Anda di halaman 1dari 16

METODOLOGI STUDI HADIST

(Pengertian,fungsi,posisi,selayang pandang,penelitian dan pendekatan hadist)

Makalah Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Pengantar Studi Islam

Dosen Pengampu:

Muhammad Endy Fadlullah, M.Fil.I

Disusun Oleh:

Nayla Na’imatus Salsabila (2023390101859)


Ishfa Nurin Sajidah (2023390101758)
Ubaidul wafi (2023390101796)

Fakultas Tarbiyah
Program Studi Pendidikan Agama Islam
Institut Agama Islam Ibrahimy Genteng Banyuwangi
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat-Nya dan karunia-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah tepat pada waktunya. Pada kesempatan kali ini kami
mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen mata kuliah Pengantar Studi Islam yang
telah membimbing kami untuk menyelesaikan makalah ini. Kami penulis menyadari
bahwa dalam menulis makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun diharapkan dapat membuat makalah ini menjadi lebih baik serta
bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Banyuwangi, 30 Desember 2023

Kelompok 4

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ii

DAFTAR ISI..........................................................................................................iii

BAB I.......................................................................................................................1

PENDAHULUAN..................................................................................................1

A. Latar Belakang...........................................................................................1

B. Rumusan Masalah.....................................................................................1

C. Manfaat.......................................................................................................1

BAB II.....................................................................................................................2

PEMBAHASAN.....................................................................................................2

A. Pengertian hadist.......................................................................................2

B. Fungsi dan Posisinya dalam hadist..........................................................2

C. Selayang Pandang Tokoh-tokoh Ahli Hadist..........................................6

D. Penilitian Hadist.........................................................................................8

BAB III....................................................................................................................11

PENUTUP...............................................................................................................11

A. Kesimpulan.................................................................................................12

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Islam sebagai agama Allah memiliki 2 sumber utama sebagai pedoman, yaitu
Al-Qur’an dan Hadits. Sumber yang kedua, yaitu Hadits merupakan penjabaran dari
sumber yang pertama yang maksudnya masih belum jelas (tersirat), khususnya yang
berkaitan dengan masalah kehidupan umat.Seiring dengan perkembangan kehidupan
umat, ternyata posisi dan fungsi Hadits ini tidak saja dipalsukan, tetapi diingkari oleh
kalangan umat tertentu. Oleh sebab itu, perlu kiranya pengkajian lebih mendalam
mengenai apa itu Hadits dan apakah Hadits yang kita jadikan pegangan itu hadits yang
sahih atau tidak.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan hadist?
2. Apa fungsi dan posisinya dalam islam?
3. Siapakah para tokoh-tokoh ahli hadist?
4. Apa saja kah yang harus dibuat dalam meniliti hadist?
5. Apa saja pendekatan pokok dalam hadist?
C. Manfaat
1. Kita dapat mengetahui apa itu hadist.
2. Kita dapat mengetahui fungsi-fungsinya dan posisinya dalam islam.
3. Kita dapat mengetahui para tokoh-tokoh ahli hadist.
4. Dan kita bisa mengetahui apa yang harus kita meniliti tentang hadist.
5. Kita bisa mengetahui pendekatan pokok dalam hadist.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadist
Kata Hadist secara etimologis berarti komunikasi, cerita, percakapan, baik
dalam konteks agama atau duniawi, atau dalam konteks sejarah atau peristiwa dan
kejadian aktual. Penggunaanya dalam bentuk kata sifat atau adjektiva, mengandung arti
al-jadid, yaitu: yang baharu, lawan dari al-qadim, yang lama. Dengan demikian,
pemakaian kata Hadis disini seolah-olah dimaksudnya untuk membedakannya dengan
Al-Qur’an yang bersifat qadim (Rangkuti, 2018:1).
Ahli hadis dan ahli ushul berbeda pendapat dalam memberikan pengertian
dalam memberikan hadis. Ada yang mendefinisikan hadis dengan “ segala perkataan
Nabi SAW. Perbuatan, dan hal ihwalnya”. Ulama hadis menerangkan bahwa yang
termasuk “hal ihwal” ialah segala pemberitaan tentang Nabi SAW. , seperti yang
berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaannya.
Ahli hadis yang lain menyatakan bahwa hadis merupakan segara sesuatu yang
bersumber dari Nabi SAW. Selain Al-Qur’an yang berupa perkataan, perbuatan, dan
taqrir-nya, yang berkaitan dengan hukum syara’. Yang dimaksud dengan hukum syara’
adalah mengenai tingkah laku manusia yang berkaitan dengan perintah, larangan, dan
pilihan-pilihan yang termuat dalam hukum taklifi.
Menurut Ibn As-Subki sebagaimana dikemukakan oleh Suyuki Ismail, hadis
adalah sabda dan perbuatan Nabi Muhammad SAW (2012:16). Adapun menurut Ibn As-
Subki, taqrir tercakup dalam af’al atau perkataan Nabi. Oleh karena itu, tidak perlu
dinyatakan pada definisinya. Pada umumnya, ulama hadis memberi pengertian bahwa
yang dimaksud dengan hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhamamd SAW, baik berupa perkataan (qauly), perbuatan (fi’ly), ketetapan (qaula),
dan ketetapan (taqriri).
B. Fungsi dan Posisinya dalam islam.
2
Banyak ayat Al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad saw. dengan jelas dan
tegas memerintahkan dan mewajibkan mengikuti dan mengamalkan hadis (segala
sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad saw.). Di antaranya adalah:

1. Firman Allah dalam QS. Al- Maidah:92 :


‫بين‬DD‫الغ لم‬DD‫ولنا الب‬DD‫ا رس‬DD‫اعلموا انم‬DD‫ واطيع هالل وطيع الرسول واحذروا فلن توليتم ف‬Artinya: Dan
ta`atlah kamu kepada Allah dan ta`atlah kamu kepada Rasul(Nya) dan berhati-hatilah.
Jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kewajiban Rasul Kami,
hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.

Berdasarkan ayat dan hadis tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa
kedudukan hadis dalam syariah Islam sebagai landasan hujah dan dalil dalam
menetapkan ajaran-ajaran Islam dan mengamalkannya. Ia menempati tempat ke dua
sesudah Al-Qur’an yang menempati tempat yang pertama dan utama. Hal ini didasarkan
atas perintah Allah untuk mentaati-Nya dan mentaati Rasul-Nya, Muhammad saw.
Serta nilai keorisionalannya. Al-Qur’an adalah qath’Ial-wurud dari Allah, sedangkan
hadis adalah dzanniy al-wurud dari Rasul-Nya.Juga karena Al-Qur’an adalah wahyu
langsung dari Allah kepada Rasul-Nyamelalui Jibril. Dengan demikian, selayaknya
kalau yang berasal dari Allah kedudukannya lebih tinggi dan terhormat dari yang
bersal dari Rasul-Nya(hadis).

Fungsi hadist terhadap al-Qur'an secara umum adalah menjelaskan makna


kandungan al Al-Qur'an atau lil bayan (menjelaskan). Hanya saja penjelasan tersebut
diperinci oleh para ulama ke berbagai bentuk penjelasan. Secara garis besar ada empat
makna fungsi penjelasan (bayan) hadist terhadap al-Qur'an, yaitu sebagai berikut:

1. Bayan at-Taqrir

Bayan at Taqrir disebut dengan bayan at-ta'kid dan bayan al- itsbat, yang
dimaksud dengan bayan ini ialah menetapkan dan memperkuat apa yang telah
diterangkan di dalam al Qur'an." Fungsi hadits dalam hal ini hanya memperkokoh isi
kandungan al Qur'an Sehingga dalam hal ini, hadist hanya seperti mengulangi apa yang
disebutkan dalam al-Qur'an." Sebagai contoh adalah hadits yang diriwayatkan oleh
Muslim dan Ibnu Umar, sebagai berikut:

