Anda di halaman 1dari 18

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hadits secara harfiah berarti perkataan atau percakapan. Dalam


terminologi Islam istilah hadits berarti melaporkan atau mencatat sebuah
pernyataan dan tingkah laku dari Nabi Muhammad saw.
Menurut istilah ulama ahli hadits hadits yaitu apa yang diriwayatkan
dari Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapannya
(taqrir), sifat jasmani atau sifat akhlak, perjalanan setelah diangkat sebagai
Nabi (bi'tsah) dan terkadang juga sebelumnya. Sehingga, arti hadits di sini
semakna dengan sunnah.
Kata hadits yang mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan
dengan sunnah, maka pada saat ini bisa berarti segala perkataan (sabda),
perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Nabi Muhammad saw yang
dijadikan ketetapan ataupun hukum. Kata hadits itu sendiri adalah bukan kata
infinitif, maka kata tersebut adalah kata benda.
Secara struktur hadits terdiri atas tiga komponen utama yakni sanad
atau isnad (rantai penutur), matan (redaksi) dan Mukharrij (perawi). Menurut
para ahli banyak cabang-cabang ilmu hadis diantaranya akan dijelaskan pada
makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian ilmu hadis, sunnah, khabar, atsar?
2. Bagaimana struktur hadis (sanad, matan, rawi)?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian ilmu hadis, sunnah, khabar, atsar.
2. Mengetahui struktur hadis (sanad, matan, rawi).

1
2

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ilmu Hadist


Ulumul Hadis adalah istilah ilmu hadis di dalam tradisi ulama hadits.
(Arabnya: 'ulumul al-hadist). 'ulum al-hadist terdiri dari atas 2 kata, yaitu 'ulum
dan Al-hadist. Kata 'ulum dalam bahasa arab adalah bentuk jamak dari 'ilm,
jadi berarti "ilmu-ilmu"; sedangkan al-hadist di kalangan Ulama Hadis berarti
"segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi SAW dari perbuatan, perkataan,
taqir, atau sifat." dengan demikian, gabungan kata 'ulumul-hadist mengandung
pengertian "ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan Hadis nabi sholallahu
'alaihi wasallam".
Ilmu hadits adalah ilmu yang membahas kaidah-kaidah untuk
mengetahui kedudukan sanad dan matan, apakah diterima atau ditolak.
Menurut Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, ilmu hadits, yakni illmu
yang berpautan dengan hadits, banyak ragam macamnya.
Sebagai diketahui, banyak istilah untuk menyebut nama-nama hadits
sesuai dengan fungsinya dalam menetapkan syariat Islam. Ada hadits shahih,
hadits hasan, dan hadits dhoif. Masing-masing memiliki persyaratannya
sendiri-sendiri. Persyaratan itu ada yang berkaitan dengan persambungan
sanad, kualitas para periwayat yang dilalui hadits, dan ada pula yang berkaitan
dengan kandungan hadits itu sendiri. Maka persoalan yang ada dalam ilmu
hadits ada Dua. Pertama berkaitan dengan sanad, kedua berkaitan dengan
matan. Ilmu yang berkaitan dengan sanad akan mengantar kita menelusuri
apakah sebuah hadits itu bersambung sanadnya atau tidak, dan apakah para
periwayat hadits yang dicantumkan di dalam sanad hadits itu orang-orang
terpercaya atau tidak. Adapun ilmu yang berkaitan denga matan akan
membantu kita mempersoalkan dan akhirnya mengetahui apakah informasi
yang terkandung di dalamnya berasal dari Nabi atau tidak. Misalnya, apakah
kandungan hadits bertentangan dengan dalil lain atau tidak.1

