PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Aspirasi umat Islam di Indonesia dalam memperjuangkan penerapan
Syari’at Islam di nusantara ini tidak pernah padam, bahkan telah mengkristal
menjadi sebuah obsesi. Hal Ini disebabkan oleh faktor ideologi dan kultur
terbentuk dengan kehidupan umat Islam, menjadi motivasi untuk
memperjuangkan penerapan Syari’at Islam tersebut.
Penelitian ini mengenai hukum di Indonesia belum banyak menyingkap
masa ini merupakan sebuah fase penting dalam sejarah hukum Islam di
Indonesia. Dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam menggantikan kerajaan-
kerajaan Hindu/Buddha berarti untuk pertama kalinya hukum Islam telah ada di
Indonesia sebagai Hukum positif.
Kenyataan ini kemudian diakui oleh Belanda setelah meliahat berbagai
dalam sebuah buku memoir bahwa tujuan perlawanan orang Jawa terhadap
Belanda sebenarnya adalah agar hukum Islam berlaku untuk orang Jawa.
1
Maka tidaklah mrngherankan jika obsesi penerapan Syari’at Islam
terus hidup, marak dan berkobar dalam segala ragam dan bentuk
perwujudannya. Contoh, maraknya penerapan Syari’at Islam melalui
pemberlakuan perda-perda Syari’at Islam di beberapa wilayah di Indonesia.
Di era reformasi, pintu-pintu penerapan Syari’at Islam semakin terbuka
untuk disuarakan oleh umat Islam secara legal dan transparan, juga didukung
oleh kebijakan pemerintah untuk otonomi khusus kepada daerah-daerah
tertentu, memberikan angin segar bagi umat Islam di Indonesia untuk
mewujudkan obsesinya dalam koridor Negara kesatuan Republik Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengerian dari syariah ?
2. Bagaimana sejarah berlakunya syariah ?
3. Bagaimana eksistensi syariah dalam masyarakat ?
4. Bagaimana Obsesi penerapan syariah ?
5. Bagaimana penerapan hokum syariah ?
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. KAJIAN PUSTAKA
1. Definisi Syariah
Syari’at berarti dari bahasa Arab, secara etimologi berarti يقصد لش<<<رب
3
sesuatu yang dirujuk kepada sejumlah hukum Islam yang diwahyukan kepada Nabi
Muhammad saw, yang terekam dalam al-Qur‘an dan sunnah nabi (Syalbi, al-madkhal
fi ta’rif bi al-fiqh dalam Anonim 2010)
Sementara secara terminology syariah adalah hukum-hukum yang ditetapkan
oleh Allah untuk hamba-hambanya yang dibawa oleh seorang rasul Muhammad
SAW, baik hukum tersebut berhubungan dengan cara tingkah laku, yaitu yang disebut
dengan hukum- hukum furu‘. Pada dasarnya kata syariah dalam Islam mencakup
seluruh petunjuk agama Islam, baik yang menyangkut dengan akidah, ibadah,
muamalah, etika, dan hukum-hukum yang mengatur seluruh aspek kehidupan
manusia. Namun seiring berjalannya waktu, pengertian syariat sendiri mengalami
perkembangan. Dimana pada masa perkembangan ilmu- ilmu agama Islam di abad
kedua dan ketiga, masalah akidah mengambil nama tersendiri, yakni ushuluddin,
sedangkan masalah etika dibahas secara tersendiri dalam ilmu yang dikenal dengan
istilah Akhlak. Karena itu, istilah syariah sendiri dalam pengertiannya mengalami
historical continuity, yang pada akhirnya menjadi menyempit, khusus mengenai
hukum yang mengatur perbuatan manusia. Atas dasar ini kata syariat Islam identik
dengan kata hukum dalam arti teks-teks hukum dalam al-Qur‘an dan sunnah nabi.
(Satria Efendi M. Zein 2008 dalam Anonim 2010)
2. Sejarah Berlakunya Syariah Islam Di Indonesia
sejak zaman VOC Belanda telah mengakui keberadaan hukum Islam
di Indonesia. Dengan Regerings Reglemen, mulai tahun 1855 Belanda
mempertegas pengakuannya terhadap hukum Islam di Indonesia. Setelah itu
diperkuat lagi oleh Lodewick Willem Cristian van den Berg yang
mengemukakan teori Receptio in Complexu. Teori ini pada intinya
menyatakan bahwa orang Islam berlaku hukum Islam. Ini berarti bahwa
hukum Islam berlaku secara keseluruhan untuk umat Islam. Bustanul Arifin
1996 (dalam Fatimah 2015) Tercatat dalam sejarah ketika itu, kesultanan di
Aceh, kerajaan Demak, Malaka, di Semenanjung Melayu dan kesultanan
Gowa-Tallo di Sulawesi, semuanya telah menjadi kerajaan-kerajaan Islam
yang independen dan telah memberlakukan Syari’ah Islam bagi
masyarakatnya melalui jalur formalisasi atas titah dan kuasa raja/sultan yang
4
lebih dulu memeluk Islam dan kemudian diikuti oleh rakyatnya. Muh. Idris
2000 (dalam Fatimah, 2015)
Di zaman VOC, kedudukan hukum keluarga Islam telah ada dalam
masyarakat dan diakui dalam kerajaan-kerajaan Islam kemudian dikumpulkan
dalam satu buku yang terkenal dengan nama “Compendium Freijer”
disamping itu dibuat kumpulan hukum perkawinan dan kewarisan Islam
5
kolonialisme yang mengklaim nusantara dengan sebutan Hindia Belanda
sebagai koloni jajahannya.
