Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

HADIST PADA ZAMAN NABI DAN SAHABAT


Dosen pengampu :
( Dr. H. Syamsu Syauqani, Lc., M.A. )

Disusun oleh:
Neny Wahyuni (230603023)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM


FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA
PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
2024/2025
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah mata kuliah Ulumul
Hadis yang membahas tentang Hadis Pada Zaman Nabi Dan Sahabat.
Dalam upaya penyelesaian makalah ini kami telah banyak mendapatkan bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu kami ucapkan ribuan terimakasih kepada para
pembiming kami dosen mata kuliah Ulumul Hadis dan sahabat-sahabatku tercinta yang telah
membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Terlepas dari semua ini, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran dan kritik agar kami dapat memperbaruhi makalah kami. Akhir kata kami
berharap semoga makalah kami tentang Hadis Pada Zaman Nabi Dan Sahabat ini dapat
memberikan manfaat serta pengetahuan baru.

Mataram, 20 Maret 2024


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ 2

DAFTAR ISI ...................................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 4

A. Latar Belakang ............................................................................................................. 4


B. Rumusan Masalah ........................................................................................................ 5
C. Tujuan Masalah …........................................................................................................ 5

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................... 6

A. Pengertian Dan Fungsi Hadist ........................................................................................ 6


B. Hadist Pada Zaman Nabi ................................................................................................ 7
Hadist Pada Zaman Sahabat...........................................................................................
10

BAB III PENUTUP ............................................................................................................ 14

A. Kesimpulan.................................................................................................................... 14

B. Kritik dan Saran ............................................................................................................ 14

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 15


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Muṣtafā al-Sibā‘i, dalam bagian awal disertasinya yang kemudian diterbitkan menjadi
buku berjudul al-Sunnah wa Makānatuhā fī al-Tasyrī‘ al-Islāmī, menyebutkan bahwa ayat-ayat
Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dalam bentuk global (mujmalah). Ia memberi
contoh bahwa perintah salat, di dalam Alquran, tidak menyebutkan berapa jumlah rakaat,
bagaimana bentuk pelaksanaannya, dan kapan-kapan saja waktunya. Begitu juga dengan perintah
zakat yang tidak disertai penjelasan mengenai batas-batas minimal (al-ḥad al-adnā) suatu harta
yang wajib dikeluarkan zakatnya. Hal ini berdampak keharusan para sahabat untuk merujuk
langsung kepada Rasulullah saw agar mengerti perihal hukum-hukum yang terkait dengan ayat-
ayat global dimaksud. Begitu juga dengan peristiwa-peristiwa yang tidak ditetapkan oleh ayat-
ayat Alquran, maka penjelasan mengenainya adalah dari keterangan dan penjelasan Rasulullah
saw. karena beliau adalah orang yang paling tahu (adrā al-khalq) atas maksud-maksud yang
terkandung dalam syariat, baik batas-batasnya, bentuk pelaksanaannya, maupun tujuan
terpenting darinya.

Selain itu, Alquran sendiri sejatinya telah memerintahkan untuk mentaati dan mengikuti
Rasul, karena Ia merupakan sosok yang mempunyai akhlak yang terpuji, dan semestinya menjadi
panutan dan teladan bagi ummatnya. Bahkan untuk mempelajari segala sesuatu yang dating dari
Rasul–selain Alquran–berupa perkataan, perbuatan, penetapan (taqrīr), sifat-sifat (khalqiyah am
khuluqiyah) dan sejarah perjalanan hidup beliau (qabla ‘ām ba‘da bi‘ṡah seperti taḥannuṡ di gua
hirā’), yang itu merupakan definisi Hadis, dan juga ilmu-ilmu lainnya, adalah termasuk perintah
dari Allah, yang menjadi pembeda antara orang yang berilmu dan yang tidak berilmu, serta
mendapat ganjaran berupa lebih tinggi beberapa derajat ketimbang yang tidak mengetahui. 1

