Anda di halaman 1dari 13

KLASIFIKASI HADIST

Di Susun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Ulumul Hadist


Dosen Pengampu: Syamsul Mu’arif, ME

Di Susun Oleh:

Aji Zulfa Kummala 11022002

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PATI


JURUSAN TARBIYAH
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2023
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat, hidayah dan ridho-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Dalam proses pengumpulan materi dan pembuatan
makalah tidak terlepas dari kerja keras penulis. Makalah ini membahas tentang “Klasifikasi
Hadist”.
Selain itu, penulis juga menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih
terdapat banyak kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasa. Oleh karena
itu dengan hati terbuka penulis menerima saran dan kritik dari pembaca agar penulis dapat
memperbaiki makalah ini.
Semoga makalah yang penulis buat dapat memberikan manfaat, menambah ilmu
pengetahuan dan pemahaman bagi pembaca.

Pati, 20 Oktober 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI
Kata Penantar............................................................................................................. i
Daftar Isi..................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang............................................................................................... 1
2. Rumusan Masalah.......................................................................................... 1
3. Tujuan............................................................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN
1. Definisi Klasifikasi Hadist............................................................................. 2
2. Macam-Macam Klasifikasi Hadist................................................................. 5

BAB III PENUTUP


Kesimpulan................................................................................................................ 9

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 10

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap kata hadis mewakili keberadaan sanad, matan dan rowi. Sebab, sebagaimana yang
telah disepakati sebelumnya, bahwasannya hadis ialah setiap hal yang disandarkan kepada
Nabi baik berupa ucapan, perbuatan, sifat maupun ketetapan. Perlu diketahu bahwa,
keberadaan tiga unsur yang mewakili terbentuknya suatu hadis, menyebabkan munculnya
berbagai macam jenis hadis. Berbagai jenis hadis tersebut muncul antara lain disebabkan
karena berbeda-bedanya karakteristik dari masing-masing unsur yang membentuk suatu
hadis, utamanya dari unsur sanad.
Sanad merupakan istilah bagi silsilah rowi-rowi hadis yang meriwayatkan suatu hadis.
Dalam kajian keilmuan hadis, status masing-masing rowi merupakan salah satu aspek penting
yang melatar belakangi keberadaan suatu hadis dapat diterima atau tidak. Sebab, dalam
sejarah perkembangannya, hadis telah melalui masa-masa dimana banyak sekali golongan-
golongan yang memanfaatkan kemasyhuran hadis Nabi untuk suatu kepentingan golongan
tertentu. Karenanya, kecacatan serta kejanggalan sekecil apapun yang terdapat dalam diri
rowi, menjadi penyebab dipertimbangkannya penerimaan suatu hadis.
Penyeleksian semacam ini bukan hanya berlaku dari segi sanad, namun juga dari segi
matan. Kebanyakan hadis diriwayatkan dengan cara bi al ma’na oleh para sahabat, hal ini
disebabkan karena Nabi tidak mewajibkan kepada para sahabat untuk menghafalkan hadis
Nabi. Sehingga perbedaan matan hadis menjadi suatu keniscayaan. Hal ini tentunya
memberikan peluang yang sangat besar akan terjadinya penyelewengan hadis Nabi. Sebab
bukan tidak mungkin orang-orang yang memiliki motif-motif tertentu memanfaatkan kondisi
ini untuk menyelipkan redaksi-redaksi yang mampu melemahkan hadis Nabi sendiri. Berlatar
belakang hal tersebut, Kholifah Umar bin Abdul Aziz melakukan suatu pergerakan besar
untuk membukukan hadis tepatnya sejak abad ke-1 H hingga pertengahan abad ke-2 H, yang
kemudian dilanjutkan dengan pembentukan suatu keilmuan tertentu yang membahas tentang
hadis-hadis Nabi pada abad-abad selanjutnya. Dalam fase inilah muncul suatu fan keilmuan
yang disebut dengan ‘ilm mustholah al-hadits.1

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Definisi Klasifikasi Hadist?
2. Apa Saja Macam-Macam Klasifikasi Hadist?

