Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN FILSAFAT


HUKUM ISLAM

DOSEN PENGAMPUH: Dr. Zaenal Abidin. M.,HI

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK I

 Emy lita Putri (10900122035)


 Arnum Rahmadani (10900122044)
 Nurwahyuni (10900122046)

JURUSAN ILMU FALAK

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI ALLAUDDIN MAKASSAR

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat allah swt yang telah memberikan rahmat dan
hidayahnya sehingga Kami dapat menyelesaikan tugas makalah kami yang
berjudul Sejarah pertumbuhan dan perkembangan filsafat hukum islam

Adapun tujuan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada mata
kuliah filsafat hukum islam selain itu, makalah ini juga bertujuan uuntuk
menambah wawasan bagi para pembaca dan penulis

Kami mengucapkan terimakasih kepada dosen mata kuliah filsafat hukum


islam,yang memberikan tugas ini kepada kami sehingga dapat menambah
wawasan kami sesuai bidang studi yang kami tekuni.

Kami menyadari makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna .Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.

Samata, 02 oktober 2023

Penulis

Kelompok 1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Hukum Islam mengacu pada pandangan hukum yang mengatakan bahwa


hukum Islam itu diciptakan karena ia mempunyai maksud dan tujuan. Tujuan dari
adanya hukum Islam adalah terciptanya kedamaian di dunia dan kebahagian di
akhirat. Jadi hukum Islam bukan bertujuan meraih kebahagaiaan yang fana’ dan
pendek di dunia semata, tetapi juga mengarahkan kepada kebahagiaan yang kekal
di akhirat kelak. Inilah yang membedakannya dengan hukum manusia yang
menghendaki kedamaian di dunia saja.

Dengan adanya Filsafat Hukum Islam, dapat dibuktikan bahwa hukum


Islam mampu memberikan jawaban terhadap tantangan zaman dan merupakan
hukum terbaik sepanjang zaman bagi semesta alam. Syariat Islam sebagai sumber
hukum Islam merupakan sebuah kaidah tatanan kehidupan bagi umat muslim pada
khususnya dan umat manusia pada umumnya yang diberikan oleh Allah SWT.
Karena kedudukannya sebagai kaidah langsung dari Allah tersebut, dalam
pelaksanaannya, manusia baik disadari maupun memerlukan penafsiran akan
kaidah-kaidah tersebut. Hal ini tidak lain karena syariat Islam sebagai “hukum
Tuhan” akan sulit dicerna oleh manusia yang kemampuannya terbatas, sehingga
untuk dapat mengaplikasikannya maka diperlukan penafsiran-penafsiran yang
tepat dan sesuai.

Ijtihad merupakan kunci untuk menyelesaikan problem yang dihadapi oleh


umat Islam sekarang dan yang akan datang, hal inilah yang membuat Islam
dinamis, sesuai dengan tempat dan zaman. Ijtihad muncul disebabkan karena
adanya masalah-masalah yang kontemporer dimana nash-nash atau dalil tidak
membicarakannya secara khusus.
B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian filsafat hukum Islam?


2. Bagaimana pertumbuhan filsafat hukum Islam?
3. Bagaimana perkembangan filsafat hukum Islam.

C. Metodologi (Cara mengumpulkan dan menganalis data)

Cara pengumpulan data ini dari pemahaman dan pendapat dari Pustaka
(library research) yang diamana data-data akan di peroleh melalui studi tehadap
buku-buku, jurnal, dan karya-karya ilmiah lain yang sesuai dengan pokok
masalah. Sumbe data dalam masalah ini dapat dibedakan menjadi sumber data
utama dan sumber data pendukung, sumber data utama merupakan karya-karya
asli yang ditulis oleh tokoh-tokoh yang mempunyai pandangan tentang maslahah,
yaitu karya al-juwaini, al-Ghazali, ‘Izzuddin ibn ‘Abd al-Salam, al-ufi, dan al-
Shatibi. Sementara data pendukung adalah karya-karya ushul fiqh lainnya yang
secara umum juga memberikan penjelasan mengenai maslahah. Selain itu karya
Sejarah hukum islam juga dijadikan karya pendukung untuk menjelaskan konsep
maslahah tersebut dari sisi kesejarahannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Filsafat Hukum Islam

Filsafat Hukum Islam terdiri dari tiga kata, yaitu: Filsafat, Hukum dan
Islam. Ketiga kata itu memiliki defenisi masing-masing. Sebelum mendefenisikan
Filsafat Hukum Islam, alangkah baiknya terlebih dahulu, mendefenisikan Filsafat
Hukum. Filsafat Hukum adalah pengetahuan tentang pemikiran mendalam,
sistematis, logis, dan radikal tentang berbagai aturan yang berlaku dalam
kehidupan manusia, baik aturan bermasyarakat maupun aturan bernegara. Hukum
adalah peraturan-peraturan tentang perbuatan dan tingkah laku manusia dalam lalu
lintas hidup. Dalam islam, “Hukum” adalah menetapkan sesuatu atas sesuatu
(itsbatu syai,in ‘ala syai’in). secara ringkas, ia berarti ketetapan.1

Filsafat Hukum Islam adalah kajian tentang hakikat hukum islam, sumber
asal muasal hukum Islam dan prinsip penerapannya, serta manfaat hukum islam
bagi kehidupan masyarakatnya yang melaksanakannya. Dengan demikian, yang
dimaksud dengan Filsafat Huku Islam adalah setiap kaidah, asas atau mabda’,
aturan-aturan pengendalian masyarakat pemeluk agama Islam. Kaidah-kaidah itu
dapat berupa ayat Al-Qur’an, hadis pendapat sahabat dan tabi’in, ijma’ ulama,
fatwa lembaga keagamaan. Filsafat Hukum Islam diartikan pula dengan istilah
hikmah at-tasyri’. Berdasarka pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa
Filsafat Hukum Islam merupakan pengethuan tentang rahasia hukum yang digali
secara filosofis, baik dengan pendekatan atologis maupun epistemologis. Filsafat
Hukum Islam dapat diartikan pula sebagai pengetahuan tentang hukum Islam da
nasal-muasalnya, proses pencarian rahasia dan ‘illat hukum serta tujuannya
diberlakukan sebagai prinsip-prinsip dasar untuk berperilaku.2

