Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

terminologi hadis, bentuk bentuk hadis, dan hukum mempelajari hadis dan ilmu hadis

dosen pengampu : ibu Hj. Anisatun Muthi'ah M.Ag

D
i
susun oleh :

Aden syafi’i : 2285150042

Akbar hadiyansyah hidayat : 2285150028

KELOMPOK 1

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB

FAKULTAS USHULUDIN DAN ADAB

IAIN SYEKH NURJATI CIREBON

2023/2024
KATA PENGANTAR

Assalamu`alaikum Wr.Wb

Bismillah walhamdulillah puji syukur kami panjatkan kehadirat Alloh SWT. Yang telah
memberikan rahmat dan hidayahnya,sehingga kami bisa menyelesaikan tugas MAKALAH ini
dengan tepat waktu meskipun masih banyak kekurangan di dalamnya.

Terimakasih kami ucapkan kepada ibu Hj. Anisatun Muthi'ah M.Ag yang telah memberikan
tugas ini, sehingga kami bisa mempelajari lebih mendalam tentang hal ini. Terimakasih juga
kepada teman sekelompok yang telah bekerja sama dalam pengerjaan pembuatan makalah ini.
Kami harap makalah ini dapat bermanfaat dalam menambah wawasan dan ilmu pengetahuan kita
semua. Kami menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna,seperti hal nya kita sebagai
makhluk. Maka dari itu,kami mengharapkan saran dan kritik demi pembuatan makalah ini.
Semoga makalah ini,dapat dipahami oleh siapapun yang membacanya. Dan semoga ada
manfaatnya,terutama bagi kami yang membuatnya dan umumnya untuk semua yang
membacanya.

Wassalamu`alaikum Wr.Wb

Cirebon, 02 Maret 202

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.........................................................................................................................

Daftar isi..................................................................................................................................

Bab I Pendahuluan............................................................................................................

1. Latar Belakang........................................................................................................
2. Rumusan Masalah...................................................................................................

Bab II Pembahasan..............................................................................................................

3. Definisi terminologi hadist.......................................................................................


4. Bentuk bentuk hadist...............................................................................................
5. Hukum mempelajari hadist dan ilmu hadist............................................................

Bab III Penutup...................................................................................................................

6. Kesimpulan............................................................................................................
7. Saran......................................................................................................................

Daftar pustaka......................................................................................................................
Bab I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG MASALAH

Islam sebagai agama mempunyai makna bahwa Islam memenuhi tuntutan kebutuhan
manusia dimana saja berada sebagai pedoman hidup baik bagi kehidupan duniawi maupun
bagi kehidupan akhirat. Dimensi ajaran Islam memberikan aturan bagaimana caranya
berhubungan dengan Tuhan atau khaliq, serta aturan bagaimana caranya berhubungan
dengan sesama makhluk, termasuk didalamnya persoalan dengan alam.

Allah SWT mengutus para nabi dan rasulnya kepada umat manusia untuk memberi
petunjuk kepada jalan yang benar agar mereka bahagia di dunia dan akhirat. Rasulullah lahir
ke dunia ini dengan membawa risalah Islam, petunjuk yang benar, hukum syara’ seperti al
Qur’an dan al Hadits.

2. RUMUSAN MASALAH
a. Apa definisi hadist secara terminologi?
b. Apa saja bentuk bentuk hadist?
c. Apa hukum mempelajari hadist dan ilmu hadist?
Bab II

PEMBAHASAN

3. Definisi hadist secara etimologi dan terminologi


Hadist secara etimologi adalah kata benda (isim) yang berasal dari kata al tahdis
yang berarti pembicaraan. Kata hadis mempunyai banyak arti ; yaitu
a. Jadid (baru), sebagai lawan kata dari kata qadim (terdahulu). Dalam hal ini yang
dimaksud qadim adalah kitab allah, sedangkan yang dimaksud jadid adalah hadis Nabi
saw. Namun dalam rumusan lain mengatakan bahwa Al-Qur’an disebut wahyu yang
matluw karena dibacakan oleh Malaikat jibril, sedangkan hadis adalah wahyu yang
ghair matwul sebab tidak dibacakan oleh Malaikat Jibril. Nah, kalau keeduanya sama
sama wahyu, maka dikotomi, yang satu qadim dan lainnya jadid tidak perlu ada.
b. Qarib yang berarti dekat atau dalam waktu dekat belum lama.
c. “Khabar”, yang berarti warta berita yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan
dari seseorang kepada seseorang. Hadis selalu menggunakan ungkapan ,‫ حدثنا‬,‫و‬
‫ )أخربناأنبأنا‬megabarkan kepada kami, memberitahu kepada kami dan menceritakan
kepada kami. Dari makna terakhir inilah diambil perkataan “hadits Rasulullah” yang
jamaknya “ahadits.

