Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

ISLAM DAN DISIPLIN ILMU

Diajukan untuk melengkapi Treatment nilai Islam dan Disiplin Ilmu


Disusun oleh :

Imam Syahputra Okri Pratama 10040013094

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum Islam mengacu pada pandangan hukum yang mengatakan bahwa


hukum Islam itu diciptakan karena ia mempunyai maksud dan tujuan. Tujuan
dari adanya hukum Islam adalah terciptanya kedamaian di dunia dan
kebahagian di akhirat.Jadi hukum Islam bukan bertujuan meraih kebahagaiaan
yang fana’ dan pendek di dunia semata, tetapi juga mengarahkan kepada
kebahagiaan yang kekal di akhirat kelak.Inilah yang membedakannya dengan
hukum manusia yang menghendaki kedamaian di dunia saja.

Dengan adanya Filsafat Hukum Islam, dapat dibuktikan bahwa hukum


Islam mampu memberikan jawaban terhadap tantangan zaman dan merupakan
hukum terbaik sepanjang zaman bagi semesta alam. Syariat Islam sebagai
sumber hukum Islam merupakan sebuah kaidah tatanan kehidupan bagi umat
muslim pada khususnya dan umat manusia pada umumnya yang diberikan oleh
Allah SWT. Karena kedudukannya sebagai kaidah langsung dari Allah tersebut,
dalam pelaksanaannya, manusia baik disadari maupun memerlukan penafsiran
akan kaidah-kaidah tersebut. Hal ini tidak lain karena syariat Islam sebagai
“hukum Tuhan” akan sulit dicerna oleh manusia yang kemampuannya terbatas,
sehingga untuk dapat mengaplikasikannya maka diperlukan penafsiran-
penafsiran yang tepat dan sesuai.

Ijtihad merupakan kunci untuk menyelesaikan problem yang dihadapi oleh


umat Islam sekarang dan yang akan datang, hal inilah yang membuat Islam
dinamis, sesuai dengan tempat dan zaman. Ijtihad muncul disebabkan karena
adanya masalah-masalah yang kontemporer dimana nash-nash atau dalil tidak
membicarakannya secara khusus.

1
B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dan tujua dari filsafat hukum islam?


2. Apasaja ruang lingkup hukum islam?
3. Bagaimana kedudukan filsafat hukum islam antara wahyu dan
pemikiran?
4. Apa kaitan filsafat hukum islam dengan ijtihad?
5. Bagaimana filsafat mengenai ibadah?

C. Tujuan
a. Untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliyah filsafat hukum
islam
b. Agar penulis mampu menjelaskan dan memahami apa yang
dimaksud dengan filsafat hukum islam
c. Penulis mampu menjelaskan ruang lingkup filsafat hukum islam
d. Agar penulis mampu menjelaskan bagaimana posisi filsafat hukum
islam itu dengan wahyu dan pemikiran
e. Agar penulis mampu menjelaskan kaitan filsafat hukum islam
dengan ijtihad
f. Agar penulis mampu menjelaskan filsafat hukum islam dengan
ibadah

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Filsafat Hukum Islam

Filsafat menurut bahasa berarti hikmah dan hakim, yang dalam bahasa arab
dipakai kata filsafat dan filisof.

Hikmah adalah perkara tertinggi yang bisa dicapai oleh manusia dengan melalui
alat-alatnya yang tertentu, yaitu akal dan metode-metode berpikirnya1. Allah
berfirman:

‫ي فَقَدْ ْال ِح ْك َمةَ يُؤْ تَ َو َم ْن ۚ يَشَا ُء َم ْن ْال ِح ْك َمةَ يُؤْ تِي‬ ُ ً ِ‫ب أُولُو ِإ َّّل يَذَّ َّك ُر َو َما ۗ َكث‬
ِ ‫ْاْل َ ْلبَا‬
َ ِ‫يرا َخي ًْرا أوت‬

