Kelas : D
Disusun Oleh :
2021
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami berikan kepada Allah SWT. Berkat rahmatt dan hidayahNya lah kami
dapat menyelesaikan makalah ini sebagai tugas kelompok dengan judul Ilmu Tafsir, Ta‟wil
dan Terjemah dengan tepat waktu.
Shalawat serta salam kami hadiahkan kepada Nabi kita yaitu Nabi Muhammad SAW.
Yang membawa kita dari zaman kebodohan menuju alam yang berlimpah ilmu pengetahuan.
Adapaun tujuan pembuatan makalah ini untuk memenuhi tugas Dosen, dan semoga makalah
ini bermanfaat bagi kita semua.
1. Bapak Prof. Masdar Hilmy. S.Ag. M.A., Ph.D selaku Rektor UIN Sunan Ampel
Surabaya.
2. Bapak Dr. H. AH. Ali Arifin, M.M selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Islam UIN Sunan Ampel Surabaya.
3. Bapak Achmad Room Fitrianto, S.E., M.E.I selaku Kepala Program Studi Ekonomi
Syariah.
4. Bapak Drs. Imroatul Azizah , M.Ag selaku Dosen mata kuliah Studi Hadist
5. Orang tua yang selalu mendukung dan memberi semangat serta tak pernah Lelah
Semoga makalah yang kami buat ini dapat dipahami serta berguna. saya mohon maaf
atas segala kesalahan kata-kata yang mungkin kurang berkenan, dan kembali lagi kami
memohon kritik serta saran yang membangun demi perbaikan di masa yang mendatang.
KATA PENGANTAR……………………………………………………….
DAFTAR ISI…………………………………………………………………
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………….
BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………..
BAB II PENUTUP…………………………………………………………
A. KESIMPULAN………………………………………………………..21
B. SARAN………………………………………………………………..21
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………...22
BAB I PENDAHULUAN
Bagi kaum Muslimin, hadits diyakini sebagai sumber hukum pokok ke 2 setelah al-
Qur’an. Ia adalah salah satu sumber penting dalam Islam. Pentingnya semakin nyata
melalui fungsi-fungsi yang dijalankannya sebagai penjelas dan penafsir al-Qur’an,
bahkan juga sebagai penetap hukum yang independen sebagaimana al-Qur’an sendiri.
Ini terkait dengan tugas Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam sebagai pembawa
risalah dan sekaligus menjelaskan apa yang terkandung di dalamnya.
Segala sesuatu yang berkaitan dengan Rasulullah baik dari segi ucapan, perbuatan,
ketetapan dan sifat yang disandarkan kepadanya terus mengalami perkembangan dari
sahabat hingga ke generasi-generasi berikutnya. Hingga saat ini kajian yang
membahas ilmu hadis menjadikannya disiplin ilmu tersendiri, tidak sedikit pula buku-
buku yang membahas seputar kajian hadis. Perkembangan hadis bukan hanya terjadi
di wilayah Rasul dan para sahabatnya saja, akan tetapi kajian ilmu hadis juga tersebar
ke seluruh wilayah Islam. Hal ini disebabkan oleh adanya perkembangan hadis yang
diajarkan dari generasi ke generasi mengalami kemajuan, dimulai dari kajian-kajian
hadis yang dilakukan ulama dengan kelompoknya, hingga diajarkan di perguruan
tinggi atau pendidikan formal.
3
1.2. RUMUSAN MASALAH
Berikut masalah-masalah yang akan dijabarkan dalam makalah ini.
1. Untuk mengetahui pengertian dari hadist Qudsi, Marfu, Qudsi, Nabawi, dan
Mau’dhu.
2. Untuk mengetahui contoh dari Hadist Qudsi, Marfu, Qudsi, Nabawi, dan
Mau’dhu.