Sebeagai penjajah yang kebetulan beragama Nasrani, mendapat
perlawan dari bangsa Indonesia yang mayoritaas penganut Islam. Perlawanan
ini menyebabkan penjajah mengambil sikap dalam menghadapi umat Islam
tersebut bagi kepentingan penjajahnya. Bagi penjajah Belanda, umat Islam
Indonesia merupakan musuh dan penghambat bagi kepentingan mereka.
Tekanan politik Belannda terhadap umat Islam menemukan bentuknya
setelah kedatangan Snouck Hurgronje berhasil memberikan alternatif untuk
melumpuhkan umat Islam di nusantara. Menurut Snouck Hurgronje, dalam
menghadapi umat Islam, disarankan agar pemerintah Belanda bersikap netral
terhadap kegiatan “ibadah ritual” umat Islam, dengan memberikan fasilitas
dan kemudahan untuk melaksanakan ibadah tersebut, namun harus bertindak
tegas terhadap setiap perlawanan dari umat Islam. Kebijakan ini dimaksudkan
untuk membangun kepentingan pemerintah Hindia Belanda. Inti dari
kebijakan politik terbebut adalah untuk memisahkan antara agama dan negara
(politik), sehingga agama hanya dipahami secara sempit sebatas kegiatan
ibadah ritual saja, sedangkan kegiatan politik bukan sebagai kegiatan agama.
Dalam perkembangan selanjutnya ternyata kebijakan Snouck
Hurgronje tersebut tidak sesuai lagi dengan kondisi masyarakat. Umat
islam dalam menjalankan agamanya ternyata tidak mengabaikan kegiatan
politik karena mereka berkeyakinan bahwa masalah politik bagian dari
ajaran Islam. Dengan keyakinan itu muncullah reaksi dari perlawanan dari
umat islam untuk mengusir penjajah yang akhirnya berpengaruh kepada
arah politik kolonial. Mereka mengalihkan pemikiran hukum adat, maka
muncullah teori receptive. Dengan demikian, ternyata dalam
perkembangan selanjutnya konsep Snouck Hurgronje tidak seluruhnya
dapat diterapkan.
Walaupun pada mulanya kedatangan Belanda ke nusantara tidak
ada kaitannya dengan masalah hukum agama, namun pada perkembangan
selanjutnya ada kaitan dengan kepentingan penjajah, akhirnya mereka
6
tidak dapat menghindari terjadinya persentuhan dengan masalah hukum
yang berlaku bagi penduduk pribumi.
Sehubungan dengan eksistensi hukum Islam pada masyarakat
(RR) staatblad 1885 no. 2 yang berkaitan dengan hukum Islam diatur
7
atau dengan mereka yang dipersamakan, mereka tunduk pada putusan
agama atau kepada masyarakat mereka menurut undang-undang
8
kewarisan Islam diusahakan tidak berlaku. Sehubungan dengan
hal itu diambil langkah-langkah sebagai berikut;
9
adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan,
Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Sedangkan pasal 29
ayat 1 UUD 1945 adalah negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang
Maha Esa.
Menurut Hazairin keberadaan dan berlakunya teori receptie setelah
Indonesia merdeka, Hazairin menegaskan bahwa teori receptie baik
sebagai teori maupun sebagai ketetapan dalam (IS) pasal 134 ayat 2
sebagai konstitusi Belanda telah lama berlaku yaitu terhapus dengan
berlakunya UUD 1945 sebagai konstitusi negara RI.
Kesimpulan pernyataan Hazairin di atas, bahwa teori receptie itu terhapus
Indonesia.20
5) Teori receptio a contrario, dalam perkembangan selanjutnya ternyata
dalam masyarakat telah berkembang lebih lanjut daripada Hazairin.