C. Tujuan Makalah
1. Untuk Mengetahui Definisi Klasifikasi Hadist.
2. Untuk Mengetahui Macam-Macam Klasifikasi Hadist.

1. Abu Mundzir Mahmud bin Muhammad bin Musthofa bin Abdul Lathif, Syarh Mukhtashor lin
Nukhbatul Fikri li ibni Hajar Al-Asqolany, Soft Ware Al-Maktabah As-Asyamilah, hal 8.

iv
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Hadist
Dalam definisi standar mengenai hadis di kalangan ahli-ahli hadis, hadis diartikan
sebagai, “Pernyataan, perbuatan, persetujuan diam-diam, atau sifat yang di nisbahkan kepada
Nabi Muhammad saw.” Dengan kata lain hadis adalah segala sesuatu berupa perkataan,
perbuatan, persetujuan diam-diam, atau sifat (deskripsi diri) yang dikaitkan kepada Nabi
Muhammad saw. Yang dimaksud dengan sifat (diskripsi diri) Nabi saw dalam definisi
tersebut adalah gambaran fisik dan moral Nabi saw yang dilaporkan oleh para rawi, seperti
badannya kekar, dadanya berbidang, ia orang yang santun dan seterusnya.
Hadis Nabi SAW. merupakan salah satu sumber ajaran agama Islam yang kedudukannya
dalam ajaran agama sebagai sumber kedua setelah Al-Qur’an, keduanya saling melengkapi
antara satu dengan yang lain, dan mentaatinya wajib bagi kaum muslimin sebagaimana
wajibnya mentaati Al-Qur’an.
Banyak ayat Al-Qur’an yang menunjukkan akan kehujjahan hadis diantaranya adalah
ayat-ayat yang memerintahkan kepada kaum muslim untuk taat kepada Rasulullah saw.
firman Allah Swt :
‫يأيها الذين ءامنوا أطيعوا هللا وأطيعوا الرسول وأولى األمر منكم فإنتنزعتم فى شيئ فردوه إلى هللا والرسول إن كنتم‬
) 59 : ‫تؤمنون باهلل واليوم األخر ذلك خير وأحسن تأويال ( النساء‬
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya.(Qs.An-Nisa’ : 59).
Kembali kepada Allah maksudnya kembali kepada Al-Qur’an dan kembali kepada Rasul
maksudnya kembali kepada Sunnah atau Hadis beliau SAW. Perintah untuk mengikuti segala
apa yang diperintahkan oleh Rasulullah Saw dan menjauhi segala apa yang dilarangya, Allah
Swt berfirman:
‫َو َم ا َآَت اُك ُم الَّر ُسوُل َف ُخ ُذ وُه َو َم ا َن َه اُك ْم َع ْن ُه َفاْن َت ُهوا‬
Terjemahannya: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang
dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah”. (QS. Al-Hasyr :7).
Hadits menurut istilah ahli hadis, ialah :“Segala ucapan Nabi,segala perbuatan beliau
dan segala keadaan beliau”. Disamping Al-Quran, hadis juga menjadi pedoman bagi
kehidupan manusia. Rasulullah merupakan uswatun hasanah bagi kita karena apapun yang
beliau katakan selalu dibimbing oleh Allah SWT.
Rasulullah dilahirkan di tanah Arab yang dalam kehidupan sehari-hari tentu saja
memakai bahasa Arab, tetapi tidak semua bahasa Arab itu adalah hadis. Salah satu
kesalahan persepsi sebagian masyarakat Islam saat ini adalah apa-apa yang disampaikan

