OLEH:
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami panjatkan
puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta inayah-
Nya kepada kami. Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Pendidikan Agama Islam ini
dengan sebuah pembahasan tentang “Meneladani Perjuangan Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wassalam di Madina”.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak
sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak
terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Serta
ucapan terima kasih kepada guru pembimbing pelajaran Pendidikan Agama Islam yang
terhormat Bapak Mohammad Mualif, M.Ag. dimana atas bimbingan beliau kami dapat
menyelesaikan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi
susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima
segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat serta referensi
pembelajaran maupun inpirasi terhadap pembaca.
Penyusun
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................2
DAFTAR ISI...................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................................3
A. Latar Belakang.......................................................................................................................3
B. Rumusan Masalah..................................................................................................................4
C. Tujuan.....................................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................................5
A. Kesimpulan...........................................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................26
A. Latar Belakang
Allah SWT menjadi langit dan bumi beserta isinya. Di langit ada bintang-
bintang, mentari, dan mahkluk angkasa lainnya. Di bumi Allah SWT menciptakan lautan,
gunung, binatang, manusia, dan lain sebagainya.Semua ciptaan Allah tersebut hidup dalam
keteraturan, keharmonisan dan keserasian.
Coba lihat perputaran matahari, planet dan bulan, mereka tetap berjalan pada porosnya.
Tidak berbenturan satu sama lainnya. Seandainya semua itu tidak ada yang mengaturnya tentu
akan hancur, dan bumi pun juga akan musnah. Tetapi semua tidak terjadi. Coba bayangkan
seandainya dibumi tidak ada malam, niscaya daerah kutup akan mencair, volume lautan
meningkat dan lain sebagainya. Seandainya bumi terus-menrus dalam keadaan malam, sinar
mentari tidak ada, suhu bumi berada pada posisi nol derajat celsius sudah dapat dipastikan dunia
akan beku. Dan begitu seterusnya.
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis menfokuskan pembahasan ini pada apa itu
sunnatullah.
B. Rumusan Masalah
Dari pemaparan latar belakang masalah di atas maka rumusan masalahnya adalah
sebagai berikut:
C. Tujuan
A. SUNNATULLAH
1. Pengertian Sunnatullah
Sunnatullâh merupakan istilah dari bahasa arab yang terdiri dari dua kata, yaitu sunnah (
)ﺳﻨﺔdan Allah ()ﻪﻠﻟﺍ. Dengan digabungkannya dua kata tersebut, maka menjadi susunan iḍafiah (
)ﺇﺿﺎﻓﻴﺔ, susunan kata yang terdiri dari kata yang berpredikat sebagai mudlof (kata yang disandari)
dan mudlof ilaihi (kata yang disandarkan). Kata sunnat berkedudukan sebagai mudlof ( )ﻣﻀﺎﻑdan
kata Allah berkedudukan sebagai mudlof ilaihi ( )ﻣﻀﺎﻑﺍﻟﻴﻪnya. Di dalam bahasa arab,
kata sunnat dengan fi'il madli (kata kerja untuk masa lampau) nya sanna ini mempunyai
beberapa arti. Diantaranya adalah, tharīqat (jalan, cara, metode), as-sīrat (peri kehidupan,
perilaku), thabī'at (tabiat, watak), asy-syrī'at (syariat, peraturan, hukum) atau dapat juga berarti
suatu pekerjaan yang sudah menjadi tradisi (kebiasaan).[1]
Sedangkan kata Allah adalah nama bagi Dzat Tuhan Yang Maha Esa, Sang Pencipta dan
Maha Adil, dan Maha Segalanya. Setiap nama Allah mencakup diri-Nya dan juga yang lainnya.
Bersifat hakiki untuk-Nya dan majazi bagi yang lainnya. Di dalamnya terkandung
makna rubūbiyah (ketuhanan) dan seluruh makna itu tercakup di dalamnya.
Lebih lanjut mengenai hal ini, di dalam al-Qur’ān surat al-Hadīd ayat 3 dijelaskan bahwa
Allah adalah Dzat Yang Awal dan Yang Akhir, Yang ẓahir dan Yang Batin, dan Dia adalah Dzat
Maha mengetahui segala sesuatu, meliputi seluruh yang ada di alam semesta ini.
2. Karakteristik Sunnatullah
a. Selalu ada dua kondisi yang saling ekstrem(berlawanan), seperti surga-neraka, benar-salah, baik-
buruk.
c. Selalu terjadi pergantian dan perubahan antara dua kondisi yang saling berbeda, seperti siang-
malam, panas-dingin.
f. Setiap
terjadi kerusakan di alam manusia, Allah mengutus seorang utusan untuk memberi
peringatan atau memperbaiki kerusakan tersebut.[6]
3. Klasifikasi/Sifat Sunnatullah
Bukan terjadi karena kebetulan, akan tetapi terjadi disebabkan adanya ketentuan-
ketentuan baku yang mengatur terjadinya suatu kejadian. Penciptaan alam semesta dan seluruh
makhluk yang ada, termasuk manusia diciptakan bukan untuk main-main (La'b) atau kepalsuan
(Bāthil), penciptaan yang tanpa maksud dan tujuan.
