Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH AL-QUR’AN HADIST

DISUSUN OLEH:
1. ALFAREZY ZUNNURAIN WAHYUDI (88)
2. MUHAMMAD ADLI MULIANDI (89)
3. NAYLA RAMADHANI (89)
4. VANESYA DELLYANDRA JOY (89)

MADRASAH ALIYAH NEGERI 2 MATARAM

TAHUN AJARAN 2023/2024

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT. yang telah
melimpahkan nikmat, taufik, serta hidayahnya, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah Al-Qur’an Hadist tepat waktu.

Makalah ini kami buat dengan tujuan untuk memenuhi nilai tugas Al-
Qur’an Hadist. Kami juga berharap makalah ini bisa bermanfaat dan menambah
wawasan kita semua tentang penurunan dan penulisan al-qur’an.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada pak guru H. Fitrianto


Wahudi
H.,S.Hi.,M.Pdi selaku guru mata pelajaran Al-Qur’an Hadis. Kami ucapkan juga
terima kasih untuk seluruh anggota kelompok 8 yang telah menyusun makalah ini

Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak


kekurangan. Maka dari itu, kami mengharapkan kritik dan saran untuk
kesempurnaan makalah ini.

Mataram, 27 Januari 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................iii
BAB I..................................................................................................................1
PENDAHULUAN..............................................................................................1
1.1 Latar Belakang...................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................1
BAB II.................................................................................................................3
PEMBAHASAN.................................................................................................3
2.1 Definisi Hadist, Khabar, dan Atsar....................................................3
2.2 Definisi Sanad, Matan/Rawi..............................................................4
2.3 Definisi Marfu’, Maukuf, Maqthu’...................................................7
2.4 Definisi Fi’liyah, Taqririyah, dan Hammiyah...................................9
2.5 Definisi Kualitas dan Kuantitas ......................................................12
BAB III.............................................................................................................20
PENUTUP........................................................................................................20
3.1 Kesimpulan......................................................................................20
3.2 Saran................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................21

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Islam memiliki ajaran yang bersumber dari Al-Qur'an dan hadits.
Selain itu, terdapat juga khabar yang masih berupa informasi keislaman pada
masa Rasulullah SAW. Apa yang dimaksud khabar dan bagaimana
contohnya?
Khabar menurut bahasa adalah warta atau berita yang disampaikan dari
seseorang kepada orang lain. Sedangkan menurut istilah, khabar adalah segala
bentuk berita, baik yang datang dari Rasulullah SAW, sahabat Rasulullah
SAW maupun tabi'in.
Khabar ini mencakup hadits marfu', hadits mauquf, dan hadits maqtu.
Oleh karena itu, ada juga yang menyebut bahwa khabar adalah segala bentuk
berita yang diterima bukan dari Rasulullah SAW.
Khabar pun lebih umum dibandingkan dengan hadits. Khabar
mencakup segala hal yang diriwayatkan, baik yang datang dari Rasulullah
SAW maupun yang lain, sedangkan hadits khusus diriwayatkan berdasarkan
ucapan dari Rasulullah SAW saja.
1.2 Rumusan Masalah
1. Menetukan Hadist, Khabar/Atsar
2. Menentukan Sanad, Matan/Rawi
3. Menentukan Fi’liyah, Taqririyah/Hammiyah
4. Menentukan Maukuf,Marfu/Maqthu
5. Menetukan Kualitas/Kuantitas
1.3 Tujuan
1. Mengetahui hadist tersebut termasuk hadist, khabar/atsar.
2. Mempelajari bagian-bagian hadist.
3. Mengklasifikasikan hadist dari segi kualitas dan kuantitas.

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Hadist, Khabar, dan Atsar

A. Hadist

Hadits (‫ )الحديث‬secara bahasa berarti Al-Jadiid (‫ )الجديد‬yang artinya


adalah sesuatu yang baru; yakni kebalikan dari Al-Qadiim (‫ )القديم‬yang artinya
sesuatu lama. Sedangkan hadits menurut istilah para ahli hadits adalah :

ٍ ْ‫ َأوْ َوص‬،‫ َأوْ تَ ْق ِري ٍْر‬،‫ َأوْ فِع ٍْل‬،‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ِم ْن قَوْ ٍل‬
‫ف‬ ِ ‫َما ُأ‬
َ ‫ضيْفُ ِإلَى النَّبِ ِّي‬

Adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi


wasallam baik ucapan, perbuatan, persetujuan, maupun sifat.[1]

Dari definisi tersebut dapat kita ketahui bahwa hadits adalah segala sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam baik itu ucapan,
perbuatan, persetujuan, sifat fisik, maupun kepribadiannya. Hingga gerak dan
diamnya ketika terbangun maupun tertidur juga disebut sebagai hadits. Maka
dari itu pengertian ini juga mencakup setiap keadaan Nabi Muhammad
shallallaahu ‘alaihi wasallam menurut para ahli hadits.

B. Khabar
Khabar (‫بر‬mm‫ )الخ‬secara bahasa berarti An-Naba’ (‫ )النبأ‬yang berarti
kabar atau berita. Adapun secara istilah khabar ini semakna dengan hadits
sehingga memiliki definisi yang sama dengan hadits. Namun, menurut
pendapat yang lain menyatakan bahwa khabar ini lebih umum dari pada
hadits. Sehingga definisi khabar adalah segala sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan juga kepada selain beliau.
Syaikh Utsaimin mengatakan :

‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َوِإلَى َغي ِْر‬ ِ ‫ْالخَ بَ ُر َما ُأ‬
َ ‫ضيْفُ ِإلَى النَّبِ ِّي‬

2
Khabar adalah segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam dan juga disandarkan kepada selainnya.[5]

C. Atsar
Atsar (‫ )األثر‬secara bahasa berarti Baqiyyatu Asy-Syaii’ (‫)بقية الشيء‬
yang berarti sisa dari sesuatu, atau jejak. Adapun secara istilah, atsar adalah :

‫َّحابِي َأوْ التَّابِ ِعي‬ ِ ‫َما ُأ‬


َ ‫ضيْفُ ِإلَى الص‬

Segala sesuatu yang disandarkan pada sahabat atau tabi’in.[6]

Adakalanya atsar juga didefinisikan dengan segala sesuatu yang disandarkan


kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Namun biasanya penyebutannya
disandarkan dengan redaksi “dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam”
sehingga penyebutannya seperti ini :

َ ‫َوفِي اَأْلثَ ِر َع ِن النَّبِ ِّي‬


‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬

Dalam sebuah atsar dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.