3
‫ رواه المسلم‬.‫ َو ِإَذ ا َر َأْيُتُم وُه َفَأْفِط ُروا‬،‫" )َفِإَذ ا َر َأْيُتُم الَهالَل َفُصوُم وا‬Apabila kalian melihat (ru'yah) bulan,
maka berpuasalah, juga apabila melihat (ru 'yah) itu maka berbukalah" (HR. Muslim)
Hadist ini men-taqrir Q.S al Baqarah (2): 185:

‫َفَم ن َش ِهَد ِم نُك ُم الَّشْهَر َفْلَيُص ْم ُه‬

"Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka
hendaknya ia berpuasa pada bulan itu."

2. Bayan At-Tafsir

Bayan al Tafsir adalah bahwa kehadiran hadits berfungsi untuk memberikan


rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat al Qur'an yang masih bersifat global(mujmal),
memberikan persyaratan/batasan(faqvid) ayat-ayat al Qur'an yang bersifat mutlak, dan
mengkhususkan (takhsish) terhadap al Qur'an yang masih bersifat umum" Diantara
contoh tentang ayat-ayat al Qur'an yang masih mujmal, baik adalah perintah
mengerjakan shalat, puasa, zakat, disyariatkan jual beli, nikah, qhisas, hudud, dan
sebagainya. Ayat- ayat al Qur'an tentang masalah ini masih bersifat mujmal, baik
mengenai cara mengerjakan, sebab-sebabnya, syarat-syaratnya, atau halangan-
halangannya. Oleh karena itu, Rasulullah Saw, melalui hadistnya menafsirkan dan
menjelaskan seperti disebutkan dalam hadist-hadist berikut:

)‫َص ُّلوا َك َم ا َر َأْيُتُم وِني ُأَص َلي (رواه البخارى‬

"Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku melakukan shalat." (HR al- Bukhari)

Hadits ini menerangkan tata cara menjalankan shalat, sebagaimana Q.S al Baqarah (2):
43:

‫) َو َأِقيُم وا الَّص َلَو َة َو َء اُتوا الَّز َكوَة َو اْر َك ُعوا َم َع الَّراِكِع يَن‬

"Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku 'lah beserta orang- orang yang ruku

3. Bayan at Tasyri

Bayan at tasyri' adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang dapat
tidak didapati dalam al-Qur'an atau dalam al-Qur'an hanya terdapat pokok-pokonya
saja." Dalam hal ini seolah-olah Nabi menetapkan hukum sendiri. Namun sebenarnya
bila diperhatikan apa yang ditetapka oleh Nabi hakikatnya adalah penjelasan apa yang
4
ditetapkan atau disinggung dalam al-Qur'an atau memperluas apa yang disebutkan Allah
secara terbatas. Dalam hal ini sebagai contoh adalah sebuah hadits yang menyatakan
melarang seorang suami memadu istrinya dengan dua wanita bersaudara. Hadist ini
secara dhahir berbeda dengan Q.S an-Nisa' (4): 24, maka pada hakikatnya hadist
tersebut adalah penambahan atau penjelasan dari apa yang dimaksud oleh Allah dalam
firman tersebut.Contoh lain yang adalah menghukum yang tidak bersandar kepada saksi
dan sumpah apabila tidak mempunyai dua orang saksi dan seperti radha'ah (saudara
sepersusuan) mengharamkan pernikahan keduanya, mengingat ada hadist yang
menyatakan, ‫و داود‬DD‫د و اب‬DD‫ َيْح ُر ُم ِم َن الَرَض اَع ِة َم ا َيْح ُر ُم ِم َن الَّنَسِب رواه احم‬Haram karena radha' apa
yang haram lantaran nasab (keturunan). (H. R Ahmad dan Abu Dawud).

