Anda di halaman 1dari 17

PERBEDAAN HADIST ATSAR, KHOBAR, SUNNAH

Disuusn untuk memenuhi tugas mata Kuliah Ulumul Hadist

Dosen Pengampu :

Samsul Muarif, M.E.

Disusun Oleh :

Ubaidillah Najibur Rohman

12022011

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PATI

FAKULTAS TARBIYAH

PROGRAM PGMI

2024

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME atas rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini tepat waktu.

Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada para dosen yang telah
membantu penulisan makalah ini. Selain itu, penulis ingin mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah memberikan semangat dan inspirasi kepada
kami selama proses penulisan makalah ini, serta kawan-kawan yang telah
memberikan berbagai bantuannya. Penulis berharap isi dari makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca.

Ketidaksempurnaan kami sebagai manusia, sehingga penulis selalu


terbuka terhadap kritik dan saran dari pembaca guna menghasilkan karya tulis
yang lebih baik di lain waktu dan kesempatan.

, 05 Maret 2024

Penyusun

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam Agama Islam dikenal dua sumber utama yang menjadi acuan
dalam menjalankan ajaran Islam, yaitu Al-Qur’an dan segala hal yang
bersumber dari Nabi Muhammad SAW yang lebih sering disebut sebagai
Hadits. Al-Qur’an merupakan sumber pertama dan utama dalam kajian Islam.
Sedangkan Hadits merupakan sumber kedua dalam ajaran Islam. Kedua
sumber penting itu merupakan pegangan hidup umat Islam, yang jika
dipegang secara teguh, maka akan mampu menghindarkan dari ketersesatan,
baik di dunia maupun di akhirat.
Sebagai sebuah sumber hukum yang penting bagi umat Islam, hadits
telah dikaji berkali-kali oleh umat Islam dari masa ke masa. Dalam kajian
Hadits, terdapat berbagai macam diskursus yang menarik, terutama terkait
peristilahan yang digunakan untuk menyebut segala hal yang merupakan
sabda Nabi SAW, perilaku beliau, persetujuan beliau atas sebuah peristiwa
maupun respon-respon beliau terhadap kondisi masyarakat sekitar. Maka
seringkali disebutkan dalam literatur-literatur kajian Hadits istilah seperti
Hadits, Sunnah, Khabar, Atsar maupun Hadits Qudsi. Akan tetapi seringkali
ditemukan, penggunaan istilah-istilah tersebut masih terkesan menyamakan
antara Hadits, Sunnah, Khabar, Atsar maupun Hadits Qudsi. Istilah-istilah
tersebut dipergunakan secara acak yang terkadang menimbulkan pertanyaan
terkait apakah istilah-istilah tersebut berbeda ataukah sama.
Dalam dunia pendidikan Islam, istilah-istilah tersebut dipergunakan
begitu saja. Dalam buku-buku atau kitab-kitab keIslaman, juga seringkali
menggunakan istilah tersebut secara acak. Jika melihat implikasinya secara
sekilas barangkali tidak terlalu berarti. Akan tetapi ketiadaan penegasan itu
barangkali akan menimbulkan pemahaman yang tumpang tindih yang pada
kelanjutannya akan mengaburkan dalam proses kajian keIslaman. Hal ini
senada dengan apa yang diungkapkan oleh Na’im yang menyatakan bahwa
hal yang paling utama dan pertama dilakukan dalam sebuah kajian adalah