“Tuhan memberikan hikmah kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan siapa yang
diberi hikmat, maka ia telah diberi kebaikan yang banyak sekali”
(QS.Albaqarah:269)

Filsafat hukum islam ialah filsafat yang diterapkan pada hukum islam. Ia
merupakan filsafat khusus dan objeknya adalah hukum islam. Maka filsafat hukum
islam adalah filsafat yang menganalisis hukum islam secara metodis dan sistematis
sehingga mendapatkan keterangan yang mendasar, atau menganalisis hukum islam
secara ilmiah dengan filsafat sebagai alatnya.2

Menurut Azhar Basyir, filsafat hukum islam adalah pemikiran secara


ilmiah, sistematis, dapat dipertanggungjawabkan dan radikal tentang hukum islam.
Filsafat hukum islam merupakan anak sulung dari filsafat islam.

Dengan kata lain filsafat hukum islam adalah pengetahuan tentang hakikat,
rahasia, dan tujuan hukum islam baik yang menyangkut materinya maupun proses
penetapannya, atau filsafat yang digunakan untuk memancarkan, menguatkan, dan
memelihara hukum islam, sehingga sesuai dengan maksud dan tujuan Allah

1
Ahmad Hanafi, 1990, Pengantar Filsafat Islam,(Bulan Bintang:Jakarta), hal 3
2
Fathurrahman Djamil, 1997, Filsafat Hukum Islam, (Logos Wacana Ilmu:Ciputat), hal 14

3
menetapkannya di muka bumi, yaitu untuk kesejahteraan umat manusia seluruhnya.
Dengan filsafat ini, hukum islam akan benar-benar cocok sepanjang masa di
semesta alam.3

Maka filsafat hukum islam itu berupaya menyesuaikan diri dengan keadaan
masyarakat yang terjadi di tengah masyarakat. Dengan kata lain filsafat hukum
islam bersikap kritis terhadap masalah-masalah. Jawaban-jawabannya tidak luput
dari kritik lebih lanjut, sehingga ia dikatakan sebagai seni kritik, dalam arti tidak
pernah merasa puas diri dalam mencari, tidak menganggap suatu jawaban sudah
selesai, tetapi selalu bersedia bahkan senang membuka kembali perdebatan.

Filsafat hukum islam sebagaimana filsafat lainnya menjawab pertanyaan-


pertanyaan yang tidak terjangkau oleh ilmu hukum. Filsafat hukum islam itu
mempunyai dua tugas yaitu4:

Pertama :tugas kritis. Yaitu mempertanyakan kembali paradigm-paradigma


yang telah mapan di dalam hukum islam.

Kedua : tugas kontruktif. Yaitu mempersatukan cabang-cabang hukum


islam dalam kesatuan sistem hukum islam sehingga Nampak bahwa antara satu
cabang hukum islam mengajukan pertanyaan-pertanyaan: apa hakikat hukum
islam: dan lain-lain.

B. Objek Kajian dan Kegunaan Filsafat Hukum Islam

Tujuan dari adanya hukum islam adalah terciptanya kedamaian di dunia dan
kebahagiaan di akhirat.

Tujuan dari hukum islam tersebut merupakan manifestasi dari sifat rahman
dan rahim (maha pengasih dan maha penyayang) Allah kepada semua makhluk-
nya. Rahmatan lil-alamin adalah inti syariah atau hukum islam. Dengan adanya

3
ibid
4
Juhaya S. Praja, 1995,Filsafat Hukum Islam,(Pusat Penerbit Universitas LPPM:Bandung),hal 15

4
syariah tersebut dapat ditegakkan perdamaian di muka bumi dengan pengaturan
masyarakat yang memberikan keadilan kepada semua orang.5

Para ahli ushul fiqh, sebagaimana ahli filsafat hukum islam, membagi
filsafat nhukum islam kepada dua rumusan, yaitu falsafat tasyri’ dan falsafat
syari’ah.6

