Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDHULUAN

A. Latar Belakang
Tiap sendi-sendi kehidupan manusia, ada tata aturan yang harus ditaati. Bila
berada dalam masyarakat maka hukum masyarakat harus dijunjung tinggi. Begitu
pula
dengan memeluk agama Islam, yaitu agama yang memiliki aturan.Dan aturan yang
pertama kali harus kita pahami adalah aturan Allah. Segala aturan Ilahi dalam
segala bentuk hukum-hukum kehidupan manusia tertuang di Al-Qur’an, yang
dilengkapi penjelasannya dalam hadits Nabi SAW.

Secara sederhana hukum adalah “seperangkat peraturan tentang tingkah


laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat; disusun orang-orang yang
diberi wewenang oleh masyarakat itu; berlaku mengikat, untuk seluruh
anggotanya”. Bila definisi ini dikaitkan dengan Islam atau syara’ maka hukum
Islam berarti: ”seperangkat peraturan bedasarkan wahyu Allah SWT dan
sunah Rasulullah SAW tentang tingkah laku manusia yang dikenai hukum
(mukallaf) yang diakui dan diyakini mengikat semua yang beragama Islam”.
Maksud kata “seperangkat peraturan” disini adalah peraturan yang dirumuskan
secara rinci dan mempunyai kekuatan yang mengikat, baik di dunia maupun di
akhirat.

Allah SWT telah menciptakan dalam diri manusia potensi kehidupan yang
berupa kebutuhan naluri yang terdiri dari naluri beragama, naluri yang
mempertahankan diri serta naluri melangsungkan kehidupan. Disamping itu Allah
SWT juga telah menciptakan potensi kehidupan lainnya yang berupa kehidupan
jasmani dan rohani. Dengan adanya potensi kehidupan berupa kebutuhan jasmani
dan rohani inilah manusia menjalani kehidupannya sehari hari atau dengan kata lain
apapun yang dilakukan manusia selama hidup didunia adalah dalam rangka
memenuhi kebutuhan mereka.

Agar seluruh pemenuhan kebutuhan tersebut berjalan dengan baik dan


menghasilkan ketenangan, ketentraman, dan kebahagiaan, maka manusia harus
terlebih dahulu mengetahui baik atau buruk , serta apakah mendatangkan manfaat
atau memberikan mudharat baik didunia maupun diakhirat. Untuk itu manusia
harus terlebih dahulu mengetahui siapa yang berhak mengeluarkan status hukum
dan pembuat hukum yang dilihat dari sisi baik atau buruk terhadap perbuatan
manusia. Dan manusia juga harus mengetahui siapa pihak yang berhak
menjatuhkan hukum ataupun ketetapan.

Dalam hal ini manusia harus mengetahui apa itu hukum dan al-hakim, oleh
karena itu disini kami akan membahasnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian hukum dan hakim dalam Islam?
2. Apa saja sumber-sumber dan macam-macam hukum Islam?
3. Apa ruang lingkup hukum Islam?
4. Apa saja tujuan dan fungsi hukum Islam?
5. Apa saja sumber hukum selain Nash dan Al Hakim?

C. Tujuan
1. Mahasiswa dapat mengetahui pengertian hukum dan hakim dalam Islam.
2. Mahasiswa dapat mengetahui sumber-sumber dan macam-macam hukum
Islam.
3. Mahasiswa dapat mengetahui ruang lingkup hukum Islam.
4. Mahasiswa dapat mengetahui tujuan dan fungsi hukum Islam.
5. Mahasiswa dapat mengetahui sumber hukum selain Nash dan Al Hakim.
BAB I

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Islam

Hukum adalah aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh mereka yang


memiliki kewenangan dalam menentukan hukum. Dan hukum atau aturan-
aturan yang telah ditetapkan tersebut memiliki peran sebagai pedoman atau
landasan bertindak para pelaku di mana hukum tersebut diterapkan. secara
dasar pengertian hukum dalam Islam adalah Segala aturan-aturan yang telah
ditetapkan oleh penguasa jagad yaitu Allah SWT dalam mengatur perilaku
ummat-Nya. Hukum tersebut berlaku dalam perilaku manusia ketika
berhubungan dengan manusia lainnya, dengan Allah yakni Hablum Minallah,
ataupun juga dengan hubungannya manusia dalam memperlakukan lingkungan
alam sekitarnya.

