Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH MATA KULIAH ULUM AL HADIST

KEADILAN PERIWAYAT

DISUSUN OLEH:

MUHAMMAD MUFLIH NAUFAL-10120210011

FAKULTAS AGAMA ISLAM


JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA 2021-2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat,

Karunia, serta Taufik, Inayah dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan

kan makalah ini ini dengan baik. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih

terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan makalah ini.

Kami sangat berharap Makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah ah bawa

San serta pengetahuan kita. Oleh sebab itu itu kami berharap adanya kritik dan saran

demi perbaikan makalah yang telah kami buat.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami Bagi siapapun yang

membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata

yang kurang berkenan dan kami mohon kritik dan saran yang membangun demi

perbaikan.

Makassar,10 oktober 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

SAMPUL............................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ..........................................................................................ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

Latar belakang.......................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................2

A. Keadilan periwayat dan pengertian...........................................................

B. Unsur-unsur keadilan periwayat................................................................

C. Kaedah periwayatan..................................................................................

D. Eksistensi konsep keadilan sahabat...........................................................

E. Contoh aplikasi..........................................................................................

BAB III PENUTUP...............................................................................................9

A. KESIMPULAN ...............................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar belakang
Hadis sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah Al-qur’an, diakui oleh
hampir seluruh umat Islam, hanya sekelompok kecil umat Islam yang menolak hadits
sebagai sumber ajaran Islam yang dikenal dengan ingkar al-Sunnah.
Tidak diragukan lagi bahwa sunnah Rasulullah saw menempati posisi yang
tinggi dalam agama Islam, oleh karena selain sunnah merupakan sumber penetapan
hukum yang kedua setelah Al-Qur’an, sunnah juga merupakan sumber pengetahuan
baik keagamaan atau ma’rifah diniyah, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan alam
ghaib yang sumber satu-satunya adalah wahyu, seperti yang berkaitan dengan Allah,
malaikat, kitab-kitab Allah, rasul-rasul Allah, surga dan neraka, hari kiamat dan
tanda-tandanya, kejadian-kejadian diakhir zaman, ataupun pengetahuan yang
berkaitan dengan aspek kemanusiaan atau jawanib insaniyah seperti yang berkaitan
dengan pendidikan, kesehatan, dan perekonomian. Selain  itu sunnah juga merupakan
sumber peradaban baik dalam tataran konsep peradaban fikhu hadhary, perilaku
peradaban suluk hadhary ataupun pembentukan peradaban bina’ hadhary.
Dalam studi hadis persoalan sanad dan matan terkhusus kepada sanad
merupakan unsur penting yang menentukan keberadaan dan kualitas suatu hadis
sebagai sumber otoritas ajaran Nabi Muhammad SAW, unsur itu sangat penting
artinya dan antara yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan.
Oleh karena posisi sunnah yang begitu urgen dalam agama, maka perhatian
para ulama terhadap sunnah sejak masa sahabat sampai sekarang terus terjaga, baik
dalam bentuk pemeliharaan sunnah dengan periwayatan kepada orang lain melalui
hafalan atau tulisan dalam bentuk kajian-kajian yang mendalam terhadap metodologi
penerimaan dan penyampaian sunnah, penilaian terhadap periwayat hadis dan
penyeleksian sunnah dari segi bisa tidaknya penyandaran suatu ucapan, perbuatan,
ataupun ketetapan terhadap nabi dipertanggungjawabkan keabsahannya. Untuk tujuan
pertama kemudian melahirkan ilmu hadist riwayat, sementara untuk tujuan yang
kedua melahirkan ilmu hadist dirayah.

