Anda di halaman 1dari 19

TUGAS TERSTRUKTUR MATA KULIAH FILSAFAT

“MAKALAH FILSAFAT HUKUM ISLAM”

PENYUSUN:

TIAN SINGGIH ADITYA

E1A013285

KELAS A

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

2016
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I

PENDAHULUAN…………………………………………………….

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian filsafat hukum islam ……………………………………

B. Ruang lingkup filsafat hukum islam ………………………………..

C. Filsafat hukum islam antara wahyu dan pemikiran …………………

D. Filsafat hukum islam dan kaitannya dengan ijtihad …………………

E. Filsafat hukum islam dalam


bidangNibadah ………………………...

BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

2. saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Apabila kita memperhatikan perkembangan zaman pada saat sekarang ini,


maka hukum islam harus dituntut untuk menyesuaikan dengan keadaan tersebut, maka
dari itulah muncul ijtihad baru yang berkenaan dengan masalah yang terjadi itu. Dan
dalam segala kegiatan yang diperintahkan Allah terdapat rahasia tersendiri dari
pemerintahan itu.

Dalam makalah ini akan menjelaskan mengenai filsafat itu sendiri dan hokum
islam yang berupaya menjawab mengenai masalah-masalah yang berhubungan dengan
masalah yang terjadi pada saat sekarang ini yang belum ada dibicarakan pada zaman
dahulu, serta menyingkap rahasia dari Allah memerintahkan mengerjakan ibadah untuk
umat muslim.

B. Rumusan masalah

a. Apa pengertian dan tujua dari filsafat hukum islam?

b. Apasaja ruang lingkup hukum islam?

c. Bagaimana kedudukan filsafat hukum islam antara wahyu dan pemikiran?

d. Apa kaitan filsafat hukum islam dengan ijtihad?

e. Bagaimana filsafat mengenai ibadah?

C. Tujuan

a. Untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliyah filsafat hukum islam

b. Agar penulis mampu menjelaskan dan memahami apa yang dimaksud dengan
filsafat hokum islam

c. Penulis mampu menjelaskan ruang lingkup filsafat hukum islam


d. Agar penulis mampu menjelaskan bagaimana posisi filsafat hukum islam itu dengan
wahyu dan pemikiran

e. Agar penulis mampu menjelaskan kaitan filsafat hukum islam dengan ijtihad

f. Agar penulis mampu menjelaskan filsafat hukum islam dengan ibadah


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian filsafat hukum islam

Filsafat menurut bahasa berarti hikmah dan hakim, yang dalam bahasa arab dipakai kata
filsafat dan filisof.

Hikmah adalah perkara tertinggi yang bisa dicapai oleh manusia dengan melalui alat-
alatnya yang tertentu, yaitu akal dan metode-metode berpikirnya1. Allah berfirman:

“Tuhan memberikan hikmah kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan siapa yang diberi
hikmat, maka ia telah diberi kebaikan yang banyak sekali”(QS.Albaqarah:269)

Filsafat hukum islam ialah filsafat yang diterapkan pada hukum islam. Ia merupakan
filsafat khusus dan objeknya adalah hukum islam. Maka filsafat hukum islam adalah
filsafat yang menganalisis hukum islam secara metodis dan sistematis sehingga
mendapatkan keterangan yang mendasar, atau menganalisis hukum islam secara ilmiah
dengan filsafat sebagai alatnya.2

Menurut Azhar Basyir, filsafat hukum islam adalah pemikiran secara ilmiah, sistematis,
dapat dipertanggungjawabkan dan radikal tentang hukum islam. Filsafat hukum islam
merupakan anak sulung dari filsafat islam.

