Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH

Islam sebagai agama yang datang untuk memberikan kemaslahatan umat


manusia, tidak datang begitu saja, namun ada ruang dan waktu. Dalam ruang dan
waktu, tentu ada jejak-jejak sejarahnya. Islam bukan agama buatan manusia, namun
adalah kalam Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad melaui malaikat
Jibril untuk kebahagiaan dunia dan akhirat. 1 Sebab itulah, untuk mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat ada tuntunan dan tuntutan yang harus
dijalankan.2 Semua aturan, tuntunan terdapat dalam Alquran dan Hadis yang
dijadikan pedoman inti dalam menapaki kehidupan. Dalam rangka menjalankan
ajaran agama, maka bagi pemeluknya berupaya hukum Islam bisa berjalan dan
bahkan menjadi budaya suatu negara. Maka untuk memberlakukan teori-teori
hukum Islam ini,

1.2. RUMUSAN MASALAH


 Apa pengertian hukum islam?
 Apa latar belakang munculnya hukum Islam di Indonesia ?
 Apa saja teori-teori hukum islam di Indonesia?
 Bagaimana hukum tadarruj dalam memperjuangkan hukum islam?
1.3. TUJUAN PENULISAN
 Untuk mengetahui pengertian hukum islam
 Untuk mengetahui munculnya hukum Islam di Indonesia
 Untuk mengetahui teori-teori hukum islam di Indonesia
 Untuk mengetahui pelaksanaan hukum islam di Indonesia untuk
mengetahui hukum tadarruj dalam memperjuangkan hukum islam.

1
R. Otje Salman. Ikhtisar Filsafat Hukum, (Bandung : ARMICO, 1987), h. 8.
2
Badran Abu Al-Ainain Badran, Ushul Al-Fiqh Al-Islami (Iskandaiyah: Muasassah Syabab al-Jami’at t.t.), h. 251.

1
Teori Pemberlakuan Hukum Islam Di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. PENGERTIAN HUKUM ISLAM


Di kalangan masyarakat Arab, berbicara tentang norma hukum yang
terkandung dalam Alquran dan sunah, tidak bisa dilepaskan dari dua istilah
yang mengcovernya. Pertama, ada yang dikenal dengan istilah syari‘ah, dan
kedua, ada yang dikenal dengan fiqih. Kedua istilah inilah yang kemudian
menjadi bagian yang terpisahkan satu sama lain ketika melihat bagaimana
hakikat hukum Islam sebenarnya.
Kata syari‘ah (syariat), secara etimologi adalah bentuk dasar (masdar)
dari kata kerja (fi’l) syara‘a, artinya; menggapai air dengan mulutnya
(tanawal al-ma`a bi fihi)3. Seperti perkataan syara’at ad-dawwab fi al-ma’i
( hewan-hewan itu meminum air)4. Secara bahasa diartikan sebagai sumber
mata air yang digunakan untuk minum (mawrid al- ma’i al-lazi yuqsadu li as-
syurbi)5. Karena memang biasanya sumber mata air adalah awal sebuah
kehidupan yang membuat tubuh tetap segar. Kemudian kata ini dikenal oleh
masyarakat arab untuk sebutan jalan yang lurus ( at-tariqat al-mustaqimah) 6.
Secara terminologi, Manna’ al-Qattan mengatakan bahwa syariat
adalah semua aturan yang ditetapkan oleh Allah buat hambanya, baik dalam
hal akidah, ibadah, akhlak, muamalat dan aturan dalam semua lini kehidupan
yang mengatur hubungan antara hamba dengan tuhannya ataupun hamba
dengan sesamanya. Semua ini bertujuan demi tercapai kebahagian di dunia
maupun di akhirat7.

3
Ibn Manzur, Lisan al-arab (Kairo : Dar al-hadis, 2003), vol 5, h.82
4
Ibid., h.82
5
Manna’ al qattan, Tarikh at-tasyri’ al-islami, (Kairo: Maktabah wahbah, 2001), h.13
6
Ibid., h.13
7
Ibid..., h.14

2
Teori Pemberlakuan Hukum Islam Di Indonesia
Adapun fiqih, secara etimologi merupakan bentuk dasar dari kata
kerja di dalam bahasa arab; faqaha yang artinya paham (al-fahmu)8. Ini
seperti apa yang diungkapkan Rasulullah ketika mendoa’kan Ibnu Abbas;
Allahumma ‘allimhu ad-din, wa faqqihhu fi at-ta`wil, (Ya Allah ajarkanlah
padanya persoalan agama, dan berikanlah pemahaman padanya dalam
menta’wil).
Sedangkan menurut terminologi, Abd al-wahhab khallaf
menyebutkan, fiqh (fikih) adalah ilmu tentang hukum-hukum syariat yang
bersifat perbuatan (al-‘amaliyyat) yang diperloeh dari dalil-dalil terperinci
(at-tafsili)9. Jadi, antara syariat, fikih dan hukum Islam seharusnya dilihat
sebagai satu kesatuan yang utuh. Antara ketiganya tidak bisa dilihat secara
parsial, karena memang hukum Islam itu adalah bentuk implementasi dari
apa yang telah dipahami seorang faqih, yang terkodifikasikan dalam karya
fikihnya, dan juga merupakan turunan dari syariat tersebut. Sebab, seperti
yang dikemukakan oleh al-Qaradawi, bahwa tidak mungkin memisahkan
antara syariah dan fikih. Karena fikih adalah ilmu yang pembentukannya dari
syariah (Alquran dan hadis), dan syariah itu sendiri diketahui dari wahyu ilahi.
Dengan demikian dipahami bahwa fikih adalah ilmu yang berdasarkan wahyu
ilahi. Maka tidak benar, orang yang menyebutkan kalau syariat adalah satu
hal, dan fikih merupakan hal yang lain. Atau fikih adalah buatan manusia
sementara syariat adalah wahyu ilahi 10. Dan untuk penyebutan istilah hukum
Islam, sebenarnya tidak dikenal oleh kalangan masyarakat arab bahkan umat
islam sendiri. Sebab, bagi mereka hukum Islam lebih sering disebut syari‘ah
atau fiqh. Sama halnya di masyarakat Indonesia juga, penggunaan istilah
hukum Islam lebih sering digunakan dengan sebutan syariah. Seperti
penyandingan istilah syariah dalam beberapa hal : Peraturan Daerah,
Perbankan, Pegadaian, Hotel dan lain sebagainya.

