Anda di halaman 1dari 16

TUGAS MANDIRI

MATA KULIAH ULUMUL HADITS

Dosen Pengampuh : Rustam,S.EI.,M.SI

Disusun Oleh

Nama : Arianto

Nim : 11521011

TAHUN AJARAN 2017-2018


PONTIANAK

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat ALLAH yang maha pandai,atas


rahmat dan karunianya sehingga makalah kami yang dapat selesai tepat pada
waktunya. Shalawat serta salam selalu terlimpah curahkan kepada junjungan kita
nabi besar Muhammad.
Dalam membuat makalah ini,kami mengalami berbagai kesulitan, baik yang
datang dari diri kami maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh
kesabaran dan terutama pertolongan dari ALLAH akhirnya makalah ini dapat
terselesaikan.
Semoga makalah yang kami buat dapat menambah wawasan dan
pengetahuan pembaca secara meluas tentang Pengertian
Hadits,Atsar,Khabar,Sunnah,Pentingnya ulumul hadits dan hubungan
haditsbterhadap al-qur’an sebagai sumber hokum islam. Walaupun kami
menyadari bahwa makalah ini memiliki banyak kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Maka dari itu,kami mohon untuk kritik dan saran yang bersifat
membangun agar makalah yang kami buat dapat lebih baik lagi,atas kritik dan
sarannya kami ucapkan terima kasih.

Penyusun

Arianto

Nim. 11521011

i
DAFTAR ISI

Kata
Pengantar……………………………………………………………………………...i
Daftar
isi...................................................................................................................................ii
BAB I
Pendahuluan
A. Latar belakang................................................................................................1
B. Tujuan.............................................................................................................1

BAB II

Isi

A. Pengertian Hadits……………………………………………………………..2
B. Pengertian Khabr……………………………………………………………..4
C. Pengertian Atsar………………………………………………………………5
D. Pengertian As-Sunnah…………………………………………………….......5
E. Pentingnya belajar ulumul hadits…………………………………………......6
F. Hubungan Hadits terhadap al-qur’an sebagai sumber hukum islam………....9

BAB III

Penutup

A. Kesimpulan……………………………………………………...…………..12
B. Kritik Dan Saran…………………………………………………….………12

Daftar pustaka……………………………………………………………………….13

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Dalam kehidupan sehari-harikita tidak lepas dari hukum dan agama


karana gama pasti terdapat aturan-aturan yang dibuat dalam hal ini saya
membahas tentang pengertian hadits,asunnah,khabar,pentingnya belajar
ulumul hadits dan hubungan hadits terhadap al-qur’an sebagai sumber
hukum islam karana materi ini saya anggap sangatlah penting untuk di
perlajari demi mengatahui tengan hukum islam yang benar dan bias
mengaetahui apa itu ulumul hadits.

B.TUJUAN

Tujuan penulis makalah ini adalah agar pembaca lebih mengetahui


lebih banyak mengenai tentang pengertian
hadits,asunnah,khabar,pentingnya belajar ulumul hadits dan hubungan
hadits terhadap al-qur’an sebagai sumber hukum islam serta pembaca
mendapatkan wawasan yang luas setelah membaca makalah ini.

1
BAB II

ISI

A. Pengertian Al-Hadits

Dalam kamus besar bahasa Arab [al-‘ashri], Kata Al-Hadits berasal dari
bahasa Arab “al-hadist” yang berarti baru, berita. Ditinjau dari segi bahasa, kata
ini memiliki banyak arti, dintaranya:

a. al-jadid (yang baru), lawan dari al-Qadim (yang lama)


b. Dekat (Qarib), tidak lama lagi terjadi, lawan dari jauh (ba’id)
c. Warta berita (khabar), sesuatu yang dipercayakan dan dipindahkan dari
sesorang kepada orang lain.