Secara global, aturan-aturan tersebut di bagi ke dalam dua segi, yang pertama adalah
aturan yang semua makhluk hidup tunduk kepadanya dalam eksistensinya sebagai benda, begitu
juga semua kejadian yang dialami oleh benda itu. Tunduk pula keberadaan manusia dengan
segala perkembangannya. Segi aturan pertama ini dialami oleh seluruh makhluk dan benda yang
ada, termasuk manusia. Pergantian siang dan malam, gunung meletus, proses kelahiran dan
Dan yang kedua, aturan yang berhubungan dengan tunduknya manusia pada aturan
sebagai makhluk individu dan sosial. Ketundukan di sini dimaknai sebagai ketundukan manusia
dalam kehidupannya. Baik tingkah laku, baik dan buruknya, kebagiaan dan kesedihannya,
terhormat dan hinanya, kuat dan lemahnya, adzab dan nikmatnya serta segala sesuatunya yang
disesuaikan dengan apa yang telah ditetapkan aturan ini. Di sinilah fungsi adanya syari'at,
dengan kitab suci dan hadits-hadits nabinya, berperan sebagai penjelas. Pembagian ini lebih
disinkronkan dengan tugas dan tanggung jawab manusia sebagai 'Abd (hamba Allah) dan
khalifah di muka bumi.[8]
Dari kedua kategori global tersebut, ada tiga sifat utama Sunnatullāh yang diterangkan di
dalam al-Qur’ān dan dapat ditemukan dalam riset oleh setiap saintis yaitu:
Artinya: Yang kepunyan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai
anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan (Nya), dan Dia telah menciptakan segal
sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukuranya dengan serapi-rapinya. (QS. Al Furqān ayat 2)
Kedua. Immutable, tetap atau tidak berubah. Sebagaimana dikatakan dalam firman Allah
swt, yang artinya :
Artinya, Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu
sebelum(mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah. (QS.
Al-Isra’ayat 77).
Dengan adanya sifat seperti ini, manusia dapat memahami suatu fenomena yang terjadi di
alam ini dengan mengamati relasi-relasi konsisten yang ada di dalamnya. Sehingga memberikan
keyakinan bagi manusia dalam menjalani tugas dan tanggung jawabnya di dalam kehidupan
dunia ini.[10]
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu
(cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh
malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermcam-macam cobaan) sehingga
berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: ”Bilakah datangnya pertolongan
Allah?” ingatlah, sesungguhnnya pertolongan Allah itu amat dekat. (QS. Al-Baqarah ayat 214)
4. Macam-Macam Sunnatullah
a. Sunnatullah qauliyah adalah sunnatullah yang berupa wahyu yang tertulis dalam bentuk
lembaran atau dibukukan, yaitu Al-Qur’an.
b. Sunnatullah
kauniyyah adalah sunnatullah yang tidak tertulis dan berupa kejadian atau
fenomena alam. Contohnya, matahari terbit di ufuk timur dan tenggelam di ufuk barat.
B. TASYRI’ ISLAMI
a. Jalan yang lurus. Terdapat dalam Al-Qur’an surah Al-Jatsiyah (45) ayat 18.
Sebab, syariat Islam sudah sempurna di zaman baginda masih hidup. Sebagaimana
firman Allah SWT,
Sepeninggal Rasulullah, ijtihad para sahabat dan tabi’in praktis tidak ternasuk tasyri’ dalam
arti yang sesungguhnya, melainkan hanya bersifat tausi’i (perluasan) dalam penerapan kaidah-
kaidah kulli (makro) dan mengaplikasikannya dalam masalah-masalah juz’iy (mikro) yang terus
berkembang, meng-istinbat (mendeduksi) hukum dari sumbernya untuk memahami hadis dan
mengqiyaskan pemahamannya.
Dengan begitu, tarikh tasyri’ adalah ilmu yang membahas tentang kondisi fiqh Islam
pada zaman Rasulullah dan seterusnya dengan menentukan fase-fase perkembangan sumber-
sumber syariat dan hukumnya, menjelaskan setiap perubahan yang terjadi berupa naskh
(amandemen), takhshih (pengkhususan), dan tafri’ (penjabaran).Ilmu tarikh tasyri’ juga mengkaji
tentang kondisi para fuqaha’ (ahli fiqih) pada setiap fase (marhalah), menelaah metodologi
meraka dalam menetapkan sebuah hokum serta warisan keilmuan dan ijtihad yang terhimpun
dalam fiqh Islam.[15]
10
Artinya : “Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat dari urusan (agama itu),
maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak
mengetahui.” (Al-Jatsiyah: 18)
Ayat inilah yang menjadi asas atau dasar Tasyri’ dalam Al Qur’an, yang kemudian
berkembang kedalam Hukum Islam lainnya.[16]
Tasyri’ Islami dengan makna istilah yang sudah disebutkan sebelumnya, mencakup
semua jenis hukum yang ditetapkan Allah kepada hambanya yang terdiri dari :
b. Al-Ahkam al-wijdaniyah (hukum-hukum yang berkaitan dengan intuisi/hati), yaitu setiap yang
berkaitan dengan masalah akhlak batin, perasaan jiwa seperti zuhud, wara’, sabar, bijak, iffah,
dermawan, dan yang lainnya. Semua pembahasan ini dijelaskan dalam kitab akhlak dan
tassawuf.
c. Al-Ahkam al-‘amaliyah (hukum-yang berkaitan dengan amal perbuatan), yaitu setiap perbuatan
indrawi/amali seorang hamba seperti shalat, zakat, jual beli, sewa-menyewa, maninggalkan riba,
minuman keras dan mencuri. Semua dijelaskan secara lengkap dalam kitab fiqh.
