Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

SISTEM PERIWAYATAN HADIST

DOSEN PENGASUH : Abdul Rahman Zain,Lc.,M.Th.I

MATA KULIAH : ILMU HADIST

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 12

SUSI SUSANTI (70200118096)

ANDI ABIL HASAN RIVAI (70200118097)

NURUL ISRA (70200118098)

JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR


KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami
panjatkan pujadan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
SISTEM PERIWAYATAN HADIST

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak
sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak
terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
   
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
   

                                                                                      GOWA, 26 September 2018

   
                                                                                              Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hadits adalah pedoman hidup umat Islam setelah Al-Qur’an. Segala sesuatu yang tidak
di sebutkan atau dijelaskan dalam Al-Qur’an baik dari segi ketentuan hukumnya, cara
mengamalkannya,dan petunjuk dalilnya, maka semua itu dijelaskan dalam hadits Rasulullah
SAW. Intinya, hadits adalah penjelas dari Al-Qur;an. Al-Qur’an dan hadits adalah dua hal yang
tidak dapat terpisahkan. Oleh karena itu, dapat dipahami betapa pentingnya hadits sebagai
petunjuk untuk kehidupan umat Islam.

Dapat diketahui pula bahwa sejarah pencatatan dan penghimpunan hadist Nabi tidaklah
sama dengan sejarah pencatatan damn penghimpunan Al-qur’an,pada zaman Nabi, tidaklah
seluruh hadist Nabi dicatat oleh para sahabat nabi,hal ini dikarenakan karena Nabi sendiri
pernah secara umum melarang para sahabat menulis hadist beliau,hanya orang-orang tertentu
saja dari kalangan sahabat yang diizikan oleh nabi melakukan pencatatan hadist.

Setelah itu tahap selanjutnya yaitu periwayatan hadist, sejarah menyatakan bahwa pada
zaman Abu Bakar dan Khalifah Umar Bin Khattab periwayatan hadist Nabi berjalan dengan
sangat hati-hati,dikarenakan pada saat itu bagi kalangan sahabat yang ingin menyampaikan
riwayat hadist diminta untuk menghadirkan saksi dan bahkan sampai melakukan saksi,dengan
demikian kegiatan periwayatan hadist menjadi sangat terbatas pada waktu itu, namun seiring
berjalannya waktu di tengah-tengah roda pemerintahan diresmikanlah penghimpunan hadist
secara resmi,dan karena setelah kejadian ini bermunculanlah banyak periwayat dikalangan
sahabat nabi maupun para sahabat khalifah sendiri.

Seiring berkembangnya zaman, banyak sekali pihak-pihak yang ingin memalsukan


hadits. Dengan cara membuat hadits-hadits palsu, peristiwa awal mula banyaknya terjadi
pemalsuan hadist yaitu pada masa kepemimpinan Khalifah Ali Bin Abi Thalib.Menimbang
betapa pentingnya hadits untuk kehidupan umat islam dan banyaknya Hadits palsu yang sudah
beredar, maka sebagai umat Islam harus mengetahui keaslian hadits. Untuk mendeteksi
keaslian hadits dengan cara mengetahui transformasi hadits. Transformasi hadits yang
dimaksud yakni Periwayatan Hadits atau jalannya hadits dari perawi sampai pada Rasulullah.
Ini adalah cara untuk mengetahui keaslian hadits dan kedudukan hadits.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan periwayatan


2. Apa saja syarat syarat penerimaan hadist dan penyampaian hadist
3. Apa saja simbol simbol periwayatan hadist

C. Tujuan penulisan

1. Menjelaskan pengertian periwayatan


2. Menjelaskan syarat syarat penerimaan hadist dan penyampaian hadist
3. Menjelaskan simbol simbol periwayatan hadis
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Periwayatan Hadist

Hadist Nabi yang terhimpun dalam kitab-kitab hadist, misalnya shahih al- Bukhori dan
shahih Muslim, terlebih dahulu telah melalui proses kegiatan yang di namai dengan riwayat al-
hadist atau al-riwayat, yang dalam bahasa indonesia dapat diterjemahkan dengan periwayatan
hadist atau periwayatan. Sesuatu yang diriwayatkan, secara umum juga biasa disebut dengan
riwayat.