Khabar
Materi tersebut termasuk khabar karena, hadist tersebut adalah berita yang
disampaikan seseorang kepada orang lain yang dimana sumbernya berasal
dari Nabi Muhammad SAW. Orang yang meriwayatkan khabar tersebut
orang-orang terdekat nabi yang dikenal saleh dan dapat dipercaya, yaitu para
sahabat dan tabi’in. Khabar berasal dari bahasa Arab artinya kabar.
Sedangkan, secara terminologi ulama muhaddisin menjelaskan bahwa khabar
adalah suatu berita, baik dari Nabi Muhammad saw. Khabar memiliki makna
yang lebih luas dibandingkan hadis. Ulama Khurasan berpendapat bahwa
khabar ialah hadis yang disandarkan pada sahabat (mauquf). Berdasarkan
materi yang kita dapat, materi tersebut termasuk dalam khabar karena berita
tersebut datang dari selain Nabi Muhammad SAW

3
2.2 Definisi Sanad, Matan/Rawi
A. Sanad

Sanad adalah pegangan dalam teks hadis atau matan. Menurut


bahasa, sanad adalah sandaran atau tempat bersandar. Sedangkan menurut
istilah, sanad adalah jalan yang menyampaikan kepada jalan hadis.

Secara historis, penggunaan sanad sudah dikenal sejak sebelum datangnya


Islam. Akan tetapi mayoritas penerapan sanad digunakan dalam mengutip
hadis-hadis Nabawi, yaitu segala hal yang disandarkan (idlafah) kepada Nabi
SAW.

Pentingnya posisi sanad dalam ilmu hadis menurut para ulama untuk


mengetahui otensitas suatu sumber. Bagaimana asal riwayat sumber tersebut
yang menyandarkan konteksnya kepada Nabi Muhammad SAW, haruslah
dapat dipertanggungjawabkan.

B. Matan

Secara istilah, Matan adalah pengujung sanad, yakni sabda Nabi


Muhammad SAW yang disebutkan setelah sanad. Dengan kata lain, matan
adalah isi dari hadits itu sendiri. Ibn al-Qayim al-Jawziyyah merumuskan cara
menentukan kesahihan matan hadits dalam kitabnya yang berjudul al-Manar
al-Munif fi al-Sahih wa al-Da’if.

1. Mengetahui sejarah hidup Nabi Muhammad;


2. Mengetahui petunjuk-petunjuk Nabi Muhammad;
3. Mengetahui segala yang diperintah dan dilarang oleh rasulullah;
4. Mengetahui segala yang disenangi dan dibenci oleh Nabi SAW;
5. Mengetahui segala yang disyariatkan Nabi SAW seolah-olah telah lama
bercampur baur bersama para sahabatnya.

4
Berikut adalah beberapa contoh matan hadits yang dikutip dari buku
Pemikiran Usul Fikih Al-Gazzali terbitan Suara Muhammadiyah.

‫ك ْب ِن َأبِي عَا ِم ٍر َأبُو‬ ِ ِ‫َح َّدثَنَا ُسلَ ْي َمانُ َأبُو ال َّرب‬


ِ ِ‫ َح َّدثَنَا نَافِ ُع بْنُ َمال‬:‫ قَا َل‬،‫ َح َّدثَنَا ِإ ْس َما ِعي ُل بْنُ َج ْعفَ ٍر‬:‫ قَا َل‬،‫يع‬
َ ‫ث َك َذ‬
،‫ب‬ ٌ َ‫ق ثَال‬
َ ‫ ِإ َذا َح َّد‬:‫ث‬ َ ‫ َع ِن النَّبِ ِّي‬،َ‫ ع َْن َأبِي ه َُر ْي َرة‬،‫ ع َْن َأبِي ِه‬،‫ُسهَي ٍْل‬
ِ ِ‫ آيَةُ ال ُمنَاف‬:‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل‬
َ‫ َوِإ َذا اْؤ تُ ِمنَ خَ ان‬، َ‫َوِإ َذا َو َع َد َأ ْخلَف‬

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Sulaiman Abu ar Rabi’ berkata,


telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Ja’far berkata, telah
menceritakan kepada kami Nafi’ bin Malik bin Abu ‘Amir Abu Suhail dari
bapaknya dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau
bersabda: “Tanda tanda munafik ada tiga; jika berbicara dusta, jika berjanji
mengingkari dan jika diberi amanat dia khianat.” (HR. Bukhari).

‫حدثنا حامد بن يحي أخبرنا سفيان وحدثنا مسدد حدثنا يحي عن ابن عجالن سمع عياضا قال سمعت أبا‬
‫سعيد الخدري يقول ال أخرج أبدا إالضاعا إنا كنا نخرج على عهد رسول هللا صلى هللا عليه وسلم صاع‬
] ‫ كتاب الزكاة‬، ‫ تمر أو شعير أو أقط أو زبيب [ رواه أبو داود في سننه‬.

Artinya: “Telah mewartakan kepada kami Hamid Ibn Yahya (ia


mengatakan): Telah mewartakan kepada kami Sufyan -ganti sanad- dan telah
mewartakan kepada kami Musaddad (yang mengatakan): telah mewartakan
kepada kami Yahya, dari Ibn 'Ajlan, ia mendengar 'lyad berkata: saya
mendengar Abu Sa'id al-Khuduri mengatakan, "Saya tidak akan pernah
mengeluarkan zakat fitrah kecuali sebanyak satu sak. Sesungguhnya kami
pada masa Rasulullah SAW mengeluarkan zakat fitrah satu sa' tamar, atau
kurma mentah.” (HR. Abu Dawad).