1
file:///C:/Users/ASUS/Downloads/441-Article%20Text-1003-1-10-20180723.pdf ( di akses 22 februari 2024 )
A. Rumusan Masalah
1. Menjelaskan Pengertian Dan Fungsi Hadist
2. Menjelaskan Hadist Pada Zaman Nabi
3. Menjelaskan Hadist Pada Zaman Sahabat
B. Tujuan Masalah
1. Untuk Mengetahui Pengertian Dan Fungsi Hadis
2. Untuk Mengetahui Hadist Pada Zaman Nabi
3. Untuk Mengetahui Hadist Pada Zaman Sahabat
BAB II

PEMABAHASAN

A. Pengertian Dan Fungsi Hadist


1. Pengertian Hadist

Hadits adalah satu dari 4 sumber hukum Islam yang disepakati para ulama. Hadits
menjadi rujukan bagi umat muslim untuk menjelaskan hukum-hukum yang terdapat dalam Al
Quran. Dikutip dari buku Memahami Ilmu Hadits oleh Asep Herdi, secara etimologis hadits
dimaknai sebagai jadid, qarib, dan khabar. Jadid adalah lawan dari qadim yang artinya yang baru.
Sedangkan qarib artinya yang dekat, yang belum lama terjadi. Sementara itu, khabar artinya
warta yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada yang lainnya.
Secara terminologis, hadits dimaknai sebagai ucapan dan segala perbuatan yang dilakukan Nabi
Muhammad SAW. Sedangkan secara bahasa, hadits berarti perkataan, percakapan, berbicara.
"Segala ucapan, segala perbuatan, dan segala keadaan atau perilaku Nabi Muhammad SAW,"
tulis Asep dalam bukunya seperti dikutip pada Senin (31/5/2021). Definisi hadits dikategorikan
menjadi tiga, yaitu perkataan nabi (qauliyah), perbuatan nabi (fi'liyah), dan segala keadaan nabi
(ahwaliyah). Sebagian ulama seperti at-Thiby berpendapat bahwa hadits melengkapi sabda,
perbuatan, dan taqrir nabi. Hadits juga melengkapi perkataan, perbuatan, dan taqrir para sabahat
dan Tabi'in. Hadits memiliki makna yang relatif sama dengan sunnah, khabar, dan atsar. Hanya
saja penyebutannya bisa disamakanatau dibedakan.2

2. Fungsi hadits

Terdapat 4 macam fungsi hadits terhadap Al Quran yang ditetapkan oleh ulama Atsar,
sebagai berikut:

1. Bayan at-Taqrir

2
https://news.detik.com/berita/d-5588482/pengertian-hadits-menurut-bahasa-fungsi-dan-kedudukannya ( di
akses 22 februari 2024 )
Bayan at-Taqrir disebut juga dengan bayat at-Ta'kid dan bayan at-Isbat. Dalam hal ini
hadits berfungsi untuk menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan dalam Al
Quran.
2. Bayan at-Tafsir
Fungsi hadits sebagai bayan at-Tafsir yaitu memberikan rincian dan tafsiran terhadap
ayat-ayat Al Quran yang masih mujmal (samar atau tidak dapat diketahui), memberikan
pesyaratan ayat-ayat yang masih mutlak, dan memberikan penentuan khusus ayat-ayat
yang masih umum.
3. Bayan at-Tasyri
Bayan at-Tasyri adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran yang tidak didapati dalam
Al Quran. Fungsi ini disebut juga dengan bayan za'id ala al kitab al-karim.
4. Bayan an-Nasakh
Secara bahasa, an-naskh memiliki arti yang beragam, di antaranya al ibtal
(membatalkan), al ijalah (menghilangkan), at tahwil (memindahkan) atay at taqyir
(mengubah). Adapun yang disebut dengan bayan an nasakh adalah adanya dalil syara'
(yang dapat menghapuskan ketentuan yang telah ada) karena datangnya dalil berikutnya.

Menurut jumhur ulama, kedudukan hadits menempati posisi kedua setelah Al Quran.
Ditinjau dari segi wurud atau tsubutnya Al Quran bersifat qath'i (pasti) sedangkan hadits bersifat
zhanni al wurud (relatif) kecuali yang berstatus mutawatir (berturut-turut).