Di beberapa daerah yang dianggap sangat kuat adatnya terlihat adanya
kecenderungan teori receptie dibalik itu, contohnya di Aceh,
masyarakat menghendaki masalah perkawinan dan kewarisan diatur
menurut hukum Islam apabila ada ketentuan adat di dalamnya boleh
saja dipakai tetapi dengan syarat tidak boleh bertentangan dengan
hukum Islam, jadi yang ada sekarang adalah kebalikan dari teori
receptie, yaitu hukum adat berlaku kalau tidak bertentangan dengan
10
Islam dalam hukum Nasional Indonesia. Menurut teori ini bentuk
existensi hukum Islam di Indonesia di dalam hukum nasional adalah
(1) sebagai bagian integral darinya (2) ada dalam arti adanya
kemandiriannya yang diakui berkekuatan hukum Nasional (3)
sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional (4) ada dalam arti
sebagai bahan utama hukum Nasional Indonesia. Berdasarkan teori
existensi ini, maka keberadaan hukum Islam dalam sistem hukum
Nasional merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah
adanya. Bahkan lebih dari itu, hukum Islam merupakan bahan utama
atau unsur utama hukum Nasional. Dengan teori existensi ini, maka
seseungguhnya peluang untuk menegakkan Syari’at Islam yang
dibutuhkan oleh umat Islam di Indonesia sepanjang tidak menyalahi
ketentuan konstitusi, artinya cara dan prosedur yang harus ditempuh
untuk mewujudkan penerapannya secara konstitusional, merupakan
suatu keniscayaan. Bukan saja karena existensinya diakui sebagai bahan
dan unsur utama hukum nasional, tetapi lebih dari fakta sejarah dan
fakta sosiologis menunjukkan bahwa Syari’at Islam telah menjadi
bagian dari kehidupan masyarakat muslim karena Syari’at Islam sendiri
adalah bagian integral dari agam Islam yang dipeluk oleh mayoritas
bangsa Indonesia.
4. Obsesi penerapan Syariah Islam di daerah – daerah
Perjuangan penerapan Syari’at Islam secara demokratis
konstitusional oleh partai yang berbasis Islam di MPR telah mengalami jalan
buntu, akan tetapi tidaklah berarti bahwa itu suatu kekalahan. Salah satu
11
bagi pemeluknya, sebagai cita-cita niat itu tidak boleh padam untuk
selamanya.
Sebagai kelanjutan dari perjuangan tersebut fenomena menunjukkan
adanya obsesi dari beberapa daerah yang berusaha agar penegakan Syari’at
hanya untuk Daerah Istimewa Aceh dan Papua, tetapi juga daerah-daerah
lain menghendakinya seperti yang diajukan oleh masyarakat Sulawesi
Selatan.
Daerah Sulawesi Selatan
Bersamaan dengan bergulirnya era reformasi, masyarakat
Sulawesi Selatan telah menemukkan kebebasannya untuk berekspresi
setelah kurang lebih tiga dasawarsa terbungkam oleh Orde Baru. Hasil
kongres umat Islam se Sul-Sel (19-21 Oktober 2000) yang didukung oleh
sejumlah zuamah, ulama, agniya, umara, dan ulul albab dari berbagai
organisasi massa, pendidikan/pesantren, sosial serta perguruan tinggi
menyepakati dan melahirkan institusi perjuangan yang dikenal “Komite
Persiapan Penegakan Syari’at Islam” (KPPSI) yang diresmikan pada
tanggal 15 April 2001 di Masjid al-Markaz al-Islami Makassar beriringan
denagn dikeluarkannya pernyataan bersama yang dikenal dengan nama
‘Deklarasi Muharram’ isinya adalah desakan kepada lembaga eksekutif
dan legislatif untuk memproses pemberlakuan Syari’at Islam di Sulawesi
Selatan sesuai mekanisme konstitusi yang berlaku yang melahirkan
rekomendasi DPRD Provinsi Sulawesi Selatan tertanggal 23 April 2001.
Kesimpulannya bahwa target yang diperjuangkan KPPSI adalah
lahirnya UU Otonomi Khusus sebagai payung, karena dengan wadah
tersebut penerapan Syari’at Islam di Sulawesi Selatan dapat diwujudkan.
Kewenangan Otonomi Khusus yang dimintakan itu meliputi; (1)
penyelanggaraan kehidupan beragama, (2) penyelanggaraan kehidupan adat
istiadat (3) penyelenggaraan bidang pendidikan (4) penyelenggaraan
12
bidang ekonomi dan perdagangan (5) penyelenggaraan mahkamah
13
tentang pandai baca al-Qur’an bagi siswa dan calon pengantin; Perda No. 05
tahun 2003 tentang berpakaian muslim dan muslimah. (2) Daerah
Kabupaten Maros (Perda No. 09 tahun 2001, tentang larangan pengedaran,
memproduksi, mengkonsumsi, minuman keras beralkohol, narkotika dan
psikotropika; Perda No. 15 tahun 2005, tentang gerakan buta aksara, dan
pandai baca al-Qur’an bagi siswa, PNS, caleg, dan calon pengantin, dua
daerah lainnya yang disebutkan di atas bervariasi dalam merancang dan
memberlakukan Perda-Perda sejenis di daerahnya, tetapi yang pasti keempat
daerah kabupaten yang tersebut di atas nuansa kehidupan Islami sangat
kentara dan terasa dampak positifnya bagi peningkatan kesejahteraan dan
ketentraan dengan berlakunya Perda-Perda tersebut.