1
Assa’idi,Sa’adullah, Hadis-hadis Sekte, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, h.11

2
3

1. Pengertian Hadis
Hadits, berasal dari bahasa Arab, al-hadīts, bentuk jadian dari kata
hadatsa, jamaknya adalah al-ahādīts,al-hudtsān, dan al-hidtsān. Secara
etimologis, kata ini memiliki beberapa arti, seperti; al-jadīd (yang baru),
lawan dari al-qadīm (yang lama), dan al-khabar (kabar atau berita yang
diterima, sedikit maupun banyak). Di sisi lain, dijelaskan pula bahwa secara
literal, hadits diartikan sebagai komunikasi, cerita, perbincangan (religius
atau sekuler, historis atau kekinian).
Ketika menjadi istilah teknis, hadits didefinisikan secara beragam
oleh banyak ulama dari berbagai latar belakang keilmuan danaliran. Ulama
hadits Sunnī misalnya, mendefinisikan hadits sebagai sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi saw., baik berupa perkataan, perbuatan,
persetujuan, dan sifat (penampilan fisik maupun budi pekerti). Definisi
tersebut, menurut ‘Itr, merupakan pandangan al-Kirmānī (w. 786 H.), al-
Thayyibī (w. 743 H.), dan yang para ulama sejalan dengannya. Selain itu,
sebagian ulama lainnya, memasukkan riwayat mawqūf dan maqthū’ (selain
marfū’) dalam kategori hadits , dan menganggap hadits identik dengan
khabar. Ibn Hajr al-Asqalānī (w. 852 H.) dalam Nuzhah al-Nazhr,
menyatakan bahwa khabar menurutulama hadits sinonim dengan hadits.
Dengan demikian, hadits , seperti halnya khabar, mencakup riwayat yang
marfū‘, mawqūf, dan maqthū‘.2
Menurut ahli hadist pengertian hadist ialah segala perkataan Nabi
SAW, perbuatan, dan hal ihwannya. Yang dimaksud dengan hal ihwal ialah
segala yang diriwayatkan dari Nabi SAW yang berkaitan dengan himmah,
karakteristik, sejarah kelahiran dan kebiasaan-kebiasaanya.
Ada juga yang memberikan pengertian lain, yaitu sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir,
maupun sifat beliau.

2
Dzikri Nirwana, Rekonsepsi Hadits Dalam Wacana Studi Islam [telaah
terminologis hadits, sunnah, khabar, dan atsar], Jurnal Edu-Islamika, Volume 4. No. 02.
September 2012, h. 291-292.
4

Tetapi sebagian muhaditssin berpendapat bahwa hadist mempunyai


cakupan pengertian yang lebih luas, tidak terbatas pada apa yang di
sampaikan kepada Nabi SAW saja, melainkan termasuk juga yang
disandarkan kepada para sahabat dan tabiin. Sebagaimana di sebutkan oleh
Al-Tirmizi;
''Bahwasanya hadist itu bukan hanya untuk sesuatu yang marfu',
yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, melainkan bisa
juga untuk sesuatu yang mauquf yaitu yang disandarkan kepada
sahabat dan yang maqtu' yaitu yang di sandarkan kepada tabiin.''

Sementara para ulama ushul memberikan pengertian hadist adalah


segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan taqrirnya yang berkaitan
dengan hukum syara' dan ketetapannya. Pengertian hadist menurut ahli
ushul lebih sempit dibanding dengan pengertian hadist menurut ahli hadist.
Menurut ahli ushul hadist adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi
SAW baik ucapan, perbuatan, maupun ketetapan yang berhubungan dengan
hukum atau ketentuan-ketantuan Allah yang disyariatkan kepada manusia.
Selain itu tidak bisa di katakan hadist.3

2. Sunnah
Secara etimologis, sunnah memiliki beberapa arti; ‘jalan yang
ditempuh’ (al-tharīqah al-maslūkah); ‘kesinambungan’ (al-dawām); ‘jalan
baik’ (al-tharīqah al-mahmūdah); dan ‘jalan yang terus diulangulang, yang
baik atau yang buruk’(al-tharīqah al-mu’tādah Hasanah kānat am
sayyi’ah). Ada yang mengungkapkan bahwa sunnah adalah ‘adat kebiasaan’
(al-‘ādah), yakni jalan yang terus diulang-ulang oleh beragam manusia, baik
yang dianggap sebagai ibadah ataupun yang bukan ibadah’.
Adapun secara terminologis, sunnah juga didefinisikan secara
beragam oleh para ulama. Ulama hadits misalnya, beranggapan bahwa
sunnah adalah sinonim dengan hadits . Dengan demikian, segala yang

3
Munzier Suparta, Ilmu Hadits, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, h. 4
5

disandarkan kepada Nabi saw., baik perkataan, perbuatan, persetujuan,


penampilan fisik dan budi pekerti.4

Dalam (QS. Al-Kahf [18]: 55), Allah berfirman;