Para ulama menggunakan dua cara untuk membagi tahapan demi tahapan perkembangan
syariat Islam, diantara mereka ada yang menjadikan pembagian syariat Islam sama seperti
perkembangan manusia dari segi tahapan perkembangan, manusia mengalami zaman kanak-
kanak, dewasa dan zaman tua, demikian juga halnya dengan syariat Islam dalam perkembangan
dan perjalanannya.
Ada juga yang menjadikan pembagian ini dengan melihat aspek perbedaan dan ciri-ciri
utama yang juga mempunyai pengaruh yang besar dalam fiqh, mereka menggunakan cara ini
juga berbeda pendapat tentang jumlah tahapan syariat Islam. Sebagian mengatakan empat fase,
11
Pendapat yang lebih tepat dan kami pilih dari pembagian ini, yaitu pendapat yang
mengatakan ada empat fase sebagai berikut :
1. Fase kelahiran dan pembentukan, merentang sepanjang masa hidup Rasulullah SAW, sehingga
dapat kita istilahkan sebagai fase penurunan dan kedatangan wahyu.
2. Fase pembangunan dan penyempurnaan, mencakup masa sahabat dan tabi’in sampai zaman
pertengahan abad keempat hijriah.
3. Fase kejumudan dan taqlid, mulai dari pertengahan abad keempat sampai abad dua belas hijriah.
4. Fase kebangkitan dan kesadaran, mulai dari abad dua belas hijriah sampai sekarang ini.
Masa kerasulan atau masa hidup Rasulullah saw dapat disebut juga sebagai fase kelahiran
dan pembentukan hukum syariat Islam berdasarkan hal-hal sebagai berikut :
a. Kesempurnan dasar dan sumber-sumber utama fiqh Islam pada masa ini.
b. Setiap syariat (undang-undang) yang datang setelah zaman ini semuanya merujuk
kepada manhaj yang telah digariskan Rasulullah saw dalam meng-istinbat(mengeluarkan)
hukum syar’i.
c. Periode-periode setelah era kerasulan (sepeninggal Rasulullah saw) tidak membawa sesuatu
yang baru dalam fiqh dan syariat Islam, melainkan hanya pada masalah-masalah baru atau
kejadian yang tidak ada di zaman Rasulullah saw.[17]
12
Fase ini dimulai sejak diutusnya Rasulullah saw pada tahun 610 M hingga wafatnya
baginda Rasulullah saw pada tahun kesepuluh hijriah. Jadi, secara keseluruhan fase ini
berlangsung selama dua puluh tiga tahun.
Fase ini bermula ketika Allah swt mengutus nabi Muhammad saw membawa wahyu
berupa Alquran ketika baginda sedang berada dalam Gua Hira pada hari jum’at 17 Ramadhan
tahun ketiga belas sebelum hijriah bertepatan dengan tahun 610 M. Wahyu terus turun kepada
baginda Rasulullah saw di Mekah selama tiga belas tahun dan terus berlangsung ketika beliau
berada di Madinah dan ditempat-tempat lain setelah hijrah selama sepuluh tahun, sampai
Rasulullah saw wafat pada tahun 11 hijriah.
Terkadang wahyu turun kapada Rasulullah saw dalam bentuk Alquran yang merupakan
kalam Allah dengan makna dan lafalnya, dan terkadang dengan wahyu yang hanya berupa
makna sementara lafalnya dari Rasulullah, atau yang kemudian termanifestasikan dalam bentuk
hadis. Dengan dua pusaka inilah perundang-undangan Islam ditetapkan dan ditentukan (Alquran
dan Hadits).
Atas dasar ini, perundang-undangan pada masa Rasulullah mengalami dua periode
istimewa, yaitu periode legislasi hukum syariat di Mekah yang dinamakan perundang-undangan
era Mekah (at-tasyri’ al-makki) dan periode legislasi hukum syariat di Madinah yang kemudian
disebut perundang-undangan era Madinah (at-tasyri’ al-madani).
a. Tasyri’Periode Mekah
Periode terhitung sejak diangkatnya nabi Muhammad menjadi Rasul sampai beliau hijrah
ke Madinah.Periode ini berlangsung selama 10 tahun.
Perundang-undangan hukum Islam pada periode ini lebih focus pada upaya
mempersiapkan masyarakat agar dapat menerima hukum-hukum agama, membeersihkan akidah
dari menyembah berhala kepada menyembah Allah, selain menanamkan akhlak-akhlak mulia
agar memudahkan jiwa untuk dapat menerima segala bentuk pelaksanaan syariat.
Oleh sebab itu, wahyu pada periode ini turun untuk memberikan petunjuk dan arahan
kepada manusia kepada dua arahan utama :
13
2. Membentuk akhlak agar manusia memiliki sifat yang mulia dan menjauhkan sifat-sifat tercela.
Periode ini berlangsung sejak hijrah Rasululah dari Mekah hingga beliau wafat.Periode
ini berlangsung selama 13 tahun.