C. Rawi

5
Rowi adalah sebutan untuk orang yang meriwayatkan, menyampaikan,
serta memindahkan suatu hadits kepada orang lain yang menjadi rangkaian
berikutnya. Seorang rawi juga mencatatnya dalam suatu kumpulan hadits dan
menyebutkan sanadnya. Rawi menurut bahasa berarti orang yang
meriwayatkan hadits. Sedangkan rawi menurut istilah yaitu orang yang
menuqil, mendorong atau menuliskan hadits berikut sanadnya baik laki-laki
maupun perempuan. Rowi yaitu orang yang memindahkan hadis dari seorang
guru kepada orang lain atau membukukannya ke dalam suatu kitab hadis.
Rowi pertama adalah para sahabat dan rawi terakhir adalah orang yang
membukukannya, seperti Imam Bukhari , Imam Muslim, Imam Ahmad dan
lain- lain. Contoh Rawi:

Periwayat hadits dari tingkatan sahabat : Abu Hurairah, Aisyah, Anas bin
Malik dll. - Periwayat hadits dari tingkatan tabiin : Umayyah bin Abdullah
bin Khalid, Sa'id bin Al-Musayyab, dll. Perhatikan hadits berikut:

‫ إ َذا َماتَ اِإل ْن َسانُ ا ْنقَطَ َع َع َملُهُ إالَّ ِم ْن‬:‫ أن النبي صلى هللا عليه وسلم قال‬:‫عن أبي هريرة رضي هللا عنه‬
‫ح يَ ْدعُو لَهُ ) رواه مسلم‬ َ ‫ َأوْ َولَ ٍد‬،‫ َأوْ ِع ْل ٍم يُ ْنتَفَ ُع بِ ِه‬،‫اريَ ٍة‬
ٍ ِ‫صال‬ َ ‫ ِإالَّ ِم ْن‬:‫ثَالَثَ ِة‬
ِ ‫ص َدقَ ٍة َج‬

Contoh rowi hadits pada hadits di atas adalah lafal: ‫رواه مسلم‬

Rawi
Materi tersebut termasuk rawi, karena memindahkan atau
menuliskan hadits dengan sanadnya baik itu laki-laki maupun perempuan.
Rawi pertama adalah para sahabat dan rawi terakhir adalah orang yang
menuliskan dalam kitab tadwin, misalnya Imam Bukhari, Imam Muslim,
dan Imam Ahmad. Berdasarkan materi yang kita dapat materi tersebut
termasuk dalam Rawi karena hadist tersebut meriwayatkan atau
memberikan hadist. Kita dapat materi tersebut termasuk dalam Rawi
karena hadist tersebut meriwayatkan atau memberikan hadist.

2.3 Definisi Marfu’, Maukuf, Maqthu’

6
A. Marfu’

Marfu’ adalah setiap hadits yang disandarkan kepada Nabi –shollallahu


‘alaihi wa sallam- baik perkataan, perbuatan, dll. Contohnya: Saya berkata:
Rasul bersabda: ‘demikian dan demikian’, maka inilah hadits marfu’ berupa
ucapan. Atau Saya berkata: Dahulu Rasul melakukan demikian dan demikian,
maka ini hadits marfu’ berupa perbuatan. Adapun secara istilah.

Para ulama mendefinisikan hadits marfu’ sebagai berikut:

‫ما أضيف إلى النبي صلى هللا عليه وسلم من قول أو فعل أو تقرير أو ص‬

“Hadits marfu’ yaitu apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw.
Baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, maupun sifat.”

Berdasarkan definisi di atas, maka hadits marfu’ adalah semua informasi yang
disandarkan kepada Rasulullah Saw.

Baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, maupun sifat.


Baik yang menyandarkan itu seorang shahabat atau generasi di bawahnya.
Dan hadits marfu’ ini bisa jadi sanadnya muttashil (bersambung) maupun
munqathi’ (terputus). Bisa shahih dan bisa dha’if.

B. Maukuf
Mauquf secara Bahasa berarti berhenti. Maksudnya terhenti pada sahabat.
Tidak sampai pada Nabi Muhammad SAW. Hadist mauquf menurut istilah
adalah perkataan, perbuatan, atau taqrir yang disandarkan kepada seorang
sahabat Nabi Muhammad SAW. Baik bersambung sanadnya kepada Nabi
maupun tidak bersambung. Contohnya: Saya berkata: Ibnu Mas’ud: ‘demikian
dan demikian’, ini berarti hadistnya Mauquf.
Para ulama mendefinisiskan hadist mauquf seperti berikut:

‫ما أضيف إلى الصحابي من قول أو فعل أو تقرير‬

“apa yang dinisbahkan kepada seorang sahabat. Baik berupa


perkataan, perbuatan maupun persetujuan.”

7
C. Maqthu’

Maqthu’ secara bahasa artinya terputus. Maksudnya terputus pada Tabi’in


atau Tabi’ut Tabi’in. Maqthu adalah apa yang disanadarkan atau dinisbatkan
kepada Tabi’in atau Tabi’ut Tabi’in atau yang dibawah mereka berupa
perkataan atau perbuatan.

