Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH ULUMUL HADIST

Syarat-syarat Perawi Hadist

Dosen Pengampu : Teddy Khumaedi.S.Sos.I.,M.Ag,.

Disusun Oleh :

1. Nur Asriani Rahayu (A.201901271)


2. Siti Yulianti (A.201901416)
3. Sri Mulya Aprilian (A.201901143)

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

PRODI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

INSTITUT UMMUL QURO AL-ISLAMI BOGOR


2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala
berkat dan rahmat-Nyalah sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang
berjudul “Syarat-syarat Perawi Hadist”.

Dalam penulisan makalah ini, kami mengalami banyak kesulitan maupun hambatan.
Namun berkat kerjasama yang cukup baik dan bantuan dari Dosen Pembimbing
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini. Dan kami menyadari sepenuhnya bahwa
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kami mengharapkan kepada para
pembaca untuk senantiasa memberikan masukan, kritik, dan saran yang membangun
demi kesempurnaan makalah kami ini.

Bogor, April 2019


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................i

DAFTAR ISI .................................................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................................1

1.1 Latar Belakang.........................................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................2
1.3 Tujuan .....................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN ..............................................................................................3

2.1 Pengertian dan Syarat-syarat Perawi Hadist ...........................................................3


2.2 Cara Menerima Hadist ............................................................................................5
2.3 Syarat-syarat Dalam Meriwayatkan Hadist ............................................................8
2.4 Proses Tranmisi Hadist ...........................................................................................9
2.5 Proses Tranmisi Hadist Pada Masa Nabi sampai Pada Zaman Sesudah
Generasi Sahabat ......................................................................................................10

BAB III PENUTUP.......................................................................................................12

3.1 Kesimpulan..............................................................................................................12
3.2 Saran........................................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................14
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mayoritas ulama hadis dan fiqih, sepakat menyatakan bahwa seorang guru yang
menyampaikan sebuah hadis harus mempunyai ingatan dan hafalan yang kuat (Dhabit)
serta memiliki integritas keagamaan yang kemudian melahirkan tingkat kredibilitas sifat
adil. Dalam hubungannya dengan periwayatan hadis maka yang dimaksud adalah, suatu
karakter yang terdapat dalam diri seseorang yang selalu mendorongnya untuk
melakukan hal-hal yang positif atau orang yang selalu konsisten dalam kebaikan dan
mempunyai komitmen tinggi terhadap agamanya.

Wacana yang paling fundamental dalam kajian hadis adalah persoalan outentik
dan reliabilitas otentifikasi metodologi hadis. Keraguan sebagian sarjana Muslim atas
peran hadis sebagai sumber otoritas kedua setelah al-Qur’an, tidak sepenuhnya
berkaitan dengan resistansi mereka atas otoritas sunnah, tetapi lebih pada keraguan
mereka atas keakuratan metodologi yang digunakan dalam menentukan originalitas
hadis. Apabila metodologi otentifikasi yang digunakan bermasalah, maka semua hasil
yang dicapai dari metode tersebut tidak steril dari kemungkinan verifikasi ulang, kritik
sejarah bahkan hasil tersebut bisa menjadi collapse.

Hadis yang dianggap sebagai verbalisasi sunnah oleh umat Islam terlalu penting
untuk diabaikan dalam kehidupan beragama, sosial dan politik. Hadis bukan hanya
sebagai sumber hukum Islam yang berdiri sendiri, tapi juga sebagai sumber informasi
yang sangat berharga untuk memahami wahyu Allah. Ia juga sebagai sumber sejarah
masa awal Islam.. Dalam anatomi hukum Islam, hadis merupakan salah satu sumber
yang penting untuk dikonsultasikan.