B. Hadist Pada Zaman Nabi


1. Pada Masa Nabi Muhammad SAW.

Hadis pada masa ini dikenal dengan Ashr al-Wahy wa al—Takwin, yakni masa turun
wahyu dan pembentukan masyarakat Islam. Keadaan seperti ini sebenarnya menuntut dengan
serius dan kesangat hati-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama jaran Islam. Wahyu yang
diturunkan Allah dijelaskan Nabi melalui perkataan, perbuatan, dan taqrirnya. Sehingga apa yang
didengar dan disaksikan oleh para sahabat itu adalah pedoman bagi amaliah dan ubudiah mereka.
Rasulullah Saw pun memerintahkan kepada para sahabatnya agar untuk menghafal,
menyampaikan dan menyebar luaskan hadis-hadis. Para sahabat pun sebenarnya dapat secara
langsung memperoleh suatu hdis yang dari Rasulullah SAW sebagai sumber hadis. Tempat yang
dijadikan Nabi dalam menyampaikan sebuah hadis sangat fleksibel, terkadang hadis yang
disampaikan ketika Nabi bertemu dengan sahabatnya di Masjid, pasar, ketika dalam perjalanan,
dan terkadang pula juga di rumah Nabi nya sendiri. Selain itu bahkan ada beberapa cara
Rasulullah Saw dalam menyampaikan hadis kepada para sahabatnya, yakni: Pertama, melalui
majlis ilmu, yakni tempat pengajian yang diadakan oleh Nabi Muhammad Saw untuk membina
para jama’ahnya. Kedua, dalam banyak kesempatan Rasulullah juga telah menyampaikan
hadisnya melalui para sahabat tertentu, yang memang kemudian disampaikan kembali kepada
orang lain. Ketiga, melalui ceramah, pidato atau siraman rohani ditempat yang terbuka, misalnya
ketika Haji Wada’ dan fath al-Makkah. Selain itupun adanya larangan dari Nabi untuk
menumpahkan darah, larangan riba, menganiaya, dan juga perintah untuk menegakkan tali
persaudaraan denga sesama manusia, serta untuk selalu kita berpegang teguh kepada Al-Qur’an
dan Hadis.3

Hadis pada masa itu memang umunya hanya diingat dan dihafal oleh para sahabat dan
tidak ditulis seperti Al-Qur’an ketika disampaikan oleh Nabi karena situasi dan kondisi yang
tidak sangat memungkinkan. Adanya larangan yang berakibat hadis yang tidak ditulis dan
seandainya Nabi tidak pernah melarangpun tidak mungkin hadis dapat di tulis karena menurut
M. Suyudi Ismail hal ini disebabkan oleh beberapa alasan yaitu :

1. Karena hadis yang disampaikan tidaklah selalu dihadapan sahabat yang pandai menulis.
2. Perhatian Nabi dan sahabat lebih banyak kepada Al-Qur’an.
3. Meskipun Nabi mempunyai sekretaris akan tetapi mereka hanya diberi tugas menulis
wahyu yang turun dan surat-surat Nabi saja

2. Cara Sahabat Menerima Hadis Masa Nabi saw.

Muḥammad Muḥammad Abū Zahw, dalam Al-Ḥadīṡ wa al-Muḥaddiṡūn al-‘Ināyah al-


Ummah al-Islāmiyah bi al-Sunnah al-Muḥammadiyyah, menyebutkan bahwa sebenarnya sahabat
Rasul adalah orang Arab tulen (‘arab khāliṣ) yang mayoritas tidak bisa baca-tulis. Ini
menyangkut seluruh surat Rasul yang ditujukan kepada para raja, penguasa, kepala suku dan
gubernur-gubernur muslim. Beberapa di antara surat tersebut berisi tentang ketetapan-ketetapan
hukum Islam seperti ketentuan tentang zakat, tata cara peribadatan dan sebagainya. Dari sini
3
file:///C:/Users/ASUS/Downloads/frozi,+1.+(126-147)+Perkembangan+Hadis+Pada+Masa+Sahabat+
(Taqlil+wa+Tathabut+fi+Riwayah).pdf ( di akses 22 februari 2024 )
terlihat bahwa sahabat menerima hadis dengan tulisan. (3) Menyampaikan hadis dengan praktek
secara langsung. Rasul banyak melakukan perbuatan-perbuatan yang dipraktikkan secara
langsung untuk memberikan contoh kepada para sahabat, seperti beliau mengajarkan cara
wuduk, salat, puasa, menunaikan ibadah haji dan sebagainya. 4 Dari sini terlihat bahwa sahabat
menerima hadis dengan praktek secara langsung atas apa yang disampaikan Rasul. Muḥammad
Ajjāj al-Khaṭīb menjelaskan lebih rinci, sebagaimana berikut:

1. Dari majelis-majelis Rasulullah. Seluruh majelis Rasul adalah majelis ilmu. Beliau selalu
menentukan terlebih dahulu waktu untuk mengajar para sahabatnya dan hal ini ditanggapi
antusias tinggi oleh para sahabat, namun sebagian mereka ada yang tidak bisa menghadiri
majelis karena kesibukannya sehingga bergantian, dengan tetangganya.
2. Kejadian-kejadian yang dialami Rasul sendiri, kemudian beliau menjelaskan hukumnya
sehingga hukum yang ditetapkan oleh Rasul (hadis taqrīr) dan diketahui para sahabat dan
kemudian menyebar keseluruh orang muslim.
3. Kejadian-kejadian yang dialami para sahabat, kemudian ditanyakan hukumnya kepada
Rasul, sehingga Rasul memberi penjelasan tentangnya. Hal ini sangat sering terjadi.
4. Perbuatan-perbuatan yang dilakukan Rasul dan disaksikan para sahabat, seperti tata cara
salat, puasa, ibadah haji, ketika beliau dalam perjalanan dan sebagainya. Muḥammad
Muḥammad Abū Zahw menjelaskan perihal ini dengan pendekatan lain, yaitu: (1)
Berhadapan secara langsung dengan Rasul (Musyāfahah), (2) Menyaksikan
(Musyāhadah) perbuatan atau taqrir Rasul, (3) Mendengar dari sahabat lain yang
mengetahui secara langsung.
3. Perintah dan Larangan Penulisan Hadis Masa Nabi saw.

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa sahabat Rasul mayoritasnya tidak bisa baca-tulis.
Pernyataan demikian sekaligus menggambarkan bahwa ada beberapa sahabat yang mahir dalam
hal itu, meski bukan mayoritas. M. M. Azami dalam kitabnya yang berjudul Kuttāb al-Nabī Ṡallā
Allāh ‘alaihi wa Sallam, ada 48 sahabat yang menjadi sekretaris Nabi dan juru tulisnya. Pendapat
yang populer adalah sahabat-sahabat tersebut penulis Alquran, dan bukan hadis. Pendapat itu
kemudian dikaitkan dengan diriwayatkan oleh Abū Sa‘īd al-Khudrī, bahwa Rasullah saw
bersabda: “Janganlah kamu sekalian menulis – apa yang kamu dengar dariku – selain dari

4
https://www.academia.edu/35027976/B_Hadist_pada_Masa_Sahabat ( di akses 22 februari 2024 )
Alquran, barangsiapa yang telah menulis selain dari Alquran, maka hapuskanlah”. Padahal,
dalam tuturan Muṣṭafā al-Sibā‘ī, beberapa sahabat telah menuliskan apa yang mereka dengar dari
Rasulullah saw., seperti ‘Abdullāh bin ‘Amrū bin ‘Aṣ yang mempunyai ṣahīfah bernama ṣādiqah.
Mengomentari itu, lanjut Muṣṭafā al-Sibā‘ī, Abū Hurayrah diriwayatkan berkata, “Tidak ada
seorangpun yang lebih mengetahui hadis Rasulullah saw. dibanding aku, kecuali ‘Abdullāh bin
‘Amrū. Hal ini karena ia telah mencatatnya sedangkan aku tidak.” Bahkan, saat fathu makkah,
Rasul bersabda: “Tuliskanlah untuk Abū Syah ini!”, yaitu perihal penyelesaian suatu kasus. Dua
hadis di atas, perintah menulis dan larangannya, terlihat seakan kontradiktif. 5 Hal ini yang
kemudian dibantah oleh M. M. Azami lewat karyanya yang berjudul Dirāsāt fī al-Ḥadīṡ al-
Nabawī wa Tārīkh Tadwīnih. Ia membahasnya dalam 13 halaman kitab tersebut dengan
kesimpulan sebagai berikut:

1. Larangan menulis hadis adalah larangan yang tersemat (mubayyinan) pada kondisi dan
situasi khusus, seperti seseorang yang baru masuk Islam atau menuliskannya dalam satu
alat dengan Alquran.
2. Larangan menulis hadis adalah larangan menulisnya bersamaan dengan Alquran–dalam
lembaran yang sama atau waktu yang sama–dan hal itu agar tidak tercampur antara
redaksi firman Allah dengan tafsiran Nabi.
3. Larangan untuk menulis hadis tidak berlaku umum dan setiap saat (lam takun ‘āmmah wa
lā dā’imah). Hal itu dikarenakan fakta bahwa ada sejumlah sahabat yang menuliskan
hadis di masa Nabi, dan Nabi mengizinkannya. Ṣubḥī al-Ṣāliḥ menyebut perihal hadis
larangan menulis di atas adalah salah satu di antara penyebab sedikitnya penulisan hadis
di zaman Rasulullah
C. Hadist pada zaman sahabat

Diringkas dari keempat Khalifah bahwasannya mereka menentukan kebijakan tentang


periwayatan hadis ada 4 bentuk, yaitu: Pertama, Mereka seluruhnya sepakat tentang pentingnya
hati-hati dalam periwayatan hadis. Kedua, kesemuanya melarang untuk memperbanyak
periwayatan hadis, terutama pada masa Khalifah Umar, tujuannya agar supaya periwayat
bersikap selektif dalam meriwayatkan hadis dan supaya mereka perhatian kepada masyarakat
tidak berpaling dari al-Qur’an. Ketiga, pengucapan sumpah ataupun penghadiran saksi bagi

5
file:///C:/Users/ASUS/Downloads/441-Article%20Text-1003-1-10-20180723.pdf ( di akses 22 februari 2024 )
periwayat hadis merupakan salah satu cara untuk meneliti riwayat hadis. Periwayat merasakan
memiliki kredibilitas yang tinggi tidak dibebani kewajiban mengajukan sumpah ataupun saksi.
Keempat, kesemuanya khalifah telah meriwayatkan hadis terkecuali ketiga khalifah antaranya
ialah (Abu Bakar, Umar, Utsman) mereka meriwayatkan hadis melalui lisannya hanya tinggal
satu yaitu Khalifah Ali yang meriwayatkan secara lisan dan tulisan.6

Periode kedua sejarah perkembangan hadits adalah masa sahabat, khususnya adalah
Khulafa al-Rasyidin (Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin Khathab, Ustman bin Affan, dan Ali bin
Abi Thalib) yang berlangsung sekitar tahun 11-40 H. Masa ini dikenal dengan masa sahabat
besar. Karena pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan
penyebaran al-qur’an,

maka periwayatan hadis belum begitu berkembang, dan kelihatannya berusaha membatasinya
(Masa al-Tasabbut wa al-Iqlal min al-Riwayah).
1. Menjaga Pesan Rusul SAW
Pada masa menjelang kerasulannya ,rasul saw.berpesan kepada para sahabat agar
berpegang teguh kepada al-Qur’an dan Hadits serta mengajarkannya kepada orang
lain,sebagaimana sabdanya : ‘’Telah aku tinggalkan untuk kalian 2 macam,yang tidak
akan sesat setelah berpegang ‘kepada keduanya, yaitu Kitab Allah (al-Qur’an) danb
Sunahku (al-Hadits)’’. (Hr.Malik ). Pesan-pesan Rasul saw, sangat mendalam
pengaruhnya kepada para sahabat, sehingga segala perhatian yang tercurah semata-mata
untuk melaksanakan dan memelihara pesan- pesannya. Kecintaan mereka kepada Rasul
saw. dibuktikan dengan melaksanakan segala yang dicontohkannya.7
2. Berhati-hati dalam Meriwayatkan dan Menerima Hadits.
Kehati-hatian dan usaha membatasi periwayatan dan penulisan hadis yang dilakukan para
sahabat, disebabkan karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan dan kebohongan atas
nama Rasul SAW. karena hadis adalah sumber ajaran setelah al-Qur’an. Oleh karena itu,
para sahabat khususnya khulafa’ al-rasyidin dan sahabat-sahabat lainnya, seperti Az-
Zubair, Ibn Abbas, dan Abu Ubaidah berusaha memperketat periwayatan, penerimaan dan