Hadist Rasulullah Saw yang termasuk bayan at-tasyri', wajib diamalkan.


Sebagaimana kewajiban mengamalkan hadist-hadist lainnya. Ibnul al Qayyim berkata,
bahwa hadist-hadist Rasul SAW yang berupa tambahan terhadap al Qur'an, merupakan
kewajiban atau aturan yang harus ditaati, tidak boleh menolak atau mengingkarinya, dan
ini bukanlah sikap (Rasul Saw) mendahului al-Qur'an melainkan semata-mata karena
perintah- Nya.

4. Bayan al Nasakh

Ketiga bayan yang pertama yang telah diuraikan di atas disepakati oleh para
ulama, meskipn untuk bayan yang ketiga ada sedikit perbedaan yang terutama
menyangkut definisi (pengertian) nya saja.

Untuk bayan jenis keempat ini, terjadi perbedaan pendapat yang sangat tajam. Ada
yang mengakui dan menerima fungsi hadist hadist sebagai nasikh terhadap sebagian
hukum al Quran dan ada juga yang menolaknya, Kata an-Nasakh dari segi bahasa
memiliki beberapa arti, yaitu al- ibdthal (membatalkan), al jalah (menghilangkan), at
tahwil (memindahkan), atau at- taqyir(mengubah)." Menurut Abu Hanifah bayan tabdil
(nasakh) adalah mengganti sesuatu hukum atau me-nasakh-kannya. Sedangkan Imam
Syafii member definisi bayan nasakh ialah menentukan mana yang di-nasakh-kan dan
mana yang keliatan yang di-mansukh- dari ayat-ayat al-Qur'an yang keliatan
berlawanan.

Salah satu contoh yang biasa diajukan oleh para ulama adalah hadits ‫ ألوصية لوارث‬Tidak

5
ada ahli waris bagi ahli waris Hadist ini menurut mereka me-nasakh isi al Qur'an surat al
Baqarah ayat 180:

‫ُك ِتَب َع َلْيُك ْم ِإَذ ا َحَضَر َأَح َد ُك ُم اْلَم ْو ُت ِإن َتَر َك َخْيًرا اْلَو ِص َّيُة ِلْلَو اِلَد ْيِن َو اَأْلْقَر ِبيَن ِباْلَم ْعُروِف َح ًّقا َع َلى اْلُم َّتِقيَن‬

Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut,
jika ia meninggalkan harta yang banyak berwasiat untuk ibu-ibu dan karib kerabatya
secara ma'ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.

Kelompok yang membolehkan yang membolehkan adanya fungsi nasakh dalam


hadits adalah golongan mu'tazilah, Hanafiyah, dan Mazhab Ibn Hazm Adh-Dhahiri.
Dalam kelompok ini berpendapat bahwa terjadinya nasakh ini karena adanya dalil syara'
yang datang dan mengubah suatu hukum ketentuan yang terdahulu, karena yang terakhir
dipandang lebih luas dan lebih cocok dengan nuasanya. Dalam hal ini tentunya
ketidakberlakuan suatu hukum harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, terutama
syarat ketentuan nasakhi dan mansukh.