Contoh maqthu’ yang berupa perkataan: Perkataan al-Hasan al-Bashri


rahimahullah tentang shalat di belakang ahli Bid’ah:

‫ص ِّل َو َعلَي ِه بِ ْد َعتُ ُد‬


َ

“Shalatlah (di belakang mereka) dan Bid’ah mereka atas mereka.” (HR. al-
Bukhari)
Contoh Hadits Maqthu’ yang berupa perbuatan:

‫كان مسروق يرخى الستر بينه وبين أهله ويقبل على صالته ويخليهم ودنياهم‬

“Adalah Masruq bila shalat, dia mengambil hijab yang menghalangi antara
pandangannya dengan keluarganya. Lalu dia shalat dengan melupakan
keluarga dan dunia keluarganya.” (Kitab Hilyatul Auliya’)

Status Hadits Maqthu’: Hadist Maqhtu’ bukanlah sebuah dalil. Artinya


tidak bisa digunakan sebagai dalil.Karena hadits maqthu’ ini sama dengan
perkataan dan perbuatan orang Islam pada umumnya. Tidak memiliki nilai
khusus.Kecuali bila perawinya memberikan tambahan keterangan sebagai
hadits marfu’, misalnya dengan memberikan keterangan dengan kata
“YARFA’UHU” ketika menyebut nama perawi tabi’in, maka statusnya
menjadi HADITS MARFU’ MURSAL.

Maqthu
Materi tersebut termasuk Maqthu, karena hadis tersebut disandarkan atau
dinisbatkan kepada Tabi'in yang di bawah mereka berupa perkataan atau
perbuatan, dengan kata lain para tabi’in tersebut mewariskan semua perkataan dan
perbuatan Nabi Muhammad SAW. Contohnya seperti yang tertera di materi kami,

8
yaitu Telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Ammar telah menceritakan
kepada kami Ismail bin Ayyasiy telah menceritakan kepada kami Abu Bakar al
Hudzalily dari Qotadah dari Hasan dari Samurah bin Jaudab bahwasanya Nabi
bersabda: jika imam mengucapkan salam jawab lah oleh kalian salamnya. Jadi,
materi tersebut termasuk Maqthu karena disandarkan atau dinisbatkan kepadad
Tabi’in atau Tabi’ut Tabi’in atau yang di bawah mereka berupa perkataan atau
perbuatan.

2.4 Definisi Fi’liyah, Taqririyah, dan Hammiyah

A. Fi’liyah
Fi’liyah secara Bahasa “fi’il” yang berarti perbuatan dan Tindakan,
sedangkan hadist fi’liyah berarti hadist yang disadarkan dari perbuatan dan
Tindakan Nabi Muhammad SAW.

Contoh hadist fi’liyah:


‫صلَّى هّٰللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يُ ْع ِجبُهُ التَّيَ ُّمنُ فِ ْي تَنَ ُّعلِ ِه َوتَ َرجُّ لِ ِه‬ ‫ َك رس ُل هِّٰللا‬: ‫ت‬
َ ْ‫ض َي هّٰللا ُ َع ْنهَا قَالَ ْ انَ َ ُو‬
ِ ‫ع َْن عَاِئ َشةَ َر‬
‫ متفق عل‬- ‫َوطُهُوْ ِر ِه َوفِ ْي َشْأنِ ِه ُكلِّ ِه‬
“Dari Siti Aisyah ra berkata: Rasulullah SAW membuat heran (selalu
melakukan) dengan mendahulukan sisi kanan di dalam memakai sandalnya,
menyisir rambutnya, cara bersucinya, dan di dalam setiap keadaannya
disepakati kesholihahan hadist oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.”
،‫ ِمنَ ْال َجنَابَ ِة‬،‫صلَّى هّٰللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَ ْغت َِس ُل ِم ْن اَرْ بَ ٍع‬ ‫ َك رس ُل هِّٰللا‬: ‫ت‬
َ ْ‫ض َي هّٰللا ُ َع ْنهَا قَالَ ْ انَ َ ُو‬ ِ ‫ع َْن عَاِئ َشةَ َر‬
‫ رواه ابو داود وصححه ابن خزيمة‬- ‫ت‬ ِ ِّ‫ َو ِم ْن ُغ ْس ِل ْال َمي‬،‫ َو ِمنَ ْال ِح َجا َم ِة‬،‫َويَوْ َم ْال ُج ُم َع ِة‬
“Dari Siti Aisyah ra berkata: Rasulullah SAW mandi setelah 4 perkara, yaitu
mandi janabah, mandi hari jumat, mandi setelah bekam, dan mandi setelah
memandikan mayit – HR. Abu Dawud dan disholihkan oleh Ibnu
Khusaimah.”
Maka dari itu setiap perbuatan dan Tindakan Nabi Muhammad SAW adalah
sebuah hadist yang dijadikan teladan, pedoman, dan sumber hukum tanpa
terkecuali.
B. Taqririyah