Perundang-undangan hukum Islam pada periode ini menitikberatkan pada aspek hukum-
hukum praktikal dan dakwah Islamiyah pada fase ini membahas tentang akidah dan akhlak.
Secara umum, semua hukum baik yang berupa perintah atau larangan kepada mukallaf
turun pada fase ini, kecuali hanya sedikit seperti hukum shalat yang diturunkan pada waktu
malam isra’ dan mi’raj satu tahun sebelum beliau hijrah ke Madinah.Selain yang ini berupa
ibadah, muamalah, jinayah, hudud, warisan, wasiat, pernikakan, dan talak semuanya turun pada
fase ini.
Adapun contoh dari ayat-ayat hukum yang turun pada periode Madinah seperti:
1. Peristiwa Martsad Ganawi. Martsad Ganawi adalah utusan Rasulullah sawdari madinah
ke Mekah. Setibanya dia di kota tersebut ia dilamar oleh seorang wanita musyrik yang kaya dan
cantik, namun Martsad Ganawi tidak segera memberikan putusan karena wanita tersebut belum
masuk Islam. Selanjutnya dia melaporkan hal tersebut kepada Nabi dan turunlah hukum tentang
perkawinan antar agama yang melarang perkawinan dengan wanita musyrik begitu juga
sebaliknya perempuan beriman yang dinikahi oleh laki-laki musyrik.[18]
2. Peristiwa janda Sa’ad bin rahi’. Janda ini mempunyai dua orang anakperempuan dan mempunyai
warisan dari suaminya. Menurut kebiasaan orang-orang Arab, mereka tidaklah mendapat apa-apa
dari warisan tersebut dan beralih kepada saudara laki-laki dari Sa’ad. Maka hal ini diadukan
janda sa’ad kepada Nabi saw., dan kemudian turunlah ayat tentang hukum warisan.[19]
3. Turunya ayat Al Qur’an tentang hukum larangan berperang pada bulan-bulan dan tempat-tempat
yang diharamkan oleh Allah SWT, untuk berperang.[20]
Sumber perundang-undangan hukum Islam (tasyri’) pada fase ini terhimpun dalam satu
sumber, yaitu wahyu yang turun kepada Rasulullah dari sisi Allah.
14
Alquran Al-Karim adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad saw
dianggap ibadah membacanya, menjadi penantang dengan surah terpendek darinya, diawali
dengan surah Al-Fatihah dan ditutup dengan Surah An-Nas.
As-Sunnah An-Nabawiyyah adalah setiap yang keluar dari Rasulullah saw, baik berupa
ucapan, perbuatan, atau pengakuan.
As-Sunnah menempati urutan kedua setelah Alquran karena ia menjadi penguat, penjelas,
penafsiran, penambahan terhadap hukum-hukum yang ada dalam Alquran.
As-Sunnah berfungsi sebagai penjelas ayat yang diturunkan global sebagaimana firman
Allah swt : “Dan dirikanlah shalat”. Ini adalah nash global dalam pensyariatan shalat,
sedangkan dari segi waktu, jumlah rakaat, dan rukunnya dijelaskan oleh As-Sunnah dengan
sabda Rasulullah saw :Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat saya shalat.
As-Sunnah juga menjelaskan hukum sesuatu yang didiamkan oleh Alquran, hal ini dapat
dilihat dalam banyak masalah, diantaranya kaharaman menggabungkan (memadu) antara seorang
wanita dengan bibinya (baik dari garis bapak atau ibu). Hal ini dinyatakan Rasulullah saw, dalam
sabda : “Tidak boleh seorang suami memadu antara seorang wanita dengan bibinya (dari garis
bapak) dan juga tidak boleh antara seorang wanita dengan bibinya (dari garis ibu). Ketentuan
ini sebelumnya tidak diterangkan dalam Alquran.
As-Sunnah juga datang sebagai penegas terhadap hokum yang ada dalam Alquran seperti
haramnya mencuri, riba, dan memakan harta orang lain dengan cara bathil.
15
1) Memberikan ketentuan hukum terhadap permasalahan atau kejadian yang muncul atau yang
ditanyakan oleh para sahabat, lalu beliau memberi jawaban terkadang dengan satu ayat atau
beberapa ayat dari Alquran yang memang turun sebagai jawabannya. Sebagaimana firman Allah
swt,
خpَ يَسْأَلُونَ َك َما َذايُ ْنفِقُو ۖنَقُ ْل َماأَ ْنفَ ْقتُ ْم ِم ْن َخي ٍْرفَلِ ْل َوالِ َد ْينِ َواأْل َ ْق َربِينَ َو ْاليَتَا َم ٰى َو ْال َم َسا ِكينِ َوا ْبنِال َّسبِي ۗلِ َو َماتَ ْف َعلُوا ِم ْن
ي ٍْرفَإِنَّاللَّهَبِ ِه َعلِي ٌم
Artinya, “Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah, “apa saja yang
kamu nafkahkan hendaknya diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. ‘Dan apa saja kebaikan
yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya. (QS. Al-Baqarah (2) ayat
215).
2) Terkadang Rasulullah member jawaban dengan ucapan dan perbuatannya, sebagaimana sabda
Rasulullah kepada sebagian sahabat ketika ada yang bertanya, “Kami menyebrangi lautan apakah
kami boleh berwudhu dengan air laut?” Beliau menjawab, “Ia suci airnya dan halal bangkainya.”
