MAKALAH KEBIJAKAN PEMERINTAHAAN ACEH TENTANG SYARIAT
ISLAM
(TUGAS MATA KULIAH KEBIJAKAN PEMERNTAH LOKAL)
NAMA : YULI NUR FAUZIAH
NPM : 41153040210021
PRODI : D3 KEPOLISIAN
SEM/KELAS : V/A
PROGRAM STUDI D III KEPOLISIAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN
POLITIK UNIVERSITAS LANGLANGBUANA
TAHUN 2024 BAB I PENDAHULUAN
A. PENGERTIAN SYARI’AT ISLAM
Secara etimologis, syariat islam terdiri dari dua kata, syariat artinya hukum agama dan islam artinya agama yang diajarkan oleh nabi muhammad SAW, berpedoman pada kitab suci al-quran, yang diturunkan kedunia melalui wahyu Allah SWT. Dapat disimpulkan bahwa Syariat islam adalah Ajaran islam yang berpedoman pada kitab suci al-qur‟an. Jadi pengertian tersebut harus bersumber dan berdasarkan kitab suci al-qur‟an, pandangan normative dari syariat islam harus bersumber dari nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang tercantum dalam al- qur‟an. Al-qur‟an lah yang menjadi pangkal tolak dari segala pemahaman tentang syari‟at islam. Kerangka dasar ajaran islam adalah akidah, syar’iyah dan akhlak.Ketiganya bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan yang bersumber pada tauhid, sebagai inti akhidah yang kemudian melahirkansyar’iyah, sebagai jalan berupa ibadah dan muamalah, serta akhlak sebagai tingkah laku baik kepada Allah SWT maupun kepada makhluk ciptaan- Nya yang lain. Menurut M. Daud Ali, Syariat adalah jalan yang harus ditempuh, dalam arti teknis, syariat adalah seperangkat norma ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia lain dalam kehidupan social, hubungan manusia dengan benda dan alam lingkungan hidupnya. Akhlak adalah peringai atau tingkah laku yang berkenaan dengan sikap manusia, terbagi atas akhlak terhadap Allah SWT dan terhadap sesama makhluk. Akhlak terhadap sesama makhluk terbagi atas akhlak terhadap manusia, yakni diri sendiri, keluarga, dan masyarakat, serta akhlak terhadap makhluk bukan manusia yang ada di sekitar lingkungan hidup, yakni tumbuh-tumbuhan, hewan, bumi, air, serta udara. Menurut M. Daud Ali, Syariat adalah jalan yang harus ditempuh. Dalam arti teknis, syariat adalah seperangkat norma ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia lain dalam kehidupan sosial, hubungan manusia dengan benda dan alam lingkungan hidupnya. Syariat islam ini berlaku bagi hamba-Nya yang berakal, sehat, dan telah menginjak usia baligh atau dewasa. (dimana sudah mengerti/memahami segala masalah yang dihadapinya). Tanda baligh atau dewasa bagi anak laki-laki, yaitu apabila telah bermimpi bersetubuh dengan lawan jenisnya, sedangkan bagi anak wanita adalah jika sudah mengalami datang bulan (menstruasi). Bagi orang yang mengaku Islam, keharusan mematuhi peraturan ini diterangkan dalam firman Allah SWT. "kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad) mengikuti syariat (peraturan) dari agama itu, maka ikutilah syariat itu, dan janganlah engkau ikuti keinginan orang- orang yang tidak mengetahui." (QS. 45/211-Jatsiyah: 18). B. SYARIAT ISLAM DAN QANUN Syari‟at Islam adalah tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan.Pelaksanaan Syari‟at Islam diatur dalam Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh nomor 5 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari‟at Islam(Dinas Syari‟at Islam,2009: 257). Adapun aspek-aspek pelaksanaan Syari‟at Islam adalah seperti terdapat dalam Perda Daerah Istimewa Aceh nomor 5 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari‟at Islam. Bab IV Pasal 5 ayat 2, yaitu: Aqidah, Ibadah, Muamalah, Akhlak, Pendidikan dandakwah Islamiyah/amar