Secara terminologis, hadits ini dirumuskan dalam pengertian yang


berbeda-beda diantara para muhadditsin dan ahli ushul.mereka berbeda-beda
pendapatnya dalam menta’rifkan Al-hadits. Perbedaan tersebut disebabkan karena
terpengaruh oleh terbatas dan luasnya objek peninjauan mereka masing-masing,
yang tentu saja mengandung kecenderungan pada aliran ilmu yang didalaminya.

Ibnu Manzhur berpendapat bahwa kata ini berasal dari kata Al-Hadits,
jamaknya: Al-Ahadits, Al-Haditsan dan Al-Hudtsan. Ada juga sebagian Ulama
yang menyatakan, bahwa ahadits bukan jamak dari haditsyang bermakna khobar,
tetapi meruppakan isim jamak.Mufrad ahadits yang sebenarnya, adalah uhdutsah,
yang bermakna suatu berita yang dibahas dan sampai dari seseorang ke seseorang.
(Hasbi Ashidiqi, sejarah pengantar ilmu hadits : 2)

Menurut istilah ahli ushul fiqih, pengertian hadits ialah:

‫ون‬FF‫له ان يك‬FF‫ا يص‬FF‫ر مم‬FF‫ل اوتقري‬FF‫كل ماصدر عن النبي صلى هللا عليه وسلم غيرالقرأن الكريم من قول او فع‬
‫دليال لحكم شرع‬

“Hadits yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW selain Al-
Qur’an al-Karim, baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir Nabi yang
bersangkut paut dengan dengan hukum syara”.

2
Sedangkan Ulama Hadits mendefinisikan Hadits sebagai berikut:

‫كل ما أثرعن النبي صلى هللا عليه وسلم من قول او فعل اوتقرير اوصفة خلقية او خلقية‬

“Segala sesuatu yang diberikan dari Nabi SAW baik berupa sabda, perbuatan,
taqrir, sifat-sifat maupun hal ihwal Nabi”.

Yang dimaksud dengan “hal ihwal” ialah segala yang diriwayatkan dari
Nabi SAW yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran dan
kebiasaan-kebiasaan.

Kedua hadits tersebut di atas menyatakan bahwa unsur Hadits itu terdiri
dari tiga unsur yang ketiga unsur ini hanya bersumber dari Nabi Muhammad,
ketiga unsur itu adalah:

a. Perkataan. Yang dimaksud dengan perkataan Nabi Muhammad ialah


sesuatu yang pernah dikatakan oleh beliau dalam berbagai bidang.
b. Perbuatan. Perkataan Nabi merupakan suatu cara yang praktis dalam
menjelaskan peraturan atau hukum syara’. Contohnya cara Sholat.
c. Taqrir. Arti taqrir adalah keadaan beliau mendiamkam, tidak menyanggah
atau menyetujui apa yang dilakukan para sahabat.

Sementara kalangan ulama ada yang menyatakan bahwa apa yang


dikatakan hadits itu bukan hanya yang berasal dari Nabi SAW, namun yang
berasal dari sahabat dan tabi’in disebut juga hadits. Sebagai buktinya, telah
dikenal adanya istilah hadits marfu’, yaitu hadits yang dinisbahkan kepada Nabi
SAW, hadits mauquf, yaitu hadits yang dinisbahkan pada shahabat dan hadits
maqtu’ yaitu hadits yang dinisbahkan kepada tabi’in.Jumhur Al-Muhadditsin
berpendapat bahwa pengertian hadits merupakan pengertian yang terbatas sebagai
berikut: “Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Baik berupa
perkataan, perbuatan, penyataan (taqrir) dan sebagainya”

Sebagaimana disebutkan oleh Muhammad Mahfuzh Al-Tirmizi, yaitu:

‫حابى‬FF‫يف الى الص‬FF‫ا أض‬FF‫و م‬FF‫وف وه‬FF‫اء بلموق‬FF‫ل ج‬FF‫لم ب‬FF‫ه وس‬FF‫لى هللا علي‬FF‫أن الحديث اليحتث بالمرفوع اليه ص‬
‫والمقطوع وهو ما أضيف للتبعي‬