3. Untuk mengetahui perbedaan antara Hadist Qudsi dan Nabawi.
4. Untuk mengetahui sejarah dan ciri-ciri Hadist Mau’dhu.
4
BAB II PEMBAHASAN
Qusi menurut bahasa dinisbatkan pada “Qudus” yang artinya suci.Yaitu sebuah
penisbatan yang menunjukkan adanya pengagungan dan pemuliaan, atau
penyandaran kepada Dzat Allah yang maha suci. Sedangkan menurut istilah Hadis
Qudsi ialah hadis yang oleh Nabi saw, disandarkan kepada Allah. Maksudnya Nabi
meriwayatkannya bahwa itu adalah kalam Allah. Maka rasul menjadi perawi kalam
Allah ini dari lafal Nabi sendiri. Hadis Qudsi memang jumlahnya tidak sebanyak
hadis Nabi pada umumnya.
Hadits qudsi adalah firman atau perkataan Allah SWT, namun jenis firman Allah
SWT yang tidak termasuk Al-Quran. Hadits qudsi tetap sebuah hadits, hanya saja
Nabi Muhammad SAW menyandarkan hadits qudsi kepada Allah SWT. Maksudnya,
perkataan Allah SWT itu diriwayatkan oleh Nabi Muhammad SAW dengan redaksi
dari diri beliau sendiri. Bila seseorang meriwayatkan hadis qudsi, maka dia
meriwayatkannya dari Rasulullah SAW dengan disandarkan kepada Allah, dengan
mengatakan:
Rasulullah SAW mengatakan mengenai apa yang diriwayatkannya dari Tuhannya`,
atau ia mengatakan :
Rasulullah SAW mengatakan: Allah Ta`ala telah berfirman atau berfirman Allah
Ta`ala.`
َاصةً ِم ْن قَوْ ٍل اَوْ فِع ٍْل اَوْ تَ ْق ِري ٍْر اَوْ َوصْ ف ُ ْث ْال َمرْ فُو
ِ ُع هُ َو َما ا
َ ض ْيفَ اِلَي النَّبِي
َ َصلَى اهللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَ ْم خ ُ ْل َح ِدي
“Hadits marfu’ adalah ucapan, perbuatan, ketetapan, atau sifat yang disandarkan kepada
Nabi Muhammad SAW secara khusus” 1 .
2) Hukman atau hukmi pada hukum yakni isinya tidak terang menunjukkan
kepada marfu’ tetapi dihukumkan marfu’ karena bersandar pada beberapa
tanda2. Yang termasuk dalam marfu’ Hukmi (- Perbuatan sahabat yaitu
perbuatan itu bukan merupakan ijtihad mereka dan perbuatan itu tidak
mungkin dikerjakan oleh sahabat, kalau tidak mendapatkan tuntutan dari
Rasulullah SAW. - Apabila seorang sahabat memberitahukan bahwa ia
pernah berbuat sesuatu di masa Rasulullah, dan kita menganggap bahwa
perbuatan itu dilihat oleh Rasulullah SAW. tetapi beliau membiarkan saja.3)
1
Nurudin ltr, Ulum al-Hadits terj. Mujiya, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994), 99
2
Abdul Qadir Hasan, Ilmu Musthlah Hadist, (Bandung: Diponegoro 1994),285
3
Moh. Anwar, Ilmu Musthalah Hadits, (Surabaya: al-Ikhlas, 1981), 123
6
Ulama berbeda pendapat tentang apakah hadits mauquf dapat dijadikan hujjah
atau tidak. dalam hal ini ada beberapa perbedaan pendapat, antara lain ;
• Imam syafi’i berpendapat bahwa hadits mauquf tidak dapat dijadikan hujjah, hal
senada juga dikatakan oleh Imam Maliki.
• Ulama selain dua imam diatas membolehkan hadits mauquf sebagai hujjah,
karena hadits mauquf lebih didahulukan daripada qiyas.
Contoh nya :
Hadits Mauquf sanadnya ada yang shahih, hasan, atau dla’if. Hukum asal pada
hadits mauquf adalah tidak boleh dipakai berhujjah dalam agama.