Dengan kata lain filsafat hukum islam adalah pengetahuan tentang hakikat, rahasia, dan
tujuan hukum islam baik yang menyangkut materinya maupun proses penetapannya, atau
filsafat yang digunakan untuk memancarkan, menguatkan, dan memelihara hukum islam,
sehingga sesuai dengan maksud dan tujuan Allah menetapkannya di muka bumi, yaitu
untuk kesejahteraan umat manusia seluruhnya. Dengan filsafat ini, hukum islam akan
benar-benar cocok sepanjang masa di semesta alam.3

1
Ahmad Hanafi, 1990, Pengantar Filsafat Islam,(Bulan Bintang:Jakarta), hal 3
2
Fathurrahman Djamil, 1997, Filsafat Hukum Islam, (Logos Wacana Ilmu:Ciputat), hal 14
3
Ibid
Maka filsafat hukum islam itu berupaya menyesuaikan diri dengan keadaan masyarakat
yang terjadi di tengah masyarakat. Dengan kata lain filsafat hukum islam bersikap kritis
terhadap masalah-masalah. Jawaban-jawabannya tidak luput dari kritik lebih lanjut,
sehingga ia dikatakan sebagai seni kritik, dalam arti tidak pernah merasa puas diri dalam
mencari, tidak menganggap suatu jawaban sudah selesai, tetapi selalu bersedia bahkan
senang membuka kembali perdebatan.

Filsafat hukum islam sebagaimana filsafat lainnya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang


tidak terjangkau oleh ilmu hukum. Filsafat hukum islam itu mempunyai dua tugas yaitu4:

pertama:tugas kritis. Yaitu mempertanyakan kembali paradigm-paradigma yang telah


mapan di dalam hukum islam.

Kedua: tugas kontruktif yaitu mempersatukan cabang-cabang hukum islam dalam


kesatuan sistem hukum islam sehingga Nampak bahwa antara satu cabang hukum islam
mengajukan pertanyaan-pertanyaan: apa hakikat hukum islam: dan lain-lain.

B. Objek kajian dan kegunaan filfafat hukum islam

Tujuan dari adanya hukum islam adalah terciptanya kedamaian di dunia dan kebahagiaan
di akhirat.

Tujuan dari hukum islam tersebut merupakan manifestasi dari sifa rahman dan rahim
(maha pengasih dan maha penyayang) allah kepada semua makhluk-nya. Rahmatan lil-
alamin adalah inti syariah atau hukum islam. Dengan adanya syariah tersebut dapat
ditegakkan perdamaian di muka bumi dengan pengaturan masyarakat yang memberikan
keadilan kepada semua orang.5

Para ahli ushul fiqh, sebagaimana ahli filsafat hukum islam, membagi filsafat nhukum
islam kepada dua rumusan, yaitu falsafat tasyri’ dan falsafat syari’ah.6

4
Juhaya S. Praja, 1995,Filsafat Hukum Islam,(Pusat Penerbit Universitas LPPM:Bandung),hal 15
5
Loc cit, hal 15
6
Fathurrahman Djamil, hal 16
1. Falsafat tasyri’: filsafat yang memancarkan hukum islam atau menguatkannya dan
memeliharanya. Filsafat ini bertugas membicarakan hakikat dan tujuan penetapan hukum
islam. Filsafat tasyri’ terbagi kepada:

a. Da’aim al-ahkam (dasar-dasar hukum islam)

b. Mabadi al-ahkam (prinsip-prinsip hukum islam)

c. Ushul al-ahkam (pokok-pokok hukum islam) atau mashadir al-ahkam (sumber-


sumber hukum islam)

d. Maqashid al-ahkam (tujuan-tujuan hukum islam)

e. Qawaid al-ahkam (kaidah-kaidah hukum islam)

2. Falsafat syari’ah: filsafat yang diungkapkan dari materi-materi hukum islam seperti
ibadah, muamalah, jinayah, ‘uqubah, dan sebagainya. Filsafat ini bertugas untuk
membicarakan hakikat dan rahasia hukum Islam. Termasuk dalam pembagian falsafat
syari’ah adalah:

a. Asrar al-ahkam (rahasia-rahasia hukum islam)

b. Khasha’is al-ahkam (cirri-ciri khas hukum islam)

c. Mahasin al-ahkam (keutamaan-keutamaan hukum islam)

d. Thawabi’ al-ahkam (karakteristik hukum islam)

Menurut Juhaya s. Praja dalam bukunya mengatakan bahwa objek filsafat hukum islam
meliputi objek teoritis dan objek praktis. Objek teoritis filsafat hukum islam adalah objek
kajian yang merupakan teori-teori hukum islam yang meliputi:7