makruf anhi munkar, Baitulmal, kemasyarakatan, Syiar Islam, Pembelaan Islam, Qadha, Jinayat, Munakahat, dan Mawaris. Dasar hukum dan pengakuan Pemerintah untuk pelaksanaan Syari‟at Islam di Aceh,didasarkan atas UU No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pelaksanaan Syari‟at Islamdi Aceh telah diatur dalam Undang- undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Nanggroe Aceh Darussalam, pasal 31 disebutkan: 1. Ketentuan pelaksanaan undang-undang ini yang menyangkut kewenangan Pemerintah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. 2. Ketentuan Pelaksanaan undang-unang ini yang menyangkut kewenangan Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ditetapkan dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.Peraturan pelaksanaan untuk penyelenggaraan otonomi khusus yang berkaitandengan kewenangan pemerintah pusat akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
C. TUJUAN SYARI’AT ISLAM
Tujuan Allah SWT merumuskan hukum islam adalah untuk kemaslahatan umat manusia, baik didunia maupun di akhirat. Tujuan dimaksud hendak dicapai melalui taklif. Taklif itu baru dapat dilaksanakan bila memahami sumber hukum islam, kemudian tujuan itu tidak akan tercapai kecuali dengan keluarnya seseorang dari diperbudak oleh hawa nafsunya, menjadi hamba Allah dalam arti tunduk keada-Nya. Salah satu ayat al-quran yang menunjukkan pernyataan bahwa tujuan hukum islam adalah untuk kemaslahatan umat manusia yaitu surat al- anbiya ayat 107 yang berbunyi: ”dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. Untuk mewujudkan kemaslahatan ada lima hal pokok yang harus diwujudkan dan dipelihara, yaitu agama, nyawa, akal,keturunan, dan harta. Lima masalah pokok ini wajib dipelihara oleh setiap manusia. Untuk itu, didatangkan hukum islam berupa perintah, larangan, dan keijinan yang harus dipatuhi oleh setiap mukallaf. Masing-masing lima pokok tersebut dalam mewujudkan dan memeliharanya dikategorikan kepada beberapa klasifikasi menurut tingkat prioritas kebutuhan, yaitu kebutuhan daruriyat, kebutuhan hajiyat, dan kebutuhan tahsiniat. Ketiganya harus terwujud dan terpelihara. Memelihara kebutuhandaruriyat dimaksudkan perwujudan dan perlindungan terhadap lima pokok yang telah diuraikan dalam batas jangan sampai terancam eksistensinya. Memelihara kebutuhan hajiyat dimaksudkan perwujudan dan perlindungan terhadap hal-hal yang diperlukan dalam kelestarian lima pokok tersebut, tetapi di bawah kadar batas kepentingan daruriyat. Tidak terpeliharanya kebutuhan ini, tidak akan membawa terancamnya eksistensi lima pokok tersebut, tetapi membawa kepada kesempitan dan kepicikan, baik dalam usaha mewujudkan maupun dalam pelaksanaannya; sedangkan kepicikan dan kesempitan itu di dalam ajaran Islam perlu disingkirkan. Berdasarkan uraian di atas, untuk mewujudkan dan melestarikan tiga kategori kebutuhan tersebut, Allah SWT menurunkan hukum-Nya. Melaksanakan taklif hukum-Nya itu, maka kebutuhan yang diperlukan oleh setiap manusia mukallaf akan terwujud dan terpelihara, yang merupakan kebahagiaan bagi umat manusia atau yang biasa disebut keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. D. PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM di ACEH Dalam perjalanan Syariat Islam di Aceh, jika dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia, maka Aceh memiliki keunikan karena masyarakatnya mampu menyerap budaya dan menyesuaikan diri. Dalam konsiderans UU no. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh menempatkan ulama pada peran yang terhormat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Contohnya, para ulama di Aceh mendapatkan tempat yang istimewa dalam hal memberikan pandangan-pandangan, saran-saran, dan masukan-masukan untuk menetapkan suatu kebijakan. Hal tersebut tidak didapatkan para ulama di daerah lain. Contoh lain, para ulama Aceh sejak abad ke-17 telah dapat menerima dan bahkan mendorong kehadiran perempuan dalam ranah kegiatan publik, seperti menjadi anggota Dewan PerwakilanRakyat, hakim pada mahkamah, panglima perang, sampai menjadi kepala negara (Sultan), yang di banyak tempat dianggap sebagai tidak sejalan dengan ajaran Islam. Aceh dapat dikatakan sebagai daerah yang memiliki pengalaman sejarah seperti yang telah disebutkan di atas dalam penyesuaiannya sudah relatif sangat lentur dengan budaya lokal dan dapat menjadi tempat untuk pelaksanaan Syariat Islam secara kaffah. Senada dengan hal tersebut, Daud Rasyid mengatakan bahwa Aceh seharusnya menjadi pilot project bagi perjuangan Syariat. Menurut Rusdi Ali Muhammad dalam pidato pengukuhan Guru Besar Rektor UIN Ar-Raniry Banda Aceh bahwa kurangnya pemahaman terhadap Al-Qur‟an akan membawa kepada pola penalaran yang tidak memiliki semangat universalitas, fleksibilitas, kering akan nuansa sosiologis dan bahkan akan menyulitkan penerapan Syariat Islam dalam kehidupan manusia. Padahal hakekat keberadaan Syariat Islam adalah membawa kemaslahatan bagi manusia baik di dunia maupun di akhirat. BAB II PEMBAHASAN A. sejarah penerapan syariat islam di aceh. 1. Masa kerajaan Aceh. Kerajaan Aceh mencapai gemilang masa pemerintahan iskandar muda (1607-1636). Salah satu usaha beliau adalah meneruskan perjuangan sultan sebelumnya untuk melawan kekuasaan portugis yang sangat membenci islam. Dia juga mendorong penyebaran agama islam keluar kerajaan Aceh, seperti malaka dan pantai barat pulau sumatera. (Zakaria Ahmad, 1973:20- 22). Peradilan islam dibentuk untuk mengatur tatanan hokum yang di atur oleh ulama. Pengadilan diberikan kewenangan sepenuhnya untuk mengatur jalan roda hokum tanpa meminta persetujuan pihak atasan, peranan Qadhi malikul Adil (hakim agung kesultanan) di pusat kerajaan Aceh memiliki kewenangan seperti Mahkamah Agung sekarang ini. Setiap kawasan ada Qadhi ulee baling yang memutuskan perkara di daerah tersebut. Jika ingin mengajukan banding diteruskan pada Qadli Maliku Adil. Kedua Qadhi ini diangkat dari kalangan ulama yang cakap dan berwibawa. Sultan Aceh merupakan pelindung ajaran islam sehingga banyak ulama dating ke Aceh. Pada masa itu hidup ulama seperti Hamzah fansuri, Syamsuddin As-samathrani dan syekh Ibrahim as-syami. Pada masa iskandar thani (1636-1641) dating Nuruddin arraniri. Pada tahun 1603, bukhari al jauhari mengarang buku tajussalatih (mahkota raja-raja), sebuah buku yang membahas tata Negara yang berpedoman pada syariat islam ( zakaria ahmad, 1973: 22) Di bawah perintah sultan juga ditulis buku mit‟at-uttullah karangan syekh abdurra‟uf disusun pada masa pemerintahan sultanah safiattuddin syah ( 1641-1675 ), dan buku safinat-ulhukkamyi takhlish khashham karangan syekh jalaluddin at-tarussani disusun masa pemerintahan sultan alaiddin johansyah (1732-1760). Buku ini ditulis sebagai pegangan hakim dalam menyelesaikan perkara yang berlaku di seluruh wilayah di seluruh kerajaan Aceh sendiri dan di seluruh rantau takluknya. Kedua buku ini bersumber pada buku-buku fiqih bermazhab syafi‟i. Hukum berlaku untuk setiap lapisan masyarakat termasuk kaum bangsawan dan kerabat raja. Dari cerita mulut ke mulut iskandar muda menjatuhkan hukuman rajam kepada anak kandungnya sendiri karena terbukti berzina dengan salah seorang isteri bangsawan di lingkungan istana. Raja ling eke XIV masa sultan ala‟uddin ri‟ayatsyah-al qahhar (1537-1571) di jatuhi hukuman oleh qadli malikul adil untuk membayar 100 ekor kerbau kepada keluarga adik tirinya yang dia bunuh dengan sengaja ( al yasa‟ abu bakar, 2006:389-390) berlaku di seluruh Indonesia. 