Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Aspirasi umat Islam di Indonesia dalam memperjuangkan penerapan
Syari’at Islam di nusantara ini tidak pernah padam, bahkan telah mengkristal
menjadi sebuah obsesi. Hal Ini disebabkan oleh faktor ideologi dan kultur
terbentuk dengan kehidupan umat Islam, menjadi motivasi untuk
memperjuangkan penerapan Syari’at Islam tersebut.
Penelitian ini mengenai hukum di Indonesia belum banyak menyingkap

bentuk- bentuk penerapan hukum Islam dalam kerajaan-kerajaan Islam yang

pernah berdiri di nusantara sebelum kedatangan penjajahan Belanda, tetapi dari

gelar-gelar yang diberikan kepada beberapa kerajaan Islam, adipati ingalogo


sayyidin panotogomo, dapat dipastikan bahwa peranan hukum Islam cukup besar

dalam kerajaan-kerajaan ini.1


Sebuah penelitian tentang mistik menyebutkan bahwa beberapa raja dan

sultan di nusantara berusaha memasyarakatkan ajaran Islam. Hukum Islam dalam

masa ini merupakan sebuah fase penting dalam sejarah hukum Islam di
Indonesia. Dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam menggantikan kerajaan-
kerajaan Hindu/Buddha berarti untuk pertama kalinya hukum Islam telah ada di
Indonesia sebagai Hukum positif.
Kenyataan ini kemudian diakui oleh Belanda setelah meliahat berbagai

pemberontakan terhadap kekuasaan pemerintah jajahan di berbagai wilayah

nusantara. Misalnya perlawanan rakyat terhadap Belanda dalam perang

Diponegoro, yang ternyata perlawanan untuk menegakkan hukum Islam.


Seorang kolonel pada masa perang Diponegoro (1825-1830) mengisahkan

dalam sebuah buku memoir bahwa tujuan perlawanan orang Jawa terhadap

Belanda sebenarnya adalah agar hukum Islam berlaku untuk orang Jawa.

1
Maka tidaklah mrngherankan jika obsesi penerapan Syari’at Islam
terus hidup, marak dan berkobar dalam segala ragam dan bentuk
perwujudannya. Contoh, maraknya penerapan Syari’at Islam melalui
pemberlakuan perda-perda Syari’at Islam di beberapa wilayah di Indonesia.
Di era reformasi, pintu-pintu penerapan Syari’at Islam semakin terbuka
untuk disuarakan oleh umat Islam secara legal dan transparan, juga didukung
oleh kebijakan pemerintah untuk otonomi khusus kepada daerah-daerah
tertentu, memberikan angin segar bagi umat Islam di Indonesia untuk
mewujudkan obsesinya dalam koridor Negara kesatuan Republik Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengerian dari syariah ?
2. Bagaimana sejarah berlakunya syariah ?
3. Bagaimana eksistensi syariah dalam masyarakat ?
4. Bagaimana Obsesi penerapan syariah ?
5. Bagaimana penerapan hokum syariah ?

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. KAJIAN PUSTAKA
1. Definisi Syariah
Syari’at berarti dari bahasa Arab, secara etimologi berarti ‫يقصد لش<<<رب‬

‫( الماءموردال <ذي‬jalan ke tempat air yang siap untuk diminum). Sedang


menurut istilah Mahnud Syaltut memberi defenisi;
‫الشريعة هي النظم التي شرعها ّلال أو شرع أصولها ليأجذ اإلنسان بها نفسه في عال قته‬
‫بربه وعالقته بأخيه المسلم و عالقته بأخيه اإلنسان و عالقته بالكون و عالقته بالحياة‬.
Artinya:
Syari’ah adalah peraturan-peratuan yang diciptakan Allah, atau yang diciptakan
pokok- pokoknya supaya manusia berpegang kepadanya agar dipedomani manusia
dalam hubungannya bngan Tuhannya, dengan sesamanya, dengan lingkungannya,
dan dengan kehidupan.
Kata syari’ah meliputi pengertian semua aspek ajaran Islam, yakni
aqidah syari’ah, dan akhlak. Jufri salim 2004 dalam (halim 2015)
Kata Syariah dan pecahannya dalam Al-Qur‘an ditemukan sebanyak lima kali.
Menurut Djazuli kata ―Syariah‖ secara etimologi mempunyai banyak arti. Salah
satunya ―syariah‖ yang berarti ketetapan dari Allah bagi hamba-hambanya. Dan juga
biasa diartikan dengan; jalan yang ditempuh oleh manusia atau jalan yang menuju ke
air atau juga bisa berarti jelas. Mahmud Syaltut dalam Al-Islam Aqidah wa Syari‟ah
menyebutkan kata syariah berarti jalan menuju sumber air yang tidak pernah kering.
Kata syariah juga diartikan sebagai jalan yang terbentang lurus. Hal ini sangat relevan
dengan fungsi syariah bagi kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan
Tuhan maupun dengan umat manusia, orang Islam maupun non muslim dan alam
sekitarnya.2sedangkan Muhammad Syalabi mengetimologikan syariah sebagai

3
sesuatu yang dirujuk kepada sejumlah hukum Islam yang diwahyukan kepada Nabi
Muhammad saw, yang terekam dalam al-Qur‘an dan sunnah nabi (Syalbi, al-madkhal
fi ta’rif bi al-fiqh dalam Anonim 2010)
Sementara secara terminology syariah adalah hukum-hukum yang ditetapkan
oleh Allah untuk hamba-hambanya yang dibawa oleh seorang rasul Muhammad
SAW, baik hukum tersebut berhubungan dengan cara tingkah laku, yaitu yang disebut
dengan hukum- hukum furu‘. Pada dasarnya kata syariah dalam Islam mencakup
seluruh petunjuk agama Islam, baik yang menyangkut dengan akidah, ibadah,
muamalah, etika, dan hukum-hukum yang mengatur seluruh aspek kehidupan
manusia. Namun seiring berjalannya waktu, pengertian syariat sendiri mengalami
perkembangan. Dimana pada masa perkembangan ilmu- ilmu agama Islam di abad
kedua dan ketiga, masalah akidah mengambil nama tersendiri, yakni ushuluddin,
sedangkan masalah etika dibahas secara tersendiri dalam ilmu yang dikenal dengan
istilah Akhlak. Karena itu, istilah syariah sendiri dalam pengertiannya mengalami
historical continuity, yang pada akhirnya menjadi menyempit, khusus mengenai
hukum yang mengatur perbuatan manusia. Atas dasar ini kata syariat Islam identik
dengan kata hukum dalam arti teks-teks hukum dalam al-Qur‘an dan sunnah nabi.
(Satria Efendi M. Zein 2008 dalam Anonim 2010)
2. Sejarah Berlakunya Syariah Islam Di Indonesia
sejak zaman VOC Belanda telah mengakui keberadaan hukum Islam
di Indonesia. Dengan Regerings Reglemen, mulai tahun 1855 Belanda
mempertegas pengakuannya terhadap hukum Islam di Indonesia. Setelah itu
diperkuat lagi oleh Lodewick Willem Cristian van den Berg yang
mengemukakan teori Receptio in Complexu. Teori ini pada intinya
menyatakan bahwa orang Islam berlaku hukum Islam. Ini berarti bahwa
hukum Islam berlaku secara keseluruhan untuk umat Islam. Bustanul Arifin

1996 (dalam Fatimah 2015) Tercatat dalam sejarah ketika itu, kesultanan di
Aceh, kerajaan Demak, Malaka, di Semenanjung Melayu dan kesultanan
Gowa-Tallo di Sulawesi, semuanya telah menjadi kerajaan-kerajaan Islam
yang independen dan telah memberlakukan Syari’ah Islam bagi
masyarakatnya melalui jalur formalisasi atas titah dan kuasa raja/sultan yang