Sebelum menjabarkan mengenai hadis lebih jauh, ada beberapa hal yang sangat
penting dan mesti kita ketahui dalam masalah hadis yaitu :

1. Pada awalnya Rasulullah SAW melarang para sahabat menuliskan hadis, karena
dikhawatirkan akan bercampur-baur penulisannya dengan al-Qur’an.
2. Perintah untuk menuliskan hadis yang pertama kali adalah oleh khalifah Umar
bin Abdul Aziz. Beliau menulis surat kepada gubernurnya di Madinah yaitu Abu
bakar bin Muhammad bin Amr Hazm Al-Alshari untuk membukukan hadis.
3. Ulama yang pertama kali mengumpulkan hadis adalah Ar-Rabi Bin Shabi dan
Said bin Abi Arabah, akan tetapi pengumpulan hadis tersebut masih acak
(tercampur antara yang shahih dengan dha’if dan perkataan para sahabat)
4. Pada kurun abad ke-2 imam Malik menulis kitab Al-Muwatha di Madinah, di
Makkah. Hadis dikumpulkan oleh Abu Muhammad Abdul Malik Bin Ibnu
Juraiz, di Syam oleh imam Al-Auzai, di Kuffah oleh Sufyan At-Tsauri, di
Bashrah oleh Hammad Bin Salamah.
5. Pada pertengahan abad ke-3 hijriah mulai dikarang kitab shahih Bukhari dan
Muslim.

Maka dari itu, di dalam makalah ini kami akan mencoba untuk membahas
mengenai syarat seorang perawi dan cara mereka menerima dan menyampaikan riwayat
(transmisi hadis).

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja Syarat-syarat dalam penerimaan Hadits ?
2. Apa saja syarat dalam penyampaian Hadits?
3. Bagaimana syarat dalam proses tahammul wa ada’ dan kualitas persambungnya?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Apa saja Syarat-syarat dalam penerimaan Hadits
2. Untuk mengetahui Apa saja syarat dalam penyampaian Hadits?
3. Untuk mengetahui syarat dalam proses tahammul wa ada’ dan kualitas
persambungnya?

1.
BAB II

PEMBAHASAN

I. Pengertian dan Syarat-syarat Perawi Hadis


a. Definisi

Kata rawi atau ar-rawi berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan hadis.
Sedangkan menurut istilah yaitu orang yang menukil, memindahkan atau menuliskan
hadis dengan sanadnya baik itu laki-laki maupun perempuan.

Karena hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sampai kepada kita melalui jalur
para perawi, maka mereka menjadi fokus utama untuk mengetahui ke-shahih-an atau
tidaknya suatu hadis. Karena itu pula, para ulama hadis amat memperhatikan para
perawi. Mereka telah membuat berbagai persyaratan yang rinci dan pasti untuk
menerima riwayat para perawi. Ini menunjukkan jauhnya pandangan para ulama hadis,
lurusnya pemikiran mereka, dan kualitas metode yang mereka miliki.

Berbagai persyaratan yang ditentukan terhadap para perawi dan syarat-syarat


lain bagi diterimanya suatu hadis atau berita, tidak pernah ada dan tidak pernah
dijumpai pada agama apapun, bahkan hingga masa kini.

b. Syarat-syarat yang harus dimiliki seorang perawi hadis (Tahammul), diantaranya


yaitu:
1) Muslim

Mengenai syarat ke-Islaman, itu sudah jelas. Seorang rawi harus meyakini dan
mengerti akidah Islam, karena dia meriwayatkan hadis atau khabar yang berkaitan
dengan hukum-hukum, urusan dan tasyri’ agama Islam. Jadi dia mengemban tanggung
jawab untuk urusan memberi pemahaman tentang semuanya kepada manusia. Namun
syarat Islam sendiri hanya berlaku ketika seseorang menyampaikan hadis, bukan ketika
membawa atau menanggungnya.

Ada sahabat yang mendengar hadis ketika mereka masih belum memeluk Islam.
Ketika mereka sudah masuk Islam, mereka meriwayatkan hadis yang diterima atau
didengarnya ketika masih belum Islam. Contohnya sebagaimana yang telah berlaku
kepada Jubair bin Matam. Beliau telah meriwayatkan hadis yang didengarnya ketika
masih belum memeluk Islam. Hadisnya ialah berkenaan perbuatan Nabi SAW yang
membaca surah al-Thur ketika sholat maghrib.

2) Berakal

Menurut para ahli hadis, berakal berarti identik dengan kemampuan seseorang untuk
membedakan. Jadi untuk mampu menanggung dan menyampaikan suatu hadis,
seseorang harus telah memasuki usia akil baligh. Sahabat yang paling banyak menerima
riwayat, yang mereka dengar pada masa kecilnya, ialah Anas bin Malik, Abdullah bin
Abbas, dan Abu Sa’id al-Khudri. Mahmud bin rabi’ masih ingat Rasulullah
menghukumnya pada waktu ia membuat kesalahan dan beliau wafat ketika Mahmud
berusia 5 tahun.