1
BAB  II
PEMBAHASAN
 
A.  Pengertian dan kriteria keadilan dalam periwayatan hadis
Ada dua istilah dalam ilmu hadis yang terkait masalah keadilan para perawi
yang pertama ‘adil  dan yang kedua ta’dil :
Ta’dil menurut bahasa mempunyai beberapa arti: 1) menegakkan, misalnya
orang menegakkan hukum; 2) membersihkan, misalnya orang membersihkan sesuatu;
3) membuat seimbang, misalnya orang membuat seimbang dalam penimbangan. Jadi,
dalam hal ini ta’dil mempunyai tiga pengertian, yaitu menegakkan (al-taqwin),
membersihkan (al-tazkiyah) dan membuat seimbang (al-taswiyah).
Menurut istilah, Ta-dil adalah menyebutkan tentang keadaan rawi yang
diterima periwayatannya. Hal ini merupakan gambaran terhadap sifat-sifat seorang
rawi yang diterima.
Al hakim berpendapat  bahwa seorang disebut ‘Adil apabila beragama
Sementara itu, TM. Hasbi Ash Shiddieqy mendefinisikan sebagai berikut:
‫وصف ال ّر اوي بصفات تو جب عدالتي هي مداو الفبول لرو اليته‬
Artinya:
Mendefinisikan si perawi dengan sifat-sifat yang dipandang orang tersebut adil,
yang menjadi puncak penerimaan riwayatnya.
Para ulama berbeda pendapat tentang kriteria-kriteria periwayat hadis disebut
‘adil. Al hakim berpendapat bahwa seorang disebut adil apabila beragama islam,
tidak berbuat bid’ah dan tidak berbuat maksiat. Ibnu Shalah menetapkan lima kriteria
seorang periwayat disebut adil, yaitu beragama islam, baligh, berakal, memelihara
muru’ah dan tidak berbuat fasiq. Pendapat serupa dikemukakan Al Nawawi. 
Sementara itu ibnu hajar menyatakan bahwa sifat adil dimiliki oleh seorang periwayat
yang taqwa.
Banyaknya kriteria yang dikemukakan oleh ulama hadits di atas dapat
diringkas menjadi empat kriteria yaitu; beragama islam,mukalaf, melaksanakan
ketentuan agama dan memelihara muru’ah.
1.  Beragama Islam
Keislaman merupakan salah satu unsur yang harus dipenuhi oleh periwayat yang adil.
Menurut sebagian ulama, menyatakan hadits berkenaan dengan sumber ajaran islam.
Orang yang tidak beragama islam, bagaimana mungkin dapat diterima beritanya
tentang ajaran islam. Hanya orang yang beragama islam saja yang dapat diterima
beritanya tentang sumber ajaran islam.

2
2. Berstatus Mukalaf
Menurut para ahli hadits, syarat berakal itu identik dengan kemampuan seseorang
untuk membedakan. Jadi agar dapat menanggung dan menyampaikan suatu hadits,
seseorang harus memasuki usia akil baligh. Orang yang belum atau tidak memiliki
tanggung jawab tidak dapat dituntut apa yang diperbuat dan dikatakannya.
3. Melaksanakan Ketentuan Agama
Orang yang tidak melaksanakan ketentuan agama Allah tidak merasa berat membuat
berita bohong, baik yang sifatnya umum maupun yang bersifat khusus, dalam hal ini
hadis nabi. Karenanya, orang yang tidak melaksanakan ketentuan agama Allah tidak
dapat dipercaya beritanya, termasuk berita yang disandarkan kepada rasul.
4. Memelihara Muru’ah
Menurut Ibn Qudamah, Muru’ah rasa malu , orang yang memelihara rasa malunya
berarti orang itu memelihara muru’ahnya. Orang yang memelihara muru’ahnya tidak
akan membuat berita bohong. Karena, membuat berita bohong adalah perbuatan hina,
perbuatan hina adalah perbuatan yang selalu dihindari oleh orang yang memelihara
muru’ahnya.
Untuk mengetahui ‘Adil tidaknya periwayat hadits, para ulama hadits telah
menetapkan beberapa cara yaitu: 
1. Melalui popularitas keutamaan periwayat hadits di kalangan ulama hadits.
2. Penilaian dari para kritikus periwayat hadits
3. Penerapan kaidah jarh wa ta’dil