1) Prinsip-prinsip hukum islam

2) Dasar-dasar dan sumber-sumber hukum islam

3) Tujuan hukum islam

7
Loc cit, Juhaya s. Praja, Filsafat Hukum Islam, hal 15
4) Asas-asas hukum islam, dan

5) Kaidah-kaidah hukum islam

Objek filsafat hukum islam teoritis ini seringkali disebut objek falsafat al-tasyri’.
Sementara objek praktis filsafat hukum islam atau objek falsafat al-syari’ah atau asra’r al-
syari’ah meliputi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan, seperti:

a) Mengapa manusia melakukan mu’amalah; dan mengapa manusia harus diatur oleh
hukum islam?

b) Mengapa manusia harus melakukan ibadah, seperti shalat?

c) Apa rahasia atau hikmah yang terkandung dalam pelaksanaan puasa, haji, dan
sebagainya

C. Filsafat hukum islam antara wahyu dan pemikiran

1) Hukum islam dan tantangan modernitas

Islam diyakini sebagai agama yang universal, tidak terbatas oleh waktu dan tempat, dan
islam akan berhadapan dengan modernitas, sebagaimana ia berhadapan dengan
masyarakat yang bersahaja. Sehingga syari’at islam dapat dibuktikan tidak bertentangan
dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Lebih dari itu dapat diyakini bahwa
syari’at islam sesuai untuk setiap masyarakat di mana dan kapanpun mereka berada.8

2) Qath’I al-Dilalah dan Zhanni al-Dhalalah

Pada dasarnya ajaran islam dapat dibedakan menjadi dua kelompok. Pertama, ajaran
islam yang bersifat absolute, universal, dan permanen, tidak berubah dan tidak dapat
diubah. Termasuk di dalamnya hadits yang mutawatir dan al-qur’an yang menunjukkan
yang jelas dan qat’i. kedua ajaran islam yang bersifat relative, tidak universal dan tidak
permanen , melainkan dapat berubah dan diubah. Termasuk kelompok kedua ini adalah
ajaran islam yang dihasilkan melalui proses ijtihad. Keranhka berpikir ini sering muncul

8
Ibid, hal 41
dikalangan ahli ushul fiqih dan pakar pembaharuan dalam islam. Dikalangan ahli ushul
fiqih dikenal antara dalil qat’I dan dalil zhanni, baik eksistensinya wurud maupun
penunjukkannya dalalah.

Dari dalil Al-qur’an yang zhanni para ahli hukum islam berbeda pendapat dalam
memandangnya, mereka mencoba membuat kesimpulan hukum atau penafsiran sesuai
dengan pengetahuan dan kondisi di mana mereka hidup, selama tidak keluar dari arti lafal
. sementara itu kecendrungan mereka terhadap penggunaan hadits, sebagai sumbert kedua
hukum islam, ternyata berbeda. Di antara mereka ada yang lebih banyak menggunakan
nalar, ketimbang merujuk pada Hadits yang dianggapnya kurang kuat. Dalam sejarah
hukum islam kelompok pertama dikenal sebagai ahl-hadits, sedangkan kelompok kedua
dikenal dengan sebutan ahl- ra’yu, maka tidak heran kalau hasil ijtihad mereka berbeda.

Hadits yang bersifat zhanny al-wurud masih dapat dipertanyakan keberadaanya. Melalui
celah-celah dari dalil yang zhanni, baik wurud maupun dalalahnya, para ahli hukum
berupaya untuk menemukan kesimpulan hukum. Karena itu hasil ijtihad lebih banyak
yang bersifat relative dan berubah. Tridak ada alasan bagi umat islam untuk menjadikan
hasil ijtihad seseorang atau sekelompok orang sebagai kebenaran mutlak.