3) Al-dhabtu (dhabit).

Dimaksudkan di sini adalah teliti dan cermat, baik ketika menerima pelajaran
hadis maupun menyampaikannya. Sudah barang tentu, orang seperti ini mempunyai
hafalan yang kuat, pintar, dan tidak pelupa. Kecermatan perawi bisa dikenali dari hadis
yang dia riwayatkan ternyata cocok dengan yang diriwayatkan oleh orang yang dikenal
cermat, telilti dan terpercaya. tetapi itu tidak harus mengenai keseluruhan. Perbedaan
yang tidak sedikit tentang hadis yang mereka riwayatkan masih dapat didamaikan. Tapi
jika perbedaan terlampau jauh dan tidak sesuai dengan hadis yang mereka riwayatkan,
maka kecermatanya masih diragukan.

Allah akan menghargai orang yang bersikap cermat dalam periwayatan hadis,
merekalah orang yang pandai dan bijaksana, mereka hanya mau mengutip hadis shahih
saja. Hadis shahih diketahui bukan hanya dari riwayatnya saja tapi juga melalui
pemahaman dan penghafal dan banyak mendengar.

4) Adil

Perawi yang adil ialah yang bersikap konsisten dan berkomitmen tinggi pada
urusan agama, yang bebas dari setiap kefasikan dan dari hal-hal yang merusak
kepribadian, Al-khatib al-Baghdadi memberikan definisi adil sebagai berikut: ”yang
tahu melaksanakan kewajibannya dan segala yang diperintahkan kepadanya- dapat
menjaga diri dari larangan-larangan, menjauhi dari kejahatan, mengutamakan kebenaran
dan kewajiban dalam segala tindakan dan pergaulannya, serta menjaga perkataan yang
bisa merugikan agama dan merusak kepribadian. Barang siapa dapat menjaga dan
mempertahankan sifat-sifat tersebut maka ia dapat disebut bersikap adil bagi agamanya
dan hadisnya diakui kejujurannya”.

Para ulama membedakan adilnya seorang rawi dan bersihnya seorang saksi. Jika
masalah kebersihan, baru dapat diterima dengan penyaksian dua saksi. Saksi ini baik
laki laki maupun saksi perempuan, orang merdeka atau berstatus budak, dengan
persyaratan dapat adil terhadap dirinya sendiri.

II. Cara Menerima Hadits (Tahammul Hadits)


a) As-Sama’

Mendengar secara langsung dari Syeikh adalah mendengar Hadits dari bacaan
Syeikh, sama saja apakah Syeikh tersebut mengucapkan Hadits tersebut dari hafalannya
atau dari bacaan kitabnya. Jika murid ini meriwayatkan dengan cara ini, maka dia
hendaknya berkata: sami’tu aku mendengar atau dia berbicara kepadaku, jika dia
sendirian. Atau: “Dia bercerta kepa kami”, jika ada orang lain bersamanya. Bahasa yang
digunakan adalah sami’tu, sami’na, haddatsani, haddatsanaa, akhrobaroni, akhbarona,
anbaanii, anba anaa, qoola lii, qoola lanaa, Dzakaroni lii, Dzakaro lanaa.

Muhaddits periode awal terbiasa menggunakan lafadz sami’tu, sementara pada


masa berikutnya lebih akrab menggunakan lafaz Haddatsanaa. Namun demikian pada
dasarnya kedua lafaz tersebut tidak memiliki perbedaan yang berarti. Hal itu
dikarenakan keduanya sama-sama sigunakan untuk mewartakan hadits yang didengar
langsung hadits yang diriwayatkan dengan salah satu lafadz diatas menunjukan pada
bersambungnya sanad.

b) Al-qira’ah

Membaca dihadapan Syeikh adalah seseorang murid(perawi) membacakan


Hadits dari Hadits yang diriwayatkan Syeikhnya, dan Syeikhnya mendengar, sama saja
apakah Syeikh menyimak bacaan tersebut ddengan hafalan atau dengan memegang
kitabnya. Atau Quri’a‘alayya/dibacakan dihadapannya dan aku mendengar atau
Anbaani.

c) Ijazah

Adalah seorang Syeikh memberi ijin bagi muridnya untuk meriwayatkan Hadits
darinya, atau meirwayatkan itu darinya.