4
lebih dulu memeluk Islam dan kemudian diikuti oleh rakyatnya. Muh. Idris
2000 (dalam Fatimah, 2015)
Di zaman VOC, kedudukan hukum keluarga Islam telah ada dalam
masyarakat dan diakui dalam kerajaan-kerajaan Islam kemudian dikumpulkan
dalam satu buku yang terkenal dengan nama “Compendium Freijer”
disamping itu dibuat kumpulan hukum perkawinan dan kewarisan Islam

untuk daerah Cirebon, Semarang, Makassar, Bone dan Gowa. Sementara


Solomon Keyzer (1823-1868) menulis buku pedoman hukum Islam dan
hukum pidana Islam untuk masyarakat muslim Jawa. (salim segaf al jufri
2004 dalam Fatimah halim, 2015)
Dari uraian diatas, terungkap bahwa Syari’at Islam telah lama menyatu
dengan kehidupan umat Islam di nusantara di bawah pengayoman kerajaan-
kerajaan Islam yang kemudian diakui eksistensinya oleh kolonial Belanda.
Meskipun tidak sepenuh hati dan dengan berbagai usaha licik untuk
menghilangkan wibawa keberlakuan Syari’at Islam di tengah-tengah
kehidupan masyarakat. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa Syari’at
Islam telah menyatu dengan kehidupan masyakat karena diyakini bahwa itu
adalah bagian integral dari ajaran Islam. (Fatimah halim 2015)
3. Eksistensi Syariat Islam Dalam Masyarakat
Eksistensi atau keberadaan Syari’at Islam dalam masyarakat yang

dimaksudkan adalah keberadaan Syari’at Islam dalam pengertian hukum

Islam yang bagian integral dari hukum nasional yang proses


keberadaannya mulai dari zaman kerajaan Islam, telah menjadi hukum
yang ditaati oleh umat Islam Indonesia, bahkan sudah menjadi hukum
postif pada kerajaan Islam Mataram (1613-1764) dan beberapa kerajaan
Islam lainnya di nusantara.
Kemudian pada perkembangan seanjutnya, kedatangan orang-orang
Belanda yang semula maksudnya berdagan untuk mencari rempah-
rempah, kemudian meningkat dengan berusaha memonopoli perdagangan
di nusantara dengan menggunakan VOC. Kemudian berakhir dengan

5
kolonialisme yang mengklaim nusantara dengan sebutan Hindia Belanda
sebagai koloni jajahannya.
Sebeagai penjajah yang kebetulan beragama Nasrani, mendapat
perlawan dari bangsa Indonesia yang mayoritaas penganut Islam. Perlawanan
ini menyebabkan penjajah mengambil sikap dalam menghadapi umat Islam
tersebut bagi kepentingan penjajahnya. Bagi penjajah Belanda, umat Islam
Indonesia merupakan musuh dan penghambat bagi kepentingan mereka.
Tekanan politik Belannda terhadap umat Islam menemukan bentuknya
setelah kedatangan Snouck Hurgronje berhasil memberikan alternatif untuk
melumpuhkan umat Islam di nusantara. Menurut Snouck Hurgronje, dalam
menghadapi umat Islam, disarankan agar pemerintah Belanda bersikap netral
terhadap kegiatan “ibadah ritual” umat Islam, dengan memberikan fasilitas
dan kemudahan untuk melaksanakan ibadah tersebut, namun harus bertindak
tegas terhadap setiap perlawanan dari umat Islam. Kebijakan ini dimaksudkan
untuk membangun kepentingan pemerintah Hindia Belanda. Inti dari
kebijakan politik terbebut adalah untuk memisahkan antara agama dan negara
(politik), sehingga agama hanya dipahami secara sempit sebatas kegiatan
ibadah ritual saja, sedangkan kegiatan politik bukan sebagai kegiatan agama.
Dalam perkembangan selanjutnya ternyata kebijakan Snouck
Hurgronje tersebut tidak sesuai lagi dengan kondisi masyarakat. Umat
islam dalam menjalankan agamanya ternyata tidak mengabaikan kegiatan
politik karena mereka berkeyakinan bahwa masalah politik bagian dari

ajaran Islam. Dengan keyakinan itu muncullah reaksi dari perlawanan dari
umat islam untuk mengusir penjajah yang akhirnya berpengaruh kepada
arah politik kolonial. Mereka mengalihkan pemikiran hukum adat, maka
muncullah teori receptive. Dengan demikian, ternyata dalam
perkembangan selanjutnya konsep Snouck Hurgronje tidak seluruhnya
dapat diterapkan.
Walaupun pada mulanya kedatangan Belanda ke nusantara tidak
ada kaitannya dengan masalah hukum agama, namun pada perkembangan
selanjutnya ada kaitan dengan kepentingan penjajah, akhirnya mereka

6
tidak dapat menghindari terjadinya persentuhan dengan masalah hukum
yang berlaku bagi penduduk pribumi.
Sehubungan dengan eksistensi hukum Islam pada masyarakat

Indonesia maka muncullah beberapa teori, sebagai berikut:

1) Teori syahadat yaitu teori yang mengharuskan mereka yang telah


mengucapkan dua kalimat syahadat untuk melaksanakan hukum Islam
sebagai konsekuensi logis dari pengucapan syahadatnya. Teori ini
dirumuskan dari al-Qur’an antara lain QS. Al-Fatihah ayat 5, QS. Al-
Baqarah ayat 179. Teori syahadat ini berlaku di Indonesia sejak

kedatangannya hingga lahirnya teori Reception in Comlexu.15


2) Teori Reception in Complexu, teori ini dikemukakan oleh Lodewijk
Willem Cristian van den Berg (1854-1927). Menurut teori ini bagi orang
Islam berlaku penuh hukum Islam sebab mereka telah memeluk agama
Islam walaupun dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan-
penyimpangan.Teori ini muncul sebagai rumusan dari keadaan hukum
yang ada dan bersumber dari prinsip hukum Islam bagi orang Islam
berlaku hukum Islam. Van den Berg mengonsepkan staatblad 1882
no. 152 yang berisi ketentuan bahwa bagi penduduk pribumi atau
rakyat jajahan berlaku hukum agamanya yang berada dalam
lingkungan hidupnya. Berdasarkan teori ini maka hukum yang berlaku
bagi suatu kasus adalah hukum yang berada di negara tersebut.
Peraturan perundang-undangan yang terkait pada masa itu antara lain

(RR) staatblad 1885 no. 2 yang berkaitan dengan hukum Islam diatur

melalui pasal 75 dan 78 ayat 3 menentukan ‘oleh hakim Indonesia


hendaklah diberlakukan undang-undang agama dan kebiasaan
penduduk bangsa Indonesia’. Kemudian pasal 75 ayat 4 menentukan
undang-undang agama dan kebiasaan itu jugalah yang dipakai
mereka oleh hakim Eropa untuk pengadilan yang lebih tinggi andai
kata terjadi permintaan banding. Pasal 78 ayat 2 menentukan bahwa
dalam hal terjadi perkara perdata di antara sesama orang Indonesia

7
atau dengan mereka yang dipersamakan, mereka tunduk pada putusan
agama atau kepada masyarakat mereka menurut undang-undang

agama atau ketentuan lama mereka.17

3) Teori receptie, teori ini dikemukakan oleh Snouck Hurgronje (1857-

1936). Kemudian dikembangkan oleh Van Vollenhoven dan Ter Haar.