Bagi yang memenganggap filsafat sama dengan hikmah, maka filsafat


hukum Islam adalah hikmah hukum Islam itu. Akan tetapi, apabila kita mengikuti
pemdapat al-Jurjawi bahwa yang dihasilkan oleh ahli piker adalah filsafat dan
1
Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Pres,
2013, Edisi.1, Cetakan. 1, hal. 3.
2
Ibid, hal. 4-5.
yang dihasilkan orang yang mendapat kasyf dari Allah sehingga menemukan
kebenaran adalah hikmah, dan pendapat Mustafa Abdul Raziq bahwa ilmu Ushul
Fiqg adalah ilmu Filsafat Hkum Islam, maka Filsafat Hukum Islam tidak sama
dengan hikmah hukum Islam.3

Menurut Azhar Basyir, filsafat hukum Islam adalah pemikiran secara


ilmiah, sistematis, dapat dipertanggung jawabkan dan radikal tentang hukum
Islam. Filsafat hukum Islam merupakan anak sulung dari filsafat Islam.

B. Pertumbuhan Filsafat Hukum Islam

Filsafat berasal dari Keldania (sekarang Irak), kemudian pindah ke Mesir,


lalu ke Yunani, Suryani, dan akhirnya sampai ke negeri Arab. Filsafat pindah ke
negeri Arab setelah datangnya Islam. Setelah kaum muslimin membentuk suatu
negara raksasa yang membentang dari penghujung negeri Cina di timur, sampai ke
penghujung semenanjung Andalusia di Barat. Mereka telah menerima dan
memegang panji-panji peradaban dunia, mendalami berbagai disiplin ilmu dan
seni, serta merenungkan dasar-dasarnya. Watak ajaran Islam adalah terbuka, oleh
sebab itu sesuai dengan perkembangan dan perluasan wilayah Islam itu sendiri,
maka ajaran Islam tidak bisa lepas dari pergumulan dengan budaya dan
pengetahuan bangsa lain serta berkembang semakin luas dan menyangkut
berbagai disiplin ilmu, termasuk filsafat.

Pergumulan antara bangsa satu dengan bangsa lain di dunia hampir tak
bisa dihindari sama sekali. Implikasi dari semua ini adalah, tidak adanya
kemurnian budaya satu pun di dunia ini. Dan biasanya negara besarlah yang
memiliki pengaruh dan bersifat hegemonik. Hanya, Islam memiliki originalitas
dan otentisitas ajaran. Oleh sebab itu ketika Islam bersinggungan dengan budaya
Yunani, Persi, Cina atau yang lainnya, maka tidak otomatis Islam di Yunanikan,
diPersikan, di Cinakan.

Islam datang pada permulaan abad ke-7 M, kemudian berkembang sampai


ke seluruh Timur Tengah, Afrika Utara dan Spanyol pada akhir abad tersebut.
3
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, Cetakan II,
1999, hal. 13-14.
Pada wilayah ini peradaban yang sudah ada tetap dikembangkan dan disemangati
oleh karakteristik ajaran Islam (baca: islamisasi). Karena sesuai dengan watak
ajaran Islam itu sendiri, yaitu memberikan kesempatan kepada pemeluknya untuk
menyerap ide-ide dari banyak sumber (Khuz al-hikmata walau fi ayyi wi’ain kana,
Uthlub al-‘ilma walau bis-Shin). Kontak dengan wilayah baru itu menyebabkan
umat Islam menyerap ilmu pengetahuan yang berasal dari Yunani dan juga Cina.
Mereka mentransfer ilmu-ilmu tersebut dalam paradigma baru dan kemudian
berkembang sehingga menjadi bagian dari peradaban Islam. Setelah
diintegrasikan ke dalam struktur dasar yang berasal dari wahyu Tuhan. Warisan
Yunani itu sendiri untuk sebagian besar merupakan campuran pandangan-
pandangan kuno di sekitar laut Tengah yang disistemasikan dan di susun dalam
bentuk dialektika oleh orang-orang Yunani. Dari Aleksandria warisan itu dibawa
ke Antioch, kemudian ke Nisibis dan Edessa oleh orang Kristen Monofisit dan
Nestorian hingga sampai Persia (melalui penterjemahan).

Baghdad adalah sebuah kota yang merupakan pusat studi ilmu


pengetahuan yang populer saat itu. Di kota ini berdiri lembaga ilmu pengetahuan
yang bernama Bait al-Hikmah. Pusat studi yang pada mulanya lahir di Yunani
berpindah ke Iskandariyah dan selanjutnya ke Antioch dan berakhir ke kota Haran
pada zaman khalifah al-Must’dhid (892-902). Pusat studi tersebut berpindah dari
Haran ke Baghdad. Di antara guru besar filsafat yang mengajar di Baghdad saat
itu antara lain: Quwairi, guru Abu Basyar Matta dan Yuhanna Ibn Hilan, guru al-
Farabi. Dari sinilah kemudian bermunculan para filosuf Muslim dari al-Kindi
hingga al-Ghazali dst. Sebenarnya kaum muslimin pada masa permulaan Islam
tidak bermaksud untuk menukilkan filsafat secara langsung, dengan asumsi yang
demikian itu belum dianggap penting, bahkan mereka tidak bermaksud
menukilkan ilmu asing. Bilamana ada ilmu-ilmu asing yang telah merembes ke
Arab (Islam), hal itu karena adanya hubungan bangsa Arab dengan bangsa-bangsa
sekitarnya. Hubungan itu telah terjadi pada masa Jahiliyah walau hanya dalam
batas tertentu.
Sehubungan dengan perpindahan ilmu asing ke Arab pada permulaan
Islam, ada suatu cerita yang menarik. Konon pada zaman Rasulullah sudah ada
dokter yaitu, Al-Haris Ibn Kildah as Saqafi. Ia dikenal sebagai dokter Arab.
Diriwayatkan dari Sa’ad Ibn Abi Waqas, bahwa ia pernah sakit dan Rasulullah
datang menjenguknya, lalu Rasulullah berkata (kepada Sa’ad): “Datanglah kamu
kepada Haris Ibn Kildah, ia adalah seorang yang mempraktikkan ilmu
kedokteran”. Sebenarnya saat itu pengetahuan Al-Haris di bidang kedokteran
masih sedikit, ia belum menguasai pokok-pokok ilmu kedokteran dan cabang-
cabangnya secara ilmiah, karena hal itu memerlukan pengetahuan bahasa Suryani.
Perpindahan ilmu kedokteran dari Yunani ke Jundishapur, serta penerjemahan
buku-buku kedokteran ke bahasa Suryani adalah setelah dibangunnya
Iskandariyah, kota yang menjadi pusat peradaban Yunani.