v
oleh seorang da’i dalam bahasa Arab mereka anggap itu adalah hadis, walaupun tidak
memiliki sanad dan rawi yang jelas. Untuk itu umat Islam harus memiliki pengetahuan
mengetahui pengklasifikasian hadis dari berbagai aspek.2
Beberapa hal perlu dicatat mengenai pengertian hadis adalah pertama, bahwa para ahli
fikih dan usul fikih (metodologi hukum Islam) membatasi pengertian hadis pada segala
sesuatu yasng bersumber kepada yang terkait dengan ketentuan-ketentuan agama (syarak).
Laporan-laporan tentang Nabi saw yang tidak berkaitan dengan agama, seperti laporan
tetang gambaran fisik Nabi saw tidak dianggap hadis. Begitu pula laporan mengenai kisah-
kisah hidup Nabi saw sebelum menjadi nabi oleh para fukaha dan ahli usul fikih tidak
dianggap sebagai hadis. Bagi mereka hadis adalah sebagala sesuatu yang bersumber kepada
Nabi berupa ucapan, perbuatan dan persetujuan diam-diam Nabi saw saja.
Jadi pengertian hadis di kalangan ahli fikih dan usul fikih lebih sempit dari pada
pengertian hadis menurut ahli-ahli hadis. Bagi ahli-ahli fikih dan usul fikih hadis adalah
segala sesuatu yang bersumber kepada Nabi saw yang bersifat normatif sehingga hal-hal yang
berasal dari Nabi saw yang sifatnya faktual ansich dan historis belaka bukan hadis. Oleh
karena itu definisi hadis menurut ahli-ahli usul fikih adalah perkataan, perbuatan atau
persetujuan diam-diam Nabi saw.
Sementara di kalangan ahli-ahli hadis, hadis adalah segala sesuatu yang terkait dengan
Nabi saw baik normatif ataupun tidak. Sehingga laporan-laporan peristiwa yang di alami
Nabi saw semasa belum menjadi nabi adalah hadis. Hadis bagi ahli-ahli hadis adalah fakta
sejarah di seputar Nabi saw baik baik berkaitan dengan ketentuan agama ataupun tidak. 3
Kedua, bahwa seringkali hadis dipakai dalam pengertian luas yang tidak terbatas pada
segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi saw, tetapi juga meliputi segala sesuatu yang
berasal dari Sahabat dan Tabiin. Untuk membedakannya masing-masing diberi nama
tersendiri. Segala sesuatu yang terkait kepada Nabi saw disebut hadis marfuk, segala sesuatu
yang bersumber kepada para Sahabatnya disebut hadis maukuf dan segala sesuatu yang
bersumber dari Tabiin disebut hadis maktuk. Namun apabila disebut hadis saja, maka secara
umum yang dimaksud adalah hadis Nabi (hadis marfuk).
Ketiga, istilah hadis dalam pemakaian umum oleh umat Islam identik dengan sunnah.
Sehingga sunnah adalah hadis dan hadis adalah sunnah. Kedua dapat dipakai secara
dipertukarkan. Apabila kita mengatakan bahwa sumber pokok ajaran Islam adalah al-Quran
dan Hadis Nabi saw, maka sama maknanya dengan kita mengakatan al-Quran dan Sunnah
Nabi saw. Akan tetapi apabila dilacak asal usul etimologis kedua kata itu, maka terlihat
bahwa antara keduanya terdapat perbedaan. Hadis secara harfiah berarti ‘laporan’.
Maksudnya adalah laporan di seputar Nabi saw dan juga Sahabat dan Tabiin. Sedangkan
sunnah mengandung konotasi normatif yang merupakan ajaran agama yang terkandung di
dalam hadis itu. Jadi hadis adalah wadah yang berisi sunnah dan sunnah adalah kandungan
yang terdapat di dalam hadis. Kita mengetahui sunnah Nabi saw melalui hadis. Oleh karena
2. Zulfaroni, MA. Klasifikasi hadis di tinjau dari berbagai aspek. Februari 19, 2023

3. Aṭ-Ṭaḥḥān, Taisīr Muṣṭaaḥ al-Ḥadīṡ (Riyad: Maktabat al-Ma‘ārif li an-Nasyr wa at-Tauzī‘,


1431/2010), h. 17; lihat juga Nūruddīn ‘Itr, al-Manhaj fī ‘Ulūm al-Ḥadīṡ (Beirut: Dār al-Fikr al-Mu‘āṣir dan
Damaskus: Dār al-Fikr, 1418/1997), h. 27.

