Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

Bagi umat Islam khususnya, kehadiran Nabi Muhammad saw,tidak sekedar sebagai
‘penyampai’ ajaran Allah, yang nasihat dan saran-sarannya dibiarkan begitu saja tanpa
ketaatan yang total dari mereka, sebagaimana yang telah ditegaskan Allah swt. bahwa beliau
adalah panutan yang baik [uswah hasanah].Bahkan seseorang tidak akan disebut beriman
secara sempurna ketika dia tidak mengaplikasikan ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya yang
terangkum dalam al-Qur’an dan hadis dalam kehidupan keseharian.
Oleh karena itu, seseorang tidak mungkin dapat memisahkan apa yang berasal dari
Rasulullah saw. [yang disebut hadis] dengan apa yang datang dari Allah swt. [yang disebut
al-Qur’an]. Meminjam istilah Mustafa Yaqub, memisahkan hadis dari al-Qur’an, sama
artinya dengan memisahkan al-Qur’an dari kehidupan manusia. Keteladanan Nabi
Muhammad saw, ini tercermin tidak hanya dalam sabda dan perbuatan, tetapi juga sifat dan
karakternya yang diilustrasikan ‘A’isyah ra. sebagai ‘al-Qur’an berjalan’.Oleh karena itu,
tidak mengherankan jika dilihat dari sisi ini, ulama hadis menjadikan sifat [fisik dan psikis]
Nabi saw. (selain sabda, perbuatan dan persetujuannya), sebagai bagian yang integral dalam
terma hadis.Dalam hal ini, istilah hadis tersebut biasanya mengacu kepada segala sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw., berupa sabda, perbuatan, persetujuan, dan
sifatnya [fisik maupun psikis], baik yang terjadi sebelum maupun setelah kenabiannya.
Dalam khazanah ilmu hadis, terdapat sejumlah istilah yang dari sisi terminologis memiliki
pengertian serupa, yakni: hadits, sunnah, khabar, dan atsar. Menurut mayoritas ulama hadis,
keempat terma itu dianggap sinonim (mutaradif), sehingga dalam pemakaiannya dapat
dipertukarkan satu sama lain.
Sementara sebagian lainnya, beranggapan bahwa tiap-tiap terma itu mempunyai
kandungan makna yang berbeda. Dalam tulisan berikut ini, akan ditelaah secara terminologis
konsep hadis,sunnah,khabar dan atsar.Serta pengertian daripada sanad,matan dan rawi

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN HADITS,SUNNAH,KHABAR DAN ATSAR
a. Hadits
Istilah Hadis1 atau Hadits seringkali dimaksudkan untuk menunjukkan hal-hal yang
terkait dengan diri Nabi Muhammad SAW, baik yang berbentuk perbuatan, sabda
(perkataan), persetujuan maupun hal-hal lain yang lebih luas. Akan tetapi tidak sedikit pula
yang menyebut hal itu dengan istilah sunnah. Inilah yang selalu menjadi perbincangan
“wajib” dalam setiap literatur-literatur studi hadits.

Beberapa literatur yang membahas tentang hadits, selalu memulai mengartikan istilah
Hadits dari tinjauan kebahasaan (etimologi). Barang kali ini menjadi sangat urgen mengingat
bahwa setiap kata yang menjadi istilah pasti memiliki asal-usul penggunaan sebelum kata
tersebut berkembang dan menyempit maknanya dalam peristilahan keilmuan tertentu.

Kata Hadits (dalam teks arab: ‫ )حديث‬dalam tinjauan kebahasaan (etimologis), memiliki

kemiripan arti dengan kata: ‫ ح دث – حيدث – ح دوثا – وحداثة‬yang dalam penjelasan Abdul Majid

memiliki beberapa makna seperti baru (al-jiddah), lemah lembut (ath-thariy), dan bermakna
berita, pembicaraan atau perkataan (al-khabr wa al-kalaam).2 Oleh karenanya dari makna
khabr (berita) inilah Hasbi Al-Shiddiqiy berpendapat bahwa makna itu sering dihubungkan
dengan kata tahdits yang berarti periwayatan atau ikhbar yang berarti penyampaian berita.3
Betapapun konten sebuah hadits dimodifikasi, di dalamnya tetap terdapat unsur ikhbar
(mengabarkan) ataupun tahdits (mengucapkan dalam rangka memberitahukan). Penggunaan
kata Hadits dalam berbagai konteks kalimat dan berbagai arti ini juga dapat dilacak dalam
beberapa ayat Al-Qur-an seperti pada surat Adl-Dhuha ayat 11.