Sementara yang menolak naskh jenis ini adalah Imam Syafi'I dan sebagian besar
pengikutnya, meskipun naskh tersebut dengan hadist yang mutawatir. Kelompok lain
yang menolak adalah sebagian besar pengikut mazhab Zhahiriyah dan kelompok
Khawarij.
C. Selayang pandang tokoh-tokoh ahli hadist.
1. Imam Bukhori (194-256 H)
Imam Bukhari sering disebut sebagai amir al-mukminin atau penghulunya Umat
Islam dalam perkara hadis. Bahkan, di kalangan para ahli hadis sendiri, beliau didaku
sebagai imam atau pemimpin para ahli hadis dan maha guru dari segenap penghapal
hadis di masanya.Imam Bukhari mempunyai nama lengkap, Abu ‘Abdillah
Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju’fiy. Beliau
dilahirkan apada hari Jum’at pada tanggal 13, bulan Syawwal, tahun 194 H, di Bukhara.
Nama al-Ju’fiy merupakan sebutan nasab perwalian kakek buyutnya ketika masuk Islam
di hadapan al- Yaman al-Jahfiy, sementara ayah dari kakek buyutnya sendiri diketahui
tetap memeluk agama Majusi hingga akhir hayatnya. Dalam menyusun himpunan hadis
shahih-nya itu, beliau amat mengutamakan kehati-hatian dan kecermatan. Sampai-
sampai beliau shalat dua rakaat terlebih dahulu setiap kali meneliti satu hadis, sehingga
beliau yakin bahwa hadis yang tengah ditelitinya itu benar-benar mempunyai kualitas
6
shahih. Dari sejumlah 600.000 hadis yang ditelitinya, menurut Ibn Hajar al-‘Asqalany,
hanya sebanyak 7.397 hadis (dengan pengulangan disana-sini, namun minus hadis
yang masuk kategori muallaq, muttabi’, dan mauquf) yang beliau masukan dalam
himpunan al-Jami’ al-Shahih-nya. Jika tanpa pengulangan, jumlah hadis dengan matan
yang bersambung berjumlah sebanyak 2.602 hadis. Jika dihitung secara
keseluruhan, al-Jami’ al-Shahih memuat: 159 hadis berkategori muallaq; 7.397 hadis
berkategori shahih dengan pengulangan disana-sini; 1.341 hadis berkategori ta’liq
(yang terkenal sebagai ta’liq al-Bukhari); dan 344 hadis dengan kategori muttabi’,
sehingga keseluruhannya berjumlah 9.072 hadis. Lepas dari itu, jika diperhatikan secara
seksama, betapa Imam Bukhari begitu ketat dan serius dalam mempersiapkan kitab
hadis shahih-nya itu. Sebab dengan begitu, beliau tak kurang menyisihkan 590.000 hadis
yang pernah ditelitinya.
2. Imam Muslim (206-261 H)
Imam Muslim merupakan salah satu imam hadis yang punya reputasi tinggi
sepanjang jaman. Beliau mempunyai nama lengkap: Abu al-Husain Muslim bin al-
Hajaaj bin Muslim bin Ward ibn Kuusyaadz al-Qusyairiy an-Naisaabuuriy. Lahir di
Naisabur pada tahun 206 (ada pula yang mengatakan pada tahun 204), Imam Muslim
sudah sejak kecil mulai belajar hadis. Kesempatan untuk kali pertama mendengar
(sima’) hadis dialami beliau di usia masih belia pada tahun 218 H, atau ketika beliau
berumur 12 tahun.
Imam Muslim, sebagaimana Imam Bukhari tidak menyatakan secara eksplisit
syarat-syarat hadis yang bisa masuk kompilasi kitab shahih-nya. Namun, dari
pengamatan para ahli, dengan melihat strukturnya, hal itu bisa diketahui, yaitu: beliau
tidak men-takhrij (memasukkan hadis), kecuali dari para periwayat yang ‘adil dan
dhabit, yang kejujuran dan kepercayaan mereka dapat diyakini; punya kemampuan
hapalan yang baik; tidak pernah punya kekeliruan, sebagaimana diriwayatkan oleh
orang-orang sebelumnya. Imam Muslim memang tidak menerapkan kriteria ketat
sebagaimana Imam Bukhari, dalam hal ini beliau agaknya lebih longgar menetapkan
kriteria dalam mengambil periwayat dari thabaqat tertentu, sebagaimana contoh tentang
murid-murid Imam al-Zuhry.
3. Imam Abu Dawud (202-275 H)
Imam Abu Dawud as-Sijistaaniy, atau lengkapnya Sulaimaan bin al-Asy’ab bin