Teori menyatakan bahwa bagi rakyat pribumi pada dasarnya berlaku


hukum adat. Hukum Islam berlaku kalau norma hukum Islam telah

diterima oleh masyarakat sebagai hukum adat.18


Teori receptie ini adalah keinginan Snouck Hurgronje agar orang-orang
pribumi rakyat jajahan jangan sampai kuat memegang ajaran Islam,
sebab pada umumnya orang-orang yang kuat memegang ajaran Islam
sulit dipengaruhi oleh peradaban Barat. Oleh karena itu, ia member
nasihat kepada pemerintah Hindia Belanda dengan mengeluarkan
berbagai kebijakan.
Eksistensi teori ini dikokohkan melalui pasal 134 IS yang menyatakan
bahwa bagi orang pribumi kalau hukum mereka menghendaki
diberlakukan hukum Islam selama hukum itu diterima oleh hukum adat.
Kebijakan pemerintah Hindia Belanda selanjutnya berusaha
melumpuhkan dan menghambat pelaksanaan hukum Islam dengan cara
sebagai berikut;

a) Sama sekali tidak memasukkan masalah hudud dan qisas dalam


bidang hukum pidana.

b) Dibidang tata negara ajaran Islam mengenai hal tersebut ditiadakan,


pengajian ayat-ayat al-Qur’an yang memberikan pelajaran agama

dan penguraian hadis dalam bidang politik tentang kenegaraan

dilarang. Mepersempit berlakunya hukum muamalah yang


menyangkut perkawinan dan hukum kewarisan. Khusus untuk

8
kewarisan Islam diusahakan tidak berlaku. Sehubungan dengan
hal itu diambil langkah-langkah sebagai berikut;

i. Menanggalkan wewenang pengadilan agama di Jawa dan

Madura serta Kalimantan Selatan untuk mengadili perkara


waris.

ii. Memberi wewenang memeriksa perkara waris kepada


Landraad.

iii. Melarang penyelesaian dengan hukum Islam jika di tempat


adanya perkara tidak diketahui bagaimana hukum adat.19

4) Teori receptie exit, teori ini dikemukakan oleh Hazairin yang

berpendirian bahwa setelah Indonesia merdeka dan setelah UUD 1945

dijadikan undang- undang negara, maka suatu peralihan menyatakan

hukum yang lama masih berlaku selama jiwanya tidak bertentangan


dengan UUD 1945, seluruh peraturan perundang-undangan
pemerintah Hindia Belanda yang berdasarkan ajaran teori receptie
tidak berlaku lagi karena jiwanya bertentangan dengan UUD 1945.
Semangat pemimpin Islam menentang pemikiran Snouck Hurgronje,
yang menyandarkan hukum Islam pada hukum adat terus bergulir
terutama pada saat menjelang proklamasi kemerdekaan. Upaya itu
tampak dengan lahirnya Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945.
UUD 1945 telah disahkan pada tanggal 8 agustus 1945 walaupun
pembukaannya tidak utuh lagi sebagaimana yang terdapat dalam
Piagam Jakarta setelah dikurangi tujuh kata, namun di dalamnya
terdapat landasan filosofis dan yuridis tentang pemberlakuan Syari’at
Islam. Landasan filosofisnya adalah Pancasila yang dirumuskan
dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945, landasan yuridisnya
terdapat dalam 29 UUD 1945.
Dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945 dinyatakan bahwa
negara berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang

9
adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan,
Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Sedangkan pasal 29
ayat 1 UUD 1945 adalah negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang
Maha Esa.
Menurut Hazairin keberadaan dan berlakunya teori receptie setelah
Indonesia merdeka, Hazairin menegaskan bahwa teori receptie baik
sebagai teori maupun sebagai ketetapan dalam (IS) pasal 134 ayat 2
sebagai konstitusi Belanda telah lama berlaku yaitu terhapus dengan
berlakunya UUD 1945 sebagai konstitusi negara RI.
Kesimpulan pernyataan Hazairin di atas, bahwa teori receptie itu terhapus

dengan berlakunya UUD 1945, pemahaman itulah yang dimaksud


dengan teori receptie exit, kemudian dipertegas dengan beberapa realita
antara lain berlakunya UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang
memberlakukan hukum Islam bagi orang Islam yaitu pasal 2 ayat 1, UU
No. 7 tentang Peradilan Agama, Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang KHI di

Indonesia.20
5) Teori receptio a contrario, dalam perkembangan selanjutnya ternyata
dalam masyarakat telah berkembang lebih lanjut daripada Hazairin.
Di beberapa daerah yang dianggap sangat kuat adatnya terlihat adanya
kecenderungan teori receptie dibalik itu, contohnya di Aceh,
masyarakat menghendaki masalah perkawinan dan kewarisan diatur
menurut hukum Islam apabila ada ketentuan adat di dalamnya boleh
saja dipakai tetapi dengan syarat tidak boleh bertentangan dengan
hukum Islam, jadi yang ada sekarang adalah kebalikan dari teori
receptie, yaitu hukum adat berlaku kalau tidak bertentangan dengan

hukum Islam. Inilah yang dimaksud dengan teori receptie a contrario.21


6) Teori Existensi
Menurut Ichtanto teori existensi ini adalah kelanjutan dari teori
reception a contrario. Teori ini menjelaskan tentang adanya hukum

10
Islam dalam hukum Nasional Indonesia. Menurut teori ini bentuk
existensi hukum Islam di Indonesia di dalam hukum nasional adalah
(1) sebagai bagian integral darinya (2) ada dalam arti adanya
kemandiriannya yang diakui berkekuatan hukum Nasional (3)
sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional (4) ada dalam arti
sebagai bahan utama hukum Nasional Indonesia. Berdasarkan teori
existensi ini, maka keberadaan hukum Islam dalam sistem hukum
Nasional merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah
adanya. Bahkan lebih dari itu, hukum Islam merupakan bahan utama
atau unsur utama hukum Nasional. Dengan teori existensi ini, maka
seseungguhnya peluang untuk menegakkan Syari’at Islam yang
dibutuhkan oleh umat Islam di Indonesia sepanjang tidak menyalahi
ketentuan konstitusi, artinya cara dan prosedur yang harus ditempuh
untuk mewujudkan penerapannya secara konstitusional, merupakan
suatu keniscayaan. Bukan saja karena existensinya diakui sebagai bahan
dan unsur utama hukum nasional, tetapi lebih dari fakta sejarah dan
fakta sosiologis menunjukkan bahwa Syari’at Islam telah menjadi
bagian dari kehidupan masyarakat muslim karena Syari’at Islam sendiri
adalah bagian integral dari agam Islam yang dipeluk oleh mayoritas
bangsa Indonesia.
4. Obsesi penerapan Syariah Islam di daerah – daerah
Perjuangan penerapan Syari’at Islam secara demokratis

konstitusional oleh partai yang berbasis Islam di MPR telah mengalami jalan

buntu, akan tetapi tidaklah berarti bahwa itu suatu kekalahan. Salah satu

tokoh terkemuka pengusung penerapan Syari’at Islam yang mengacu pada


piagam Jakarta, yaitu Yusril Ihza Mahendra pernah menyatakan; “PBB
bertekad untuk tidak surut sedikitpun dari penelitiannya memperjuangkan
piagam Jakarta secara demokratis-konstitusional untuk dimasukkan dalam
pasal 29 ayat (1) UUD 1945 hingga bunyinya menjadi negara berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjaalankan Syari’at Islam

11
bagi pemeluknya, sebagai cita-cita niat itu tidak boleh padam untuk
selamanya.
Sebagai kelanjutan dari perjuangan tersebut fenomena menunjukkan

adanya obsesi dari beberapa daerah yang berusaha agar penegakan Syari’at

Islam terimplementasi di daerah-daerah dengan mengajukan usul ke

pemerintah pusat untuk pemberlakuan “UU otonomi khusus”. 23 bukan

hanya untuk Daerah Istimewa Aceh dan Papua, tetapi juga daerah-daerah
lain menghendakinya seperti yang diajukan oleh masyarakat Sulawesi
Selatan.
Daerah Sulawesi Selatan
Bersamaan dengan bergulirnya era reformasi, masyarakat
Sulawesi Selatan telah menemukkan kebebasannya untuk berekspresi
setelah kurang lebih tiga dasawarsa terbungkam oleh Orde Baru. Hasil
kongres umat Islam se Sul-Sel (19-21 Oktober 2000) yang didukung oleh
sejumlah zuamah, ulama, agniya, umara, dan ulul albab dari berbagai
organisasi massa, pendidikan/pesantren, sosial serta perguruan tinggi
menyepakati dan melahirkan institusi perjuangan yang dikenal “Komite
Persiapan Penegakan Syari’at Islam” (KPPSI) yang diresmikan pada
tanggal 15 April 2001 di Masjid al-Markaz al-Islami Makassar beriringan
denagn dikeluarkannya pernyataan bersama yang dikenal dengan nama
‘Deklarasi Muharram’ isinya adalah desakan kepada lembaga eksekutif
dan legislatif untuk memproses pemberlakuan Syari’at Islam di Sulawesi
Selatan sesuai mekanisme konstitusi yang berlaku yang melahirkan
rekomendasi DPRD Provinsi Sulawesi Selatan tertanggal 23 April 2001.
Kesimpulannya bahwa target yang diperjuangkan KPPSI adalah
lahirnya UU Otonomi Khusus sebagai payung, karena dengan wadah
tersebut penerapan Syari’at Islam di Sulawesi Selatan dapat diwujudkan.
Kewenangan Otonomi Khusus yang dimintakan itu meliputi; (1)
penyelanggaraan kehidupan beragama, (2) penyelanggaraan kehidupan adat
istiadat (3) penyelenggaraan bidang pendidikan (4) penyelenggaraan