Salah satu muridnya: “Aku mengijinkan kamu meriwayatkan hadits-haditsku atau


kitab-kitab dariku”. Hukum meriwayatkan hadits dengan metode ini, para ulama
berbeda pendapat tentang kebolehannya, yaitu:

 Tidak boleh, Ibn Hazm berkata: “Itu adalah bid’ah, tidak boleh”
 Boleh. Dan ini adalah pendapat jumhur.

d) Munawalah

Al-Munawalah ada dua macam:

 Al-Munawalah yang disertai dengan ijazah. Ini tingkatannya paling tinggi di


antara macam-macam ijazah secara muthlaq. Seperti jika seorang syaikh
memberikan kitabnya kepada sang murid, lalu mengatakan kepadannya,

‫( هَ َذا َس َما ِعي أَوْ ِر َوايَتِي ع َْن فُالَ ٍن فَارْ ِوه‬Ini riwayatku/kudengar dari si fulan, maka
riwayatkanlah).

Kemudian buku tersebut dibiarkan bersamanya untuk dimiliki atau dipinjamkan


untuk disalin. Maka diperbolehkan meriwayatkan dengan seperti ini, dan tingkatannya
lebih rendah daripada as-sama' dan al-qira'ah.

 Al-Munawalah yang tidak diiringi ijazah. Seperti jika seorang syaikh


memberikan kitabnya kepada sang murid dengan hanya mengatakan :

‫( هَ__ َذا َس__ َما ِعي أَوْ ِم ْن ِر َوايَتِي‬Inilah hasil pendengaranku atau berasal dari
periwayatanku) Yang seperti ini tidak boleh diriwayatkan berdasarkan pendapat yang
shahih.

e) Al-Mukatabah
Ialah Seorang syaikh menulis sendiri atau dia menyuruh orang lain menulis
riwayatnya kepada orang yang hadir di tempatnya atau yang tidak hadir di situ. Al-
Mukatabah ada 2 macam :

 Al-Mukatabah yang disertai dengan ijazah, seperti perkataan syaikh,"Aku


ijazahkan kepadamu apa yang aku tulis untukmu", atau yang semisal dengannya.
Dan riwayat dengan cara ini adalah shahih karena kedudukannya sama kuat
dengan munaawalah yang disertai ijazah.
 Al-mukatabah yang tidak disertai dengan ijazah, seperti syaikh menulis sebagian
hadis untuk muridnya dan dikirimkan tulisan itu kepadanya, tapi tidak
diperbolehkan untuk meriwayatkannya. Di sini terdapat perselisihan hukum
meriwayatkannya. Sebagian tidak memperbolehkan, dan sebagian yang lain
memperbolehkannya jika diketahui bahwa tulisan tersebut adalah karya syaikh
itu sendiri.

Kata-kata yang dipakai untuk periwayatan cara al-mukatabah cukup banyak.


Misalnya Kataba ilayya fulan, Akhbarani bihi Mukatabatan, dan Akhbarani bihi
Kitaban.

f) Al I’lam

Adalah seseorang perawi memberitahukan kepada muridnya tentang sumber


Hadits atau kitab tanpa memberi izin untuk meriwayatkan.

Seseorang Syeikh memeberithaukan kepada seseorang murid bahwa Hadits-


Hadits ini dia dengarkan dari fulan atau kitab ini diriwayatkan dari fulan, baik dia
mengijinkan untuk meriwayatkan darinya atau tidak.

 Kata-kata yang digunakan seorang murid berkata: “Syeikhku memberitahukan


kepadaku dengan ini ...”.
 Hukum meriwayatkannya ada (dua)
 Boleh
 Tidak boleh, kecuali jika Syeikh itu mengijinkannya. Ini adalah pendapat
kebanyakan ahli Hadits, fiqih dan ushul fiqih.
g) Wasiat
Adalah seorang ahli Hadits mewasiatkan kitab-kitabnya kepada seseorang ketika
Syeikh tersebut meninggal atau safar (bepergian). Seorang Syeikh memeberikan wasiat
kepada seseorang dengan sebuah kitab yang diriwayatkan sebelum kematiannya atau
sebelum kepergiannya kepada seseorang.