1. Falsafat tasyri’: filsafat yang memancarkan hukum islam atau


menguatkannya dan memeliharanya. Filsafat ini bertugas membicarakan hakikat
dan tujuan penetapan hukum islam. Filsafat tasyri’ terbagi kepada:

a. Da’aim al-ahkam (dasar-dasar hukum islam)

b. Mabadi al-ahkam (prinsip-prinsip hukum islam)

c. Ushul al-ahkam (pokok-pokok hukum islam) atau mashadir al-


ahkam (sumber-sumber hukum islam)

d. Maqashid al-ahkam (tujuan-tujuan hukum islam)

e. Qawaid al-ahkam (kaidah-kaidah hukum islam)

2. Falsafat syari’ah: filsafat yang diungkapkan dari materi-materi hukum islam


seperti ibadah, muamalah, jinayah, ‘uqubah, dan sebagainya. Filsafat ini bertugas
untuk membicarakan hakikat dan rahasia hukum Islam. Termasuk dalam
pembagian falsafat syari’ah adalah:

a. Asrar al-ahkam (rahasia-rahasia hukum islam)

b. Khasha’is al-ahkam (cirri-ciri khas hukum islam)

c. Mahasin al-ahkam (keutamaan-keutamaan hukum islam)

d. Thawabi’ al-ahkam (karakteristik hukum islam)

5
Loc Cit, hal 15
6
Fathurrahman Djamil, hal 16

5
Menurut Juhaya s. Praja dalam bukunya mengatakan bahwa objek filsafat
hukum islam meliputi objek teoritis dan objek praktis. Objek teoritis filsafat hukum
islam adalah objek kajian yang merupakan teori-teori hukum islam yang meliputi:7

1) Prinsip-prinsip hukum islam


2) Dasar-dasar dan sumber-sumber hukum islam
3) Tujuan hukum islam
4) Asas-asas hukum islam, dan
5) Kaidah-kaidah hukum islam

Objek filsafat hukum islam teoritis ini seringkali disebut objek falsafat al-
tasyri’. Sementara objek praktis filsafat hukum islam atau objek falsafat al-syari’ah
atau asra’r al-syari’ah meliputi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan, seperti:

a) Mengapa manusia melakukan mu’amalah; dan mengapa manusia


harus diatur oleh hukum islam?

b) Mengapa manusia harus melakukan ibadah, seperti shalat?

c) Apa rahasia atau hikmah yang terkandung dalam pelaksanaan puasa,


haji, dan sebagainya

C. Filsafat Hukum Islam Antara Wahyu dan Pemikiran

1) Hukum islam dan tantangan modernitas

Islam diyakini sebagai agama yang universal, tidak terbatas oleh waktu dan
tempat, dan islam akan berhadapan dengan modernitas, sebagaimana ia berhadapan
dengan masyarakat yang bersahaja. Sehingga syari’at islam dapat dibuktikan tidak
bertentangan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Lebih dari itu

7
Loc Cit, Juhaya s. Praja, Filsafat Hukum Islam, hal 15

6
dapat diyakini bahwa syari’at islam sesuai untuk setiap masyarakat di mana dan
kapanpun mereka berada.8

2) Qath’I al-Dilalah dan Zhanni al-Dhalalah

Pada dasarnya ajaran islam dapat dibedakan menjadi dua kelompok.


Pertama, ajaran islam yang bersifat absolute, universal, dan permanen, tidak
berubah dan tidak dapat diubah. Termasuk di dalamnya hadits yang mutawatir dan
al-qur’an yang menunjukkan yang jelas dan qat’i. kedua ajaran islam yang bersifat
relative, tidak universal dan tidak permanen , melainkan dapat berubah dan diubah.
Termasuk kelompok kedua ini adalah ajaran islam yang dihasilkan melalui proses
ijtihad. Keranhka berpikir ini sering muncul dikalangan ahli ushul fiqih dan pakar
pembaharuan dalam islam. Dikalangan ahli ushul fiqih dikenal antara dalil qat’I dan
dalil zhanni, baik eksistensinya wurud maupun penunjukkannya dalalah.