9
Taqririyah secara bahasa “taqrir” yang berarti ketetapan, sedangkan hadist
taqririyah berarti hadist yang disadarkan dari ketetapan Nabi Muhammad
SAW. Maksud ketetapan Nabi Muhammad SAW di sini adalah Ketika beliau
melihat perbuatan sahabat, namun beliau tidak memerintahkan dan tidak pula
melarang. Ketetapan Rasulullah SAW tersebut menunjukkan bolehnya
perbuatan itu. Sikap Nabi yang demikian tersebut dijadikan dasar oleh para
sahabat sebagai dalil taqriri, yang dapat dijadikan hujah atau memiliki
kekuatan hukum untuk menetapkan suatu kepastian Syara’.
Contoh hadist taqriri adalah sikap Rasulullah SAW yang memebiarkan para
sahabat dalm menafsirkan sabdanya tentang shalat pada suatu peperangan,
yaitu sebagai berikut:
‫صلِّيَ َّن َأ َح ٌد ْال َعصْ َر ِإاَّل‬
َ ُ‫ب اَل ي‬ِ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَوْ َم اَأْلحْ زَ ا‬
َ ‫ال النَّبِ ُّي‬ َ َ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ َما ق‬
َ َ‫ال ق‬ ِ ‫عَنْ ا ْب ِن ُع َم َر َر‬
ُ ‫صلِّي َحتَّى نَْأتِيَهَا َوقَا َل بَ ْع‬
ْ‫ضهُ ْم بَل‬ َ ُ‫ضهُ ْم اَل ن‬ ُ ‫يق فَقَا َل بَ ْع‬ ِ ‫ضهُ ْم ْال َعصْ َر فِي الطَّ ِر‬ ُ ‫ك بَ ْع‬ َ ‫فِي بَنِي قُ َر ْيظَةَ فََأ ْد َر‬
ْ ِّ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَلَ ْم يُ َعن‬
‫ف َوا ِحدًا ِم ْنهُ ْم‬ َ ِ‫ك فَ ُذ ِك َر َذل‬
َ ‫ك لِلنَّبِ ِّي‬ َ ِ‫صلِّي لَ ْم ي ُِر ْد ِمنَّا َذل‬
َ ُ‫ن‬
Dari Ibnu ‘Umar ra, ia erkata: Nabi SAW bersabda Ketika perang al-Ahzab:
“Janganlah seseorang melaksanakan zhallat ‘Ashar kecuali di perkampungan
Bani Quraizah.” Setelah berangkat, Sebagian dari pasukan melaksanakan shalat
‘Ashar di perjalanan sementara Sebagian yang lain berkata: “Kami tidak akan
shalat kecuali setelah sampai di perkampungan itu.” Sebagian yang lain:
“Justru kita harus shalat, karena maksud beliau bukan seperti itu.” Setelah
kejadian ini diberitahukan kepada Nabi SAW , beliau tidak menyakahkan satu
pihakpun.” (HR. Al-Bukhari No. 3810)
Sebagian sahabat memahami larangan itu berdasarkan pada hakikat
perintah tersebut sehingga mereka terlambat dalam melaksanakan shalat
‘Ashar. Segolongan sahabat lainnya memahami perintah tersebut untuk segera
menuju Bani Quraidhah dan serius dalam epperangan dan perjaanan sehingga
dapat shalat tepat waktu. Sikap para sahabat ini dibiarkan oleh Nabi
Muhammad SAW tanpa ada yang disalahkan atau diingkairnya.

C. Hammiyah

10
Hamiyah adalah sesuatu yang dikehendaki Nabi Saw. tetapi belum dikerjakan.
Sebagian ulama hadis ada yang menambahkan perincian sunnah tersebut
dengan sunnah hammiyah. Karena dalam diri Nabi Saw. terdapat sifat-sifat,
keadaan-keadaan (ahwal) serta himmah (hasrat untuk melakukan sesuatu).
Dalam riwayat disebutkan beberapa sifat yang dimiliki beliau seperti, “bahwa
Nabi Saw. selalu bermuka cerah, berperangai halus dan lembut, tidak keras,
tidak kasar, tidak suka berteriak, tidak suka berbicara kotor, dan tidak suka
mencela.”
Ada satu amalan sunnah yang termasuk masih berupa keinginan Rasulullah
SAW karena belum sempat terlaksana oleh beliau. Amalan sunnah yang
dimaksud adalah berpuasa sunnah pada 9 Asyura
Keterangan tersebut didasarkan dari salah satu Riwayat hadist yang dikisahkan
oleh Ibnu Abbas ra. Ia berkata,

ُ‫ يَا َرسُو َل هللاِ ِإنَّهُ يَوْ ٌم تُ َعظِّ ُمه‬:‫صيَا ِم ِه قَالُوا‬ ِ ِ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَوْ َم عَا ُشو َرا َء َوَأ َم َر ب‬
َ ِ‫صا َم َرسُو ُل هللا‬ َ َ‫ِحين‬
‫ص ْمنَا ْاليَوْ َم‬
ُ ُ‫ «فَِإ َذا َكانَ ْال َعا ُم ْال ُم ْقبِ ُل ِإ ْن َشا َء هللا‬:‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ِ‫ال َرسُو ُل هللا‬ َ َ‫صا َرى فَق‬َ َّ‫ْاليَهُو ُد َوالن‬
ِ ‫ فَلَ ْم يَْأ‬:‫التَّا ِس َع» قَا َل‬
َ ِ‫ َحتَّى تُ ُوفِّ َي َرسُو ُل هللا‬،ُ‫ت ْال َعا ُم ْال ُم ْقبِل‬
‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬

Artinya: Ketika Rasulullah SAW berpuasa pada hari Asyura dan


memerintahkan para sahabat untuk berpuasa, mereka berkata: "Ya, Nabi
Muhammad! Hari ini adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi
dan Nasrani." Rasulullah SAW bersabda, "Tahun yang akan datang insya
Allah aku akan berpuasa pada hari yang kesembilan." (HR Muslim).
Hadist di atas menyebutkan keinginan Rasulullah SAW untuk berpuasa pada
hari ke-9 bulan Asyura. Namun, keinginan tersebut gagal direalisasikan karena
beliau wafat sebelum sampai pada bulan Asyura tahun berikutnya.
Hammiyah
Materi tersebut termasuk Hammiyah, karena hadist yang kita dapat
adalah sesuatu yang sudah diniatkan oleh Rasulullah SAW namun tidak jadi
dilaksanakan atau tersampaikan . Dengan kata lain, segala sesuatu yang
menjadi sunnah setelah menjadi angan Rasulullah SAW meskipun beliau tidak

11
kesampaian mengerjakannya. Dengan kata lain, segala sesuatu yang menjadi
sunnah setelah menjadi angan Rasulullah SAW meskipun beliau tidak
kesampaian mengerjakannya. Berdasarkan materi yang kita dapat, materi
tersebut termasuk Hammiyah, karena hadist tersebut tersampaikann tanpa
dilalui oleh Rasulullah SAW.
2.5 Definisi Kualitas dan Kuantitas
A. Kualitas
Ditinjau dari segi kualitas, para ulama membagi tiga bagian, yaitu hadist
Shahih, hadist Hasan dan hadist Dha’if :
 Hadist Shahih
Menurut bahasa, sahih berarti sehat, bersih dari cacat, sah, atau benar,
sehingga hadist sahih menurut bahasa berarti hadist yang bersih dari cacat, atau
hadist yang benar berasal dari Rasulullah SAW. Hadits Shahih adalah hadits
yang bersambung sanadnya, dinukilkan oleh perawi yang adil, kuat hafalannya,
tidak cacat dan tidak tercela. Syarat-syarat hadits Shahih:
a. Rawinya bersifat adil
Seorang perawi dikatakan adil apabila memenuhi 4 syarat:
1. Selalu memelihara perbuatan taat dan menjauhi perbuatan maksiat.
2. Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan
santun.
3. Tidak melakukan perkara-perkara mubah yang dapat menggugurkan
iman kepada qadar dan mengakibatkan penyesalan.
4. Tidak mengikuti salah satu mazhab yang bertentangan dengan dasar
syara’.
b. Sempurna/kuat ingatan (dhabit)
c. Sanadnya tidak putus/bersambung
Sanad yang bersambung-sambung adalah sanad yang selamat dari
keguguran. Dengan kata lain tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan
menerima langsung dari guru yang memberinya.
d. Hadits itu tidak ber’illat