B.  Unsur/ Tingkatan ta’dil dan lafal-lafalnya


Tingkat pertama: yang menggunakan bentuk superlatif dalam penta’dilan atau
dengan menggunakan wazan “af ala” yang menunjukkan arti “sangat” dalam
kepercayaan, seperti ucapan:
a.         ‫اوثق النا س‬                   = orang yang paling dipercaya
b.         ‫اثبت الناس‬                      = orang yang paling teguh
c.         ‫اليه المنتهى فى التثبيت‬       = orang yang paling top keteguhan hati dan lidahnya
Tingkat kedua: dengan mengulang-ulang lafal ‘adalah dua kali atau lebih baik
yang diulangnya itu, bentuk lafalnya sendiri, seperti ‫=ثبت ثبت‬orang yang teguh lagi
teguh, atau yang diulangnya itu dalam bentuk maknanya seperti ucapan mereka  ‫ثقة‬
‫=حجة‬
ّ orang yang dipercayai lagi pula hujja dan ‫ =ثقة ثبت‬orang yang dipercayai lagi
pula teguh.
Setiap pengulangan lafal yang lebih banyak, itu menunjukkan atas kuatnya
tingkatan rawi di dalam segi ‘adalah-nya.

3
Tingkatan ketiga: yaitu lafal yang menunjukkan pada tingkatan rawi yang
mencerminkan kedhabithan, atau menunjukkan adanya pentsiqahan tanpa adanya
penguatan atas hal itu. Seperti ucapan:  ‫ =ثبت‬orang yang teguh (hati dan
lidahnya),  ‫ =ثقة‬orang yang tsiqah,  ‫=حجة‬seorang ّ tokoh, dan,  ‫=متقن‬orang yang
meyakinkan (ilmunya).
Tingkatan keempat: yaitu lafal-lafal yang menunjukkan kepada tingkatan
perawi yang tidak mencerminkan kedhabithan penuh, atau yang menunjukkan adanya
keadilan tanpa adanya isyarat akan kekuatan hafalan dan ketelitian. Seperti ucapan
‫ =صدوق‬jujur,  ‫=الباس با‬tidak mengapa dengannya, menurut selain Ibnu Ma’in, sebab
menurut ibnu Ma’in kalimat adalah tsiqah, kemudian ‫با‬ ‫اس‬CC‫الب‬ = tsiqah. kemudian
‫ =خيارالناس‬orang pilihan. Imam al-Sakhawi berkata setelah menyebutkan tingkatan-
tingkatan ta’dil sebagai berikut” sesungguhnya penetapan pada ahli tingkatan-
tingkatan yang dijadikan hujjah dengan keempat tingkatan yang pertama,
diantaranya.” Ucapannya bersesuaian dengan kelompok mu’tadilin ulama al-jarh wa
al-ta’dil. Para pengkaji mengetahui bahwa sebagian ulama mengemukakan bahwa
pemilik tingkatan keempat, hadisnya ditulis, diperhatikan, dan diberitahukan hadisnya
sehingga diketahui kedhabithannya.
Tingkatan kelima: lafal-lafal yang menunjukkan pada tingkatan perawi yang
terlintas persyaratan dhabith, tetapi lebih kecil kedhabithannya daripada tingkatan
keempat. Seperti ucapannya:
‫ما اقرب حديثه‬                                                        .sesuatu mendekati hadisnya = 
‫صالح الحديث‬                                                                                   hadisnya baik =
‫ثيح صالح‬                                                                                     guru yang  baik =
Tingkatan keenam: lafal-lafal yang menunjukkan pada tingkatan rawi yang
memiliki sifat-sifat ‘adalah yang tidak kuat seperti ucapan:
‫صدوق ان شاءهللا‬                                                                     insya Allah dia jujur =
‫ارجو ان ال باس با‬                            .orang yang diharapkan tsiqat atau tidak cacat =
‫صو بلح‬                                                               .orang yang sedikit kesalihannya =
‫يكتب حديثه‬                                                                              ditulis hadisnya, dan =
‫يعتبر به‬               dii’tibarkan hadisnya  (hanya untuk dipertimbangkan hadisnya) =

C.   Kaedah keadilan periwayat dalam hadis kaitannya dengan jarh wat ta’dil


Para ulama ahli kritik hadis telah menetapkan suatu teknik atau teori agar
penelitian terhadap periwayat hadis dapat lebih objektif, sebagai berikut:
                                                                                    ‫ التعاديل مق ّد م على المجرح‬.1
Artinya: at-ta’dil didahulukan atas al-jarh.