8
Ibn Manzur, Lisan al-arab, (Kairo ; Dar al hadis, 2003), vol 7, h. 145
9
‘Abd al-wahhab khallaf, ‘Ilm usul al-fiqh, (Kairo; Dar al-hadis, 2003), h.11
10
Yusuf al-qaradawi, Madkhal li ad-Dirasat as-Syariat al-Islamiyyat, (Kairo; Maktabah wahbah, 2001), h.22

3
Teori Pemberlakuan Hukum Islam Di Indonesia
Dengan demikian kita bisa menyimpulkan bahwa hukum Islam yang
dimaksud adalah sama seperti apa yang disebut dengan syariah dan fikih.
Hukum Islam yang merupakan terjemahan dari islamic law dipahami baik di
kalangan umat Islam sendiri ataupun di luar itu, adalah satu sistem yang
mengatur masyarakat muslim dalam kehidupannya sehari-harinya, baik yang
berupa legal formal seperti qanun dan qada’ maupun yang bersifat informal
seperti fatwa.
2.2. MUNCULNYA HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Indonesia adalah sebuah Negara kepulauan yang penduduknya sangat
beragam dari segi etnik, budaya, dan agama. Sedangkan mayoritasnya adalah
beragama islam.

Dalam sejarah perkembangan dan keberadaan bangsa Indonesia, baik


sebagai komunitas maupun sebagai Negara, hukum sebagai tatanan yang
tumbuh dalam masyarakat turut mendampingi proses historis bangsa
Indonesia. Setelah melewati berbagai proses pertumbuhan, mulai dari awal
kedatangan islam sampai sekarang ini, hukum islam menjadi faktor penting
dalam menentukan dalam setiap pertimbangan politik untuk mengambil
kebijaksanaan penyelenggaraan Negara.11 Oleh karena itu, sangatlah menarik
jika kita mengetahui dan sekaligus dapat memahami alur perjalanan sejarah
Hukum Islam di Indonesia ini yang meliputi perkembangan hukum Islam pada
pra kolonialisme barat, masa penjajahan, pasca kemerdekaan dan juga salah
satu bentuk hukum dari dasar-dasar Islam yang terbentuk yang menjadi salah
satu pijakan dalam proses pengadilan agama yaitu Kompilasi Hukum Islam itu
sendiri.

Namun perlu diingat bahwa proses sejarah hukum Islam tentu


diwarnai semacam benturan dengan tradisi sebelumnya dan kebijakan -
kebijakan politik kenegaraan, serta tindakan - tindakan yang diambil oleh
para tokoh Islam Indonesia terdahulu. Bahwa sejarah itu menunjukkan
11
Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta : PT. Penamadani, 2004, hal 10-11

4
Teori Pemberlakuan Hukum Islam Di Indonesia
proses islamisasi sebuah masyarakat bukanlah proses yang dapat selesai
seketika. Dengan demikian hukum Islam bukanlah sistem yang hanya
memiliki satu standar kebenaran yang berlaku sepanjang masa. Hukum Islam
tumbuh dan berkembang melalui proses evolusi yang sangat panjang. Jadi
merupakan pembakuan dan pemberlakuan yang sebelumnya telah
mengalami proses kritik dan dinamika sosio kultural tersendiri

2.2.1. PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM MASA PRA KOLONIALISME


BARAT
Hukum Islam di Indonesia sebenarnya telah lama hidup di
antara masyarakat Islam itu sendiri, hal ini tentunya berkaitan
dengan pertumbuhan dan perkembangan agama Islam. Jika di lihat
sebelum Islam masuk, masyarakat Indonesia telah membudayakan
kepercayaan animisme dan dinamisme. Kemudian lahirlah kerajaan -
kerajaan yang masing-masing dibangun atas dasar agama yang
dianut mereka, misalkan Hindu, Budha dan disusul dengan kerajaan
Islam yang didukung para wali pembawa dan penyiar agama Islam.

Akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut


sebagian ahli sejarah telah dimulai pada abad pertama hijriah, atau
sekitar abad ketujuh dan kedelapan masehi. Sebagai gerbang masuk
ke dalam kawasan nusantara, di kawasan utara pulau Sumatra-lah
yang dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang
muslim. Dan secara perlahan gerakan dakwah itu kemudian
membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur.
Berkembanganya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti
dengan berdirirnya kerajaan Islam pertama sekitar abad-13 yang
dikenal dengan Samudera Pasai, terletak di wilayah Aceh Utara.

Dengan berdirinya kerajaan Pasai itu, maka pengaruh Islam


semakin menyebar dengan berdirirnya kerajaan lainnya seperti

5
Teori Pemberlakuan Hukum Islam Di Indonesia
Kesultanan Malaka yang tidak jauh dari Aceh. Selain itu ada
beberapa yang ada di Jawa antara lain Kesultanan Demak, Mataram,
dan Cirebon. Kemudian di daerah Sulawesi dan Maluku yang ada
Kerajaan Gowa dan Kesultanan Ternate serta Tidore.

Hukum islam pada masa ini merupakan sebuah fase penting


dalam sejarah hukum islam di Indonesia. Dengan adanya kerajaan -
kerajaan islam menggantikan kerajaan Hindu-Budha berarti untuk
pertama kalinya hukum islam telah ada di Indonesia sebagai hukum
positif. Hal ini terbukti dengan fakta - fakta dengan adanya literatur
– literatur fiqih yang ditulis oleh para ulama’ nusantara pada abad
16 dan 17. Dimana para penguasa ketika itu memposisikan hukum
islam sebagi hukum Negara.

Islam menjadi pilihan bagi masyarakat karena secara teologis


ajarannya memberikan keyakinan dan kedamaian bagi penganutnya.
Masyarakat pada periode ini dengan rela dan patuh, tunduk dan
mengikuti ajaran - ajaran islam dalam berbagai dimensi kehidupan.
Namun keadaan itu kemudian menjadi terganggu dengan datangnya
kolonialisme barat yang membawa misi tertentu, mulai dari misi
dagang, politik bahkan sampai misi kristenisasi.12

2.2.2. PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM MASA PENJAJAHAN BELANDA

Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara


dimulai dengan kehadiran Organisasi Perdagangan Dagang Belanda
di Hindia Timur, atau yang lebih dikenal dengan VOC.

