Anda di halaman 1dari 7

PENGENALAN ILMU HADIST, TUJUAN BESERTA KLARIFIKASI ILMU HADIST

1
Hurin’in, 2Adhimas Rizki Kurnianto
Dosen PAI STIT Makrifatul Ilmi Bengkulu Selatan
Mahasiswa PAI STIT Makrifatul Ilmi Bengkulu Selatan
Email : hurinin@gmail.com , Adhimasrizki160@gmail.com

Abstrak: Kata hadits bisa berarti baru lawan kata lama, bisa juga berarti dekat dan juga bisa
berarti berita. Dalam terminologi Islam istilah hadits berarti melaporkan/ mencatat sebuah
pernyataan dan tingkah laku dari Nabi Muhammad SAW. Namun pada saat ini kata hadits
mengalami perluasan makna, sehingga disinonimkan dengan sunnah, atsar dan taqrir, maka bisa
berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Nabi Muhammad
SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum. Secara struktur hadits terdiri atas dua komponen
utama yakni sanad/isnad dan matan. Klasifikasi hadits menurut dapat (diterima) atau ditolaknya
hadits sebagai hujjah (dasar hukum) adalah: hadits shohih, hadits hasan dan hadits dhoif
Kata kunci : Al-Qur’an, hadits, musthalah

Abstract : The word hadith can mean new versus old, can also mean close and can also mean
news. In Islamic terminology the term hadith means reporting/recording a statement and
behavior of the Prophet Muhammad. But at this time the word hadith is experiencing an
expansion of meaning, so that it is synonymous with sunnah, atsar and taqrir, so it can mean all
the words (sayings), deeds, decrees and agreements of the Prophet Muhammad that were made
into stipulations or laws. Structurally, hadith consists of two main components, namely
sanad/isnad and matan. The classification of hadith according to whether (accepted) or rejected
hadith as evidence (legal basis) is: shohih hadith, hasan hadith and dhoif hadith

Keywords: Al-Qur'an, hadith, musthalah

PENDAHULUAN
Pada masa rasulullah masih hidup, zaman khulafaur rasyidin dan sebagian besar zaman
umayyah sehingga akhir abad pertama hijrah, hadis-hadis nabi tersebar melalui mulut kemulut.
Ketika itu umat islam belum memiliki inisiatif untuk menghimpun hadis-hadis nabi yang
bertebaran. Mereka merasa cukup dengan menyimpan dalam hafalan yang terkenal kuat. Dan
memang diakui oleh sejarah bahwa kekuatan hafalan para sahabat dan tabi’in benar-benar sulit
tandingannya. Hadis nabi tersebar ke berbagai wilayah yang luas dibawa oleh para sahabat dan
tabi’in ke seluruh penjuru dunia. Para sahabatpun mulai berkurang jumlahnya karena meninggal
dunia. Sementara itu usaha pemalsuan terhadap hadis-hadis nabi makin bertambah banyak, baik
yang dibuat oleh orang-orang zindik dan musush-musuh islam maupun yang datang dari orang
islam sendiri.
Yang dimaksud dengan pemalsuan hadis ialah menyandarkan sesuatu yang bukan dari
nabi saw kemudian dikatakan dari nabi saw. Berbagai motifasi yang dilakukan mereka dalam hal
ini, ada kalanya kepentingan politik seperti yang dilakukan sekte-sekte tertentu setelah adanya
konflik fisik (fitnah) antara pro ali dan pro muawiyyah karena fanatisme golongan, madzhab,
ekonoi, perdagangan dan lain sebagainya pada masa berikutnya atau unsur kejujuran dan daya
ingat para perawi hadis yang berbeda. Oleh karena itu para ulama bangkit mengadakan riset
hadis-hadis yang beredar dan meletakkan dasar kaidah-kaidah yang ketat bagi seorang yang
meriwayatkan hadis yang nantinya ilmu itu disebut ilmu hadis.
Hadits memiliki kedudukan yang tinggi dalam penetapan hukum Islam. Tentunya setelah
Al-Qur’an yang merupakan sumber dari segala hukum Islam. Demikian pentingnya posisi hadits
dalam agama Islam, maka hadits senantiasa berkembang dalam arti penelitian terhadap
keabsahan materi hadits itu sendiri maupun dari keterpercayaan sanad-sanadnya. Hadits juga
dikatakan sebagai penjelas dari ayat-ayat Al-qur’an, terutama terhadap ayat-ayat mutasyabihat.
Di samping juga memberi kelengkapan dasar hukum Islam yang belum atau tidak ternaktub
dalam Al-Qur’an.