vi
hadis memuat sunnah dan sunnah terkandung di dalam hadis, lama kelamaan kedua istilah
lalu menjadi identik dalam pemakaian, karena orang yang membaca hadis akan menemukan
sunnah Nabi saw di dalamnya, yakni ajaran normatif beliau, dan orang yang ingin
mengetahui sunnah Nabi saw tidak ada jalan lain kecuali melalui hadis, yakni laporan seputar
Nabi saw.4

Klasifikasi Hadist

Hadist dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria yaitu bermulanya ujung


sanad, keutuhan rantai sanad, jumlah penutur (rawi) serta tingkat keaslian hadist (dapat
diterima atau tidaknya hadist bersangkutan).
1) Berdasarkan ujung sanad, klasifikasi ini hadist dibagi menjadi 3 golongan yakni
marfu (terangkat), mauquf (terhenti).
2) Berdasarkan keutugan rantai atau lapisan sanad. hadist terbagi menjadi beberapa
golongan yakni Musnad, Mursal, Munqathi, Muallaq, Mudlal dan Mudallas.
Keutuhan rantai sanad maksudnya ialah setiap penutur pada tiap tingkatan
dimungkinkan secara waktu dan kondisi untuk mendengar dari penutur di atasnya.
3) Berdasarkan jumlah penutur. Jumlah penutur yang dimaksud adalah jumlah penutur
dalam tiap tingkatan dari sanad, atau ketersediaan beberapa jalur berbeda yang
menjadi sanad hadist tersebut. Berdasarkan klasifikasi ini hadist dibagi atas hadist
mutawatir dan hadist ahad.
4) Berdasarkan tingkat keaslian hadist. Kategorisasi tingkat keaslian hadist adalah
klasifikasi yang paling penting dan merupakan kesimpulan terhadap tingkat
penerimaan atau penolakan terhadap hadist tersebut. Tingkatan hadist pada klasifikasi
ini terbagi menjadi empat tingkat yakni shahih, hasan, dla’if dan maudlu’.5

B. Macam-Macam Klasifikasi Hadist

4. Syamsul Anwar. Hadist sebagai pengembangan hidup dan pengembangan keilmuan. hal, 02

5. https://digilib.unila.ac.id/10518/16/2.%20BAB%202.pdf

vii
Dalam memelajari hadits, yang sering menjadi persoalan adalah tentang kebenaran isi
serta sumbernya. Benarkah Rasul pernah melakukan atau mengucapkannya, Sebab itu,
mengetahui kebenaran sebuah informasi yang mengatas namakan Rasulullah (hadits)
sangatlah penting. Para ulama hadits membagi hadits berdasarkan kualitasnya dalam tiga
kategori, yaitu hadits shahih, hadits hasan, hadits dhaif.
Hadits Shahih
Hadits shahih ialah hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang
berkualitas dan tidak lemah hafalannya, di dalam sanad dan matannya tidak ada syadz dan
illat. Mahmud Thahan dalam Taisir Musthalahil Hadits menjelaskan hadits shahih adalah:
‫ما اتصل سنده بنقل العدل الظابط عن مثله إلى منتهاه من غير شذوذ وال علة‬
Setiap hadits yang rangkaian sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang
adil dan dhabit dari awal sampai akhir sanad, tidak terdapat di dalamnya syadz dan ‘illah.
Hadits Hasan
Hadits hasan hampir sama dengan hadits shahih, yaitu hadits yang rangkaian
sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit, tidak terdapat syadz
dan ‘illah. Perbedaan dari kedua jenis hadits ini adalah kualitas hafalan perawi hadits hasan
tidak sekuat hadits shahih. Ulama hadits sebenarnya berbeda-beda dalam mendefenisikan
hadits hasan. Menurut Mahmud Thahhan, defenisi yang mendekati kebenaran adalah definisi
yang dibuat Ibnu Hajar. Menurut beliau hadits hasan ialah:
‫هو ما اتصل سنده بنقل العدل الذي خف ضبطه عن مثله إلى منتهاه من غير شذوذ وال علة‬
Hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi adil, namun kualitas
hafalannya tidak seperti hadits shahih, tidak terdapat syadz dan ‘illah.
Hadits Dhaif
Hadits dhaif ialah hadits yang tidak memenuhi persyaratan hadits shahih dan hadits
hasan. Dalam Mandzumah Bayquni disebutkan hadits hasan adalah:
‫ فهو الضعيف وهو اقسام كثر‬# ‫وكل ما عن رتبة الحسن قصر‬
Setiap hadits yang kualitasnya lebih rendah dari hadits hasan adalah dhaif dan hadits
dhaif memiliki banyak ragam.
Dilihat dari definisinya, dapat dipahami bahwa hadits shahih adalah hadits yang
kualitasnya paling tinggi, kemudian di bawahnya adalah hadits hasan. Para ulama sepakat
bahwa hadits shahih dan hasan dapat dijadikan sebagai sumber hukum. Sementara hadits
dhaif ialah hadits yang lemah dan tidak bisa dijadikan sebagai sumber hukum. Namun dalam
beberapa kasus, menurut ulama hadits, hadits dhaif boleh diamalkan selama tidak terlalu
lemah dan untuk fadhail amal.6