12
Illat hadits ialah suatu penyakit yang samar-samar, yang dapat
menodai keshahihan suatu hadits. Misal terdapat sisipan pada matan
Hadits
e. Tiada janggal
Kejanggalan suatu hadits terletak pada adanya pertentangan antara
suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul dengan hadits
yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih rajah (kuat) daripadanya. Atau
janggal karena berlawanan matannya dengan Al-Qur’an.[13]

 Pembagian dan tingkatan hadist Shahih dibagi menjadi 2, yaitu:


1. Hadist Shahih lizati, yaitu hadist yang memenuhi kelima syarat hadist
Shahih
2. Hadist Shahih li-gairi, yaitu hadist yang keadaan rawi-rawi nya kurang
hafiz dan dabit, tetapi mereka masih terkenal jujur, sebenernya berdrajat
hasan, lalu didapati dari jalan lain yang serupa atau lebih kuat, hal-hal
yang dapat menutupi kekurangan itu.
 Pembagian dan tingkatan hadist menurut para ulama hadist dibagi menjadi
7, yaitu:
1. Hadist yang muttafaq-‘alaihi atau muttafaq-‘alaihi sihhatihi, yaitu hadist
shahih yang telah disepakati oleh kedua Imam hadist, al-Bukhari dan
Muslim, tentang sanadnya (Assahhus-sihah).
2. Hadist yang hanya diriwayatkan (ditakhrijkan) oleh Imam Bukhari,
sedangkan Imam Muslim tidak meriwayatkan ( infarada bihil-Bukhary).
3. Hadist yang hanya diriwayatkan oleh Imam Muslim, sedangkan Imam al-
Bukhari tidak meriwayatkan (infarada bihil-Muslim).
4. Hadist shahih yang diriwayatkan menurut syarat-syarat al-Bukhari dan
Muslim disebut sahihun ‘ala syarthil Bukhari wa Muslim, sedangkan
kedua imam tersebut tidak menakhrijkannya.
5. Hadist shahih menurut syarat al- Bukhari, sedangkan beliau tidak
menakhrijkannya. Hadist yang demikian disebut sahihun ‘ala syarthil-
Bukhari.

13
6. Hadist shahih menurut syarat Muslim, sedangkan Imam Muslim tidak
menakhrijkannya. Hadist yang demikian dikenal sahihun ‘ala syarthil
Muslim.
7. Hadist yang tidak menurut salah satu syarat dari kedua imam, baik al-
Bukhari maupun Muslim.

 Hadist Hasan
Menurut pendapat Ibnu Hajar dalam buku Kajian Sunnah Nabi SAW
Sebagai Sumber Hukum Islam karya Zufar Rahman, Hadits Hasan adalah
hadits yang dinukilkan oleh orang yang adil, yang kurang kuat ingatannya,
yang muttasil sanadnya, tidak cacat, dan tidak ganjil. Sedangkan menurut
Imam Tirmidzi dalam kitab Dar Al-Fikr, penjelasan soal Hadist Hasan adalah
sebagai berikut: “Hadits Hasan merupakan tiap-tiap hadits yang pada
sanadnya tidak terdapat perawi yang tertuduh dusta (pada matan-nya), tidak
ada kejanggalan (syadz), dan (hadist tersebut) diriwayatkan pula melalui
jalan lain.”

 Dari Segi Kualitasnya karya Achmad Sarbanun, terdapat lima syarat yang
harus dipenuhi agar hadits tersebut masuk kategori sebagai Hadits Hasan,
yaitu:
1. Para perawinya yang adil;
2. Ke-dhabith-an perawinya di bawah perawi Hadist shahih;
3. Sanad-sanadnya bersambung;
4. Tidak terdapat kejanggalan atau syadz;
5. Tidak mengandung 'illat.
Para ulama hadist membagi hadis hasan menjadi 2, yaitu:
a. Hadist hasan lizathi, yaitu hadist yang sudah memenuhi persyaratan
hadist di atas, yaitu para perawinya terkenal kebaikannya, tetapi daya
ingat dan hafalan mereka belum sampai kepada derajat para perawi
yang shahih. Contoh Hadist Hasan lizathi adalah sebagai berikut :

14
“Dari Ibnu Umar dari Muhammad bin al-Mutsannaa dari Muhammad
bin Abi Adiy dari Muhammad bin ‘Amr dari Ibnu Syihab dari Urwah
bin az-Zubair dari Fathimah binti Abi Hubaisy bahwasanya ia
mengalami istihadhah, kemudian Nabi SAW bersabda: 'Darah haid itu
kehitaman sudah dikenal. Jika darahnya seperti itu janganlah
melakukan sholat. Jika ciri darahnya tidak seperti itu, berwudhu’lah
dan sholatlah karena itu adalah urat (yang terluka).’” (HR. Abu
Dawud).
“Dari ja’far bin sulaiman dari abu imron al-jauni dari abu bakar bin abi
musa, al-Asy’ari berkata: ‘aku mendengar ayahku berkata mengenai
sabda Rasulullah ketika musuh datang: 'Sesungguhnya pintu-pintu
syurga di bawah bayangan pedang.’” (HR. At-Tirmidzi).
b. Hadist hasan li gairi, yaitu hadist dhaif tetapi kedudukan hadist dhaif
tersebut naik drajatnya menjadi hasan li gairi karena ada sanad dan
matan yang menguatkan.
 Syarat-syarat untuk menjadi hadis hasan adalah sanad bersambung, adil,
debit (dibawah perawi hadist sahih), tidak syadz, serta tidak ada illat.