B. Sumber-sumber dan macam-macam Hukum Islam


1) Sumber-sumber hukum Islam

Sumber merupakan asal sesuatu, sedangkan sumber hukum Islam adalah


asal tempat pengambilan hukum Islam. Dalam Islam terdapat 4 sumber hukum,
sebagai berikut:

1. Al-Qur’an

Sumber Hukum Islam yang pertama adalah Al-Qur’an. Al-Qur’an


memuat kandungan-kandungan yang berisi perintah, larangan, anjuran,
kisah islam, ketentuan, hikmah, dan sebagainya. Al-Qur’an menjelaskan
secara rinci bagaimana seharusnya manusia menjalani kehidupan agar
tercipta masyarakat berakhlak mulia.

2. Al-Hadist

Sumber hukum Islam yang kedua adalah Al-Hadist, yakni segala


sesuatu yang berlandaskan pada Rasulullah SAW.Baik berupa perkataan,
perilaku, diamnya beliau. Di dalam Al-Hadist terkandung aturan-aturan
yang merinci segala Aturan yang masih global dalam Al-quran. Kata
hadits yang mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan dengan
sunnah, maka dapat berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan
maupun persetujuan dari Rasulullah SAW yang dijadikan ketetapan
ataupun hukum islam.

3. Ijma’

Kesepakatan seluruh ulama mujtahid pada satu masa setelah zaman


Rasulullah atas sebuah perkara dalam agama.”Dan ijma’ yang dapat
dipertanggung jawabkan adalah yang terjadi di zaman sahabat, tabiin
(setelah sahabat), dan tabi’ut tabiin (setelah tabiin).Karena setelah zaman
mereka para ulama telah berpencar dan jumlahnya banyak, dan
perselisihan semakin banyak, sehingga tak dapat dipastikan bahwa semua
ulama telah bersepakat.

4. Qiyas

Sumber hukum Islam yang keempat setelah Al-Quran, Al-Hadits


dan Ijma’ adalah Qiyas. Qiyas berarti menjelaskan sesuatu yang tidak ada
dalil nashnya dalam Al quran ataupun hadis dengan cara membandngkan
sesuatu yang serupa dengan sesuatu yang hendak diketahui hukumnya
tersebut.

2) Macam-macam Hukum Islam

Berikut ini adalah macam-macam hukum Islam:

 Wajib

Wajib adalah sesuatu perbuatan yang jika dikerjakan akan


mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan akan diberi siksa. Contoh dari
perbuatan yang memiliki hukum wajib adalah shalat lima waktu, menutup
aurat baik laki-laki maupun perempuan, puasa, zakat, melaksanakan
ibadah haji bagi yang mampu,dan lain sebagainya.

 Sunnah

Sunnah ialah sesuatu perbuatan yang dituntut agama untuk


dikerjakan tetapi tuntutannya tidak sampai ke tingkatan wajib atau
sederhananya perbuatan yang jika dikerjakan akan mendapatkan pahala
dan jika ditinggalkan tidak akan mendapatkan siksaan atau hukuman.
Contoh dari perbuatan yang memiliki hukum sunnah ialah shalat yang
dikerjakan sebelum atau sesudah shalat fardhu.
 Haram

Haram ialah sesuatu perbuatan yang jika dikejakan pasti akan


mendapatkan siksaan dan jika ditinggalkan akan mendapatkan pahala.
Contoh perbuatan yang memiliki hukum haram adalah berbuat zina,
minum alkohol, bermain judi, mencuri, korupsi dan banyak lagi.

 Makruh

Makruh adalah suatu perbuatan yang dirasakan jika


meninggalkannya itu lebih baik dari pada mengerjakannya.

 Mubah

Mubah adalah suatu perbuatan yang diperbolehkan oleh agama


antara mengerjakannya atau meninggalkannya.