Hukum meriwayatkannya ada 2:

 Boleh. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syeikh Ahmad Syakir. Ibn Sholah
berkata: “ini jauh sekali”. An nawawi berkata: “ini adalah kesalahan. Yang
benar adalah tidak boleh”.
 Tidak boleh. Kecuali murid itu mendapatkan ijin (ijazah) dari syeikh itu.
h) Wijadah
Adalah seseorang perawi mendapat hadits atau kitab dengan tuklisan seorang
Syeikh itu, sedang hadits-haditsnya tidak pernah didengarkan ataupun ditulis
oleh seorang perawi. Wijadah ini termasuk hadits munqathi, karena si perawi
tidak menerima sendiri dari orang yang menulisnya.
 Hukum meriwayatkannya: tidak boleh.
 Kata-kata yang digunakan untuk menunaikannya adalah jika seorang murid
hendak meriwayatkan dari seorang Syeikh dengan metode ini, maka dia boleh
berkata: “Aku menemukan tulisan seseorang”.

III. Syarat Meriwayatkan Hadits (adaa’ul Hadits)

Adaa’ Al Hadits menurut bahasa berarti menyampaikan sesuatu dan


menunaikannya. Menurut istilah adalah menyampaikan sebuah Hadits setelah
mengembannya. Jadi Adaa’ Al Hadits adalah meriwayatkan hadits dan
menyampaikannya dan wajib dalam hal ini terpenuhinya kelayakan seseorang untuk
mendengar hadits, menerimanya dan membawanya.

1. Syarat penyampaian Hadits


 Al ‘adaalah yaitu perilaku yang membawa pemiliknya untuk bertakwa. Sifat adil
dalam hubungannya dengan periwayatan hadits maka yang dimaksud adalah,
suatu karakter yang terdapat dalam diri seseorang yang selalu mendorongnya
melakukan hal-hal yang positif, atau orang yang selalu konsisten dalam
kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi terhadap agamanya.
 Islam, tidak diterima riwayat dari orang kafir.
 Baligh, tidak diterima riwayat seseorang yang belum sampai ke usia taklif (usia
dimana seseorang dikenai kewajiban syaria’at).
 Tamyiz, yaitu seorang perawi memahami apa yang dengar dan apa yang dia
menangkap dan menguasainya. Diantara pendapat para ulama terhadap masalah
kapan seorang perawi layak (dianggap sah) mendengar hadits adalah bahwa usia
yang layak adalah ketika seorang anak memiliki kemampuan untuk memahami
pembicara dan bisa menjawabnya. Menurut Al Hafidz Ibn Katsir dalam bukunya
ikhtishar ulumul Hadits, hadits yang diterima oleh orang kafir bisa diterima bila
ia meriwayatkannya (ada’) setelah masuk islam. Dan yang terpenting dari semua
pendapat dikemukakan oleh para kritikus adalah faktor utama bukanlah batasan
umur, melainkan sifat tamyiz pada diri orang tersebut sekalipun belum baligh.
 Adl Dhabth yaitu hafal dan terjaganya hadits itu dalam tulisannya sejak
mendapatkan hadits (Thahammul) hingga waktu menyampaikannya (adaa’).

IV. Proses Transmisi Hadits

a) Definisi.

Metode transmisi hadis atau dikenal dengan istilah “Jalan Menerima Hadis
(thuruq at-tahammul) dan Penyampaiannya” yaitu: cara-cara menerima hadis
mengambilnya dari Syaikh/Guru. Kata transmisi berarti penyampaian atau peralihan
atau penyebaran. Jadi transmisi hadis bisa diartikan dengan proses peralihan atau
perpindahan suatu hadis dari sanad ke sanad sampai ke perawi.

b) Cara-cara Rasulullah ketika menyampaikan hadisnya:


 Rasulullah menyampaikan hadis pada dasarnya dengan cara natural saja. Ketika
ada masalah, lalu beliau memberikan penyelesaian.
 Dengan lisan dan perbuatan, dihadapan orang banyak, di mesjid, pada waktu
malam dan subuh.
 Dalam bentuk tulisan. Banyak riwayat menyatakan bahwa Rasulullah telah
berkirim surat kepada kepala Negara dan pembesar daerah yang non-Islam.

