Anda di halaman 1dari 20

Agama Islam memiliki aturanaturan sebagai tuntunan hidup kita baik dalam berhubungan sosial dengan manusia (hablu

minannas) (hablu minawallah) dan tuntunan itu kita kenal dengan hukum islam atau syariat islam atau hukum Allah SWT. Sebelum kita lebih jauh membahas mengenai sumber-sumber syariat islam, terlebih dahulu kita harus mengetahui definisi dari hukum dan hukum islam atau syariat islam. Hukum artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakannya. Menurut ulama usul fikih, hukum adalah tuntunan Allah SWT (Alquran dan hadist) yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf (orang yang sudah balig dan berakal sehat), baik berupa tuntutan, pemilihan, atau menjadikan sesuatu sebagai syarat, penghalang, sah, batal, rukhsah( kemudahan ) atau azimah. Sedangkan menurut ulama fikih, hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh syariat (Alquran dan hadist) berupa al-wujub, al-almandub, al-hurmah, al- karahah, dan al-ibahah. Perbuatan yang dituntut tersebut disebut wajib, sunah (mandub), haram, makruh, dan mubah. Ulama usul fikih membagi hukum islam menjadi dua bagian, yaitu hukum taklifiy dan hukum wadhiy dan penjelasannya sebagai berikut : 1. Hukum Taklifiy Adalah tuntunan Allah yang berkaitan dengan perintah untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya. Hukum taklifiy dibagi menjadi lima macam, yaitu a. Al-ijab, yaitu tuntutan secara pasti dari syariat untuk dilaksanakan dan dilarang ditinggalkan, karena orang yang meninggalkannya dikenai hukuman b. An-nadh, yaitu tuntutan dari syariat untuk melaksanakan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu tidak secara pasti. Jika tuntutan itu dikerjakan maka pelakunya mendapatkan pahala, tetapi jika tidak dikerjakan tidak hukuman (dosa) c. Al-ibahah, yaitu firman Allah yang mengandung pilihan untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya d. Al-karahah, yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan melalui untaian kata yang tidak pasti sehingga kalau dikerjakan pelakunya tidak dikenai hukuman e. Al-tahrim, yaitu tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti sehingga tuntutan untuk meninggalkan perbuatan itu wajib, dan jika dikerjakan pelakunya mendapatkan hukuman (berdosa). Menurut ulama fikih pebuatan mukallaf itu jika ditinjau dari syariat islam dibagi menjadi lima macam, yaitu : a. Fardu (wajib), yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya mendapatkan pahala, tetapi apabila ditinggalkan pelakunya mendapatkan hukuman (berdosa) perbuatan wajib ditinjau dari segi orang melakukannya dibagi menjadi dua, yaitu:

Fardu ain, yaitu perbuatan wajib yang harus dikerjakan oleh setiap mukallaf, seperti shalat lima waktu Fardu kifayah, yaitu perbuatan wajib yang harus dikerjakan oleh salah seorang anggota masyarakat, dan jika telah dikerjakan oleh salah seorang anggota masyarakat, maka gugur kewajiban anggota masyarakat lainnya, seperti memandikan, mengafani, menshalatkan, dan menguburkan jenazah muslim b. sunnah (mandub), yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya mendapatkan pahala, tetapi apabila ditinggalkan pelakunya tidak mendapatkan hukuman (dosa) perbuatan sunnah dibagi menjadi dua, yaitu: Sunnah ain, yaitu perbuatan sunnah yang dianjurkan untuk dikerjakan oleh setiap individu, seperti shalat sunnah rawatib Sunnah kifayah, yaitu perbuatan sunnah yang dianjurkan dikerjakan oleh salah seorang atau beberapa orang dari golongan masyarakat, seperti memberi salam, mendoakan muslim atau muslimat c. Haram, yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya berdosa dan akan dihukum, tetapi apabila ditinggalkan pelakunya mendapatkan pahala, seperti: bezina, mencuri, membunuh d. Makruh, yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya tidak berdosa, tetapi apabila ditinggalkan pelakunya mendapat pahala, seperti: meninggalkan shalat Dhuha e. Mubah, yaitu perbuatan yang boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan, seperti: memilih warna pakaian penutup auratnya. 1. Hukum Waiy Adalah perintah Allah SWT, yang mengandung pengertian, bahwa terjadinya sesuatu merupakan sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu (hukum). Ulama usul fikih berpendapat bahwa hukum waidiy itu terdiri dari tiga macam, yaitu: a. Sebab, yaitu sifat yang nyata dan dapat diukur yang dijelaskan dalam nas (Alquran dan hadist), bahwa keberadaannya menjadi sebab tidak adanya hukum. Seperti: tergelincirnya matahari menjadi sebab wajibnya shalat zhuhur, jika

