Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

PROSES TRANSFORMASI HADIST

Di buat untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Hadist

Dosen pengampu : Fitri Sari

Disusun oleh:

Kelompok 8 :

Rifky Hidayatullah [2203032012]

Umi salimah [2203031020]

JURUSAN AKUNTANSI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM (IAIN) METRO

2022/2023

Kata pengantar
Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,
Taufik serta inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna untuk memenuhi tugas
kelompok untuk mata kuliah “Ulumul Hadist”, dengan judul “PROSES TRANSFORMASI HADIST ”. Kami
menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak yang telah
memberikan saran, masukan, dan kritik sehingga makalah ini dapat terselesaikan.Kami juga menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan berbagai
bentuk saran serta masukan yang membangun dari berbagai pihak. Akhirnya kami berharap semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para pembacanya.

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Pembahasan

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian perawi hadits

B. Sejarah pembukuan Hadits

C. Syarat-syarat perawi hadits

D. Sighat tahmmul wal ada'

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hadis adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad SAW baik itu perkataan, ataupun
pengakuan beliau.Hadis merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an.[1]Hadis Nabi
yang terhimpun dalam kitab-kitab hadis, terlebih dahulu melalui proses kegiatan yang dinamai dengan
riwayah al-hadis atau ar-riwayah,sedangkan yang meriwayatkan di namakan Rowi.

Rawi dalam ulumul hadits adalah seseorang yang menyampaikan hadits (berupa perkataan, perbuatan,
persetujuan maupun sifat Rasul) kepada umat Nabi Muhammad saw. Yang mana seorang rawi itu
mempunyai tanggung jawab yang sangat besar terhadap hadits-hadits Rasulullah, karena apabila
seorang rawi itu tidak memiliki syarat-syarat yang telah ditentukan oleh para ulama’ hadits, maka hadits
yang disampaikannya tidak diterima atau ditolak.
At tahammul wal al adaa merupakan dua istilah yang tidak asing lagi dalam ilmu hadits karena keduanya
merupakan hal yang sangat penting dalam perkembangan hadits, oleh karenanya pada kesempatan ini
penulis memilih judul yang berkaitan dengan at tahammul wal al adaa supaya penulis bisa lebih
mengetahui mengenai at tahammul wal al adaa dan kita semua bisa mengetahui atau lebih akrab lagi
dengan istilah-istilah dalam ilmu hadits yang belum kita ketahui, dengan memahami istilah-istilah dalam
periwayatan hadits maka kita akan lebih mudah dalam memahami ulumul hadits.

B. Rumusan Masalah

1. Apa syarat-syarat seorang perawi Hadits

2. Apa yang dimaksud dengan sighat at tahammul wa al ada'

C. Tujuan penulisan

1. Mengetahui syarat-syarat perawi hadits

2. Mengetahui apa yang dimaksud sighat at tahammul wa al ada'

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian perawi hadits

Orang yang meriwayatkan hadits disebut dengan istilah rawi atau perawi.[1]

JAKARTA, iNews.id – Hadits merupakan sumber hukum kedua bagi umat Islam setelah Al Quran. Hadits
Nabi SAW ini kemudian dihafalkan dan dicatat para sahabat dan tabi’in. Lalu orang yang meriwayatkan
hadits disebut apa? Dalam Ilmu Hadits, orang yang meriwayatkan hadits disebut dengan al rawi atau
perawi. Arti perawi adalah orang yang meriwayatkan atau menyampaikan hadits dari satu orang kepada
yang lainnya.

Sedangkan al marwi adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dan disandarkan kepada Nabi SAW atau
sahabat Nabi maupun tabi’in. Dikutip dari buku Ulumul Hadis yang ditulis Dr Nawir Yuslem, para sahabat
Nabi SAW menaruh perhatian sangat tinggi terhadap hadits. Mereka berupaya memperoleh hadits Nabi
dengan cara mendatangi majelis Rasulullah serta mendengar atau menyimak pesan Rasulullah SAW.
Mereka juga memerhatikan dengan seksama apa yang dilakukan Rasulullah SAW baik dalam ibadah,
aktivitas sosial maupun akhlak Nabi SAW sehari-hari. Semua yang mereka terima dan dengar dipahami
dengan baik dan dipelihara melalui hafalan yang kuat. Apa yang mereka dapati dan hafal mengenai
hadits Nabi kemudian disampaikan ke sahabat lainnya yang belum mengetahui atau kepada para tabi’in.