3
mengetahui terhadap apa yang dikaji. Memahami tentang istilah yang dikaji
memiliki arti penting untuk tercapainya kejelasan orientasi dan penentuan
langkah strategis. Di samping itu finalisasi dalam aspek terminologis
keilmuan Hadits tidak akan didapatkan apabila tidak ada kepastian dalam
membedakan peristilahan-peristilahan tersebut. Oleh karena itu, tulisan ini
setidaknya akan ikut andil dalam menggali aspek kronologis penyebutan
varian istilah hadits tersebut.
Oleh karenya, Makalah ini kurang lebih akan mengulas tentang
beberapa hal seperti: pengertian Hadits, Sunnah, Khabar, Atsar, dan Hadits
Qudsi; Perbedaan Ulama’ tentang definisi masing-masing istilah itu;
perbedaan diantara ke lima hal itu; dan Implikasi penggunaan varian istilah
Hadits dalam kajian pendidikan Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Hadist ?
2. Bagaimana yang dimaksud Hadist Atsar, Khobar, Sunnah ?
3. Apa saja perbedaan dari Hadist Atsar, Khobar, Sunnah ?

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetehui Pengertian Hadist.
2. Untuk Mengetahui Hadist Atsar, Khobar, Sunnah
3. Untuk mengetehui perbedaan dari Hadist Atsar, Khobar, Sunnah

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadist
Istilah Hadis atau Hadits seringkali dimaksudkan untuk menunjukkan
hal-hal yang terkait dengan diri Nabi Muhammad SAW, baik yang berbentuk
perbuatan, sabda (perkataan), persetujuan maupun hal-hal lain yang lebih luas.
Akan tetapi tidak sedikit pula yang menyebut hal itu dengan istilah sunnah.
Inilah yang selalu menjadi perbincangan “wajib” dalam setiap literatur-
literatur studi hadits.
Beberapa literatur yang membahas tentang hadits, selalu memulai
mengartikan istilah Hadits dari tinjauan kebahasaan (etimologi). Barang kali
ini menjadi sangat urgen mengingat bahwa setiap kata yang menjadi istilah
pasti memiliki asal-usul penggunaan sebelum kata tersebut berkembang dan
menyempit maknanya dalam peristilahan keilmuan tertentu. Kata Hadits
(dalam teks arab: ‫ديث‬CC‫ )ح‬dalam tinjauan kebahasaan (etimologis), memiliki
kemiripan arti dengan kata: ‫ حدث – يحدث – حدوثا – وحداثة‬yang dalam penjelasan
Abdul Majid memiliki beberapa makna seperti baru (al-jiddah), lemah lembut
(ath-thariy), dan bermakna berita, pembicaraan atau perkataan (al-khabr wa
al-kalaam). Oleh karenanya dari makna khabr (berita) inilah Hasbi Al-
Shiddiqiy berpendapat bahwa makna itu sering dihubungkan dengan kata
tahdits yang berarti periwayatan atau ikhbar yang berarti penyampaian berita.
Betatapun konten sebuah hadits dimodifikasi, di dalamnya tetap
terdapat unsur ikhbar (mengabarkan) ataupun tahdits (mengucapkan dalam
rangka memberitahukan). Penggunaan kata Hadits dalam berbagai konteks
kalimat dan berbagai arti ini juga dapat dilacak dalam beberapa ayat Al-Qur-
an seperti pada surat Adl-Dhuha ayat 11.

5
Perbedaan tersebut disebabkan karena terpengaruh oleh terbatas dan luasnya
objek peninjauan mereka masing-masing, yang tentu saja mengandung
kecenderungan pada aliran ilmu yang didalaminya.
Menurut istilah ahli ushul fiqih, pengertian hadits ialah:
‫كل ماصدر عن النبي صلى هللا عليه وسلم غيرالقرأن الكريم من قول او فعل اوتقرير مما يصله ان يكون‬
‫دليال لحكم شرع‬
“Hadits yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW selain Al-
Qur’an al-Karim, baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir Nabi yang
bersangkut paut dengan dengan hukum syara”.

Sedangkan Ulama Hadits mendefinisikan Hadits sebagai berikut:


‫كل ما أثرعن النبي صلى هللا عليه وسلم من قول او فعل اوتقرير اوصفة خلقية او خلقية‬
“Segala sesuatu yang diberikan dari Nabi SAW baik berupa sabda, perbuatan,
taqrir, sifat-sifat maupun hal ihwal Nabi”.