matahari belum tergelincir maka shalat zhuhur belum wajib dilakukan b. Syarat, yaitu sesuatu yang berada diluar hukum syara, tetapi keberadaan hukum syara tergantung padanya, jika syarat tidak ada maka hukum pun tidak ada. Seperti: genap satu tahun (haul) adalah syarat wajibnya harta perniagaan, jika tidak haul maka tidak wajib zakat perniagaan c. Penghalang (mani), yaitu sesuatu yang keberadaannya menyebabkan tidak adanya hukum atau tidak adanya sebab hukum. Seperti: najis yang ada di badan atau pakaian orang yang sedang melaksanakan shalat menyebabkan shalatnya tidak sah atau menghalangi sahnya shalat. Melalui penjelasan singkat mengenai pengertian hukum islam atau syariat islam tadi barulah kita mengerti pengertian hukum islam. Yang dimaksud sebagai sumber hukum islam adalah segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat mengikat yang apabila dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata (Sudarsono, 1992:1). Dengan demikian sumber hukum islam ialah segala sesuatu yang dijadikan dasar, acuan, atau pedoman syariat islam. Pada umumnya para ulama fikih sependapat bahwa sumber utama hukum islam adalah Alquran dan hadist. Dalam sabdanya Rasulullah SAW bersabda, Aku tinggalkan bagi kalian dua hal yang karenanya kalian tidak akan tersesat selamanya, selama kalian berpegang pada keduanya, yaitu Kitab Allah dan sunnahku. Dan disamping itu pula para ulama fikih menjadikan ijtihad sebagai salah satu dasar hukum islam, setelah Alquran dan hadist. Seluruh hukum produk manusia adalah bersifat subjektif, hal ini karena keterbatasan manusia dalam ilmu pengetahuan yang diberikan Allah SWT mengenai kehidupan dunia dan kecenderungan untuk menyimpang, serta menguntungkan penguasa pada saat pembuatan hukum tersebut, sedangkan hukum Allah SWT adalah peraturan yang lengkap dan sempurna serta sejalan dengan fitrah manusia. Sumber ajaran islam dirumuskan dengan jelas oleh Rasulullah SAW, yakni terdiri dari tiga sumber, yaitu kitabullah (Alquran), as- sunnah (hadist), dan rayu atau akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad. Ketiga sumber ajaran ini merupakan satu rangkaian kesatuan dengan urutan yang tidak boleh dibalik. Sumber-sumber ajaran islam ini dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu sumber ajaran islam yang primer (Alquran dan hadist) dan sumber ajaran islam sekunder (ijtihad). Pembahasan mengenai karakteristik masing-masing sumber ajaran islam tersebut adalah sebagai berikut:

1. Sumber-Sumber Ajaran Islam Primer 1.1. Alquran

Secara etimologi Alquran berasal dari kata qaraa, yaqrau, qiraaatan, atau quranan yang berarti mengumpulkan (al-jamu) dan menghimpun (al-dlammu). Sedangkan secara terminologi (syariat), Alquran adalah Kalam Allah taala yang diturunkan kepada Rasul dan penutup para Nabi-Nya, Muhammad shallallaahu alaihi wasallam, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas. Dan menurut para ulama klasik, Alquran adalah Kalamulllah yang diturunkan pada rasulullah dengan bahasa arab, merupakan mukjizat dan diriwayatkan secara mutawatir serta membacanya adalah ibadah Pokok-pokok kandungan dalam Alquran antara lain: Tauhid, yaitu kepercayaan ke-esaann Allah SWT dan semua kepercayaan yang berhubungan dengan-Nya Ibadah, yaitu semua bentuk perbuatan sebagai manifestasi dari kepercayaan ajaran tauhid Janji dan ancaman, yaitu janji pahala bagi orang yang percaya dan mau mengamalkan isi Alquran dan ancaman siksa bagi orang yang mengingkari Kisah umat terdahulu, seperti para Nabi dan Rasul dalam menyiaran syariat Allah SWT maupun kisah orang-orang saleh ataupun kisah orang yang mengingkari kebenaran Alquran agar dapat dijadikan pembelajaran. Al-Quran mengandung tiga komponen dasar hukum, sebagai berikut:
Hukum

Itiqadiah, yakni hukum yang mengatur hubungan rohaniah manusia dengan Allah SWT dan hal-hal yang berkaitan dengan akidah/keimanan. Hukum ini tercermin dalam Rukun Iman. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid, Ilmu Ushuluddin, atau Ilmu Kalam. Amaliah, yakni hukum yang mengatur secara lahiriah hubungan manusia dengan Allah SWT, antara manusia dengan sesama manusia, serta manusia dengan lingkungan sekitar. Hukum amaliah ini tercermin dalam Rukun Islam dan disebut hukum syara/syariat. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Fikih. Khuluqiah, yakni hukum yang berkaitan dengan perilaku normal manusia dalam kehidupan, baik sebagai makhluk individual atau makhluk sosial. Hukum ini tercermin dalam konsep Ihsan. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Akhlaq atau Tasawuf.

Hukum

Hukum

Sedangkan khusus hukum syara dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni:
Hukum

ibadah, yaitu hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT, misalnya salat, puasa, zakat, dan haji muamalat, yaitu hukum yang mengatur manusia dengan sesama manusia dan alam sekitarnya. Termasuk ke dalam hukum muamalat adalah sebagai berikut:
Hukum Hukum Hukum Hukum Hukum Hukum Hukum Hukum Hukum Hukum

Hukum

munakahat (pernikahan). faraid (waris). jinayat (pidana). hudud (hukuman). jual-beli dan perjanjian. tata Negara/kepemerintahan makanan dan penyembelihan. aqdiyah (pengadilan). jihad (peperangan). dauliyah (antarbangsa).