Pada masa kejayaan Iskandariyah ini banyak ilmuawan yang bermunculan


di sana. Mereka itu antara lain: Archimedes, Ptolemy, Galen, Euclid dan lain-lain.
Mereka telah meletakkan dasar-dasar ilmu pengetahuan, seperti ilmu geometri,
astronomi dan kedokteran. Iskandariyah selanjutnya menjadi mercusuar ilmu
pengetahuan sampai pada abad ke-6 Masehi. Di sana lahir para ilmuwan generasi
kedua yang menyusun kembali, memperbaiki dan menyiapkan buku-buku para
ilmuwan generasi sebelumnya untuk diajarkan kepada generasi selanjutnya. Dari
generasi kedua inilah orang-orang Arab menukilkan berbagai cabang ilmu
pengetahuan dan filsafat. Demikianlah halnya, sehingga dapat dikatakan bahwa
pindahnya filsafat ke Arab adalah setelah Iskandariyah dibangun dan menjadi
pusat ilmu pengetahuan, dimana orang-orang Arab menerjemahkan berbagai
cabang ilmu pengetahuan dan filsafat baik dari bahasa Yunani maupun dari bahasa
Suryani kedalam bahasa Arab. Penerjemahan buku-buku filsafat yang dilakukan
orang-orang Arab pada mulanya bukanlah bertujuan untuk mempelajari filsafat.
Kecenderungan bangsa Arab kala itu pada ilmu pengetahuan bukan pada filsafat.
Akan tetapi karena buku-buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab tersebut
kebanyakan karya dari para Filosof Yunani, yang mencampuradukkan antara
filafat dan ilmu pengetahuan, maka orang-orang Arab yang mempelajari ilmu
pengetahuan terdorong pula untuk mengenal filsafat, mempelajari aliran-
alirannya, riwayat hidup para filosof dan pendapat-pendapat mereka mengenai
hubungan ilmu pengetahuan dan filsafat. Karena pindahnya filsafat ke negeri Arab
tersebut adalah setelah datangnya Islam di negeri ini, maka akhirnya filsafat yang
pindah ke negeri Arab tersebut lebih dikenal dengan istilah filsafat Islam.

Sumber hukum Islam adalah al-Qur’an dan al-Sunnah. Terhadap segala


permasalahan yang tidak diterangkan dalam kedua sumber tersebut, kaum
muslimin diperbolehkan berijtihad dengan mempergunakan akalnya guna
menemukan ketentuan hukum. Dalil yang menjadi landasan berijtihad adalah
hadis Nabi SAW. Ketika mengutus Mu’adz ibn Jabal sebagai berikut:
diriwayatkan dari sekelompok penduduk homs, shabat Mu’az ibn Jabal, bahwa
Rasulullah saw. Ketika bermaksud untuk mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau
bertanya, “Apabila dihadpkan kepadamu suatu kasus hukum, bagaimana anda
memutuskannya? Mu’adz menjawab, “Saya akan memutuskanny berdasarkan
berdasarkan Sunnah Rasullah. Lebih lanjut Nabi bertanya, “jika kasusnya tidak
terdapat dalam Sunnah Rasul dan al-Qur’an? Mua’az menjawab, “Aku akan
berijtihad dengan seksama”. Keudian Rasulullah menepuk-nepuk dada Mu’adz
dengan tangannya, seraya berkata: “segala puji bagi Allah yang terlah
memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah terhadap jalan yang diridhainya”.
(HR. Abu Dawud). Jadi berijtihad degan mempergunakan akal dalam
permasalahan hukum Islam, yang pada hakikatnya merupakan pemikiran falsafi
itu, direstui oleh Rasulullah. Bahkan lebih tandas lagi Allah menyebutkan bahwa
mempergunakan akl dan pikiran atau berfikir falsafi itu sangat perlu dalam
memahami berbagai persoalan. Allah berfirman:

‫ة َٰٓيُأْو ِلي ٱَأۡلۡل َٰب ِب َلَع َّلُك ۡم َتَّتُقون‬ٞ ‫َو َلُك ۡم ِفي ٱۡل ِقَص اِص َحَيٰو‬

“Dan dalam qisha itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai
orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa.” (Qs.
Al-Baqarah/2:179)
Ayat diatas menunjukan bahwa mempergunakan akal pikiran untuk
menagkap makan yang terkandung dalam syari’ah sesuai dengan petunjuk al-
Quran termasuk yang dianjurkan. Pemikiran yang mendalam tentang syari’ah atau
hukum Islam melahirkan filsafat hukum Islam.

Izin Rasulullah kepada Mua’adz untuk berijtihad di atas merupakan awal


lahirnya filsafat hukum islam. Pada masa Rasulullah segala persoalan diselesaikan
dengan wahyu. Pemikiran filsafat atau ijtihad yang salah segera dobutuhkan
dengan datangnya wahyu. Akan tetapi letika Rasulullah wafat dan wahyu pun
telah usai, maka akan dengan pemikiran falsafinya bereran, baik dalam perkara
yang ada nashnya maupun tidak ada nashnya.