Adapun menurut istilah, para ahli berbeda-beda dalam memberikan


definisi sesuai denga latar belakang disiplin keilmuan masing-masing,
sebagaimana perbedaan antara ahi ushul dan ahli hadits dalam memberikan
definisi al-hadits. Antaralain:
a) Ahli Hadits:

‫َاْقَو اُل الًنِبّي َص لى هللا َع َلْيِه َو َس ّلَم َو َاْفَع اُلُه َو َاْح َو اُلُه‬
Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan dan hal ihwalnya

‫َم ا ُاِض ْيَف ِاَلى اَّنِبي َص َّلى هللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقْو ًال اْو ِفعًال َاْو َتْقِر ْيًرا َاْو َص ّفًة‬

Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan,


perbuatan, ketetapan (taqrir) maupun sifat beliau.

6
Dari definisi tersebut dapat dimengerti bahwa hadits meliputi biografi Nabi
SAW, sifat-sifat yang melekat padanya, baik berupa fisik maupun hal-hal yang
terkait dengan masalah psikis dan akhlak keseharian Nabi, baik sebelum
maupun sesudah terutus sebagai Nabi.
b) Ahli Ushul:
‫اقوال الَّنِبَي َص َّلى هللا َع َلْيِه َو سَّلَم َو اْفَع اُلُه َو َتْقِر ْيَر َاُتُه َاَّلِتى ُتَثَّبُت اَالَح َك اَم َو ُتَقَّرُرهَا‬
Semua perkataan Nabi SAW, perbuatan dan taqrirnya yang berkaitan dengan
hukum-hukum syara' dan ketetapanya.
Dari definisi tersebut dapat dimengerti bahwa hadits adalah segala sesuatu yang
bersumber dari Nabi SAW, baik ucapan, perbuatan, maupun ketetapan-ketetapan
Allah yang disyari’atkan kepada manusia.
Lain halnya dengan ahli fiqih, hadits dipandang sebagai suatu perbuatan yang
harus dilakukan, tetapi tingkatanya tidak sampai wajib, atau fardlu, sebab hadits
masuk kedalam suatu pekerjaan yang setatus hukumnya lebih utama dikerjakan,
artinya suatu amalan apabila dikerjakan mendapatkan pahala dan apabila
ditinggalkan tidak dituntut apa-apa, akan tetapi apabila ketentuan tersebut
dilanggar mendapat dosa.
Dengan demikian, maka hadits memiliki kesamaan arti dengan kata sunnah,
khabar, dan atsar. Ahli hadits dan ahli ushul berbeda pendapat dalam
memeberikan pengertian tentang hadits. Dikalangan umat hadits sendiri ada
beberapa pendapat dalam memberikan pengertian masing-masing.
Dalam kajian hadits ulama sering mengistilahkan hadits dengan penisbatan
sahabat yang meriwayatkan atau tema hadits atau tema hadits itu sendiri atau
tempat peristiwa dan lainya.
Misalnya penisbatan kepada perawi hadits Abu Hurairah itu lebih kuat dari pada
hadits Wail ibn Hujr, maksudnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Wail ibn
Hujr.
Kemudian penisbatan kepada peristiwa hadits al-gharaniq, maksudnya hadits
yang menceritakan kisah al-gharaniq. Misalnya penisbatan kepada tempat hadits
Ghadir Khum maksudnya hadits yang menceritakan kisah yang terjadi di Ghadir
Khum.

7
c) Contoh dari hadits Nabi Muhammad SAW:
‫إنما األعمال بالنيات‬
“ Segala amal perbuatan dengan niat”. (H.R. Al-Bukhori dan Muslim).