 Hadist Dha’if
Secara Bahasa, dhaif artinya lemah atau lawan kata dari kuat. Para ulama
memberikan definisi yang berbeda-beda terhadap hadist dhaif sebagai
berikut:
a. Imam Nawawi berpendapat bahwa hadist dhaif didalamnya tidak
terdapat syarat-syarat hadist shahih dan hadist hasan
b. Nur Ad-Din berpendapat bahwa hadist dhaif adalah hadis yang hilang
salah satu syaratnya dari syarat syarat hadis maqbul (hadist yang
shahih atau hadist yang hasan).
Adapun sebab-sebab disebut hadist dhaif sebagai berikut:
1. Terputusnya sanad secara nyata
2. Terputusnya syarat secara khafi (tersembunyi).
3. Penyakit pada rawi, meliputi penyakit, ketakwaan, dan hafalan.

15
B. Kuantitas
Kuantitas hadist disini yaitu dari segi jumlah orang yang meriwayatkan
suatu hadist atau dari segi jumlah sanadnya. Yang dimaksud segi kuantitasnya
adalah penggolongan hadis ditinjau dari banyaknya rawi yang meriwayatkan
hadis. Pembagian jumlah rawi hadist menurut para ahlinya yaitu:
 Hadist mutawatir
Kata Mutawatir secara etimologi berarti Muttabi’ atau yang artinya yang
datang beturut-turut dan tidak ada jarak. Sedangkan secara terminologi hadis
mutawatir adalah, “Hadis mutawatir adalah hadis yang merupakan tanggapan
pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut
kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta.”
Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, hadis mutawatir yaitu hadis yang
diriwayatkan oleh sejumlah orang yang mustahil melakukan kesepakatan
untuk berdusta. Mereka itulah yang meriwayatkan hadis dari awal hingga
akhir sanad.
Al Hafidz ibnu Hajar Al Asqolani dalam kitab Nuzhatunnazhor berkata,
“Apabila terkumpul empat syarat berikut ini, yaitu:
1. Jumlah yang banyak yang secara kebiasaan tidak mungkin mereka
bersepakat di atas kedustaan.
2. Mereka (jumlah yang banyak) meriwayatkan dari yang sama dengan
mereka dari awal sampai akhir sanad.
3. Sandaran periwayatan mereka adalah panca indera.
4. kabar mereka menghasilkan ilmu (keyakinan) bagi pendengarnya.
Maka ini disebut mutawatir. Bila tidak menghasilkan ilmu, maka disebut
masyhur saja. (An Nukat Ala Nuzhatinnadzor hal 56)
Hadits mutawatir tidak akan terpenuhi kecuali bila memenuhi empat
syarat, yaitu:
1. Diriwayatkan oleh banyak rawi. Terdapat perselisihan mengenai jumlah
minimal tentang banyaknya rawi. Menurut pendapat yang terpilih, paling
sedikit ada 10 orang. Ada yang berpendapat minimal 4 orang dalam setiap
thabaqat, sebagaimana dikemukakan oleh Abu Al-Thayyib karena

16
dianalogikan kepada saksi dalam Qadzaf. Ada yang mengharuskan lima
orang, dianalogikan dengan jumlah nabi yang memperoleh gelar Ulul
Azmi. Ada yang mengharuskan 20 orang karena diqiyaskan kepada al-
Quran surat Al-Anfal: 65.
2. Jumlah bilangan rawi tersebut terdapat pada seluruh tingkatan (thabaqat)
sanad.
3. Menurut kebiasaan, mustahil mereka bersepakat untuk berdusta.
4. Khabar mereka disandarkan kepada panca indera. Seperti misalnya
perkataan mereka sami’na (kami telah mendengar), roaina (kami telah
melihat), atau lamasna (kami telah merasakan) dan sejenisnya.
 Hadist mutawatir dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Hadist mutawatir lafdzi, hadis yang mutawatir periwayatannya dengan
satu redaksi sama atau hadist yang mutawatir lafaz dan maknanya .
Sedangkan menurut ‘Ajjaj al-Khathib, hadits mutawatir lafzhi adalah
hadits yang diriwayatkan dengan lafazhnya oleh sejumlah perawi dari
sejumlah perawi yang lain yang tidak disangsikan bahwa mereka akan
bersepakat untuk berbuat dusta dari awal sanad sampai ke akhir sanad.
Contoh hadist mutawatir lafdzi:
Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda,
‫ْأ‬
ِ َّ‫ى ُمتَ َع ِّمدًا فَ ْليَتَبَ َّو َم ْق َع َدهُ ِمنَ الن‬
‫ار‬ َّ َ‫ب َعل‬
َ ‫َم ْن َك َذ‬
“Siapa saja yang berdusta atas namaku secara sengaja maka hendaklah ia
bersiap-siap menempati tempat duduknya di neraka.” [Hadits riwayat Al-
Bukhari di dalam shahih Al-Bukhari no. 1291 dari Al-Mughirah bin
Syu’bah]
Hadits ini diriwayatkan oleh lebih dari 70 orang sahabat.
2. Hadist mutawatir maknawi, hadist yang maknanya mutawatir tetapi
lafaznya tidak. Hadist yang semakna dengan ini banyak jumlahnya bahkan
dikatakan serratus hadist dengan redaksi yang berbeda-beda, tetapi
mempunyai persamaan.
Contoh, hadist tentang Nabi saw. Berdoa sambal mengangkat tangan:
Rasulullah ‫ ﷺ‬Mengangkat Tangan Ketika Sholat Istisqa’