Dalam disiplin Ilmu Hadis, para Ulama ahli hadis telah membagi hadis dari segi
jumlah rawi atau kuantitas periwayat menjadi dua macam yaitu Hadis Mutawatir dan

6. Ponpes Al Hasannah Bengkulu. Macam-macam hadist berdasarkan kualitasnya. 01 oktober 2020.

viii
Hadis Ahad. Pembagian keduanya berdasarkan batasan jumlah rawi pada setiap thobaqoh.
Jika jumlah rawi pada setiap thobaqoh tak terbatasi, maka disebut
hadis Mutawwatir. Sedangkan hadis Ahad, yaitu apabila jumlah rawi yang pada
setiap thobaqoh (tingkatan) terbatas.
a. Hadis Mutawatir
Definisi Hadis Mutawwatir menurut bahasa, ialah isim fa’il dari At-Tawatur (dalam
bahasa Arab ‫)التواتر‬. Sedangkan menurut istilah, ialah Hadis yang diriwayatkan oleh rowi
yang banyak pada setiap tingkatan sanad-nya yang menurut akal tidak mungkin para perawi
tersebut sepakat untuk memalsukan Hadis.
Al-Hafidz Ibn Hajar Al-Asqolani memberikan syarat untuk Hadis Mutawwatir dengan
beberapa syarat:
1) Diriwayatkan oleh jumlah perawi yang banyak.
Hadis Mutawatir tidak dibatasi dengan jumlah perawi. Oleh sebab itu, wajib
mengamalkan dengannya tanpa menyelusuri para perawinya. Para ulama berbeda pendapat
tentang jumlah minimal perawi.
Menurut Imam Al-Baqilany jumlah perawi tidak cukup empat orang, paling sedikit lima
orang. Sedangkan menurut Imam Al-Isthokhry jumlah perawi paling sedikit sepuluh orang,
pendapat inilah yang dipilih para Ulama, karena jumlah tersebut permulaan jumlah yang
banyak.
2) Menurut kebiasaan tidak mungkin mereka bersekongkol atau bersepakat untuk dusta.
Syaikh Al-Halibi menjelaskan dalam kitabnya Fi Nuktihi ‘alan Nuhjah hal 56 tentang
perbedaan diantara kata At-Tawathuu dan At-Tawafuq. Kata At-Tawathu’ (dalam bahasa
Arab ‫ )التواطؤ‬ialah, suatu kelompok bersepakat untuk memalsukan hadis setelah musyawarah,
sehingga perkataan seorang dari mereka tidak berbeda dengan lainnya, sedangkan kata At-
Tawafuq (dalam bahasa Arab ‫ )التوافق‬ialah terjadinya pemalsuan hadis tanpa musyawarah
disebabkan lupa, dusta atau disengaja untuk memalsukan hadis.7
3) Jumlah yang banyak ini berada pada semua tingkatan sanad.
Pengertian dari syarat ini ialah jumlah yang banyak pada semua tingkatan sanad dari awal
sampai akhir sanad kepada seorang yang meriwayatkannya baik
secara qouliyyah ataupun fi’iliyyah. Akan tetapi maksud dari itu bukan semua tingkatan
dengan jumlah yang sama.
4) Sandaran hadis mereka dengan menggunakan panca indera, bukan denga sesuatu yang
dipikirkan .
Syaikh As-Samahi menjelaskan pada kitab Ar-Riwayah hal 51 hadis yang diriwayatkan
dengan panca indera secara yakin bukan dengan akal. Seperti kata: ‫ ( س‹‹معنا‬kami telah
mendengar), ‫( رأينا‬kami telah melihat) dan semacamnya dengan menggunkan panca indera.
Jika tidak diriwayatkan dengan panca indera, maka bukan Hadis Mutawatir.
Hadis Mutawatir terbagi dua bagian, yaitu Mutawatir Lafdi dan Mutawatir Ma’nawi .