B. Definisi Hadist Atsar, Khobar, Sunnah

As-Sunnah
Menurut bahasa sunnah berarti
‫الطريقة محمودة كانت اومذمونة‬
“Jalan yang terpuji atau tercela”.
Adapun menurut istilah, ta’rif Sunnah antara lain sebagaimana
dikemukakan oleh Muhammad ajaj al-khathib:
Menurut istilah as-sunnah adalah pensarah Al-Qur’an, karena Rasulullah
bertugas menyampaikan Al-Qur’an dan menjelaskan pengertiannya. Maka
As-asunnah menerangkan ma’na Al-Qur’an, adalah dengan cara:
a. Menerangkan apa yang dimaksud dari ayat-ayat mudjmal, seperti
menerangkan waktu-waktu sembayang, bilangan raka’at, kaifiyat
ruku’, kaifiyat sujud, kadar-kadar zakat, waktu-waktu memberikan
zakat, macam-macamnya dan cara-cara mengerjakan haji.
b. Menerangkan hukum-hukum yang tidak ada didalam Al-Qur’an seperti
mengharamkan kita menikahi seseorang wanita bersamaan dengan
menikahi saudaranya ayahnya, atau saudara ibunya, seperti
mengharamkan kita makan binatang-binatang yang bertaring.
c. Menerangkan ma’na lafad, seperti mentafsirkan al maghdlubi ‘alaihim
dengan orang yahudi dan mantafsirkan adldlallin, dengan orang
nasrani.

8
Khabar
Secara etimologis khabar berasal dari kata :khabar, yang berarti ‘berita’.Adapun
secara terminologis, para ulama Hadits tidak sepakat dalam menyikapi lafadz
tersebut.sebagaimana mereka berpendapat adalah sinonim dari kata hadits dan
sebagian lagi tidak demikian. Karena Khabar adalah berita, baik berita dari Nabi
SAW, maupun dari sahabat atau berita dari tabi’in.
al-khabar ( ‫ )َاْلَخ َبُر‬dalam bahasa artinya warta atau berita, maksudnya sesuatu yang
diberitakandan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain atau sesuatu yang
disandarkan kepada nabi dan para sahabat, dilihat dari sudut pendekatan bahasa
ini kata khabar sama artinya dengan hadits. Jadi setiap hadits termasuk khabar,
tetapi tidak setiap khabar adalah hadits.
Menurut pengertian istilah, para ahli berbeda-beda dalam memberikan definisi
sesuai dengan latar belakang dan disiplin keilmuan masing-masing, diantaranya
adalah:
a) sebagian ulama mengatakan bahwa khabar ialah sesuatu yang datangnya selain
dari nabi SAW, sedangkan yang dari nabi SAW disebut hadits.
b) ulama lain mengatakan bahwa hadits lebih luas dari pada khabar, sebab setiap
hadits dikatakan khabar dan tidak dikatakan bahwa setiap khabar adalah hadits.
c) ahli hadits memberikan definisi sama antara hadits dengan khabar, yaitu segala
sesuatu yang datangnya dari nabi SAW, sahabat, dan tabi’in, baik perkataan,
perbuatan maupun ketetapanya.
Ulama lain berpendapat bahwa khabar hanya dimaksudkan sebagai berita yang
diterima dari selain Nabi Muhammad SAW. Orang yang meriwayatkan
sejarahdisebut khabary atau disebut muhaddisy.
Disamping itu pula yang berpendapat bahwa khabary itu sama dengan hadits,
keduanya dari Nabi SAW. Sedangkan atsar dari sahabat. Karenanya, maka timbul
hadits marfu’, mauquf atau maqtu’.
‫ما اضيف الى النبي صلى هللا عليه و سلم او غيره‬
“Segala sesuatu yang disandarkan atau berasal dari Nabi atau yang selain dari
Nabi”.

9
Contoh Ali bin Abi Thalib ra. Berkata:
‫من السنة وضع الكف تحت السرة في الصلغاة‬
“Sunnah ialah meletakkan tangan di bawah pusar”.

