyarakatan sebagai wadah bagi masyarakat

untuk berserikat dan berkumpul merupakan salah satu hak asasi manusia yang

terdapat dalam instrumen-instrumen HAM, dimana kebebasan untuk berserikat

dan berkumpul serta mengeluarkan pendapat dikenal sebagai tiga kebebasan

dasar yang merupakan bagian dari konsep hak-hak asasi manusia, terutama

dalam rumpun hak sipil dan politik.

C. Budaya Demokrasi Bertumpu pada Ormas dan LSM

42
Dalam mengembangkan budaya demokrasi yang bertumpu pada ormas dan

LSM ternyata masih ditemukan berbagai kendala diantaranya keterbatasan

tentang pemahaman demokrasi dan pengabaian cita-cita kebangsaaan

sebagaimana tercantum dalam UUD 1945, dan maraknya sikap promodialisme,

sekretarianisme dan golongan-isme bisa mewarnai berbagai kelompok, tak

terkecuali ormas dan LSM. Sehingga situasi semacam itu akan sulit

membangkitkan kesadaran masyarakat untuk cinta tanah air. Di sisi lain, guna

mengantisipasi itu sangat diharapkan sinergitas Ormas dan LSM dalam

melakukan koordinasi dengan aparat penegak hukum.

Selain itu, persoalan kantibmas adalah menjadi tanggungjawab berbagai elemen

masyarakat dan termasuk didalamnya peran Ormas dan LSM untuk ikut

berpartisipasi kuat menciptakan situasi kemanan, kenyamanan dan ketertiban

masyarakat.

Menyikapi hal tersebut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang

Organisasi Kemasyarakatan tidak mengatur secara tegas apabila organisasi

kemasyarakatan melakukan tindakan yang mengganggu ketertiban, keamanan dan

kenyamanan, menerima dan memberi bantuan kepada pihak asing tanpa

persetujuan pemerintah dan merugikan kepentingan bangsa dan negara diberikan

sanksi hanya pembekuan dan pembubaran dengan tata cara diatur dalam

Peraturan Pemerintah. Kemudian menurut Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun

1986 sebagai pelaksanaan atas undang-undang ini mengatur hal yang sama, yaitu

sanksi apabila Organisasi Kemasyarakatan melakukan tindakan yang

43
mengganggu ketertiban, keamanan dan kenyamanan, menerima dan memberi

bantuan kepada pihak asing tanpa persetujuan pemerintah dan merugikan

kepentingan bangsa dan negara diberikan sanksi tindakan pembekuan dan

pembubaran, pengaturan hanya lebih rinci dimulai dengan teguran secara tertulis,

mengakui kesalahan dan berjanji tidak mengulanginya dalam waktu 3 bulan jika

memenuhi syarat tersebut dapat melakukan kegiatan kembali. Artinya hukuman

berat hanya teguran tertulis dan harus memperbaiki kesalahan saja. Organisasi

Masyarakat diberi tempat oleh pemerintah sebagai sarana untuk menyalurkan

pendapat dan pikiran bagi anggota masyarakat, sehingga mempunyai peranan

yang penting dalam meningkatkan keikutsertaan secara aktif seluruh lapisan

masyarakat dalam mewujudkan cita-cita berkeadilan dan berkemakmuran sesuai

dengan Pancasila dan UUD 1945.

Salah satu yang tersisa dalam laju transisi demokrasi Indonesia saat ini adalah

ketidaksiapan masyarakat dalam menghadapi perbedaan pendapat ketika

menghadapi persoalan bangsa. Terbiasa dengan satu pandangan dan sikap

dominan pemerintah, ‘masyarakat baru’ reformasi, kini dikejutkan dengan

kenyataan bahwa satu prinsip tertentu dapat disikapi dengan berbagai pendapat.

Tak jelas benar dari mana datangnya ide dan nafsu untuk memberangus ormas-

ormas yang ada dan legal. Satu sikap dan cara yang sejak zaman orde baru

ditentang, kini seolah mendapat kembali legalisasi hukumnya. Uniknya sikap

inipun didasarkan pada nilai demokrasi. Demokrasi, tak boleh anarki. Dan

44
karenanya, harus ada seperangkat cara untuk memberangus keberadaan ormas

yang dinilai meresahkan masyarakat. Cara pandang ini, tak sepenuhnya salah.

Memang semestinya harus ada cara yang tepat untuk menutup sebuah

organisasi yang dirasakan sangat tidak sesuai dengan dasar-dasar satu negara.

Sekalipun begitu, cara ini –jika tak dikelola dengan baik dan hati-hati akan dapat

berimplikasi serius dan bahkan dapat mengancam kehidupan demokrasi itu

sendiri. Lebih-lebih pemberangusan tersebut diserahkan sepenuhnya ke tangan

pemerintah. Satu sikap yang bukan saja mundur tetapi juga seolah menyerahkan

‘daging kepada singa’. Inilah kebiasaan bangsa kita, lihat Pasal 18 sampai Pasal

27 Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1986 yang seolah tak pernah berubah.

Memberi ‘cek kosong’ kepada pemerintah untuk mengatasi segala hal yang

sesungguhnya menjadi urusan masyarakat sipil. Kegagalan membangun dialog

sesama warga akhirnya berujung kepada kekuasaan pemerintah.