Dalam disertasi Hamdan Juhannis, terkesan KPPSI disertakan
perjuangannya dengan Darul Islam (DI) yang pernah ada di Sulawesi
14
tangan negara, misalnya; salat, zakat, haji, hukum keluarga, wakaf, dan
lain-lain.
2) Gerakan sosial dakwah dan pendidikan yaitu menyebarkan ajaran
Islam kepada masyarakat melalui jalur dakwah, pendidikan,
kesehatan, lingkungan hidup, dan sebagainya, sebagai bukti bahwa
Syari’at Islam benar-benar pembawa rahmat seluruh alam semesta,
15
Kalau seseorang mengatakan islam adalah sebuah ideologi, maka dengan
sendirinya istilah ideologi bertentangan (contradiction in terminis) dengan islam.
Umat islam meyakini bahwa wahyu Allah bukan ciptaan Nabi Muhammad SAW,
bukan Pemikirin Manusia, sedangkan ideologi adalah pemikiran manusia. Jadi
sekali lagi, islam bukanlah sebuah ideology
Partai Bulan Bintang adalah Partai Islam Modern. Orang moderen itu melihat
kenyataan lebih dulu. Lalu melihat parameter islam untuk menyelesaikan
kenyataan-kenyataan yang dihadapi.
Bagi Partai Bulan Bintang, Islam sebagai motivasi, sumber inspirasi, sumber
berpikir. Memberikan petunjuk dalam memecahkan persoalan-persoalan di
Negara Republik Indonesia.
Partai Bulan Bintang sering disebut ingin menegakkan Syariat Islam.
16
Adalah keliru sekali jika ada yang menyebarkan issue, menggunakan
syariat islam dalam arti seperti pemeikiran masyarakat yang selama ini dipahami
atau ingin merubah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi Negara
Islam. Oleh karenanya hal tersebut perlu dicermati dengan kesadaran dan
kedewasaan dalam berbangsa dan bernegara sesuai UUD 45 dan Pancasila.
18
Rasa keadilan masyarakat berkembang sesuai dengan perkembangan zaman
dan tingkat kematangan peradaban manusia. Dulu misalnya memperbudak tawanan
perang (prisoner of war) adalah hal yang lazim. Hukum syariatpun tidak melarang.
Tetapi, sekarang menjadikan tawanan perang sbagai budak ( dalam istilah hokum
islam disebut istirqaq) jelas haram dan dilarang oleh konvensi internasional
( konvensi jenewa tentang perlakuan atas tawanan perang, artikel 3)
Dulu hukuman salib adalah hal yang tidak dianggap secara moral kejam dan
brutal. hukuman badan (corporeal punishment) tidak lagi diterima oleh komunitas
internasional dan dianggap berlawanan degan rasa keadilan masyarakat modern.
Dulu hokum nyawa balas nyawa dan mata baas mata (qisas) dan praktek yang
lumrah; bukan merupakan temuan orisinal dari islam. Hamper semua bangsa pra-
modern menerapkan hokum qisas ini. Sekarang, hokum itu dianggap tak lagi sesuai
dengan rasa keadilan. Bahkan hukuman matipun, sekarag sudah banyak
dipertanyakan landasan moral-etisnya
Hokum syariat, sebagaimana hokum manapun, adalah hokum yang “time and
space bound”, terikat dengan ruang dan waktu yang khusus. Ia kontekstual. Begitu
ruang dan waktu berubah, relevansinya harus dipikirkan ulang. Kaidah ini berlaku
untuk hokum manapun, tanpa kecuali, termasuk hokum syariat
Dengan demikian, kita bisa mengatakan bahwa hokum syariat yang sudah tak
sesuai dengan rasa keadilan masyarakat saat ini, Ia tak bias diberlakukan lagi. Contoh
hokum syariat yang masuk kategori ini banyak sekali. Sekedar contoh : hokum
rajam, potong tangan, qisas, hokum penyaliban, dsb
Sementara banyak hokum syariat yang masih bisa berlaku sekarang hokum –
hokum syariat yang berkenan dengan kegiatan ritual seperti bagaimana sholat, puasa
dan haji hampir semuanya masih berlaku hingga sekarang. Sebab ritual memang
wataknya permanen Hokum syariat tentang kegiatan perdagangan yang harus
didasrkan pada dua prinsip, yaitu sukarela (taradin) dan tak ada penipuan (ghassy),
jelas masih relevan hingga kapanpun. Fair trade sebagaimana diajarkan oleh syariat
adalah prinsip universal yang berlaku sampai kapanpun selama manusia masih ada di
muka bumi
19
Prinsip dasar yang dianut oleh hukum islam adalah dua : adil (‘adl) dan tak
mencederai pihak lain (la darara wa ladirara). Prinsip ini bersifat universal.