Ajaran Islam yang termasuk kelompok kedua, yang zhanny al-dalalah, yang relative dan
temporer itu telah memenuhi khazanah intelektual muslim dalam berbagai bidang, mulai
dari bidang tafsir dan hadits sampai bidang filsafat. Makin lama umat Islam makin
banyak akan tetapi Qur’an itu-itu juga. Pernyataan ini menunjukkan bahwa kemungkinan
mengadakan perubahan dan pembaharuan ajaran islam yang bersifat relative, temasuk
bidang hukumnya sangat besar. Atas dasar itu dapat dikatakan bahwa Islam sudah siap
menghadapi segala persoalan modern. Fiqih bukanlah kebenaran yang mutlak tetapi ia
dapat berubah-ubah sesuai keadaan yang terjadi.

e. Hukum islam dan perubahan sosial

Masyarakat senantiasa mengalami perubahan. Perubahan dapat berupa perubahan tatanan


social, budaya, social-ekonomi. Menurut para ahli linguistic, bahasa akan mengalami
perubahan setiap Sembilan puluh tahun, perubahan dalam bahasa secara langsung atau
tidak langsung mengandung arti perubahan dalam masyarakat itu. 9

Dengan begitu maka masalah yang terjadipun akan selalu berubah dan diperlukan ijtihad
yang sesuai dengan keadaan sekarang. Karena itu ibnu qayyim mengatakan:

‫تغير الفتوي بتغير االزمان و االمكنة و االحوال و العوائد‬

perubahan fatwa adalah karena perubahan zaman, tempat, keadaan, dan kebiasaan.

Maksud dari pernyataan diatas adalah bahwa kondisi suatu masyarakat akan berpengaruh
terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh mufti. Namun hal ini tidak berarti hukum akan
berubah begitu saja tanpa memperhatikan norma yang terdapat dalam sumber utama
hukum isl;am, al-qur’an dan hadist.

Sejarah mencatat bahwa ijtihad telah dilakukan dari masa kemasa. Pada masa
awal islam, ijtihad telah dilakukan dengan baik dan kreatif. Pada masa berikutnya muncul
sederetan mujtahid kenamaan. Keadaan ini berlangsung sampai masa keemasan umat
islam.

Ijtihad pada masa sekarang ini lebih diperlukan dibandingkan dengan masa-masa
lampau, karena muncul berbagai persoalan yang menuntut kita untuk menyelesaikannya.
Ada beberapa masalah yang muncul sekarang ini secara kebetulan mirip atau bahkan
sama dengan masalah-nasalah yang telah dibahas oleh para ahli fiqih terdahulu. Terhadap
kasusu semacam ini mujtahid sekarang berkewajiban untuk mempelajari dan meninjau
kembali masalah-masalah yang telah ditetapkan hukumnya, kemudian menyesuaikannya
dengan kondisi dan kebutuihan kita sekarang ini. Itulah barangkali yang dimaksud
dengan adagium:10

9
Fathurrahman djamil, filsafat hukum islam, hal163
10
Ibid, hal 166
‫المحافظة على القديم المصالح و االخذ بالجديد االصلح‬

“Mempertahankannya yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih
baik”

Sedangkan mengenai masalah-masalah yang sama sekali baru, mujtahid harus


menyelesaikannya dengan cara memahami secara baik masalah dimaksud kemudian
membahasnya secara seksama dengan tetap merujuk kepada al-qur’an dan hadis.

Maka pada masa sekarng ini ijtihad dilakukan dengan dua cara:11

1. Ijtihad inthiqai atau ijtihad tarjihi

Yang dimaksud dengan ijmtihad ini ialah ijtihad yang dilakukan seseorang atau
sekelompok orang untuk memilih pendapat para ahli fiqih terdahulu mengenai masalah-
masalah tertentu, sebagaimana tertulis dalam kitab fiqih dan menyeleksi mana dalil yang
lebih kuat. Kemungkinan besar pendapat para ahli fiqih terdahulu mengenai masalah
yang sedan dipecahkan itu berbeda-beda. Dalam hal ini mujtahid munthaqi bertugas
untuk mempertimbangkan dan menyeleksi dalil-dalil dan argumentasi dari setiap
pendapat itu, kemudian memberikan pemikiran terhadap pendapat yang dianggap kuat
dan dapat diterima.

Mujtahid ini disewbut juga dengan ahli tarjih. Tarjih pada periode ini berarti menyeleksi
berbagai pendapat dari mazhab apapun, kemudian diambil pendapat yang rajih,
berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Pendapat ahli fiqih terdahulu dinyatakn rajah
apabila pendapat itu didasarkan oleh dalil yang kuat, cocok dengan zaman sekarang, dan
sesuai tujuan disyariatkannya hukum islam.

Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan oleh mujtahid munthaqi, diantaranya adalah
perubahan social budaya, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan kesesuaian
dengan tuntutan zaman.

11
Ibid, hal 167
2. Ijtihad insya’i

Yang dimaksud denagn ijtihad ini adalah usaha untuyk menetapkan kesimpulan hukum
mengenai peristiwa-peristiwa baru yang belum diselesaikan para ahli fiqih terdahulu.
Dalam ijtihad ini diperlukan pemahaman yang menyeluruh terhadap kasus-kasus baru
yang akan ditetapkan hukumnya. Dalam masalah ini ijtihad jama’I sangat diperlukan
karena keterbatasan pengetahuan seseorang disertai semakin ketatnya disiplin ilmu pada
masa sekarang ini, maka ijtihad fardi mengenai kasus yang sama szekali baru,
kemungkinan akan besar akan membawa kepada kekeliruan.

Dalam ijtihad insya’I diperlukan pemahaman yang baik tentang metode penetapan
hukum. Ada beberapa metode yang telah dikemukakan oleh para ahli ushul fiqih
terdahulu. Diantara metode itu adalah qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dan sad adz-
zariah. Hal lain yang perlu mendapat perhatian dari orang yang akan melakukan ijtihad
insya’I adalah pengetahuan tentang tujuan disyariatkan hukum Islam, sebab pada
dasarnya semua metode penetapan hukum islam bermuara pada hal tersebut.

f. Filsafat hukum islam pada bidang ibadah

a) Pengertian ibadah

Kata ibadah terambil dari kata ‘abada yang artinya mengabdi, tunduk, taat. Sedangkan
menurut Mahmud syaltut dalm formasi yang singkat mengemukakan arti ibadah sebagai:

‫خضوع ال تحد لعظمة ال تحد‬

“ketundukan yang tidak terbatas bagi (pemilik) keagungan yang tidak terbatas pula.”
Hal ini menurut syaltut lebih jauh menunjukkan puncak tertinggi dan kerendahan hati
kecintaan batin, serta peleburan diri kepada keagungan dan kecantikan siapa yang
kepadanya seseorang beribadat, peleburan yang tidak dicapai oleh peleburan apapun.

Oleh syekh jafar subhani mengemukakan tiga formulasi ibadat yaitu ketundukkan dan
ketaatan yang berbentuk lisan dan praktek yang timbul akibat keyakinan tentang
ketuhanan siapa yang kepadanya seseorang tunduk.

Menurut m. al-ghazali hakikat ibadah akan terwujud apabila memenuhio tiga hal: 1.
Tidak menganggap apa yang berada dibawah kekuasaan atau wewenangnya sebagai milki
pribadinya, karena yang dinamai (hamba sahaya) tidak memiliki sesuatu, 2. Menjadikan
segala aktifitasnya berkisar pada pelaksanaanya apa yang diperintahkan kepadanya, serta
,menjauhi apa yang dilarangnya, 3. Tidak mendahuluinya dalam mengambil suatu
keputusan atau dengan kata lain mengaitkan segala apa yang hendak dilakukannya
dengan seizing dan restu siapa yang kepadanya ia mengabdi. 12

Perintah ibadah dalam al-qur’an selalu dikaitkan dengan :

a. Sifat rububiyah (pemeliharaan tuhan) seperti dalam surat al-baqarah:21

Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang Telah menciptakanmu dan orang-orang yang
sebelummu, agar kamu bertakwa,

b. Tawakkal kepada allah (penyerahan diri kepada Allah setelah usaha maksimal)
terdapat dalam surat al-fatihah ayat 5-6

Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan Hanya kepada Engkaulah kami meminta
pertolongan tunjukilah kami jalan yang lurus,

Ibadah dalam pengertian sempit

ibadah dalam pengertian sempit menurut Muh. Al-Ghazali adalah13:

‫ما انشاء الشارع حقيقته و صورته فليس يعرف اال عن طريقه كا اصالة والصيام و غيرهما‬

12
Zaini dahlan,amir syarifuddin,1999, filsafat hukum islam,(bumi aksara:Jakarta),hal 177
13
Ibid, hal 178
apa yang ditetapkan hakikat dan bentuknya oleh Allah dan Rasulullah sehingga tidak
diketahui kecuali melalui jalan tersebut seperti shalat, puasa dan yang lainnya.