    


11. Dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu siarkan.

1
Kata Hadis ini,_dengan menggunakan ejaan berakhiran huruf “s”, bukan “ts”, telah terserap ke dalam
lingkup Bahasa Indonesia dengan pengertian sabda, perbuatan, takrir (ketetapan) Nabi Muhammad saw. yg
diriwayatkan atau diceritakan oleh sahabat untuk menjelaskan dan menentukan hukum Islam; atau bisa
diartikan sumber ajaran Islam yg kedua setelah Alquran. Lihat dalam Depdiknas, Kamus Besar Bahasa
Indonesia versi online 1.1
2
Lihat dalam: Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2012), hal: 1-2
3
TM. Hasbi Al-Shiddiqiy, Sejarah dan Pengantar Hadits (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), hal:
1

2
Penggunaan kata Hadits tersebut juga terdapat dalam sabda Nabi SAW seperti
misalnya pada sabda Nabi Muhammad SAW:

‫ قَ َال‬- ‫ أَنَّهُ قَ َال‬-‫ص لى اهلل علي ه وس لم‬- ِّ ‫ود َع ْن أَبِي ِه َع ِن النَّىِب‬ٍ ‫عن عب ِد ال رَّمْح ِن ب ِن عب ِد اللَّ ِه ب ِن مس ع‬
َُْ ْ َْ ْ َ َْ ْ َ
ِ ِ ِ ِ ُ ‫ َي ُق‬-‫صلى اهلل عليه وسلم‬- ‫ول اللَّ ِه‬ ِ ِ َّ ‫عب ُد‬
ُ‫َّر اللَّهُ ْام َرأً مَس َع منَّا َح ديثاً فَ َحفظَه‬
َ ‫ نَض‬-‫ول‬ َ ‫ت َر ُس‬ ُ ‫الرزَّاق مَس ْع‬ َْ
‫ظ لَهُ ِم ْن َس ِام ٍع‬ ْ ‫ب ُمَبلَّ ٍغ أ‬
ُ ‫َح َف‬ َّ ‫َحىَّت يَُبلِّغَهُ َفُر‬
Dari Abdurrahman bin Abdulloh bin Mas’ud dari ayahnya, dari Nabi SAW, bahwa ayahnya
tersebut berkata: “Abdul Razaq berkata saya mendengar Rasululloh SAW bersabda: “
semoga Allah memberikan cahaya pada orang yang mendengar hadits dari saya, kemudian
menghafalkannya lalu menyampaikannya, maka banyak orang yang menyampaikan itu lebih
hafal daripada orang yang (hanya) mendengar (HR. Ahmad)

Penggunaan kata Hadits dalam beberapa ayat Al-Qur-an dan Teks Hadits tersebut
pada akhirnya juga menjadi sandaran beberapa pakar hadits untuk menguatkan argumen-
argumen mereka tentang terminologi hadis.

Ketika segala hal yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW ini menjadi objek
kajian keilmuan dalam disiplin ilmu Musthalah al-Hadits, maka terdapatlah varian definisi
yang bermunculan untuk mengurai hakikat “hal-hal yang datang atau disandarkan pada Nabi
Muhammad SAW”. Maka dalam literatur studi Hadits terdapat beberapa definisi tentang
Hadits. Misalnya definisi Hadits yang diungkapkan oleh Muhadditsin (ulama’ hadis) seperti:

 Dr. Mahmud Al-Thahan:

‫ما اضيف اىل النيب من قول اوفعل او تقرير او صفة‬


Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi, yang meliputi perkataan, perbuatan, persetujuan,
maupun sifat.