Mendasarkan sikap pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang

Organisasi Kemasyarakatan akan menimbulkan banyak kontradiski. Pertama, UU

ini sendiri mestinya sudah harus dibatalkan. Sebab Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan pada dasarnya dibuat untuk

memperkuat kekuasan rezim orde baru. UU ini sepenuhnya bersifat sentralistik

dan menempatkan pemerintah memiliki kekuasaan yang luas untuk mengatur

kehidupan organisasional masyarakat sipil di mana seluruh ormas harus masuk ke

dalam pembinaan pemerintah. Pemerintah bisa melakukan pembekuan dan

pembubaran terhadap pengurus ormas apabila ormas melakukan kegiatan yang

45
dilarang dalam undang-undang keormasan, tanpa ada prosedur pengawasan lewat

jalur hukum dalam penggunaan wewenang ini (Pasal 12-13). Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan ini juga menempatkan

kewajiban ormas untuk menganut satu-satunya paham ideologi bernegara yakni

pancasila. Hal ini terlihat di dalam isi dan penjelasan Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan tersebut yang menyebut kata

”Pancasila” sebanyak 29 kali. Karena itu, pemerintah dapat membubarkan ormas

jika tidak menganut Pancasila. Selain itu, demi memudahkan kontrol, negara juga

tidak memperbolehkan lebih dari satu organisasi dalam satu jenis profesi. Karena

semangatnya memberi ruang kekuasaan bagi pemerintah begitu besar, maka

napas dalam UU itu terlihat sangat kontradiktif dengan semangat reformasi.

Dalam UU ini, pemerintah ditempatkan sebagai penentu segalanya. Jelas

sistem ini tak akan menumbuhkan masyarakat sipil yang kuat. Kehidupan ormas

di zaman orde baru merupakan contoh nyata akibat Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang represif. Kedua, sejalan

dengan perkembangan reformasi, UU yang senapas dengan Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan ini telah dicabut. Sebut

saja UU yang mengatur tentang partai politik dan sistem pemilu. Berbeda jauh

dengan UU sebelumnya, UU No 31/2002 tentang Partai Politik bahkan tak

mewajibkan parpol menyebut Pancasila sebagai satu-satunya dasar dan ideologi

parpol. Parpol bahkan dapat mencantumkan ciri tertentu parpolnya selama tidak

bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, dan UU Parpol (Pasal 5 ayat 2).

46
BAB IV

PERBANDINGAN ANALISIS ANTARA POLITIK HUKUM TERHADAP

ORMAS DI INDONESIA DAN PERAN ORMAS DALAM MENCIPTAKAN

KEAMANAN DAN PEMBANGUNAN HUKUM BERDASARKAN UUD 1945

Dalam melakukan perbandingan (compare) antara analisis 1 dan 2 yaitu

antara Politik Hukum Terhadap Ormas di Indonesia dan Peran Ormas dalam

Menciptakan Keamanan dan Pembangunan Hukum Berdasarkan UUD 1945 tentunya

harus mengedepankan pada keberadaan ormas yang dilindungi undang-undang. Dan

tidak dapat dipungkiri bahwa kontribusi Ormas dalam penyelenggaraan pemerintahan

maupun pembangunan sangat besar. Hal itu telah dibuktikan sejak masa perjuangan

kemerdekaan hingga sekarang. Namun juga tidak dapat dipungkiri bahwa masih

terdapat sebagian Ormas yang dalam berbagai aktivitasnya justru menimbulkan

keresahan dalam masyarakat. Keberadaan Ormas yang semacam itu telah

menciptakan kondisi seperti pepatah, karena nila setitik rusak susu sebelanga.

Perubahan mendasar dalam kehidupan organisasi kemasyarakatan di Indonesia

telah terjadi seiring dengan bergulirnya reformasi sejak 1998. Perubahan ini terjadi

karena sebelum 1998, kehidupan beroganisasi di Indonesia berada di bawah kendali

pemerintah. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi

Kemasyarakatan menjadi alat penguasa untuk melakukan pengendalian atas

kebebasan berorganisasi.

47
Secara yuridis formal, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang

Organisasi Kemasyarakatan beserta peraturan menjadi poin penting terhadap

implementasi dibidang sosiopolitik, sudah tidak efektif lagi, hingga kemudian, DPR

dan Pemerintah sepakat untuk mengganti aturan tersebut. Terbukti, Pemerintah dan

DPR telah menempatkannya ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2005-

2009. Namun tak sedikit pun materinya sempat dibahas saat itu.

Prolegnas 2010-2014 memunculkan kembali aturan pengganti UU Ormas guna

merespon maraknya berbagai tindak kekerasan yang dilakukan oleh beberapa Ormas.

Selain itu, penyikapan sejumlah pihak, termasuk DPR dan Pemerintah yang diwakili

Kementerian Dalam Negeri terhadap eksistensi sebuah lembaga yang diidentifikasi

sebagai “LSM asing” merupakan perkembangan berikutnya yang dapat kita amati

akhir-akhir ini. Bahkan sudah ada ancaman pengusiran yang ditujukan kepada “LSM

asing” tersebut, dengan dalih keberadaannya dapat mengancam kedaulatan dan

tabilitas nasional. Saat ini, revisi UU Ormas sudah masuk dalam pembahasan di DPR

sebagai RUU Usul Inisiatif DPR dan rencananya akan disahkan pada medio bulan

Oktober 2012 mendatang.