Menurut istilah ilmu hadis, yang dimaksud dengan al-riwayat atau periwayatan hadis
ialah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadist, serta penyandaran hadis itu kepada
rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu. Seseorang tidak berhak
meriwayatkan hadis tersebut apbila menghilangkan kata-kata atau menambahkan atau kata-
katanya sendiri, sehingga tereproduksilah hadist-hadist yang hanya sesuai dengan
pemahamannya sendiri mengenai hadis-hadis tersebut.

Orang yang telah menerima hadis dari seorang periwayat , tetapi dia tidak
menyampaikan hadis itu kepada orang lain , maka dia tidak dapat disebut sebagai orang yang
telah melakukan periwayatan hadis. “Sekiranya orang tersebut menyampaikan hadis yang telah
diterimanya kepada orang lain, Tetapi ketika menyampaikan hadis itu dia tidak menyebutkan
rangkaian periwayatnya, maka orang tersebut tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang telah
melakukan periwayatan hadis”.

Dan adapula pendapat lain tentang pengertian periwayatan hadist namun mempunyai makna
yang sama, yaitu adapun yang dimaksud Periwayatan hadits adalah proses penerimaan (naql
dan tahammul) hadits oleh seorang rawi dari gurunya dan setelah dipahami, dihafalkan,
dihayati, diamalkan (dhabth), ditulis di-tadwin (tahrir), dan disampaikan kepada orang lain
sebagai murid (ada’) dengan menyebutkan sumber pemberitaan riwayat tersebut.

B. Syarat syarat penerimaan hadist dan penyampaian hadist

Syarat Penerimaan Hadis(tahaamul hadis)

Adapun syarat-syarat bagi seseorang diperbolehkan untuk mengutip hadits dari orang lain
adalah:

a. Adh Dhabth yakni memiliki hafalan yang kuat atau memiliki dokumen yang valid.

b. Berakal.

c. Tamyiz.

Ulama’ Hadist memiliki beberapa rumusan dalam kategori usia tamyiz. Untuk batasan minimal
seseorang bisa dikatakan tamyis dalam hal ini ulama hadistpun masih berbeda pendapat. Ada
yang mengatakan harus berusia 5 tahun atau 10 tahun, atau berusia 20 tahun, bahkan ada ada
yang mengatakan minimal berusia 30 tahun.
Beberapa ulama’ hadist masih berselisih dalam pembahasan anak-anak dalam menerima hadist,
mayoritas ulama’ hadist menganggap mereka boleh menerima riwayat hadits, sementara yang
lain berpendapat bahwa hadits yang diterima mereka tidak sah.

Akan tetapi yang lebih mendekati pada kebenaran adalah pendapat yang dikemukakan ulama
jumhur dikarenakan banyak para sahabat atau tabi’in yang menerima hadits yang diriwayatkan
oleh Hasan, Husein, Abdullah bin Zubair, Ibnu Abbas dan yang lain, tanpa membedakan mana
hadits yang mereka terima ketika masih kecil dan yang setelahnya.

Hal senada juga diungkapkan oleh Al Hafidz Ibnu Katsir dalam bukunya Ikhtishar Ulumul
Hadits, bahkan beliau menambahkan bahwa tahamul hadits orang fasik dan non Muslim juga
sah.

Syarat Penyampaian Hadis

a. Al 'Adalah yaitu perilaku yang membawa pemiliknya untuk bertakwa. Sifat adil dalam
hubungannya dengan periwayatan hadits maka yang dimaksud adalah, suatu karakter yang
terdapat dalam diri seseorang yang selalu mendorongnya melakukan hal-hal yang positif, atau
orang yang selalu konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi terhadap
agamanya.

b. Islam, tidak diterima riwayat dari orang kafir.

c. Baligh, tidak diterima riwayat seseorang yang belum sampai ke usia taklif(usia di mana
seseorang dikenai kewajiban syari'at).

d. Tamyiz yaitu seorang perawi memahami apa yang dia dengar dan dia menangkap dan
menguasainya. Diantara pendapat ulama terhadap masalah kapan seorang perawi layak
(dianggap sah) mendengar hadits adalah bahwa usia yang layak adalah ketika seorang anak
memiliki kemampuan untuk memahami pembicaraan dan bisa menjawabnya.