2. Syariat islam era otonomi khusus (sekarang). Penerapan syariat islam era otonomi khusus untuk aceh akrab dengan kata-kata “ penerapan syariat islam secara kaffah di Aceh”. Bisa di artikan usaha untuk memberlakukan islam sebagai dasar hukum dalam tiap tindak- tanduk umat muslim secara sempurna. Istilah kaffah digunakan karena Negara akan melibatkan diri dalam pelaksanaan syariat islam di Aceh. Membuat hukum positif yang sejalan dengan syariat, merumuskan kurikulum yang islami, dan masalah-maslah lain yang berkaitan dengan syariat. Dasar hukum pelaksanaan syariat islam di Aceh adalah diundangkan UU no 44 tahun 1999 dan UU no 18 tahun 2001. Dalam undang-undang nomor 44 syariat islam didefinisikan sebagai semua aspek ajaran islam. Dalam undang-undang nomor 18 disebutkan bahwa mahkamah syar‟iyah akan melaksanakan syariat islam yang di tuangkan ke dalam qanun terlebih dahulu. Qanun adalah peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah Aceh untuk melaksanakan syariat islam bagi pemeluknya di Aceh ( al yasa abu bakar, 2004:61). Pelaksanaan syariat islam secara kaffah mempunyai beberapa tujuan , di antaranya yaitu: 1. Alas an agama: pelaksanaan syariat islam merupakan perintah agama untuk dapat menjadi muslim yang lebih baik,sempurna, lebih dekat dengan ALLAH. 2. Alas an psikologis: masyarakat akan merasa aman dan tenteram karena apa yang mereka jalani dalam pendidikan, dalam kehidupan sehari-hari sesuai dan sejalan dengan kesadaran dan kata hati mereka sendiri. 3. Alasan hukum: masyarakat akan hidup dalam tata aturan yang lebih sesuai dengasn kesadaran hukum, rasa keadilan dan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat. 4. Alas an ekonomi dan kesejahteraan sosial: bahwa nilai tambah pada kegiatan ekonomi, serta kesetiakawanan sosial dalam bentuk tolong menolong, baik untuk kegiatan ekonomi atau kegiatan sosial akan lebih mudah terbentuk dan lebih solid. B. Lembaga Yang Terkait Penerapan Syariat Islam a. Dinas syariat islam. b. Majelis permusyawaratan ulama (MPU) c. Wilayatul hisbah (WH) C. Sistem Penyusunan Hukum Syariat Islam Di Nad Syariat islam yang akan menjadi hukum materil dituliskan dalam bentuk qanun terlebih dahulu, untuk mencegah kesimpangsiuran. Penerapan hukum jika hakim mengambil langsung dari buku-buku fikih dan berijtihad sendiri dari al-quran dan sunnah rasul. Sebelum terbentuknya qanun terlebih dahulu di buat rancangan oleh sebuah team untuk disosialisasikan kepada masyarakat untuk memperoleh masukan dan tanggapan. Setelah itu dilakukan konsultasi antara DPRD dengan MPU. Hukuman cambuk Hukuman cambuk merupakan salah satu hukum yang berlaku dalam syariat islam NAD. Ketentuan dlam hukum cambuk antara lain: a. Terhukum dalam kondisi sehat. b. Pencambuk adalah wilayatul hisbah yang di tunjuk jaksa penuntut umum. c. Cambuk yang digunakan adalah rotan dengan diameter 0.75 s/d 1.00 cm. d. Jarak pencambuk dengan terhukum kira-kira 70 cm. e. Jarak pencambuk dengan orang yang menyaksikan paling dekat 10 meter. f. Pencambukan di hentikan jika menyebabkan luka, di minta dokter atas pertimbangan medis, atau terhukum melarikan diri. g. Pencambukan akan dilanjutkan setelah terhukum dinyatakan sehat atau setelah terhukum menyerahkan diri atau tertangkap.