6. Ijtihad Nabi
Yang dimaksudkan dengan ijtihad Nabi adalah mengeluarkan hukum syariat yang tidak
ada nash nya. Ulama berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya Rasulullah berijtihad kedalam
kedua kelompok besar :
Artinya, Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya;
ucapannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan. (QS. An-Najm ayat 3-4).
16
Dalil ini disanggah karena hujjah (alasan) yang disebutkan tidak dapat diterima, sebab
kata ganti “huwa” dalam ayat “in huwa illa wahyun yuha” (ucapannya itu tiada lain hanyalah
wahyu yang diwahyukan) kembali kepada Alquran, karena ayat ini turun sebagai jawaban
terhadap ucapan orang kafir yang mengatakan bahwa Alquran adalah rekayasa Muhammad. Ayat
ini turun dengan sebab khusus, sehingga makna yang sesuai adalah bahwa ayat yang dibaca oleh
Muhammad bukan keluar dari hawa nafsu melainkan wahyu dari Allah. Oleh karena itu, ayat
tersebut hanya khusus untuk kasus Alquran, dan tidak dapat digeneralisir pada keseluruhan
ucapan Rasulullah saw.
Seandainya kita sepakat ada makna umum, maka ijtihadnya Nabi saw. Tidak sama
dengan ijtihadnya orang lain karena ia juga akan berakhir dengan wahyu. Karena jika baginda
tepat dalam ijtihadnya, pastilah wahyu akan mengakuinya dan jika salah maka wahyu akan selalu
mengarahkannya.
Kedua, mayoritas ulama ushul mengatakan boleh bagi Rasulullah untuk berijtihad dalam
setiap urusan, Rasulullah boleh berijtihad dalam semua perkara yang tidak ada nash-nya, dalil
mereka ;
Nabi Muhammad diperintahkan untuk berijtihad dengan keumuman firman Allah, “Maka
carilah pelajaran wahai orang-orang yang berakal”.Artinya bandingkan antara kejadian yang
tidak ada hukumnya dengan kejadian yang sudah ada hukumnya jika ada kemiripan antara
keduanya dalam illat dan ini adalah salah satu bentuk ijtihad.
Ada sejumlah riwayat dari Rasulullah saw, yang menjelaskan bahwa beliau diberi hak
memilih dalam beberapa kejadian :
perintahkan mereka untuk bersiwak setiap hendak shalat.” Hadis ini menerangkan bahwa
Rasulullah telah meletakkan satu hukum kepadanya, selain itu hadis ini menjelaskan seandainyan
tidak ada masyaqqah (kesusahan) dalam praktik pelaksanaan siwak setiap jelang shalat pada diri
kaum muslimin, maka pastilah Rasulullah akan memerintahkan mereka untuk bersiwak.
ii. Sabda Rasulullah, “kalau bukan karena kaummu masih dekan dengan zaman kekufuran pastilah
17
Dari sini jelaslah bahwa ijtihadnya Nabi memang telah terjadi dalam perkara yang tidak
ada nash-nya, dan semua ijtihad ini dikelilingi oleh wahyu dari segala sisi, jika Rasulullah salah
dalam salah satu ijtihadnya maka wahyu tidak akan membiarkannya begitu saja, tetapi akan
meluruskannya.
a. Sumber perundang-undangan zaman ini hanya berasal dari wahyu dengan dua bagiannya, baik
yang terbaca yaitu Alquran, ataupun yang tidak terbaca yaitu As-Sunnah/Hadis.
b. Referensi utama untuk mengetahui hukum-hukum syara’ pada zaman ini adalah Rasulullah
SAW sendiri, sebab Allah telah memilihnya untuk menyampaikan risalah.
c. Perundang-undangan Islam pada masa ini telah sempurna hukumnya, telah dikukuhkan kaidah
dan dasarnya sesuai dengan firman Allah dalam surah Al-Maidah ayat 3.
d. Kesempurnaan syariat dapat dilihat dari aspek manhaj yang unik dan metode yang khusus,
dimana kitab Allah dan Sunnah Rasulullah memuat beberapa kaidah dan dasar-dasar yang kokoh
dan membuka pintu ijtihad kepada para ulama untuk mengeksplorasi kembali serta berjalan
diatas behteranya yang memuat produk perundang-undangan yang elastic dan sesuai untuk
segala kondisi dan zaman sehingga sangat mudah bagi para mujahid untuk mengembangkan
kaidah-kaidah umum tersebut dan menerapkannya dalam masalah cabang
berdasarkan illat hukum yang ada sehingga tidak ada satu masalah baru yang muncul kecuali
jawabannya ada dalam kitab Allah.
e. Fiqh Islam dengan pengertian secara terminologinya belum muncul pada zaman ini.
f. Pada masa Rasulullah, jika ada yang bertanya tentang hukum sesuatu maka Rasulullah akan
menjawabnya, dan ketika Rasulullah sedang tidak ada ditempat maka para sahabat akan
berijtihad sendiri, kemudian mengembalikan keputusannya kepada Rasulullah untuk ditetapkan
atau dibatalkan.