7
Maqthu secara lughah adalah isimma'ful dari kata kerja qatha'a lawan dari
kata washala (menghubungkan) sehingga maqthu artinya yang diputuskan atau
yang terputus, yang dipotong atau yang terpotong. Hadits Maqthu adalah
perkataan atau perbuatan yang berasal dari seorang tabi'in serta di-mauquf-kan
(berhenti sanadnya) kepadanya, baik sanadnya bersambung atau tidak. Hadits
Maqthu' tidak dapat dijadiakan sebagai hujjah atau dalil untuk menetapkan suatu
hukum, karena status dari perkataan Tabi'in sama dengan perkataan Ulama
lainnya, walaupun benar penisbatannya kepada orang (Tabi`in) yang
mengatakan. Sebab hanya merupakan perkataan atau perbuatan seorang muslim.
Bukan merupakan perkataan Allah SWT ataupun Rasulullah SAW. Namun jika
terdapat tanda yang menunjukan kemarfu`an hadits tersebut. maka yang
demikian bisa dihukumi hadits marfu` mursal. Demikian juga jika ada tanda-
tanda kemauqufannya. Maka bisa dihukumi dengan hukum mauquf.
✓ Mushannaf Abdurrazzaq
✓ Kitab-kitab tafsir : Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, dan Ibn al-Mundzir.
Contoh nya :
8
2.2. PERBEDAAN HADIS QUDSI DAN HADIS NABAWI
Hadis Qudsi terdiri dari dua kata yakni, hadis dan Qudsi. “Hadis”
dimaknai segala sesuatu yang baru, atau sesuatu yang sebelumnya tidak ada,
peristiwa, berita, ceritera, menyampaikan sesuatu risalah, peristiwa kenabian
yang datang dari Allah (Ibnu Manzur:131). Kemudian kata “Qudsi” dimaknai
suci. bersih, sifat kesucian Allah. Namun jika kata “Qudsi” dirangkai dengan
kata lain, maka akan mempunyai makna lain. Seperti, kata “H}ad}īratul
Qudsi” atau Jannatul Qudsi” diartikan “surga”, dan “Ruh al-Qudus” diartikan
Malaikat Jibril (Ibid: 168).
Kedua, bahwa hadis Qudsi merupakan hadis yang maknanya dari Allah
SWT, tetapi lafalnya dari Nabi SAW. Ibnu al-‘Asimin dalam fatwanya
mengatakan, jika perbedaan pendapat yang pertama tidak lagi dibahasnya
dalam persoalan ini, karena dikhawatirkan dikatakan sebagai pendapat yang
ekstrim dan membinasakan, maka cukup berpendapat bahwa hadis Qudsi
adalah hadis yang diriwayatkan Nabi dari Tuhannya. Demikian cukup aman,
jelas dan singkat (Al-‘Asimi, 2001: 69).
Sementara dari dua pendapat yang berbeda dalam maslah ini, yang banyak
diterima oleh kalangan orang-orang yang berpengetahuan mengatakan,
bahwa hadis Qudsi adalah hadis yang lafal dan maknanya diwahyukan oleh
Allah SWT.
9
Adapun yang dimaksud dengan hadis nabawi adalah hadis Nabi yang
disandarkan secara keseluruhan kepada Nabi baik makna maupun lafalnya
dengan bentuk ucapan, perbuatan, taqrir dan sifat-sifatnya. Ada dua sifat
yang terkandung dalam hadis Nabawi yaitu:
Dari sini jelaslah bahwa hadis nabawi dengan kedua bagiannya yang tauqifi dan
taufiqi dengan ijtihad yang diakui oleh wahyu itu bersumber dari wahyu. Dan inilah
makna dari firman Allah tentang Rasul Muhammad saw.
ق َع ِن ْالهَ َو ٰى
ُ َو َما يَ ْن ِط
Artinya : “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya).” (An-Najm : 3-4)
Perbedaan antara Hadis Qudsi dan Nabawi terletak pada sumber berita dan proses
pemberitaannya. Hadis Qudsi maknanya dari Allah SWT yang disampaikan melalui
suatu wahyu sedangkan redaksinya dari Nabi yang disandarkan kepada Allah SWT.