Ketika VOC datang ke Indonesia, kebijakan yang telah


dilaksanakan oleh para Sultan/Kepala Negara tetap dipertahankan
pada daerah-daerah yang dikuasainya. Bahkan dalam banyak hal,

12
Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Ciputat Press, 2005, hal 49

6
Teori Pemberlakuan Hukum Islam Di Indonesia
VOC memberikan kemudahan dan fasilitas agar lembaga peradilan
islam dapat terus berkembang. Bentuk kemudahan yang diberikan
VOC adalah menerbitkan buku - buku hukum islam untuk menjadi
pegangan para hakim dalam memutuskan perkara.13

Dalam menghadapi perkembangan hukum islam di


Indonesia, pada mulanya pemerintah kolonial Belanda meneruskan
kebijaksanaan yang telah dilaksanakan oleh VOC, mereka tidak
menganggap bahwa hukum islam adalah suatu ancaman yang harus
ditakuti. Atas usul Van den Berg dengan teori receptie in complexu
yang berkembang dan diyakini kebenarannya oleh pakar - pakar
hukum pemerintah Kolonial Belanda maka dibentuklah Peradilan
Agama Indonesia. Kondisi sebagaimana tersebut di atas tidak dapat
dipertahankan dalam jangka waktu yang lama karena pemerintah
Kolonial Belanda mengubah pendiriannya tentang pemberlakuan
hukum islam di Indonesia.14

Perubahan pendirian pemerintah Kolonial Belanda ini akibat


usul Snouck Hurgronje dengan teorinya yang terkenal dengan teori
receptie. Akibat teori ini perkembangan hukum islam menjadi
terhambat karena pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan
kebijakan baru yang membatasi berlakunya kewenangan peradilan
agama.15

2.2.3. PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM MASA PENJAJAHAN JEPANG

Dalam aspek perkembangan hukum masa penjajahan Jepang


(1942-1945) tidak terjadi perubahan yang mendasar. Perkembangan
hukum Islam masa ini setidaknya dapat dilihat dari keberadaan
13
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007, hal 1-2
14
Ibid. hal 2
15
Ibid. hal 2-3

7
Teori Pemberlakuan Hukum Islam Di Indonesia
pengadilan agama. Berdasarkan peraturan yang dikeluarkan
Pemerintah Bala Tentara Jepang melalui dekritnya No. 1 tahun 1942
menyatakan, semua badan pemerintahan beserta wewenangnya,
semua undang-undang, tata hukum dan semua peraturan dari
pemerintahan yang lama dianggap masih tetap berlaku dalam waktu
yang tidak ditentukan selama tidak bertentangan dengan peraturan
Pemerintah Bala Tentara Jepang.

Tetapi kemudian ahli - ahli hukum Indonesia memikirkan


untuk menghapus pengadilan agama. Pemikiran ini muncul dari
Soepomo, penasehat Departemen Kehakiman ketika itu dan ahli
hukum adat. Ia setuju agar hukum islam tidak berlaku dan ingin
menegakkan hukum adat. Tetapi usulannya ini diabaikan oleh
jepang karena khawatir akan menimbulakn protes dari umat islam.
Kebijakan Pemerintah Bala Tentara Jepang untuk tidak mengganggu
gugat persoalan agama, sebab tindakan itu dapat merusak
ketentraman konsentrasi Jepang. Oleh sebab itu Jepang memilih
untuk tidak ikut campur soal urusan agama umat, termasuk hukum
Islam.16

Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi


posisi hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di Tanah air.
Namun bagaimanapun juga, masa pendudukan Jepang lebih baik
daripada Belanda dari sisi adanya pengalaman baru bagi para
pemimpin Islam dalam mengatur masalah - masalah keagamaan.

2.2.4. PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM PASCA KEMERDEKAAN

Setelah Indonesia merdeka 17 Agustus 1945, atas usul


Menteri Agama yang disetujui Menteri Kehakiman, Pemerintah
menetapkan bahwa Pengadilan Agama diserahkan dari kekuasaan
16
Abdul Halim. Op.cit, hal 71 -73

8
Teori Pemberlakuan Hukum Islam Di Indonesia
kementerian Kehakiman kepada kementerian Agama dengan
ketetapan pemerintah Nomor 5/SD tanggal 25 Maret 1946.17

Hukum Islam dalam pelaksanaannya di Peradilan Agama


telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957
yang menjelaskan tentang Pembentukan Peradilan Agama di Luar
Jawa dan Madura dengan berlabelkan nama sebagai Mahkamah
Syar’iyyah tingkat pertama di Kabupaten dan juga tingkat banding
yang ditempatkan di Ibukota Propinsi. Dan dalam Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok - pokok Kekuasaan Kehakiman
pada pasal kesepuluh yang mengatur adanya Peradilan Agama
disamping Peradilan Umum. Dan dengan begitu maka hukum Islam
telah dianggap berlaku di Indonesia berdasarkan kekuatan hukum
Islam yang disandarkan dalam pasal 29 UUD 1945.18

Dalam pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 45’ serta di dalam


pembukaan UUD 45’, dijelaskan bahwa kedudukan Hukum Islam
telah mantap dan berkembang di Indonesia, karena pada dasarnya
Hukum Islam merupakan hukum dari Tuhan Yang Maha Esa yang
telah disesuaikan dengan falsafah negara yaitu Pancasila. Sedangkan
menurut Noel J Coulson bahwa hukum Islam ini diakui sebagai
hukum Tuhan dengan ungkapannya “does not grow out of …an
avolving as is the case with system but is imposed from above”. 19

Dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun


1974 tentang perkawinan, maka hal itu menunjukkan bahwa hukum
Islam semakin berkembang. Dan setelah Indonesia merdeka
berdasarkan pasal 29 tahun 1945 diintroduksi satu teori yang

17
Ibid. hal 71-72
18
Moh. Idris Ramulyo, Asas-asas Hukum Islam, sejarah timbul dan berkembangnya kedudukan hukum Islam
dalam sistem hukum di Indonesia, Hal 58
19
Noel J. Coulson. The Concept Progress and islamic law, dalam Robert N. Bellah (ed.), Religion and Progress in
Modern Asia, Hal 75

9
Teori Pemberlakuan Hukum Islam Di Indonesia
dinamakan sebagai receptio a contrario theorie, yang menjelaskan
jika hukum adat baru akan berlaku jika telah diterima oleh hukum
Islam.

2.3. TEORI – TEORI BERLAKUNYA HUKUM ISLAM DI INDONESIA

Islam telah diterima oleh bangsa Indonesia jauh sebelum penjajah


datang ke Indonesia. Waktu penjajah Belanda datang di Indonesia (Hindia
Belanda), mereka menyaksikan kenyataan bahwa di Hindia Belanda sudah
ada hukum yang berlaku, yaitu agama yang dianut oleh penduduk Hindia
Belanda, seperti Islam, Hindu, Budha dan Nasrani, di samping hukum adat
bangsa Indonesia. Berlakunya hukum Islam bagi sebagian besar penduduk
Hindia Belanda, berkaitan dengan munculnya kerajaan-kerajaan Islam setelah
runtuhnya kerajaan Majapahit pada sekitar tahun 1518 M. Menurut C.
Snouck Hurgronje sendiri, bahwa pada abad ke 16 di Hindia Belanda sudah
muncul kerajaan-kerajaan Islam, seperti Mataram, Banten dan Cirebon, yang
berangsur - angsur mengIslamkan seluruh penduduknya.20

Walaupun pada mulanya kedatangan Belanda (yang beragama Kristen


Protestan) ke Hindia Belanda tidak ada kaitannya dengan masalah (hukum)
agama, namun pada perkembangan selanjutnya, berkaitan dengan
kepentingan penjajah, akhirnya mereka tidak bisa menghindari terjadinya
persentuhan dengan masalah hukum yang berlaku bagi penduduk pribumi.
Sehubungan dengan berlakunya hukum adat bagi bangsa Indonesia dan
hukum agama bagi masing-masing pemeluknya, muncullah beberapa teori-
teori hukum jauh sebelum Indonesia merdeka. Dari pemaparan yang
dikemukakan di atas maka yang menjadi fokus permasalahan dalam
pembahasan ini adalah menyangkut beberapa teori hukum Islam di
Indonesia.