12
bidang ekonomi dan perdagangan (5) penyelenggaraan mahkamah

Syari’at (6) peran dan kedudukan ulama dalam pemerintahan.24 Namun


dalam upaya tersebut, tidak berarti menafikan pendekatan non structural
(kultural) yang lebih menekankan pada penyadaran individu dalam
pelaksanaan Syari’at Islam secara button up yang dipandang lebih adaptif
dan persuasif.
Adapun konsep model penerapan Syari’at Islam yang diperjuangkan
KPPSI berdasarkan tiga asas yaitu;
a. Asas tidak memberatkan (QS. al-Haj ayat 78);
b. Asas tidak memperbanyak beban (QS. al-Baqarah ayat 286);

c. Asas Attadarruj (bertahap).25

Dari ketiga asas itulah KPPSI memperjuangkan programnya 26 yang kini


gencar melakukan sosialisasi secara intensif dan menyeluruh tentang
pengertian Syari’at Islam yang memang disadari masih banyak lapisan
masyarakat muslim yang tidak memiliki pemahaman yang benar dan
utuh tentang Syari’at Islam.
Kemudian KPPSI aktif mendorong memanfaatkan UU No. 22 tahun

1999 tentang pemerintah daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang

pertimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, yang terkenal

sebagai UU Otonomi Daerah27 untuk kepentingan penegakan Syari’at

Islam. Hasilnya tercatat beberapa daerah kabupaten seperti; Bulukumba,


Maros, Pangkep, dan Enrekang telah mengeluarkan peraturan daerah
(Perda) tentang pengelolaan zakat profesi, infak, dan sedekah, pandai baca
al-Qur’an bagi siswa dan calon pengantin, larangan, pengawasan,
penertiban, peredaran dan penjualan minuman beralkohol. Ketiga Perda
tersebut di atas, telah diberlakukan (1) di daerah Bulukumba (Perda No. 63
tahun 2002 tentang larangan, pengawasan, penertiban, peredaran, dan
penjualan minuman beralkohol; Perda No. 02 tahun 2003 tentang
pengelolaan zakat profesi, infak dan sedekah; Perda No. 06 tahun 2003

13
tentang pandai baca al-Qur’an bagi siswa dan calon pengantin; Perda No. 05
tahun 2003 tentang berpakaian muslim dan muslimah. (2) Daerah
Kabupaten Maros (Perda No. 09 tahun 2001, tentang larangan pengedaran,
memproduksi, mengkonsumsi, minuman keras beralkohol, narkotika dan
psikotropika; Perda No. 15 tahun 2005, tentang gerakan buta aksara, dan
pandai baca al-Qur’an bagi siswa, PNS, caleg, dan calon pengantin, dua
daerah lainnya yang disebutkan di atas bervariasi dalam merancang dan
memberlakukan Perda-Perda sejenis di daerahnya, tetapi yang pasti keempat
daerah kabupaten yang tersebut di atas nuansa kehidupan Islami sangat
kentara dan terasa dampak positifnya bagi peningkatan kesejahteraan dan
ketentraan dengan berlakunya Perda-Perda tersebut.
Dalam disertasi Hamdan Juhannis, terkesan KPPSI disertakan
perjuangannya dengan Darul Islam (DI) yang pernah ada di Sulawesi

Selatan (1953-1963), dalam hal kesamaan “Spirit Islam Formalis”.29 Akan


tetapi beda latar belakangnya, dasar dan tujuan perjuangannya. DI
memperjuangkan berdirinya negara Islam di Indonesia melalui perjuangan
bersenjata dengan cara kekerasan, sedangkan KPPSI hanya
memperjuangkan penerapan Syari’at Islam khusus di daerah Sulawesi
Selatan. Dengan tuntutan pemberian “Otonomi Khusus., seperti halnya
diberikan kepada Daerah Istimewa Aceh, melalui peerjuangan
konstitusional-demokratis dan tetap komitmenpada NKRI. Hal tersebut
sangat logis dan wajar karena didukung oleh masyarakat dan pemerintah
daerahnya.
5. Beberapa Bentuk Strategis dalam Penegakan Syari’at Islam
Dalam upaya penegakan Syari’at Islam komitmen untuk
memperjuangkannya tidak hanya mengandalkan kewajiban negara, akan
tetapi juga merupakan konsekuensi logis bagi semua orang yang telah
mengaku Islam dan beriman. Dalam konteks seperti Mutammimul ‘Ula
menawarkan beberapa pilihan yang dapat dilakukan antara lain;
1) Gerakan individual, yaitu melaksanakan Syari’at Islam mulai dari diri
sendiri dan keluarga. Metode ini tidak terlalu memerlukan campur

14
tangan negara, misalnya; salat, zakat, haji, hukum keluarga, wakaf, dan
lain-lain.
2) Gerakan sosial dakwah dan pendidikan yaitu menyebarkan ajaran
Islam kepada masyarakat melalui jalur dakwah, pendidikan,
kesehatan, lingkungan hidup, dan sebagainya, sebagai bukti bahwa
Syari’at Islam benar-benar pembawa rahmat seluruh alam semesta,

yang semuanya dilakukan dalam bentuk praktek.30


3) Gerakan sosial politik, yaitu kalangan Islam memasuki berbagai
institusi sosial, politik, birokrasi, bisnis, teknologi, dan lain-lain. Di
sini diperlukan mobilitas vertikal dan horizontal secara bersama-sama
pada saat diperlukan, potensi dan aktualisasi SDM telah siap.

4) Gerakan legislasi, yaitu melaksanakan nilai-nilai Islam dalam perundang-


undangan, baik dalam bentuk peraturan pemerintah (PP), maupun
dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda), misalnya beberapa produk yang
dapat dicatat dalam bentuk legislasi, antara lain; UU Perkawinan, UU
Peradilan Agama, UU Zakat, UU Haji, UU Perbankan dan sebagainya.

5) Gerakan konstitusionalisaisi, yaitu upaya memasukkan teks-teks Islam


dalam konstitusi, misalnya; upaya mengubah pasal 29 UUD 1945 dengan
memasukkan tujuh kata yang pernah tercoret dalam Piagam Jakarta.
6. Perjuangan Penegakkan Syariah Islam Oleh Yusril Ihsa Mahendra (Jakarta 15
Mei 2017)
Yang dimaksud memperjuangkan Syariat islam di dalam perjuangannya saya
jelaskan berikut ini:
 Islam bukanlah sebuah ideologi. Islam adalah ajaran Allah SWT yang
disampaikan melalui wahyu kepada Rasul-Nya Muhammad SAW, untuk
disebarluaskan kepada umat manusia dan berlaku mengatasi ruang dan waktu.
 Ideologi adalah pikiran-pikiran atau gagasan-gagasan yang dirumuskan oleh
seseorang atau beberapa kelompok pergerakan, partai poitik dengan tujuan lebih
ekslusif, lebih jelas, lebih dekat.

15
 Kalau seseorang mengatakan islam adalah sebuah ideologi, maka dengan
sendirinya istilah ideologi bertentangan (contradiction in terminis) dengan islam.