ُ ‫َّل أَن ت َۡأتِيَ ُه ۡم‬
َ‫سنَّةُ ۡٱل َ َّولِين‬ ٓ َّ ‫اس أَن ي ُۡؤ ِمنُ ٓواْ ِإ ۡذ َجا ٓ َء ُه ُم ۡٱل ُهدَ ٰى َويَ ۡست َۡغ ِف ُرواْ َربَّ ُه ۡم ِإ‬
َ َّ‫َو َما َمنَ َع ٱلن‬
٥٥ ‫اب قُبُل‬ ٗ ُ َ‫أ َ ۡو يَ ۡأتِيَ ُه ُم ۡٱلعَذ‬
"Dan tidak sesuatu apapun yang menghalangi manusia dari beriman,
ketika petunjuk telah datang kepada mereka, dan memohon ampun
kepada tuhanya, kecuali (keinginan menanti ) datangnya hukum
(Allah yang telah berlaku pada) umat-umat terdahulu”.

Sedang sunnah menurut istilah, di kalangan ulama terdapat


perbedaan pendapat. Hal ini disebabkan karena perbedaan latar belakang,
persepsi, dan sudut pandang masing-masing terhadap diri Rasulullah SAW.
Secara garis besarnya mereka terkelompok menjadi tiga golongan; Ahli
Hadist, ahli Usul, dan ahli Fiqh.
Pengertian sunah menurut Ahli Hadist;
''Segala yang bersumber dari Nabi SAW. Baik berupa perkataan,
budi pekerti, perjalanan hidup, baik sebelum diangkat menjadi Rosul
maupun sesudahnya”.

Akan tetapi bagi ulama ushuliyyah jika antara sunnah dan Hadist
dibedakan , maka bagi mereka, hadist adalah sebatas sunnah qauliyah-nya
Nabi SAW saja. Ini berarti, sunnah cakupannya lebih luas di banding hadist,
sebab sunnah mencakup perkataan, perbuatan dan penetapan (taqrir) Rasul,
yang bisa di jadikan dalil hukum syar'i.5
Sementara ulama fikih, mendefinisikan sunnah dengan perspektif
yang berbeda dari ushūliyyūn dan muhadditsūn. Dalam persepsi fuqahā’,
sunnah diartikan sebagai ‘sesuatu yang ditetapkan dari Nabi saw., yang
tidak termasuk dalam kategori wajib atau fardhu’.

4
Dzikri Nirwana, Rekonsepsi Hadits,.. h. 296-298.
5
Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadits, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
2006, h. 4
6

3. Khabar
Secara harfiah, khabar diartikan sebagai ‘berita’, atau pembicaraan
yang masih mengandung kemungkinan benar dan dusta’. Dengan makna
kebahasaan seperti itu, maka khabar menjadi ekuivalen dengan hadits. Kata
hadits itu sendiri secara harfiah memang bisa berarti ‘berita’ (al-naba’).
Dibanding dengan sunnah, khabar lebih pantas dijadikan sebagai sinonim
kata hadits , karena yang disebut tahdīth, tidak lain adalah ikhbār, dan
demikian pula hadits Nabi saw. tidak lain adalah khabar yang disandarkan
kepadanya (marfū’).
Secara terminologis, mayoritas ulama hadits menganggap khabar
sinonim dengan hadits. Jadi, khabar meliputi sesuatu yang marfū’, mawqūf,
dan maqthū’. Namun, ada sebagian sarjana hadits yang membedakan istilah
khabar dengan hadits . Dikemukakan bahwa, hadits adalah sesuatu yang
datang dari Nabi saw., sedangkan khabar adalah sesuatu yang datang dari
selainnya. Sehingga, seseorang yang menekuni bidang sejarah disebut
akhbārī, sementara yang berkecimpung dalam sunnah disebut muhaddits.
Ada pula yang berpendapat bahwa antara khabar dan hadits mengandung
pengertian umum dan khusus. Disebutkan bahwa, seluruh hadits adalah
khabar, dan sebaliknya tidak semua khabar merupakan hadits. Ada lagi
pendapat yang menyebutkan bahwa kata hadits tidak pernah digunakan
untuk sesuatu yang selain marfū’, kecuali jika ada syarat pembatasan.6