Sedangkan pengertian hadits secara terminologi, maka terjadi perbedaan antara


pendapat antara ahli hadits dengan ahli ushul. Ulama ahli hadits ada yang
memberikan pengertian hadis secara terbatas (sempit) dan ada yang memberikan
pengertian secara luas. Pengertian hadis secara terbatas diantaranya sebagaimana
yang diberikan oleh Mahmud Tahhan adalah:
‫ما أضيف إىم انهيب صىم اىهم عهيو وسهم من قول أو فعم أو تقرير أو صفة‬
“Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi baik berupa perkataan
atau perbuatan atau persetujuan atau sifat”.
Ulama hadis yang lain memberikan pengertian hadis sebagai berikut :
‫اقواىم صىم اىهم عهيو وسهم وافعاىم واحوىم‬
“Segala ucapan Nabi SAW, segala perbuatan dan segala keadaanya.”

Sedangkan pengertian hadis secara luas sebagaimana yang diberikan oleh


sebagian ulama seperti Ath Thiby berpendapat bahwa hadits itu tidak hanya meliputi
sabda Nabi, perbuatan dan taqrir beliau (hadis marfu’), juga meliputi sabda, perbuatan
dan taqrir para sahabat (hadis mauquf), serta dari tabi’in (hadis maqthu’).
Sedang menurut ahli ushul, hadits adalah:
‫اقواىم صىم اىهم عهيو وسهم وافعاىم وتقاريره مما يتعهق بو حكم بنا‬
“Segala perkataan, segala perbuatan dan segala taqrir nabi SAW yang bersangkut
paut dengan hukum”.
Dari pengertian yang diberikan oleh ahli ushul fiqih diatas, berarti informasi
tentang kehidupan Nabi ketika masih kecil, kebiasaan, kesukaan makan dan pakaian
yang tidak ada relevansinya dengan hukum, maka tidak disebut sebagai hadis.

4. Bentuk bentuk hadist


Sesuai dengan definisi hadist di atas, maka bentuk-bentuk hadist dapat digolongkan
sebagai berikut:

- Hadist Qouli
Yang dimaksud dengan hadist qouli adalah segala perkataan Nabi SAW yang berisi
berbagai tuntutan dan petunjuk syara’, peristiwa-peristiwa dan kisah-kisah baik yang
berkaitan dengan aspek akidah, syariah maupun akhlak.
Misalnya sabda beliau:
‫ انمااأنعمال بانهيات وإنما نهك امرئ مانوي‬...
“Sesungguhnya keberadaan amal-amal itu tergantung niatnya. Dan seseorang hanyalah
akan mendapatkan sesuatu sesuai niatnya.”
Menurut rangkingnya, hadist qauli menempati urutan pertama dari bentuk-bentuk
hadist lainnya. Urutan ini menunjukkan kualitas hadits qouli menempati kualitas pertama,
diatas hadits fi’li dan taqriri.
- Hadits Fi’il
Yang dimaksud hadits fi’li adalah segala perbuatan Nabi SAW. yang menjadi anutan
perilaku para, sahabat pada saat itu, dan menjadi keharusan bagi semua umat Islam untuk
mengikutinya, seperti praktek wudlu, praktek salat lima waktu dengan sikap-sikap dan
rukun-rukunnya, praktek manasik haji, cara, memberikan keputusan berdasarkan sumpah
dan saksi, dan lain lain.
- Hadits Taqriri
Hadits Taqriri adalah hadits yang berupa, ketetapan Nabi SAW. Terhadap apa yang
datang atau yang dikemukakan oleh para sahabatnya dan Nabi SAW membiarkan atau
mendiamkan perbuatan tersebut, tanpa, membedakan penegasan apakah beliau
membenarkan atau mempersalahkannya. Yang bersumber dari sahabat yang mendapat
pengakuan dan persetujuan dari Nabi SAW itu dianggap bersumber dari beliau.
Misalnya, riwayat yang ditakhfi oleh Abu Dawud dan An Nasa’i dari Abu Said al Khudry
ra. Bahwasanya ada dua perang yang keluar rumah untuk bepergian tanpa memiliki
persediaan air. Lalu, tibalah waktu shalat. Kemudian keduanya bertayamum dengan debu
yang baik, lalu melakukan shalat. Beberapa, saat kemudian keduanya mendapatkan air,
masih dalam waktu shalat tersebut. Yang satu mengulang wudlu dan shalatnya, sedang
yang lain tidak. Kemudian keduanya datang menghadap Nabi SAW melaporkan perihal
keduanya lalu kepada yang tidak mengulang, beliau bersabda: “Engkau telah
mengerjakan sunnah (ku). Dan kepada yang mengulang, beliau bersabda: “Engkau
mendapatkan pahala dua kali lipat.”
- Hadits Hammi
Hadits Hammi adalah hadits yang berupa keinginan atau hasrat Nabi SAW yang
belum terealisasikan. Walaupun hal ini baru rencana dan belum dilakukan oleh Nabi, para
ulama memasukkannya pada hadis, karena Nabi tidak merencanakan sesuatu kecuali
yang benar dan dicintai dalam agama, dituntut dalam syari’at Islam dan beliau diutus
untuk menjelaskan syariat Islam. Contoh hadis hammi seperti halnya hasrat berpuasa
tanggal 9 Asyura yang belum sempat dijalankan oleh Nabi SAW karena beliau wafat
sebelum datang bulan Asyura tahun berikutnya, mengambil sepertiga dari hasil kebun
madinah untuk kemaslahatan perang al-Ahzab, dan lain-lain.
- Hadits Ahwal
Yang dimaksud dengan hadits ahwali ialah yang berupa hal ihwal Nabi SAW yang
tidak temasuk ke dalam kategori ke empat hadits di atas. Ulama hadits menerangkan
bahwa yang termasuk “hal ihwal”, ialah segala pemberitaan tentang Nabi SAW, seperti
yang berkaitan dengan sifat-sifat kepribadiannya/perangainya (khuluqiyyah), keadaan
fisiknya (khalqiyah), karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaanya.