PEMBAHASAN
1. Pengertian ilmu hadist
Ulumul Hadis adalah istilah ilmu hadis di dalam tradisi ulama hadis. Ulumul
hadis terdiri adas dua kata, yaitu ‘ulum dan Al-hadist. Kata ‘ulum dalam bahasa arab
merupakan jamak dari kata ‘ilm yang berarti “ilmu-ilmu” sedangkan al-hadist di
kalangan Ulama Hadis berarti “segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi SAW dari
perbuatan, perkataan, taqir, atau sifat.” Dengan demikian, gabungan dari dua kata
tersebut mengandung pengertian “ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan hadis
nabi SAW.”
Sedangkan menurut Prof. Dr. T.M Hasbi Ash-Shiddiqy menyatakan, bahwa yang
dimaksud dengan “Ilmu Hadits” itu ialah: “ilmu yang berpautan dengan hadits.” Definisi
ini beeliau kemukakan, mengingat ilmu yang bersangkut paut dengan hadits itu banyak
macamnya.
Pada mulanya, ilmu-ilmu hadis memenag merupakan beberapa ilmu yang masing-
masing berdiri sendiri, yang berbicara tentang Hadist nabi Saw dan para perawinya,
seperti ilmu al-Hadist al-Shahih, ilmu al-mursal, ilmu al-asma wa al-kuna, dan lain-lain.
Penulisan ilmu-limu hadist secara parsial dilakukan, khusunya, oleh para ulama abad ke-
3 H.
Ilmu-ilmu yang terpisah dan bersifat parsial tersebut disebut dengan ulumul hadist,
karena masing-masing membicarakan tentang hadist dan perawinya. Akan tetapi, pada
masa berikutnya, ilmu-ilmuyang terpisah itu mulai digabungkan dan dijadikan satu, serta
selanjutnya, dipandang sebagai satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Terhadap ilmu
yang sudah digabungkan dan menjadi satu kesatuan tersebut tetap dipergunakan nama
ulumul hadist, sebagaimana halnya sebelum disatukan. Jadi, penggunaan lafaz jamak
ulumul hadist, setelah mengandung makna mufrad atau tunggal, yaitu ilmu hadist, karena
telah terjadi makna perubahan makna lafaz tersebut dari maknanya yang pertama
“beberapa ilmu yang terpisah” menjadi nama dari suatu disiplin ilmu yang khusus, yang
nama lainnya adalah Mushthalah al-Hadist.
1. Ilmu Hadits Dirayah
Yang dimasud dengan ilmu Hadist Dirayah adalah: “ilmu yang
mempelajari tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara-
cara menerima dan menyampaikan Hadist, sifat-sifat Rawi dan sebagainya”.
Dari penjelasan diatas dapat, maka dapat disimpulkan, bahwa yang menjadi objek
pembahasan ilmu hadist Dirayah ini ialah keadaan matan, sanad dan rawi hadist.
Sedangkan tujuan utama mempelajari Ilmu Hadist Dirayah ini ialah: untuk
mengetahui dan menetapkan tentang maqbul (dapat diterima) dan mardudnya
(tertolaknya) suatu hadist Nabi saw.
Dengan demikian, ilmu Hadist Dirayah merupakan mizan (neraca) yang harus
dipergunakan untuk menghadapi ilmu hadist Riwayah.
Menurut Prof. Hasbi, bahwa ilmu hadist Dirayah ini, pada zaman Muaqaddimin
dinamai dengan “Ulumul Hadits” dan pada masa yang akhir ini dimasyhurkan
dengan nama ‘Ilmu Musthalah”