Berbagai hadis Nabi yang temaktub di kitab-kitab hadis sekarang ini, asal
mulanya adalah hasil kesaksian sahabat nabi terhadap sabda, perbuatan, taqrir, dan atau
hal-ihwal Nabi. Cara periwayat memperoleh dan menyampaikan hadis pada zaman nabi
tidaklah sama dengan pada zaman sahabat nabi. Demikian juga dengan pada zaman
sahabat nabi tidaklah sama dengan zaman sesudahnya.

V. Proses Transmisi Hadist Pada Masa Nabi Sampai Pada Zaman Sesudah
Generasi Sahabat

1. Periwayatan hadis pada zaman Nabi

Hadis yang diterima oleh para sahabat cepat tersebar di masyarakat. Karena,
para sahabat pada umumnya sangat berminat untuk memperoleh hadis nabi kemudian
menyampaikannya kepada orang lain. Mereka (sahabat) secara bergantian menemui
nabi. Seandainya Umar tidak datang maka berita dari nabi akan disampaikan oleh
sahabat lainnya kepadanya.

Proses transmisi hadis pada masa Nabi bisa dibilang lancar. Kelancaran ini
terjadi karena 2 hal yaitu:

 Cara penyampaian hadis oleh Rasulullah secara langsung.


 Minat yang besar dari para sahabat.
2. Periwayatan Hadis Pada Zaman Sahabat Nabi
a. Pada Zaman Abu Bakar al-Shiddiq
Abu bakar merupakan sahabat nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-
hatiannya dalam periwayatan hadis. Beliau sangat berhati-hati dengan periwayatan
hadis. Ini didasarkan pengalaman Abu Bakar tatkala menghadapi kasus waris untuk
seorang nenek. Beliau tidak melihat petunjuk al-Qur`an dan praktek nabi yang
memberikan harta warisan kepada nenek. Lalu ia bertanya kepada sahabat-sahabat yang
lain. Al-Mughirah bin Syubah menyatakan kepada Abu Bakar, bahwa nabi memberikan
bagian waris kepada nenek sebesar seperenam bagian. Namun Abu Bakar tidak
langsung percaya terhadap perkataan sahabat tersebut. Dia meminta sahabat tersebut
untuk mendatangkan saksi. Lalu Muhammad bin Maslamah memberikan kesaksian.
Akhirnya Abu Bakar menetapkan kewarisan nenek dengan memberikan seperenam
bagian.

Karena Abu Bakar sangat berhati-hati dalam periwayatan hadis, maka dapat
dimaklumi bila jumlah hadis yang diriwayatkannya relative tidak banyak. Data sejarah
tentang kegiatan periwayatan hadis di kalangan umat Islam pada masa khalifah Abu
Bakar sangat terbatas. Hal ini karena pada saat pemerintahan Abu Bakar tersebut, umat
Islam dihadapkan pada ancaman dan kekacauan yang membahayakan pemerintahan dan
Negara.

b) Pada Zaman Umar bin Khattab

Pada masa Umar penyebaran hadis kurang berjalan. Karena pada masa Umar
lebih memfokuskan pada membaca dan mendalami al-Qur`an. Akan tetapi lebih banyak
dari masa Abu Bakar. Namun pada masa Umar para perawi terkekang karena Umar
sangat tegas. Beliau sangat berhati-hati. Karena Umar ingin ummat lebih konsentrasi
dengan al-Qur`an dan lebih berhati-hati dalam periwayatan hadis.

c) Pada Masa Utsman bin Affan

Secara umum, kebijakan Utsman tentang periwayatan sama seperti khalifah


sebelumnya. Namun langkah yang dijalani Utsman tidaklah setangkas Umar bin
Khattab. Utsman meminta kepada para sahabat agar tidak meriwayatkan hadis yang tak
pernah didengar pada masa Abu Bakar dan Umar. Penyebaran hadis pada masa Utsman
lebih banyak dibanding dengan khalifah Umar bin Khattab. Karena wilayah Islam pada
saat itu mulai meluas dan perawipun jumlahnya bertambah dan meluas.

d) Pada Masa Ali bin Abi Thalib

Khalifah Ali bin Abi Thalib pun tidak jauh berbeda sikapnya dengan para
pendahulunya dalam periwayatan hadis. Secara umum Ali bersedia menerima riwayat
hadis Nabi setelah periwayat hadis mengucapkan sumpah, bahwa hadis itu benar-benar
berasal dari Nabi. Hanya dengan periwayat yang benar-benar dipercayainya, Ali tidak
meminta untuk bersumpah.