Atsar
Al-atsar dalam bahasa artinya adalah sisa (‫)َبِقّيُة الَّش ئ‬, sedangkan menurut
pengertian istilah, para ahli berbeda-beda sesuai dengan latar belakang
disiplin ilmu mereka masing-masing, diantaranya adalah:
a) Jumhur berpendapat bahwa atsar sama dengan khabar, yaitu sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi SAW, sahabat, dan tabi’in.
b) menurut ulama lain, seperti ulama Kharasan atsar untuk hadits mauquf
dan khabar untuk hadits marfu.
c) ahli hadits lain mengatakan tidak sama, yaitu khabar, berasal dari nabi,
sedangkan atsar sesuatu yang di sandarkan hanya kepada sahabat dan
tabi’in, baik perbuatan maupun perkataan.
Empat pengertian tentang hadits, sunnah, khabar, dan atsar sebagaimana
diuraikan di atas, menurut Jumhur ulama hadits juga dapat
dipergunakan untuk maksud yng sama, yaitu bahwa hadits disebut juga
dengan sunnah, khabar atau atsar. Begitu juga sunnah bisa disebut
dengan hadits, khabar, atsar. Maka hadits mutawatir disebut juga
sunnah mutawatir, begitu juga hadits shahih dapat juga disebut dengan
sunnah shahih, khabar shahih dan atsar shahih.

C. Perbedaan Hadits dengan Sunnah, Khabar dan Atsar


Perdebatan para Ulama’ terkait peristilahan yang terkait Hadits
memang telah terjadi. Mereka mendefinisikan Sunnah, Hadits, Khabar
maupun Atsar dalam perspektifnya masing-masing. Akan tetapi jika
melihat definisi yang diuraikan, sebenarnya ada benarnya apa yang
diungkapkan oleh Hasbie Ash-Shiddiqiy, bahwa perbedaan definisi itu
tidak prinsipil.

10
Dalam arti perbedaan-perbedaan seputar apakah istilah itu sama
atau berbeda diantara yang lain hanyalah berbeda sudut pandang yang
tidak sampai mengarah pada kerancuan penyebutan objek. Misalnya
ketika seseorang mengatakan “ini hadits, ini khabar, atau ini atsar”, maka
tentu yang dimaksud adalah sesuatu yang berhubungan dengan Nabi
SAW, kecuali jika terdapat keterangan bahwa itu memang bukan dari
Nabi SAW. Dan memang pada kenyataannya, dalam literature-literatur
Islam klasik penyebutan istilah itu disamakan atau dipertukarkan satu
sama lain.
Perbedaan penyebutan istilah di kalangan Ulama’ menurut penulis
lebih disebabkan karena masing-masing kata tersebut memang memiliki
makna yang layak untuk menyebut sebuah berita yang diklaim datang
dari Nabi SAW. Misalnya kata Hadits yang berari omongan atau
pembicaraan; atau kata khabar yang berarti kabar atau berita; atau kata
atsar yang berarti bekas atau sisa memang kesemuanya itu layak untuk
menyebut sesuatu yang berhubungan dengan Nabi SAW. Walaupun
demikian adanya, kita juga tetap perlu mempertimbangkan konsep
keumuman dan kekhususan istilah tersebut, sebagaiman dinyatakan
dalam pemaparan terdahulu. Maka konteks ini menurut penulis, hal yang
penting dilakukan adalah adanya qoyyid atau penjelasan dari manakah
riwayat itu berasal.
Dalam kaitannya dengan kajian keIslaman maupun terkhusus pada
kajian pendidikan Islam, perbedaan penyebutan istilah tersebut memang
bisa jadi berpotensi menimbulkan kerancuan, terutama pada terma
hadits dan sunnah. Hadits dan Sunnah memiliki perbedaan yang cukup
jelas, yang jika itu disamakan maka bisa jadi akan menimbulkan
ketidakjelasan dalam kajian. Karena hadits lebih terkait dengan
seperangkat formula matan, sanad dan rowi yang itu merupakan hasil
tangkapan panca indra, sedangkan sunnah lebih kepada apa yang