Arti ibadah dalam pengertian yang sempit inilah yang sering digunakan oleh
orang dalam memahami ibadah. Tata cara ibadah yang telah ditetapkan itu harus diterima
dan diamalkan sebagaimana adanya, karena keberatan tentang bentuk atau cara tertentu
dengan maksud mengubahnya dengan cara lain, tidak menghalangi adanya keberatan baru
bagi cara yang telah diubah itu.

Dalam masalah ibadat nampak secara jelas manfaat wahyu dan kebutuhan
manusia terhadap bimbingan-Nya, yakni dalam hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh
akal manusia, sebab seandainya hal-hal tersebut dapat dijangkau maka itupun di dukung
oleh para nabi dan wahyu Allah.

b) Tujuan ibadah14

Abbas Al-Aqqad menyimpulkan dua tujuan pokok ibadah yaitu:

a. Mengingatkan manusia akan unsur rohani di dalam dirinya, yang juga memiliki
kebutuhan-kebutuhan yang berbeda dengan kebutuhan- kebutuhan jasmaniahnya.

b. Mengingatkannya bahwa di balik kehidupan yang fana ini, masih ada lagi
kehidupan berikut yang bersifat abadi.

Dan kita akan mencoba membahas filasat ibadah tersebut.

1. Falsafah shalat

Shalat merupakan tiang agama serta kewajiban pokok yang diletakkan Tuhan di atas
pundak hamba-hambanya. Mengapa demikian?15

14
Ibid hal 182
15
Amir syarifuddin,1999,filsafat hukum islam, hal 192
Pertama: dari satu sisi kebesaran dan keagungan Tuhan, shalat merupakan konsekuensi
dari keyakinan-keyakinan tentang sifat-sifat Allah yang menguasai alam raya ini,
termasuk manusia serta yang kepadanya bergantuing segala sesuatu.

Kedua: dari sisis lain yakni sisi manusia, ia adalah makhluk yang memiliki naluri antara
lain cemas dan mengharap, sehingga ia membutuhkan sandaran dan pegangan dalam
hidupnya.

Ketiga: alam raya ini berjalan di bawah satu kesatuan sistem yang dikendalikan oleh satu
kekuatan yang maha dashyat yaitu Allah. Manusia lebih-lebih lagi ilmuan-ilmuan,
membutuhkan kepastian tentang tat kerja ala mini dalam rangka pengembangan ilmu dan
penerapannya. Kepastian tersebut tidak dapat diperolehnya kecuali dengan keyakinan
tentang adanya pengendali dan pengatur alam raya ini yang bersifat esa tidak berbilang.

Jadi shalat kepada penguasa yang esa itu menggambarkan pemahaman seseorang
tentang tata kerja alam raya.

Keempat: terlepas apakah shalat mengakibatkan terpenuhinya permohonan seseorang


atau tidak, namun paling tidak shalat merupakan hubungan manusia dengan tuhan.

2. Falsafat zakat

Ada tiga alasan menggambarkan landasan pilosofis dan kewajiban zakat:16

Pertama: istiklaf (penugasan sebagai khalifah di muka bumi)

Konsekuensi terhadap harta benda yang dimiliki adalah bahwa manusia yang
dititipkan harat harus memenuhi ketetapan tuhan baik dalam pengembangan maupun
dalam penggunaannya, antara lain kewajiban dalam mengeluarkan zakat. Karena sejak
semula Allah menetapkan bahwa harta tersebut dijadikannya untuk kepentiongan
bersama.

Kedua: solidaritas social

Karena manusia adalah makhluk social maka ia diharuskan juga untuk membantu sesama
yang bertujuan untuk sosialisasi.

16
Ibid, hal 193
Ketiga: persaudaraan

Manusia berasal dari adam dan hawa maka sesame manusia itu bersaudara.