Di sisi lain, dana atau bantuan asing acapkali menimbulkan persepsi negatif,

terutama dari pihak legislatif dan eksekutif.Mereka menuduh bahwa jika suatu

organisasi masyarakat menerima bantuan asing maka mereka menjalankan agenda

atau memajukan kepentingan pihak luar negeri. Ada pula yang mengkhawatirkan

bahwa dana asing merupakan sarana untuk mengintervensi dinamika kehidupan sosial

politik dalam negeri

48
Berangkat dari dugaan miring tersebut, beberapa pihak menuntut pengaturan

yang lebih ketat atas aliran dana asing. Mulai dari larangan hingga yang lebih ekstrim

lagi, tuntutan pembubaran organisasi masyarakat yang menerima dana asing. Bantuan

asing merupakan instrumen politik luar negeri suatu negara, khususnya untuk

memajukan kepentingan ekonomi-politik negara bersangkutan. Hal ini kiranya benar

jika hanya didasarkan pada argumen self-interestdi mana tindakan agen sosial (dalam

hal ini negara) selalu didasarkan pada perhitungan untung rugi. Sebagian yang lain,

yang sering terlewatkan adalah argumen etis yang mendasari bantuan luar negeri

bahwa negara maju tidak boleh mendiamkan kemiskinan, kelaparan, ketidakadilan

sosial di negara-negara berkembang, dilanda konflik, tertimpa bencana, dan pasca

perang.

Dasar argumen etis ini bersandar pada setidaknya dua pokok. Pertama, keadilan

distributif, yakni perlunya kompensasi negara-negara maju kepada negara-negara

berkembang atas ketidakadilan yang muncul dari dominasi politik dan eksploitasi

ekonomi. Kedua, penyebaran atau distribusi kekayaan alam yang secara global tidak

merata sehingga kelebihan perlu dibagi kepada yang kekurangan.

Keadilan distributif menyatakan pula bahwa sebagian keuntungan atau manfaat

ekonomi yang dinikmati negara-negara maju bersumber dari keuntungan yang

didapatkan dari negara-negara berkembang. Secara empiris, hal ini terkonfirmasi

melalui laporan organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC) bahwa pada

2007 misalnya, 45% dari harga final minyak per barel di negara-negara maju (G7)

49
merupakan pajak yang dipungut negara (dikutip dalam Berlinschi dan Dubanes,

2010).

Selain itu, negara-negara maju terikat dengan Monterey Consensus yang

mewajibkan mereka mengalokasikan dana sebasar 0,7 % GDP untuk bantuan luar

negeri. Sumber Non-negara Sumber lain dana pembangunan internasional yang

mengalir secara global adalah filantropi. Filantropi berasal dari penyisihan

keuntungan atau kekayaan perusahaan atau perorangan yang di beberapa negara maju

diakui sebagai faktor pengurang pajak.

Sumber berikutnya adalah dana publik yang dikumpulkan langsung dari

masyarakat (charity) oleh lembaga-lembaga non-profit baik yang berbasis agama

maupun non agama. Melalui pengelolaan secara transparan serta memenuhi berbagai

persyaratan, dana-dana masyarakat ini disalurkan atau dibelanjakan untuk tujuan

tertentu (ditetapkan sejak semula) maupun untuk tujuan yang masih terbuka atau

tidak spesifik. Kerjasama Strategis Donors - Recepients Telah jamak dipraktekkan

bahwa pengucuran dana bantuan internasional mengikuti apa yang dikenal dengan

kerangka kerja strategis. Kerangka kerja ini pada dasarnya menjelaskan bahwa untuk

mencapai tujuan tertentu, harus disusun rencana strategis yang dibangun berdasarkan

analisis kekuatan dan kelemahan yang mereka miliki dan tantangan dan kesempatan

yang tersedia dalam lingkungan eksternal (negara/daerah tempat dilaksanakannya

rencana).

Dalam prakteknya, penyusunan rencana strategis lembaga donor tidak hanya

didasarkan pada assessment dan konsultasi dengan para pihak. Namun juga

50
melibatkan para pihak yang potensial menerima atau menindaklanjutinya. Lebih jauh,

kerjasama antara donor dan recipient (penerima) tidak didasarkan pada pesanan

pekerjaan (job order) dari donor, tapi pada kesamaan agenda strategis antara donor

dan recipients.

Pada kondisi yang pertama, agenda datang dari pemberi pekerjaan (job offerer).

Sementara yang kedua, agenda datang dari recipient dan diterima karena sesuai

dengan agenda strategis mereka (donor). Bantuan luar negeri sebenarnya bukan alat

penaklukan politik domestik oleh kekuatan asing, tapi lebih sebagai instrument

pelaksanaan keadilan distributif secara global dan sarana pencapaian tujuan keadilan

sosial secara domestik.

Terkait dana atau bantuan asing, sebenarnya yang ingin diatur adalah

akuntabilitas organisasi masyarakat dalam hal keuangan. Kehadiran UU Nomor 14

Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik Pasal 1 angka 3, menjadikan pula

organisasi masyarakat sebagai Badan Publik, yang dikenakan sejumlah kewajiban.

Salah satunya transparansi dan akuntabilitas serta kebijakan organisasi masyarakat

(Pasal 7).

Keberadaan dana Official Development Assistance (ODA) yang masuk ke

Indonesia telah disetujui oleh Kementerian Luar Negeri. Dengan demikian, dapat

disimpulkan ODA telah melewati tahapan uji bahaya (harm test) terhadap

kepentingan bangsa. Rangkaian prosedur (persetujuan) oleh suatu kementerian atas

dana atau bantuan luar negeri hanya akan menambah beban yang tidak perlu bagi

organisasi masyarakat. Regulasi yang dikenakan oleh UU Keterbukaan Informasi

51
Publik rasanya sudah lebih dari cukup untuk mendorong hadirnya transparansi dan

akuntabilitas.