C. Ruang Lingkup Hukum Islam

Hukum islam baik dalam pengertian syaariatr maupun fikih di bagi


menjadi dua bagian besar, yaitu:

a. Ibadah (mahdhah)

Ibadah adalah tata cara dan upacara yang wajib dilakukan oleh seoraang
muslim dalam menjalankan hubingan kepada Allah, seperti shalat,
membayar zakat, menjalankan ibadah haji. Tata cara dan upacara ini tetap,
tidak ditambah-tambah maupun dikurangi. Ketentuannya telah di atur
dengan pasti oleh Allah dan dijelaskan oleh RasulNya. Dengan demikian
tidak mungkin ada proses yang membawa perubahan dan perombakan
secaara asasi mengenai hukum, susunan dan tata cara beribadat. Yang
mungkin berubah hanyalah penggunaan aalat-alat modern dalam
pelaksanaannya.

b. Muamalah (ghairu mahdhah)

Muamalah adalah ketetapan Allah yang berhubungan dengan kehidupan


sosial manusia walaupun ketetapan tersebut terbatas pada pokok-pokok
saja. Karena itu sifatnya terbuka untuk dikembangkan melalui ijtihad
manusia yang memenuhi syarat melakukan usaha itu.

D. Tujuan dan Fungsi Hukum Islam


a) Tujuan hukum islam

Tujuan hukum islam secara umum adalah Dar-ul


mafaasidiwajalbul mashaalihi (mencegah terjadinya kerusakan dan
mendatangkan kemaslahatan). Abu Ishaq As-Sathibi merumuskan lima
tujuan hukum islam:

 Memelihara agama

Agama adalah sesuatu yang harus dimilki oleh setiap manusia


oleh martabatnya dapat terangkat lebih tinggi dan martabat makhluk lain
dan memenuhi hajat jiwanya. Agama islam memberi perlindungan
kepada pemeluk agam lain untuk menjalankan agama sesuai dengan
keyakinannya.

 Memelihara jiwa

Menurut hukum islam jiwa harus dilindungi. Hukum islam wajib


memelihara hak manusia untuk hidup dan mempertahankan
kehidupannya. Islam melarang pembunuhan sebagai penghilangan jiwa
manusia dan melindungi berbagai sarana yang dipergunakan oleh
manusia untuk mempertahankan kemaslahatannya hidupnya
(Qs.6:51,17:33)

 Memelihara akal

Islam mewajibkan seseorang untuk memlihara akalnya, karena akal


mempunyai peranan sangat penting dalam hidup dan kehidupan
manusia. Seseorang tidak akan dapat menjalankan hukum islam dengan
baik dan benar tanpa mempergunakan akal sehat. (QS.5:90)

 Memelihara keturunan

Dalam hukum islam memlihara keturunan adalah hal yang sangat


penting. Karena itu, meneruskan keturunan harus melalui perkawinan
yang sah menurut ketentuan yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah
dan dilarang melakukan perzinahaan. (Qs.4:23)

 Memelihara harta

Menurut ajaran islam harta merupakan pemberian Allah kepada


manusia untuk kelangsungan hidup mereka. Untuk itu manusia sebagai
khalifah di bumi dilindungi haknya untuk memperoleh harta dengan
cara-cara yang halal, sah menurut hukum dan benar menurut aturan
moral. Jadi hukum Islam ditetapkan oleh Allah untuk memenuhi
kebutuhan hidup manusia itu sendiri, baik yang bersifat primer,
sekunder, maupun tersier.

b) Fungsi Hukum Islam Dalam Kehidupan Masyarakat

Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri


manusia membutuhkan pertolongan satu sama lain dan memerlukan
organisasi dalam memperoleh kemajuan dan dinamika kehidupannya.
Setiap individu dan kelompok sosial memiliki kepentingan. Namun
demikan kepentingan itu tidak selalu sama satu sama lain, bahkan
mungkin bertentangan. Hal itu mengandung potensi terjanya benturan
daan konflik. Maka hal itu membutuhkan aturan main, agar kepentingan
individu dapat dicapai secara adil, maka dibutuhkan penegakan aturan
main tersebut. Aturan main itulah yang kemudian disebut dengan hukum
islam yang dan menjadi pedoman setiap pemeluknya.

Dalam hal ini hukum islam memiliki tiga orientasi, yaitu:

 Mendidik indiividu (tahdzib al-fardi) untuk selalu menjadi sumber


kebaikan,
 Menegakkan keadilan (iqamat al-‘adl),
 Merealisasikan kemashlahatan (al-mashlahah).