Menurut Al Hafidz Ibnu Katsir dalam bukunya Ikhtishar Ulumul Hadits, hadits yang diterima
oleh orang kafir bisa diterima bila ia meriwayatkannya (ada’) setelah masuk Islam. Dan yang
terpenting dari semua pendapat yang dikemukakan oleh para kritikus adalah faktor utama
bukanlah batasan umur, melainkan sifat tamyiz pada diri orang tersebut sekalipun belum baliqh

e. Adh Dhabth yaitu hafal dan terjaganya hadits itu dalam tulisannya sejak mendapatkan
hadits (tahammul) hingga waktu menyampaikan .

Tahammul Wa al-Ada’ atau system cara Penerimaan dan Penyampaian Hadits menjadi
delapan macam, yaitu:

a. Sama ' (mendengar secara langsung dari syaikh)

Yakni mendengar sendiri dari perkataan gurunya baik secara dikte atau bukan, baik dari
hafalannya maupun dibaca dari tulisannya, walaupun mendengar dari balik hijab, asal
berkeyakinan bahwa suara yang didengar adalah suara gurunya, kemudian ia sampaikan
kepada orang lain.
b. Al-Qira’ah ‘ala Syaikh (aradh)

Yakni murid membaca hadits dihadapan gurunya, baik ia sendiri yang menyampaikan atau yang
mendengar yang meriwayatkannya.

Jika seorang murid akan meriwayatkan dari syeikh dengan metode ini, maka dia dapat berkata :
Qoro’tu/Aku membaca di hadapan syeikh, atau Quri’a ‘alayya/ dibacakan di hadapannya dan
aku mendengar, atau Anbaani.

c. Ijazah

Metode al-ijazah didefinisikan sebagai suatu metode penyebaran hadist yang dilakukan dengan
cara seorang guru mengizinkan muridnya untuk mengajarkan atau meriwayatkan hadis, baik
melalui lafadz (bacaan) maupun tulisannya. Dengan kata lain, ijazah merupakan izin dari
seorang guru hadist kepada muridnya untuk meriwayatkan hadis atau kitab yang diriwayat
dirinya. Misalnya ungkapan seorang guru kepada salah seorang muridnya:”Aku izinkan engkau
meriwayatkan Shahih al-Bukhari”

d. Munawalah

Yaitu seorang syaikh memberikan kitab atau lembaran (yang berisi hadits) kepada muridnya
untuk meriwayatkannya.. Ada dua macam cara periwayatannya yaitu;pertama, Al-Munawalah
yang disertai dengan al-ijazah yang kemudian untuk konkritnya adalah seorang guru
menyerahkan kitabnya kepada murid, namun juga ada pernyataan agar hadis-hadis yang
termuat didalam kitab tersebut diriwayatkan, seperti ungkapan seorang guru: “ ini adalah
(hadis) riwayat dari si fulan, maka riwayatkanlah (hadis-hadis) tersebut dengan sanad dari
ku”. Kedua, al-munawalah yang tidak diserta ijazah,seperti ungkapan seorang guru tatkala
menyerahkan tulisannya. Jumhur ulama sepakat bahwa al-munawalah model ini memiliki
derajat setingkat dibawah metode al-sima’dan al-qira’ah.

e. Mukatabah

Sebuah metode hadis yang dilakukan dengan cara seorang guru menuliskan adisnya yang
kemudian diberikan kepada muridnya,baik yang hadir maupunyang tidak hadir. Terdapat dua
cara periwayatan yaitu: pertama, metode menuliskan hadis yang kemudian diikuti dengan
ungkapan ijazah agar hadis tersebut diriwayatkan oleh murid yang dituliskan
tersebut; kedua, metode al-mutakabah namun tidak diikuti dengan ungkapan ijazah.