Pemaslahan yang timbul setelah Raulullah wafat ialah mengenai siapa


yang memegang tampuk kepemimpinan bagi umat Islam. Terhadap permasalahan
yang tidak ada nashnya ini dibutuhkan pemikiran mendalam tentang kriteria apa
yang diambil untuk menentukan penggantian Muhammad. Apkah kriterianya
berupa jasa, yaitu jasa kaum Anshar yang telah menerima Muhammad beserta
rombongannya dan menyelamatkan agama dari tekanan kaum kafir di Makkah,
ataukah pengorbanan, yaitu pengorbanan kaum Muhajirin yang telah mengikuti
Muhammad berhijrah dengan meninggalkan keluarga dan harta kekayaan demi
menyelamatkan agama Islam. Pemikiran yang mendalam tentang kriteria
pemimpin tersebut merupakan pemikiran falsafi.

Sedangkan pemikiran falsafi terhadap hukum Islam yang ada nashnya


bermula pada masa khulafaurrasyidin, terutama Umar ibn Khattab. Penghapusan
hukum potong tangan bagi pencuri, zakat bagi muallaf, dan lain-lainnya yang
dilakukan oleh Umar berdasarkan kesesuaian zaman dan demi menegakkan
keadilan yang menjadi asas hukum Islam, merupakan contoh penerapan hukum
berdasarkan akal manusia.

Hukum diciptakan untuk memelihara ketertiban dan kesejahteraan


masyarakat, sementara masyarakat senantiasa mengalami perubahan. Untk itu
pengertian dan pelaksanaan hukum harus sesuai dengan keadaan yang ada.
Artinya, asas dan prinsip hukum tidaklah berubah, tetapi cara penerapannya harus
disesuikan dengan perkembangan masyarakat, perubahan suasana, dan perubahan
keperluan hidup. Siangkatnya, penerapan hukum harus dapat
menegakkankemaslahantan dan keadilan yang menjadi tujuan dari hukum Islam.

C. Perkembangan Filsafat Hukum Islam

Dalam perkembangan filsafat hukum islam dibagi menjadi beberapa


priode, yaitu:

a) Pada masa nabi Muhammad SAW (610 M-632 M)


b) Pada masa khulafaur rasyidin (632 M-662 M)
c) Pada masa pembinaan dan pembukuan (abad 7 M-10 M)
d) Masa kelesuan pemikiran (abad 10 M-19 M)
e) Masa kebangkitan (19 M- sekarang)

1. Masa Nabi Muhammad SAW (610 M-632 M)

Agama islam sebagai “induk” hukum islam muncul semenanjung Arab.


Daerah yang sangat panas, penduduknya yang selalu berpindah-pindah dan alam
yang begitu keras membentuk manusia-manusia yang individualistis serta hidup
dalam klen yang disusun berdasarkan garis patrilineal, yang aling bertentangan.
Ikatan anggota klen berdasarkan pertalian darah dan adat. Susunan klen yang
demikian menuntut kesetiaan mutlak para anggotanya.

Oleh karena itu Nabi Muhammad setelah pindah atau hijrah dari Mekah ke
Madinah,dianggap telah memutuskan hubungan dengan klen yang asli, karena itu
pula diperangi oleh anggota klen asalnya. Pada masa ini, kedudukan Nabi
Muhammad sangat penting, terutama bagi ummat islam. Pengakuan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa tidaklah lengkap bagi seorang muslim tanpa pengakuan
terhadap kerasulan Nabi Muhammad.4

4
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta: Bulan
Bintang, 1971, h. tt,
Konsekuensinya ummat islam harus mengikuti firman–firman Tuhan yang
terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad yang dicatat dalam kitab-
kitab hadist. Melalui wahyuNya Allah menegaskan posisi Muhammad dalam
rangka agama islam, yaitu :

a) Kami mengutus Nabi Muhammad sebagai untuk menjadi rahmat


bagi alam semesta (Q.s.21:107).
b) Hai orang-orang yang beriman, ikutilah Allah dan ikutilah
RasulNya (Q.s.4:59).
c) Barang siapa yang taat kepada Rasul berarti taat kepada Allah
(Q.s.4:80).
d) Pada diri Rasulullah terdapat suri tauladan yang baik (Q.s.33:21).

Waktu Nabi Muhammad masih hidup tugas untuk mengembangkan dan


menafsirkan hukum itu terletak pada diri beliau sendiri, melalui ucapan,
perbuatan, sikap diam yang disebut sunnah. Dengan mempergunakan Al Qur’an
sebagai norma dasar Nabi Muhammad SAW memecahakan setiap masalah yang
timbul pada masanya dengan sebaik-baiknya.

2. Masa khulafaur Rasyidin (632 M- 662 M)

Dengan wafatnya nabi Muhammad, maka berhentilah wahyu yang


turun dan demikian halnya dengan sunnah. Kedudukan Nabi Muhammad
sebagi ututsan Tuhan tidak mungkin tegantikan, tetapi tugas beliau sebagai
pemimpin masyarakat Islam dan kepala Negara harus dilanjutkan oleh seorang
khalifah dari kalangan sahabat Nabi.

Tugas utama seorang khalifah adalah menjaga kesatuan umat dan


pertahanan Negara. Memiliki hak memaklumkan perang dan membangun tentara
untuk menajaga keamanan dan batas Negara, menegakkan keadilan dan
kebenaran,berusaha agar semua lembaga Negara memisahakan antara yang baik
dan tidak baik, melarang hal-hal yang tercela menurut Al Qur’an, mengawaasi
jalannya pemerintahan, menarik pajak sebagai sumber keuangan Negara dan tugas
pemerintahan lainnya.
Khalifah yang pertama dipilih yaitu Abu Bakar Siddiq. Masa pemerintahan
Khulafaur Rasyidin sangat penting dilihat dari perkembangan hukum Islam
karena dijadikan model atau contoh digenerasi-generasi berikutnya.