Dari dalil Al-qur’an yang zhanni para ahli hukum islam berbeda pendapat
dalam memandangnya, mereka mencoba membuat kesimpulan hukum atau
penafsiran sesuai dengan pengetahuan dan kondisi di mana mereka hidup, selama
tidak keluar dari arti lafal . sementara itu kecendrungan mereka terhadap
penggunaan hadits, sebagai sumbert kedua hukum islam, ternyata berbeda. Di
antara mereka ada yang lebih banyak menggunakan nalar, ketimbang merujuk pada
Hadits yang dianggapnya kurang kuat. Dalam sejarah hukum islam kelompok
pertama dikenal sebagai ahl-hadits, sedangkan kelompok kedua dikenal dengan
sebutan ahl- ra’yu, maka tidak heran kalau hasil ijtihad mereka berbeda.

Hadits yang bersifat zhanny al-wurud masih dapat dipertanyakan


keberadaanya. Melalui celah-celah dari dalil yang zhanni, baik wurud maupun
dalalahnya, para ahli hukum berupaya untuk menemukan kesimpulan hukum.
Karena itu hasil ijtihad lebih banyak yang bersifat relative dan berubah. Tridak ada
alasan bagi umat islam untuk menjadikan hasil ijtihad seseorang atau sekelompok
orang sebagai kebenaran mutlak.

8
Ibid, hal 41

7
Ajaran Islam yang termasuk kelompok kedua, yang zhanny al-dalalah, yang
relative dan temporer itu telah memenuhi khazanah intelektual muslim dalam
berbagai bidang, mulai dari bidang tafsir dan hadits sampai bidang filsafat. Makin
lama umat Islam makin banyak akan tetapi Qur’an itu-itu juga. Pernyataan ini
menunjukkan bahwa kemungkinan mengadakan perubahan dan pembaharuan
ajaran islam yang bersifat relative, temasuk bidang hukumnya sangat besar. Atas
dasar itu dapat dikatakan bahwa Islam sudah siap menghadapi segala persoalan
modern. Fiqih bukanlah kebenaran yang mutlak tetapi ia dapat berubah-ubah sesuai
keadaan yang terjadi.

D. Hukum Islam dan Perubahan Sosial

Masyarakat senantiasa mengalami perubahan. Perubahan dapat berupa


perubahan tatanan social, budaya, social-ekonomi. Menurut para ahli linguistic,
bahasa akan mengalami perubahan setiap Sembilan puluh tahun, perubahan dalam
bahasa secara langsung atau tidak langsung mengandung arti perubahan dalam
masyarakat itu.9

Dengan begitu maka masalah yang terjadipun akan selalu berubah dan
diperlukan ijtihad yang sesuai dengan keadaan sekarang. Karena itu ibnu qayyim
mengatakan:

‫العود و اّلحوال و اّلمكنة و اّلزمان بتغير الفتوي ائتغير‬

perubahan fatwa adalah karena perubahan zaman, tempat, keadaan, dan kebiasaan.

Maksud dari pernyataan diatas adalah bahwa kondisi suatu masyarakat akan
berpengaruh terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh mufti. Namun hal ini tidak
berarti hukum akan berubah begitu saja tanpa memperhatikan norma yang terdapat
dalam sumber utama hukum isl;am, al-qur’an dan hadist.

9
Fathurrahman djamil, filsafat hukum islam, hal163

8
Sejarah mencatat bahwa ijtihad telah dilakukan dari masa kemasa. Pada
masa awal islam, ijtihad telah dilakukan dengan baik dan kreatif. Pada masa
berikutnya muncul sederetan mujtahid kenamaan. Keadaan ini berlangsung sampai
masa keemasan umat islam.