1.2. Hadist
Sunnah menurut syari adalah segala sesuatu yang berasal dari Rasulullah SAW baik perbuatan, perkataan, dan penetapan pengakuan. Sunnah berfungsi sebagai penjelas ayat-ayat Alquran yang kurang jelas atau sebagai penentu hukum yang tidak terdapat dalam Alquran. Sunnah dibagi menjadi empat macam, yaitu: Sunnah qauliyah, yaitu semua perkataan Rasulullah Sunnah filiyah, yaitu semua perbuatan Rasulullah Sunnah taqririyah, yaitu penetapan dan pengakuan Rasulullah terhadap pernyataan ataupun perbuatan orang lain

Sunnah hammiyah, yaitu sesuatu yang telah direncanakan akan dikerjakan tapi tidak sampai dikerjakan

2. Sumber-Sumber Ajaran Islam Sekunder 2.1. Ijtihad


Ijtihad berasal dari kata ijtihada yang berarti mencurahkan tenaga dan pikiran atau bekerja semaksimal mungkin. Sedangkan ijtihad sendiri berarti mencurahkan segala kemampuan berfikir untuk mengeluarkan hukum syari dari dalil-dalil syara, yaitu Alquran dan hadist. Hasil dari ijtihad merupakan sumber hukum ketiga setelah Alquran dan hadist. Ijtihad dapat dilakukan apabila ada suatu masalah yang hukumnya tidak terdapat di dalam Alquran maupun hadist, maka dapat dilakukan ijtihad dengan menggunakan akal pikiran dengan tetap mengacu pada Alquran dan hadist. Macam-macam ijtidah yang dikenal dalam syariat islam, yaitu Ijma, yaitu menurut bahasa artinya sepakat, setuju, atau sependapat. Sedangkan menurut istilah adalah kebulatan pendapat ahli ijtihad umat Nabi Muhammad SAW sesudah beliau wafat pada suatu masa, tentang hukum suatu perkara dengan cara musyawarah. Hasil dari Ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat. Qiyas, yaitu berarti mengukur sesuatu dengan yang lain dan menyamakannya. Dengan kata lain Qiyas dapat diartikan pula sebagai suatu upaya untuk membandingkan suatu perkara dengan perkara lain yang mempunyai pokok masalah atau sebab akibat yang sama. Contohnya adalah pada surat Al isra ayat 23 dikatakan bahwa perkataan ah, cis, atau hus kepada orang tua tidak diperbolehkan karena dianggap meremehkan atau menghina, apalagi sampai memukul karena sama-sama menyakiti hati orang tua. Istihsan, yaitu suatu proses perpindahan dari suatu Qiyas kepada Qiyas lainnya yang lebih kuat atau mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima untuk mencegah kemudharatan atau dapat diartikan pula menetapkan hukum suatu perkara yang menurut logika dapat dibenarkan. Contohnya, menurut aturan syarak, kita dilarang mengadakan jual beli yang barangnya belum ada saat terjadi akad. Akan tetapi menurut Istihsan, syarak memberikan rukhsah (kemudahan atau keringanan) bahwa jual beli diperbolehkan dengan system pembayaran di awal, sedangkan barangnya dikirim kemudian. Mushalat Murshalah, yaitu menurut bahasa berarti kesejahteraan umum. Adapun menurut istilah adalah perkara-perkara yang

perlu dilakukan demi kemaslahatan manusia. Contohnya, dalam Al Quran maupun Hadist tidak terdapat dalil yang memerintahkan untuk membukukan ayat-ayat Al Quran. Akan tetapi, hal ini dilakukan oleh umat Islam demi kemaslahatan umat. Sududz Dzariah, yaitu menurut bahasa berarti menutup jalan, sedangkan menurut istilah adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat. Contohnya adalah adanya larangan meminum minuman keras walaupun hanya seteguk, padahal minum seteguk tidak memabukan. Larangan seperti ini untuk menjaga agar jangan sampai orang tersebut minum banyak hingga mabuk bahkan menjadi kebiasaan. Istishab, yaitu melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan telah ditetapkan di masa lalu hingga ada dalil yang mengubah kedudukan hukum tersebut. Contohnya, seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu atau belum. Di saat seperti ini, ia harus berpegang atau yakin kepada keadaan sebelum berwudhu sehingga ia harus berwudhu kembali karena shalat tidak sah bila tidak berwudhu. Urf, yaitu berupa perbuatan yang dilakukan terus-menerus (adat), baik berupa perkataan maupun perbuatan. Contohnya adalah dalam hal jual beli. Si pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang telah diambilnya tanpa mengadakan ijab kabul karena harga telah dimaklumi bersama antara penjual dan pembeli.

Home PROFIL o Program & Services Core Program Unit Pelaksana o Legalitas o Sejarah o Visi dan Misi o Struktur Organisasi o Laporan Keuangan o Shelter Iqro o JEJARING DD o Donasi & Bantuan BUKU TAMU DATA HONG KONG o Sejarah o Data & Fakta o Bea Cukai o Objek Wisata & Taman Terbuka o Hotel & Penginapan o Transportasi Tram Taksi MTR Bus Ferry o Panduan BMI Bekerja di Hong Kong Panduan BMI/PRT Imigrasi & Kependudukan AGENDA o Program Ramadhan DDHK 2011 o Jadwal Puasa 2011 HK ISLAM DI HONG KONG o Sejarah Islam o Masjid o Organisasi Islam

Halal Food Sekolah Islam Jadwal Waktu Shalat GALERI o Redaksi DDHK News o Rekomendasi o Kirim Tulisan DOWNLOAD o PANDUAN ZAKAT o KALENDER 2011/1432 o PANDUAN PUASA RAMADHAN o KUMPULAN DOA o KUMPULAN DZIKIR o Kumpulan Hadits o Jadwal Shalat HP (1) o Jadwal Shalat HP (2) o Buku La Tahzan o Hadits Arbain Nawawi o Jadwal Shalat HK o Buku Panduan Hong Kong QURAN ONLINE KABAR JAWA

o o o

Depan > Inilah Islam > Sumber Ajaran Islam

Sumber Ajaran Islam

SUMBER ajaran Islam (Hukum Islam, Syariat Islam) itu ada tiga, yakni Al-Quran, As-Sunnah, dan Ijtihad. Yang pertama dan kedua asalnya langsung dari Allah SWT dan Nabi Muhammad Saw. Sedangkan yang ketiga merupakan hasil pemikiran umat Islam, yakni para ulama mujtahid (yang berijtihad), dengan tetap mengacu kepada Al-Quran dan AsSunnah. 1. Al-Quran Secara harfiyah, Quran artinya bacaan (qoroa, yaqrou, quranan), sebagaimana firman Allah dalam Q.S. 75:17-18.

Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya dan membacanya. Jika Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaan itu. Secara definitif dapat dikatakan, Al-Quran adalah kumpulan wahyu atau firman Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw, berisi ajaran tentang keimanan, peribadahan, dan budi pekerti. Al-Quran merupakan salah satu Kitabullah atau Kitab-Kitab Allah, yakni wahyu-wahyu yang diterima para Nabi/Rasul Allah. Al-Quran adalah mukjizat terbesar Nabi Muhammad Saw, bahkan terbesar pula dibandingkan mukjizat para nabi sebelumnya. Mukjizat para nabi terdahulu lebih bersifat inderawi, yakni bisa diamati dan dilihat langsung oleh indera penglihatan atau lainnya, untuk menampilkan rasa takjub terhadap kaumnya. Kepada Nabi Muhammad Saw, Allah SWT memberikan mukjizat Al-Quran yang kekal abadi sepanjang zaman sehingga dapat disaksikan oleh semua umat manusia dari semua zaman dan tempat sampai akhir nanti[1]. Al-Quran membenarkan Kitab-Kitab sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkan sebelumnya. Tidak mungkin Al-Quran ini dibuat oleh selain Allah. Akan tetapi ia membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang ditetapkannya. Tidak ada keraguan di dalamnya dari Tuhan semesta alam (Q.S. 10:37). Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu Al-Quran itulah yang benar, membenarkan kitab-kitab sebelumnya (Q.S. 35:31). Al-Quran tersusun dalam 114 surat dengan 6.236 ayat, 74.437 kalimat, dan 325.345 huruf[2]. AlQuran diturunkan Allah dalam dua periode: 1. Periode Makkah, yakni selama 12 tahun 13 hari. Ayat-ayatnya disebut Ayat Makiyah. Ayat pertama turun adalah Q.S. Al-Alaq:1-5, ketika Nabi Muhammad berkhalwat di Gua Hira tanggal 17 Ramadhan atau 6 Agustus 610 M yang dikenal sebagai Malam Qadar (Lailatul Qadr). Ayat-ayat yang turun di Makkah disebut Ayat-Ayat Makiyah dengan ciri khas: ayatnya pendek-pendek, ditujukan kepada umat manusia (diawali kalimat Ya Ayuhan Naas, Wahai Manusia), dan berisi hal-hal yang berhubungan dengan tauhid, keimanan, ancaman dan pahala, serta sejarah bangsa-bangsa terdahulu. 1. 2. Periode Madinah, ayat-ayatnya disebut Ayat Madaniyah. Di Madinah pula ayat terakhir turun, yakni Q.S. 5:3, ketika Nabi Saw tengah menunaikan ibadah haji Wada di Arafah (9 Dzulhijjah 10 H/Maret 632 M). Ayat-ayat yang turun di Madinah disebut Ayat-Ayat Madaniyah, dengan ciri khas: umumnya panjang-panjang, ditujukan kepada kaum beriman (diawali dengan Ya Ayuhal Ladzina Amanu,

Wahai Orang-Orang Beriman), dan berisi ajaran tentang hukum-hukum, kemasyarakatan, kenegaraan, perang, hukum internasional, serta hukum antaragama dan lain-lain. Al-Quran dalam wujud sekarang merupakan kodifikasi atau pembukuan yang dilakukan para sahabat. Pertama kali dilakukan oleh shabat Zaid bin Tsabit pada masa Khalifah Abu Bakar, lalu pada masa Khalifah Utsman bin Affan dibentuk panitia ad hoc penyusunan mushaf Al-Quran yang diketuai Zaid. Karenanya, mushaf Al-Quran yang sekarang disebut pula Mushhaf Utsmany. Al-Quran yang merupakan sumber utama ajaran Islam ini benar-benar merupakan kebenaran sejati sebagai pedoman hidup (way of life) manusia. Melalui Al-Quranlah Allah SWT menyatakan kehendak-Nya. Mengikuti tuntunan dan tuntutan Al-Quran berarti mengikuti kehendak-Nya. Itulah sebabnya Allah sendiri yang menjamin keaslian Al-Quran sejak pertamakali diturunkan. Makanya, hingga kini apa yang ada dalam Al-Quran, itu pula yang diterima dan dicatat para sahabat Nabi Saw. Hingga kini isinya masih dalam teks asli, tanpa sedikit pun perubahan, baik dalam jumlah surat, ayat, bahkan huruf. Tidak tercampur di dalamnya ucapan Nabi Muhammad Saw atau perkataan para sahabat, Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Quran dan sesungguhnya Kami tetap memeliharanya (Q.S. 15:9). Salah satu indikasi keaslian al-Quran adalah tidak adanya Quran tandingan karena manusia yang paling cerdas sekaligus paling membenci al-Quran pun tidak akan sanggup membuatnya. Allah SWT sendiri menantangnya. Jika kamu masih ragu-ragu tentang kebenaran apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), silakan kamu membuat satu surat saja yang sama dengannya (al-Quran). Panggilah saksi-saksi (pemuka dan para ahli) kamu (untuk membantumu) selain Allah, sekiranya kamu benar (bisa melakukan hal itu). Jika kamu tidak sanggup membuatnya dan sekali-kali kamu tidak akan sanggup, takutilah api neraka yang kayu bakarnya manusia dan bantu yang disediakan bagi orang-orang kafir (yang menentang kebenaran al-Quran) (Q.S. 2:23-24). Katakanlah: Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk mengadakan yang serupa dengan Al-Quran ini, niscaya tidak mereka akan dapat membuatnya, biarpun sebagian mereka membantu sebagian yang lain (Q.S. 17:88). Ayat pertama yang diturunkan adalah Iqra (bacalah!) yang mengindikasikan kewajiban pertama manusia adalah membaca, baik dengan pancaindera maupun mata hati. Dari ayat pertama itu saja, Al-Quran sudah menunjukkan bahwa ia rahmat dan bimbingan bagi manusia. Membaca adalah jalan untuk memperoleh ilmu. Dengan ilmu itu manusia bisa mengenal baik dan buruk menurut Allah SWT, mengenal dirinya, juga mengenal Tuhannya. Rahasia alam akan tersingkap denan membaca, juga pembentukan kebudayaan termasuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menaklukkan alam.