4. Atsar
Dari sisi kebahasaan, atsar mengandung arti ‘sisa dari sesuatu’, atau
‘sisa dari gambaran sesuatu’, dan ‘hasil dari peninggalan’. Menurut Ibn
Fāris (w. 395 H.), ada tiga makna dasar dari atsar; ‘mendahulukan sesuatu’,
‘penyebutan sesuatu’, dan ‘gambaran sisa sesuatu’. Selain itu, kata atsar
dapat juga berarti khabar.
Secara terminologis, atsar juga dianggap sinonim dengan hadits ,
sunnah, dan khabar. Mayoritas ulama hadits mengartikan atsar sebagai
6
Dzikri Nirwana, Rekonsepsi Hadits,.. h. 320.
7

‘sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw., sahabat, ataupun tābi’īn’.


Sementara al-Nawāwī (w. 676 H.), menyebutkan bahwa atsar dalam
terminologi ulama salaf dan mayoritas ulama khalaf, adalah ‘sesuatu yang
diriwayatkan dari Nabi saw. (marfū’) maupun dari sahabat (mawqūf)’.
Menurut sebagian ulama hadits , ada distingsi antara terma hadits dan atsar.
Cakupan hadits hanyalah riwayat-riwayat marfū’ saja. Sedangkan atsar,
cakupannya adalah riwayat-riwayat mawqūf dan maqthū’.
Menurut ulama fikih Khurasan, sesuatu yang bersumber dari Nabi
saw., disebut sebagai khabar, dan yang berasal dari sahabat ebagai atsar.
Jadi, pengertian atsar hanya terbatas pada sesuatu yang disandarkan
kepada sahabat (mawqūf) dan bukan tābi’īn. Namun, secara tidak
langsung, pendapat tentang distingsi hadits dan atsar tersebut, telah
disanggah oleh beberapa sarjana hadits kontemporer. Shubhī al-Shālih
misalnya, menyatakan bahwa kata atsar, sebenarnya sinonim dengan kata
hadits , sunnah, maupun khabar. Hal ini dapat dilihat misalnya, dalam
Tadrīb al-Rāwī karya al-Suyūthī (w.911 H.), yang menyebutkan ungkapan
atsartu al-hadīts (saya telah meriwayatkan hadits). Selain itu, ahli hadits
(muhaddits), dapat disebut sebagai atsarī, karena penisbahannya kepada
kata atsar.7
Jumhur ulama’ mengatakan bahwa atsar sama dengan khabar, yaitu
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, sahabat, dan tabi’in.
Sedangkan menurut ulama’ Khurasan bahwa atsar untuk yang mauquf dan
khabar untuk yang marfu’.8

B. Struktur Hadis
Hadits Nabi yang lengkap dan jelas terdiri dari sanad, matan, dan
Mukharrij (perowi). Sehingga, ketiga struktur tersebut bisa dikatakan sebagai
tiga unsur (komponen) pokok yang terkandung didalamnya.