Ijtihad pada masa sekarang ini lebih diperlukan dibandingkan dengan masa-
masa lampau, karena muncul berbagai persoalan yang menuntut kita untuk
menyelesaikannya. Ada beberapa masalah yang muncul sekarang ini secara
kebetulan mirip atau bahkan sama dengan masalah-nasalah yang telah dibahas oleh
para ahli fiqih terdahulu. Terhadap kasusu semacam ini mujtahid sekarang
berkewajiban untuk mempelajari dan meninjau kembali masalah-masalah yang
telah ditetapkan hukumnya, kemudian menyesuaikannya dengan kondisi dan
kebutuihan kita sekarang ini. Itulah barangkali yang dimaksud dengan adagium:10

‫اّلصلح بالجديد اّلخذ و المصالح القديم على المحافظة‬

“Mempertahankannya yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih
baik”

Sedangkan mengenai masalah-masalah yang sama sekali baru, mujtahid


harus menyelesaikannya dengan cara memahami secara baik masalah dimaksud
kemudian membahasnya secara seksama dengan tetap merujuk kepada al-qur’an
dan hadis.

Maka pada masa sekarng ini ijtihad dilakukan dengan dua cara:11

1. Ijtihad inthiqai atau ijtihad tarjihi

Yang dimaksud dengan ijmtihad ini ialah ijtihad yang dilakukan seseorang atau
sekelompok orang untuk memilih pendapat para ahli fiqih terdahulu mengenai
masalah-masalah tertentu, sebagaimana tertulis dalam kitab fiqih dan menyeleksi
mana dalil yang lebih kuat. Kemungkinan besar pendapat para ahli fiqih terdahulu
mengenai masalah yang sedan dipecahkan itu berbeda-beda. Dalam hal ini mujtahid

10
Ibid, hal 166
11
Ibid, hal 167

9
munthaqi bertugas untuk mempertimbangkan dan menyeleksi dalil-dalil dan
argumentasi dari setiap pendapat itu, kemudian memberikan pemikiran terhadap
pendapat yang dianggap kuat dan dapat diterima.

Mujtahid ini disewbut juga dengan ahli tarjih. Tarjih pada periode ini berarti
menyeleksi berbagai pendapat dari mazhab apapun, kemudian diambil pendapat
yang rajih, berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Pendapat ahli fiqih terdahulu
dinyatakn rajah apabila pendapat itu didasarkan oleh dalil yang kuat, cocok dengan
zaman sekarang, dan sesuai tujuan disyariatkannya hukum islam.

Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan oleh mujtahid munthaqi,


diantaranya adalah perubahan social budaya, kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, dan kesesuaian dengan tuntutan zaman.

2. Ijtihad insya’i

Yang dimaksud denagn ijtihad ini adalah usaha untuyk menetapkan kesimpulan
hukum mengenai peristiwa-peristiwa baru yang belum diselesaikan para ahli fiqih
terdahulu. Dalam ijtihad ini diperlukan pemahaman yang menyeluruh terhadap
kasus-kasus baru yang akan ditetapkan hukumnya. Dalam masalah ini ijtihad jama’I
sangat diperlukan karena keterbatasan pengetahuan seseorang disertai semakin
ketatnya disiplin ilmu pada masa sekarang ini, maka ijtihad fardi mengenai kasus
yang sama szekali baru, kemungkinan akan besar akan membawa kepada
kekeliruan.

Dalam ijtihad insya’I diperlukan pemahaman yang baik tentang metode


penetapan hukum. Ada beberapa metode yang telah dikemukakan oleh para ahli
ushul fiqih terdahulu. Diantara metode itu adalah qiyas, istihsan, maslahah
mursalah, dan sad adz-zariah. Hal lain yang perlu mendapat perhatian dari orang
yang akan melakukan ijtihad insya’I adalah pengetahuan tentang tujuan
disyariatkan hukum Islam, sebab pada dasarnya semua metode penetapan hukum
islam bermuara pada hal tersebut.