6
Muṣtafā al-Sibā‘ī, al-Sunnah wa Makānatuhā fī al-Tasrī‘ al-Islāmī, cet. II (Beirut: Al-Maktab al-Islāmī, 1396 H/ 1976
M), 49.
7
Muḥammad Muḥammad Abū Zahw, Al-Ḥadīṡ wa al-Muḥaddiṡūn al-‘Ināyah al-Ummah al-Islāmiyah bi al-Sunnah al-
Muḥammadiyyah (Riyad:al-Ri’āsah al-‘Āmmah li Idārah al-Buḥūṡ al-‘Ilmiyahwa al-Iftā’ wa al-Da‘wah, 1404 H/ 1984
M), 49.
penulisan hadis. Dan juga perhatian sahabat pada masa ini terfokus sekali pada usaha
pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’an. Ini terlihat bagaimana al-Qur’an dibukukan
pada masa Abu Bakar atas saran Umar ibn Khattab, usaha pembukuan ini disempurnakan
pada masa Usman ibn Affan, sehingga melahirkan Mushaf Usmani. Sikap memusatkan
perhatian pada al-Qur’an bukan berarti mereka lalai dan tidak menaruh perhatian
terhadap hadis. Mereka memegang hadis seperti halnya yang diterima dari Rasul saw.
Secara utuh ketika beliau masih hidup. Akan tetapi dalam meriwayatkan mereka sangat
berhati-hati dan membatasi diri. Abu Bakar sebagai khalifah yang pertama menunjukkan
perhatiannya dalam pemeliharaan hadis. Beliau menentang kemungkaran-kemungkaran
orang murtad dan pembangkangan pengeluaran zakat, beliau juga mengadakan penilaian-
penilaian riwayat. Beliau meletakkan batu pertama dalam undang-undang periwayatan
hadis. Tindakan beliau diikuti oleh Umar ibn Khattab. Beliau (Umar ibn Khattab)
mengadakan ancaman-ancaman kepada orang-orang yang berdusta dalam hadis dan
melarang orang meriwayatkan hadis banyak-banyak. Pada masa ini belum ada usaha
secara resmi untuk menghimpun hadits dalam suatu kitab,seperti halnya al-Qur’an. Ini
disebabkan agar tidak memalingkan perhatian atau kekhususan mereka (umat islam)
dalam mempelajari al-Qur’an, sebab lain pula, bahwa para sahabat yang banyak
menerima hadits dari Rosul SAW. sudah tersebar keberbagai daerah kekuasaan islam,
dengan kesibukannya masing-masing sebagai pembina masyarakat. Sehingga dengan
kondisi seperti ini, ada kesulitan mengumpulkan mereka secara lengkap. Pertimbangan
lainnya, bahwa dalam membukukan hadits, dikalangan para sahabat sendiri terjadi
perselisihan pendapat. Belum lagi terjadinya perselisihan soal lafadz dan kesahihannya. 8
3. Periwayatan Hadits dengan Lafadz dan Makna
Pembatasan atau penyederhanaan periwayatan hadits, yang ditujukan oleh para sahabat
dengan sikap kehati-hatiannya, tidak berati hadis-hadis Rasul tidak diriwayatkan.dalam
batas- batas tertentu hadits-hadits ini diriwayatkan, khususnya yang berkaitan dengan
kebutuhan hidup masyarakat sehari-harinya seperti dalam permasalahan ibadah dalam
muamalah. Periwayatan tersebut dilakukan setelan diteliti secara ketat pembawa hadits
tersebut dan kebenaran isi matannya. Ada dua jalan para sahabat dalam meriwayatkan
hadits dari Rasul SAW. Pertama dengan jalan periwayatan lafzhi (redaksinya persis