Pada masa pemerintahan Abu Bakar Siddiq dibentuk panitia khusus yang
bertugas mengumpulkan catatan ayat-ayat Qur’an yang telah ditulis dijaman Nabi
pada bahan-bahan darurat seperti pelepah kurma dan tulang-tulang unta dan
menghimpunnya daam satu naskah. Khalifah kedua yaitu Umar Bin Khatab yang
melanjutkan usaha Abu Bakar meluaskan daerah.

Islam sampai ke Palestina, Sirya, Irak dan Persia. Contoh ijthad Umar
adalah menurut (Q.s.5:38) orang yang mencuri, diancam dengan hukuman potong
tangan. Dimasa pemerintahan Umar terjadi kelaparan dalam masyarakat
disemenanjung Arabia, dalam keadaan itu ancaman terhadap pencuri tersebut
tidak dilaksanakan oleh khalifah Umar berdasarkan pertimbangan keadaan darurat
dan kemaslahatan jiwa masyarakat. Selanjutnya pada pemilihan khalifah.

Usman menggantikan Umar. Pada masa pemerintahan ini terjadi


nepotisme karena kelemahannya. Dimasa pemerintahanya perluasan daerah Islam
diteruskan ke barat sampai ke Maroko, ke timur menuju India dan keutara
bergerak keraha konstantinopel. Usman menyalin dan membuat Al Qur’an standar
yang disebut modifikasi al Qur’an. Setelah Usman meninggal dunia yang
mengantikan adalah Ali Bin Abi Thalib yang merupakan menantu dan keponakan
Nabi Muhammad.

Semasa pemerintahanya Ali tidak dapat berbuat banyak untuk


mengembangkan hukum Islam karena keadaan Negara tidak stabil. Tumbuh bibit-
bibit perpecahan yang serius dalam tubuh umat Islam, yang bermuara pada perang
saudara yang kemudian menimbulkan kelompok-kelompok.

3. Masa Pembinaan, Pengembangan dan Pembukuan (Abad 7-10 M)

Dimasa ini lahir para ahli hukum Islam yang menemukan dan
merumuskan garis-garis suci islam, muncul berbagai teori yang masih dianut
dan digunakan oleh umat islam sampai sekarang. Banyak faktor yang
memungkinkan pembinaan dan pengembangan pada periode ini, yaitu:

a) Wilayah islam sudah sangat luas, tinggal berbagai suku bangsa


dengan asal usul, adat istiadat dan berbagai kepentingan yang
berbeda. Untuk dapat menentukan itu maka ditentukanlah
kaidah atau norma bagi suatu perbuatan tertentu guna
memecahkan suatu masalah yang timbul dalam masyarakat.
b) Telah ada karya-karya tentang hukum yang digunakan sebagai
bahan untuk membangun serta mengembangkan hukum fiqih
Islam.
c) Telah ada para ahli yang mampu berijtihad memecahkan
berbagai masalah hukum dalam masyarakat. Selain
Perkembangan pemikiran hukum pada periode ini lahir
penilaian mengenai baik buruknya mengenai perbuatan yang
dilakukan oleh manusia yang terkenal dengan al-ahkam al-
khamsah.
4. Masa Kelemahan Pemikiran (Abad 10-19 M).

Pada masa ini ahli hukum tidak lagi menggali hukum fiqih Islam dari
sumbernya yang asli tapi hanya sekedar mengikuti pendapat-pendapat yang telah
ada dalam mashabnya masing-masing. Yang menjadi ciri umum pemikiran hukum
dalam masa ini adalah para ahli hukum tidak lagi memusatkan usahanya untuk
memahami prinsip-prinsip atau ayat-ayat hukum yang terdapat pada Al Qur’an
dan sunah, tetapi pikirannya ditumpukan pada pemahaman perkataan-perkataan,
pikiran-pikiran hukum para imamnya saja.

Faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran atau kelesuan hukum islam


dimasa itu adalah:

a) Kesatuan wilayah islam yang luas telah retak dengan munculnya


beberapa Negara baru.
b) Ketidak stabilan politik.
c) Pecahnya kesatuan kenegaraan atau pemerintahan menyebabkan
merosotnya kewibawaan pengendalian perkembangan hukum.
d) Gejala kelesuan berfikir timbul dimana-mana dengan demikian
perkembangan hukum Islam pada periode ini menjadi lesu.5
5. Masa Kebangkitan Kembali (Abad 19 sampai sekarang).

Setelah mengalami kelesuan dalam beberapa abad lamanya, pemikiran


Islam telah bangkit kembali, timbul sebagai reaksi terhadap sikap taqlid tersebut
yang telah membawa kemunduran hukum islam. Pada abad ke XIV telah timbul
seorang mujtahid besar yang menghembuskan udara baru dalam perkembangan
hukum Islam yang bernama Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnu Qayyim al
Jaujiyyah walau pola pemikiran mereka dilanjutkan pada abad ke XVII oleh
Muhammad Ibnu Abdul Wahab yang terkenal dengan gerakan baru di antara
gerakan-gerakan para ahli hukum yang menyarankan kembali kepada Al-Qur’an
dan Sunnah. Gerakan ini oleh Prof. H. Muhammad Daud Ali, SH dalam bukunya.
Hukum Islam, disebutkan sebagai gerakan Salaf (Salafiah) yang ingin kembali
kepada kemurnian ajaran Islam di zaman salaf (permulaan), generasi awal dahulu.