Bahkan realitasnya, sebagian besar organisasi di Indonesia karena kebutuhan

administratif telah menata diri dalam organisasi berbadan hukum Perkumpulan atau

Yayasan. Pasal 16 Undang Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan

Informasi Publik telah memberikan kewajiban kepada organisasi non pemerintah

untuk menyediakan informasi publik seperti asas dan tujuan, program, sumber dana,

pengelolaan keuangan dan lain-lain, sehingga organisasi akan mencantumkan

informasi ini melalui website masing- masing organisasi. Hampir seluruh organisasi

yang berbadan hukum sebagian besar diaudit keuangannya oleh akuntan public

karena hal ini menjadi kewajiban lembaga sebagai wajib pajak. Sehingga tidak benar

jika organisasi tidak tertib secara administratif dan keuangan. Tanpa Undang Undang

Ormas-pun telah ada Undang Undang yang mengatur hal-hal administratif bagi

organisasi seperti Undang Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik, Undang

Undang Yayasan, dan Staatsblad tentang Perkumpulan.

Pendekatan represif politik-keamanan terhadap organisasi masyarakat sipil

harus ditinggalkan, dengan menghilangkan peran Kemendagri dan menggantinya

dengan pendekatan hukum melalui Kemenkumham dan pendekatan pemberian

dukungan/fasilitasi kegiatan melalui kementerian yang relevan (Kemensos,

Kemendiknas, Kemenag) sesuai bidang kegiatan organisasi.

Dalam membangun sebuah bangsa dapat dicapai melalui proses yang diawali

dengan kesadaran rakyatnya baik secara individu atau bersama kelompok masyarakat

52
yang berjalan dengan landasan dan tujuan yang sama. Cita-cita dalam melaksanakan

tujuan kegiatan, dan kepentingan bersama yang dibangun dengan kesadaran dan

berkelompok yang diyakini dapat memecahkan kepentingan bersama dalam sebuah

wadah yang populer dengan nama Ormas. Bentuk organisasi ini digunakan sebagai

lawan dari istilah partai politik. Ormas dapat dibentuk oleh kelompok masyarakat

berdasarkan beberapa kesamaan kegiatan, profesi dan tujuan fungsi, seperti agama,

pendidikan, budaya, ekonomi, hukum dan sebagainya.

Ormas merupakan peran serta masyarakat dalam melaksanakan pembangunan

untuk memajukan kehidupan yang berkeadilan dan kemakmuran. Keberadaan Ormas

di Indonesia sebenarnya sudah terbentuk semenjak awal abad ini dan mempunyai

kedudukan paling strategis bagi proses kebangsaan Indonesia.

Ormas dan LSM merupakan bagian terpenting dari proses demokrasi di

Indonesia setelah era reformasi 1998. "Keduanya merupakan pemangku kepentingan

dari masyarakat sipil berbarengan  dengan pemerintah beserta perangkat lainnya ikut

berpartisipasi dalam proses demokrasi. Ormas dan LSM sebagai bagian dari proses,

memiliki kemampuan untuk menumbuhkembangkan kemampuan wawasan

pembangunan, sebab ormas dan LSM adalah penyuara aspirasi masyarakat yang

sedang berkembang demi untuk kemajuan pembangunan. Demokrasi memang

memberi ruang lebih bebas bagi setiap kelompok atau organisasi, untuk

mengekspresikan kepentingannya sesuai koridor hukum dan kesantunan serta tata

tertib yang berlaku. Demokrasi yang sudah berkembang pesat di negara RI saat ini

pada gilirannya telah melahirkan kesadaran baru warga masyarakat mulai dari tingkat

53
pusat sampai  ke daerah untuk berperan aktif dalam pembangunan. Ada dua hal yang

layak diperhatikan atau menjadi cacatan penting ketika mencermati hubungan antara

demokrasi dan pembangunan, diantaranya adalah :

1. Pengembangan budaya demokrasi berpangkal pada politik kebangsaan, yang

artinya demokrasi adalah aturan dalam suatu negara yang tertuang dalam

pembukaan UUD 1945.

2. Demokrasi juga harus dipahami mengandung ruang untuk berdialog, bertukar

pikiran dan saling mengembangkan pandangan positif sehingga hal-hal tersebuit

bermanfaat bagi pembangunan.

Masih mengikuti logika UU Parpol, tata cara pembubaran parpol pun diatur

sedemikian rupa. Tak ada satu lembaga pun tak terkecuali pemerintah yang dapat

membubarkan parpol kecuali Mahkamah Konstitusi (Pasal 20c). Pembubaran hanya

dapat dilakukan setelah mereka terbukti melakukan tindakan yang dilarang oleh UU.

Seperti melakukan sesuatu yang bertentangan dengan UUD 45, mengancam NKRI,

dan menganut paham Komunis/Marxisme-Leninisme.

Dalam konteks inilah maka pembubaran ormas semestinya hanya dapat

dilaksanakan melalui pengadilan. Harus ada pengadilan yang layak bagi setiap ormas

yang hendak dibubarkan. Hak mereka untuk membela diri tetap harus dijamin.

Dalam hal ini, semestinya kewenangan pemerintah hanya bersifat administratif.

Yakni menjalankan administrasi keputusan pengadilan atas satu ormas tertentu.