7. Doktor Mahmud At-Tahhan, Taisir Mustholahul Hadits, Al-Haromain, hal 19.

ix
a) Mutawatir Lafdi : Hadis yang lafad dan maknanya mutawatir. Misalnya hadis ‫من كذب‬
‫علي متعمدًا فليتبوأ مقعده من النار‬
“Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka dia akan mendapatkan tempat
duduknya dari api neraka”.
Hadis di atas diriwayatkan oleh tujuh puluh lebih sahabat dan jumlah yang perawi yang
banyak bahkan lebih terus berlanjut sampai tingkatan setelahnya.
b) Mutawatir Ma’nawi : Hadis yang maknanya mutawatir dan lafad-nya tidak mutawatir.
Hadis ini menunjukan satu makna yang sama dengan beberapa lafad yang beda.
Misalnya hadis tentang Raf’ul Yadaini biddu’a, Al-Haudl, Ar-Ruyah dan selainnya.
Hadis Mutawatir mengandung ilmu yang harus diyakini yang mengharuskan kepada
manusia untuk mempercayainya dengan sepenuh hati, seperti seseorang yang tidak ragu-ragu
menyaksikan dirinya. Oleh karena itu semua Hadis Mutawwatir hukumnya diterima dan tidak
perlu adanya penelitian keadaan perawinya.
Ibn Hiban dan Al-Hazimi berpendapat hadis Mutawatir itu tidak ada sama sekali, dengan
alasan kenapa Ulama Ahli Hadis tidak membahasnya, karena para ulama Ahli Hadis hanya
membahas seputar diterima dan ditolaknya Hadis dari segi sanad dan matan. Dan
Hadis Mutawatir tidak perlu penilitian kepada semua perawi, karena
Hadis Mutawatir mengandung ilmu yang jarus diyakini, pendapat Ibn Hiban dan Al-
Hazimi tidak perlu ditarik kesimpulan tentang Hadis Mutawatir itu tidak ada, padahal Ulama
Ahli Hadis memberikan contoh hadis “man kadzaba ‘alayya muta’amidan fal yatabawwa
maq’adahu minnar” itu benar ada, sedangkan Ibn Sholah mengatakan Hadis Mutawatir itu
sedikit dan jarang.
Akan tetapi Ibn Hajar pada Syarh An-Nukhbah menentang kedua pendapat diatas, tentang
pendapat Ibn Hiban dan Al-Hazimi yang mengatakan tidak ada dan Ibn Sholah yang
mengatakan sedikit. Hal itu timbul karena, sedikitnya penilitian tentang tingkatan-tingkatan
yang banyak, keadaan perawi, dan sifat perawi yang menurut kebiasaan terhindar dari
bersepakat untuk dusta. Kemudian Ibn Hajar juga mengatakan : “sungguh baik orang yang
mengatakan Hadis Mutawatir itu ada dalam kategori Hadis, bahwasannya banyak kitab-kitab
yang terkenal di kalangan Ahli Ilmu dari Barat dan Timur.
b. Hadis Ahad
Pembagian hadis berdasarkan jumlah rowi di tiap thobaqohnya yang kedua ialah
Hadis Ahad. Secara etimologi kata “‫ ”اآلحاد‬adalah bentuk jamak dari kata “‫”أحد‬yang berarti
“satu”. Adapun pengertian Hadis Ahad menurut istilah ialah hadis yang tidak sampai pada
derajat mutawatir. Sebagaimana yang diapaparkan ulama berikut ini:
‫ما لم يجمع شروط المتواتر‬
“Suatu hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat mutawatir”.
‫ وما رواه اثنان وما رواه ثالثة‬،‫ما لم تجتمع فيه شروط المتواتر فيشمل ما رواه واحد في طبقة أو في جميع الطبقات‬
‫فصاعدا ما لم يصل إلى عدد التواتر‬
“Suatu hadis yang tidak terkumpul syarat-syarat mutawatir di dalamnya, maka setiap
hadis yang di riwayatkan oleh satu rowi di setiap thobaqoh atau di semua thobaqoh. Dan