18
Fase ini memakan waktu yang sangat panjang, mulai dari tahun 11 hijriah sampai akhir
abad 14 hijriah.Dalam fase ini terdapat 3 tahapan, yaitu 1.Masa Khulafa’ Ar-Rasyidin, 2. Masa
Dinasti Umayyah, 3. Masa Dinasti Abbasiyah. Akan tetapi dalam pembahasan ini, kami hanya
akan menjelaskan mengenai tasyri’ pada masa sahabat saja.
Periode ini dianggap sebagai periode pertama dalam pembentukan fiqh Islam.Periode ini
berawal dari zaman wafatnya Rasulullah pada tahun 11 hijriah sampai akhri zaman khulara’ar
rasyidin pada tahun 40 hijriah.
Setelah hukum-hukum sempurna pada masa kerasulan, lalu pindah ke masa sahabat,
mereka harus memikul tanggung jawab mencari sumber-sumber syariat yang ada agar dapat
menjawab segala perkembangan dan kejadian yang terus berlangsung dan tidak ada nash nya
dalam Alquran atau sunnah.
a. Definisi Sahabat
Adapun yang dimaksud dengan sahabat menurut terminology para ulama fiqh adalah
setiap orang yang pernah bertemu dengan Rasulullah saw, dalam status beriman kepadanya, dan
meninggal dunia dalam keadaan beriman pula.
Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat tentang lamanya interaksi/pergaulan
(shuhbah)dengan Rasulullah dan banyaknya periwayatan Nabi.Sebagian mereka mensyaratkan
seorang sahabat harus bergaul dengan Nabi selama satu atau dua tahun dan pernah berperang
bersama baginda Rasulullah walaupun hanya sekali atau dua kali.
Sebagian ulama ada yang tidak memberikan syarat seperti diatas, sehingga setiap orang
yang bertemu dengan Nabi adalah sahabat, lepas dari apakah ia lama atau sebentar bergaul
dengan Rasulullah, juga apakah ia pernah meriwayatkan hadis dari Nabi atau tidak, pernah
berperang atau tidak bersama beliau. Singkat kata, siapa yang pernah melihat baginda
Rasulullah walaupun tidak sempat duduk bersama beliau juga dinamakan sahabat, termasuk juga
orang yang tidak sempat melihat karena ada kendala seperti buta. Namun, ada ulama yang
memberikan syarat harus melihat pada waktu ia berusia tamyiz.
19
1. Mereka sangat dekat dan bertemu langsung dengan Nabi sehingga memudahkan mereka untuk
mengetahui asbabun nuzul ayat dan hadis. Mereka juga menetahui penafsiran Rasulullah tentang
beberapa ayat selain juga mengetahui illat hukum dan hikmahnya yang hasilnya dapat
memudahkan mereka untuk melakukan qiyas terhadap nash-nash yang ada kemiripan lalu
menetapkan hukumnya.
2. Mereka memiliki tingkat pemahaman yang tinggi terhadap bahasa Arab yang merupakan bahasa
Alquran sehingga mudah untuk memahami makna Alquran sebab diturunkan dengan bahasa
Arab.
3. Mereka menghafal Alquran dan sunnah Rasulullah, menjadi orang pertama yang mempelajari
ilmu syariat dan hukumnya.[22]
1. Perbedaan tingkat pemahaman terhadap bahasa. Ada orang yang paham dengan bahasanya
sendiri, istilah-istilah asing yang ada dan carapemakaiannya, tetapi ada jiga yang tidak bisa.
Misalnya apa yang diriwayatkan oleh Umar bin Khaththab ketika ia membaca firman Allah
dalam khutbahnya, “Átau Allah mengazab mereka menghina (takhawwufin), kemudian Umar
bertanya kapada hadirin tentang maknatakhawwufin, “apa pendapat kalian tentang ayat ini dan
apa arti takhawwufin itu? “Lalu berdirilah seorang yang sudah berusia lanjut dari kabilah Huzail
dan berkata, “ini bahasa kami dan takhawwufin artinya menghina (tanaqqush)”. Umar berkata,
“Apakah orang Arab tahu ini dalam syair mereka?” Ia menjawab,”Ya”, dan diapun menyebutkan
sebuah bait syair untuk meperkuat ucapannya. Umar berkata, “Jagalah syair kalian dan kalian
20
2. Perbedaan dalam hal pergaulan dengan Rasulullah, sebab bergaul dengan Rasulullah
berpengaruh terhadap tingkat pemahaman tentang asbabun nuzul ayat dan sunnah, serta
membuka pikiran untuk memahami makna syariat secara lebih dalam. Oleh karena itu, semakin
banyak seseorang bergaul dengan Rasulullah maka semakin baik pemahamannya.
3. Kemampuan dan kapasitas individu yang berbeda-beda, diantaranya perbedaan dalam hal tingkat
pemahaman, hafalan, mengeluarkan hukum (istinbat), dan kemampuan menerjemahkan isyarat
dari nash-nash syariat.[23]
Sahabat Rasulullah merupakan orang yang pertama kali memikul beban setelah
Rasulullah tiada untuk menjelaskan tentang syariat Islam dan mengaplikasikannya terhadap
segala permasalahan yang muncul. Diantara permasalahan yang muncul ada yang sudah
disebutkan nashnya dan ada yang belum disebutkan hukumnya. Oleh karena itu.Para sahabat
dituntut untuk mengeluarkan hukum (istinbat)dengan metode yang jelas sesuai dengan petunjuk
Nabi sehingga produk hukum yang digunakan tidak kontradiktif.