11
dipraktekkan oleh Nabi SAW. Asumsi lain dari penulis, kajian dalam hadits
hanya berkutat pada hasil-hasil periwayatan verbal, baik itu dari lisan
maupun dari kitab-kitab yang ditulis oleh para Ulama’ penghimpun
hadits. Sedangkan dalam kajian sunnah lebih luas lagi, karena selain
mengkaji hadits sebagai verbalisasi dari sunnah juga mengkaji aspek lain
yang tidak terdapat dalam formulasi hadits seperti misalnya konteks
sejarah (historisitas), situasi sosial budaya ketika sunnah tersebut
berlangsung dan lain sebagainya. Maka dengan demikian bukan tidak
mungkin bahwa kajian sunnah akan mampu mengungkap dan memotret
secara lebih utuh fenomena yang terjadi pada masa Nabi SAW.
Dari keempat tema tersebut dapat ditarik bahwa tema tersebut
sangat berguna sebagai ilmu tambahan bagi masyarakat Islam untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan dan menentukan kulitas dan
kuwantitas Hadits, sunnah, Khabar dan Atsar. Para ulama juga
membedakan antara hadits, sunnah, khabar dan atsar sebagai berikut:
a) Hadits dan sunnah:
Hadits terbatas pada perkataan, perbuatan, takrir yang bersumber pada
Nabi SAW, sedangkan sunnah segala yang bersumber dari Nabi SAW
baik berupa perkataan, perbuatan, takrir, tabiat, budi pekerti atau
perjalanan hidupnya, baik sebelum di angkat menjadi rasulmaupun
sesudahnya.
b) Hadits dan khabar:
Sebagian ulama hadits berpendapat bahwa khabar sebagai suatu yang
berasal atau disandarkan kepada selain nabi SAW., hadits sebagai
sesuatu yang berasal atau disandarkan pada Nabi SAW.

c) Hadits dan atsar:


Jumhur ulama berpendapat bahwa atsar sama artinya dengan khabar
dan hadits. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa atsar sama

12
dengan khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan pada Nabi SAW,
sahabat dan tabiin.

13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
a. Dalam mendefinisikan Hadits para Ulama’ berbeda pendapat. Ada
yang mengatakan bahwa hadits adalah sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi; atau sahabat; atau tabi’in. Akan tetapi, pada
pembahasan ini disimpulkan bahwa Hadits adalah sesuatu yang
dikaitkan dengan Nabi SAW yang berupa bentuk verbal
(periwayatan).
b. Sunnah lebih menekankan kepada Practical Tradition (kebiasaan
yang dipraktekkan), yakni meliputi praktek-praktek yang dilakukan
Nabi SAW dan ditirukan oleh sahabat, tabi’in dan orang-orang
setelahnya.
c. Khabar merupakan bentuk umum dari sesuatu yang diriwayatkan.
Maka dalam hal ini, Ulama’ berbeda pendapat tentang sandaran
khabar yang bisa mengarah ke marfu’, mauquf atau maqtu’.
Sedangkan Atsar, juga mengalami hal yang sama dengan khabar.
d. Hadits Qudsi adalah hadits yang oleh Rasululloh disandarkan
kepada Allah SWT. Dalam arti, Rasululloh meriwayatkan hadis
tersebut dari Allah SWT. dalam pada itu Ulama’ berselih paham
tentang lafadz dan makna Hadits Qudsi. Ada yang menyatakan
bahwa lafadz dan makna hadits qudsi semuanya dari Allah. Dan
ada pula yang mengatakan bahwa lafadz hadis qudsi merupakan
lafadz Nabi SAW, sedangkan maknanya dari Allah SWT.
e. Sunnah dan Hadits meskipun banyak Ulama’ yang mengatakan
murodif, namun menurut beberapa pakar dapat ditemukan sisi
perbedaannya. Sunnah lebih menekankan kepada praktek
(perilaku tampak) yang dilakukan NabiSAW, sementara Hadits
lebih mengarah kepada verbalisasi atau hasil periwayatan yang