Umat islam meyakini bahwa wahyu Allah bukan ciptaan Nabi Muhammad SAW,
bukan Pemikirin Manusia, sedangkan ideologi adalah pemikiran manusia. Jadi
sekali lagi, islam bukanlah sebuah ideology

 Partai Bulan Bintang adalah Partai Islam Modern. Orang moderen itu melihat
kenyataan lebih dulu. Lalu melihat parameter islam untuk menyelesaikan
kenyataan-kenyataan yang dihadapi.
 Bagi Partai Bulan Bintang, Islam sebagai motivasi, sumber inspirasi, sumber
berpikir. Memberikan petunjuk dalam memecahkan persoalan-persoalan di
Negara Republik Indonesia.
 Partai Bulan Bintang sering disebut ingin menegakkan Syariat Islam.

Maksud dari kalimat tersebut adalah:


Syariah adalah norma-norma hukum dalam Al Quran maupun Hadist.
Syariah tidak bisa dijadikan dasar untuk mengadili orang sebelum
ditransformasikan menjadi kaidah hukum di Indonesia. Dan sumber kita menggali
hukum, hukum yang dibuat oleh presiden dan DPR RI. Presiden mengajukan
rancangan undang-undang (RUU) untuk dibahas bersama DPR RI.
Ketika mereka membuat draf undang-undang, posisi Syariah Islam ada di
PEMIKIRAN Presiden dan anggota DPR. Ketika pemikaran itu jadi undang-
undang, artinya tidak lagi disebut sebagai Syariat Islam. Tapi disebut Undang
Undang Republik Indonesia. Dengan demikian, pertarungan pemikiran agar hukum
islam atau Syariah Islam sebagai sumber hukum, dilakukan secara konstitusional,
melalui Wakil-wakil rakyat Partai Bulan Bintang yang duduk di DPR, baik tingkat
kabupaten/kota, provinsi (disebut perda) dan DPR RI.
Apapun yang jadi kesepakatan atas draf Rancangan Undang Undang
(RUU), hasil pergulatan pemikiran yang sah dan konstitusional, melalui wakil
Partai Bulan Bintang, baik yang duduk di Pemerintahan maupun Wakil Rakyat,
hasilnya bernama UU Negara Republik Indonesia, bukan Syariat Islam.

16
Adalah keliru sekali jika ada yang menyebarkan issue, menggunakan
syariat islam dalam arti seperti pemeikiran masyarakat yang selama ini dipahami
atau ingin merubah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi Negara
Islam. Oleh karenanya hal tersebut perlu dicermati dengan kesadaran dan
kedewasaan dalam berbangsa dan bernegara sesuai UUD 45 dan Pancasila.

7. Penerapan Hukum Syariah Di Nusantara (Risa Herdahita Putri


2017)

Tuntutan penerapkan hukum Islam di Indonesia kerap mengemuka. Namun,


ternyata pada awal perkembangan Islam di Nusantara tidak ada tanda-tanda adanya
penerapan syariat Islam.
Abad ke-7 sampai ke-12 tidak ada tanda sama sekali mengenai hukum Islam,”
kata Ayang Utriza Yakin, dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah dalam diskusi bukunya, Sejarah Hukum Islam Nusantara Abad XIV-
XIX, di Wisma Usaha UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangerang Selatan, Kamis
(6/4). Ayang menyelesaikan master dan doktornya dalam bidang sejarah, filologi,
dan hukum Islam dari Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS) Paris,
Prancis.
Islam masuk ke Nusantara melalui perdagangan yang berlangsung pada abad
7 sampai abad 12. Buktinya temuan arkeologis di Barus, Tapanuli Tengah. Claude
Guillot, salah seorang arkeolog dan sejarawan Prancis, berhasil memetakan awal
Islamisasi Nusantara di Barus sejak abad 7. Setelah itu, fase kedua perkembangan
Islam dilakukan oleh para pendakwah, khususnya kalangan sufi setelah jatuhnya
Baghdad, Irak, ke tangan bangsa Mongol pada 1259.
Menurut Ayang, hukum Islam baru diterapkan ketika kerajaan Islam berdiri
pada abad 13 dengan hadirnya Kesultanan Samudera Pasai di Aceh. Menariknya,
penerapan hukum Islam oleh kesultanan itu tidak sebagaimana hukum yang diketahui
dari Alquran maupun hadis.
“Hukum Islam di Nusantara itu berkelindan dengan adat setempat sehingga
menghasilkan hukum Islam yang lentur,” kata Ayang. Ayang menjelaskan bahwa di
Semenanjung Melayu, yang saat ini masuk wilayah Malaysia, ditemukan Batu
Bersurat Trengganu bertarikh 1303. Isinya, mengenai undang-undang seorang raja
17
yang menerangkan hukum Islam tentang maksiat. “Inilah hukum pidana Islam yang
pertama kali ditemukan di Nusantara,” kata Ayang.
Dalam undang-undang tersebut tercantum hukum bagi para pezina. Aturan itu
membedakan hukuman bagi masyarakat ningrat dan kalangan bawah. Untuk ningrat
hanya dikenai denda, sementara kalangan bawah dihukum rajam. “Padahal kalau
dibandingkan dengan Umar bin Khatab, justru hukum Islam tidak diterapkan pada
orang miskin terlebih saat keadaan paceklik. Lain dengan di Trengganu,” kata
Ayang.
Pada abad 15-16 di Kesultanan Malaka terdapat undang-undang yang menjadi
salah satu induk bagi undang-undang di Nusantara, terutama dalam kebudayaan
Melayu. Meski telah ada undang-undang itu, yang murni mengambil hukum Islam
hanyalah hukum pernikahan.
Pada masa Kesultanan Aceh, sekira abad 16-17 banyak ditemukan kesaksian
dari para pelancong mancanegara yang menceritakan hukum pidana di kawasan itu.
Kesultanan ini pun, Ayang menilai, tak menerapkan hukum Islam sebagaimana yang
termaktub dalam kitab suci.
Contohnya hukum perzinaan. Hukuman rajam berlaku dalam hukum Islam
bagi para pezina. Namun di Aceh, secara umum terdapat dua hukuman bagi
pelanggar. Pertama, tangan dan kaki pezina, baik laki-laki maupun perempuan ditarik
oleh empat ekor gajah ke arah berlawanan. Kedua, pezina laki-laki dipotong
kelaminnya dan perempuan dipotong hidungnya dan dicungkil matanya.
Pertanyaan yang muncul saat ini apakah hokum syariat masih berlaku ? atau
masih bisa diberlakukan jawabannya secara sederhana adalah sebagai berikut. Ada
bagian – bagian dalam hokum syariat yang masih layak diberlakukan (ahkam
syar’iyyah ma’mul biha) dan ada yang sudah tidak bisa sama sekali (ahkam
syar’iyyah ghair ma’mul biha)
Bagaimana membedakan antara kedua kategori itu? Apakah ada semacam
parameter dan kriteria yang jelas ? jawaban yang rinci untuk pertanyaan ini
membutuhkan tulisan yang panjang dan mendalam. Secara ringkas, bisa saya
katakana bahwah kriteria pokok untuk membedakan antara keduanya adalah konteks
zaman atau memakai istilah fikih yang standar, URF. (Ulil abshar abdallah, 2016)