f. Al I'lam

Metode al-i’lam diformulasikan secara definitif dalam ilmu hadis sebagai sebuah cara
penyebaran hadis yang ditempuh dengan cara seorang guru mengumumkan atau
memberitahukan kepada muridnya bahwa ia telah mendengar suatu hadis atau kitab hadis,
namun informasi tersebut tidak disusul kemudian dengan ungkapan agar hadis/ kitab hadis
yang telah didengarnya tersebut diriwayatkan oleh muridnya. Menanggapi metodeyang
demikian ternyata para ulam berbeda pendapat.
g. Al-wasiyah

Metode Al-wasiyah merupakan salah satu bentuk periwayatan hadis yang dilakukan dengan
cara seorang guru berwasiat kepada seseorang ketika ia meninggal atau sedang bepergian, agar
hadis dan kitab hadis yang telah diriwayatkan itu diserahkan kepada muridnya. Mengenai
bentuk periwayatan hadis yang demikian ini, para ulama berbeda pendapat, sebagian kelompok
ulama salaf sebagai dinukil ibn al-shalah menyatakan bahwa periwayatan bentuk al-washiyyah
ini dibenarkan denagn alasan bahwa al-washiyyah ini menyerupai al-i’lam. Namun kemudian
pendapat bentuk al-washiyyah ini disangkal oleh ibn al-shalah sendiri karena periwayatan
hadis dalam bentuk al-washiyyah ini justru sangat jauh berbeda dengan al-i’lam.

h. Wijadah

Pemahaman yang didapatkan dengan formulasi periwayatan bentuk al-wijadah ini adalah
seoarng murid menemukan tulisan hadis yang diriwayatkan oleh gurunya.

C. Simbol Simbol Periwayatan Hadist

1. Metode al-sima
 ‫ نا خبر ا‬,‫ نى خبر ا‬seseorang telah mengkhabarkan kepadaku/kami.
 ‫ ثنا حد‬,‫ ثنى حد‬seseorang telah bercerita kepadaku/kami.
 ‫ سمعنا‬, ‫ سمعت‬          saya/kami mendengar.

Sighat model ini menjadikan nilai hadits itu tinggi karena para perawi tersebut mendengar
sendiri hadits yang diriwayatkan itu, baik berhadapan langsung maupun dibalik tabir.
Sedangkan lambang periwayatan hadits dengan metode al-simā ’ yang tidak disepakati
penggunaannya adalah qā la lanā dan dzakara lanā.

2. Metode Qiraah

Sighat-sighat yang digunakan untuk meriwayatkan hadits berdasarkan metode al-qira’ah, yang
disepakati penggunaannya seperti:

 ‫ت َعلَ ْي ِه‬ُ ‫( َق َر ْأ‬aku telah membacakan dihadapannya)


 ‫ئ َعلَي فُالَ ٍن واَ َنا اَسْ َم ُع‬ َ ‫( قُ ِر‬dibacakan oleh seseorang dihadapannya (guru) sedang aku
mengdengarkannya)
 ‫( َح َّد َث َنا اَ ْو أَ ْخ َب َر َنا ق َِرأَةٌ َعلَ ْي ِه‬telah mengabarkan/menceritakan secara pembacaan dihadapannya).

Sedangkan lafadz yang tidak disepakati penggunaanya untuk lambang metode al-qira’ah adalah:
sami’tu haddatsana, akhbarana, qala lana dan dzakara lana.

3. Metode ijazah

Lafadz yang sering digunakan adalah :

 ‫ك اَنْ َترْ ِوي َع ِّني‬ ُ ‫( أَ َج ْز‬saya ijazahkan kepada kamu untuk meriwayatkan dariku)
َ َ‫ت ل‬
4. Metode al-munawalah

Sighat-sighat yang digunakan untuk meriwayatkan hadis berdasarkan metode al-munawaah


diantaranya adalah:

Pertama, dengan dibarengi ijazah. Misalnya, setelah sang guru menyerahkan kitab asli atau
salinannya, lalu mengatakan : "Riwayatkanlah dari saya ini". Periwayatan tersebut diperkenankan
dan bahkan ada yang berpendapat kebolehannya itu secara ijma', karena tidak ragu lagi kewajiban
untuk mengamalkannya. Lafadznya diantaranya :

 ‫( َه َذا َس َما عِ ي أَ ْو ِر َوا َيتِي َعنْ فُالَ ٍن َفارْ ِو ِه‬ini adalah pendengaranku atau periwayatanku dari seseorang,
riwayatkanlah!)