10
E. Filsafat hukum islam pada bidang ibadah

a) Pengertian ibadah

Kata ibadah terambil dari kata ‘abada yang artinya mengabdi, tunduk, taat.
Sedangkan menurut Mahmud syaltut dalm formasi yang singkat mengemukakan
arti ibadah sebagai:

‫تحد ّل لعظمة تحد ّل خضوع‬

“ketundukan yang tidak terbatas bagi (pemilik) keagungan yang tidak terbatas
pula.”

Hal ini menurut syaltut lebih jauh menunjukkan puncak tertinggi dan
kerendahan hati kecintaan batin, serta peleburan diri kepada keagungan dan
kecantikan siapa yang kepadanya seseorang beribadat, peleburan yang tidak dicapai
oleh peleburan apapun.

Oleh syekh jafar subhani mengemukakan tiga formulasi ibadat yaitu


ketundukkan dan ketaatan yang berbentuk lisan dan praktek yang timbul akibat
keyakinan tentang ketuhanan siapa yang kepadanya seseorang tunduk.

Menurut m. al-ghazali hakikat ibadah akan terwujud apabila memenuhio


tiga hal: 1. Tidak menganggap apa yang berada dibawah kekuasaan atau
wewenangnya sebagai milki pribadinya, karena yang dinamai (hamba sahaya) tidak
memiliki sesuatu, 2. Menjadikan segala aktifitasnya berkisar pada pelaksanaanya
apa yang diperintahkan kepadanya, serta ,menjauhi apa yang dilarangnya, 3. Tidak
mendahuluinya dalam mengambil suatu keputusan atau dengan kata lain
mengaitkan segala apa yang hendak dilakukannya dengan seizing dan restu siapa
yang kepadanya ia mengabdi.12

Perintah ibadah dalam al-qur’an selalu dikaitkan dengan :

12
Zaini dahlan,amir syarifuddin,1999, filsafat hukum islam,(bumi aksara:Jakarta),hal 177

11
a. Sifat rububiyah (pemeliharaan tuhan) seperti dalam surat
al-baqarah:21

‫اس أَيُّ َها يَا‬


ُ َّ‫تَتَّقُونَ لَعَلَّ ُك ْم ُك ْمِِقَبْل ِم ْن َوالَّذِينَ َخلَقَ ُك ْم الَّذِي َربَّ ُك ُم ا ْعبُد ُوا الن‬

Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang Telah menciptakanmu dan orang-orang


yang sebelummu, agar kamu bertakwa,

b. Tawakkal kepada Allah (penyerahan diri kepada Allah


setelah usaha maksimal) terdapat dalam surat al-fatihah
ayat 5-6

َ‫نَ ْستَ ِعينُ َو ِإيَّاكَ نَ ْعبُد ُ ِإيَّاك‬

Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan Hanya kepada Engkaulah kami
meminta pertolongan tunjukilah kami jalan yang lurus,

Ibadah dalam pengertian sempit

ibadah dalam pengertian sempit menurut Muh. Al-Ghazali adalah13:

‫غيرهما و والصيام اصالة كا طريقه عن اّل يعرف فليس صورته و حقيقته الشارع انشاء ما‬

apa yang ditetapkan hakikat dan bentuknya oleh Allah dan Rasulullah sehingga
tidak diketahui kecuali melalui jalan tersebut seperti shalat, puasa dan yang lainnya.

Arti ibadah dalam pengertian yang sempit inilah yang sering digunakan oleh
orang dalam memahami ibadah. Tata cara ibadah yang telah ditetapkan itu harus
diterima dan diamalkan sebagaimana adanya, karena keberatan tentang bentuk atau
cara tertentu dengan maksud mengubahnya dengan cara lain, tidak menghalangi
adanya keberatan baru bagi cara yang telah diubah itu.

Dalam masalah ibadat nampak secara jelas manfaat wahyu dan kebutuhan
manusia terhadap bimbingan-Nya, yakni dalam hal-hal yang tidak dapat dijangkau
oleh akal manusia, sebab seandainya hal-hal tersebut dapat dijangkau maka itupun
di dukung oleh para nabi dan wahyu Allah.