18
Rasa keadilan masyarakat berkembang sesuai dengan perkembangan zaman
dan tingkat kematangan peradaban manusia. Dulu misalnya memperbudak tawanan
perang (prisoner of war) adalah hal yang lazim. Hukum syariatpun tidak melarang.
Tetapi, sekarang menjadikan tawanan perang sbagai budak ( dalam istilah hokum
islam disebut istirqaq) jelas haram dan dilarang oleh konvensi internasional
( konvensi jenewa tentang perlakuan atas tawanan perang, artikel 3)
Dulu hukuman salib adalah hal yang tidak dianggap secara moral kejam dan
brutal. hukuman badan (corporeal punishment) tidak lagi diterima oleh komunitas
internasional dan dianggap berlawanan degan rasa keadilan masyarakat modern.
Dulu hokum nyawa balas nyawa dan mata baas mata (qisas) dan praktek yang
lumrah; bukan merupakan temuan orisinal dari islam. Hamper semua bangsa pra-
modern menerapkan hokum qisas ini. Sekarang, hokum itu dianggap tak lagi sesuai
dengan rasa keadilan. Bahkan hukuman matipun, sekarag sudah banyak
dipertanyakan landasan moral-etisnya
Hokum syariat, sebagaimana hokum manapun, adalah hokum yang “time and
space bound”, terikat dengan ruang dan waktu yang khusus. Ia kontekstual. Begitu
ruang dan waktu berubah, relevansinya harus dipikirkan ulang. Kaidah ini berlaku
untuk hokum manapun, tanpa kecuali, termasuk hokum syariat
Dengan demikian, kita bisa mengatakan bahwa hokum syariat yang sudah tak
sesuai dengan rasa keadilan masyarakat saat ini, Ia tak bias diberlakukan lagi. Contoh
hokum syariat yang masuk kategori ini banyak sekali. Sekedar contoh : hokum
rajam, potong tangan, qisas, hokum penyaliban, dsb
Sementara banyak hokum syariat yang masih bisa berlaku sekarang hokum –
hokum syariat yang berkenan dengan kegiatan ritual seperti bagaimana sholat, puasa
dan haji hampir semuanya masih berlaku hingga sekarang. Sebab ritual memang
wataknya permanen Hokum syariat tentang kegiatan perdagangan yang harus
didasrkan pada dua prinsip, yaitu sukarela (taradin) dan tak ada penipuan (ghassy),
jelas masih relevan hingga kapanpun. Fair trade sebagaimana diajarkan oleh syariat
adalah prinsip universal yang berlaku sampai kapanpun selama manusia masih ada di
muka bumi

19
Prinsip dasar yang dianut oleh hukum islam adalah dua : adil (‘adl) dan tak
mencederai pihak lain (la darara wa ladirara). Prinsip ini bersifat universal.
Penerapannya (tahqiq – al- manath) dalam suatu konteks tertentu bias saja
menimbulkan perbedaan tafsir antara satu sarjana dengan sarjana yang lain. Tetapi
sebuah nila, ia berlaku universal.
Pertanyaan yang sudah bias saya duga adalah sebagai berikut : jika syariat
harus mengikuti perkembangan rasa keadilan masyarakat yang bias berubah sesuai
dengan perkembangan peradaban bukankah ini artinya islam mengikuti zaman,
bukan sebaiknya : aman mengikuti islam? Jawabannya adalah sebagai berikut ada
dua jenis hokum dalam agama, sebagaimana saya kemukakan di muka. Ada hokum
yang berlaku universal seperti ajaran islam tetang keadilan, perdamaian, kesetaraan,
menghormati hak – hak orang lain, dsb. hokum ini memang tak bias berubah dengan
perubahan zaman. Dalam hal ini, zaman harus mengikuti hokum agama, bukan
sebaliknya
Tetapi juga ada hokum – hokum yang temporal”, berlaku sementara waktu
saja, seperti hokum- hokum yang telah disebutkan sebelumnya. Sejauh menyangkut
hokum – hokum temporal ini, kita tak bias berkata bahwa zaman harus mengikuti
hokum ini, apapun resikonya. Sebaliknya, hokum temporal harus mengikuti
perkembangan zaman
Penjelasan saya ini hanya bersifat umum saja untuk meletakkan landasan
pokok bagaimana memahami hokum yang sering disebut hokum agama. Intinya :
tidak semua hokum syariat berlaku sepanjang zaman Nabi enghendaki umat islam
untuk berpikir kontekstual. Salah besar jika kita berpikir sebaliknya (ulil abshar
abdallah, 2015)
8. Hukum islam Mulai berlaku di Indonsia
Ulama Sumatera Barat Prof Amir Syarifuddin mengatakan Indonesia sudah
mulai menerapkan hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari, meski belum
sepenuhnya bisa diaplikasikan karena berbagai hambatan.
"Saat ini yang dominan diterapkan adalah hukum yang nilai-nilainya diadopsi
dari hukum barat, seperti KUHP dan KUHAP yang berlaku saat ini," kata dia di
Padang, Kamis (10/1).

20
Meski demikian, beberapa hukum Islam sudah mulai diterapkan di Indonesia.
Hal ini bisa dilihat pada sistem perekonomian yang berbasiskan Islam, seperti
diterapkannya bank berbasis syari'ah, koperasi syari'ah dan lainnya.
"Saat ini orang sudah mulai sadar sistem perekonomian kapitalis dan sistem
perekonomian sosialis yang menguasai dunia memiliki kekurangan. Disitulah
saatnya orang ingin melihat sistem perekonomian Islam, bisa atau tidak
menggantikan dua sistem perekonomian tersebut," beber dia.
Selain hukum perekonomian, juga sudah diterapkan Undang-Undang No. 1
tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang ini diakuinya sebagai undang-
undang yang bersifat umum untuk semua pemeluk agama, namun bagi umat Islam
praktiknya bagi umat Islam lebih diperinci sesuai dengan kebutuhan Konfilasi
Hukum Islam (KHI) atau sekumpulan materi hukum Islam yang ditulis pasal demi
pasal.
Dikatakan, masyarakat memiliki pandangan tersendiri mengenai hukum
perkawinan ini. Ada yang berpendapat perkawinan itu sah katika syarat dan
rukunnya terpenuhi, tapi ada juga yang berpandangan hal itu belum memadai, harus
dilakukan pembaharuan dan disesuaikan dengan perkembangan zaman Pembaharuan
ini sudah mulai tampak pada pernikahan dan perceraian yang mesti dilakukan di
depan pengadilan, agar dapat dicatat negara demi perlindungan umat. "Hukum Islam
ini dipatuhi secara keseluruhan atau tidak, tergantung kepada pemahaman, kesadaran
dan kebutuhan umat Islam terhadap aturan yang ada dalam agamanya," katanya.
Menyinggung tentang hukum pidana Islam, kata dia, belum bisa diterapkan,
karena saat ini masih diberlakukan hukum yang mengandung nilai-nilai hukum dari
barat. Banyak pihak, kata dia, yang berkepentingan atas diterapkannya aturan yang
nilai-nilainya diadopsi dari barat. Baik dari kalangan nasionalis maupun dari agama
lain, sehingga KUHP dan KUHAP yang baru, belum ditetapkan seperti yang
diharapkan.
B. Analisis Masalah
Di zaman VOC, kedudukan hukum keluarga Islam telah ada dalam
masyarakat dan diakui dalam kerajaan-kerajaan Islam kemudian dikumpulkan
dalam satu buku yang terkenal dengan nama “Compendium Freijer” disamping