4
Maksudnya, bila seorang periwayat dinilai terpuji oleh seorang kritikus dan
dinilai tercela oleh kritikus lainnya, maka yang dipilih adalah kritikan yang bersifat
pujian. Alasannya, sifat dasar periwayat hadis adalah terpuji. Sedangkan sifat tercela
merupakan sifat yang datang kemudian.  Karenanya, bila sifat dasar berlawanan
dengan sifat yang datang kemudian, maka yang dimenangkan adalah sifat dasarnya. 
Pendukung teori ini oleh an-Nasa’i (w. 303 H/915 M), namun pada umumnya ulama
hadis tidak menerima teori tersebut, karena kritikus yang memuji tidak mengetahui
sifat tercela yang dimiliki oleh periwayat yang dinilainya, sedang kritikus yang
mengemukakan celaan adalah kritikus yang telah mengetahui ketercelaan periwayat
yang dinilainya.
                                                                                        ‫ الجرح مق ّدم على التّعد يل‬.2
Artinya: al-jarh didahulukan atas at-ta’dil.
Maksudnya, bila seorang kritikus dinilai tercela oleh seorang kritikus dan
dinilai terpuji oleh kritikus lainnya, maka yang didahulukan adalah kritikan yang
berisi celaan.
Alasannya adalah kritikus yang menyatakan celaan lebih paham terhadap
pribadi periwayat yang dicelanya. Dan dasar untuk memuji seorang periwayat adalah
persangkaan baik dari pribadi kritikus hadis, dan persangkaan baik itu harus
“dikalahkan” bila ternyata ada bukti tentang ketercelaan yang dimiliki oleh periwayat
yang bersangkutan. Pendukung teori ini adalah kalangan ulama hadis, ulama fiqh, dan
ulama ushul fiqh.
Dikatakan oleh Imam Ahmad, “setiap rawi yang telah ditetapkan ‘adalah-nya
tidak akan diterima pen-tarjih-an dari seseorang kecuali telah betul-betul dan terbukti
bahwa keadaan rawi itu mengandung sifat jarh.”
‫ اذا تعا رض الجا رح والع ّد ل فا لحكم للمع ّد ل اال اذا ثبت الجرح الفسّر‬.3
Artinya:
Apabila terjadi pertentangan antara kritikan yang memuji dan yang mencela, maka
yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji, kecuali apabila kritikan yang
mencela disertai penjelasan tentang sebab-sebabnya.
Maksudnya, apabila seorang periwayat dipuji oleh seorang kritikus tertentu
dan dicela oleh kritikus lainnya, maka pada dasarnya yang harus dimenangkan adalah
kritikan yang memuji, kecuali bila kritikan yang mencela menyertai penjelasan
tentang bukti-bukti ketercelaan periwayat yang yang bersangkutan.
Alasannya, kritikus yang mampu menjelaskan sebab-sebab ketercelaan
periwayat yang dinilainya lebih mengetahui terhadap pribadi periwayat tersebut
daripada kritikus yang hanya mengemukakan pujian terhadap periwayat yang sama.