7
Dzikri Nirwana, Rekonsepsi Hadits,.. h. 303-304.
8
Munzier Suparta, Ilmu Hadits,... h.15
8

Sanad menurut bahasa berarti sandaran, yang kita bersandar padanya,


dan berarti dapat diperpegangi, dipercayai. Sedangkan menurut istilah, sanad
berarti keseluruhan rawy dalam suatu hadits dengan sifat dan bentuk yang ada.9
1. Sanad
Sanad dari segi bahasa artinya (sandaran, tempat yang bersandar,
yang menjadi sandaran) Sedangkan menurut istilah ahli hadits, sanad yaitu
Jalan yang menyampaikan matan hadits yakni rangkaian para perowi yang
memindahkan matan dari premernya. Jalur ini adakalanya yang disebut
dengan Sanad, adakalanya karena periwayat bersandar kepadanya dalam
menisbatkan matan kepada sumbernya, dan ada kalanya karena hafidz
bertumpu pada “yang menyebutkan sanad” dalam mengetahui shohih dan
dhoif nya suatu hadits. ( silsilah orang-orang yang menghubungkan kepada
matan hadits).
Silsilah orang yang dimaksud adalah susunan atau rangkaian orang-
orang yang menyampaikan materi hadits tersebut, sejak yang disebut
pertama sampai kepada Rosululloh SAW. yang perkata’an dan perbuatan,
dan lainya merupakan sanad atau matan hadits. Dengan pengetian tersebut,
sebutan sanad hanya berlaku pada rangkaian orang, bukan dilihat dari sudut
pribadi secara perseorangan.Dengan demikian, sanad adalah rantai penutur
atau perowi (periwayat) hadist.
Contoh Sanad:
‫حدث نا ع بد هللا ب ن ي و سف ق ا ل أخ برن ا مال ك عن اب ن شهاب عن دمحم‬
‫ سم عت ر سول هللا ص لى هللا‬: ‫ب ن ج ب ير ب ن مط عم عن أب يه ق ال‬
(‫ )رواه ال بخاري‬.‫ع ل يه ق رأ ف ى ال م غرب ال طور‬
Artinya:
“Memberitakan kepada kami Abdullah bin Yusuf ia berkata;
memberitakan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari
Muhammad bin Jubair bin Muth’im dari ayahnya berkata: “aku
mendengar Rasulallah SAW membaca surah Ath-Thur pada salat
maghrib.” (HR. Al-Bukhori).10

9
Mohamad S. Rahman, Kajian Matan dan Sanad Hadis dalam Kajian Historis,
Jurnal Al-Syir’ah Vol. 8, No. 2, Desember 2010, h. 427.
10
M.Nawawi, Pengantar Studi Hadith , Surabaya: Kopertais IV Press, 2010,
h.17
9

Contoh lain yaitu:


“Musaddad mengabari bahwa yahya sebagaimana diberitakan oleh
Syu’bah dari Qatdah dari Anas dari Rasulullah SAW bahwa beliau
bersabda:”

Sanad mengandung dua bagian penting, yakni:


a. Nama-nama periwayat yang terlibat dalam periwayatan hadits yang
bersangkutan.
b. Lambang-lambang periwayatan hadits yang telah digunakan oleh
masing-masing periwayat dalam meriwayatkan hadits yang
bersangkutan, misalnya sami’tu, akhbarani, ‘an, dan anna.11
2. Matan
Matan menurut lughat, ialah: tengah jalan, punggung bumi atau
bumi yang keras dan tinggi.
Menurut istilah, ialah:
‫الفا ظ الﺤد يﺚ الﺘى ﺘﺘقو م بهاالمعا نى‬
“ Lafad-lafad hadits yang dengan lafad-lafad itulah terbentuk makna”.12
Kata matan menurut bahasa berarti ‫ ما ارت فع و ص لب من االر ض‬yang berarti
tanah yang tinggi dan keras,namun ada pula yang mengartikan kata matan
dengan arti kekerasan, kekuatan, kesangatan. sedangkan arti matan menurut
istilah ada banyak pendapat yang dikemukakan para ahli dibidangnya,
diantaranya:
Menurut Muhammad At Tahhan
‫ما ي ن تهى ال يه ال س ند من ال ك الم‬
“Suatu kalimat tempat berakhirnya sanad”
Menurut Ath Thibbi
‫ال فاظ ال حدي ث ال تى ت ت قوم ب ها م عان ي‬
“Lafadz hadis yang dengan lafadz itu terbentuk makna”

11
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, Jakarta: Bulan Bintang,
1992, h. 25.
12
M. hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid Pertama,
Jakarta: Bulan Bintang, 1987 h. 44
10

Jadi pada dasarnya matan itu ialah berupa isi pokok dari sebuah
hadis, baik itu berupa perkataan Nabi atau perkataan seorang sahabat
tentang Nabi. Posisi matan dalam sebuah hadis amatlah penting karna dari
matan hadis tersebutlah adanya berita dari Nabi atau berita dari sahabat
tentang Nabi baik itu tentang syariat atau pun yang lainnya,
a. Contoh Matan
‫ من أحدث ف ى عن أم ال مؤ‬, ‫ ق ال ر سول هللا‬: ‫م ن ين عا ئ شة ر ضى هللا ع نها ق ال ت‬
)‫ (رواه م ت فق ع ل يه‬.‫أمرن ا هذا ما ل يس م نه ف هو رد‬
“Warta dari Ummu Al Mukminin, ‘Aisyah ra., ujarnya: ‘Rasulullah
SAW telah bersabda: barang siapa yang mengada-ngadakan sesuatu
yang bukan termasuk dalam urusan (agamaku), maka ia tertolak’. ”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Dari contoh hadist diatas yang dimaksud dengan matan hadis