54
Organisasi Kemasyarakatan sebagai organisasi diakar rumput dan masyarakat

pada umumnya  sering sekali menerima kebijakan pemerintah tanpa tahu alasannya

dan seolah-olah suara mereka tidak didengar lagi oleh para pemerintah selaku

pembuat kebijakan. Seharusnya kebijakan pemerintahan yang berupa kebijakan

publik harus berpihak pada kepentingan masyarakat. Permasalahan tersebut muncul

karena ormas atau masyarakat pada umumnya tidak mempunyai akses yang cukup

untuk mendengarkan, mempertimbangkan dan menyuarakan aspirasi mereka ketika

formulasi sebuah kebijakan dibuat.

Padahal sesunguhnya cita-cita negara Republik Indonesia yang tertuang didalam

alinea ke empat pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa: “Kemudian dari

pada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi

segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk

memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…..”

Berdasarkan pernyataan tersebut diatas, cita-cita berdirinya bangsa ini adalah

memajukan kesejahteraan masyarakat.  Namun, kesejahteraan masyarakat tersebut

tidak akan tercapai tanpa adanya kemauan yang tulus dari pemerintah untuk

meningkatkan partisipsi masyarakat sejak perencanaan pembangunan itu sendiri.

Organisasi Kemasyarakatan (ORMAS) mempunyai hak dan kewajiban untuk

mewujudkan partisipasi mayarakat didalam proses perencanaan kebijakan yang

dijamin oleh konstitusi. Apalagi kalau mengingat  era demokrasi dewasa ini proses

partisipasi publik merupakan tolok ukur bagi pemerintah dalam pelaksanaan

55
pemerintahan yang baik (Good Governance).  Kriteria kepemerintahan yang baik

(Good Governance) adalah sebagai berikut :

1. Partisipasi, menunjuk pada keikutsertaan seluruh warga negara dalam pengambilan

keputusan;

2. Penegakan hukum atau peraturan, penegakan hukum harus diterapkan secara adil

dan tegas.;

3. Transparansi, seluruh proses pemerintahan dapat diakses dengan publik;

4. Responsif, lembaga pemerintah harus selalu tanggap terhadap kepentingan public;

5. Konsensus, Pemerintah harus dapat menjembatani perbedaan kepentinggan demi

tercapainya konsensus antar kelompok.,

6. Keadilan, kesetaraan pelayanan bagi seluruh warga;

7. Efektifitas dan efisiensi, merujuk pada proses pemerintahan yang dapat mencapai

tujuan dan menggunakan dana seoptimal mungkin;

8. Akuntabel, seluruh proses pemerintah harus dapat dipertanggungjawabkan visi

strategis  pemerintah.

Berdasarkan delapan kriteria good governance tersebut di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa partisipasi  dan transparansi publik merupakan elemen yang

penting bagi pencapaian tujuan pembangunan dan demokratisasi nasional.

Peran Ormas harus dapat membantu Pemerintah agar mampu melaksanakan

berbagai  macam regulasi yang menjamin partisipasi masyarakat didalam

pembangunan mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan sampai dengan

pengawasan. Regulasi tersebut antara lain:

56
1. Undang-undang No 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan menyampaikan pendapat

dimuka umum,

2. Undang-undang No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan

bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; dan

3. Undang-Undang No 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan

Nasional.

Apabila kita cermati partisipasi masyarakat sampai saat ini hanya menjadi

formalisme belaka, banyak input, keluhan, laporan dan lain sebagainya hanya bisa

ditampung tanpa ada tindak lanjut. Oleh karena peran ormas perlu ditingkatkan dalam

memberikan masukan kepada pemerintah agar ada proses aktualiasasi partisipasi 

masyarakat di dalam proses perencanaan kebijakan publik.

Apabila kepentingan publik adalah sentral, makapemerintah selaku administrator

publik (eksekutif)  harus profesional yang proaktif adalah mutlak, yaitu administrator

yang selalu berusaha meningkatkan responbilitas obyektif dan subyektif terhadap

aspirasi masyarakat didalam membuat kebijakan publik.

Selain itu didalam proses pembuatan kebijakan publik, administraror tidak boleh

bersikap “hampa nilai” (value free) tetapi harus “sarat dengan nilai” (value laden).

Hal tersebut dapat diartikan bahwa eksekutif dan legislatif harus lebih banyak

memperhatikan kepentingan publik, sehingga pengertian “publik” dalam

pengambilan kebijakan publik menjadi lebih bermakna. Oleh karena itu suatu

kebijakan memuat tiga elemen yaitu:

1. Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai,

57
2. Taktik  atau strategi yang diarah untuk mencapai tujuan yang diinginkan;

3. Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari

taktik atau strategi yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada  kepentingan

seluruh masyarakat.

Ormas sebenarnya memiliki peran yang cukup besar dalam sebuah kehidupan

bernegara. Hal ini karena keberadaan masyarakat sipil adalah prasyarat mutlak bagi

demokrasi yang bukan hanya berlaku di tingkat masyarakat bernegara, tetapi juga di

tingkat terbawah dari setiap strata social.137137 Apa yang telah dilakukan oleh Ormas

selama ini menunjukkan bahwa Ormas selalu mampu mempertahankan otonominya

dan selalu menunjukkan sikap kritis terhadap negara dan juga kelompok masyarakat

lainnya, sehingga mampu menjadi kekuatan penyeimbang dalam kehidupan

bernegara. Hal ini sejalan dengan fakta bahwa masyarakat sipil juga melakukan

upaya-upaya penguatan kapasitas, pemberdayaan masyarakat, monitoring kinerja

pemerintah, hingga advokasi. Sumber pendanaan Ormas juga seringkali bersifat

mandiri, dalam arti tidak menggunakan sumbersumber pendanaan dari negara.