2. Ilmu Hadits Riwayah


Jumhur ulama memberikan batasan tentang definisi Ilmu Hadits Riwayah,
“Suatu Ilmu untuk mengetahui sabda-sabda Nabi, perbuatan-perbuatan Nabi, taqrir-
taqrir Nabi, dan sifat-sifat beliau”.
Dengan kata lain, Ilmu Hadits Riwayah ialah ilmu yang membahas segala sesuatu
yang datang dari nabi, baik sabdanya, perbuatannya,taqrirnya dan sebagainya.
Dalam ilmu ini tidak dibahas tentang kejanggalan-kejanggalan atau cacatnya matan
hadits, tidak dibicarakan juga tentang apakah sanadnya bersambung atau tidak,
rawinya adil atau tidak.
Dengan demikian yang menjadi objek pembahasan dari ilmu Hadits Riwayah ini
adalah, pribadi Nabi dari segi sabdanya, perbuatannya, taqrirnya dan sifat-sifatnya.
Tujuan uatama mempelajari Ilmu Hadits Riwayah ini ialah untuk mengetahui
segala yang berpautan dengan pribadi nabi dalam usaha memahami dan
mengamalkan ajaran beliau guna memperoleh kemenangan dan kebahagiaan hidup
di dunia dan di akhirat.
2. Tujuan Mempelajari Ilmu Hadist
Hadits juga menjadi sumber hukum Islam selain Al-Quran. Maka dari itu banyak
Tujuan mempelajari Ilmu Hadist yang dapat kalian pelajari dan kalian terapkan dalam
kehidupan sehari-hari, diantaranya adalah:
A. Mengetahui Kualitas Hadits
Dalam ilmu hadits riwayat (ilmu musththalah hadits) kita dapat
mempelajari mengenai berbagai macam hadits yang telah disepakati para ulama’
hadits mengenai diterima atau ditolaknya hadits tersebut. Ya, tentu saja ini
berkaitan dengan kualitas hadits itu sendiri, baik hadits shahih, hadits hasan,
maupun hadits dhaif.
B. Mengamalkan Kandungan Hadits
Dengan Tepat Banyak kelompok yang mengaku sebagai “ahlus sunnah“,
namun prilaku dan amalan mereka cukup menyimpang dari sunnah dalam
perkembangan Islam. Sebagai contoh, kelompok yang melarang berziarah kubur
bahkan melarang berziarah makam Nabi Muhammad SAW, kelompok radikal
yang anti non-muslim seolah melarang berhubungan sosial dengan non-muslim,
kelompok yang dengan mudahnya mengkafirkan, membid’ahkan, dan mengklaim
sesat pada orang lain tanpa pertimbangan, dan lain sebagainya. Penyebab
daripada itu adalah karena mereka lebih cenderung berdasar pada satu atau dua
hadits saja, memaknai hadits dari segi tekstual tanpa menafsirkan, dan memaknai
hadits dengan pemikiran yang keliru. Padahal, kita hidup dalam keadaan yang
nyaman, di mana penafsiran hukum-hukum dalam berbagai macam hadits sudah
dinyatakan oleh para ulama’ yang ahli dalam pendapatnya, baik pada masa dulu
sampai saat ini.
C. Tidak Keliru Menafsirkan Hadits
Nah, tujuan mempelajari ilmu hadits selanjutnya adalah mencegah
pemikiran yang keliru dalam memaknai sebuah hadits. Untuk itu dalam
menafsirkan suatu hadits juga memerlukan pertimbangan dari para Ulama’.
D. Dapat Memahami Makna Utama Dalam Sebuah Hadits
Dalam ilmu hadits riwayah, kita juga akan mempelajari tentang isi dan
makna yang terkandung dalam sebuah hadits itu sendiri, yaitu makna kontekstual
yang paling ditekankan dalam mengamalkan sebuah hukum dalam hadits. Dari
manfaat yang ke-empat ini, intinya dalam memahami makna dalam sebuah hadits
diperlukan hadits-hadits lain untuk memperkuat hadits yang kita pelajari.
Itulah beberapa Tujuan Mempelajari Ilmu Hadits yang dapat kita sama-sama
pahami.
3. Klarifikasi Ilmu Hadist
Klasifikasi hadits menurut dapat (diterima) atau ditolaknya hadits sebagai
hujjah (dasar hukum) adalah:
1. Hadits Shohih, adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil,
sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak ber illat dan tidak janggal. Illat
hadits yang dimaksud adalah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat
menodai keshohihan suatu hadits.
Suatu hadits dapat dinilai shohih apabila telah memenuhi 5 syarat :
• Rawinya bersifat Adil
• Sempurna ingatan
• Sanadnya tidak terputus
• Hadits itu tidak berillat dan
• Hadits itu tidak janggal
Arti Adil dalam periwayatan, seorang rawi harus memenuhi 4 syarat untuk
dinilai adil, yaitu :