ialah lafadz yang dimulai dengan ‫ من أحدث‬hingga lafadz ‫ ف هو رد‬atau
dengan kata lain yang dimaksud dengan bagian matan dari contoh hadis
di atas ialah lafadz ‫“ من أحدث ف ى أمرن ا هذا ما ل يس م نه ف هو رد‬barang siapa
yang mengada-ngadakan sesuatu yang bukan termasuk dalam urusan
(agamaku), maka ia tertolak”.13

3. Kedudukan Sanad Hadits


Para ahli hadits sangat berhati-hati dalam menerima suatu hadits
kecuali apabila mereka mengenal dari siapa mereka menerima setelah
benar-benar dapat dipercaya. Pada umumnya riwayat dari golongan
sahabat tidak ada persyaratan apapun untuk diterima periwayatanya. Akan
tetapi merekapun sangat berhati-hati dalam menrima hadits.
Pada masa khalifah Abu Bakar r.a dan Umar r.a periwayatan hadits
diawasi secara ketat dan hati-hati, dan tidak akan diterima jika tidak
disaksikan kebenaranya oleh seorang yang lain. Ali bin Abu Tholib tidak
menerima hadits sebelum yang meriwayatkanya disumpah.

13
M.Nawawi, Pengantar Studi Hadith,...h. 17
11

Meminta aksi kepada seorang perowi, bukanlah merupakan


keharusan dan hanya merupakan jalan untuk menerima hati dalam
menerima yang isi yang di beritakan itu. Jika dirasa tak perlu meminta
saksi atau sumpah para perowi, merekapun menerima periwayatanya.
Adapun meminta seseorang saksi atau menyeluruh perawi untuk
bersumpah untuk membenarkan riwayatnya, tidak dipandang sebagai suatu
undang-undang umum diterima atau tidaknya periwayatan hadits. Yang
diperlukan dalam menerima hadits adalah adanya kepercayaan penuh
kepada perawi. Jika sewaktu-waktu ragu tentang periwayatanya, maka
perlu didatangkan sakksi/keterangan.
Kedudukan sanad dalam hadits sangat penting karena hadits
diperoleh/atau di diriwayatkannya. Dengan sanad, suatu periwayataan
hadits dapat diketahui mana yang dapat diterima dan di tolak dan mana
hadits yang shohih atau tidak, untuk diamalkan. Sanad merupakan jalan
yang mulia untuk menetapkan hukum-hukum islam. Ada beberapa
riwayat dan atsar yang menerangkan keutama’an sanad.14

4. Mukharrij (rawi)
Kata Mukharrij merupakan bentuk Isim Fa’il (bentuk pelaku) dari
kata takhrij atau istikhraj dan ikhraj yang dalam bahasa diartikan;
menampakkan, mengeluarkan dan menarik. sedangkan menurut istilah
mukharrij ialah orang yang mengeluarkan, menyampaikan atau
menuliskan kedalam suatu kitab apa-apa yang pernah didengar dan
diterimanya dari seseorang (gurunya).
Di dalam suatu hadis biasanya disebutkan pada bagian terakhir
nama dari orang yang telah mengeluarkan hadis tersebut, semisal
mukharrij terakhir yang termaksud dalam Shahih Bukhari atau dalam
Sahih Muslim, ialah imam Bukhari atau imam Muslim dan begitu
seterusnya.