Allah SWT mewahyukan Al-Quran tidak lain agar menjadi pedoman bagi hidup umat manusia. Dengan pedoman itu, manusia akan menjalani kehidupan ini dengan baik dan benar, sehingga tercipta ketentraman, keharmonisan, dan kebahagiaan hidup. Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian harta dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diamdiam dan terang-terangan. Mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi (Q.S. 35:29). Kewajiban manusia untuk mengimani, membaca, menelaah, menghayati, dan mengamalkan ajaran Al-Quran secara keseluruhan, serta mendakwahkannya (Q.S. Al-Ashr:1-3). Jika kita memang benar-benar beriman kepada Allah SWT atau mengaku Muslim. Membacanya saja sudah berpahala, bahkan kata Nabi Saw satu huruf mengandung 10 pahala, apalagi jika mengamalkannya. Isi Al-Quran meliputi segala hal, mulai soal keimanan atau akidah hingga fenomena alam. AlQuran mengajari manusia bersikap ilmiah atau berdasarkan ilmu (Q.S. 17:36), mendorong manusia melakukan penelitian untuk menyibak tabir alam (Q.S. 10:101), menaklukkan angkasa luar (Q.S. 55:33), mengabarkan prediksi ilmiah tentang rahim ibu (Q.S. Az-Zumar:6), gaya berat atau gravitasi (Q.S. Ar-Rahman:7), pemuaian alam semesta atau expanding universe (Q.S. AdzDzariyat:47, Al-Anbiya: 104, Yasin:38), tentang ruang hampa di angkasa luar (Q.S. AlAnam:125), tentang geologi, gerak rotasi, dan revolusi planet bumi (Q.S. An-Naml:88) dan sebagainya[3]. Allah SWT mengingatkan dalam Al-Quran tentang terbaginya umat Islam kedalam tiga golongan dalam menyikapi Al-Quran (Q.S. Faathir [35]:32). 1. Golongan zhalimu linafsih (menganiaya diri sendiri). 2. Golongan saabiqun bil-khairi (cepat berbuat kebajikan). 3. Golongan muqtashid (pertengahan). Dewan Penerjemah Al-Quran Depag RI (Al-Quran dan Terjemahannya, Depag RI) memaknai ketiga golongan tersebut sebagai berikut: golongan pertama adalah orang yang lebih banyak kesalahannya daripada kebaikannya; golongan kedua adalah orang yang kebaikannya amat banyak dan amat jarang berbuat kesalahan; dan golongan pertengahan adalah mereka yang kebaikannya berbanding dengan kesalahannya. Dapat dikatakan, golongan zhalimu linafsih adalah orang yang mengabaikan Al-Quran sebagai pedoman dalam hidupnya. Disebut menganiaya diri sendiri karena dengan mengabaikan ajaran Allah ia sesat dalam hidupnya, dunia dan akhirat. Ia menolak untuk mengikuti aturan yang sudah jelas akan menyelamatkannya dunia-akhirat. Golongan sabiqun bil-khair adalah mereka yang cepat mengamalkan Al-Quran begitu mereka baca dan pahami. Persis sebagaimana dicontohkan Nabi Saw dan para sahabat. Para sahabat bahkan berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan (fastabiqul khairat) sebagai pengamalan ajaran Al-Quran (Islam).