Orientasi tersebut tidak hanya bermanfaat bagi manusia dalam jangka


pendek dalam kehidupan duniawi tetapi juga harus menjamin
kebahagiaan kehidupan di akhirat yang kekal abadi, baik yang berupa
hukum-hukum untuk menggapai kebaikan dan kesempurnaan hidup
(jalbu al manafi’), maupun pencegahan kejahatan dan kerusakan dalam
kehidupan (dar’u al-mafasid). Begitu juga yang berkaitan dengan
kepentingan hubungan antara Allah dengan makhluknya maupun
kepentingan orientasi hukum itu sendiri. Sedangkan fungsi hukum islam
dirumuskan dalam empat fungsi, yaitu:

 Fungsi ibadah
Dalam adz-Dzariyat: 56, Allah berfirman: "Dan tidak aku ciptakan
jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepadaKu". Maka dengan
daalil ini fungsi ibadah tampak palilng menonjol dibandingkan dengan
fungsi lainnya.

 Fungsi amr makruf naahi munkar (perintah kebaikan dan


peencegahan kemungkaran).

Maka setiap hukum islam bahkan ritual dan spiritual pun


berorientasi membentuk manusia yang yang dapat menjadi teladan
kebaikan dan pencegah kemungkaran.

 Fungsi zawajir (penjeraan)

Adanya sanksi dalam hukum islam yang bukan hanya sanksi


hukuman dunia, tetapi juga dengan ancaman siksa akhirat dimaksudkan
agar manusia dapat jera dan takut melakukan kejahatan.

 Fungsi tandzim wa ishlah al-ummah (organisasi dan rehabilitasi


masyarakat)

Ketentuan hukum sanksi tersebut bukan sekedar sebagai batas


ancaman dan untuk menakut-nakuti masyarakat saja, akan tetapi juga
untuk rehaabilitasi dan pengorganisasian umat mrnjadi leboh baik.
Dalam literatur ilmu hukum hal ini dikenal dengan istilah fungsi
enginering social.

E. Pengertian Hakim dalam Islam

Hakim (Inggris: Judge, Belanda: Rechter) adalah pejabat yang memimpin


persidangan. Istilah "hakim" sendiri berasal dari kata Arab ‫( حكم‬hakima) yang
berarti "aturan, peraturan, kekuasaan, pemerintah". Ia yang memutuskan
hukuman bagi pihak yang dituntut.

Hakim menurut ushul fiqih juga berarti pihak penentu dan pembuat hukum
syariat secara hakiki. Ulama ushul fiqih sepakat bahwa hakim dalam Islam
(pembuat hukum syariat) adalah Allah azza wa jalla baik hukum taklifi dan
wad'i.

Disepakati bahwa wahyu merupakan sumber syari’at. Adapun sebelum


datangnya wahyu, para ulama memperselisihkan peranan akal dalam
menentukan baik buruknya sesuatu, sehingga orang berbuat baik diberi pahala
dan orang yang berbuat buruk dikenakan sanksi.

Dari pengrtian pertama tentang hakim diatas,dapat diketahui bahwa hakim


adalah Allah SWT. Dia-lah pembuat hukum dan satu satunya sumber hukum
yang dititahkan kepada seluruh mukallaf. Dalam islam, tidak ada syari’at,
kecuali dari Allah SWT. Baik yang berkaitan dengan hukum-hukum taklif
(wajib, sunah, haram, makruh, mubah), maupun yang berkaitan dengan hukum
wadh’I (sebab, syarat, halangan, sah, batal, fasid, azimah, dan rukhsoh).
Menurut kesepakatan para ulama, semua hukum diatas bersumber dari Allah
SWT. Melalui nabi Muhammad SAW, maupun hasil ijtihad para mujtahid
melalui berbagai teori istinbath, separti qiyas, ijma’, dan metode istinbath
lainnya untuk menyingkap hukum yang datang dari Allah SWT.

F. Sumber Hukum selain Nash dan Al Hakim

Dalam Islam , sumber hukum yang pokok dan utama dalam al-Qur’an dan
juga hadist. Namun seperti yang telah diuraikan tadi ada wahyu yang sudah
jelas dan ada wahyu yang belum jelas . Dan penafsiran ,juga pemkiran akal
dari wahyu yang belum jelas tersebut melahirkan sumber hukum yang lain
dalam islam diantaranya:

a. Ijma’

Ijma’ dalam istilah ahli ushul adalah kesepakatan semua para mujtahid
dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasul SAW atas
hukum syara’. Ijma’ harus memenuhi persyaratan yaitu Tidak cukup ijma’
dikeluarkan oleh seorang mujtahid saja. Adanya kesepakatan sesama para
mujtahid atas hukum syara’ dalam suatu masalah.