14
Saeful hadi, Ulumul Hadits, Yogyakarta: SABDA MEDIA, 2000, h. 1
12

Seperti pada contoh hadis yang pertama, pada bagian paling akhir
hadis tersebut disebutkan nama Al-Bukhari )‫ (يراخبلا هاور‬yang
menunjukkan bahwa beliaulah yang telah mengeluarkan hadis tersebut dan
termaktub dalam kitabnya yaitu Shahih Al-Bukhari. Begitu juga dengan
contoh hadis kedua yang telah mengeluarkan hadis tersebut ialah Imam
Al-Bukhari dan Imam Muslim.
Apabila kita mengutip matan hadits, dari kita tertentu, misalnya
kitab shohih al-bukhori, kemudian kita mencari matan hadits yang sama di
kitab yang lain (misalnya shohih muslim) dengan sanad yang berbeda,
tetapi juga bertemu dengan sanad al-bukhori,maka pekerjaan yang
demikian ini disebut istikhraj, atau takhrij. Sedang orang yang melakukan
kegiatan tersebut juga dinamakan mukharij tersebut dihimpun dalam satu
kitab, maka kitab yang demikian itu dinamakan kitab mustakhraj.
Contohnya adalah kitab mustakhraj Abu Nu’aim, yaitu kitab mustakhraj
hadits untuk hadits-hadits yang dimuat dalam kitab shahih Al-Bukhari.15

***

15
M.Nawawi, Pengantar Studi Hadith,...h. 24
13

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ulumul Hadis adalah istilah ilmu hadis di dalam tradisi ulama hadits.
(Arabnya: 'ulumul al-hadist). 'ulum al-hadist terdiri dari atas 2 kata, yaitu 'ulum
dan Al-hadist. Kata 'ulum dalam bahasa arab adalah bentuk jamak dari 'ilm,
jadi berarti "ilmu-ilmu"; sedangkan al-hadist di kalangan Ulama Hadis berarti
"segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi SAW dari perbuatan, perkataan,
taqir, atau sifat." dengan demikian, gabungan kata 'ulumul-hadist mengandung
pengertian "ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan Hadis nabi sholallahu
'alaihi wasallam".
Pengertian Hadits menurut bahasa yaitu al-jadid yang artinya sesuatu
yang baru. Sedang menurut istilah yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat beliau yang bisa
dijadikan hukum syara’ dan ketetapannya. Istilah lain yang semakna dengan
hadits adalah sunnah, khabar, dan atsar.
Sunnah menurut bahasa yaitu cara yang ditempuh, baik ataupun buruk,
atau jalan yang terpuji maupun yang tercela. Sedang menurut terminologinya,
berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi SAW, baik berupa
perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat-sifat jasmaniah maupun perilaku
beliau sebelum dan sesudah diangkat menjadi Rasul, dan dapat dijadikan dalil
hukum syara’ atau suri tauladan yang baik.
Sedangkan khabar menurut bahasa berarti berita yang disampaikan
seseorang kepada orang lain. Sedang pengertian khabar menurut istilah yaitu
sama dengan hadits, sesuatu yang datang dari Nabi, sahabat, dan tabi’in baik
berupa perkataan, pebuatan, dan ketetapannya.
Yang terakhir yaitu atsar. Pengertian atsar menurut bahasa sama artinya
dengan khabar, hadits dan sunnah. Sedangkan pengertiannya menurut istilah

13
14

yaitu segala sesuatu yang berasal dari sahabat yang juga disandarkan kepada
Nabi SAW.
Dari keempat pengertian hadits, sunnah, khabar, dan atsar, terdapat
kesamaan dan perbedaan makna menurut istilah masing-masing. Keempatnya
memiliki kesamaan maksud, yaitu segala yang bersumber dari Nabi SAW, baik
berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya. Sedangkan perbedaannya
yaitu:
1. Hadits dan Sunnah : hadits adalah istilah khusus untuk sabda nabi,
sedangkan sunnah lebih umum, yaitu segala sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi SAW.
2. Hadits dan Khabar : hadits adalah berita yang datang dari Nabi SAW,
sedangkan khabar adalah berita yang datangnya bukan dari Nabi SAW,
tetapi disandarkan kepada Nabi SAW. Jadi, setiap hadits pasti khabar tapi
tidak semua khabar itu hadits.
3. Hadits dan Atsar : hadits adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi SAW,
sedangkan atsar adalah perkataan yang datang dari para sahabat yang
disandarkan kepada Nabi.
Hadits Nabi yang lengkap dan jelas terdiri dari sanad, matan, dan
Mukharrij (perowi). Sehingga, ketiga struktur tersebut bisa dikatakan sebagai
tiga unsur (komponen) pokok yang terkandung didalamnya.
15

DAFTAR PUSTAKA

Al-Maliki, Muhammad Alawi, 2006, Ilmu Ushul Hadits, Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.

Ash Shiddieqy, M. Hasbi,1987, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid Pertama,


Jakarta: Bulan Bintang.