7
Ishaaq ibn Basyiir bin Syadaad bin ‘Amr al-Azdiy as-Sijistaaniy, lahir pada 202 H.
Sejak kecil, Imam Abu Dawud dikenal sebagai anak yang amat mencintai ilmu dan
senang bergaul dengan para ulama. Sehingga belum sampai dewasa dari usianya, beliau
banyak melakukan pengembaraan intelektual, khususnya di kampung halamannya
sendiri, yakni Sijistan (sebuah kampung di Bashrah). Beliau dikenal sebagai ulama yang
mengamalkan ilmunya (ulama al-‘amilin), yang sering disebandingkan dengan Imam
Ahmad bin Hanbal, yang juga merupakan gurunya. Sifat rendah hati, kerap menjadi
penengah, dan figur yang selalu menjaga kehormatan diri, kerapa dilektakan kepada
beliau. Selain itu, beliau juga dikenal sebagai orang yang berpembawaan tenang.
Dalam menyusun kitab hadisnya, Imam Abu Dawud menempuh cara berbeda
dari para ulama hadis lainnya yang menyusun kitab berdasakan susunan al-jami atau al-
musnad, yang keduanya biasanya memuat kompilasi hadis yang secara tematik meliputi
permasalahan keutamaan ibadah (fadhail al- a’mal), kisah-kisah (al-qashash), nasehat-
nasehat (al- mawaa’izh), budi pekerti (al-adaab), tafsir (at-tafsir), dan sebagainya.
Berbeda dengan itu, Imam Abu Dawud menyusun kitab hadisnya berdasarkan susunan
as-sunan, yakni kompilasi hadis yang disusun berdasarkan muatan urutan hukum fiqh,
dimana bukan hanya memasukkan hadis shahih tapi juga hadis-hadis yang berkualitas
hasan dan dhaif (beliau tak lupa juga memberi penjelasan dan catatan khusus sebagai
peringatan jka ada sebuah hadis yang kualitasnya dhaif sekali dalam kitab as-Sunan-
nya).
D. Penelitian Hadist
Kata penelitian yang berasal dari kata teliti yang artinya cermat, seksama, hati-
hati, memiliki arti kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis dan penyajian data yang
dilakukan secara sistematis dan objektif untuk memecahkan suatu persoalan atau
menguji suatu hipotesis untuk mengembangkan prinsip-prinsip umum. Sedangkan Moh.
Nazir mengungkapkan bahwa penelitian adalah terjemahan dari kata Inggris research.
Penelitian merupakan suatu metode untuk menemukan kebenaran, sehingga penelitian
juga merupakan metode berpikir kritis.
Terdapat beberapa faktor yang menjadikan penelitian hadis berkedudukan sangat
penting. Menurut Syuhudi Ismail faktor- faktor tersebut adalah:
1. Hadis Nabi sebagai salah satu sumber ajaran islam. Kita harus memberikan perhatian
yang khusus karena hadis merupakan dasar hukum kedua setelah al Qur’an dan kita