Hendaknya kesepakatan mereka dimulai setiap pendapat salah seorang


mereka dengan pendapat yang jelas apakah dengan dalam bentuk
perkataan, fatwa atau perbuatan. Kesepakatan itu terwujudkan atas hukum
kepada semua para mujtahid. Jika sebagian besar mereka sepakat maka
tidak membatalkan kespekatan yang ‘banyak’ secara ijma’ sekalipun
jumlah yang berbeda sedikit dan jumlah yang sepakat lebih banyak maka
tidak menjadikan kesepakatan yang banyak itu hujjah syar’i yang pasti dan
mengikat.
Adapun kehujjahan ijma’ untuk dijadikan sumber hukum, ada beberapa
perbedaan pendapat dari kalangan ulama’. Al bardawi berpendapat bahwa
orang-orang hawa tidak menjadikan ijma’itu sebagai hujjah, bahkan dalam
syarahnya dia mengatakan bahwa ijma’ itu bukan hujjah secara mutlaq.

Menurut Al-amidi para ulam’ telah sepakat mengenai ijma’ sebagai


hujjah yang wajib diamalkan. pendapat tersebut bertentangan syiah,
khowarij, dan nizam dari golongan mu’tazilah.

b. Qiyas

Qiyas menurut bahasa ialah pengukuran sesuatu dengan yang lainya


atau penyamaan sesuatu dengan yang sejenisnya. Qiyas secara umum
dapat didefinisikan sebagai suatu proses penyingkapan kesamaan hukum
suatu kasus yang tidak disebutkan dalam suatu nash, dengan suatu hukum
yang disebutkan dalam nash karana adanya kesamaan dalam illatnya.
Contoh mengqiyaskan hukuman dera bagi orang yang menuduh laki-laki
berzina dengan hukum dera bagi mereka yang menuduh zina kepada
wanita-wanita yang sudah berkeluarga.

Adapun rukun Qiyas ada empat yaitu :

 Ashl (suatu peristiwa yang sudah ada nash-nya yang dijadikan


tempat mengqiyaskan .
 Far’u (peristiwa yang tidak ada nash-nya)
 Hukum ashl (hukum syara’, yang ditetapkan oleh suatu nash)
 Illat (suatu sifat yang terdapat pada ashl)

Adapun kehujahan qiyas sebagai sumber hukum, terdapat pandangan


yang berbeda-beda pula. Ada yang membolehkannya dan ada yang
melarangnya, seperti Golongan syafii, Hambali, dan golongan zahir
berpendapat boleh menggunakan qiyas sebagai hujjah. Dan kehujjahan
Qiyas menurut Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas
merupakan hujjah syar’i dan termasuk sumber hukum yang keempat dari
sumber hukum yang lain. Hal ini dapat diperoleh dengan mencari illat
hukum, yang dinamakan qiyas.

c. Istihsan
Menurut bahasa istihsan artinya menganggap sesuatu itu baik,
memperhitungkan sesuatu lebih baik. menurut istilah ulama’ ushul fiqh
adalah berpaling seorang mujtahid dari tuntutan qiyas yang jail (nyata)
kepada tuntutan qiyas yang khaofi (samar) atau dari hukum kulli (umum)
kepada hukum istitsnaiy ( pengecualian) ada dalil yang menyebabkan dia
mencela akalnya dan memenangkan perpalingan ini, atau meninggalkan
hukum yang jelas ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang
ditetapkan berdasarkan dalail syara’,menuju (menetapkan) hukum lain dari
peristiwa atau kejadian itu juga. Contoh dari istihsan adalah madzab hanafi
yang menganggap rusaknya sholat seorang laki yang berhadapan dengan
perempuan.