Transmisi hadis pada masa Ali juga sangat hati-hati seperti para pendahulunya.
Akan tetapi pada masa Ali, kondisi politik sudah makin menajam. Hal ini menjadi
dampak negatif dalam penyebaran hadis. Kepentingan politik telah mendorong pihak-
pihak tertentu melakukan pemalsuan hadis. Dengan demikian, tidak seluruh periwayat
hadis dapat dipercaya riwayatnya.
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Kata rawi atau ar-rawi berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan hadis.
Sedangkan menurut istilah yaitu orang yang menukil, memindahkan atau menuliskan
hadis dengan sanadnya baik itu laki-laki maupun perempuan.

Mengenai syarat ke-Islaman, itu sudah jelas. Seorang rawi harus meyakini dan
mengerti akidah Islam, karena dia meriwayatkan hadis atau khabar yang berkaitan
dengan hukum-hukum, urusan dan tasyri’ agama Islam. Jadi dia mengemban tanggung
jawab untuk urusan memberi pemahaman tentang semuanya kepada manusia. Namun
syarat Islam sendiri hanya berlaku ketika seseorang menyampaikan hadis, bukan ketika
membawa atau menanggungnya.

Mendengar secara langsung dari Syeikh adalah mendengar Hadits dari bacaan
Syeikh, sama saja apakah Syeikh tersebut mengucapkan Hadits tersebut dari hafalannya
atau dari bacaan kitabnya. Jika murid ini meriwayatkan dengan cara ini, maka dia
hendaknya berkata: sami’tu aku mendengar atau dia berbicara kepadaku, jika dia
sendirian. Atau: “Dia bercerta kepa kami”, jika ada orang lain bersamanya. Bahasa yang
digunakan adalah sami’tu, sami’na, haddatsani, haddatsanaa, akhrobaroni, akhbarona,
anbaanii, anba anaa, qoola lii, qoola lanaa, Dzakaroni lii, Dzakaro lanaa.

Adaa’ Al Hadits menurut bahasa berarti menyampaikan sesuatu dan


menunaikannya. Menurut istilah adalah menyampaikan sebuah Hadits setelah
mengembannya. Jadi Adaa’ Al Hadits adalah meriwayatkan hadits dan
menyampaikannya dan wajib dalam hal iini terpenuhinya kelayakan seseorang untuk
mendengar hadits, menerimanya dan membawanya

Metode transmisi hadis atau dikenal dengan istilah “Jalan Menerima Hadis (thuruq
at-tahammul) dan Penyampaiannya” yaitu: cara-cara menerima hadis mengambilnya
dari Syaikh/Guru. Kata transmisi berarti penyampaian atau peralihan atau penyebaran
3.2 Saran

Dengan terselesaikannya makalah ini kami berharap pembaca dapat mengetahui


serta memahami apa yang dimaksud dengan tulisan ilmiah popular dan dapat
mengaplikasikannya.
DAFTAR PUSTAKA

Al Naisaburi, Al Hakim, 2006 ma’rifah ulumul Hadits. Bandung : Nuansa


Cendekia

Al Shan’ani, Muhamad, 1998. Tudlih Al afkar Lima’ani Tanqihil Andhar, vol. 1,


Da IhyatulnTurats al Arabi.

Sohari. Sahrani,. 2010. Ulumul Hadits. Malang; UIN-Malang Press

Uwayd, Salah Muhammad Muhammad. 1989. Taqrib Al-tadrib, Beirut: Dar al-
Kutub al-ilmiyah Abdurrahman, mifdol, pengantar study ilmu hadits, Jakarta, ulumul
Hadits 2005

Aziz Mahmud Yunus, ilmu mutsalul hadits. Jakarta: Jamamurni 1975

Departemen agama RI, Quran dan Hadits, pembinaan kelembagaan Agama Islam,
Jakarta 2000 Ismail, M syuhudi. Kaedah kesahihan sanad Hadits.

Anda mungkin juga menyukai