3
Artinya: “Bahwasanya hadits itu bukan hanya untuk sesuatu yang marfu’ yaitu
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, melainkan bisa juga untuk sesuatu
yang mauquf,yang disandarkan kepada sahabat dn yang maqtu, yaitu yang
disandarkan kepada tabi’in” Munzier Suparta (2001:3)

Berdasarkan pengertian hadits diatas maka kami menyimpulkan bahwa


hadits adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW baik ucapan,
perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau ketentuan-
ketentuan Allah yang disyariatkan kepada manusia. Selain itu tidak bisa dikatakan
hadits karena ahli ushul membedakan diri Nabi Muhammad dengan manusia
biasa. Yang dikatakan hadits adalah sesuatu yang berkaitan dengan misi dan
ajaran Allah yang diemban oleh Muhammad SAW sebagai Rasulullah. Ini pun,
menurut mereka harus berupa ucapan, perbuatan dan ketetapannya. Sedangkan
kebiasaan-kebiasaan, tata cara berpakaian dan sejenisnya merupakan kebiasaan
manusia dan sifat kemanusiaan tidak dapat dikategorikan sebagai hadits. Dengan
demikian, pengertian hadits menurut ahli ushul lebih sempit dibanding dengan
hadits menurut ahli hadits.

B. Pengertin Khabar

Khabar menurut bahasa serupa dengan makna hadits, yakni segala berita
yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain. Sedang pengertian khabar
menurut istilah, antara satu ulama dengan ulama lainnya berbeda pendapat.
Menurut ulama ahli hadis sama artinya dengan hadis, keduanya dapat dipakai
untuk sesuatu marfu, mauquf, dan maqtha, mencakup segala yang datang dari
Nabi SAW, sahabat dan tabi'in, baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapannya.

Ulama lain mengatakan bahwa khabar adalah sesuatu yang datang selain
dari Nabi SAW, sedang yang datang dari Nabi SAW disebut hadis. Ada juga yang
mengatakan bahwa hadis lebih umum dan lebih luas daripada khabar, sehingga
tiap hadis dapat dikatakan khabar, tetapi setiap khabar dikatakan hadis.

4
C. Pengertian Atsar

Adapun atsar menurut pendekatan bahasa sama pula artinya dengan


khabar, hadis, dan sunnah. Sedangkan atsar menurut istilah terjadi perbedaan
pendapat di antara pendapat para ulama. Sedangkan menurut istilah yaitu segala
sesuatu yang diriwayatkan dari sahabat, dan boleh juga disandarkan pada
perkataan Nabi SAW.

Jumhur ulama mengatakan bahwa atsar sama dengan khabar, yaitu sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi SAW, sahabat, dan tabi'in. Sedangkan menurut
ulama Khurasan bahwa atsar untuk yang mauquf dan khabar untuk yang marfu.

D. Pengertian As-Sunnah

As-Sunnah menurut istilah syari’at ialah segala sesuatu yang bersumber


dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bentuk qaul (ucapan), fi’il
(perbuatan), taqrir (penetapan), sifat tubuh serta akhlak yang dimaksudkan
dengannya sebagai tasyri’ (pensyari’atan) bagi ummat Islam.

Ada ulama yang menerangkan makna asal secara bahasa bahwa: Sunnah
itu untuk perbuatan dan taqrir, adapun hadits untuk ucapan. Akan tetapi ulama
sudah banyak melupakan makna asal bahasa dan memakai istilah yang sudah
lazim digunakan, yaitu bahwa As-Sunnah muradif (sinonim) dengan hadits.

As-Sunnah menurut istilah ulama ushul fiqih ialah segala sesuatu yang
bersumber dari Nabi j selain dari Al-Qur-an, baik perbuatan, perkataan, taqrir
(penetapan) yang baik untuk menjadi dalil bagi hukum syar’i.

Ulama ushul fiqih membahas dari segala yang disyari’atkan kepada


manusia sebagai undang-undang kehidupan dan meletakkan kaidah-kaidah bagi
perundang-undangan tersebut.