Adapun kehujahan istihsan dalam sumber hukum berbeda-beda pula,


ada yang memperbolehkannya juga ada yang tidak memperbolehkannya,
diantaranya; Ada yang menganggapnya sebagai sumber hukum. Diantara
ulama yang beranggapan sebagai sumber hukum adalah Imam Hanafi dan
Imam Malik sekalipun ia tidak terlalu membedakan antara istihsan dengan
Maslahah Mursalah, sehingga beliau menyatakan bahwa istihsan telah
merambah sampai 9/10 ilmu fiqh. Menganggap bukan sebagai sumber
hukum. Diantara ulama yang menolaknya sebagai sumber hukum adalah
Imam Syafi’i. Dalam bukunya ”Ar Risalah” beliau menyatakan bahwa
haram bagi seseorang untuk mengatakan sesutau atas dasar Istihsan.
Karena Istihsan hanyalah talazzuz. Beliau juga berkata ”Barang siapa yang
beristihsan sungguh ia telah membuat syariat.

d. Istishab

Istishab menurut bahasa berarti ”mencari sesuatu yang ada


hubungannya”. Menurut istilah ulama fiqh, ialah tetap berpegang pada
hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil
yang mengubah hukum tersebut. Atau dengan kata lain, ialah menyatakan
tetapnya hukum pada masa lalu, sampai ada dalil yang mengubah
ketetapan hukum tersebut.

Contoh Istishab: Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dan


perempuan B, kemudian mereka berpisah dan berada di tempat yang
berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu maka B ingin
kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C
karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada perubahan
hukum perkawinan mereka walaupun mereka telah lama berpisah.
Berpegang ada hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya
perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang ditetapkan dengan
istishab.

Terjadi perbedaan pendapat tentang kehujahan istishab, ada yang


memperbolehkannya juga ada yang tidak memperbolehkannya, seperti
ulama’ malikiyah, Syafiiyah, zahiriyah, dan syiah memperbolehkan
berhujjah dengan istishab . Alasannya bahwa sesuatu yang telah ditetapkan
pada masa lalu, selama tidak ada dalil yang mengubahnya baik secara
qath’I maupun zhanny, maka hukum yang telah ditetapkan itu berlaku
terus, karena diduga keras belum ada perubahannya.

e. Maslahat mursalah

Mashlahat mursalah yaitu suatu kemaslahatan yang tidak disinggung


oleh syara' dan tidak pula terdapat dalil-dalil yang menyuruh untuk
mengerjakan atau meninggalkannya, sedang jika dikerjakan akan
mendatangkan kebaikan yang besar atau kemaslahatan. Diantara contoh
mashlahat mursalah ialah usaha Khalifah Abu Bakar mengumpulkan al-
Qur'an yang terkenal dengan jam'ul Qur'an. Adapun kehujjahannya ,imam
syafi’I memperbolehkan berhujjah dengan maslahat mursalah.

f. ‘Urf

‘Urf adalah Sebuah hal yang menjadi kebiasaan manusia dan yang
merreka selalu melaksanakannya baik berupa pekerjaan atau perkataan
yang di tetapkan pada arti tertentu.

Adapun kehujjahan ‘urf sebagai sumber hukum berbeda-beda pendapat


pula. Madzhab maliki dan hanafi sepakat bahwa penetapan hukum dengan
‘urf yang benar dengan adanya dalil syar’i di perbolehkan. Sedangkan Para
ulama’ bersepakat bahwa ‘uruf merupakan dalil sekiranya tidak ditemukan
dalam nash alquran dan assunnah.

g. Madhzab sahabi
Pengertian madzab sahabi sendiri adalah fatwa yang dikeluarkan
sahabat secara perorangan. Beberapa pendapat tentang madzhb shohaby:
Tidak bisa di pakai sebagai hujjah sama sekali, ini pendapat dari jumhur
dan qoul jadid imam syafi’i. Didahulukan sebagai hujjah dari pada qiyas,
ini pendapat dari imam malik, kebanyakan ulama’ hanafi dan qaul qadim
imam syafi’i. Menjadi hujjah apabila menyimpan qiyas dan di dahulukan
dari qiyas yang tidak menyimpan qaulus shohaby.

h. Dzaro’i

Secara bahasa adalah alat penghubung atau jalan penghubung pada


sesuatu. Menurut ulama’ ushul dan syariat adalah sesuatu yang menjadi
alat atau jalan pada perkara yang diharamkan atau dihalakan untuk di
ambil hukum darinya. Maka, jalan menuju perkara yang di haramkan
adalah haram, yang di perbolehkan adalah mubah dan sesuatu yang
tanpanya perkara wajib tidak terlaksana maka, hukumnya wajib. Contoh
dzaro’i : melarang berjudi yang tidak menngunakan taruhan, karena
dikhawatirkan akan masuk pada perjudian yang sebenarnya.