Penerapannya (tahqiq – al- manath) dalam suatu konteks tertentu bias saja
menimbulkan perbedaan tafsir antara satu sarjana dengan sarjana yang lain. Tetapi
sebuah nila, ia berlaku universal.
Pertanyaan yang sudah bias saya duga adalah sebagai berikut : jika syariat
harus mengikuti perkembangan rasa keadilan masyarakat yang bias berubah sesuai
dengan perkembangan peradaban bukankah ini artinya islam mengikuti zaman,
bukan sebaiknya : aman mengikuti islam? Jawabannya adalah sebagai berikut ada
dua jenis hokum dalam agama, sebagaimana saya kemukakan di muka. Ada hokum
yang berlaku universal seperti ajaran islam tetang keadilan, perdamaian, kesetaraan,
menghormati hak – hak orang lain, dsb. hokum ini memang tak bias berubah dengan
perubahan zaman. Dalam hal ini, zaman harus mengikuti hokum agama, bukan
sebaliknya
Tetapi juga ada hokum – hokum yang temporal”, berlaku sementara waktu
saja, seperti hokum- hokum yang telah disebutkan sebelumnya. Sejauh menyangkut
hokum – hokum temporal ini, kita tak bias berkata bahwa zaman harus mengikuti
hokum ini, apapun resikonya. Sebaliknya, hokum temporal harus mengikuti
perkembangan zaman
Penjelasan saya ini hanya bersifat umum saja untuk meletakkan landasan
pokok bagaimana memahami hokum yang sering disebut hokum agama. Intinya :
tidak semua hokum syariat berlaku sepanjang zaman Nabi enghendaki umat islam
untuk berpikir kontekstual. Salah besar jika kita berpikir sebaliknya (ulil abshar
abdallah, 2015)
8. Hukum islam Mulai berlaku di Indonsia
Ulama Sumatera Barat Prof Amir Syarifuddin mengatakan Indonesia sudah
mulai menerapkan hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari, meski belum
sepenuhnya bisa diaplikasikan karena berbagai hambatan.
"Saat ini yang dominan diterapkan adalah hukum yang nilai-nilainya diadopsi
dari hukum barat, seperti KUHP dan KUHAP yang berlaku saat ini," kata dia di
Padang, Kamis (10/1).
20
Meski demikian, beberapa hukum Islam sudah mulai diterapkan di Indonesia.
Hal ini bisa dilihat pada sistem perekonomian yang berbasiskan Islam, seperti
diterapkannya bank berbasis syari'ah, koperasi syari'ah dan lainnya.
"Saat ini orang sudah mulai sadar sistem perekonomian kapitalis dan sistem
perekonomian sosialis yang menguasai dunia memiliki kekurangan. Disitulah
saatnya orang ingin melihat sistem perekonomian Islam, bisa atau tidak
menggantikan dua sistem perekonomian tersebut," beber dia.
Selain hukum perekonomian, juga sudah diterapkan Undang-Undang No. 1
tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang ini diakuinya sebagai undang-
undang yang bersifat umum untuk semua pemeluk agama, namun bagi umat Islam
praktiknya bagi umat Islam lebih diperinci sesuai dengan kebutuhan Konfilasi
Hukum Islam (KHI) atau sekumpulan materi hukum Islam yang ditulis pasal demi
pasal.
Dikatakan, masyarakat memiliki pandangan tersendiri mengenai hukum
perkawinan ini. Ada yang berpendapat perkawinan itu sah katika syarat dan
rukunnya terpenuhi, tapi ada juga yang berpandangan hal itu belum memadai, harus
dilakukan pembaharuan dan disesuaikan dengan perkembangan zaman Pembaharuan
ini sudah mulai tampak pada pernikahan dan perceraian yang mesti dilakukan di
depan pengadilan, agar dapat dicatat negara demi perlindungan umat. "Hukum Islam
ini dipatuhi secara keseluruhan atau tidak, tergantung kepada pemahaman, kesadaran
dan kebutuhan umat Islam terhadap aturan yang ada dalam agamanya," katanya.
Menyinggung tentang hukum pidana Islam, kata dia, belum bisa diterapkan,
karena saat ini masih diberlakukan hukum yang mengandung nilai-nilai hukum dari
barat. Banyak pihak, kata dia, yang berkepentingan atas diterapkannya aturan yang
nilai-nilainya diadopsi dari barat. Baik dari kalangan nasionalis maupun dari agama
lain, sehingga KUHP dan KUHAP yang baru, belum ditetapkan seperti yang
diharapkan.