13
Ibid, hal 178

12
b) Tujuan ibadah14

Abbas Al-Aqqad menyimpulkan dua tujuan pokok ibadah yaitu:

a. Mengingatkan manusia akan unsur rohani di dalam dirinya, yang juga


memiliki kebutuhan-kebutuhan yang berbeda dengan kebutuhan- kebutuhan
jasmaniahnya.

b. Mengingatkannya bahwa di balik kehidupan yang fana ini, masih ada lagi
kehidupan berikut yang bersifat abadi.

Dan kita akan mencoba membahas filasat ibadah tersebut.

1. Falsafah shalat

Shalat merupakan tiang agama serta kewajiban pokok yang diletakkan Tuhan di
atas pundak hamba-hambanya. Mengapa demikian?15

Pertama: dari satu sisi kebesaran dan keagungan Tuhan, shalat merupakan
konsekuensi dari keyakinan-keyakinan tentang sifat-sifat Allah yang menguasai
alam raya ini, termasuk manusia serta yang kepadanya bergantuing segala sesuatu.

Kedua: dari sisis lain yakni sisi manusia, ia adalah makhluk yang memiliki
naluri antara lain cemas dan mengharap, sehingga ia membutuhkan sandaran dan
pegangan dalam hidupnya.

Ketiga: alam raya ini berjalan di bawah satu kesatuan sistem yang
dikendalikan oleh satu kekuatan yang maha dashyat yaitu Allah. Manusia lebih-
lebih lagi ilmuan-ilmuan, membutuhkan kepastian tentang tat kerja ala mini dalam
rangka pengembangan ilmu dan penerapannya. Kepastian tersebut tidak dapat
diperolehnya kecuali dengan keyakinan tentang adanya pengendali dan pengatur
alam raya ini yang bersifat esa tidak berbilang.

Jadi shalat kepada penguasa yang esa itu menggambarkan pemahaman


seseorang tentang tata kerja alam raya.

14
Ibid, hal 182
15
Amir syarifuddin,1999,filsafat hukum islam, hal 192

13
Keempat: terlepas apakah shalat mengakibatkan terpenuhinya permohonan
seseorang atau tidak, namun paling tidak shalat merupakan hubungan manusia
dengan tuhan.

2. Falsafat zakat

Ada tiga alasan menggambarkan landasan pilosofis dan kewajiban zakat:16

Pertama: istiklaf (penugasan sebagai khalifah di muka bumi)

Konsekuensi terhadap harta benda yang dimiliki adalah bahwa manusia yang
dititipkan harat harus memenuhi ketetapan tuhan baik dalam pengembangan
maupun dalam penggunaannya, antara lain kewajiban dalam mengeluarkan zakat.
Karena sejak semula Allah menetapkan bahwa harta tersebut dijadikannya untuk
kepentiongan bersama.

Kedua: solidaritas social

Karena manusia adalah makhluk social maka ia diharuskan juga untuk


membantu sesama yang bertujuan untuk sosialisasi.

Ketiga: persaudaraan

Manusia berasal dari adam dan hawa maka sesame manusia itu bersaudara.

Dampak positif zakat:

a) Mengikis sifat-sifat kekikiran dalam jiwa seseorang.

b) Zakat menciptakan ketenangan dan ketentramam bukan hanya kepada


penerimanya tapi juga pemberinya.

c) Zakat mengembangkan harta benda, pengembangan tersebut dapat ditinjau


dari segi spiritual keagamaan berdasarkan:

16
Ibid, hal 193

14
‫ّللاُ يَ ْم َح ُق‬
َّ ‫الربَا‬ ِ ‫صدَقَا‬
ِ ‫ت َوي ُْربِي‬ َّ ‫أَ ِثيم ار َِكَف ُك َّل ي ُِحبُّ َّل َو‬
َّ ‫ّللاُ ۗ ال‬

Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai
setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.