17
‫ُول‬ ُ ‫س قَا َل َرَأي‬
َ ‫ْت َرس‬ ٍ َ‫ت ع َْن َأن‬
ٍ ِ‫َح َّدثَنَا َأبُو بَ ْك ِر ْب ِن َأبِي َش ْيبَةَ َح َّدثَنَا يَحْ يَى بْنُ َأبِي بُ َكي ٍْر ع َْن ُش ْعبَةَ ع َْن ثَاب‬
‫ كتاب صالة‬،‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَرْ فَ ُع يَ َد ْي ِه فِي ال ُّدعَا ِء َحتَّى يُ َرى بَيَاضُ ِإ ْبطَ ْي ِه (رواه مسلم‬ َ ِ‫هللا‬
)5/895 :‫ نمرة‬،‫االستسقاء‬
”Diceritakan kepada kami oleh Abu Bakar bin Abi Syaibah, diceritakan
kepada kami oleh Yahya bin Abi Bukair, dari Syu’bah, dari Tsabit, dari
Anas, ia berkata, ‘Saya melihat Rasulullah ‫ ﷺ‬mengangkat kedua
tangannya ketika berdoa, sehingga kelihatan kedua ketiaknya yang putih.”
Penetapan bahwa mengangkat kedua tangan ketika berdoa termasuk
mutawatir karena pertimbangan digabungkannya berbagai jalur hadits
tersebut.

 Hadist Ahad
Kata ahad atau wahid dari segi bahasa berarti satu. Secara istilah hadist
ahad adalah khabar yang jumlah perwinya satu, dua, tiga, empat, lima, dan
setursnya.
 Pembagian Hadist Ahad:
1. Hadist masyhur
Masyhur dari segi istilah adalah hadis yang diriwayatkan dari
shabat, tetapi bilangannya tidak mencapai mutawatir. Hadist ini dikatan
hadist masyhur karena telah tersebar luas dari kalangan masyarakat. Hadist
masyhur ada yang berstatus sahih, hasan, dan dhaif.
2. Hadist gairu masyhur
Hadist ini dikelompokkan menjadi dua, sebagai berikut:
a. Hadist gairu masyhur aziz
Kata Aziz berasal dari kata azza-ya’izzu,yang artinya layakadu
yujadu (seolah-olah ditemukan) atau qalla wanadar (sedikit atau
jarang) atau berasal dari azza-ya’azzu berarti qawiya (kuat).
Pengertian aziz yaitu hadist yang perawinya kurang dari dua orang
dalam semua thabaqah sanadnya.
b. Hadist gairu masyhur grib

18
Garib secara etimologi berarti al-munfarid (menyendiri) atau al-
ba’id dan aqaribihi (jauh dari kerabat). Ulama hadist mendefinisikan
hadist garib sebagai hadist yang pada sanadnya terdapat seorang yang
menyendiri dalam meriwayatkan.
Hadist garib adalah hadist yang diriwayatkan oleh hanya seorang
rawi, baik dalam seluruh maupun salah satu tingkatan sanadnya.
Adapun yang dimaksud sanad menyendiri pada suatu hadist, yaitu
rawi yang meriwayatkan hadist secara sendiri tanpa rawi lainnya
Kuantitas
Materi tersebut, termasuk kuantitas, karena para Tabi’in tersebut
melakuakan atau mengerjakan apa yang seharusnya mereka lakukan.
Sedangkan kualitas adalah suatu hal yang tidak bisa dihitung secara pasti,
sehingga tidak memiliki nilai yang pasti tentang tolak ukur. Berdasarkan
materi kita yang dilakuakan para Tubi’in dalam melakuakan atau
mengerjakan apa yang seharusnya dilakukan.

19
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Jadi dapat kita simpulkan bahwa hadist yang kami dapat termasuk bagian
dari:
1. Khabar, karena sebagai berita atau pembicaraan yang masih mengandung
kemungkinan benar dan dusta.
2. Rawi, Rawi adalah sebutan untuk orang yang meriwayatkan,
menyampaikan, serta memindahkan suatu hadits kepada orang lain yang
menjadi rangkaian berikutnya.
3. Maqthu, karena hadis tersebut disandarkan atau dinisbatkan kepada Tabi'in
yang di bawah mereka berupa perkataan atau perbuatan.
4. Hammiyah, karena hadist yang kita dapat adalah sesuatu yang sudah
diniatkan oleh Rasulullah SAW namun tidak jadi dilaksanakan atau
tersampaikan.
3.2 Saran
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan. Kami sebagai pemakalah
menyadari bahwa makalahjauh dari kata sempurna. Untuk itu saran dan kritik
yang membangun sangat kami harapkan akhir kata kami meminta maaf
apabila terdapat kesalahan baik berupa sistematika penulisan, maupun isi
dalam makalah ini.

20
DAFTAR PUSTAKA

https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6321901/contoh-sunnah-hammiyah-
dan-penjelasannya-lengkap
https://www.ahdabina.com/hadits-maqthu-pengertian-contoh-dan-statusnya/
https://shafta.sch.id/pengertian-hadits-sunnah-khabar-atsar-dan-hadits-qudsi/
https://www.liputan6.com/hot/read/4877999/pengertian-hadits-menurut-bahasa-
dan-istilah-unsur-serta-sejarahnya
https://sumbar.kemenag.go.id/v2/post/1952/pengertian-kedudukan-dan-fungsi-
hadits.html
https://pabrikjammasjid.com/hadits/hadits-maqthu-dan-contohnya/
https://risalahmuslim.id/kamus/maqthu/
https://kumparan.com/berita-hari-ini/perbedaan-hadits-sunnah-khabar-dan-atsar-
yang-perlu-diketahui-1ww6CkOnKI0
https://www.liputan6.com/hot/read/4670086/sanad-adalah-orang-yang-
meriwayatkan-hadis-pahami-definisi-dan-fungsinya

21

Anda mungkin juga menyukai