Hal ini dapat dilihat dalam kitab karya Imam Al-Baghawi, Mashabih As-Sunnah. Dari
Maimun bin Mihran, ia berkata, “Jika ada orang yang berselisih datang kepada Abu Bakar, ia
akan melihat kitab Allah. Jika ia temukan didalamnya apa yang bisa memutuskan perkara
mereka, maka ia akan memutuskan dengannya. Sementara jika tidak ada dalam Kitab Allahdan
ia tahu ada sunnah dari Rasulullah tentang hal itu, maka ia akan memutuskan dengannya.
Kemudian jika tidak ada, Abu Bakar akan keluar menemui kaum muslimin dan berkata, “Ada
yang datang begini dan begitu, apakah kalian ada yang tahu Rasulullah pernah memutuskan hal
itu, atau ada sekelompok sahabat yang berkumpul lalu baginda Rasulullah menceritakan hal itu
kepada mereka?” Jika ia tidak menemukannya juga dalam sunnah Rasulullah, maka ia akan
mengumpulkan para pemimpin (tokoh) dan orang-orang pilihan dan bermusyawarah dengan
mereka. Jika dalam musyawarah tersebut Abu Bakar sudah menyatukan pendapat mereka
tentang sesuatu, maka itulah yang akan menjadi keputusannya.
Demikian juga halnya dengan Umar, ia melakukan apa yang pernah dilakukan Abu
Bakar, jika ia tidak menemukan jawabannya dalam Alquran dan sunnah, ia akan melihat apakah
Abu Bakar pernah memutuskan hal itu? Jika ia menemukan keputusan Abu Bakar, maka ia akan
memutuskan dengan itu, dan jika tidak maka ia akan mengundang para pemimpin kaum, dan jika
mereka sudah bersepakat terhadap sesuatu maka ia akan melaksanakan putusan itu.
21
1. Al-Qur’an
2. As-Sunnah
3. Ijma’
4. Ijtihad (ra’yi)[24]
Kedua, meneliti dalam sunnah Rasulullah jika tidak ada nash dalam kitab Allah. Jika mereka
menemukan nashdalam kitab Allah atau sunnah yang menunjukkan hukumnya, merekapun
berhenti disini dan mencari hukumnya, berusaha memahami kandungannya. Terkadang mereka
sepakat dan terkadang berbeda pendapat yang disebabkan oleh pemakaian bahasa yang berbeda
atau karena kondisi periwayatan.
Ketiga, Ijma’ (kesepakatan bersama), yaitu tidak ada nashdalam kitab Allah atau sunnah
Rasulullah, atau ditemukan namun bersifat global, atau nash nya banyak dan setiap nash member
hukum yang berbeda, atau berupa khabar ahad. Dan diantara manhaj mereka pada waktu
inikhalifah mengundang para sahabat untuk melakukan consensus (ijma’).Jika mereka sepakat,
masalah kemudian dibahas dan saling tukar pendapat, dan jika rapat menyetujui satu pendapat
maka itulah yang akan mereka putuskan dan menjadi sebuah hokum yang pasti dan mengikat,
inilah yang dinamakan ijma’.
22
2. Pada masa ini, Alquran telah dibukukan dan mushaf disentralisasikan yang dengannya kaum
muslimin terhindar dari pertikaian tentang sumber utama bagi syariat Islam yang sebelumnya
mereka terpecah kepada beberapa kelompok.
3. Pada masa ini hadis belum diriwayatkan seperti sekarang, kecuali jika ada keperluan yang
mendesak seperti ingin mengetahui tentang hukum suatu masalah, periwayatan tidak begitu
digemari kecuali pada akhir-akhir zaman ini ketika para sahabat berpencar diberbagai pelosok
negeri yang baru ditaklukkan. Jadi, sunnah pada zaman ini masih terjaga kemurniannya dan tidak
terkontaminasi dengan kebohongan atau penyimpangan karena zaman yang begitu dekat dengan
Rasulullah, dan juga karena para penukilnya adalah para sahabat yang lebih mencintai
Rasulullah daripada dirinya sendiri.
4. Pada zaman ini muncul satu sumber baru bagi perundang-undangan Islam, yaitu ijma’, dan itu
sering terjadi karena memang mudah untuk dilakukan dan semua asbabnya memadai seperti
yang sudah kamu jelaskan.
5. Pada masa ini banyak terjadi ijtihad yang berlandaskan kepada pemahaman tentang illat hukum
baik atau tidaknya.
6. Para sahabat tidak mewariskan fiqh yan tertulis yang dapat dirujuk, namun mereka hanya
mewariskan fatwa dan hukum yang tersimpandalam dada para sahabat dan disampaikan kepada
kita dengan cara periwayatan.[25]
C. Analisis
1. Sunnatullah
Saya jelaskan bahwa di alam ini ada dua sistem: Pertama, sistem yang didesain secara
khusus untuk mengatur jalannya segala wujud, sehingga semuanya berjalan dengan rapi dan
terartur. Ini disebut dengan sunnatullah, sedangkan para ilmuan sering menyebutnya dengan
istilah hukum alam.