Kedua, Tanpa dibarengi ijazah. Yakni ketika naskah asli atau turunnya diberikan kepada muridnya
dengan dikatankan bahwa itu adalah apa yang didengar si fulan, tanpa diikuti dengan suatu perintah
untuk mengamalkannya. Lafadznya diantaranya :

 ‫( َه َذا َس َما عِ ي أَ ْو مِنْ ِر َوا َيتِي‬inilah hasil pendengaranku atau berasal dari periwayatanku)

5. Metode al-Mukatabah

Sighat-sighatyang digunakan untuk meriwayatkan hadis berdasarkan metode almutakabah


diantaranya adalah:

 ‫ به كتا فالن حدثى‬Seseorang yang telah bercerita kepadaku dengan tulisan.


 ‫ به كتا فالن نى اخبر‬Seorang yang telah mengabarkan kepadaku dengan tulisan.
 ‫ به كتا فالن ثنى حد‬Seseorang yang telah menuliskan kepadaku

6. Metode al-Ilam

Sighat yang digunakan untuk meriwayatkan hadis berdasarkan metode al-i’lam adalah

 ‫( اَعْ ل َمنِي فُالنٌ قال حدثنا‬seseorang telah memberitahukan kepadaku, telah berkata kepada kami)

7. Metode Al-washiyah

Sighat yang digunakan untuk meriwayatkan hadis berdasarkan metode al-washiyah ini adalh


‫ب قَال فِيه َح َّدثَنا الي آخره‬ٍ ‫ي فُالَ ٌن ب ِكتَا‬ َ ْ‫( اَو‬seorang telah berwasiat dengan sebuah kitab, dan
َّ ‫صي ال‬
berkata sifulan)
8. Metode al-wijadah
lambang periwayatan hadis berdasarkan metode al-wijadah ini adalah
ٍ ‫بخ ِّط َف‬
 ‫الن‬ َ ‫ت‬ُ ‫( َقر ْا‬saya telah membaca khat seseorang)
 ‫الن‬ٍ ‫بخ ِّط َف‬
َ ‫ت‬ُ ‫( َو َج ْد‬kudapati khat seseorang)
BAB III

PENTUTUP

A. Kesimpulan

periwayatan hadis ialah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadist, serta penyandaran
hadis itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu.

Orang yang telah menerima hadis dari seorang periwayat , tetapi dia tidak menyampaikan hadis
itu kepada orang lain , maka dia tidak dapat disebut sebagai orang yang telah melakukan
periwayatan hadis. “Sekiranya orang tersebut menyampaikan hadis yang telah diterimanya
kepada orang lain, Tetapi ketika menyampaikan hadis itu dia tidak menyebutkan rangkaian
periwayatnya, maka orang tersebut tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang telah
melakukan periwayatan hadis”.

Periwayatan hadis yang dilakukan secara makna, adalah penyebab terjadiya perbedaan
kandungan atau redaksi matan dari suatu hadis, yang boleh meriwayatkan hadist adalah
mereka yang memiliki kemampuan bhs.arab yang mendalam,dan periwayatan secara makna
boleh dilakukan apabila dalam keadaan terpaksa dan apabila mengalami keraguan akan
susunan matan hadist,serta periwayatan secara makna harus secara lafadz.

B. Saran

Sebagai penyusun, kami merasa masih ada kekurangan dalam pembuatan makalah ini.
Oleh karena itu, kami mohon kritik dan saran dari pembaca. Agar kami dapat memperbaiki
makalah yang selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

blogushuluddin.blogspot.com/2016/04/Sistem periwayatan hadist. html


Sinforan.blogspot.com/2012/02/periwayatan hadist.html
· www.teddyagustria.blogspot.com” syarat penerimaan dan penyampaian hadist

http://icalfarrijilqulub.blog.com/2011/01/11/metodologi-periwayatan-hadis/

http://wwwfitri-blog.blogspot.com/2010/10/teknik-periwayatan-hadis-bentuk-bentuk.html

Anda mungkin juga menyukai