Sebetulnya kalau kita lihat dalam catatan sejarah perkembangan hukum


Islam, sesungguhnya pada masa kemunduran itu sendiri telah telah muncul
beberapa ahli yang ingin tetap melakukan ijtihad, untuk menampung dan
mengatasi persoalan-persoalan dan perkembangan masyarakat. Sebagai contoh
pada abad ke 14 telah lahir seorang mujtahid besar yang menghembuskan udara
segar dan baru dalam dunia pemikiran agama dan hukum. Mujtahid besar tersebut
adalah Ibnu Taimiyah (1263-1328) dan muridnya Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah
(1292-1356). Pola pemikiran mereka dilanjutkan pada abad ke 17 oleh
Muhammad Ibnu Abdul Wahab (1703-1787) yang terkenal dengan gerakan
Wahabi yang mempunyai pengaruh pada gerakan Padri di Minangkabau
(Indonesia).

5
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004, h. 42.
Hanya saja barangkali pemikiran-pemikiran hukum Islam yang mereka
ijtihadkan khususnya Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qoyyim, tidak menyebar luas
kepada dunia Islam sebagai akibat dari kondisi dan situasi dunia Islam yang
berada dalam kebekuan, kemunduran dan bahkan berada dalam cengkeraman
orang lain, ditambah lagi dengan sarana dan prasarana penyebaran ide-ide seperti
percetakan, media massa dan elektronik serta yang lain sebagainya tidak ada,
padahal sesungguhnya ijtihad-ijtihad yang mereka hasilkan sangat berilian,
menggelitik dan sangat berpengaruh bagi orang yang mendalaminya secara serius.

Ijtihad-ijtihad besar yang dilakukan oleh kedua dan bahkan ketiga orang
tersebut di atas, dilanjutkan kemudian oleh Jamaluddin Al-Afgani (1839-1897)
terutama di lapangan politik. Jamaluddin Al-Afgani inilah yang memasyhurkan
ayat Al-Qur’an: Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu bangsa
kalau bangsa itu sendiri tidak (terlebih dahulu) berusaha mengubah nasibnya
sendiri (Q.S. Ar-Ra’du (13): 11). Ayat ini dipakainya untuk menggerakan
kebangkitan ummat Islam yang pada umumnya dijajah oleh bangsa Barat pada
waktu itu. Al-Afgani menilai bahwa kemunduran ummat Islam itu pada dasarnya
adalah disebabkan penjajahan Barat.

Oleh karena penyebab utama dari kemunduran itu adalah penjajahan Barat
terhadap dunia Islam, maka Al-Afgani berpendapat bahwa agar ummat Islam
dapat maju kembali, maka penyebab utamanya itu yang dalam hal ini adalah
penjajahan Barat harus dilenyapkan terlebih dahulu. Untuk itulah maka Al-Afgani
menelorkan ide monumentalnya yang sangat terkenal sampai dengan saat ini,
yaitu Pan Islamisme, artinya persatuan seluruh ummat Islam.

Persoalannya sekarang adalah apakah pemikiran Al-Afgani tentang Pan


Islamisme ini masih relevan sampai dengan saat ini ataukah tidak. Artinya apakah
pemikiran Al-Afgani ini masih cocok untuk diterapkan dalam dunia Islam yang
nota bene nasionalisme masing-masing negara sudah menguat dan mengental
ditambah tidak seluruhnya negara-negara muslim negaranya berdasarkan Islam.
Penulis menilai bahwa ide yang dilontarkan oleh Al-Afgani ini adalah relevan
pada masanya, namun demikian masih perlu diterjemahkan ulang (diperbaharui
substansinya) pada masa kini. Sebab menurut penulis persatuan dunia Islam
sebagaimana layaknya sebuah negara Islam Internasional tidak memungkinkan
untuk dilaksanakan lagi, tetapi persatuan ummat Islam dalam arti bersatu untuk
memberantas pengaruh negatif dari negara-negara Barat dan adanya kesepakatan
bersama untuk saling bantu membantu dalam memberantas kemiskinan,
kebodohan dan keterbelakangan adalah sesuatu hal yang mutlak dan sangat
diperlukan oleh dunia Islam saat ini.

Cita-cita ataupun ide besar Al-Afgani tersebut mempengaruhi pemikiran


Muhammad Abduh (1849-1905) yang kemudian dilanjutkan oleh muridnya
Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935). Pikiran-pikiran Muhammad Abduh dan
Muhammad Rasyid Ridha mempengaruhi pemikiran ummat Islam di seluruh
dunia. Di Indonesia, pikiran-pikiran Abduh ini sangat kental diikuti oleh antara
lain Gerakan Sosial dan Pendidikan Muhammadiyah yang didirikan oleh K. H.
Ahmad Dahlan di Yogyakarta tahun 1912. Hanya saja pikiran-pikiran Al-Afgani
yanag diikuti oleh Gerakan Sosial dan Pendidikan Muhammadiyah itu lebih
banyak pada substansi daripada konsep Pan Islamisme, bukan pada pendirian
negara islam internasionalnya.6

Menurut Jalaluddin dan Usman Said dalam bukunya Filsafat Pendidkan


Islam Konsep dan Perkembangan mengemukakan perkembangan periodisasi
filsafat pendidikan Islam sebagai berikut:

a) Periode awal perkembangan Islam

Pemikiran mengenai filsafat pendidikan pada periode awal ini


merupakan perwujudan dari kandungan ayat-ayat al-Qur’an dan al-hadis,
yang keseluruhannya membentuk kerangka umum ideologi Islam. Dengan
kata lain, bahwa pemikiran pendidikan Islam dilihat dari segi al-Qur’an
dan hadis, tidaklah muncul sebagai pemikiran yang terputus, terlepas
hubungannya dengan masyarakat seperti yang digambarkan oleh Islam.
Pemikiran itu berada dalam kerangka paradigma umum bagi masyarakat
6
http://juniskaefendi.blogspot.com/2014/06/sejarah-pertumbuhan-dan -
perkembangan.html. (diakses pada senin 20 September 2023).
seperti yang dikehendaki oleh masyarakat. Dengan demikian pemikiran
mengenai pendidikan yang dilihat dalam al-Qur’an dan hadis
mendapatkan nilai ilmiahnya. Pada periode kehidupan Rasulullah Saw
tampaknya mulai terbentuk pemikiran pendidikan yang bersumber dari al-
Qur’an dan Hadits secara murni. Jadi hal-hal yang berkaitan dengan
pendidikan berbentuk pelaksanaan ajaran al-Qur’an yang diteladani oleh
masyarakat dari sikap dan prilaku hidup Nabi Muhammad saw.

b) Periode klasik

Periode klasik mencakup rentang masa pasca pemerintahan khulafa’ al-


Rasyidun hingga awal masa imperialis Barat. Rentang waktu tersebut meliputi
awal kekuasaan Bani Ummayah zaman keemasan Islam dan kemunduran
kekuasaan Islam secara politis hingga awal abad ke-19.