 Syaikh Mahfudz At-Turmusiy (Syaikh Mahfudz Termas, Pacitan)

‫ان احلديث ال خيتص باملرفوع اليه صلى اهلل عليه وسلم بل جاء باملوقوف وهو‬
‫ما اضيف اىل الصحايب واملقطوع وهو ما اضيف للتابعي‬
“Bahwa Hadits itu bukan hanya untuk sesuatu yang marfu’, yaitu yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad SAW; melainkan juga bisa berupa sesuatu yang mauquf yaitu
yang disandarkan kepada shahabat dan juga bisa sesuatu yang maqtu’ yaitu yang
disandarkan kepada tabi’in”
 Syaikh Jalaluddin Abdurrahman Al-Suyuthi yang mengutip dari Syaikhul Islam
Ibnu Hajar,
Bahwa Hadits adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW.Dalam
uraiannya, Imam Suyuthi memaparkan bahwa memang terjadi berbagai macam pengertian

3
hadis. Bahkan dari macam-macam definisi tersebut terkesan meniadakan perbedaan antara
istilah-istilah tersebut. Semuanya, baik itu hadits, atsar maupun maupun khabar memang
memiliki sisi kemiripan.
Akan tetapi dari kesemua definisi hadis yang telah dipaparkan di atas, walaupun ada
perbedaan pemaparan, tetapi semuanya memiliki substansi yang sama, yaitu sebuah hal yang
penyandarannya diarahkan kepada Nabi SAW. Selain itu titik kesamaan lainnya adalah
bahwa substansi dari definisi tersebut mengarah kepada sebuah objek kajian. Dalam arti
setiap definisi di atas selalu mengisyaratkan kepada sebuah hal yang disandarkan pada
seseorang, yang itu menjadi objek kajian. Dan pada kenyataannya memang para ahli Hadits
menggunakan redaksi ma udlifa, atau ma jaa’a, ma utstsiro ilaihi dan sejenisnya. Hal ini
mengisyaratkan bahwa apa yang menjadi objek kajian ilmu hadits adalah sesuatu yang
disandarkan, yang pada kelanjutannya memerlukan proses untuk memastikan bahwa apa
yang disandarkan itu benar atau tidak, berkualitas atau tidak, dapat dipertanggungjawabkan
atau tidak, dan lain sebagainya.
b. Sunnah

Dalam tinjauan kebahasaan sunnah berarti jalan, perjalanan atau kebiasaan, baik itu
positif maupun negatif. Dalam ayat-ayat Al-Qur-an maupun Hadits, juga sering dijumpai kata
sunnah yang diartikan secara bervariatif. Seperti misalnya pada surat An-Nisa’ ayat 26:

         
    
“Allah hendak menerangkan (hukum syari'at-Nya) kepadamu, dan menunjukimu kepada
jalan-jalan orang yang sebelum kamu (para nabi dan shalihin) dan (hendak) menerima
taubatmu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”

Dalam ayat tersebut kata Sunnah (sunana) berarti jalan-jalan (banyak jalan), sesuai
dengan arti secara kebahasaannya. Hal yang serupa juga bisa ditemui dalam Hadits Nabi
SAW yang diriwayatkan oleh Jarir ibn Abdillah:

َ‫َج ِر َم ْن َع ِم َل هِبَا َوال‬ ِ


ْ ‫ب لَهُ مثْ ُل أ‬
ِ ‫ِ هِب‬ ِ ‫ىِف‬
َ ‫َم ْن َس َّن ا ِإل ْسالَم ُسنَّةً َح َسنَةً َفعُم َل َا َب ْع َدهُ ُكت‬
‫ب‬ ِ ‫يْن ُقص ِمن أُج و ِر ِهم َش ىء ومن س َّن ىِف ا ِإلس الَِم س نَّةً س يِّئةً َفعم هِب‬
َ ‫ِل َا َب ْع َدهُ ُكت‬ َ ُ ََ ُ ْ َ ْ ََ ٌْ ْ ُ ْ ُ َ
ِ ِ ‫علَي ِه ِمثْل ِو ْز ِر من ع ِمل هِب ا والَ يْن ُق‬
ٌ‫ص م ْن أ َْو َزا ِره ْم َش ْىء‬ ُ َ َ َ َ َ َْ ُ َْ
“Barangsiapa membuat inisiatif yang baik, ia akan mendapatkan pahala dan pahala
orang-orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa sedikitpun berkurang; dan
barangsiapa membuat inisiatif yang jelek, ia akan mendapatkan dosa dan dosa-dosa
orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa sedikitpun berkurang (HR. Muslim)