Sejalan dengan perkembangannya, keberadaan Ormas dalam melakukan

aktivitasnya memerlukan jaminan untuk bebas berserikat, berkumpul, mengeluarkan

pendapat serta kesempatan yang sama. Jaminan perlindungan tersebut pada

hakikatnya merupakan tanggung jawab negara yang dituangkan dalam sebuah

137137
Adi Suryadi Culla, Rekontruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia, Jakarta:
Pustaka LP3ES, 2006, hal. 39.

58
peraturan untuk melindungi masyarakat dalam menjalankan kebebasan berserikat dan

berkumpul. Oleh karena itu keberadaan aturan mengenai Ormas dipandang penting.

Salah satu bagian penting dari pengawasan Ormas adalah menyangkut proses

pembekuan ormas-ormas yang dianggap radikal. Pengawasan dan penindakan

terhadap ormas radikal didasarkan pada UU No. 8 Tahun 1985 tentang Ormas dan

Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1985. Akan tapi, pengalaman menunjukkan

bahwa peraturan tersebut dirasakan kurang pas karena terlalu lambat dan berbelit.

Berdasarkan aturan tersebut ormas yang melakukan pelanggaran harus ditegur dulu

sebanyak dua kali. Jika masih melanggar akan dibekukan. Jika tetap melanggar, baru

dibubarkan.Pembubaran ormas pun harus melalui fatwa Mahkamah Agung. Jika

pembubaran diusulkan pemerintah daerah, harus dengan persetujuan menteri dalam

negeri. Proses ini kemudian menjadi persoalan,jika ormas sekarang melakukan

kesalahan, lalu besok tidak melakukan lagi, menjadi sulit untuk diambil tindakan. Hal

ini yang menyebabkan masyarakat merasa pemerintah tidak berbuat apa-apa dengan

adanya ormas-ormas radikal yang ada saat ini. Sebabnya, peraturan hokum untuk

penindakan ormas itu memang lambat dan terlalu panjang. Padahal peraturan hukum

itulah yang menjadi pegangan pemerintah. Dengan adanya UU No. 17 Tahun 2013

maka memperpendek proses tersebut dipersingkat. UU Ormas juga mengatur ormas-

ormas yang tidak terdaftar, karena pada UU sebelumnya tidak mengatur tindakan

terhadap ormas yang tidak terdaftar, sehingga jika ada ormas semacam ini bertindak

radikal, pemerintah tak bisa berbuat apa-apa.

59
Berdasarkan deskripsi dan pembahasan sebagaimana dikemukakan di atas,

maka dalam rangka mengimplementasikan Undang-Undang No. 8 Tahun 1985

tentang Ormas, maka rancangan peraturan pemerintah tentang pengawasan Ormas

perlu mengatur berbagai hal.

1. Konsideran, yakni bagian menimbang dan mengingat. Bagian menimbang berisi

pertimbangan diperlukannya peraturan pemerintah tentang pengawasan Ormas,

sedangkan bagian mengingat berisi ketentuan perundang-undangan yang menjadi

acuan dalam penyusunan peraturan pemerintah tentang pengawasan Ormas.

2. Ketentuan umum, yang memuat tentang pengertian atau definisi umum mengenai

istilah yang digunakan dalam Rancangan Peraturan Pemerintah. Rumusan

pengertian atau definisi istilah yang digunakan mengacu pada rumusan

pengertian yang digunakan oleh Undang-Undang No. 8 Tahun 1985 tentang

Organisasi Kemasyarakatan. Beberapa definisi yang diperlukan diantaranya

adalah definisi tentang organisasi kemasyarakatan, pengawasan, pengawasan

internal, dan pengawasan eksternal.

3. Substansi pengawasan Ormas oleh pemerintah. Bagian ini berisi aturan yang rinci

mengenai tujuan, bentuk-bentuk, tata cara pengawasan, maupun bentuk-bentuk

sanksi yang bisa diberikan oleh pemerintah terhadap Ormas. Pada bagian ini

perlu diatur: a) tujuan pengawasan Ormas, yakni untuk menjamin terlaksananya

fungsi dan tujuan Ormas; b) pengawasan internal dan pengawasan eksternal,

yakni bahwa setiap Ormas harus memiliki lembaga pengawas internal maupun

eksternal. Lembaga pengawas internal berfungsi untuk menegakkan kode etik

60
organisasi dan memutuskan pemberian sanksi dalam internal Ormas. Tugas dan

kewenangan lembaga pengawas tersebut diatur dalam AD dan ART atau

peraturan organisasi.

Selanjutnya, dalam rangka pengawasan eksternal, untuk meningkatkan

akuntabilitas organisasi, Ormas wajib membuat laporan kegiatan dan keuangan

yang terbuka untuk publik. Untuk itu perlu diatur pedoman maupun tata cara

pembuatan laporannya. Dalam hal pengawasan terhadap Ormas, masyarakat

berhak menyampaikan dukungan atau keberatan terhadap keberadaan atau

aktivitas Ormas.

Dukungan antara lain dapat berupa pemberian penghargaan, program,

bantuan dana, dan dukungan operasional organisasi. Sedangkan, keberatan

diajukan masyarakat kepada Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai tingkatan.

Dalam hal terdapat pengajuan keberatan tersebut, maka Pemerintah atau

Pemerintah Daerah mengupayakan penyelesaian keberatan melalui mekanisme

mediasi dan konsiliasi.Bentuk-bentuk serta tata cara dukungan maupun keberatan

dari masyarakat tersebut perlu diatur lebih lanjut secara lebih detil.