3. Falsafat puasa17

a. Aspek kejiwaan

Seseorang yang berpuasa dengan penuh kesabara menanti saat berbuka bahkan
lebih jauh bersabar dalam menghadapi gangguan dan caci maki yang mungkin
ditunjukkan kepadanya. Kesabaran ini akibat dorongan ketaatan kepada Tuhan
yang memerintahkan berlaku demikian.

b. Aspek-aspek social

Karena diwajibkan puasa secara serentak maka manusia akan hidup dalam satu
kondisi yang sama antara yang kaya dan miskin akan merasakan hal yang sama.
Dan pada waktu malam bersama-sama pula pergi ke masjid.

c. Aspek kesehatan

Puasa secara umum membatasi aktivitas pencernaan. Dan hal ini


mempunyai dampak positif bagi kesehatan, sehingga puasa dapat menjadi terapi
bagi banyak penyakit, bahkan dapat merupakan faktor penyembuhan bagi penyakit-
penyakit tertentu.

4. Falsafat haji

a. Aspek social politik

Berkumpulnya umat islam dari seluruh penjuru dunia, dengan berbagai ras,
bangsa, merupakan satu cara untuk mempererat tali persaudaraan sesame muslim.
Dan manampakkan pada dunia luar syi’ar islam.

b. Aspek ekonomi

17
Ibid, hal 187

15
Al-qur’an secara tegas menyatakan bahwa berjual beli dibolehkan pada
musim haji, sehingga berkumpulnya umat muslim dalam satu keadaan tertentu akan
memberikan kesempatan untuk mengadakan hubungan perdagangan baik secara
langsung maupun tidak.

c. Aspek kejiwaan

Haji adalah salah satu cara untuk membersihkan jiwa, karena seseorang
berada dalam lingkungan ka’bah, yang merupakan tempat untuk menyampaikan
keluh kesah kepada Allah.

d. Aspek ibadah

Dalam ibadah haji nampak sekali ibadah di dalamnya yang dapat dilihat dari
tata cara yang ditetapkan. Tata cara tersebut apabila ditinjau secara lahiriah tanpa
memperhatikan makna-makna yang terkandung di dalamnya, dapat menimbulkan
kesalahpahaman, seperti berkeliling di ka’bah, sya’I dan sebagainya, namun
walaupun hal-hal tersebut tidak dipahami dia harus melaksanakannya sebagai tanda
tunduk kepada Allah.

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Filsafat hukum islam ialah filsafat yang diterapkan pada hukum islam. Ia
merupakan filsafat khusus dan objeknya adalah hukum islam. Maka filsafat hukum
islam adalah filsafat yang menganalisis hukum islam secara metodis dan sistematis
sehingga mendapatkan keterangan yang mendasar, atau menganalisis hukum islam
secara ilmiah dengan filsafat sebagai alatnya.

Filsafat hukum islam mengkaji berbagai aspek yang terjadi di tengah


masyarakat. Dalam mengembangkan hukum islam maka para mujtahid berijtihad
untuk menemukan berbagai solusi terhadap masalah yang terjadi di tengah
masyarakat. Maka dari itu filsafat hukum islam selalu berkembang baik dalam
bidang ibadah maupun mu’amalah.

B.Saran

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini banyak


kekurangannya, maka dari itu penulis mengharapkan masukan dari berbagai pihak
yang mendukung untuk perbaikan makalah ini, akhir kata penulis mengucapkan
terima kasih.

17
DAFTAR PUSTAKA

Dahlan, zaini.1999.Filsafat Hukum Islam. Jakarta. Bumi Aksara.

Djamil, fathurrahman. 1997. Filsafat Hukum Islam. Ciputat. Logos Waca na Ilmu

Djamil, fathurrahman. 1999. Filsafat Hukum Islam. Ciputat. Logos Wacana Ilmu

Hanafi, Ahmad. 1990. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta. Bulan bintang

S Praja Juhaya. 1995. Filsafat Hukum Islam. Bandung. Universitas LPPM


Unuversitas Islam Bandung

18

Anda mungkin juga menyukai