As-Sunnah menurut istilah ahli fiqih (fuqaha’) ialah segala sesuatu yang
sudah tetap dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hukumnya tidak fardhu
dan tidak wajib, yakni hukumnya sunnah.

5
As-Sunnah menurut ulama Salaf adalah petunjuk yang dilaksanakan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya, baik tentang ilmu,
i’tiqaad (keyakinan), perkataan maupun perbuatannya.

E. Pentingnya belajar Ulumul Hadits


a. Tujuan mempelajari ulumul hadits.

Ulumul hadist merupakan ilmu yang penting dalam mempelajari ilmu


hadist.Ilmu ini merupakan hal yang penting untuk menjadi seorang ahli hadits
yang mumpuni. Selain itu, pentingnya mempelajari hadits disebabkan juga oleh
beberapa hal berikut ini:

1. Hadits berfungsi untuk menjelaskan Al-Qur’an.

Alqur’an dan hadist sebagai sumber hukum dalam islam tidak


dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Al qur’an sebagai
sumber hukum yang pertama dan utama hanya memuat dasar-dasar yang
bersifat umum bagi syari;at islam, tanpa perincian secara detail. Kecuali
yang sesuai dengan pokok-pokok yang bersifat umum itu, yang tidak
pernah berubah karena adanya perubahan zaman dan tidak pula
berkembang karena keragaman pengetahuan dan lingkungan. Karena
keadaan al qur’an yang demikian itu, maka hadist sebagai sumber hukum
yang kedua setelah al qur’an , tampil sebagai penjelas (bayan) terhadap
ayat-ayat al qur’an yang masih bersifat global, menafsirkan yang masih
mubham, menjelaskan yang masih mujmal, membatasi yang mutlak
(muqayyad), mengkhususkan yang umum (‘am), dan menjelaskan hukum-
hukum serta tujuan-tujuannya, demikian juga membawa hukum-hukum
yang secara eksplisit tidak dijelaskan oleh al qur’an. Hal ini sejalan dengan
firman Allah yang artinya: “ Dan Kami turunkan kepadamu Al qur’an ,
agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” ( Q.S An Nahl : 44)

2. Banyaknya hukum yang belum tercantum dalam Al-qur’an.

6
Taqyid (pembatasan) terhadap kemutlakkan Al-qura’an. Kata
“tangan” dalam ayat “pencuri pria dan wanita hendaklah kamu potong
tangan mereka” adalah muthlaq. Yang disebut tangan adalah sejak dari
jari-jari sampai dengan pangkal tangan. Kemudian As sunnah membatasi
potong tangan itu pada pergelangan, bukan pada siku-siku atau pangkal
lengan.

3. Potensi pemalsuan hadits sangat besar, sehingga perlu dijaga


keotentikannya.

Pada zaman kekhalifahan Ali bin abi thalib munculahberbagai


macam golongan. Setiap golongan dari mereka merasa menjadi yang
paling benar. Mereka selalu ingin berusaha untuk tetap berpengaruh.
Untuk meyakinkan semua itu mereka mencari dalil-dalil yang bisa
menguatkan kelompok mereka, bahkan sampai membuat hadist-hadist
palsu.

4. Terdapat banyak hadits dla’if dan hadits palsu yang perlu dihindari
supaya tidak dijadikan sebagai sumber hukum Islam.

Ilmu ini akan membentengi kaum muslimin dari rongrongan


hadits-hadits lemah dan palsu yang banyak merebak di tengah umat, dan
menjaga syariat yang murni ini dari maraknya kesyirikan dan bid’ah yang
tumbuh dengan subur di tengah kaum muslimin disebabkan beredarnya
hadits lemah dan palsu diantara mereka, serta akan menanamkan urgensi
berpegangteguh dengan hadits-hadits Nabi yang shahih dalam membangun
agama, baik dalam masalah aqidah, ibadah, akhlaq, maupun
mu’amalah.Kemudian Imam Syafi’i juga berkata, “Demi umurku. Ilmu
hadits ini termasuk tiang agama yang paling kokoh dan keyakinan yang
paling teguh. Tidak digemari selain oleh orang-orang jujur lagi taqwa, dan
tidak dibenci selain oleh orang-orang munafiq”.Al Hakim juga
menandaskan, “Andaikata tidak banyak orang yang menghafal sanad

7
hadits, niscaya menara Islam roboh dan niscaya para ahli bid’ah berkiprah
membuat hadits palsu (maudhu’) dan memutarbalikkan sanad”.