20
C.Snouck Hurgronje, De Islam in Nederlandsch Indie, alih bahasa S.Gunawan, Islam di Hindia Belanda,(Cet.II;
Jakarta: Bhratara, 1983), h. 10.

10
Teori Pemberlakuan Hukum Islam Di Indonesia
2.3.1. TEORI Receptio In Complexu

Menurut teori Receptio In Complexu bagi setiap penduduk


berlaku hukum agamanya masing - masing. Bagi orang Islam berlaku
hukum Islam, demikian juga bagi pemeluk agama lain. Teori ini
semula berkembang dari pemikiran - pemikiran para sarjana
Belanda seperti Carel Frederik Winter (1799-1859) seorang ahli
tertua mengenai soal - soal Jawa, Salomon Keyzer (1823-1868)
seorang ahli bahasa dan ilmu kebudayaan Hindia Belanda. Teori
Receptio In Compelexu, ini dikemukakan dan diberi nama oleh
Lodewijk Willem Chrstian van den Berg (1845-1925) seorang ahli
hukum Islam, politikus, penasehat pemerintah Hindia Belanda untuk
bahasa Timur dan hukum Islam.21

Materi teori Receptio In Complexu ini, dimuat dalam pasal 75


RR (Regeeringsreglement) tahun 1855. Pasal 75 ayat 3 RR berbunyi:
“oleh hakim Indonesia itu hendaklah diberlakukan undang-undang
agama (godsdienstige wetten) dan kebiasaan penduduk indonesia.
Jadi pada masa teori ini hukum Islam berlaku bagi orang Islam. Pada
masa teori inilah keluarnya stbl. 1882 no. 152 tentang pembentukan
pengadilan agama (Priesterraad) di samping pengadilan negeri
(Landraad), yang sebelumnya didahului dengan penyusunan kitab
yang berisi himpunan hukum Islam, pegangan para hakim, seperti
Mogharrer Code pada tahun 1747, Compendium van Clootwijk pada
tahun 1795, dan Compendium Freijer pada tahun 1761.22

2.3.2. TEORI Receptie

Selanjutnya muncul teori yang menentang teori Receptio in


Complexu, yaitu teori Receptie (Resepsi). Menurut teori Resepsi,

21
Sayuti Thalib,S.H, M.H, Receptio A Contrario, (Cet. III; Jakarta: Bina Aksara, 1982), h.15.
22
Bustanul Arifin, Budaya Hukum itu Telah Mati, (Jakarta: Kongres Umat Islam Indonesia, 1998), h.2

11
Teori Pemberlakuan Hukum Islam Di Indonesia
hukum Islam tidak otomatis berlaku bagi orang Islam. Hukum Islam
berlaku bagi orang Islam, kalau ia sudah diterima (diresepsi) oleh
dan telah menjadi hukum adat mereka, Jadi yang berlaku bagi
mereka bukan hukum Islam, tapi hukum adat. Teori ini dikemukakan
oleh Cornelis van Vollenhoven dan Christian Snouck Hurgronje.
Cornelis van Volenhoven (1874-1933) adalah seorang ahli hukum
adat Indonesia, yang diberi gelar sebagai pendasar (grondlegger)
dan pencipta, pembuat sistem (systeem bouwer) ilmu hukum adat.23
Sedang Christian Snouck Hurgronje sebagaimana telah disebutkan di
atas adalah seorang doktor sastra Semit dan ahli dalam bidang
hukum Islam. Penerapan teori Resepsi dimuat dalam pasal 134 ayat
2 IS (Indische Staatsregeling), stbl 221 th. 1929, sebagai berikut;

Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam


akan diselesaikan oleh hakim agama Islam, apabila hukum adat
mereka menghendakinya dan sejauh tidak ditentukan lain dengan
sesuatu ordonansi. Pemikiran Snouck Hurgronje tentang teori
Resepsi ini, sejalan dengan pendapatnya tentang pemisahan antara
agama dan politik. Pandangannya itu sesuai pula dengan sarannya
kepada pemerintah Hindia Belanda tentang politik Islam Hindia
Belanda. Dia menyarankan agar pemerintah Hindia Belanda bersifat
netral terhadap ibadah agama dan bertindak tegas terhadap setiap
kemungkinan perlawanan orang Islam fanatik. Islam dipandangnya
sebagai ancaman yang harus dikekang dan ditempatkan di bawah
pengawasan yang ketat.

Penerapan teori Resepsi antara lain, pada tahun 1937


dengan stbl. 1937 no. 116, wewenang menyelesaikan hukum waris
dicabut dari pengadilan agama dan dialihkan menjadi wewenang

23
H.W.J.Sonius, dalam J.F.Holleman,an Vollenhoven on Indonesian Adat Law, Leiden: 1981, Lihat juga Bushar
Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1976), h.57.

12
Teori Pemberlakuan Hukum Islam Di Indonesia
Pengadilan Negeri. Alasan pencabutan wewenang Pengadilan
Agama tersebut dengan alasan bahwa hukum waris Islam belum
sepenuhnya diterima oleh hukum adat (belum diresepsi).

2.3.3. TEORI Receptie Exit

Semangat pemimpin Islam menentang pemikiran Snouck


Hurgronje, dengan menyandarkan pemberlakuan hukum Islam pada
hukum adat, terus bergulir terutama pada saat menjelang
proklamasi kemerdekaan negara Indonesia. Upaya itu nampak
umpamanya dengan lahirnya Piagam Jakarta (Jakarta Charter) pada
tanggal 22 Juni 1945. Piagam Jakarta merupakan Rancangan
pembukaan Undang-Undang Dasar (konstitusi) negara Republik
Indonesia. Ia disusun oleh dan lahir atas kesepakatan serta disahkan
oleh 9 orang tokoh bangsa Indonesia, 8 orang di antaranya
beragama Islam.24 Menurut Soekarno, ia merupakan gentlement
agreement,25 merupakan hasil kompromi antara dua pihak, di antara
pihak Islam dan pihak kebangsaan.26