x
setiap hadis yang di riwayatkan oleh dua atau tiga rowi atau lebih dan belum sampai pada
batas mutawatir”
Berdasarkan jumlah rowi dalam tiap thobaqoh, ulama membagi hadis Ahad menjadi
tiga macam, diantaranya:
Hadis Masyhur: Yaitu hadis yang diriwayatkan oleh 3 perowi atau lebih di
setiap thobaqohnya dan tidak sampai batas mutawatir. Para ulama fiqih juga menamai
hadis masyhur dengan nama “Al-Mustafidl” yaitu suatu hadis yang mempunyai jalan terbatas
lebih dari dua dan tidak sampai pada batas mutawatir.
Contoh:
“‫”ِإَّن َهَّللا َال َيْقِبُض الِع ْلَم اْنِتَز اًعا َيْنَتِز ُع ُه ِم َن الِع َباِد ……الحديث‬
Hadis Aziz: Yaitu hadis yang perawinya tidak kurang dari dua orang dalam semua
tingkatan thobaqoh.
Contoh:
)‫ “ال يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من ولده ووالده والناس أجمعين”(رواه البخاري‬:‫قوله صّلى هللا عليه وسّلم‬
Hadis Gharib: Yaitu suatu hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi sendirian,
atau oleh satu orang rawi saja di setiap thobaqoh.
Contoh:
)‫إنما األعمال بالنيات وإنما لكل امرئ مانوى (متفق عليه‬
Para ulama berbeda pendapat di dalam menggunakan hadis Ahad. Apabila
berhubungan dengan masalah hukum maka menurut jumhur ulama, wajib di amalkan. Akan
tetapi sebagian dari golongan Hanafiah menolak hadis ahad dalam masalah Ammu al-
Balwa seperti wudhunya orang yang menyentuh kelamin, begitu juga dalam masalah
hukuman had. Sebagian golongan Malikiyah memenangkan Qiyas dari pada
hadis ahad ketika bertentangan, padahal menurut para ulama hadis yang benar yaitu
bahwasanya hadis ahad yang muttasil (sanadnya bersambung) serta diriwayatkan oleh rowi
yang adil itu di terima dalam semua hukum dan dimenangkan daripada Qiyas. Pendapat ini
didukung oleh Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal, serta para imam-imam hadis, fiqih dan
ushul fiqih.8

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

8. Abu Mundzir Mahmud bin Muhammad bin Mustofa bin Abdillathif Al-Manyawi, Syarhul Mukhtashar li nukhbatil fikhri
li ibn hajarin Al- Asqalani , (Mesir:1432 H), software Maktabah Syamilah,Juz 1 hal 12.