4
Sedangkan sunnah menurut perspektif terminologi, terdapat beberapa definisi yang di
paparkan oleh para Ulama’ Hadits. Ambillah contoh Ajjaj Al-Khatib maupun Sayyid
Muhammad bin Alwi Al-Maliki yang menjelaskan sunnah dalam 3 sudut pandang, yakni:
a. Sunnah menurut sebagian Muhadditsin: “Segala apa yang dinisbatkan kepada
Rasululloh baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, karakter fisik dan etika,
ataupun kebiasaan-kebiasaan Nabi SAW baik sebelum diangkat menjadi utusan-
seperti berhannuts-nya beliau di gua Hira- maupun setelah diangkat menjadi
rasul.” Sementara menurut Muhadditsin yang lain, Sayyid Muhammad
menjelaskan bahwa “sunnah itu termasuk segala sesuatu yang dihubungkan kepada
para sahabat atau tabi’in, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir ataupun sifat-
sifatnya”.
b. Sunnah menurut Ushuliyyin: “Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi
Muhammad SAW selain Al-Qur-an, baik berupa perkataan, perbuatan, atau
ketetapan yang patut dijadikan dalil dalam penetapan hukum agama (syari’at)”
c. Sunnah menurut Fuqaha’: “Segala sesuatu yang telah dipastikan berasal dari
Nabi SAW yang bukan merupakan hal fardlu juga bukan hal yang wajib”

Sudut pandang dalam definisi di atas sudah sangat bisa dimaklumi mengingat bahwa
masing-masing ulama’ berangkat dari sudut pandang keilmuan masing-masing. Keilmuan
Ushul Fiqh memang menuntut adanya dalil yang bisa dan layak untuk dijadikan dasar
menentukan hukum. Sementara keilmuan fiqh memang memiliki peristilahan tersendiri yang
itu berkaitan dengan bobot sebuah perintah (amr), apakah itu wajib, sunnah, mubah, makruh
atau haram. Sementara muhadditsin juga tidak seragam dalam memberikan definisi terhadap
sunnah, meskipun pada dasarnya tetap saja memiliki substansi yang sama.

Dalam sebuah perbandingan, banyak juga para ahli hadits yang mencoba menjelaskan
definisi sunnah dengan menghadapkannya pada lawan kata sunnah yaitu bid’ah. Dengan kata
lain, Sunnah adalah sesuatu yang bukan bid’ah.

c. Khabar

Secara etimologis khabar (‫ )اخلرب‬berarti berita. Dalam pengembangan bentuk katanya,

kata khabar bisa berarti pemberitaan, baik itu berita yang benar maupun berita yang salah.
Kata Khabar ini tidak seperti kata Hadits dan Sunnah yang telah dipergunakan cukup sering
dalam ayat Al-Qur’an maupun Hadits.

5
Adapun secara terminologis, para ulama Hadits tidak sepakat dalam mendefiniskan
Khabar. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa khabar adalah sinonim dari kata hadits dan
sebagian lagi tidak demikian. Di antara definisi Khabar yang beredar di kalangan
Muhadditisin digambarkan secara lengkap oleh Ibnu Hajar sebagaimana sebagai berikut:
Syaikhul Islam (Ibnu Hajar) menuturkan dalam syarh nuhbah: “khabar menurut pakar
istilah merupakan sinonim dari hadits, dimana keduanya merupakan sesuatu yang
disandarkan pada Nabi SAW, Sahabat dan Tabi’in. pendapat lain mengungkapkan, bahwa
hadits adalah sesuatu yang berasal dari Nabi SAW sementara khabar berasal dari selain
Nabi SAW. Maka dari itu ada yang menyebut bahwa orang yang berkecimpung dalam kajian
sunnah disebut muhaddits, dan orang yang berkecimpung dalam bidang tarikh/sejarah dan
sesamanya disebut akhbariy. Pendapat lain mengatakan dengan konsep umum-khusus,
dalam arti setiap hadits adalah khabar, dan belum tentu setiap khabar itu hadits.