4. Penutup. Bagian ini mengatur tentang waktu pemberlakuan peraturan pemerintah

dan tentang pemberlakuan peraturan pemerintah sejak tanggal diundangkan, serta

agarsetiap orang mengetahui maka peraturan pemerintah dapat ditempatkan di

dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Perlu disadari, bahwa keberadaan ormas mungkin belum seluruhnya siap untuk

bekerjasama serta mengambil alih peran-peran pemerintah tersebut. Mereka perlu

61
diberdayakan lebih dulu, sehingga memiliki keterampilan, kemampuan manajemen,

pengetahuan, leadership yang memadai, sehingga mampu berperan lebih professional

dan efisien.  Dalam koteks itu, pemerintah punya kewajibah untuk memberdayakan

ormas yang ada, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang ormas, agar mereka

punya kapasitas, kapabilitas, kredibilitas, mampu mandiri, dan mampu

mengimplementasikan aturan negara dengan lebih baik. Dengan demikian, kekuatan

ormas itu dapat diarahkan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan pembangunan

dalam segala sektornya.

Selain berperan melaksanakan tugas-tugas pemerintahan, ormas juga dapat

berpartisipasi dalam peran-peran control terhadap pembangunan. Pengawasan dapat

dilakukan oleh masyarakat melalui ormas, baik ormas yang menggunakan badan

hukum maupun non badan hukum, baik ormas tingkat nasional, provinsi maupun

kabupaten / kota. Basis keanggotaan yang dimiliki dapat menjadi kekuatan yang

diarahkan untuk sinergi pengawasan. Akan tetapi, pengawasan itu, sebaiknya tidak

tumpang tindih atau kontra produktif dengan pengawasan dalam kuasa negara, yang

menjadi wewenang aparat negara.  Peran pengawasan dapat dijalin melalui

kerjasama  dan sinergi sesuai dengan mekanisme, prosedur, fungsi, hak tugas, serta

bidang masing-masing  berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Fungsi ormas adalah sebagai: wadah penyalur kegiatan sesuai kepentingan

anggotanya; wadah pembinaan dan pengembangan anggotanya dalam usaha

mewujudkan tujuan organisasi; wadah peran serta dalam usaha menyukseskan

pembangunan nasional; sarana penyalur aspirasi anggota, dan sebagai sarana

62
komunikasi sosial timbal balik antar anggota dan/atau antar ormas, dan antara ormas

dengan organisasi kekuatan sosial politik, Badan Permusyawaratan/Perwakilan

Rakyat, dan pemerintah (Psl. 6 UU Ormas).

Negara harus memainkan perannya dalam menciptakan kenyamanan bagi setiap

warga negara, tanpa membeda-bedakan orang. Gerakan yang dengan sengaja

menciptakan keresahan masyarakat melalui aksi kekerasan dan pengrusakan berbagai

fasilitas umum maupun bangunan milik orang lain haruslah ditindak segera tegas.

       Mekanisme pembinaan dan pengawasan ormas harus juga diatur secara tegas

dan integrated. Ribuan ormas yang ada di Indonesia yang tercatat di berbagai

kementerian tentu menyulitkan dalam hal pembinaan dan penindakan atas perilaku

ormas menyimpang. Perlu pengaturan mekanisme pendirian ormas dan lembaga

mana yang mempunyai kewenangan untuk mengaturnya mulai tingkat pusat hingga

daerah. Dengan demikian, diharapkan keberadaan ormas sungguh dapat menjadi

wadah aspirasi masyarakat dengan tetap berorientasi pada penciptaan ketertiban

sosial dan berperan penting bagi pencapaian tujuan nasional sebagaimana termaktub

dalam pembukaan UUD 1945.

Dan tentunya peran ormas sangat strategis dalam membangun daerah, karena

peran pentingnya tersebut pemerintah senantiasa memberikan bantuan hibah demi

kelancaran aktivitas ormas agar dapat mengkontribusi pembangunan melalui dana

hibah APBD. Dan tentunya pemerintah juga harus jeli dalam melakukan evaluasi

terhadap ormas yang akan menerima bantuan dari pemerintah melalui verifikasi

sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku.

63
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian bab 1 sampai bab 4 tersebut di atas, bisa ditarik kesimpulan

sebagai berikut :

1. Politik hukum terhadap Organisasi Kemasyarakatan di Indonesia mengacu

pada pendirian Ormas/institusi publik, ini dilakukan untuk menjadi wadah

yang mengakomodir kepentingan publik dalam kaitannya untuk merebut

ruang publik atau menciptakan ruang-ruang publik. Ruang publik dimaksud

adalah tempat bagi publik untuk mengekspresikan kebebasan dan otonomi

mereka, baik kebebasan bicara, dan berserikat dan berkumpul, kebebasan

berakal sehat dan lain-lain serta penguatan gerakan sosial berupa upaya

mendorong berfungsinya institusi-institusi sosial yang tumbuh secara mandiri

ditengah masyarakat untuk menjadi wadah dan penyelaras aspirasi

masyarakat.