Kedua, sistem yang diturunkan melalui wahyu, untuk mengatur dan menuntun
bagaimana manusia hidup di muka bumi sehingga tidak bertentangan dengan tujuan yang telah
Allah swt. tentukan, ini disebut dengan syari’atullah.
23
Dalam hal ini pernah dicontohkan dengan dua tempat. Satunya masjid dan satunya
tempat maksiat. Secara sunnatullah tempat maksiat lebih patuh, yaitu di atas bangunan tersebut
dipasang penangkal petir. Sementara masjid mengabaikan sunnatullah, dengan anggapan bahwa
itu tempat ibadah. Maka tidak perlu diberi penangkal petir. Apa yang terjadi kemudian adalah
bahwa tiba-tiba petir menyambar, masjid itu hancur dan tempat maksiat itu tidak.
Di sini menarik untuk dicatat bahwa hidup di dunia tidak cukup hanya dengan patuh
kepada syariatullah, tetapi juga harus patuh kepada sunnatullah. Islam bukan hanya
ikut syariatullah tetapi juga ikut sunnatullah. Rasulullah saw. Tidak hanya mengajarkan shalat
dan puasa tetapi juga mengajarkan kejujuran dan keadilan, kerapian, kerjakeras, kedisiplinan,
kesungguhan menegakkan hukum (sisi yang kedua ini termasuk sunnatullah).
Dalam kenyataan sehari-hari di tengah umat Islam masih banyak yang tidak mengambil
Islam secara lengkap. Islam hanya diambil sisi syariahnya (baca: ritualnya) saja.
Sementara sunnatullah di lapangan social di abaikan. Kebiasaan korupsi, menipu, sogok
menyogok, tidak jujur dianggap pemandangan yang biasa. Sementara negara-negaramaju,
sangat takut dari kebiasaan seperti ini. Setiap tindakan menipu, sogok-menyogok, korupsi dan
lain sebagainya, sekecil apapun mereka lakukan, maka akan ditindak secara hukum dengan
tegas. Karenanya mereka maju secara keduniaan.
Sementara disisi lain kita menyaksikan orang-orang Islam tidak berdaya. Mereka mati
dipojok masjid, dan tidak bisa memberikan kontribusi bagi kemanusiaan secara luas. Padahal
dalam sejarah Islam, telah terbukti bahwa umat ini pernah memimpin seperempat dunia, dengan
kegemilangan sejarah tak terhingga bagi kemanusiaan. Puncaknya di zaman Umar Bin Khatthab
lalu di zaman Umar bin Abdul Aziz. Pada zaman itu tidak ada seorangpun yang didzalimi. Umar
bin Khaththab pernah mengumumkan bahwa anak bayi dari sejak lahir sampai umur lima tahun,
ditanggung oleh negara. Dan ternyata aturan ini kini dipraktikkan di Amerika.
2. Tasyri’ Islami
24
Dan yang merupakan sumber hukum Islam pada masa Nabi adalah Al Qur’an dan
Sunnah Nabi itu sendiri. Yang menjadi sumber dalam penetapan hukum oleh umat pada saat itu,
baik dari ayat-ayat Al Qur’an yang di turunkan Allah SWT maupun dengan pertanyaan yang di
ajukan oleh umat kepada Nabi kemudian di jawab oleh Nabi dengan berdasar sumber utama.
Namun setelah Nabi wafat, hukum Islam berkembang. Perkembangan ini terjadi karena
keadaan yang semakin berbeda apalagi pasca wafatnya Nabi, para sahabat mendapatkan
kesulitan dalam hal penetapan hukum dan tidak ada lagi Nabi untuk mereka menanyakan tentang
hal permasalahan tersebut, oleh karena inilah maka sumber hukum Islam yang awalnya hanya Al
Qur’an dan Sunah, berkembang/bertambah menjadi Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Ijtihad.
25
A. Kesimpulan
1. Sunnatullāh dapat diartikan sebagai cara Allah memperlakukan manusia, yang dalam arti
luasnya bermakna ketetapan-keteapan atau hukum-hukum Allah yang berlaku untuk alam
semesta.
2. Sunnatullah mempunyai 3 sifat, yaitu pasti, tetap (tidak berubah) dan objektif.
4. Sumber hukum Islam pada masa Nabi adalah Al Qur’an dan Sunnah Nabi itu sendiri.
5. Namun pada perkembangannya setelah Nabi wafat, hukum Islam berkembang. Perkembangan
ini terjadi karena keadaan yang semakin berbeda apalagi pasca wafatnya Nabi, para sahabat
mendapatkan kesulitan dalam hal penetapan hukum dan tidak ada lagi Nabi untuk mereka
menanyakan tentang hal permasalahan tersebut, oleh karena inilah maka sumber hukum Islam
yang awalnya hanya Al Qur’an dan Sunah, berkembang/bertambah menjadi Al Qur’an, Sunnah,
Ijma’ dan Ijtihad.
26
Abdul Karim Zaidan, Sunnatullah dalam Berbagai Aspek Kehidupan,Jakarta, Pustaka Azzam, 2004
Muhammad 'Imaduddin 'Abdurrahim, Islam Sistem Nilai Terpadu, Jakarta, Gema Insani Press, 2002
Syaikh Abdul Qadir Jailani, Fiqih Tasawuf, terj. Muhammad Abdul Ghoffar E. M., Bandung, Pustaka
Hidayah, 2002
27