Perbedaan dalam mengartikan khabar tersebut tampaknya masih terlihat dalam


literature-literatur hadits hingga kini. Para pakar kontemporer seperti Sayyid Muhammad bin
Alwi Al-Maliki, Manna Khalil Qatthan, hingga Subhi Shalih tetap menguraikan perbedaan
definisi khabar diantara para Ulama’. Hanya saja, Subhi Shalih terlihat lebih memilih konsep
umum-khusus dalam membedakan Khabar dan Hadits. Dalam arti bahwa setiap hadits itu
pasti khabar, dan setiap khabar belum tentu hadits. Karena bisa jadi khabar itu bukan
bersandar pada Rasulullah SAW, akan tetapi bisa jadi mauquf atau maqtu’. Hal ini mengingat
bahwa khabar lebih dominan sebagai pemberitaan atau pemberitahuan, dari manapun
datangnya.
d. Atsar
Secara etimologi, Atsar dari segi bahasa artinya bekas sesuatu atau sisa sesuatu dan
berarti pula sesuatu yang dinukil (dikutip). Misalnya sering terdengar ungkapan bahwa ”ini
tafsir bil ma’tsur” yang maksudnya adalah tafsir yang mengadopsi perkataan-perkataan atau
”bekas-bekas” orang sebelumnya.
Sedangkan atsar menurut istilah, juga memiliki perbedaan definisi diantaranya adalah
apa yang dipaparkan oleh Syaikh Dahlawi sebagai berikut:
terkadang sebagian ulama’ mengkhususkan istilah hadits hanya untuk sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi SAW dan Sahabat, sedangkan sesuatu yang disandarkan
kepada tabi’in disebut Atsar. Terkadang istilah Atsar juga digunakan untuk menyebut
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, seperti misalnya ucapan seseorang bahwa
“ini do’a yang ma’tsur”, yang menunjukkan bahwa itu berasal dari Nabi SAW.
Ketika melihat pendapat semacam ini, maka Mahmud Thahan memetakan definisi
Atsar dalam 2 hal, yakni:
 Atsar itu sama dengan Hadits, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW

6
 Atsar itu berbeda dengan hadits, yakni bahwa atsar merupakan sesuatu yang
disandarkan kepada sahabat dan tabi’in yang meliputi ucapan maupun perbuatan.
Selain itu, ada juga yang menambahkan bahwa Atsar hanya terkhusus pada khabar
yang mauquf atau maqtu’. Istilah atsar bisa digunakan untuk menyebut Hadits jika disertai
keterangan bahwa itu adalah hadits Nabi SAW. misalnya dalam sebuah riwayat disebutkan:
“atsar ini dari Nabi SAW”, maka berarti hal ini adalah hadits.

B. PENGERTIAN SANAD,MATAN DAN RAWI


a. Sanad
Kata sanad atau as-sanad menurut bahasa, dari sanada, yasnudu yang berarti
mutamad (sandaran/tempat bersandar, tempat berpegang, yang dipercaya atau yang sah).
Dikatakan demikian karena haditst itu bersandar kepadanya dan dipegangi atas kebenaranya.
Secara temionologis, sanad adalah silsilah orang-orang yang menghubungkan kepada
matan hadits atau jalannya matan, yaitu silsilah para perawi yang memindahkati
(meriwayatkan) matan dari sumbernya yang pertama. Silsilah orang ialah susunan atau
rangkaian orang-orang yang meyampaikan materi hadits tersebut sejak disebut pertama
sampai kepada Rasul SAW, yang memuat perbuatan, perkataan, taqrir, dan lainnya
merupakan materi atau matan hadits. Dengan pengertian diatas maka sebutan sanad hanya
berlaku pada serangkaian orang-orang bukan dilihat dari sudut pribadi secara perorangan.
Sedangkan, sebutan untuk pribadi yang menyampaikan hadits dilihat dari sudut orang
perorangannya disebut dengan rawi.
Sedangkan menurut istilah, yakni jalan yang dapat menghubungkan matan hadist
kepada Nabi Muhammad saw,
Berdasarkan pengertian di atas, disebutkan bahwa sanad adalah jalan matan
(thariq al-min). Jalan matan berarti serangkaian orang-orang yang menyampaikan atau
meriwayatkan matan hadits, mulai perawi pertama sampai yang terakhir.
Bagian di bawah ini adalah sanad Haditst:

‫ح ّد ثنا عبد اهلل بن يوسف قال أخربنا مالك عن ابن شهاب عن حممد بن جبري بن مطعم عن أبيه‬
“Telah mengkhabarkan kepada kami Abdullah bin Yusuf, dia berkata: Telah mengabarkan
kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im dari
bapaknya”.

b. Jenis-Jenis Sanad Hadits

7
1. S an ad `A liy'

Sanad ‘Aliy’ adalah sebuah sanad yang jumlah rawinya lebih sedikit jika
dibandingkan dengan sanad lain. Hadits dengan sanad yang jumlah rawinya sedikit akan
tertolak dengan sanad yang sama jika jumlah rawinya lebih banyak. Sanad Aliy ini dibagi
menjadi dua bagian, yaitu sanad yang mutlak dan sanad yang nisbi (relatif).

1) Sanad 'aliy yang bersifat mutlak adalah sebuah sanad yang jumlah rawinya
hingga sampai kepada Rasulullah lebih sedikit jika dibandingkan dengan sanad yang
lain. Jika sanad tersebut sahib, sanad itu menempati tingkatan tertinggi dari jenis sanad
aliy.
2) Sanad 'aliy yang bersifat nisbi adalah sebuah sanad yang jumlah rawi di dalamnya
lebih sedikit jika dibandingkan dengan para imam ahli hadits, seperti Syu'bah, Al-
A'masy, Ibnu Juraij, AtsTsauri, Malik, Asy-Syafi'i, Bukhari, Muslim, dan sebagainya,
meskipun jumlah rawinya setelah mereka hingga sampai kepada Rasulullah lebih
banyak.
Para ulama hadits memberikan perhatian serius terhadap sanad aliy sehingga
mereka membukukan sebagian di antaranya dan menamakannya dengan ats-tsultsiyyat. Yang
dimaksudkan dengan atstsultsiyyat adalah hadits-hadits yang jumlah rawi dalam sanadnya
antara rawi yang menulisnya dengan Rasulullah berjumlah tiga orang rawi.
Di antara kitab-kitab tersebut adalah Ats-Tsultsiyyat Al-Bukhari karya Imam Ibnu
Hajar Al-Asqalani dan Ats-Tsultsiyyat Ahmad bin Hanbal karya Imam As-Safarini.

2. Sanad Nazil
Sanad nazil adalah sebuah sanad jumlah rawinya lebih banyak jika dibandingkan dengan
sanad yang lain. Hadits dengan sanad yang lebih banyak akan tertolak dengan sanad
yang sama )ika jumlah rawinya lebih sedikit.

b. Matan
Kata matan atau al-matan menurut bahasa berarti ma shaluba wa irtafa’amin al-
aradhi (tanah yang meninggi). Secara temonologis, istilah matan memiliki beberapa definisi,
yang mana maknanya sama yaitu materi atau lafazh hadits itu sendiri. Definisi matan dari sisi
bahasa bermakna 'punggung jalan' atau ‘gundukan', bisa juga bermakna 'isi atau
muatan'. lbarat tangga, akhir dari anak tangga berujung pada t ek s it u s e nd ir i ad al ah

8
r ed ak s i at au u ca pa n y an g dituiturkan oleh si pengucap.Pengucap atau penutur
teks itu bisa abi, sahabat, atau bisa juga tabi’in.
Sedangkan matan menurut istilah ilmu hadis, yaitu sebagai berikut.