5. Adanya berbagai macam masalah mengenai hadist.

Dewasa ini mulai muncul masalah mengenai hadist,hal ini datang


dan timbul dari periwayat hadist yang bernama Abu hurairah. Abu
hurairah merupakan salah satu sahabat yang tergolong singkat
kebersamaannya dengan Rasulullah SAW namun hadist yang
diriwayatkan tergolong cukup banyak. Sehingga hal ini dimanfaatkan oleh
orang non muslim yang mempelajari is;am untuk melemahkan hadist.

b. Manfaat mempelajari ulumul hadist.

Mempelajari ilmu hadits paling tidak akan mendapatkan tiga sasaran utama:

1. agar seseorang memiliki dasar pengetahuan tentang suatu hadits


yang bersandar kepada Nabi saw dan yang tidak memiliki
sandaran.
2. seseorang akan mengetahui mana hadits dan mana yang bukan
hadits.
3. seseorang akan mendapatkan ilmu pengetahuan dari sisi hukum
apakah suatu hadits dapat diterima sebagai hujah (maqbul) ataukah
tertolak (mardud) .
4. Ilmu ini akan memberikan bekal bagi para penuntut ilmu syar’i
untuk mengkaji hadits-hadits Rasulullah –shallallahu wa sallam-,
sebab semua cabang ilmu syar’i membutuhkan pengetahuan terkait
disiplin ilmu ini, seorang ahli tafsir, seorang faqih, dan seorang ahli
aqidah membutuhkan hadits-hadits shahih dalam beristidlal, dan
kemampuan untuk memilah hadits shahih dan dha’if terbangun
dengan ilmu ini.
5. Membekali penuntut ilmu hadits -secara khusus- kunci
pengetahuan terkait dasar-dasar periwayatan, syarat-syarat diterima

8
dan ditolaknya hadits, mengenal para perawi terpercaya dan perawi
yang ditolak riwayatnya dan lain sebagainya.
6. Memberikan kemampuan untuk mengenal metodologi para ulama
dalam menyaring hadits-hadits Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa
sallam-, dan memisahkannya antara yang shahih dan yang dha’if.
7. Mengetahui juhud (upaya) para ulama dalam menuntut ilmu ini
dan mengajarkannya dari generasi ke generasi, dan merenungi
pengorbanan mereka dalam menjaga kemurnian hadits-hadits
Rasulullah, sehingga memompa semangat kita dalam menuntut
ilmu syar’i, mengajarkan dan mendakwahkannya kepada generasi
berikutnya.
8. Mengenal kota-kota yang menjadi markaz ilmu hadits, dan negeri
yang menjadi pusat rihlah dalam menuntut ilmu tersebut, seperti
kota Mekah, kota Madinah, kota Khurasan, kota Baghdad, kota
Bashrah, kota Mesir dan lain sebagainya.
9. Mengenal para pakar hadits dari zaman ke zaman, sejak zaman
sahabat sampai zaman ini, dan berupaya menelaah sirah (profil)
mereka untuk memetik faedah dari manhaj (metodologi) mereka
dalam menuntut ilmu, mengetahui adab mereka dalam
menuntutnya, serta menilik upaya mereka dalam
mengejawantahkan ilmu tersebut dalam amal nyata
F. Hubungan hadits terhadap al-qur’an sebagai sumber hokum islam

hubungan hadis dengan al-qur’an – Al-qur’an dan Hadith sebagai


pedoman hidup, sumber hujum dan ajaran dalam Islam, antara satu dengan
yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan satu kesatuan. Al-
Qur’an sebagai sumber pertama dan utama banyak memuat ajaran-ajaran yang
bersifat umum dan global. Oleh karena itulah kehadiran Hadith, sebagai
sumber ajaran kedua tampil untuk menjelaskan (bayan) keumuman isi Al-
qur’an tersebut.