Sedangkan golongan muqtashid dapat dikatakan parsial dalam pengamalan Al-Quran. Mereka mencampuradukkan antara ibadah dan maksiat, hak dan batil, ajaran Al-Quran dan ajaran di luar Al-Quran. Mereka tentu termasuk orang yang merugi karena Allah memerintahkan agar kita berislam secara totalitas (kaffah). 2. As-Sunnah As-Sunnah disebut juga Al-Hadits. Secara harfiyah (etimologis), Sunnah berarti adat-istiadat (traditions). Secara maknawi (terminologis), Sunnah adalah segala perkataan, perbuatan, dan penetapan Nabi Muhammad Saw. Penetapan (taqrir) adalah persetujuan atau diamnya Nabi Saw terhadap perkataan dan perilaku sahabat. Kedudukan As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam dijelaskan Al-Quran dan sabda Nabi Muhammad Saw. Demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman sehingga mereka menjadikanmu (Muhammad) sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, lalu mereka tidak merasa berat hati terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima sepenuh hati (Q.S. 4:65). Apa yang diberikan Rasul (Muhammad) kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarangnya maka tinggalkanlah (Q.S. 59:7). Kutinggalkan untuk kaliam dua perkara. Kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, selama kalian berpegang kepada keduanya, yakni Kitabullah (Quran) dan Sunnah Rasul-Nya. Berpegangteguhlah kalian kepada Sunnahku dan kepada Sunnah Khulafaur Rasyidin setelahku (H.R. Abu Daud). Sunnah merupakan juru tafsir sekaligus juklak (petunjuk pelaksanaan) Al-Quran. Sebagai contoh, Al-Quran menegaskan tentang kewajiban shalat dan berbicara tentang ruku dan sujud. Sunnah atau Hadits Rasulullah-lah yang memberikan contoh langsung bagaimana shalat itu dijalankan, mulai takbiratul ihram (bacaan Allahu Akbar sebagai pembuka shalat), doa iftitah, bacaan Al-Fatihah, gerakan ruku, sujud, hingga bacaan tahiyat dan salam. Ketika Nabi Muhammad Saw masih hidup, ia melarang para sahabatnya menuliskan apa yang dikatakannya. Kebijakan itu dilakukan agar ucapan-ucapannya tidak bercampur-baur dengan wahyu (Al-Quran). Karenanya, seluruh Hadits waktu itu hanya berada dalam ingatan atau hapalan para sahabat. Kodifikasi Hadits Rasulullah dilakukan pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (100 H/718 M), lalu disempurnakan sistematikanya pada masa Khalifah Al-Mansur (136 H/174 M). Para ulama waktu itu mulai menyusun kitab Hadits, di antaranya Imam Malik di Madinah dengan kitabnya Al-Mutwaththa, Imam Abu Hanifah menulis Al-Fqhi, serta Imam Syafii menulis Ikhtilaful Hadits, Al-Um, dan As-Sunnah.

Berikutnya muncul Imam Ahmad dengan Musnad-nya yang berisi 40.000 Hadits. Ulama Hadits terkenal yang diakui kebenarannya hingga kini adalah Imam Bukhari (194 H/256 M) dengan kitabnya Shahih Bukhari dan Imam Muslim (206 H/261 M) dengan kitabnya Shahih Muslim. Kedua kitab Hadits itu menjadi rujukan utama umat Islam hingga kini. Imam Bukhari berhasil mengumpulkan sebanyak 600.000 hadits yang kemudian diseleksinya. Imam Muslim mengumpulkan 300.000 hadits yang kemudian diseleksinya. Ulama Hadits lainnya yang terkenal adalah Imam Nasai yang menuangkan koleksi haditsnya dalam Kitab Nasai, Imam Tirmidzi dalam Shahih Tirmidzi, Imam Abu Daud dalam Sunan Abu Daud, Imam Ibnu Majah dalam Kitab Ibnu Majah, Imam Baihaqi dalam Sunan Baihaqi dan Syubul Imam, dan Imam Daruquthni dalam Sunan Daruquthni. 3. Ijtihad Ijtihad berasal dari kata ijtahada, artinya mencurahkan tenaga, memeras pikiran, berusaha keras, bekerja semaksimal mungkin. Secara terminologis, Ijtihad adalah berpikir keras untuk menghasilkan pendapat hukum atas suatu masalah yang tidak secara jelas disebutkan dalam AlQuran dan As-Sunnah. Pelakunya disebut Mujtahid. Ijtihad merupakan dinamika Islam untuk menjawab tantangan zaman. Ia adalah semangat rasionalitas Islam dalam rangka hidup dan kehidupan modern yang kian kompleks permasalahannya. Banyak masalah baru yang muncul dan tidak pernah ada semasa hayat Nabi Muhammad Saw. Ijtihad diperlukan untuk merealisasikan ajaran Islam dalam segala situasi dan kondisi. Kedudukan Ijtihad sebagai sumber hukum atau ajaran Islam ketiga setelah Al-Quran dan AsSunnah, diindikasikan oleh sebuah Hadits (Riwayat Tirmidzi dan Abu Daud) yang berisi dialog atau tanya jawab antara Nabi Muhammad Saw dan Muadz bin Jabal yang diangkat sebagai Gubernur Yaman. Bagaimana memutuskan perkara yang dibawa orang kepada Anda? Hamba akan memutuskan menurut Kitabullah (Al-Quran. Dan jika di dalam Kitabullah Anda tidak menemukan sesuatu mengenai soal itu? Jika begitu, hamba akan memutuskannya menurut Sunnah Rasulillah. Dan jika Anda tidak menemukan sesuatu mengenai hal itu dalam Sunnah Rasulullah? Hamba akan mempergunakan pertimbangan akal pikiran sendiri (Ijtihadu bi rayi) tanpa bimbang sedikit pun. Segala puji bagi Allah yang telah menyebabkan utusan Rasulnya menyenangkan hati Rasulullah!