‫ﻤﺎ ﺍﻨﺘﮭﻰ ﺍﻟﻴﻪ ﺍﻟﺴﻨﺪ ﻤﻥ ﺍﻟﮑﻢﻟ ﻔﮭﻮ ﻨﻔﺲ ﺍﺤﻟﺪﻴﺚ ﺍﻟﺬﻱ ﺬﮐﺮ ﺍﻻ ﺀﺴﻨﺎﺪﻟﻪ‬
“Perkataan Yang Disebut Pada Akhir Sanad, Yakni Sabda Nabi Saw Yang Disebut
Sesudah Habis Disebutkan Sanadnya.”
Contoh:
‘dari Muhammad yang diterima dari abu salamah yang diterima dari Abu Hurairah, bahwa
Rasulullahsaw bersabda :” saandainya tidak akan memberatkan terhadap umatmu, niscaya
aku suruh mereka untuk bersiwak (menggosok gigi) niscaya aku melakukan shalat.”(HR.
Turmizi).
Pada salah satu definisi yang sangat sederhana disebutkan bahwa matan ialah ujung atau
tujuan sanad . Berdasarkan definisi di atas memberi pengertian bahwa apa yang tertulis setelah
(penulisan) silsilah sanad adalah matan  hadits. Pada definisi lain seperti yang dikatakan ath-thibi
mendifinisikan dengan: ”lafazh-lafazh hadits yang didalamnya megandung makna-makna tertentu”.
Jadi, dari pegertian diatas semua, dapat kita simpulkan bahwa yang disebut matan ialah materi atau
lafazh hadits itu sendiri, yang penulisannya ditempatkan setelah sanad dan sebelum rawi.

Agar lebih memperjelas dan memudahkan untuk membedakan mana yang matan dan
mana yang sanad, maka perhatikan haditst berikut:

‫ح ّد ثنا عبد اهلل بن يوسف قال أخربنا مالك عن ابن شهاب عن حممد بن جبري بن مطعم عن أبيه‬
)‫ (رواه البخارى‬.‫ مسعت رسول اهلل (صلعم) قرأ ىف املغرب بالطور‬:‫قال‬
“Telah mengkhabarkan kepada kami Abdullah bin Yusuf, dia berkata: Telah mengabarkan
kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im dari bapaknya
berkata: “aku mendengar Rasulullah SAW membaca surat Thur ketika Shalat Maghrib”.
(HR. Bukhari).
Macam-Macam Matan
Setelah kita mengetahui makna matan, langkah berikutnya kita akan berbicara
tentang macam-macam matan yang bersumber dari wahyu. Ada al-Qur'an hadits qudsi,
dan hadits nabawi, yaitu :
1. AL-Qur'an
Al-Qur'an adalah kalam Allah yang diturunkan secara bertahap melalui
malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw. dengan periwayatan yang

9
mutawatir, terdapat dalam mushhot dan dimulai dari surat al-Fatihah dan berakhir pada
surat an-Nas.
2. Hadits Qudsi
Hadits qudsi adalah kalam yang maknanya dari Allah do; lafadnya dari Nabi
saw. Atau dengan ibarat lain, kalam yang dinisbatkan kepada Nabi dan maknanya
bersumber dari Allah.
Hadits qudsi sering diistilahkan dengan hadits ilahi nisb,t kepada i1ali, atau
hadits robbani nisbat kepada Rabb. Penisbatan yang mengindikasikan adanya makna
kemuliaan, karena disandark.m kepada kesucian 'Allah (ijadasatidiali).
Dalam istilah ini, sebenarnya terdapat dua sisi lafaz 'hadits' dan qudsi.
Lafad hadits kembali kepada Nabi dan lafi, qudsi kembali kepada Allah.
Penggabungan dua kata ini karena dalam hadits qudsi terdapat perpaduan antara
lafad yang 1 bersumber dari Nabi dan makna yang bersumber dari Allah.
Gambaran bentuk ungkapan dari sebuah makna s eperti yang terdapat dalam
hadits qudsi sebenarnya banyak didapat i contohnya dalam al-Qur'an. Misalnya
saat Allah menceritakan ucapan-ucapan para Nabi terdahulu, atau dialog mereka
dengan kaumnya. Dialog itu kemudian diceritakan kembali oleh Allah dalam al-
Qur'an dengan menggunakan bahasa Arab, dan teks Al- Qur'an saat mengungkapkan
isi dialog tersebut tidak persis seperti teks dialog yang sebenarnya tapi sebatas
makna dan substansi yang terjadi dalam diolog saat itu.