Lahirnya Piagam Jakarta merupakan bagian dari keberhasilan


usaha tokoh - tokoh kebangsaan yang selalu memperjuangkan
berlakunya hukum Islam bagi orang Islam. Sebelum Piagam Jakarta
lahir, terjadi perdebatan pemikiran tentang negara Islam (Islamic
State) dan negara muslim (muslim state). Untuk ungkapan muslim
state, Supomo menyebut dengan ungkapan “ Negara berdasar atas
cita-cita luhur dari agama Islam”. Dalam pidatonya pada tanggal 31
Mei 1945, antara lain ia mengatakan sebagai berikut. 27

24
Muhammad Roem dalam Endang Saifuddin Anshary, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensusu
Nasional-antara Nasionalis Islami dan Nasionalis Sekuler tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959,
(Cet. II; Bandung: Pustaka, 1983), h. xii.
25
H.Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Yayasan Prapanca, 1959), h. 279.
26
Ibid. h.115
27
Ibid. h.118

13
Teori Pemberlakuan Hukum Islam Di Indonesia
“Bagaimana dalam negara yang saya gambarkan tadi akan
berhubungan antara negara dan agama, Oleh anggota yang
terhormat Moh. Hatta telah diuraikan dengan panjang lebar, bahwa
dalam negara persatuan di Indonesia hendaknya urusan negara
dipisahkan dari urusan agama. Memang di sini terlihat ada dua
paham, ialah paham dari anggota - anggota ahli agama yang
menganjurkan supaya Indonesia didirikan sebagai negara Islam, dan
anjuran lain, sebagai telah dianjurkan oleh tuan Moh. Hatta, ialah
negara persatuan nasional yang memisahkan urusan negara dan
urusan Islam, dengan kata lain perkataan: bukan negara Islam. Apa
sebabnya di sini saya mengatakan “bukan negara Islam”, Perkataan
“negara Islam” lain artinya dari pada perkataan “Negara berdasar
atas cita-cita luhur dari agama Islam.”

Menurut Supomo, dalam negara yang tersusun sebagai


“negara Islam”, negara tidak dapat dipisahkan dari agama. Negara
dan agama ialah satu, bersatu padu. Ungkapan “negara Islam”
menurut Supomo tersebut dikemukakan sekitar 20 tahun lebih
dahulu dari ungkapan Islamic state sebagaimana dikemukakan oleh
Rosenthal yang berbicara tentang “The Muslim state in contra
distinction to the strictly Islamic state”. Tentang The Muslim state
dia menggambarkan.28 Religion and politics no longer form an
indissoluble unity; they are separate realms concerned with different
issues and function, decided and performed by different experts.

Selanjutnya mengenai negara Indonesia yang diusulkan oleh


Supomo adalah, Negara nasional yang bersatu itu tidak berarti
bahwa negara itu akan bersifat “a religieus”. itu bukan, negara
nasional yang bersatu itu akan memelihara budi pekerti
kemanusiaan yang luhur, akan memegang teguh cita-cita moral
28
E.I.J. Rosenthal, Islam in the Modern National State, (London: Cambridge University Press, 1965), h. 26.

14
Teori Pemberlakuan Hukum Islam Di Indonesia
rakyat yang luhur. Maka negara demikian itu hendaknya negara
Indonesia yang memakai dasar moral yang luhur, yang dianjurkan
juga oleh agama Islam.29

Menurut Muhammad Yamin, piagam itu merupakan


“dokumen politik yang terbukti mempunyai daya penarik dapat
mempersatukan gagasan ketatanegaraan dengan tekad bulat atas
persatuan nasional menyongsong datangnya negara Indonesia yang
merdeka berdaulat.30 Pada tanggal 18 Agustus 1945 (sehari setelah
proklamasi kemerdekaan), Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) mengesahkan UUD 1945. Bagian pembukaan UUD
tersebut adalah Piagam Jakarta setelah dikurangi 7 (tujuh) kata
setelah kata Ketuhanan pada alinea keempat Tujuh kata yang
dihilangkan itu ialah “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya”.

Penghapusan tujuh kata tersebut menurut Mohammad


Hatta,31 untuk menjaga persatuan dan keutuhan seluruh wilayah
Indonesia, setelah adanya usul keberatan dari mereka yang tidak
beragama Islam terhadap tujuh kata di atas. Dengan pencoretan
tujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut, menurut Mohammad
Roem, golongan Islam yang sudah ikut mencapai kompromi dengan
susah payah, merasa kecewa.32

UUD 1945 yang telah disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945


(walaupun pembukaannya tidak utuh dari sebagaimana yang
terdapat dalam naskah piagam jakarta, setelah dikurangi tujuh kata,
di dalamnya terdapat landasan filosofis dan yuridis tentang
29
Ibid., h.11.
30
Mohammad Hatta, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, (Cet.I; Jakarta: Tintamas, 1969), h.66-67.
31
Endang Saifuddin Anshary, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional, Antara Nasionalis
Islami dan Nasionalis Sekuler tentang Dasar Negara republik Indonesia 1945-1959, (Cet.II; Bandung: Pustaka,
1983), h.ix.
32
Ibid.

15
Teori Pemberlakuan Hukum Islam Di Indonesia
pemberlakuan hukum agama bagi pemeluknya. Landasan filosofis
adalah Pancasila sebagaimana rumusannya terdapat dalam alinea
keempat Pembukaan UUD 1945, dan landasan yuridis terdapat
dalam pasal 29 UUD 1945.

Dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dinyatakan


bahwa negara berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia,
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia (Rumusan Pancasila). Sedangkan pasal 29 ayat 1 UUD
1945 berbunyi: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”
Terhadap pasal 29 ayat 1 UUD 1945, Hazairin memberi komentar
antara lain sebagai berikut: Karena bangsa Indonesia yang beragama
resmi memuja Allah, yaitu menundukkan       diri kepada kekuasaan
Allah, Tuhan Yang Maha Esa itu, dan menjadikan pula Kekuasaan-
Nya itu dengan istilah Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai dasar
pokok bagi negara Indonesia, yaitu “Negara berdasar atas
Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 29 ayat 1 UUD 1945), maka
tafsiran ayat tersebut hanya mungkin sebagai berikut: (1) Dalam
negara RI tidak boleh terjadi atau berlaku sesuatu yang
bertentangan dengan kaidah-kaidah Islam bagi umat Islam, atau
yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama nasrani bagi umat
Nasrani atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama Hindu
Bali bagi orang-orang Hindu Bali atau bertentangan dengan
kesusilaan Budha bagi orang-orang Budha; (2) Negara R.I wajib
menjalankan syariat Islam bagi orang Islam, syariat Nasrani bagi
orang nasrani dan syariat Hindu Bali bagi orang Bali, sekedar
menjalankan syariat tersebut memerlukan perantaraan kekuasaan
Negara. (3) Syariat yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan

16
Teori Pemberlakuan Hukum Islam Di Indonesia
Negara untuk menjalankan dan karena itu dapat sendiri dijalankan
oleh pemeluk agama yang bersangkutan, menjadi kewajiban pribadi
terhadap Allah bagi setiap orang itu, yang dijalankannya sendiri
menurut agamanya masing-masing.33

Menurut Hazairin, bahwa hukum agama itu bagi rakyat Islam


dirasakannya sebagai sebagian dari perkara imannya. 34 Selanjutnya
Hazairin menyatakan bahwa:35 Persoalan lain yang sangat
mengganggu dan menentang iman orang Islam ialah “teori resepsi”
yang diciptakan oleh kekuasaan Kolonial Belanda untuk merintangi
kemajuan Islam di Indonesia. Menurut teori resepsi itu hukum Islam
ansich bukanlah hukum, hukum Islam itu baru boleh diakui sebagai
hukum jika hukum Islam itu telah menjadi hukum adat.
Tergantunglah kepada kesediaan masyarakat adat penduduk
setempat untuk menjadikan hukum Islam yang bukan hukum itu
menjadi hukum adat. Teori resepsi, yang telah menjadi darah daging
kaum yurist Indonesia yang dididik di zaman Kolonial baik di Jakarta
(Batavia) maupun di Leiden, adalah sebenarnya teori iblis, yang
menentang iman orang Islam, menentang Allah, menentang al-
Qr’an, menentang sunnah Rasul.

Pada akhirnya tentang keberadaan dan berlakunya teori


resepsi ini setelah Indonesia merdeka, Hazairin mengemukakan
sebagai berikut: Bahwa teori resepsi, baik sebagai teori maupun
sebagai ketetapan dalam pasal 134 ayat 2 indisch Staatsregeling
sebagai konstitusi Belanda telah lama modar (mati,pen), yaitu
terhapus dengan berlakunya UUD 1945, sebagai konstitusi Negara

33
Hafidz Dasuki, et. al.Ensiklopedi Hukum Islam, (Cet.I; Jakarta: PT.Ichtiar Van Hoeve, 1997), h.537.
34
Hazairin, Tujuh Serangkai tentang Hukum, (Cet.I; Jakarta: Tintamas, 1974), h.101.
35
Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, (Cet.III; Jakarta: Tintamas, 1982), h.7-8.

17
Teori Pemberlakuan Hukum Islam Di Indonesia
Republik Indonesia.36 Jadi, menurut Hazairin, teori Resepsi, yang
menyatakan bahwa hukum Islam baru berlaku bagi orang Islam
kalau sudah diterima dan menjadi bagian dari hukum adatnya,
sebagaimana dikemukakan oleh C. Snouck Hurgronje, adalah teori
Iblis (syetan) dan telah modar, artinya telah hapus atau harus
dinyatakan hapus dengan berlakunya UUD 1945. Pemahaman inilah
yang dimaksud dengan teori Receptie exit.37

Menurut teori Resepsi Exit, pemberlakuan hukum Islam tidak


harus didasarkan atau ada ketergantungan kepada hukum adat.
Pemahaman demikian lebih dipertegas lagi antara lain dengan
berlakunya UU No. 1 tahun 1974, tentang perkawinan, yang
memberlakukan hukum Islam bagi orang Islam (pasal 2 ayat 1),UU
No. 7 tahun 1989 tentang peradilan Agama Instruksi Presiden No. 1
Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI).

2.3.4. TEORI Receptio A Contrario

Dalam perkembangan selanjutnya menurut Sayuti Thalib, 38


ternyata dalam masyarakat telah berkembang lebih jauh dari
pendapat Hazairin di atas. Di beberapa daerah yang dianggap sangat
kuat adatnya, terlihat ada kecenderungan teori resepsi dari Snouck
Hurgronje itu dibalik.

Umpama di Aceh, masyarakatnya menghendaki agar soal-


soal perkawinan dan soal warisan diatur menurut hukum Islam.

36
Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, (Cet.I; Jakarta: Tintamas, 1975), h.
8.
37
Ichtijanto, SA,S.H, Pengadilan Agama sebagai Wadah Perjuangan Mengisi Kemerdekaan Bangsa, dalam
Kenang-kenangan Seabad Pengadilan Agama, (Cet.I;Jakarta: Dirbinperta Dep.Agama RI, 1985), h. 262.
38
Sayuti Thalib, Receptio A Contrario, (Cet.III; Jakarta: Bina Aksara, 1982), h.67.

18
Teori Pemberlakuan Hukum Islam Di Indonesia
Apabila ada ketentuan adat di dalamnya, boleh saja dilakukan atau
dipakai, tetapi dengan satu ukuran, yaitu tidak boleh bertentangan
dengan hukum Islam. Dengan demikian yang ada sekarang adalah
kebalikan dari teori Resepsi yaitu hukum adat baru berlaku kalau
tidak bertentangan dengan hukum Islam. Inilah yang disebut oleh
Satyuti Thalib dengan teori Reseptio A Contrario.39

2.3.5. TEORI EKSISTENSI

Sebagai kelanjutan dari teori Receptie Exit dan teori Receptio


A Contratio, menurut Ichtijanto SA muncullah teori Eksistensi. 40
Teori Eksistensi adalah teori yang menerangkan tentang adanya
hukum Islam dalam hukum Nasional Indonesia. Menurut teori ini
bentuk eksistensi (keberadaan) hukum Islam dalam hukum nasional
itu ialah: 1. Ada, dalam arti hukum Islam berada dalam hukum
nasional sebagai bagian yang integral darinya; 2. Ada dalam arti
adanya kemandiriannya yang diakui berkekuatan hukum nasional
dan sebagai hukum nasional; 3. Ada dalam hukum nasional, dalam
arti norma hukum Islam (agama) berfungsi sebagai penyaring bahan-
bahan hukum nasional Indonesia; 4. Ada dalam hukum Nasional,
dalam arti sebagai bahan utama dan unsur utama hukum nasional
Indonesia.