Dampak positif zakat:

a) Mengikis sifat-sifat kekikiran dalam jiwa seseorang.

b) Zakat menciptakan ketenangan dan ketentramam bukan hanya kepada penerimanya


tapi juga pemberinya.

c) Zakat mengembangkan harta benda, pengembangan tersebut dapat ditinjau dari segi
spiritual keagamaan berdasarkan:

Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah

3. Falsafat puasa17

a. Aspek kejiwaan

Seseorang yang berpuasa dengan penuh kesabara menanti saat berbuka bahkan lebih jauh
bersabar dalam menghadapi gangguan dan caci maki yang mungkin ditunjukkan
kepadanya. Kesabaran ini akibat dorongan ketaatan kepada Tuhan yang memerintahkan
berlaku demikian.

b. Aspek-aspek social

Karena diwajibkan puasa secara serentak maka manusia akan hidup dalam satu kondisi
yang sama antara yang kaya dan miskin akan merasakan hal yang sama. Dan pada waktu
malam bersama-sama pula pergi ke masjid.

c. Aspek kesehatan

17
Ibid. hal187
Puasa secara umum membatasi aktivitas pencernaan. Dan hal ini mempunyai dampak
positif bagi kesehatan, sehingga puasa dapat menjadi terapi bagi banyak penyakit, bahkan
dapat merupakan faktor penyembuhan bagi penyakit-penyakit tertentu.

4. Falsafat haji

a. Aspek social politik

Berkumpulnya umat islam dari seluruh penjuru dunia, dengan berbagai ras, bangsa,
merupakan satu cara untuk mempererat tali persaudaraan sesame muslim. Dan
manampakkan pada dunia luar syi’ar islam.

b. Aspek ekonomi

Al-qur’an secara tegas menyatakan bahwa berjual beli dibolehkan pada musim haji,
sehingga berkumpulnya umat muslim dalam satu keadaan tertentu akan memberikan
kesempatan untuk mengadakan hubungan perdagangan baik secara langsung maupun
tidak.

c. Aspek kejiwaan

Haji adalah salah satu cara untuk membersihkan jiwa, karena seseorang berada dalam
lingkungan ka’bah, yang merupakan tempat untuk menyampaikan keluh kesah kepada
Allah.

d. Aspek ibadah

Dalam ibadah haji nampak sekali ibadah di dalamnya yang dapat dilihat dari tata cara
yang ditetapkan. Tata cara tersebut apabila ditinjau secara lahiriah tanpa memperhatikan
makna-makna yang terkandung di dalamnya, dapat menimbulkan kesalahpahaman,
seperti berkeliling di ka’bah, sya’I dan sebagainya, namun walaupun hal-hal tersebut
tidak dipahami dia harus melaksanakannya sebagai tanda tunduk kepada Allah.
BAB III

PENUTUP

A.Kesimpulan

Filsafat hukum islam ialah filsafat yang diterapkan pada hukum islam. Ia merupakan
filsafat khusus dan objeknya adalah hukum islam. Maka filsafat hukum islam adalah
filsafat yang menganalisis hukum islam secara metodis dan sistematis sehingga
mendapatkan keterangan yang mendasar, atau menganalisis hukum islam secara ilmiah
dengan filsafat sebagai alatnya.

Filsafat hukum islam mengkaji berbagai aspek yang terjadi di tengah masyarakat. Dalam
mengembangkan hokum islam maka para mujtahid berijtihad untuk menemukan berbagai
solusi terhadap masalah yang terjadi di tengah masyarakat. Maka dari itu filsafat hokum
islam selalu berkembang baik dalam bidang inadah maupun mu’amalah.

B.Saran

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini banyak kekurangannya,


maka dari itu penulis mengharapkan masukan dari berbagai pihak yang mendukung untuk
perbaikan makalah ini, akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA

Dahlan, zaini.1999.Filsafat Hukum Islam. Jakarta. Bumi Aksara.

Djamil, fathurrahman. 1997. Filsafat Hukum Islam. Ciputat. Logos Wacana Ilmu

Djamil, fathurrahman. 1999. Filsafat Hukum Islam. Ciputat. Logos Wacana Ilmu

Hanafi, Ahmad. 1990. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta. Bulan bintang

S Praja Juhaya. 1995. Filsafat Hukum Islam. Bandung. Universitas LPPM


Unuversitas Islam Bandung

Anda mungkin juga menyukai