Sedangkan Hadis Nabawi pemberitaan makna dan redaksinya berdasarkan ijtihad
Nabi sendiri.
10
Dalam Hadis Qudsi Rasul menjelaskan kandungan atau yang tersirat pada wahyu
sebagaimana yang diterima dari Allah SWT dengan ungkapan beliau sendiri.
Pembagian ini sekalipun kandungannya dari Allah SWT, tetapi ungkapan itu
disandarkan kepada Nabi sendiri karena tentunya ungkapan kata itu disandarkan
kepada yang mengatakannya sekalipun maknanya diterima dari yang lain. Oleh
karena itu selalu disandarkan kepada Allah SWT. Pemberitaan yang seperti ini disebut
Tawfiqi. Pada Hadis Nabawi kajian Rasul melalui ijtihad yang dipahami dari al-
Qur’an karena beliau bertugas sebagai penjelas terhadap Alquran. Kajian ini
didiamkan wahyu jika benar dan dibetulkan dengan wahyu jika salah. Kajian seperti
ini disebut Tawqifi.
Secara umum dari beberapa uraian di atas dapat dikembangkan menjadi beberapa
perbedaan antara Hadis Qudsi dan Hadis Nabawi di antaranya sebagai berikut :
ً َويَحْ ُر ُم ِر َوايَتُهُ َم َع ْال ِع ْل ِم بِ ِه فِ ْي أَيِّ َم ْعنًى َكانَ إِالَّ ُمبَيَّنا،ْف ُ ْق ْال َمصْ نُو
َّ ع َو َشرُّ ال
ِ ض ِعي ُ َهُ َو ْال ُم ْختَل
ْ مانُسب الى ال ّرسول صلى هللا عليه وسلّم اختال قًا وكذبًا م ّما لم
يقله أو يفعله أو يقرّه
هو المختلع المصنوع المنصوب الى رسول هللا صلى هللا عليه وسلّم زورًا وبهتا نًا سوا ٌء كان ذالك عمدًا
ً أم خطأ
12
”Hadits yang dicipta serta dibuat oleh seseorang (pendusta), yang
ciptaan itu dinishbatkan kepada Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam
secara palsu dan dusta, baik hal itu sengaja maupun tidak.”
Hadis semacam ini tentu saja tidak benar dan tidak dapat diterima tanpa
terkecuali, sebab ini sesungguhnya bukan hadis, tindakan demikian adalah merupakan
pendustaan terhadap Nabi Muhammad saw. yang pelakunya diancam dengan neraka.
dan hadis ini haram untuk disampaikan pada masyarakat umum kecuali hanya sebatas
memberikan penjelasan dan contoh bahwa hadist tersebut adalah maudhu’ (palsu).
14
a. Ciri yang berkaitan dengan rawi / sanad:
1. Periwayatnya dikenal sebagai pendusta, dan tidak ada jalur lain yang
periwayatnya tsiqoh meriwayatkan hadist itu. Misalnya, Ketika saad ibn
Dharif mendapati anaknya pulang sekolah sedang menangis dan
mengatakan bahwa dia dipukul gurunya, maka Saad ibn Dharif berkata :
Bahwa Nabi saw bersabda:
معلموا صبيانكم شراركم اقلهم رمحة ليتيم واغلظهم على املسكني
Artinya: "Guru anak kecil itu adalah yang paling jahat diantara kamu,
merekka paling sedikit kasih sayangnya kepada anak yatim dan paling kasar
terhadap orang miskin."