2.3.6. TEORI SINKRETISME


Teori sinkretisme dikemukakan oleh Hooker setelah
sebelumnya melakukan penelitian di beberapa daerah di Indonesia.
Menurut Hooker, kenyataan membuktikan bahwa tidak ada satu
pun sistem hukum, baik hukum adat maupun hukum Islam yang
saling menyisihkan. Keduanya berlaku dan mempunyai daya ikat

39
Ibid., h. 69.
40
S.A.Ichtianto, Pengadilan Agama sebagai Wadah Perjuangan Mengisi Kemerdekaan Bangsa, dalam kenang-
kenangan Seabad Pengadilan Agama, (Cet.I; Jakarta: Ditbinperta Dep.Agama

19
Teori Pemberlakuan Hukum Islam Di Indonesia
sederajat, yang pada akhirnya membentuk suatu pola khas dalam
kesadaran hukum masyarakat. Namun, kesaamaan derajat
berlakunya dua sistem hukum ini tidak selamanya berjalan dalam
alur yang searah. Pada saat tertentu, dimungkinkan terjadinya
konflik seperti digambarkan dalam konflik hukum adat dengan
hukum Islam di Minangkabau atau konflik antara santri dan abangan
di Jawa.41 Dengan demikian menurut Hooker, daya berlakunya suatu
sistem hukum baik hukum adat maupun hukum Islam, tidak
disebabkan oleh meresepsinya sistem hukum tersebut pada sistem
hukum yang lain, tetapi hendaknya disebabkan oleh adanya
kesadaran hukum masyarakat yang sungguh-sungguh menghendaki
bahwa sistem hukum itulah yang berlaku. Dengan anggapan ini,
akan tampak bahwa antara sistem hukum Adat dengan sistem
hukum Islam mempunyai daya berlaku sejajar dalam suatu
masyarakat tertentu. Daya berlaku sejajar tersebut tidak muncul
begitu saja, tetapi melalui sebuah proses yang amat panjang. Kondisi
ini bisa terjadi karena sifat akomodatif Islam terhadap budaya lokal.
Sikap akomodatif Islam itu mengakibatkan terjadinya hubungan erat
antara nilai-nilai Islam dengan hukum adat dalam kehidupan
masyarakat Indonesia. Eratnya hubungan tersebut menghasilkan
suatu sikap rukun, saling memberi dan menerima dalam bentuk
tatanan baru, yaitu sinkretisme.
2.4. HUKUM TADARRUJ DALAM MEMPERJUANGKAN HUKUM ISLAM

Tadarruj maknanya adalah bertahap dalam melaksanakan sesuatu.


Dalam masalah syariah, bertadarruj adalah dalam metode melaksanakan
atau membangun kembali berlakunya hukum Islam di dalam sebuah negeri
yang kita tidak punya kekuasaan sepenuhnya. Sedangkan masalah hukum
kewajibannya, sudah tidak ada tadarruj lagi. Sebab sejak berakhirnya masa
41
M.B. Hooker, Adat Low in Modern Indonesia, (Oxford: Oxford University Prees, 1978), h. 36.

20
Teori Pemberlakuan Hukum Islam Di Indonesia
hidup Rasulullah Saw, syari’at Islam sudah menjadi ajaran yang lengkap dan
berlaku secara keseluruhannya. Maksudnya yaitu nilai kewajiban untuk
menjalankan hukum Islam memang tidak sepotong-sepotong. Semua hukum
hudud seperti merajam pezina, membunuh pembunuh (qishash), memotong
tangan pencuri, mencambuk peminum khamar, membunuh orang yang
murtad dan lainnya sudah wajib hukumnya bagi umat Islam. Belum pernah
hukum ini berkurang menjadi setengah wajib atau tidak wajib. Dalam hal ini
memang demikianlah ketentuannya.Namun tadarruj yang dimaksud adalah
dalam upaya merealisasikan hukum itu pada sebuah negara yang secara resmi
menolak hukum Islam. Sebagai umat Islam, kita hidup di negeri kafir secara syar’i,
yaitu negeri yang tidak mengakui hukum Islam dan menolak secara tegas untuk
melaksanakannya. ”Sesungguhnya, ada beberapa pemahaman mengenai gagasan
tadarruj, akan tetapi semuanya mengerucut pada makna tunggal, yakni “perjuangan
untuk menerapkan syari’at Islam secara bertahap, bukan secara menyeluruh.” Lebih
dari itu, tadarruj telah dijadikan sebagai metode perjuangan, bahwa metode berfikir
sebagian kaum muslim yang menjadi penganut gagasan ini.

Berikut ini, akan kami ketengahkan beberapa pemahaman mengenai


tadarruj.

 Pertama, tadarruj sering diartikan dengan penerapan syari’at Islam


secara bertahap. Dengan kata lain, tadarruj adalah menerapkan
atau mengakui hukum kufur yang dianggap dekat dengan syari’at
Islam sebagai tahapan untuk menerapkan syari’at Islam secara
sempurna. Contoh tadarruj model ini adalah partai-partai Islam yang
mengikuti pesta demokrasi untuk meraih jabatan presiden, sebelum
mengangkat seorang khalifah. Walaupun, mereka memahami
bahwa, presiden adalah kepala negara dalam sistem pemerintahan
kufur demokratik, akan tetapi, presiden dianggap sebagai tahapan
non syar’iy untuk menuju pembai’atan seorang khalifah. Contoh lain
adalah partai-partai Islam yang melibatkan diri dengan parlemen

21
Teori Pemberlakuan Hukum Islam Di Indonesia
kufur untuk mengubah sedikit demi sedikit hukum negara dengan
hukum Islam. Dengan kata lain, penganut tadarruj telah menjadikan
parlemen kufur sebagai tahapan untuk melakukan perubahan
menuju masyarakat Islam, meskipun mereka juga memahami bahwa
parlemen demokratik bertentangan dengan Islam secara diametral.
Tadarruj semacam ini jelas-jelas bertentangan dengan Islam. Sebab,
ia telah menghalalkan segala cara untuk menerapkan syari’at Islam.
Tahapan-tahapan yang mereka tempuh, sesungguhnya adalah
perbuatan yang diharamkan oleh Allah SWT. Seorang muslim tidak
boleh menghalalkan segala cara untuk menerapkan hukum Allah
yang suci. Partai politik Islam, yang ada di negeri ini pun menempuh
cara-cara ini untuk mewujudkan tujuan mereka. Sayangnya, mereka
malah tidak berdaya, bahkan semakin mengendur dan terwarnai
oleh sistem yang ada. Bahkan, beberapa pemimpin partai Islam yang
katanya bersih, tidak tegas berani menyatakan penerapan syari’at
Islam, tatkala ditanya tentang penerapan syari’at Islam. Bahkan ia
mendiamkan berlakunya sistem presidensil yang bertentangan
dengan Islam, padahal ia telah menjadi ketua salah satu lembaga
rakyat di negeri ini.
 Kedua, tadarruj juga bermakna, penerapan sebagian syari’at Islam,
dan “berdiam diri” terhadap sebagian hukum-hukum kufur untuk
sementara waktu, sampai tibanya waktu untuk menerapkan syari’at
Islam secara sempurna. Contoh yang paling gamblang adalah apa
yang dilakukan oleh anggota-anggota gerakan Islam di parlemen
demokratik. Mereka berdiam, bahkan melibatkan diri dalam aturan-
aturan kufur untuk mengubah hukum-hukum kufur secara bertahap.
Ketiga, tadarruj kadang-kadang juga berhubungan dengan
pemikiran-pemikiran yang menyangkut ‘aqidah, misalnya demokrasi
Islam, sosialisme Islam, dan lain sebagainya. Kadang-kadang juga
berhubungan dengan masalah hukum syari’at, misalnya, seorang
wanita muslimah mengenakan jilbab yang tidak panjang —sebatas
lutut—, hingga tiba waktunya mengenakan jilbab yang sempurna.