3. Hadits Nabawi
S ebagaimana telah dis inggung di aw al pembahas an bahwa hadits adalah
segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad saw. baik berupa
ucapan, perbuatan, persetujuan atau sifat psikis dan fisik. Dalam pembahasan ini,
yang dilihat sebatas siapa menuturkan teks tersebut, dan tidak melihat
bagaimana kualitas lafa dnya. Hadits ditinjau dari aspek penuturnya dapat dibedakan
menjadi tiga bagian: marfu’, mauquf, dan maqthu'.

a. Marfu'
Definisi marfu' adalah hadits yang dinisbatkan kepada Nabi saw berupa
ucapan, perbuatan, persetujuan atau sifat, baik madnya bersambung maupun
tidak. Sedangkan, yang menisbatkan kepada Nabi bisa sahabat atau juga kita.
Selama ada ungkapan 'Nabi b e r s a b d a ' a t a u ' N a b i m e l a k u k a n i n i d a n i t u '
m a k a d a p a t dinamakan dengan marfu'.
10
b. Mau qu f
Definisi hadits mauquf adalah ucapan atau perbuatan yang dinisbatkan kepada
sahabat. Jika terdapat sebuah teks dan Penuturnya seorang sahabat maka
diistilahkan dengan mauquf, Imik bersambung sanadnya maupun tidak. Jika bersambung
maka dinamakan mauquf muttashil, dan jika tidak maka dinamakan mauquf munqathi.
c. Maqthu'
Definisi hadits maqthu' adalah ucapan atau perbuatan yang dinisbatkan kepada
tabi’in. Jika terdapat sebuah teks dan penuturnya seorang tabi’in maka diistilahkan
dengan maqthu’ baik bersambung sanadnya maupun tidak.

Terkait dengan matan atau redaksi, yang perlu dicermati dalam memahami hadits, yaitu:
1. Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau
bukan,
2. Matan hadits itu sendiri dalam hubungannya dengan hadits lain yang lebih
kuat sanad-nya (apakah ada yang melemahkan atau yang menguatkan) dan
selanjutnya dengan ayat dalam Al-Qur’an (apakah ada yang bertolak
belakang).

c. Rawi Hadits
Kata rawi atau ar-rawi berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan
hadits. Sebenarnya antara sanad dan rawi itu merupakan dua istilah yang hampir
sama. Sanad-sanad hadits pada tiap-tiap thabaqah atau tingkatannya juga disebut
rawi, jika yang dimaksud dengan rawi adalah orang yang meriwayatkan dan
memindahkan hadits. Begitu juga, setiap rawi pada tiap-tiap thabaqah-nya
merupakan sanad bagi thabaqah berikutnya.
Akan tetapi, yang membedakan antara kedua istilah di atas, jika dilihat lebih
lanjut, adalah dalam dua hal, yaitu:
1. Dalam hal pembukuan hadits. Orang yang menerima hadits-hadits,
kemudian menghimpunnya dalam suatu kitab tadwin, disebut dengan
rawi. D engan demikian, rawi dapat disebut mudawwin (orang yang
membukukan dan menghimpun hadits). Adapun orang-orang yang
menerima hadits dan hanya menyampaikannya kepada orang lain, tanpa
membukukannya, disebut sanad hadits. Berkaitan dengan ini, dapat
dikatakan bahwa setiap sanad adalah rawi pada tiap-tiap thabaqah-

11
nya, tetapi tidak setiap rawi disebut sanad hadits sebab ada rawi yang
membukukan hadits.
2. Dalam penyebutan silsilah hadits, untuk sanad, yang disebut sanad
pertama adalah orang yang langs ung menyampaik an hadits ters ebut
kepada penerimanya, sedangkan para rawi, yang disebut rawi pertama, adalah
para sahabat Rasul SAW. Dengan demikian, penyebutan silsilah antara kedua
istilah ini merupakan sebaliknya. Artinya, rawi . pertama, adalah sanad terakhir, dan
sanad pertama, adalah rawi terakhir.

12

Anda mungkin juga menyukai