21
itu dibuat kumpulan hukum perkawinan dan kewarisan Islam untuk daerah

Cirebon, Semarang, Makassar, Bone dan Gowa. Sementara Solomon Keyzer


(1823-1868) menulis buku pedoman hukum Islam dan hukum pidana Islam untuk
masyarakat muslim Jawa. (salim segaf al jufri 2004 dalam Fatimah halim, 2015)
Dari uraian diatas, terungkap bahwa Syari’at Islam telah lama menyatu
dengan kehidupan umat Islam di nusantara di bawah pengayoman kerajaan-
kerajaan Islam yang kemudian diakui eksistensinya oleh kolonial Belanda.
Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa Syari’at Islam telah menyatu dengan
kehidupan masyakat karena diyakini bahwa itu adalah bagian integral dari ajaran
Islam. (Fatimah halim 2015).
Dari sejarah tersebut muncul analisis masalah dari penulis yaitu : jika
syariat islam telah menjadi integral dari ajaran Islam :
1. apakah syariat islam saat ini masih diberlakukan secara kaffah? dan
bagaimana perkembangannya? Dan untuk menjawab analisis tersebut penulis
rangkum dalam point sebagai berikut :
 Menurut Ulil Abshar Abdallah (2015) dalam Tulisan Artikelnya yang
berjudul “Apakah Hukum Syariat Masih Berlaku : apakah hokum syariat
masih berlaku ? atau masih bisa diberlakukan jawabannya secara sederhana
adalah sebagai berikut. Ada bagian – bagian dalam hokum syariat yang masih
layak diberlakukan (ahkam syar’iyyah ma’mul biha) dan ada yang sudah
tidak bisa sama sekali (ahkam syar’iyyah ghair ma’mul biha). hokum
syariat yang sudah tak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat saat ini, Ia tak
bias diberlakukan lagi. Contoh hokum syariat yang masuk kategori ini banyak
sekali. Sekedar contoh : hokum rajam, potong tangan, qisas, hokum
penyaliban, dsb. Sementara banyak hokum syariat yang masih bisa berlaku
sekarang hokum – hokum syariat yang berkenan dengan kegiatan ritual seperti
bagaimana sholat, puasa dan haji hampir semuanya masih berlaku hingga
sekarang. Sebab ritual memang wataknya permanen Hokum syariat tentang
kegiatan perdagangan yang harus didasrkan pada dua prinsip, yaitu sukarela
(taradin) dan tak ada penipuan (ghassy), jelas masih relevan hingga kapanpun.
Fair trade sebagaimana diajarkan oleh syariat adalah prinsip universal yang

22
berlaku sampai kapanpun selama manusia masih ada di muka bumi. Dan
pernyataan yang dikemukakan oleh Ulil abshar ini sejaan dengan Muhammad
Busyro Asmuni yang mempresentasikan makalahnya di kelas Islamic Law,
Program Magister Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta 2016 dengan judul
“Pengantar Hukum Islam Indonesia”. Ia menjelaskan secara detail ihwal
Hukum Islam di Indonesia, terutama perihal aturan dalam perundang-
undangan Indonesia yang tidak sepenuhnya memiliki muatan-muatan hukum
Islam. Namun dengan cemerlang ia menarik pada makna substantif dan
mencoba mengintegrasikan hukum positif nasional dengan hukum Islam,
sehingga tidak ada masalah yang kontras antara keduanya. Misalnya dalam
kasus pencurian. Menurut Syariah Islam hukumannya adalah dengan potong
tangan, sedangkan KUHP tidak mengakuinya. Akan tetapi menurut tesis yang
dibangun oleh Busyro, hal ini akan menemukan titik temu dengan hukuman
penjara.
Di dalam hukum Islam juga mengakui adanya alternatif hukuman selain
potong tangan, yaitu penjara. Oleh karena itu hukuman penjara dalam
KUHP juga mengandung nilai dan unsur Islam. Begitu juga dengan kasus-
kasus lainnya seperti hukuman pembunuhan, minuman keras, judi, zina dan
sebagainya. Busyro dengan cemerlang mengintegrasikan antara hukum positif
dengan hukum Islam.
Akan tetapi dalam proses rekonsiliasi hukum positif nasional dan hukum
Islam yang dibangun oleh Busyro ini ternyata tidak sepenuhnya dipahami oleh
sebagian kalangan muslim. Hal ini terbukti dengan maraknya gerakan kembali
ke Syariah Islam dan Khilafah seperti gerakan penerapan kembali Piagam
Jakarta, Hizbut Tahrir DI/TII dan sebagainya.
 Ulama Sumatera Barat Prof Amir Syarifuddin mengatakan Indonesia sudah
mulai menerapkan hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari, meski belum
sepenuhnya bisa diaplikasikan karena berbagai hambatan. "Saat ini yang
dominan diterapkan adalah hukum yang nilai-nilainya diadopsi dari hukum
barat, seperti KUHP dan KUHAP yang berlaku saat ini," kata dia di Padang,
Kamis (10/1). Meski demikian, beberapa hukum Islam sudah mulai diterapkan

23
di Indonesia. Hal ini bisa dilihat pada sistem perekonomian yang berbasiskan
Islam, seperti diterapkannya bank berbasis syari'ah, koperasi syari'ah dan
lainnya.
2. Apa yang menjadi hambatan sehingga syariah Islam tidak diterapkan secara kaffah di
Indonesia
Paling tidak ada dua tantangan utama di dalam penegakan Syariat di Indonesia dan
negara-negara Islam lainnya.
Tantangan Pertama (Faktor Internal) : Tantangan yang terkait dengan faktor
keimanan, pemikiran, dan aspek psikologis. Ini mencakup beberapa poin, diantaranya
1. Kebodohan umat akan hakikat Syariat Islam.
Tantangan yang paling utama adalah kebodohan umat akan hakikat
Syariat Islam. Mereka tidak mengetahui bahwa Syariat Islam merupakan solusi
bagi setiap masalah di dalam kehidupan manusia, baik dalam ilmu pengetahuan,
politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan.
Berkata  Syekh Syakib Arsalan di dalam bukunya :  Limadza Taakhara al-
Muslimun wa Taqaddama Ghairuhun yang dalam edisi Indonesia berjudul
Kenapa Umat Islam Tertinggal (65) : “  Salah satu faktor utama penyebab
ketertinggalan umat Islam adalah kebodohan, sampai-sampai ada diantara mereka
yang tidak dapat membedakan antara arak dan cuka. Alhasil, orang-orang bodoh
itu pasrah saja menerima permasalahan yang disodorkan tanpa tahu cara
menolaknya.
Diantara indikasi kebodohan umat terhadap Syariat Islam adalah mereka
tidak memahami hakikat Ibadah . Mereka memahami bahwa ibadah hanya
berkisar seputar  sholat, puasa, dzikir dan haji. Ibadah tempatnya hanya di masjid,
di luar masjid, bukanlah tempat beribadah . Padahal definisi Ibadah adalah :
“Sebuah istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai oleh Allah dan
diridhainya dari perkataan dan perbuatan lahir dan batin.“
Mereka juga salah di dalam memahami qadha dan qadar. Mereka
menganggap bahwan hanya dengan doa dan dzikir, maka segalanya berubah dan
umat Islam akan menang dan berkuasa, tanpa diiringi dengan usaha yang

24
sungguh-sungguh  dan pengorbanan harta, tenaga, pikiran dan jiwa. Tidak aneh,
jika majlis-majlis dzikir banyak diminati masyarakat.
Maka, menjadi kewajiban para ulama dan da’i untuk menjelaskan
keindahan hidup di dalam naungan Syariat, dan Syariat Islam memberikan rasa
keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat.
2. Lemahnya aqidah umat Islam dan hilangnya percaya diri dan kebanggaan
terhadap Islam.
Kelemahan aqidah terlihat dari dua sisi :
 Sisi Pertama : Mereka kurang yakin dengan janji-janji Allah, bahwa siapa saja
yang melaksanakan perintah Allah secara utuh dan sempurna, maka Allah
akan menjanjikan kehidupan yang layak di dunia dan di akherat. 
Sebagaimana di dalam firman-Nya :
“Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barang siapa yang
mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.  Dan barang
siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan
yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam
keadaan buta”. (Thaha : 123-124) Ayat-ayat yang senada bisa dilihat dalam
(QS. Al-An`am : 48,125), (QS. Yunus : 62), (QS. An-Nur : 55
 Sisi Kedua : Mereka tidak yakin bahwa Syariat Islam mampu menjawab
seluruh tantangan zaman, mengatur  urusan masyarakat,  menyelesaikan
segala problematika yang mereka hadapi serta memecahkan masalah-masalah
yang mereka perselisihkan.
 Faktor lain adalah berkurangnya rasa Muraqabatullah. Tingkatan keimanan
yang paling tinggi adalah al-Ihsan, yaitu beribadah kepada Allah seakan-akan
anda melihat-Nya, jika anda tidak melihat-Nya, maka Allah melihatmu.
3. Hilangnya kepercayaan umat terhadap tokoh-tokoh Islam yang diamanati
memegang beberapa jabatan strategis.  
Tidak adanya contoh yang baik dan kurangnya suri tauladan dari sebagian
tokoh-tokoh Islam yang sedang  memegang jabatan publik, menyebabkan umat
Islam lari dari ajaran Islam. Begitu juga kesalahan yang dilakukan oleh sebagian
mereka di dalam menerapkan Syariat Islam, seperti kesalahan di dalam