22
Teori Pemberlakuan Hukum Islam Di Indonesia
Tadarruj kadang-kadang juga berkaitan dengan sistem, misalnya,
adanya keinginan sebagian gerakan Islam yang memasukkan
anggotanya ke dalam parlemen kufur, atau jabatan-jabatan
kenegaraan kufur, sebagai tahapan untuk menuju sistem yang Islam.
Keempat, tadarruj, juga diartikan sebagai upaya untuk menerapkan
hukum syari’at dan berdiam diri terhadap hukum-hukum kufur,
dengan harapan semakin lama akan semakin banyak hukum Islam
yang diterapkan, hingga seluruh sistem berubah sesuai dengan
syari’at Islam. Seluruh bentuk dan pemahaman tadarruj di atas jelas-
jelas bertentangan dengan syari’at Islam. Sebab, pemahaman di atas
bertentangan dengan strategi perjuangan yang digariskan oleh
Rasulullah Saw. Untuk mengubah masyarakat, harusnya dilakukan
perubahan pada aspek mendasarnya yakni sistemnya, bukan
mengubah secara bertahap pada aspek-aspek cabangnya. Selain
karena tidak efektif cara-cara semacam ini masih diragukan
keislamiannya.

BAB III

PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

Hukum Islam adalah syariat yang  berarti hukum-hukum yang


diadakan oleh Allah untuk umat-Nya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik
hukum yang berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun hukum-
hukum yang berhubungan dengan amaliyah (perbuatan). Teori-teori hukum
Islam di Indonesia diantarnya adalah : Teori Reception In Complexu, Teori
Receptie, Teori Receptie Exit, Teori Receptie A Contrario dan teori Eksistensi.
Dalam hukum Islam tadarruj adalah dalam upaya merealisasikan hukum itu
pada sebuah negara yang secara resmi menolak hukum Islam. Sebagai umat

23
Teori Pemberlakuan Hukum Islam Di Indonesia
Islam, kita hidup di negeri kafir secara syar’i, yaitu negeri yang tidak
mengakui hukum Islam dan menolak secara tegas untuk melaksanakannya.

3.2. SARAN

Kini umat memiliki banyak PR bagaimana menuntaskan formalisasi


syariah tersebut dalam konstitusi yang ada di negera. Pascareformasi
menjadi gerbang baru yang terbuka lebar untuk meluaskan sayap-sayap
hukum islam. Setidaknya, tuntutan hukum yang lahir dari masyarakat muslim
bisa diaplikasikan dalam peraturan-peraturan daerah yang bersifat mengikat.

Sehingga dari sini, terlihat betapa semangat keberagamaan benar-


benar menjiwai kehidupan masyarakat dalam bernegara.  Ini juga sekaligus
membuktikan bahwa Pancasila yang menjadi falsafah negara, dengan
menjunjung tinggi nilai Ketuhanan Maha Esa, membuat umat islam lebih
yakin untuk terus mengisi kemerdekaan dengan penerapan nilai-nilai islam,
terutama dalam konstitusi.

DAFTAR PUSTAKA

http://www.rumahpintarr.com/2014/12/makalah-teori-teori-hukum-islam-
di.html diakses pada 16:48 WIT 14 Oktober 2017

https://jurnalalahkamstainpalopo.wordpress.com/2014/09/28/teori-
pemberlakuan-hukum-islam-di-indonesia/ diakses pada 17:52 WIT 14
Oktober 2017

http://memey7894.blogspot.co.id/2014/02/makalah-teori-pelaksanaan-
hukum-islam.html diakses pada 20:17 WIT 14 Oktober 2017

http://rofiq212.blogspot.co.id/2015/03/makalah-studi-hukum-islam.html
diakses pada 20:54 WIT 14 Oktober 2017

24
Teori Pemberlakuan Hukum Islam Di Indonesia
http://ladydeeana91.blogspot.co.id/2012/04/hukum-islam-di-indonesia.html
diakses pada 22:52 WIT 14 Oktober 2017

Anshary, Endang Saifuddin, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah


Konsensus Nasional, Antara Nasionalis Islami dan Nasionalis Sekuler
tentang DasarNegara republik Indonesia 1945-1959, Cet.II; Bandung: Pustaka,
1983.

Arifin, Bustanul, Budaya Hukum itu Telah Mati, Jakarta: Kongres Umat Islam
Indonesia, 1998.

Dasuki, Hafidz et. al.Ensiklopedi Hukum Islam, Cet.I; Jakarta: PT.Ichtiar Van
Hoeve, 1997.

H.W.J.Sonius, dalam J.F. Holleman van Vollenhoven on Indonesian Adat Law,


Leiden: 1981

Muhammad, Bushar, Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita,


1976.

Hatta, Mohammad, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, Cet.I; Jakarta:


Tintamas, 1969.

Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974,


Cet. I; Jakarta: Tintamas, 1975.

———-, Hukum Kekeluargaan Nasional, Cet.III; Jakarta: Tintamas, 1982.

———-, Tujuh Serangkai tentang Hukum, Cet.I; Jakarta: Tintamas, 1974.

Hurgronje, C.Snouck, De Islam in Nederlandsch Indie, alih bahasa S.Gunawan,


Islam di Hindia Belanda, Cet.II; Jakarta: Bhratara, 1983.

Ichtijanto, SA, Pengadilan Agama sebagai Wadah Perjuangan Mengisi


Kemerdekaan Bangsa, dalam Kenang-kenangan Seabad Pengadilan Agama,
Cet.I; Jakarta: Dirbinperta Dep. Agama RI, 1985.

25
Teori Pemberlakuan Hukum Islam Di Indonesia
Roem Muhammad, dalam Anshary, Endang Saifuddin, Piagam Jakarta 22 Juni
1945 dan Sejarah Konsensus Nasional-antara Nasionalis Islam dan Nasionalis
Sekuler tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959, Cet. II;
Bandung: Pustaka, 1983.

Rosenthal, E.I.J. Islam in the Modern National State, London: Cambride


University Press,1965.

Sayuti Thalib, Receptio A Contrario, Cet.III; Jakarta: Bina Aksara, 1982.

Thalib,Sayuti, S.H, M.H, Receptio A Contrario, Cet. III; Jakarta: Bina Aksara,
1982.

Yamin, H. Muhammad, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945,


Jakarta: Yayasan Prapanca, 1959.

26
Teori Pemberlakuan Hukum Islam Di Indonesia

Anda mungkin juga menyukai