Assa’idi, Sa’adullah, 1996, Hadis-hadis Sekte, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hadi, Saeful, 2000, Ulumul Hadits, Yogyakarta: SABDA MEDIA.

Ismail, Syuhudi, 1992, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, Jakarta: Bulan


Bintang.

Munzier, Suparta, 2003, Ilmu Hadits, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Nawawi, M, 2010, Pengantar Studi Hadith , Surabaya: Kopertais IV Press.

Nirwana, Dzikri, Rekonsepsi Hadits Dalam Wacana Studi Islam [telaah


terminologis hadits, sunnah, khabar, dan atsar], Jurnal Edu-Islamika,
Volume 4. No. 02. September 2012.

Rahman, Mohamad S, Kajian Matan dan Sanad Hadis dalam Kajian Historis,
Jurnal Al-Syir’ah Vol. 8, No. 2, Desember 2010.
16

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ...................................................................................................... i


Kata Pengantar ................................................................................................. ii
BAB I
PENDAHULUAN ..............................................................................................1
A. Latar Belakang.........................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................1
C. Tujuan Penulisan .....................................................................................1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ilmu Hadis .............................................................................2

1. Pengertian Hadis ................................................................................3


2. Pengertian Sunnah .............................................................................4
3. Pengertian Khabar .............................................................................6
4. Pengerian Atsar..................................................................................6

B. Struktur Hadis .........................................................................................7


1. Sanad .................................................................................................8
2. Matan .................................................................................................9
3. Kedudukan Sanad ............................................................................10
4. Mukharrij .........................................................................................11

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan ......................................................................................................13
Daftar Pustaka .................................................................................................15

i
17

KATA PENGANTAR

Assalamu `alaikum Wr. Wb.


Puji syukur kepada Allah Swt yang telah memberikan limpahan Taufiq
dan HidayahNya kepada kita sekalian, Sholawat selalu tercurah kepada junjungan
kita Nabi Muhammad Saw yang membawa risalahnya hingga kita dapat
menikmati indahnya Iman dan Islam. Kesyukuran tiada henti itu menjadi
perwujudan takjub akan Ilmu pengetahuan yang semakin dinamis. Al Qur`an
sebagai sumber ilmu pengetahuan memberi ruang untuk kita dalam memahami
segala fenomena yang ada.
Hadis, Sunnah, Atsar, dan Khabar salah satu informasi yang bersifat
sumber hukum dalam Islam. Kedudukannya sering disamakan, akan tetapi pada
wurudnya dan muatan pesannya terjadi perbedaan. Di samping itu pula struktur
Hadis menjadi penguat keabsahan pesan yang disampaikan oleh Nabi saw.
Pada kesempatan kali ini penulis mencoba mengangkat Hadis, Sunnah,
Atsar, Dan Struktur Hadis Ditinjau Dari, Sanad, Matan, Rawi (Periwayat), Dan
Mukharrij sebagai pemenuhan tugas Mata Kuliah Studi Hadis yang dibimbing
oleh Bapak, Dr. Taufiq Warman Mahfudzh, Lc., M.Th.I.
Segenap pemikian telah penyusun curahkan untuk penyelesaian makalah
ini hingga makalah ini dapat disajikan, pemakalah menyadari masih terdapat
kelemahan dan kekurangan pada pencarian substansi masalah dan juga
metodologinya, hingga semua itu kembali pada pribadi pemakalah sebagai bahan
koreksi.
Akhirnya dengan mengharap Ridho Allah Swt, semoga makalah ini
mampu mengkonstruksi pemikiran kita dalam tantangan dunia pendidikan, serta
membawa manfaat untuk kita sekalian. Aamiin Yaa Rabbal `alamiin.
Wassalamu `alaikum Wr. Wb.
Palangka Raya, Maret 2019

Ahmad Syarif
18

HADIS, SUNNAH, ATSAR, DAN STRUKTUR HADIS DITINJAU


DARI, SANAD, MATAN, RAWI (PERIWAYAT), DAN MUKHARRIJ

Mata Kuliah : Studi Hadist


Dosen Pengampu : Dr. Taufiq Warman Mahfudzh, Lc., M.Th.I.

Pemakalah:

Ahmad Syarif : 18 0132 28

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA
PRODI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
1440 H/2019 M

Anda mungkin juga menyukai