B. Analisis Masalah
Di zaman VOC, kedudukan hukum keluarga Islam telah ada dalam
masyarakat dan diakui dalam kerajaan-kerajaan Islam kemudian dikumpulkan
dalam satu buku yang terkenal dengan nama “Compendium Freijer” disamping
21
itu dibuat kumpulan hukum perkawinan dan kewarisan Islam untuk daerah
22
berlaku sampai kapanpun selama manusia masih ada di muka bumi. Dan
pernyataan yang dikemukakan oleh Ulil abshar ini sejaan dengan Muhammad
Busyro Asmuni yang mempresentasikan makalahnya di kelas Islamic Law,
Program Magister Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta 2016 dengan judul
“Pengantar Hukum Islam Indonesia”. Ia menjelaskan secara detail ihwal
Hukum Islam di Indonesia, terutama perihal aturan dalam perundang-
undangan Indonesia yang tidak sepenuhnya memiliki muatan-muatan hukum
Islam. Namun dengan cemerlang ia menarik pada makna substantif dan
mencoba mengintegrasikan hukum positif nasional dengan hukum Islam,
sehingga tidak ada masalah yang kontras antara keduanya. Misalnya dalam
kasus pencurian. Menurut Syariah Islam hukumannya adalah dengan potong
tangan, sedangkan KUHP tidak mengakuinya. Akan tetapi menurut tesis yang
dibangun oleh Busyro, hal ini akan menemukan titik temu dengan hukuman
penjara.
Di dalam hukum Islam juga mengakui adanya alternatif hukuman selain
potong tangan, yaitu penjara. Oleh karena itu hukuman penjara dalam
KUHP juga mengandung nilai dan unsur Islam. Begitu juga dengan kasus-
kasus lainnya seperti hukuman pembunuhan, minuman keras, judi, zina dan
sebagainya. Busyro dengan cemerlang mengintegrasikan antara hukum positif
dengan hukum Islam.
Akan tetapi dalam proses rekonsiliasi hukum positif nasional dan hukum
Islam yang dibangun oleh Busyro ini ternyata tidak sepenuhnya dipahami oleh
sebagian kalangan muslim. Hal ini terbukti dengan maraknya gerakan kembali
ke Syariah Islam dan Khilafah seperti gerakan penerapan kembali Piagam
Jakarta, Hizbut Tahrir DI/TII dan sebagainya.
Ulama Sumatera Barat Prof Amir Syarifuddin mengatakan Indonesia sudah
mulai menerapkan hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari, meski belum
sepenuhnya bisa diaplikasikan karena berbagai hambatan. "Saat ini yang
dominan diterapkan adalah hukum yang nilai-nilainya diadopsi dari hukum
barat, seperti KUHP dan KUHAP yang berlaku saat ini," kata dia di Padang,
Kamis (10/1). Meski demikian, beberapa hukum Islam sudah mulai diterapkan
23
di Indonesia. Hal ini bisa dilihat pada sistem perekonomian yang berbasiskan
Islam, seperti diterapkannya bank berbasis syari'ah, koperasi syari'ah dan
lainnya.
2. Apa yang menjadi hambatan sehingga syariah Islam tidak diterapkan secara kaffah di
Indonesia
Paling tidak ada dua tantangan utama di dalam penegakan Syariat di Indonesia dan
negara-negara Islam lainnya.
Tantangan Pertama (Faktor Internal) : Tantangan yang terkait dengan faktor
keimanan, pemikiran, dan aspek psikologis. Ini mencakup beberapa poin, diantaranya
1. Kebodohan umat akan hakikat Syariat Islam.
Tantangan yang paling utama adalah kebodohan umat akan hakikat
Syariat Islam. Mereka tidak mengetahui bahwa Syariat Islam merupakan solusi
bagi setiap masalah di dalam kehidupan manusia, baik dalam ilmu pengetahuan,
politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan.
Berkata Syekh Syakib Arsalan di dalam bukunya : Limadza Taakhara al-
Muslimun wa Taqaddama Ghairuhun yang dalam edisi Indonesia berjudul
Kenapa Umat Islam Tertinggal (65) : “ Salah satu faktor utama penyebab
ketertinggalan umat Islam adalah kebodohan, sampai-sampai ada diantara mereka
yang tidak dapat membedakan antara arak dan cuka. Alhasil, orang-orang bodoh
itu pasrah saja menerima permasalahan yang disodorkan tanpa tahu cara
menolaknya.