D. Esensi Syariat Islam Di Aceh
syariat Islam bukanlah hal baru, karena sejatinya masyarakat Aceh telah menerapkan syariat Islam sejak Islam pertama sekali masuk dan berkembang di Aceh. Syariat Islam sudah diterapkan sejak Aceh masih dalam bentuk kerajaan. Dalam penerapannya Ulama merupakan ujung tombak pelaksanaan hukum tanpa harus meminta persetujuan dari penguasa.. Masyarakat Aceh sangat menjunjung tinggi ajaran agama Islam, teguh dalam aqidah dan taat menjalankan Syariat Islam. Penerapan Syariat Islam tersebut berlandaskan pada hukum Al-Qur‟an dan Hadist yang telah mengatur segala aspek dari hal-hal yang telah diwajibkan dan dilarang Allah SWT. seperti kewajiban dalam aspek beribadah, beraqidah, berakhlaktul- karimah, membela Islam jika terdapat individu atau sekelompok individu melecehkan agama Islam. Adapun larangannya seperti berzina, berjudi, membunuh, minum- minuman keras, mencuri, yang bagi pelanggarnya mendapatkan hukuman sesuai dengan perbuatannya atau di denda seperti hukuman rajam bagi pelaku zina dan denda dengan membayar diyat oleh pelaku pembunuhan. Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) sebagai lembaga independen yang bertugas memberikan masukan dan kritikan terhadap jalannya hukum syariat, dan polisi wilayatul hisbah yang bertugas mensosialisasikan qanun, menangkap pelanggar qanun serta menghukum pelaku yang melanggar syariat. E. Pelaksanaan Syariat Islam Di Ace 1. Pilar Pelaksanaan Syariat Islam Untuk mempercepat pelaksanaan syariat Islam Prof.Dr.Al-yasa Abu Bakar,M.A sebagai kepala dinas Syariat Islam pertama bersama Kabag Litbang dan program Dinas Syariat Islam yaitu Drs.M.Saleh Suhaidi (Alm) membuat program Lima sasaran utama pelaksanaan syariat islam di Aceh. Lima Pilar Pelaksanaan Syariat Islam adalah a. MenghidupkanMeunasah b. Pemberdayaan Zakat c. Lingkungan Kantor danSekolah yang Islami d. PengawasanPelaksanaanSyariat Islam, dan e. PerluasanKewenanganMahkamahSyar‟iyah F. Fungsi pilar pelaksanaan syari’at islam di Aceh Sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia di dalam mengatur diri dan masyarakat Alat penyeimbang antara unsur yang baik dan yang tidak baik yang terdapat dalam diri manusia. Alat mendidik manusia menjadi suci lahir bathin.sayriat turun menuntun dan membimbing manusia untuk membersihkan diri agar ia mampu membaca arti sebuah kehidupan. Karena itulah,kebahagiaan abadi hanya dapat di gapai oleh manusia yang bersih. BAB III PEMBAHASAN
A. Kedudukan, Tugas Dan Wewenang Dinas Syariat Islam Dalam Pelaksanaan
Syariat Islam Di Aceh Pembentukan Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah untuk meningkatkan kelancaran pelaksanaan tugas operasional Pemerintah Daerah di bidang Pelaksanaan Syariat Islam sebagai tindak lanjut pelaksanaan Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999. Dinas Syariat Islam adalah unsur pelaksanaan Syariat Islam di lingkungan Pemerintah Daerah yang berada di bawah Gubernur dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah. Tugas dari Dinas Syariat Islam di provinsi Aceh di atur dalam Peraturan Daerah Provinsi Aceh Nomor 33 tahun 2001 pada Pasal 3.Dinas Syariat Islam mempunyai tugas melaksanakan tugas umum dan khusus Pemerintah Daerah dan pembangunan serta bertanggung jawab di bidang pelaksanaan Syariat islam. Untuk melaksanakan tugas tersebut di atas, Dinas Syariat Islam menjalankan lima fungsi, yakni : 1. Perencanaan dan penyiapan qanun yan berhubungan dengan Syariat Islam; 2. Penyiapan dan pembinaan sumber daya manusia yang berhubungan dengan pelaksanaan syariat Islam; 3. Pelaksanaan tugas yang berhubungan dengan kelancaran dan ketertiban pelaksanaan peribadatan dan penataan sarananya serta penyemarakan syiar Islam; 4. Bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Syariat Islam; 5. Bimbingan dan penyuluhan Syariat Islam.