9
Al-Quran menekankan bahwa Rasul SAW. berfungsi menjelaskan
maksud firman-firman Allah (QS 16:44). Penjelasan atau bayan tersebut
dalam pandangan sekian banyak ulama beraneka ragam bentuk dan sifat serta
fungsinya. Al-qur`an dan hadist merupakan dua sumber yang tidak bisa
dipisahkan. Keterkaitan keduanya tampak antara lain:

a. As-Sunnah berfungsi sebagai penguat hukum

hubungan hadis dengan al-qur’an – Di sini hadith berfungsi


memperkuat dan memperkokoh hukum yang dinyatakan oleh Al-
quran.Dengan demikian hukum tersebut mempunyai dua sumber dan terdapat
pula dua dalil. Yaitu dalil-dalil yang tersebut di dalam Al-Qur’an dan dalil
penguat yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
berdasarkan hukum-hukum tersebut banyak kita dapati perintah dan larangan.
Ada perintah shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, ibadah
haji ke Baitullah, dan disamping itu dilarang menyekutukan Allah, menyakiti
kedua orang tua serta banyak lagi yang lainnya.

b. As-Sunnah itu berfungsi sebagai penafsir atau pemerinci


hubungan hadis dengan al-qur’an – sebagai penafsir atau pemerinci hal-hal
yang disebut secara mujmal dalam Al-Qur’an, atau memberikan taqyid, atau
memberikan takhshish dari ayat-ayat Al-Qur’an yang muthlaq dan ‘am.
Karena tafsir, taqyid dan takhshish yang datang dari As-Sunnah itu memberi
penjelasan kepada makna yang dimaksud di dalam Al-Qur’an. Dalam hal ini
Allah telah memberi wewenang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam untuk memberikan penjelasan terhadap nash-nash Al-Qur’an dengan
firman-Nya.
“Artinya: Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu
menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada
mereka dan supaya mereka memikirkan”. [An-Nahl: 44]
c. Hadits memberikan rincian terhadap pernyataan Al Qur`an yang masih
bersifat global.
d. Hadits membatasi kemutlakan ayat Al-Qur`an

10
e. Hadits memberikan pengecualian terhadap pernyataan Al-Qur`an yang
bersifat umum
f. Hadith menetapkan hukum baru yang tidak ditetapkan oleh Al-qur`an

Dengan demikian tidak mungkin terjadi kontradiksi antara Al-Qur’an


dengan As-Sunnah.

Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar, dalam bukunya Al-


Sunnah fi Makanatiha wa fi Tarikhiha menulis bahwa Sunnah atau Hadith
mempunyai fungsi yang berhubungan dengan Al-Qur’an dan fungsi sehubungan
dengan pembinaan hukum syara’. Dengan menunjuk kepada pendapat Al-Syafi’i
dalam Al-Risalah, ‘Abdul Halim menegaskan bahwa, dalam kaitannya dengan Al-
Qur’an, ada dua fungsi Al-Sunnah yang tidak diperselisihkan, yaitu apa yang
diistilahkan oleh sementara ulama dengan bayan ta’kid dan bayan tafsir. Yang
pertama sekadar menguatkan atau menggarisbawahi kembali apa yang terdapat di
dalam Al-Qur’an, sedangkan yang kedua memperjelas, merinci, bahkan
membatasi, pengertian lahir dari ayat-ayat Al-Qur’an.Imam Syafi’i berkata: “Apa-
apa yang telah disunahkan Rasulullah saw. yang tidak terdapat pada Kitabullah,
maka hal itu merupakan hukum Allah juga. Sebagaimana Allah mengabarkan
kepada kita dalam firman-Nya. “Artinya: Dan sesungguhnya kamu benar-benar
memberi petunjuk kepada jalan yang lurus, (Yaitu) jalan Allah yang kepunyaan-
Nya segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa
kepada Allahlah kembali semua urusan”. [Asy-Syuura: 52-53].