Diantara indikasi kebodohan umat terhadap Syariat Islam adalah mereka
tidak memahami hakikat Ibadah . Mereka memahami bahwa ibadah hanya
berkisar seputar sholat, puasa, dzikir dan haji. Ibadah tempatnya hanya di masjid,
di luar masjid, bukanlah tempat beribadah . Padahal definisi Ibadah adalah :
“Sebuah istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai oleh Allah dan
diridhainya dari perkataan dan perbuatan lahir dan batin.“
Mereka juga salah di dalam memahami qadha dan qadar. Mereka
menganggap bahwan hanya dengan doa dan dzikir, maka segalanya berubah dan
umat Islam akan menang dan berkuasa, tanpa diiringi dengan usaha yang
24
sungguh-sungguh dan pengorbanan harta, tenaga, pikiran dan jiwa. Tidak aneh,
jika majlis-majlis dzikir banyak diminati masyarakat.
Maka, menjadi kewajiban para ulama dan da’i untuk menjelaskan
keindahan hidup di dalam naungan Syariat, dan Syariat Islam memberikan rasa
keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat.
2. Lemahnya aqidah umat Islam dan hilangnya percaya diri dan kebanggaan
terhadap Islam.
Kelemahan aqidah terlihat dari dua sisi :
Sisi Pertama : Mereka kurang yakin dengan janji-janji Allah, bahwa siapa saja
yang melaksanakan perintah Allah secara utuh dan sempurna, maka Allah
akan menjanjikan kehidupan yang layak di dunia dan di akherat.
Sebagaimana di dalam firman-Nya :
“Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barang siapa yang
mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barang
siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan
yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam
keadaan buta”. (Thaha : 123-124) Ayat-ayat yang senada bisa dilihat dalam
(QS. Al-An`am : 48,125), (QS. Yunus : 62), (QS. An-Nur : 55
Sisi Kedua : Mereka tidak yakin bahwa Syariat Islam mampu menjawab
seluruh tantangan zaman, mengatur urusan masyarakat, menyelesaikan
segala problematika yang mereka hadapi serta memecahkan masalah-masalah
yang mereka perselisihkan.
Faktor lain adalah berkurangnya rasa Muraqabatullah. Tingkatan keimanan
yang paling tinggi adalah al-Ihsan, yaitu beribadah kepada Allah seakan-akan
anda melihat-Nya, jika anda tidak melihat-Nya, maka Allah melihatmu.
3. Hilangnya kepercayaan umat terhadap tokoh-tokoh Islam yang diamanati
memegang beberapa jabatan strategis.
Tidak adanya contoh yang baik dan kurangnya suri tauladan dari sebagian
tokoh-tokoh Islam yang sedang memegang jabatan publik, menyebabkan umat
Islam lari dari ajaran Islam. Begitu juga kesalahan yang dilakukan oleh sebagian
mereka di dalam menerapkan Syariat Islam, seperti kesalahan di dalam
25
mempraktikkan sunnah poligami, menyebakan sebagian umat Islam antipati dan
membenci poligami. Kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh sebagian bank-
bank yang berlabel “Syariah” di dalam menerapkan transaksi-transaksi jual beli,
menyebabkan sebagian masyarakat masih menganggap bahwa Bank Syariat dan
Bank Konvensional tidak ada bedanya. Kesalahan beberapa pejuang Islam yang
mengusung penegakkan Syariat, di dalam menerapkan hudud menyebabkan
sebagian umat Islam antipati dengan Syariat Islam.
4. Tertinggalnya umat Islam dalam ilmu-ilmu terapan dan teknologi.
5. Perpecahan politik di kalangan Umat Islam.
6. Kesalahan beberapa Negara dan wilayah di dalam penerapan Syariat Islam.
Sebagian umat Islam menganggap bahwa penerapan Syariat hanyalah terbatas
pada pemberian hukuman kepada para pelaku kejahatan dengan menerapkan “
Hudud” dan sangsi berat kepada mereka.
Dr. Yusuf al-Qardhawi di dalam buku Bayyinat al-Hall al-Islami ( 181 )
mengatakan : “Sisi perundang-undangan dan penerapan hukum bukanlah segala-
galanya dalam Islam, tetapi Islam adalah keyakinan yang sesuai dengan fitrah,
ibadah yang menentramkan ruh, akhlaq yang mensucikan jiwa, adab dan etika
yang memperindah kehidupan, amal perbuatan yang bermanfaat bagi manusia,
dakwah yang memberikan pencerahan kepada dunia,… Islam tidaklah datang
dengan tugas utama untuk menindak para penyeleweng, tetapi untuk
mengarahkan orang-orang yang baik, dan menjaga mereka dari penyelewengan.“
7. Kefanatikan sebagian kelompok ummat islam terhadap madzhab dan
kelompoknya sehingga islam terkesna kaku dan tidak toleran terhadap perbedaan
pendapat
Tantangan Kedua (Faktor Eksternal) : Tantangan yang terkait dengan materi dan
pengaruh luar. Tantangan ini mencakup beberapa poin :
26
menyulitkan umat Islam untuk menegakkan Syariat Islam secara menyeluruh.