5. Hukum mempelajari ilmu hadist


Imam Sufyan Sauri berkata (ertinya), “Saya tidak mengenal ilmu yang lebih utama
bagi orang yang berhasrat menundukkan wajahnya di hadapan Allah selain daripada ilmu
hadis. Orang-orang sangat memerlukan ilmu ini, sampai kepada soal-soal kecil sekalipun,
seperti makan dan minum, memerlukan petunjuk dari al-hadits. Mempelajari ilmu hadis
lebih utama daripada menjalankan salat dan puasa sunah, kerana mempelajari ilmu ini
adalah fardu kifayah, sedangkan solat sunah dan puasa sunah hukumnya sunnah.”

Imam Asy-Syafii berkata, “Demi umurku, soal ilmu hadis ini termasuk tiang agama
yang paling kukuh dan keyakinan yang paling teguh. Tidak digemari untuk
menyiarkannya selain oleh orang-orang yang jujur lagi takwa, dan tidak dibenci untuk
menyiarkannya selain oleh orang-orang munafik lagi celaka.”

Al-Hakim menandaskan, “Andaikata tidak banyak orang yang menghafal sanad


hadis, nescaya menara Islam roboh dan niscaya para ahli bidah berkiprah membuat hadis
palsu dan memutarbalikkan sanad.”
Bab III
PENUTUP
6. KESIMPULAN
Hadist secara etimologi adalah kata benda (isim) yang berasal dari kata al tahdis
yang berarti pembicaraan. Sedangkan pengertian hadits secara terminologi, maka terjadi
perbedaan antara pendapat antara ahli hadits dengan ahli ushul. Ulama ahli hadits ada
yang memberikan pengertian hadis secara terbatas (sempit) dan ada yang memberikan
pengertian secara luas.
Sedangkan pengertian hadis secara luas sebagaimana yang diberikan oleh sebagian
ulama seperti Ath Thiby berpendapat bahwa hadits itu tidak hanya meliputi sabda Nabi,
perbuatan dan taqrir beliau (hadis marfu’), juga meliputi sabda, perbuatan dan taqrir para
sahabat (hadis mauquf), serta dari tabi’in (hadis maqthu’). Bentuk bentuk hadist Hadist
Qouli, Hadits Fi’il, Hadits Taqriri, Hadits Hammi, dan Hadits Ahwal.
Mempelajari ilmu hadis lebih utama daripada menjalankan salat dan puasa sunah,
kerana mempelajari ilmu ini adalah fardu kifayah, sedangkan solat sunah dan puasa
sunah hukumnya sunnah.”

7. SARAN
Penulis bersedia menerima kritik dan saran yang positif dari pembaca. Penulis akan
menerima kritik dan saran tersebut sebagai bahan pertimbangan yang memperbaiki
makalah ini di kemudian hari. Semoga makalah berikutnya dapat penulis selesaikan
dengan hasil yang lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA

Abbas Mutawali Hamadah, As-Sunnah an-Nabawiyah wa Makanatuh fi at-Tasyri’,

(Kairo : Dar al-Qauniyah, t.t)

Abdul Aziz dkk, Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989)

Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam,

(Kairo : al-Ashimah, t.th).

Abu Abdillah Ahmad Ibnu Hanbal, Musnad Ahmad bin Hambal, Juz 12,

(Beirut : Dar al-Fikr, 1978)

Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Sahih Bukhari, (Beirut : Dar al-Fikr, tt)

Al-A’zami, Studies in Early Hadith Literature, (Indianapolis, Indiana :

Islamic Teaching Centre, 1977)

Al-Hasan bin Abd al-Rahman al-Ramahurmuzi, Al-Muhaddith al-Fasil Bain al-Rawi wa al-Wa’I,

(Beirut : Dar al-Fikr, 1984)

Ali Musthafa Yakub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000)

Al-Suyuthi, Tadrib Al-Rawy fi Syarh Taqrib Al-Nawawi, Juz 2, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1998)

Anda mungkin juga menyukai