8
Abū Zahw, al-Ḥadīṡ, 49-50.
seperti yang di sampaikan Rasul SAW.) dan kedua dengan jalan periwayatan maknawi
(maknanya saja)9
a. Periwayatan Lafzhi
Periwayatan lafzhi adalah periwayatan hadits yang redaksinya atau matannya persis
seperti yang diwujudkan Rasul SAW. ini hanya bisa dilakukan apabila mereka hafal
benar apa yang disabdakan Rasul SAW. Kebanyakan sahabat menempuh periwayatan
hadits melalui jalan ini. Di antara para sahabat yang paling keras mengharuskan
periwayatan hadits dengan jalan lafzhi adalah Ibnu Umar. Ia sering kali menegur
sahabat yang membacakan hadits dengan berbeda walaupun hanya satu kata dengan
yang pernah di dengarnya dari Rasul SAW.
b. Periwayatan Maknawi
Periwayatan maknawi adalah periwayatan hadits yang matannya tidak persis sama
dengan yang didengarnya dari Rasul SAW. akan tetapi isi atau maknanya tetap terjaga
secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasul SAW, tanpa ada perubahan
sedikitpun. Karakteristik yang menonjol adalah bahwa para sahabat memiliki
komitmen yang kuat terhadap kitab Allah.mereka memeliharanya dalam lembaran-
lembaran, mushaf dan dalam hati mereka.10

BAB III

PENUTUP

9
file:///C:/Users/ASUS/Downloads/441-Article%20Text-1003-1-10-20180723.pdf ( di akses 22 februari 2024 )
10
A. Kesimpulan

Simpulan yang dapat diambil dari pembahasan diatas adalah sebagai berikut. Pertama,
sebab-sebab dilarangnya penulisan hadis bukanlah karena disebabkan ketidaktahuan orang Islam
dalam aktivitas tulis menulis pada waktu itu bahkan mereka telah mengenal tulis menulis sejak
dari awal masuknya Islam bahkan sebelum Islam. Kedua, faktor yang dominan dilarangnya
penulisan hadis adalah ditakutkan bercampurnya antara Al-Qur’an dan asSunnah. Di samping itu
pula agar proyek penulisan Al-Qur’an tidak terganggu oleh penulisan al-hadis. Ketiga, tidak
adanya kontradiksi antara hadis-hadis tentang pelarangan dan

A. Kritik dan Saran

Demikian makalah yang dapat penulis paparkan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi penulis dan pembaca pada khususnya serta khalayak.

DAFTAR PUSTAKA
Edi. Relit Nur. Al-Sunnah (Hadis); Suatu Kajian Aliran Ingkar Sunnah dalam Jurnal Asas, Vol. 6,
No. 2, Juli 2014.
al-Suyūṭī, Jalāl al-Dīn Abū al-Faḍl ‘Abd al-Raḥman bin Abī Bakr. Al-Baḥr allaẓī Ẓakhara fī
Syarḥ
Alfiyah al-Aṡar. Madinah: Maktabah al-Ghuraba’ al-Aṡariyah, 1420 H/ 1999 M.
Musthafa, M. Azamiy, Dirasat fi al-Hadi al-Nabawi wa Tarikh Tadwinih, yang diterjemahkan
oleh
Ali Mustafa Ya’qub dengan judul Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2006
Muhammad Mubarak Al-Sayyid, Manahij al-Muhaddisin (al-qismu al-sani), (Cairo: Percetakan
Fakultas Usuluddin Universitas Al-Azhar, 2002)
Isnaeni, Ahmad, Historisitas Hadis dalam Kacamata M. Mustafa Azami, QUHAS: Jurnal of
Qur’an and Hadith Studies, Volume 3, Nomor 1, 2014
Syuhudi Ismail. tt. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis (Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan
Ilmu Sejarah). (Bandung: Bulan Bintang).

Anda mungkin juga menyukai