Rasulullah saw. telah menerangkan hukum yang terdapat dalam


Kitabullah, dan beliau menerangkan atau menetapkan pula hukum yang tidak
terdapat dalam Kitabullah. Dan segala yang beliau tetapkan pasti Allah
mewajibkan kepada kita untuk mengikutinya. Allah menjelaskan barangsiapa
yang mengikutinya berarti ia taat kepada-Nya, dan barangsiapa yang tidak
mengikuti beliau berarti ia telah berbuat maksiat kepada-Nya, yang demikian itu
tidak boleh seorang mahlukpun melakukannya. Dan Allah tidak memberikan
kelonggaran kepada siapapun untuk tidak mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah
saw.

11
Ibnul Qayyim berkata: “Adapun hukum-hukum tambahan selain yang
terdapat di dalam Al-Qur’an, maka hal itu merupakan tasyri’ dari Nabi saw. yang
wajib bagi kita mentaatinya dan tidak boleh kita mengingkarinya. Tasyri’ yang
demikian ini bukanlah mendahului Kitabullah, bahkan hal itu sebagai perwujudan
pelaksanaan perintah Allah supaya kita mentaati Rasul-Nya. Seandainya
Rasulullah saw.

BAB III

PENUTUP

A.KESIMPULAN

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih


jauh dari kesempurnaan, untuk itu kami menyarankan kepada pembaca
yang ingin lebih memahami tentang Syi’ah untuk mencari referensi
tambahan melalui buku-buku yang sekarang mudah didapat. Dari keempat
pengertian hadits, sunnah, khabar, dan atsar, terdapat kesamaan dan
perbedaan makna menurut istilah masing-masing. Keempatnya memiliki
kesamaan maksud, yaitu segala yang bersumber dari Nabi SAW, baik
berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya. Sedangkan perbedaannya
yaitu ;
a. Hadits dan Sunnah : hadits adalah istilah khusus untuk sabda nabi,
sedangkan sunnah lebih umum, yaitu segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi SAW.
b. Hadits dan Khabar : hadits adalah berita yang datang dari Nabi
SAW, sedangkan khabar adalah berita yang datangnya bukan dari
Nabi SAW, tetapi disandarkan kepada Nabi SAW. Jadi, setiap
hadits pasti khabar tapi tidak semua khabar itu hadits.
c. Hadits dan Atsar : hadits adalah segala sesuatu yang datang dari
Nabi SAW, sedangkan atsar adalah perkataan yang datang dari
para sahabat yang disandarkan kepada Nabi.

12
B.KERITIK DAN SARAN
Dalam makalah ini tentunya ada banyak sekali koreksi dari para
pembaca, karena kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna.
Maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
para pembaca yang dengan itu semua kami harapkan makalah ini akan
menjadi lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Muhammad dan M. Mudzaki.Ulumul Hadits. Bandung:
Pustaka Setia. 2004.
Definisi hadist” http://kangsaviking.wordpress.com/definisi-hadist/
di akses pada tanggal 18 September 2017.
Disalin dari buku Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam,
Penulis Yazid Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO.Box
264 Bogor 16001, Jawa Barat Indonesia, Cetakan Kedua Jumadil Akhir
1426H/Juli 2005
http://suka-suka-dimana.blogspot.co.id/2013/06/makalah-ulumul-
hadits-mempelajari.html/di akses pada tanggal 18 september 2017.
Al-Khatib, Muhammad Ajjaj. Al-Sunnah Qobla Al-Tadwin.
Beirut: Dar Al-Fikr, cet ke 6, 1997.
Anwar, Duaa. Memahami Segalanya tentang Al-qur’an. Batam:
Karisma Publishin Group. 2007.

13

Anda mungkin juga menyukai