Ada beberapa sarana yang digunakan Negara-negara Barat di dalam menanamkan
hegemoninya, diantaranya ; mendukung rezim politik yang otoriter, mengadakan
kesepakatan-kesepakatan politik dan ekonomi yang tidak seimbang dengan
Negara-negara berkembang, memberikan pinjaman financial dengan syarat-syarat
yang merugikan, membuat kekacauan politik dalam suatu negara, mencari
kesempatan untuk bisa membangun pangkalan-pangkalan militer di setiap Negara
yang diincarnya , membangun bank-bank konvesional untuk menguasai sektor
ekonomi, dan lain-lainnya
2. Terpengaruhnya sebagian masyarakat dengan pemikiran para pengusung HAM
(Hak Asasi Manusia).
Mereka –para pengusung HAM—sering menuduh Syariat Islam sebagai Syariat
yang kaku dan kejam serta tidak berperi kemanusian, yang mendiskreditkan
perempuan, sampai-sampai mereka mengadakan konferensi-konferensi
internasional membicarakan isu-isu perempuan seperti yang terjadi pada tahun
1979 M, Majlis Umum PBB mengadakan konferensi dengan tema “Convention
on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Woment ”, yang di
singkat CEDAW (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Perempuan), kemudian pada tahun 2014 sebagian dari mereka mengajukan RUU
Kesetaraan Gender yang akan disahkan di DPR.
3. Kuatnya pengaruh Pemerintahan Sekuler di negara-negara yang mayoritas
muslim.
Syekh Manna’ al-Qaththan di dalam buku “Mua’wwiqat Tadbiiq asy-Syariah al-
Islamiyah” (69-78) menyebutkan gerakan sekulerisasi yang merambah pada
semua bidang, terutama bidang hukum, pendidikan dan kebudayaan, ekonomi,
sosial, yang semuanya menghambat lajunya gerakan Islamisasi dan penerapan
Syariat Islam.
4. Penguasaan orang-orang sekuler terhadap mass media dan menyebabkan
tersebarnya paham sekulerisme di dalam kehidupan kaum muslimin. Sekuler
adalah pemahaman yang memisahkan antara agama dan Negara. Mereka
berkeyakinan bahwa agama adalah wilayah privat dan pribadi, tidak boleh dibawa
27
ke ranah publik, dan diterapkan di dalam kebijaksanaan politik. Negara tidak
boleh mencampuri keyakinan dan agama masyarakat. (Dr. Ahmad Zain An-
Najah, MA)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Syari’ah adalah peraturan-peratuan yang diciptakan Allah, atau yang diciptakan
pokok- pokoknya supaya manusia berpegang kepadanya agar dipedomani manusia dalam
hubungannya bngan Tuhannya, dengan sesamanya, dengan lingkungannya, dan dengan
kehidupan.
Syariah adalah peraturan – peraturan yang diciptakan oeh allah dan merupakan
integral dari pemeluknya. Namun saat ini yang menjadi fenomena nyata ada perbedaan
pendapat dari beberapa kalangan maupun golongan terkait penerapan hokum syariah.
Ada sebagian teori yang membahas bahwa hokum yang ada pada syariah ada yang dapat
diberlakukan da nada yang tidak bias diberlakukan, contoh hokum syariah yang tidak
dapat diberlakukan seperti hokum potong tangan bagi pencuri, hokum rajam bagi pezina.
Karena hokum syariah tersebut masih bias di ganti dengan sanksi seperti penjara, karena
sanksi penjara juga ditemukan dalam alqur’an. Dan syariah yang masih berlaku saat ini
yaitu seperti ritual sholat, puasa, zakat, ibadah haji, berhijab bagi ummat muslim, dan
system perekonomian yang berbasis syariah. Seperti bank syariah
B. Implikasi
Hasil dari penyusunan makalah ini bertujuan sebagai bahan diskusi bagi para
pembaca untuk menganalisa penerapan hokum syariah di muka bumi ini khususnya
28
Negara kita sendiri yaitu Indonesia, yang mayoritas penduduknya Muslim, kita dapat
mengenalisa apa dampaknya terhadap negara ini jika syariah islam tidak dijadikan
sumber hokum. Dan syariah yang diterapkan di Indonesia saat ini telah dapat kita rasakan
nuansa positifnya seperti system perekonomian yang syariah, dsb.
DAFTAR PUSTAKA
Bahri, Syamsul (2012). “Pelaksanaan Syariat Islam Di Aceh Sebagai Bagian Wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. http://fh.unsoed.ac.id diakses pada 27 Maret 2019
29