xi
Dalam definisi standar mengenai hadis di kalangan ahli-ahli hadis, hadis diartikan
sebagai, “Pernyataan, perbuatan, persetujuan diam-diam, atau sifat yang di nisbahkan kepada
Nabi Muhammad saw.” Hadis Nabi SAW. merupakan salah satu sumber ajaran agama Islam
yang kedudukannya dalam ajaran agama sebagai sumber kedua setelah Al-Qur’an,
keduanya saling melengkapi antara satu dengan yang lain, dan mentaatinya wajib bagi kaum
muslimin sebagaimana wajibnya mentaati Al-Qur’an.
Hadits menurut istilah ahli hadis, ialah :“Segala ucapan Nabi,segala perbuatan beliau
dan segala keadaan beliau”. Disamping Al-Quran, hadis juga menjadi pedoman bagi
kehidupan manusia. Rasulullah merupakan uswatun hasanah bagi kita karena apapun yang
beliau katakan selalu dibimbing oleh Allah SWT.
Hadis secara harfiah berarti ‘laporan’. Maksudnya adalah laporan di seputar Nabi saw
dan juga Sahabat dan Tabiin. Sedangkan sunnah mengandung konotasi normatif yang
merupakan ajaran agama yang terkandung di dalam hadis itu. Jadi hadis adalah wadah yang
berisi sunnah dan sunnah adalah kandungan yang terdapat di dalam hadis.
Hadist dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria yaitu bermulanya ujung
sanad, keutuhan rantai sanad, jumlah penutur (rawi) serta tingkat keaslian hadist (dapat
diterima atau tidaknya hadist bersangkutan).
Dalam memelajari hadits, yang sering menjadi persoalan adalah tentang kebenaran isi
serta sumbernya. Benarkah Rasul pernah melakukan atau mengucapkannya, Sebab itu,
mengetahui kebenaran sebuah informasi yang mengatas namakan Rasulullah (hadits)
sangatlah penting. Para ulama hadits membagi hadits berdasarkan kualitasnya dalam tiga
kategori, yaitu hadits shahih, hadits hasan, hadits dhaif.

Dalam disiplin Ilmu Hadis, para Ulama ahli hadis telah membagi hadis dari segi
jumlah rawi atau kuantitas periwayat menjadi dua macam yaitu Hadis Mutawatir dan
Hadis Ahad. Pembagian keduanya berdasarkan batasan jumlah rawi pada setiap thobaqoh.
Jika jumlah rawi pada setiap thobaqoh tak terbatasi, maka disebut
hadis Mutawwatir. Sedangkan hadis Ahad, yaitu apabila jumlah rawi yang pada
setiap thobaqoh (tingkatan) terbatas.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Mundzir Mahmud bin Muhammad bin Musthofa bin Abdul Lathif, Syarh Mukhtashor
lin Nukhbatul Fikri.

xii
li ibni Hajar Al-Asqolany, Soft Ware Al-Maktabah As-Asyamilah, hal 8.
Zulfaroni, MA. Klasifikasi hadis di tinjau dari berbagai aspek. Februari 19, 2023

Aṭ-Ṭaḥḥān, Taisīr Muṣṭaaḥ al-Ḥadīṡ (Riyad: Maktabat al-Ma‘ārif li an-Nasyr wa at-Tauzī‘,


1431/2010), h. 17; lihat juga Nūruddīn ‘Itr, al-Manhaj fī ‘Ulūm al-Ḥadīṡ (Beirut: Dār al-
Fikral-Mu‘āṣir dan Damaskus: Dār al-Fikr, 1418/1997), h. 27.

Syamsul Anwar. Hadist sebagai pengembangan hidup dan pengembangan keilmuan. hal, 02

https://digilib.unila.ac.id/10518/16/2.%20BAB%202.pdf

Ponpes Al Hasannah Bengkulu. Macam-macam hadist berdasarkan kualitasnya. 01 oktober


2020.

Doktor Mahmud At-Tahhan, Taisir Mustholahul Hadits, Al-Haromain, hal 19.Abu Mundzir
Mahmud bin Muhammad bin Mustofa bin Abdillathif Al-Manyawi, Syarhul
Mukhtashar li nukhbatil fikhri li ibn hajarin Al- Asqalani , (Mesir:1432 H), software
Maktabah Syamilah,Juz 1 hal 12

xiii

Anda mungkin juga menyukai