14
mengandung unsur-unsur teknis keilmuan seperti sanad, rawi dan
matan.
f. Perbedaan antara Hadits, Khabar dan Atsar tidak terlalu signifikan,
hanya saja beberapa Ulama’ menyetujui konsep umum-khusus
dalam penggunaan istilah tersebut. Perbedaan yang cukup
signifikan justru terjadi pada Hadits dan Sunnah seperti yang telah
diungkapkan di atas. Perbedaan antara hadits dan sunnah
tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi fokus dalam kajian
Islam. Para pengkaji yang ingin mengkaji Sunnah berarti dia harus
mengkaji apa yang dipraktekkan oleh Nabi selama hidupnya
lengkap dengan konteks sosial budaya dan sejenisnya pada masa
itu. Sementara bagi para pengkaji Hadits, hanya berkutat pada
sistematika periwayatan sunnah-sunnah Nabi yang meliputi
Matan, rawi, sanad dan sesamanya.

B. Saran
Dalam makalah ini tentunya ada banyak sekali koreksi dari para
pembaca, karena kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna.
Maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
para pembaca yang dengan itu semua kami harapkan makalah ini akan
menjadi lebih baik lagi.

15
DAFTAR PUSTAKA
Jalal al-Diin Al-Mahalli dan Jalal al-Diin Al-Suyuthi, Tafsir al-Qur’an
al-‘Adziim. --:Dar al-Fikr
Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad Ahmad, (--:
Wizarah Auqof al-Mishriyyah, CD Maktabah Syameela: Ishdar II
Mahmud Al-Thahan, Taisir Mushthalahu al-Hadits. Kuwait:--, 1415 H
Mahfudz bib Abdillah At-Tirmisiy, Manhaj Dzawi al-Nadzr (Jeddah: al-
Haramain, 1974
al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqalaniy, Nuzhat al-Nadzar fi Taudlihi Nukhbati al-
Fikar fi Mushthalahi Ahli al-Atsar, (Maktabah Misykah: dalam CD
Maktabah Syameela Ishdar II).
Al-Imam Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuthi, Tadriib Al-rawi fi Syarhi
Taqriib Al_Nawawi, (Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyyah, 1996
Muhammad bin Mukarram bin Mandzur, Lisan al-‘Arab (Beirut: Dar Shadir, tt
Abu al-Husain ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Jail,--)
Akib Muslim, Ilmu Mustalahul Hadis: Kajian Hostoris Metodologis (Kediri:
STAIN Kediri Press,2010
Muhammad Alwi Al-Maliki, Al-Manhallu al-Lathiifu fi Ushuuli al-Hadiitsi al-
Syariifi, terj. Adnan Qohar (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2009
Al-Imam Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuthi, Tadriib Al-rawi fi Syarhi
Taqriib Al_Nawawi, (Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyyah, 1996
Subhi Shalih, Al-Hadits wa Mushtalahuhu,…;
Manna Khalil Qattan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, terj. Mifdlol A. (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2004
Abd al-Haq al-Dahlawi, Muqaddimah fi Ushuli Al-Hadits (Beirut: Dar al-
Basya’ir Al-Islamiyyah,1986

16
Abu al-Husain ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Jail,--)
Dzikri Nirwana, “Rekonsepsi Hadis Dalam Wacana Studi Islam: Telaah
Terminologis Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar”, Jurnal Edu-Islamika,
Vol. 3 No.1 Maret 2012
Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin M. Bandung: Pustaka, 1984
TM Hasbie Ash-Shiddiqiy, Sejarah dan Pengantar Hadis. Semarang: Pustaka
Rizki Putra,1997

17

Anda mungkin juga menyukai