Walaupun pembagian ini bersifat tentative, namun terdapat beberapa


pertimbangan yang dijadikan dasar pembagian itu. Pertama, sistem
pemerintahan;kedua, luas wilayah kekuasaan; ketiga, kemajuan-kemajuan yang
dicapai; dan keempat, hubungan antar negara.

Dari dasar pertimbangan tersebut, maka diketahui bahwa di awal periode


klasik terlihat munculnya sejumlah pemikiran mengenai pendidikan. Pemikiran
mengenai pendidikan tersebut tampak disesuaikan dengan kepentingan dan tempat
serta waktu. Beberapa karya ilmuan Muslim pada periode klasik yang karya-
karyanya secara langsung memuat pembahasan mengenai pendidikan yaitu:

Ibn Qutaibah (213-276 H), nama lengkapnya Abu Muhammad Abdullah


Ibn Muslim Qutaibah al-Dainuri, keahliannya adalah bahasa Arab dan sejarah;
karya yang terkenal: al-Ma’ani al-Kabirah, syakl al-Qur’an, Gharib al-Qur’an,
Ta’wil Mukhtalaf al-Hadits, Fadhl al-Arab, al-Syi’r wa al-Syu’ara; al-Ma’arif, al-
Radd ‘ala al Jahimmiyah wa al-Musyibbihah, Imamah wa al-Siyasah, dan ‘Uyun
al-Akhbar. Pemikirannya menyangkut tentang masalah pendidikan bagi kaum
wanita, ilmu yang bermanfaat dan nilai-nilai bagi yang mengembangkannya.
Perkembangan filsafat pendidikan Islam pada periode klasik ini masih
menyimpan tokoh-tokoh seperti ; Ibnu Masarrah (269-319) yang pemikirannya
menyangkut tentang jiwa dan sifat-sifat manusia, Ibnu Maskawaih (330-421),
pemikirannya tentang pentingnya pendidikan akhlak, Ibnu Sina (370-428), karya
besarnya as-Syifa dan al-Qanun al-Tibb sebuah karya ensiklopedi kedokteran, dan
Al-Gazali (450/1058-505/1111 M), karya besarnya sering menjadi acuan berbagai
pandangan masyarakat dan sangat terkenal yaitu Ihya’ Ulum al-Din, menurutnya
bahwa pendidikan yang baik adalah yang dapat mengantarkan manusia kepada
keridhaan Allah swt., yang tentunya selamat hidup dunia dan akhirat.

c) Periode Modern

Periode modern merujuk pada pembagian periodesasi sejarah Islam, yaitu


menurut Harun Nasution, bahwa periode modern dimulai sejak tahun 1800 M.
periode ini ditandai dengan dikuasainya Bani Abbas dan Bani Ummaiyah secara
politik dan dilumpuhkan oleh imperialis Barat. Namun ada tiga kerajaan besar
Islam yang masih memegang hegemoni kekuasaan Islam, yaitu Turki Usmani
(Eropa Timur dan Asia-Afrika), kerajaan Safawi (Persia), dan kerajaan Mughol
(India).

Beberapa pemikir pendidikan yang tersebar di sejumlah kekuasaan Islam


tersebut sebagai tokoh yang ada kaitannya dengan perkembangan filsafat
pendidikan Islam pada periode modern, seperti:

Isma’il Raj’i al-Faruqi (1921-1986), membidangi secara profesional


bidang pengkajian Islam, pemikirannya tersebar di berbagai dunia Islam, dan
karya pentingnnya; Cristian Ethics, An Historical Atlas of Religions of the World,
Trialogue of Abrahamic Faith, dan The Cultural Atlas of Islam, pandangannya
bahwa umat Islam sekarang berada dalam keadaan yang lemah, dan dualisme
sistem pendidikan yang melahirkan kejumudan dan taqlid buta. Oleh sebab itu
pendidikan harus dikembangkan ke arah yang lebih modern dan berorientasi
ketauhidan.
Puncak dari pemikiran filsafat pendidikan Islam periode modern
terangkum dalam komperensi pendidikan Islam sedunia di Makkah tahun 1977
sebagai awal pencetusan konsep tentang penanganan pendidikan Islam.
Selanjutnya di Islamabad (1980) menghasilkan pedoman tentang pembuatan pola
kurikulum, di Dhakka (1981) menghasilkan tentang perkembangan buku teks, dan
di Jakarta (1982) telah menghasilkan tentang metodologi pengajaran.
D. Kesimpulan (Jawaban rumusan masalah)

1. Filsafat Hukum Islam terdiri dari tiga kata, yaitu: Filsafat, Hukum dan Islam.
Ketiga kata itu memiliki defenisi masing-masing. Sebelum mendefenisikan
Filsafat Hukum Islam, alangkah baiknya terlebih dahulu, mendefenisikan Filsafat
Hukum. Filsafat Hukum adalah pengetahuan tentang pemikiran mendalam,
sistematis, logis, dan radikal tentang berbagai aturan yang berlaku dalam
kehidupan manusia, baik aturan bermasyarakat maupun aturan bernegara. Hukum
adalah peraturan-peraturan tentang perbuatan dan tingkah laku manusia dalam lalu
lintas hidup. Dalam islam, “Hukum” adalah menetapkan sesuatu atas sesuatu
(itsbatu syai,in ‘ala syai’in). secara ringkas, ia berarti ketetapan.