2. Peran ormas dalam menciptakan keamanan di Negara Kesatuan Republik

Indonesia berdasarkan UUD 1945 adalah sebagai penyalur aspirasi rakyat

sebagaimana tujuan dari organisasi kemasyarakatan itu sendiri dibentuk yang

dilakukan lewat hubungan pribadi, perwakilan langsung, dan juga lewat

saluran formal dan institusi lain. Serta sebagai pengalih isu politik dan untuk

ikut dalam pengambilan keputusan di dalam legislative dan membantu

64
pemerintah dalam memberdayakan dan memajukan masyarakat sedangkan

peran pemerintah dalam memperkuat Ormas dalam pembangunan hukum

berdasarkan UUD 1945 adalah melakukan pemberdayaan Ormas untuk

meningkatkan kinerja dan menjaga keberlangsungan hidup Ormas serta

melakukan mediasi dalam proses penyelesaian konflik internal organisasi

kemasyarakatan (ormas).

B. Saran

Saran yang bisa penulis sampaikan dalam disertasi ini adalah :

1. Ormas adalah wadah rakyat berorganisasi dalam hidup bernegara. Sebagai

entitas hukum, maka ormaspun harus tunduk pada hukum negara sesuai

amanah konstitusi. Pasal 27 UUD 1945 mengatur, setiap warga negara

bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib tunduk

pada hukum dan pemerintahan itu dengan tiada kecualinya. Artinya, ormas

sebagai wadah warga negara dalam berorganisasi juga wajib tunduk pada

hukum dan pengaturan pemerintahan negara yang disusun sesuai konstitusi.

Termasuk, tunduk pada UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas sebagai

sebuah produk hukum negara yang konstitusional. Di sisi lain, ormas sebagai

entitas publik juga harus dapat menyampaikan informasi publik sesuai

amanah UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Ketika ormas bisa menuntut informasi publik kepada para penyelenggara

65
negara, pihak swasta, partai politik, dan lainnya, maka ormas juga harus dapat

dimintai informasi oleh publik sesuai amanah UU tersebut.

2. Peran Organisasi Kemasyarakatan beserta masyarakat lainnya dalam

pengambilan kebutuhan kebijakan publik perlu terus ditingkatkan dan

sesungguhnya sudah direspon oleh pemerintah melalui serangkaian regulasi

yang menjamin peran serta aktif masyarakat antara lain diluncurkannya UU

No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

memberikan landasan bagi peran serta atau partisipasi aktif masyarakat di

dalam perencanaan pembangunan nasional. Namun, di dalam

implementasinya kebijakan tersebut di lapangan ditemukan banyak kendala

baik yang berasal dari masyarakat,  partai politik,  pemerintah maupun sistem

perencanaan pembangunan itu sendiri. Oleh peningkatan peranan Ormas

untuk memperkuat aktualiasi peran serta masyarakat di dalam perencanaan

pembangunan harus terus digalakan dan diperbaiki secara komprehensif.

Aspek kepemimpinan Ormas merupakan salah satu elemen esensial dalam

penguatan karakter Ormas dalam peningkatan integritas kebangsaan

Indonesia. Dengan kata lain bahwa kepemimpinan Ormas berperan sangat

penting sebagai akselerator dan dinamisator dalam penguatan keseluruhan

elemen integritas (modal) sosio budaya Bangsa Indonesia.

66
DAFTAR PUSTAKA

A. Gaffar, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta, Pustaka


Pelajar, 2002.

Adi Suryadi Culla, Rekontruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia,
Jakarta: Pustaka LP3ES, 2006.

Affan Gafar. Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka


Pelajar, 2006.

Arbi Sanit, Swadaya Politik Masyarakat, Jakarta: CV. Rajawali, 1985.

Bambang Sunggono. Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Graflndo Persada,


Jakarta, 1997.

C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20,
Alumni, Bandung, 1994.

Deibert, Ronald & Rohozinski, Rafal. n.d. Good for Liberty, Bad for Security? Three
Spheres of Agency .Perkembangannya di Indonesia dapat dilihat Wiyatmoko,
Aswin. 2012. Analisa Gerakan Anti Globalisasi di Indonesia Pasca
Soeharto. THESIS Universitas Airlangga Surabaya.

Eef Saefullah Fattah, Catatan atas Gagalnya Politik Orde Baru, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1998.

Haryanto, Sistem Politik Suatu Pengantar, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1982.

Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2007.

Hermawan Sulistyo et al., Keamanan Nasional dan Civil Society, Jakarta: Pensil-324,
2009.

Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta:
Bumi Aksara, 1998.

Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, 2008, Dasar-dasar Politik Hukum, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2008.

Jalaluddin Rahmat, Rekayasa Sosial, Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2000.

67
Jimly Asshiddigie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstituti dan
Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.

Johnny Ibrahim, Teori, Metode dan Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia
Publising, 2007.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua, Departemen Pendidikan dan


Kebudayaan, Balai Pustaka, 1989.

Mahfud, MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Pustaka LP3ES. Indonesia, 1998.

Muhammad AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society, Jakart: LP3ES, 1999.

Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, Cet. II, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1986.

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Yurimeteri, Jakarta:


Ghalia Indonesia, 1999.

S. Kusumanegara, Model dan Aktor Dalam Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta.


Gava Media, 2010.

Satjipto Rahardjo, menjelaskan tentang substansi Ilmu Hukum dalam bukunya Ilmu
Hukum, Bandung: Alumni, 1986.

Sedarmayanti & Syarifudin Hidayat, Metodologi Penelitian, CV. Mandar Maju,


Bandung, 2002.

Soerjono Soekanlo dan R. Otje Salman, Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 1996.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia,


1981.

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Edisi Baru, Jakarta: Rajawali Pers,
2012.

Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Alumni,
Bandung, 1994

68

Anda mungkin juga menyukai