15
b. Ciri-ciri yang berkaitan dengan Matan
1. Maknanya rusak dan tidak dapat diterima akal sehat bahwa Hadis
tersebut berasal dari Nabi SAW, seperti Hadis:
“Siapa yang mengambil ayam jantan putih, dia tidak akan didekati
(dikenai) oleh setan dan sihir”
17
Berikut adalah tujuh contoh hadits maudhu yang diambil dari penjelasan
Imam Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah rahimahullah :
1) Hadits :
“Barangsiapa berpuasa di waktu pagi pada hari ‘Idul Fithri, dia bagaikan
puasa sepanjang waktu”
Ini adalah hadits palsu yang dibuat oleh Ibnu al-Bailami. Ibnu Hibban
rahimahullah berkata: “Dia meriwayatkan hadits dari ayahnya sebanyak
kurang lebih 200 hadits, semuanya palsu dan tidak boleh berhujjah dengan dia
dan juga tidak boleh disebut namanya kecuali hanya untuk menjelaskan
keheranan terhadapnya.”
“Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban bulanku dan Ramadhan bulan umatku”
3) Hadits :
من صام يوما من رجب و صلى أربع ركعات يقرأ في أول ركعة مائة مرة (أية الكرسي) وفي الثانية مائة مرة (ق}}ل ه}}و هللا
أحد) لم يمت حتى يرى مقعده من الجنة
“Barangsiapa puasa satu hari di bulan Rajab dan melakukan sholat empat
rakaat, pada rakaat pertama ia membaca ayat kursi 100 kali dan pada rakaat
kedua dia membaca “Qul Huwallahu Ahad”, dia tidak akan mati sebelum
melihat tempatnya di surga”
18
4) Hadits :
“Barangsiapa yang berpuasa pada hari ‘Asyura, Allah akan menulis baginya
ibadah selama enampuluh tahun”
Hadits ini palsu diriwayatkan oleh Hubaib bin Abi Hubaib, dia
termasuk orang yang memalsukan hadits.
Hadits ini palsu yang diriwayatkan oleh Ali bin Urwah ad-Dimasyqi.
Ibnu Hibban berkata tentangnya : “Dia pernah memalsukan hadits”
6) Hadits :
7) Hadits :
19
Ibnu al-Qoyyim juga menjelaskan bahwa hadits-hadits yang membahas
tentang akal semuanya adalah dusta. Wallahu Ta’ala A’lam (Abu
Maryam Abdusshomad, dinukil dari kitab Al-Manar al-Munif fii Asshohih wa
Addho’if karya Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah).
20
BAB II PENUTUP
A. KESIMPULAN
Hadits menurut definisi para ulama adalah sebagai perkataan, perbuatan, ketetapan
dan sifat-sifat Nabi SAW, manakala Nabi SAW telah meninggal para sahabat yang
dihadapkan dengan berbagai problematika kehidupan, selalu merujuk dan menjadikan
Hadits sebagai sumber kedua setelah tidak ditemui jawabannya di dalam al-Qur’an.
Ketika al-Qur’an belum seutuhnya dibukukan, maka para sahabat utama menghindari
banyaknya periwayatan hadits yang berasal dari sahabat. Pada periode Abu Bakar as-
Shiddiq dan Umar bin khattab memimpin kekhalifahan setelah Nabi tiada, sangat
berhati-hati dalam menerima Haditst, beliau berdua selalu meminta agar
mendatangkan saksi lain apabila ada sahabat yang menyampaikan informasi hadits.
Sedangkan saidina Ali bin Abi Thalib ra selalu meminta sumpah kepada yang hendak
meriwayatkan hadits. Seiring dengan perkembangan kehidupan sahabat dan luasnya
wilayah kekuasaan Islam, maka hajat dan kebutuhan terhadap hadits tidak dapat
dibendung lagi oleh sahabat-sahabat utama, apalagi terjadinya problematika di
internal Islam.
B. SARAN
Dalam mengikuti ajaran sesuai hadis, kita harus paham dan dapat membedakan mana
hadis yang benar adanya dan mana hadis palsu. Semua itu dilakukan agar kita
mengikuti ajaran yang sesuai dengan perintah Allah, perilaku Rasulullah, dan ayat Al-
Qur’an.
21
DAFTAR PUSTAKA
22