B. Eksistensi Dan Kewenangan Mahkamah Syar’iyyah Dalam Pelaksanaan Syariat
Islam Di Aceh 1. Eksistensi Mahkamah Syar‟iyah Eksistensi dan kewenangan Mahkamah Syar‟iyah dikuatkan dengan Keputusan Badan Pekerja Dewan Perwakilan Rakyat Aceh No. 35 tanggal 03 Desember 1947. Setelah itu Mahkamah Syar‟iyah di Aceh berjalan dengan baik hingga dikuatkan pula dengan Peraturan Pemerintah No.29 tahun 1957 setelah melalui Perjuangan panjang masyarakat Aceh terutama para ulama dan tokoh masyarakat. Peradilan Syari‟at Islam juga dilakukan oleh suatu lembaga pengadilan yang disebut Mahkamah Syar‟iyah. Hal ini dengan tegas disebutkan oleh pasal 25 ayat (2) UU No.18/2001 pasal 128 ayat (4) UU No. 11 tahun 2006 yang menentukan kewenangan Mahkamah Syar‟iyah didasarkan atas syariat Islam dalam hukum Nasional yang di atur lebih lanjut dengan Qanun Provinsi Aceh. Mahkamah Syar‟iyyah merupakan salah satu pengadilan khusus yang berdasarkan Syariat Islam di Provinsi Aceh sebagai pengembangan dari peradilan agama. Kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Syar‟iyyah selalu berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam bidang ibadah dan Syariat islam yang ditetapkan dalam Qanun. 2. Kewenangan Mahkamah Syar‟iyah Adapun tugas dan wewenang Mahkamah Syar‟iyah antara lain ialah memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara – perkara pada tingkat pertama tertera pada pasal 49 Qanun No. 10 Tahun 2002,dalam bidang ahwal al – syakhsiyah, mu‟amalah, dan jinayah. Selain itu Mahkamah Syar‟iyah juga bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan perkara yang menjadi kewenangannya dalam tingkat banding juga tertera pada Pasal 50 ayat (1) : mengadili dalam tingkat pertama dan terahir sengketa kewenangan antar Mahkamah Syar‟iyah di Aceh. C. Eksekutif dan Legislatif 1. Eksekutif Esekutif adalah suatu pemerintahan negara yang memiliki kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan dan perundang-undang. Dalam sistem kabinet presidensial, presiden disamping berfungsi sebagai kepala negara juga berfungsi sebagai kepala eksekutif. 2. Legislatif Lembaga legislatif secara etimologi dalam kemelut politik adalah lembaga yang memiliki kekuasaan untuk membuat/mengeluarkan UU sedangkan Legislatif dalam terminology fiqh disebut sebagai lembaga penengah dan pemberi fatwa. Istilah lembaga legislative dalam Islam lebih popular dengan sebutan Afl al-Halli wa al-„aqd. Secara harfiah Ahl al-