Adapun Kehujjahan dzaroi’ adalah sebagai berikut:

 Imam malik dan imam ahmad menjadikan dzaroi’ sebagai salah satu
sumber hukum fiqh, ibnu qayyim beerkata: “saddud dzaroi’ adalah ¼
agama”.
 Imam syafii dan imam hanafi terkadng memakai dan terkadang tidak.
 Ibnu hazm sama sekali tidak memakai dzaroi’.
 Syar’un Man qoblana

Syar’un man qablana adalah syariat yang dibawa oleh para rasul
terdahulu, sebelum diutus Nabi Muhammad SAW. Jika Al-qur’an atau
sunnah yang shohih mengisahkan suatu hukum yang telah disyariatkan
pada umat yang terdahulu melalui para rasul, kemudian nash tersebut
diwajibkan kepada kita sebagai mana diwajibkan kepada mereka, maka
tidak diragukan lagi bahwa syariat tersebut ditunjukkan juga kepada kita
seperti syariat tentang puasa.

Namun sebaliknya bila dikisahkan suatu syariat yang telah ditetapkan


kepada orang-orang terdahulu,namun hukum tersebut telah dihapus untuk
kita, para ulama’ sepakat bahwa hukum tersebut tidak disyariatkan kepada
kita, seperti syariat Nabi Musa bahwa seorang yang berbuat dosa tidak
akan diampuni dosanya keculai dengan membunuh dirinya dan jika ada
najis yang menempel pada tubuh tidak akan suci kecuali dengan
memotong anggota badan tersebut.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan


sebagai berikut: Secara umum hukum Islam berorientasi pada perlindungan
terhadap agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Artinya hukum Islam bertujuan
pada pemeliharaan agama, menjamin, menjaga dan memelihara kehidupan dan
jiwa, memelihara kemurnian akal sehat dan menjaga ketertiban keturunan
manusia serta menjaga hak milik harta kekayaan untuk kemaslahatan hidup umat
manusia.

Al-hakim adalah pembuat hukum, dalam hal ini adalah Allah SWT lah
sebagai pembuat hukum yang mutlaq. Dalam hal ini akal manusia pun berperan
dalam memperjelas dan menerangkan wahyu dari al-hakim yang belum jelas
maksudnya. Selain Al-qur’an dan juga As-sunah sumber hukum islam adalah
ijma’, qiyas, istihsan, istishab, urf, dzaroi, syar’un man qoblana, madzab sahabi.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas, maka dapat dikemukakan beberapa saran


sebagai berikut :

Sebagai umat Islam hendaknya memahami hukum Islam dengan baik,


karena hukum ini mengatur berbagai kehidupan umat manusia untuk mencapai
kemaslahatan. Setiap manusia hendaknya menjungjung tinggi Hak Asasi Manusia,
karena hak ini sebagai dasar yang melekat pada diri tiap manusia. Dalam
mengamalkan ajaran Islam secara menyeluruh, baik dibidang hukum, hak dan
kewajiban asasi manusia, serta kehidupan berdemokrasi hendaknya berdasarkan
prinsip-prinsip yang diajarkan Islam.

Dalam era islam masa kini, masih banyak orang yang melanggar dan tidak
mengikuti aturan atau hukum yang dibuat Hakim. Padahal hukum sudah jelas
tercantum dalam Al-qur’an dan Sunnah Nabi. Manusia sebagai subjek hukum
seharusnya dapat mampu menjalankan perbuatan dalam Al-qur’an dan sunnah
yang sebagai ojek hukum. Jika Subjek dan Objek hukum tidak berjalan dengan
baik, telah dijelaskan dalam hukum akan ada beban hukum yang dibebankan pada
manusia itu sendiri. Demikianlah akhir makalah ini. Jika ada penulisan makalah
yang kurang tepat kami mohon maaf.

DAFTAR PUSTAKA

Dahlan,Abddur Rahman.Ushul Fiqh.Jakarta:Bumi Aksara 2011

Jumantoro,Totok dan Samsul Munir Amin.Kamus IlmuUshul


Fiqih .Jakarta:Bumi Aksara,2009.

Syafi”ie, Rachmat.Ilmu Ushul Fiqh.Bandung:Pustaka Setia.2010.

Zuhri,Syaefudin.Ushul Fiqih .Yogyakarta:Pustaka Pelajar.2011.

Anda mungkin juga menyukai