• Selalu memelihara perbuatan taat dan menjahui perbuatan maksiat.
• Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan
santun.
• Tidak melakukan perkara-perkara Mubah yang dapat
menggugurkan iman kepada kadar dan mengakibatkan penyesalan.
• Tidak mengikuti pendapat salah satu madzhab yang bertentangan
dengan dasar Syara'.
2. Hadits Hasan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil, tapi tidak
begitu kuat ingatannya (hafalan), bersambung sanadnya, dan tidak terdapat
illat serta kejanggalan pada matannya. Hadits Hasan termasuk hadits yang
Makbul, biasanya dibuat hujjah buat sesuatu hal yang tidak terlalu berat atau
terlalu penting.
3. Hadits Dhoif adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syaratsyarat
hadits shohih atau hadits hasan. Hadits Dhoif banyak macam ragamnya
dan mempunyai perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau
sedikitnya syarat-syarat hadits shohih atau hasan yang tidak dipenuhinya.
Klasifikasi Hadits Dhoif berdasarkan kecacatan perawinya:
• Hadits Maudhu': adalah hadits yang diciptakan oleh seorang pendusta
yang ciptaan itu mereka katakan bahwa itu adalah sabda Nabi SAW, baik
hal itu disengaja maupun tidak.
• Hadits Matruk: adalah hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang
diriwayatkan oleh orang yang dituduh dusta dalam perhaditsan.
• Hadits Munkar: adalah hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang
diriwayatkan oleh orang yang banyak kesalahannya, banyak
kelengahannya atau jelas kefasiqkannya yang bukan karena dusta. Di
dalam satu jurusan jika ada hadits yang diriwayatkan oleh dua hadits
lemah yang berlawanan, misal yang satu lemah sanadnya, sedang yang
satunya lagi lebih lemah sanadnya, maka yang lemah sanadnya dinamakan
hadits Ma'ruf dan yang lebih lemah dinamakan hadits Munkar.
• Hadits Mu'allal (Ma'lul, Mu'all): adalah hadits yang tampaknya baik,
namun setelah diadakan suatu penelitian dan penyelidikan ternyata ada
cacatnya. Hal ini terjadi karena salah sangka dari rawinya dengan
menganggap bahwa sanadnya bersambung, padahal tidak. Hal ini hanya
bisa diketahui oleh orang-orang yang ahli hadits.
• Hadits Mudraj (saduran): adalah hadits yang disadur dengan sesuatu yang
bukan hadits atas perkiraan bahwa saduran itu termasuk hadits.
• Hadits Maqlub: adalah hadits yang terjadi mukhalafah (menyalahi hadits
lain), disebabkan mendahului atau mengakhirkan.
• Hadits Mudltharrib: adalah hadits yang menyalahi dengan hadits lain
terjadi dengan pergantian pada satu segi yang saling dapat bertahan,
dengan tidak ada yang dapat ditarjihkan (dikumpulkan).
KESIMPULAN
Ilmu Hadits adalah ilmu yang membahas atau berkaitan dengan Nabi SAW. Perintis
pertama Ilmu Hadits adalah Al Qadi Abu Muhammad Ar-Ramahurmuzy. Pada mulanya, Ilmu
Hadits merupakan beberapa ilmu yang masing-masing berdiri sendiri, ilmu-ilmu yang terpisah
dan bersifat parsial tersebut disebut dengan Ulumul Hadits, karena masing-masing
membicarakan tentang hadits dan para perawinya. Akan tetapi pada masa berikutnya ilmu-ilmu
itu digabungkan dan dijadikan satu serta tetap menggunakan nama Ulumul Hadits.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Ahadits al-mukhtaroh : au al-mustakhroj minal-ahadits al-mukhtaroh
mimma lam yukhorrijhu al-Bukhori wa Muslim fi shohihaihima /
Dhiyauddin Abu Abdillah Muhammad bin Abdul Wahid Al-Maqdisi
(567-643 H.).--Beirut: Dar Khodhr, 2001
Ajalah al-imla’ al-mutayassiroh min al-tadznib ‘ala ma waqo’a lil-hafizh
al-Mundziri min al-wahmi wa-ghoirihi / Ibrahim Muhammad AlDimasyqi al-Naji. --Riyadh: Al-
Ma’arif, 1999
Anisu al-sari / Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqolani.--Beirut: Al-Royyan,
2005
Athrof musnad Al-Imam Ahmad bin Hambal : al-musamma: Ithrof almusnid al-mu’talli bi-athrof
al-musnad Al-Hambali / Ahmad bin
Hajar Al-Asqolani.--Beirut:
Dar Ibn Katsir, 1993
Al-Badruttamam: syarh bulugh al-marom min adillah al-ahkam / Husain
Muhammad Al-Maghrobi.—
Riyadh: Dar Al-Wafa, 2004

Anda mungkin juga menyukai