B. Syarat-syarat perowi

jumhur ahli Hadits, ahli ushul dan fiqih menetapkan beberapa syarat bagi periwayatan hadits, yaitu
sebagai berikut:

1. Islam

Pada waktu periwayatan hadits, maka seorang perawi harus muslim, dan menurut Ijma, periwayat
seseorang yang kafir tidak dapat diterima. Seandainya seorang fasik pun kita disuruh tawaquf, maka
lebih-lebih orang kafir. Allah berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka
periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Q.S. AL-Hujarat
(49) :6)

2. Baligh

Yang dimaksud Baligh adalah perawinya cukup usia ketika ia meriwayatkan hadis, walau pun
menerimanya sebelum baligh. Rasulullah bersabda:

]1[)‫رفع القلم عن ثالثة عن المجنون المغلوب على عقله حتى يفيق النٕام حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم (رواه ابو داود‬

“Hilang kewajiban menjalankan syari’at islam dari tiga golongan, yaitu orang gila sampai dia sembuh,
orang tidur sampai bangun dan anak-anak sampai ia mimpi”.(HR. Abu Daud dan Nasa’i)

3. Adil

Yang dimaksud adil adalah suatu sifat yang meletak pada jiwa seseorang yang menyebabakan orang
yang mempunyai sifat tersebut, tetap bertaqwa, menjaga kepribadian dan percaya kepada diri sendiri.

4. Dhabit

‫يتقظ الراوى حين تحمله وفهمه لما سمعه وحفظه لذالك من وقت‬

‫التحمل الى وقت االداء‬

Teringat kembali perawi saat penerimaan dan pemahaman suatu hadits yang iya dengar dan hafal sejak
waktu menerima hingga menyampaikannya.
Jalannya mengetahuin kedhabitan perawi dengan jalan I’tibar terhadap berita-beritanya dengan berita-
berita yang tsiqat dan memberikan keyakinan. Ada juga yang mengatakan, bahwa disamping syarat-
syarat yang disebutkan di atas, antara satu perawi dengan perawi lain harus bersambung, hadits yang
disampaikan itu tidak syadz, tidak ganjil dan tidak bertentangan dengan hadits-hadits yang lebih kuat
ayat-ayat Al-Quran.

Ulama hadits dari kalangan mutaqadimin (ulama hadits sampai abad ke-3 H) mengemukakan
persyaratan yang tertuju kepada kualitas dan kapasitas perawi sebagai berikut [3] :

1. Tidak boleh diterima suatu riwayat hadits, terkecuali yang berasal dari orang-orang yang tsiqah.

2. Orang yang akan meriwayatkan hadits itu sangat memperhatikan ibadah shalatnya, perilaku dan
keadaan dirinya. Apabla shalat, prilaku dan keadaan orang itu tidak baik, riwayat haditsnya tidak
diterima.

3. Tidak boleh diterima riwayat hadits dari orang yang suka berdusta, mengikuti hawa nafsunya dan
tidak mengerti hadits yang diriwayatkannya.

4. Tidak boleh diterima riwayat hadits dari orang yang ditolak kesaksiannya.

Sedangkan kualitas rawi terbagi ke dalalm Sembilan tingkatan yaitu:

1. Perawi yang mencapai derajat yang paling tinggi baik mengenai keadilan maupun mengenai ke-
dhabith-nya.

2. Perawi yang mencapai derajat keadilan yang paling tinggi dan derajat ke-dhabith-an yang menengah

3. Perawi yang mencapai derajat keadilan yang paling tinggi dan derajajt ke-dhabith-an yang paling
rendah

4. Perawi yang derajat keadilan yang menengah dan derajat ke-dhabithan ynag paling tinggi

5. Perawi yang mencapai derajat menengah dalam keduanya.

6. Perawi ynag mencapai derajat keadilan yang menengah dan derajat ke-dhabith-an yang paling rendah

7. Perawi yang mencapai derajat keadilan yang paling renda dan derajat ke-dhabith-an yang paling tinggi

8. Perawi yang mencapai derajat keadilan yang paling rendah dan derajajt ke-dhabith-an yan menengah

9. Perawi yang mencapai derajat keadilan yang paling rendah dalam hal keduanya.

C. Pengertian Tahammul Wal Ada’ al-Hadits

Tahammul dalam bahasa artinya ‘’menerima’’ dan Ada’ artinya “menyampaikan’’. Jika digabungkan
dengan kata al-hadis, Tahammul hadis berarti ‘’kegiatan menyampaikan riwayat hadis”.Hubungan yang
terjadi antara perawi dengan perawi lain merupakan kegiatan penerimaan dan penyampaian riwayat
hadis.[1]

Dalam istilah ilmu hadis, terdapat istilah yang disebut dengan At-tahamul dan Al-ada’. At-tahamul
adalah menerima dan mendengar suatu periwayatan hadis dari seorang guru dengan menggunakan
beberapa metode tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan Al-ada’ adalah menyampaikan atau
meriwayatkan suatu hadis kepada orang lain. Dan sedangkan Ada’ al-Hadits adalah kegiatan
menyampaikan Hadits dengan cara-cara tertentu.

Daftar Isi

Anda mungkin juga menyukai