Hadits tersebut diperkuat sebuah fragmen peristiwa yang terjadi saat-saat Nabi Muhammad Saw menghadapi akhir hayatnya. Ketika itu terjadi dialog antara seorang sahabat dengan Nabi Muhammad Saw. Ya Rasulallah! Anda sakit. Anda mungkin akan wafat. Bagaimana kami jadinya? Kamu punya Al-Quran! Ya Rasulallah! Tetapi walaupun dengan Kitab yang membawa penerangan dan petunjuk tidak menyesatkan itu di hadapan kami, sering kami harus meminta nasihat, petunjuk, dan ajaran, dan jika Anda telah pergi dari kami, Ya Rasulallah, siapakah yang akan menjadi petunjuk kami? Berbuatlah seperti aku berbuat dan seperti aku katakan! Tetapi Rasulullah, setelah Anda pergi peristiwa-peristiwa baru mungkin timbul yang tidak dapat timbul selama hidup Anda. Kalau demikian, apa yang harus kami lakukan dan apa yang harus dilakukan orang-orang sesudah kami? Allah telah memberikan kesadaran kepada setiap manusia sebagai alat setiap orang dan akal sebagai petunjuk. Maka gunakanlah keduanya dan tinjaulah sesuatu dan rahmat Allah akan selalu membimbing kamu ke jalan yang lurus![4] Dari kedua keterangan di atas, maka dapat dikatakan bahwa Ijtihad adalah sarana ilmiah untuk menetapkan hukum sebuah perkara yang tidak secara tegas ditetapkan Al-Quran dan As-Sunnah. Persoalannya sekarang, siapa yang berhak melakukan Ijtihad? Pada dasarnya, semua umat Islam berhak melakukan Ijtihad, sepanjang ia menguasai Al-Quran, As-Sunnah, sejarah Islam, juga berakhlak baik dan menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Lazimnya, Mujtahid adalah para ulama yang integritas keilmuan dan akhlaknya diakui umat Islam. Hasil Ijtihad mereka dikenal sebagai fatwa. Jika Ijtihad dilakukan secara bersama-sama atau kolektif, maka hasilnya disebut Ijma atau kesepakatan. Dalam hal penggunaan potensi akal dalam kehidupan beragama, Mujtahid merupakan tingkatan tertinggi, di bawahnya adalah Muttabi dan Muqallid. Muttabi artinya mengikuti fatwa atau ijma secara kritis, yakni berusaha memikirkan, menimbang-nimbang, dan membandingkannya dengan fatwa lain, lalu memilih mana yang dianggap paling benar. Pekerjaan Muttabi disebut Ittiba. Muqallid artinya mengikuti sebuah fatwa apa adanya sebagai hal yang wajib ditaati atau diikuti, dengan tidak menggunakan pertimbangan rasio dan tidak berusaha mengetahui sumber fatwa itu dikeluarkan. Pekerjaan Muqallid disebut Taklid. Pekerjaan demikian tercela dalam ajaran Islam karena Islam mengajarkan penggunaan potensi akal seoptimal mungkin. Para ulama Madzhab yang terkenal dan terbanyak pengikutnya di antara ulama-ulama lain, yakni Imam Abu Hanifah (699 H/767 M), Imam Malik (714 H/798 M), Imam Syafii (767 H/854 M),

dan Imam Ahmad bin Hambal (780 H/855 M) yang dikenal dengan Madzahibul Arbaah (Aliran Empat), melarang umat Islam bertaklid buta kepada mereka: Tidak halal bagi seseorang berpendapat dengan pendapat kami sehingga ia mengetahui darimana sumber pendapat kami itu (Abu Hanifah). Aku ini hanyalah seorang manusia yang mungkin salah dan mungkin benar. Maka koreksilah pendapatku. Segala yang sesuai dengan Quran dan Sunnah, ambillah, dan segala yang tidak sesuai dengan Quran dan Sunnah, tinggalkanlah! (Imam Malik). Apa yang telah kukatakan padahal bertentangan dengan perkataan Nabi, maka apa yang sahih dari Nabi itulah yang lebih patut kamu ikuti. Janganlah kamu taklid kepadaku (La Tuqalliduni)! Jangan kamu taklid kepadaku (La Tuqallid ni)! Jangan pula kepada Malik, jangan kepada Syafii, dan jangan kepada Ats-Tsauri! Ambillah dari sumber mana mereka itu mengambil! (Ahmad bin Hambal).[5] Ada sejumlah metode dalam pelaksanaan Ijtihad, yakni Qiyas, Mashalih Mursalah, Istinbath, Ijma, dan Istihsan[6]. A. Qiyas Qiyas artinya mengukur atau mempersamakan, yakni memperbandingkan atau mempersamakan hukum suatu perkara dengan perkara lain berdasarkan persamaan illah (sebab yang mendasari ketetapan hukum). Misalnya, arak (khamr) diharamkan karena memabukkan (Q.S. 2:219) dan riba diharamkan karena mengandung unsur penganiayaan (Q.S. 2:275). Maka, secara Qiyas, benda dan hal lain pun jika ternyata memabukkan atau mengandung unsur penganiayaan menjadi haram juga. Kaidah Ushul Fiqih menyatakan, Hukum itu berputar menurut illah-nya. B. Mashalih Mursalah. Mashalih Mursalah adalah melakukan hal-hal yang tidak melanggar hukum, tidak dianjurkan Quran dan Sunnah, tetapi sangat diperlukan untuk memelihara kelestarian dan keselamatan agama, akal, harta, diri, dan keturunan. Misalnya, membukukan dan mencetak Al-Quran dan AlHadits; menggaji muadzin, imam, khotib, dan guru agama, serta mengadakan perayaan peringatan Hari-Hari Besar Islam. C. Istinbath Istinbath yaitu menghukumi suatu perkara setelah mempertimbangkan permasalahannya. Misalnya soal riba (pembayaran berlebih atas utang atau pinjaman yang disyaratkan pemberi pinjaman). Bunga pinjaman bank secara istinbath dibolehkan karena pinjaman yang diberikan bersifar pinjaman-produktif. Tidak ada ilat penganiayaan dalam bunga pinjaman itu karena pinjaman yang diberikan adalah bukan pinjaman-konsumtif, tetapi untuk modal usaha atau memperbesar modal perusahaan yang telah berjalan. Kalau pinjaman itu konsumtif, yakni untuk

mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, maka haram hukumnya bunga yang ada dalam pinjaman itu. Namun demikian, ada pula pendapat yang tetap mengharamkan bunga pinjaman-produktif karena tetap mengandung unsur penganiayaan bank tidak mau tahu apakah usaha seseorang itu untung atau rugi. D. Istihsan Istihsan adalah penetapan hukum dengan penyimpangan dari hukum umum kepada hukum khusus untuk mencapai kemanfaatan. Misalnya, menanami tanah wakaf yang diwakafkan untuk pendirian masjid sambil menunggu biaya pembangunan. Hasilnya dijual dan disediakan untuk biaya pembangunan masjid. Contoh lain adalah lupa makan dan minum selagi berpuasa. Hadits menyebutkan, orang yang berbuat demikian dianjurkan meneruskan puasanya, tanpa penjelasan batal-tidaknya puasa orang tersebut. Namun orang yang berwudhu lalu lupa atau tanpa sengaja mengeluarkan angin, ditetapkan batal wudhunya. E. Ijma Ijma adalah kesepakatan para ulama tentang suatu perkara, meliputi:

Ijma Qauli, yaitu para ulama berijtihad bersama-sama atau sendiri-sendiri tentang suatu masalah lalu memutuskan hukum yang sama. Ijma Amali, yaitu kesepakatan yang tidak diucapkan namun tercermin dalam kesamaan sikap dan pengamalan. Ijma Sukuti, yakni menyetujui dengan cara mendiamkan. Ulama tertentu mengetapkan hukum atas suatu perkara dan ulama lain tidak membantahnya.n Al-Qur'an sebagai kitab suci umat Islam adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia hingga akhir zaman (Saba' QS 34:28). Sebagai sumber Ajaran Islam juga disebut sumber pertama atau Asas Pertama Syara'. Al-Quran merupakan kitab suci terakhir yang turun dari serangkaian kitab suci lainnya yang pernah diturunkan ke dunia Dalam upaya memahami isi Al Quran dari waktu ke waktu telah berkembang tafsiran tentang isi-isi Al-Qur'an namun tidak ada yang saling bertentangan.

Al-Qur'an sebagai kitab suci umat Islam adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia hingga akhir zaman (Saba' QS 34:28). Sebagai sumber Ajaran Islam juga disebut sumber pertama atau Asas Pertama Syara'. Al-Quran merupakan kitab suci terakhir yang turun dari serangkaian kitab suci lainnya yang pernah diturunkan ke dunia Dalam upaya memahami isi Al Quran dari waktu ke waktu telah berkembang tafsiran tentang isiisi Al-Qur'an namun tidak ada yang saling bertentangan.

Syariat Islam adalah hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat Muslim. Selain berisi hukum dan aturan, Syariat Islam juga berisi penyelesaian masalah seluruh kehidupan ini. Maka oleh sebagian penganut Islam, Syariat Islam merupakan panduan menyeluruh dan sempurna seluruh permasalahan hidup manusia dan kehidupan dunia ini. Terkait dengan susunan tertib Syariat, Al'quran surat Al Ahzab ayat 36 mengajarkan bahwa sekiranya Allah dan RasulNya sudah memutuskan suatu perkara, maka umat Islam tidak diperkenankan mengambil ketentuan lain. Oleh sebab itu secara implisit dapat dipahami bahwa jika terdapat suatu perkara yang Allah dan RasulNya belum menetapkan ketentuannya, maka umat Islam dapat menentukan sendiri ketetapannya itu. Pemahaman makna ini didukung oleh ayat dalam Surat Al Maidah QS 5:101 yang menyatakan bahwa hal-hal yang tidak dijelaskan ketentuannya sudah dimaafkan Allah. Dengan demikian perkara yang dihadapi umat Islam dalam menjalani hidup beribadahnya kepada Allah itu dapat disederhanakan dalam dua kategori, yaitu apa yang disebut sebagai perkara yang termasuk dalam kategori Asas Syara' dan perkara yang masuk dalam kategori Furu' Syara'.

Asas Syara'

Yaitu perkara yang sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadits. Kedudukannya sebagai Pokok Syari'at Islam di mana Al Quran itu Asas Pertama Syara' dan Al Hadits itu Asas Kedua Syara'. Sifatnya, pada dasarnya mengikat umat Islam seluruh dunia di manapun berada, sejak kerasulan Nabi Muhammad saw hingga akhir zaman, kecuali dalam keadaan darurat. Keadaan darurat dalam istilah agama Islam diartikan sebagai suatu keadaan yang memungkinkan umat Islam tidak mentaati Syariat Islam, ialah keadaan yang terpaksa atau dalam keadaan yang membahayakan diri secara lahir dan batin, dan keadaan tersebut tidak diduga sebelumnya atau tidak diinginkan sebelumnya, demikian pula dalam memanfaatkan keadaan tersebut tidak berlebihan. Jika keadaan darurat itu berakhir maka segera kembali kepada ketentuan syariat yang berlaku.

Furu' Syara'

Yaitu perkara yang tidak ada atau tidak jelas ketentuannya dalam Al'quran dan Al Hadist. Kedudukannya sebagai cabang Syariat Islam. Sifatnya pada dasarnya tidak mengikat seluruh umat Islam di dunia kecuali diterima Ulil Amri setempat menerima sebagai peraturan / perundangan yang berlaku dalam wilayah kekuasaanya.

Anda mungkin juga menyukai