8
harus meyakininya.
2. Tidaklah seluruh hadis tertulis pada zaman Nabi. Nabi pernah melarang sahabat
untuk menulis hadis, tetapi dalam perjalanannya ternyata sangat dibutuhkan untuk
membukukan hadis.
3. Telah timbul berbagai masalah pemalsuan hadis.
4. Proses penghimpunan hadis memakan waktu yang cukup lama, karena itu
dibutuhkan penelitian hadis sebagai upaya kewaspadaan dari adanya hadis yang tidak
bisa dipertanggung jawabkan.
5. Jumlah kitab hadis yang banyak dengan model penyusunan yang beragam.
6. Telah terjadi periwayatan hadis secara makna, hal ini dikhawatirkan adanya
keterputusan sumber informasinya.
Langkah-langkah penelitian hadits:
1. Malakukan Takhrij al-Hadits
Pengertian Takhrij menurut Bahasa berasal dari kata ‫ خرج‬yang berarti “Tampak” atau
“Jelas”. Takhrij adalah berkumpulnya dua perkara yang saling berlawanan dalam satu
persoalan , namun secara mutlak, ia diartikan oleh para ahli bahasa adalah dengan arti “
mengeluarkan” (al-istinbath), “melatih “ atau “membiasakan” (al-Tadrib) dan
“menghadapkan” (al-Taujih)
2. Melakukan I’tibar al-Sanad ( al-I’tibar)
Menurut istilah ilmu hadits, al-i'tibar berarti menyertakan sanad-sanad yang lain untuk
suatu hadits tertentu, yang hadits itu pada bagian sanadnya tampak hanya terdapat
seorang periwayat saja; dan dengan menyertakan sanad-sanad yang lain tersebut akan
dapat diketahui apakah ada periwayat yang lain ataukah tidak ada untuk bagian sanad
dari sanad hadits dimaksud.
3. Melakukan Naqd al-Sanad (Tahqiq al-Sanad)
Penelitian sanad atau populer disebut kritik (Naqd) sanad dimaksud untuk mendukung
penelitian Hadits dengan tujuan utamanyamenilai dan membuktikan secar historis
bahwa apa yang disebut sebagai hadits itu memang benar dari Rasulallah.Adapun
bagian hadits yang diteliti adalah matan (naqd al-matn) dan sanadnya (naqd al-Sanad)
kritik sanad merupakan tela’ah atas prosedur periwayatan Hadits melalui jalur sanad
dari sejumlah perawi yang secara runtut menyampaikan matan-matan Hadits hingga
perawi terakhir. Kreteria kritik Sanad:

9
a. Sanad bersambung.
b. Perawi bersifat adil
c. Perawi bersifat Dhabit
d. Terhindar dari Syadz
e. Terhindar dari ‘Illat (Sumbulah., 2010:184-186)
4. Melakukan Naqd al-Matn (Tahqiq al-Matn)
Sebagai langkah terakhir adalah penelitian terhadap matan Hadits, yaitu menganalisis
matan unutk mengetahui kemungkinan adanya ‘illat dan syudzudz padanya. Langkah
inin dapat dikatakan sebbagai langkah yang paling berat dalam penelitina suatu Hadits,
baik teknik pelaksanaannya maupun aspek tangggung jawabnya. Hal itu karena
kebnyakan pengalaman suatu Hadits justru lebih bertanggng pada hasil analisis
matannya dari pada penelitian sanad .
5. Mengambil kesimpulan (al-Natijah)
Pada kesimpulan akhir hadits terbagi menjadi tiga bagian: 1. Shahih 2. Hasan 3. Dho’if.
Dari ketiga Hadits tersebut dapat ditemukan keberadaan suatu hadits unutk dijadikan
landasan beribadah.
E. Pendekatan pokok dalam studi hadist
1. Pendekatan Linguistic (bahasa)
Pendekatan bahasa dalam upaya mengetahui kualitas hadis tertuju pada beberapa objek:
Pertama, struktur bahasa, artinya apakah susunan kata dalam matan suatu hadis yang
menjadi objek penelitian sesuai dengan kaedah bahasa Arab atau tidak?
Kedua, kata-kata yang terdapat dalam matan hadis, apakah menggunakan kata-kata yang
lumrah dipergunakan dalam bahasa Arab pada masa Nabi Muhammad saw atau
menggunakan kata-kata baru yang muncul dan dipergunakan dalam literature Arab
modern?
Ketiga, matan hadis tersebut mestilah menggambarkan bahasa kenabian.
Keempat, menelusuri makna kata tersebut ketika diucapkan oleh Nabi saw. sama makna
yang dipahami oleh pembaca atau peneliti (H. A. Saman 2004:76)
2. Pendekatan Historis
Salah satu langkah yang dilakukan muhadditsin untuk melakukan penelitian matan hadis
adalah mengetahui peristiwa yang melatarbelakangi munculnya suatu hadits (asbab al-
wurud al-hadis). Mengetahui asbab al-wurud mempermudah memahami kandungan