25
mempraktikkan sunnah poligami, menyebakan sebagian umat Islam antipati dan
membenci poligami. Kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh sebagian bank-
bank yang berlabel “Syariah” di dalam menerapkan transaksi-transaksi jual beli, 
menyebabkan sebagian masyarakat masih menganggap bahwa Bank Syariat dan
Bank Konvensional tidak ada bedanya. Kesalahan beberapa pejuang Islam yang
mengusung penegakkan Syariat, di dalam menerapkan hudud menyebabkan
sebagian umat Islam antipati dengan Syariat Islam.
4. Tertinggalnya umat Islam dalam ilmu-ilmu terapan dan teknologi.
5. Perpecahan politik di kalangan Umat Islam.
6. Kesalahan beberapa Negara dan wilayah di dalam penerapan Syariat Islam.
Sebagian umat Islam menganggap bahwa penerapan Syariat hanyalah terbatas
pada pemberian hukuman kepada para pelaku kejahatan dengan menerapkan “
Hudud” dan sangsi berat kepada mereka.
Dr. Yusuf al-Qardhawi di dalam buku Bayyinat al-Hall al-Islami ( 181 )
mengatakan : “Sisi perundang-undangan dan penerapan hukum bukanlah segala-
galanya dalam Islam, tetapi Islam adalah keyakinan yang sesuai dengan fitrah,
ibadah yang menentramkan ruh, akhlaq yang mensucikan jiwa, adab dan etika
yang memperindah kehidupan, amal perbuatan yang bermanfaat bagi manusia,
dakwah yang memberikan pencerahan kepada dunia,… Islam tidaklah datang
dengan tugas utama untuk menindak para penyeleweng, tetapi untuk
mengarahkan orang-orang yang baik, dan menjaga mereka dari penyelewengan.“
7. Kefanatikan sebagian kelompok ummat islam terhadap madzhab dan
kelompoknya sehingga islam terkesna kaku dan tidak toleran terhadap perbedaan
pendapat

Tantangan Kedua (Faktor Eksternal) : Tantangan yang terkait dengan materi dan
pengaruh luar. Tantangan ini mencakup beberapa poin :

1. Hegemoni Politik dan Ekonomi Negara-negara Besar.


Sistem Politik yang menganut paham Demokrasi Liberal dan Sistem Ekonomi
yang menganut paham Kapitalis telah menancapkan pengaruhnya yang begitu
kuat kepada Negara-negara Islam yang sedang berkembang, sehingga

26
menyulitkan umat Islam untuk menegakkan Syariat Islam secara menyeluruh.
Ada beberapa sarana yang digunakan Negara-negara Barat di dalam menanamkan
hegemoninya, diantaranya ; mendukung rezim politik yang otoriter, mengadakan
kesepakatan-kesepakatan politik dan ekonomi yang tidak seimbang dengan
Negara-negara berkembang, memberikan pinjaman financial dengan syarat-syarat
yang merugikan, membuat kekacauan politik dalam suatu negara, mencari
kesempatan untuk bisa membangun pangkalan-pangkalan militer di setiap Negara
yang diincarnya , membangun bank-bank konvesional untuk menguasai sektor
ekonomi, dan lain-lainnya
2. Terpengaruhnya sebagian masyarakat dengan pemikiran para pengusung HAM
(Hak Asasi Manusia).
Mereka –para pengusung HAM—sering menuduh Syariat Islam sebagai Syariat
yang kaku dan kejam serta tidak berperi kemanusian, yang mendiskreditkan
perempuan, sampai-sampai mereka mengadakan konferensi-konferensi
internasional membicarakan isu-isu  perempuan seperti  yang terjadi pada tahun
1979 M, Majlis Umum PBB mengadakan konferensi dengan tema “Convention
on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Woment ”, yang di
singkat  CEDAW (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Perempuan), kemudian pada tahun 2014 sebagian dari mereka mengajukan RUU
Kesetaraan Gender yang akan disahkan di DPR.
3. Kuatnya pengaruh Pemerintahan Sekuler di negara-negara yang mayoritas
muslim.
Syekh Manna’ al-Qaththan di dalam buku “Mua’wwiqat Tadbiiq asy-Syariah al-
Islamiyah” (69-78) menyebutkan gerakan sekulerisasi  yang merambah pada
semua bidang, terutama bidang hukum, pendidikan dan kebudayaan, ekonomi,
sosial, yang semuanya menghambat lajunya gerakan Islamisasi dan penerapan
Syariat Islam.
4. Penguasaan orang-orang sekuler terhadap mass media dan menyebabkan
tersebarnya paham sekulerisme di dalam kehidupan kaum muslimin. Sekuler
adalah pemahaman yang memisahkan antara agama dan Negara. Mereka
berkeyakinan bahwa agama adalah wilayah privat dan pribadi, tidak boleh dibawa

27
ke ranah publik, dan diterapkan di dalam kebijaksanaan politik. Negara tidak
boleh mencampuri keyakinan dan agama masyarakat. (Dr. Ahmad Zain An-
Najah, MA)

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Syari’ah adalah peraturan-peratuan yang diciptakan Allah, atau yang diciptakan
pokok- pokoknya supaya manusia berpegang kepadanya agar dipedomani manusia dalam
hubungannya bngan Tuhannya, dengan sesamanya, dengan lingkungannya, dan dengan
kehidupan.
Syariah adalah peraturan – peraturan yang diciptakan oeh allah dan merupakan
integral dari pemeluknya. Namun saat ini yang menjadi fenomena nyata ada perbedaan
pendapat dari beberapa kalangan maupun golongan terkait penerapan hokum syariah.
Ada sebagian teori yang membahas bahwa hokum yang ada pada syariah ada yang dapat
diberlakukan da nada yang tidak bias diberlakukan, contoh hokum syariah yang tidak
dapat diberlakukan seperti hokum potong tangan bagi pencuri, hokum rajam bagi pezina.
Karena hokum syariah tersebut masih bias di ganti dengan sanksi seperti penjara, karena
sanksi penjara juga ditemukan dalam alqur’an. Dan syariah yang masih berlaku saat ini
yaitu seperti ritual sholat, puasa, zakat, ibadah haji, berhijab bagi ummat muslim, dan
system perekonomian yang berbasis syariah. Seperti bank syariah
B. Implikasi
Hasil dari penyusunan makalah ini bertujuan sebagai bahan diskusi bagi para
pembaca untuk menganalisa penerapan hokum syariah di muka bumi ini khususnya

28
Negara kita sendiri yaitu Indonesia, yang mayoritas penduduknya Muslim, kita dapat
mengenalisa apa dampaknya terhadap negara ini jika syariah islam tidak dijadikan
sumber hokum. Dan syariah yang diterapkan di Indonesia saat ini telah dapat kita rasakan
nuansa positifnya seperti system perekonomian yang syariah, dsb.

DAFTAR PUSTAKA

Bahri, Syamsul (2012). “Pelaksanaan Syariat Islam Di Aceh Sebagai Bagian Wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. http://fh.unsoed.ac.id diakses pada 27 Maret 2019

Halim (2015). “ Obsesi Penerapan Syariah Islam di Wilayah Lokal” http://journal.uin-


alauddin.ac.id diakses pada 28 Maret 2019

Anonim (2015). “Tinjauan Pustaka Konsep Syariah” http://journal.uin-alauddin.ac.id


diakses pada 28 Maret 2019

Zain, Ahmad (2015). “ Tantangan Penerapan Syariah” https://www.kiblat.net diakses


pada tanggal 01 Maret 2019

Hifni, Ahmad. (2016) Mungkinkah Syariah Islam Di terapkan di Indonesia”


https://isfimalaysia.wordpress.com diakses pada tanggal 1 Maret 2019

29

Anda mungkin juga menyukai