Filsafat Hukum Islam adalah kajian tentang hakikat hukum islam, sumber
asal muasal hukum Islam dan prinsip penerapannya, serta manfaat hukum islam
bagi kehidupan masyarakatnya yang melaksanakannya. Dengan demikian, yang
dimaksud dengan Filsafat Huku Islam adalah setiap kaidah, asas atau mabda’,
aturan-aturan pengendalian masyarakat pemeluk agama Islam. Kaidah-kaidah itu
dapat berupa ayat Al-Qur’an, hadis pendapat sahabat dan tabi’in, ijma’ ulama,
fatwa lembaga keagamaan. Filsafat Hukum Islam diartikan pula dengan istilah
hikmah at-tasyri’. Berdasarka pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa
Filsafat Hukum Islam merupakan pengethuan tentang rahasia hukum yang digali
secara filosofis, baik dengan pendekatan atologis maupun epistemologis. Filsafat
Hukum Islam dapat diartikan pula sebagai pengetahuan tentang hukum Islam da
nasal-muasalnya, proses pencarian rahasia dan ‘illat hukum serta tujuannya
diberlakukan sebagai prinsip-prinsip dasar untuk berperilaku.

2 .Filsafat berasal dari Keldania (sekarang Irak), kemudian pindah ke Mesir, lalu
ke Yunani, Suryani, dan akhirnya sampai ke negeri Arab. Filsafat pindah ke negeri
Arab setelah datangnya Islam. Setelah kaum muslimin membentuk suatu negara
raksasa yang membentang dari penghujung negeri Cina di timur, sampai ke
penghujung semenanjung Andalusia di Barat. Mereka telah menerima dan
memegang panji-panji peradaban dunia, mendalami berbagai disiplin ilmu dan
seni, serta merenungkan dasar-dasarnya. Watak ajaran Islam adalah terbuka, oleh
sebab itu sesuai dengan perkembangan dan perluasan wilayah Islam itu sendiri,
maka ajaran Islam tidak bisa lepas dari pergumulan dengan budaya dan
pengetahuan bangsa lain serta berkembang semakin luas dan menyangkut
berbagai disiplin ilmu, termasuk filsafat.

Pergumulan antara bangsa satu dengan bangsa lain di dunia hampir tak
bisa dihindari sama sekali. Implikasi dari semua ini adalah, tidak adanya
kemurnian budaya satu pun di dunia ini. Dan biasanya negara besarlah yang
memiliki pengaruh dan bersifat hegemonik. Hanya, Islam memiliki originalitas
dan otentisitas ajaran. Oleh sebab itu ketika Islam bersinggungan dengan budaya
Yunani, Persi, Cina atau yang lainnya, maka tidak otomatis Islam di Yunanikan,
diPersikan, di Cinakan.

Islam datang pada permulaan abad ke-7 M, kemudian berkembang sampai


ke seluruh Timur Tengah, Afrika Utara dan Spanyol pada akhir abad tersebut.
Pada wilayah ini peradaban yang sudah ada tetap dikembangkan dan disemangati
oleh karakteristik ajaran Islam (baca: islamisasi). Karena sesuai dengan watak
ajaran Islam itu sendiri, yaitu memberikan kesempatan kepada pemeluknya untuk
menyerap ide-ide dari banyak sumber (Khuz al-hikmata walau fi ayyi wi’ain kana,
Uthlub al-‘ilma walau bis-Shin). Kontak dengan wilayah baru itu menyebabkan
umat Islam menyerap ilmu pengetahuan yang berasal dari Yunani dan juga Cina.
Mereka mentransfer ilmu-ilmu tersebut dalam paradigma baru dan kemudian
berkembang sehingga menjadi bagian dari peradaban Islam. Setelah
diintegrasikan ke dalam struktur dasar yang berasal dari wahyu Tuhan. Warisan
Yunani itu sendiri untuk sebagian besar merupakan campuran pandangan-
pandangan kuno di sekitar laut Tengah yang disistemasikan dan di susun dalam
bentuk dialektika oleh orang-orang Yunani. Dari Aleksandria warisan itu dibawa
ke Antioch, kemudian ke Nisibis dan Edessa oleh orang Kristen Monofisit dan
Nestorian hingga sampai Persia (melalui penterjemahan).
3.Dalam perkembangan filsafat hukum islam dibagi menjadi beberapa priode,
yaitu:

a.Pada masa nabi Muhammad SAW (610 M-632 M)

b.Pada masa khulafaur rasyidin (632 M-662 M)

c.Pada masa pembinaan dan pembukuan (abad 7 M-10 M)

d.Masa kelesuan pemikiran (abad 10 M-19 M)

e.Masa kebangkitan (19 M- sekarang)


Referensi

Assyaukanie, Luthfi, Ideologi Islam Dan Utopia: Tiga Model Negara Demokrasi
Di Indonesia, 2011

Asy’ari, Musa, ‘Filsafat Islam Dalam Ilmu Ushul Fiqih’, Pemikiran Hukum Dan
Hukum Islam, 6.2 (2015), 415–30

Didi Kusnadi, ‘HUKUM ISLAM DI INDONESIA: Tradisi, Pemikiran, Politik


Hukum Dan Produk Hukum’, 4, 1991

Shidiq, Ghofar, ‘Teori Maqashid Al-Syari’ah Dalam Hukum Islam’, Sultan


Agung, 44.118 (2009), 117–30

Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1977, h.tt.

T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta:


Bulan Bintang, 1971, h. tt,

Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo


Persada, 2004.

http://juniskaefendi.blogspot.com/2014/06/sejarah-pertumbuhan-dan -
perkembangan.html. (diakses pada senin 20 September 2023)..

https://sg.docs.wps.com/module/common/loadPlatform/?
sid=sIJfWtpfRAbfkxagG&v=v2

Anda mungkin juga menyukai