10
hadis. Dengan asbab al-wurud al- hadits.dalam melakukan kritik hadits yang diketahui
memakai asbab wurud, maka akan sangat membantu untuk memahami maksud hadis.
Oleh karena itu, tema pembahasan ini dinamakan pendekatan sejarah ( H.A Saman
2004:85)
3. Pendekatan Sosiologis
Pemahaman terhadap hadis dapat juga menggunakan pendekatan sosio- historis.
Keadaan sosial kemasyarakatan dan tempat serta waktu terjadinya, memungkinkan
utuhnya gambaran pemaknaan hadis yang disampaikan, dimana dan untuk tujuan apa ia
diucapkan, sekiranya dipadukan secara harmoni dalam suatu pembahasan. Oleh karena
itu, pendekatan ini dapat dimanfaatkan sehingga diperoleh hal-hal yang bermanfaat
secara optimal dari hadis yang disampaikan sehingga maksud hadis benar-benar menjadi
jelas dan terhindar dari berbagai perkiraan yang menyimpang (Soebahar, 2003:244).

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hadits merupakan penjabaran dari sumber yang pertama yang maksudnya masih
belum jelas (tersirat), khususnya yang berkaitan dengan masalah kehidupan umat. Kata
Hadist secara etimologis berarti komunikasi, cerita, percakapan, baik dalam konteks
agama atau duniawi, atau dalam konteks sejarah atau peristiwa dan kejadian aktual.
Kedudukan hadis dalam syariah Islam sebagai landasan hujah dan dalil dalam
menetapkan ajaran-ajaran Islam dan mengamalkannya. Ia menempati tempat ke dua
sesudah Al- Qur’an yang menempati tempat yang pertama dan utama. Hal ini
didasarkan atas perintah Allah untuk mentaati-Nya dan mentaati Rasul-Nya,
Muhammad saw. Serta nilai keorisionalannya. Terdapat beberapa faktor yang
menjadikan penelitian hadis berkedudukan sangat penting. Menurut Syuhudi Ismail
faktor-faktor tersebut adalah: Hadist Nabi sebagai salah satu sumber ajaran islam,
penghimpunannya memakan waktu yang cukup lama, jumlah kitab hadist yang banyak
dengan model penyusunan yang beragam, telah terjadi periwayatan hadist secara makna.
11
Langkah-langkah penilitian hadist: melakukan takhrij, i’tibar al-sanad, naqd al-sanad,
naqd al- matan, mengambil kesimpulan.dengan pendekatan pokok studi hadist yaitu :
pendekatan linguistik (bahasa), histiris, sosiologi.

12
DAFTAR PUSTAKA

Umi Sumbulah, 2010. Kajian Kritis Ilmu Hadits, Malang:Uin-Maliki Pres.


H. A. Saman, 2004.Metodologi Kritik Hadits, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Rangkuti dan Ginting, 2018. Hadis Civilitation, Medan:Manhaji.
H.M Erfan Soebahar, 2003.Menguak Keabsahan Al-Sunnah Kritik Mushtafa al-Siba’I
Terhadap Pemikiran Ahmad Amin Mengenai Hadits dalam Fajr al- Islam,
Bogor:Fajar Interpratama
Fikri, Hamdani Khairul. Fungsi Hadits Terhadap Al-Quran. Tasamuh 12.2 (2015): 178-
188.
Fikri, H. K. (2015). Fungsi Hadits Terhadap Al-QurAn. Tasamuh, 12(2), 178-188.
Fikri, Hamdani Khairul. Fungsi Hadits Terhadap Al-QurAn. Tasamuh, 2015, 12.2: 178-
188.
Mustofa Hasan, 2012. Ilmu Hadis, Bandung: Pustaka Setia.
Nuur al-Diin ‘Itr, 1994. Uluum al-Hadiits, Bandung: Remaja Rosdakarya.

13

Anda mungkin juga menyukai