5
Pendukung teori ini adalah jumhur ulama ahli kritik hadis. Namun, sebagian
dari mereka ada yang menyatakan bahwa penjelasan ketercelaan yang dikemukakan
haruslah relevan dengan upaya penelitian. Dan bila kritikus yang memuji telah
mengetahui juga sebab-sebab ketercelaan periwayat yang dinilainya itu dan dia
memandang bahwa sebab-sebab ketercelaannya itu memang tidak relevan, maka
kritikannya yang memuji tersebut yang harus dipilih.
Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa kontradiktif
antara jarh dan ta’dil hanya bisa terjadi bila betul-betul tidak ditemukan jalan
penyelesaiannya. Sedangkan kontradiktif yang masih memungkinkan dihilangkan
tidak dikatakan kontradiktif, bahkan bisa ditempuh cara lain yaitu tarjih.  (dicari yang
lebih unggul).
Seperti seorang rawi di-rajh dengan penilaian fasik karena diketahui
kefasikannya, tetapi taubat rawi itupun diketahui. Dengan demikian, rawi tersebut
tidak termasuk jarh/berdusta pada Rasulullah.
‫ اذا كان الجارح ضعيفا فال يقبل جر حه للثّقة‬.4
Artinya:
Apabila kritikus yang mengemukakan ketercelaan adalah orang yang tergolong
da’if, maka kritikannya terhadap orang yang siqah tidak diterima.
Maksudnya, apabila yang mengkritik adalah orang yang tidak siqah,
sedangkan yang dikritik adalah orang yang  siqah, maka kritikan orang yang
tidak siqah tersebut harus ditolak.
Alasannya, orang yang bersifat siqah dikenal lebih berhati-hati dan lebih
cermat daripada orang yang tidak siqah, dalam hal ini dapat dikemukakan pernyataan
al-A’raj (w.117 H) berkata bahwa Abu Hurairah banyak menerima hadis dari Nabi
Muhammad saw, selalu hadir  pada majelis Nabi Muhammad saw. dan tidak akan
lupa apa yang telah didengarnya dari Nabi Muhammad saw. Pernyataan al-A’raj
menunjukkan bahwa Abu Hurairah merupakan periwayat hadis yang siqah, karena
Al-A’raj tergolong kritikus yang siqah.
‫ اليقبل الجرح اال بعد التّثّبت خثية اال شبا ه فى الجروحين‬.5
Artinya:
Al-jarh tidak diterima kecuali setelah ditetapkan (diteliti secara cermat) dengan
adanya kekhawatiran terjadinya kesamaan tentang orang-orang yang dicelanya.
Maksudnya, apabila nama periwayat memiliki kesamaan ataupu kemiripan
dengan nama periwayat lain, lalu salah seorang dari periwayat itu dikritik dengan
celaan, maka kritikan itu tidak dapat diterima, kecuali telah dapat dipastikan bahwa
kritikan itu terhindar dari kekeliruan akibat adanya kesamaan atau kemiripan nama
tersebut.

6
Alasanya, suatu kritikan harus jelas sasarannya. Dalam mengkritik pribadi
seseorang, maka orang yang dikritik haruslah jelas dan terhindar dari keragu-raguan
atau kekacauan. Pendukung teori ini adalah ulama ahli kritik hadis.
‫د به‬ƒّ ‫ الجرح النا شئ عن عد اوة د نيو يّة ال يعت‬.6
Artinya:
Al-jarh yang dikemukakan oleh orang yang mengalami permusuhan dalam masalah
keduniawian tidak perlu diperhatikan.
Maksudnya, apabila kritikus yang mencela periwayat tertentu memiliki
perasaan yang bermusuhan dalam masalah keduniawian dengan pribadi periwayat
yang dikritik dengan celaan itu, maka kritikan tersebut harus ditolak.
Alasannya, bahwa pertentangan pribadi dalam masalah dunia dapat
menyebabkan lahirnya penilaian yang tidak jujur. Kritikus yang bermusuhan dalam
masalah dunia dengan periwayat yang dikritik dengan celaan dapat berlaku tidak jujur
karena didorong oleh rasa kebencian.
Dari sejumlah teori yang disertai dengan alasannya masing-masing, maka
menurut penulis, yang harus dipilih adalah teori yang mampu menghasilkan penilaian
yang lebih objektif terhadap para periwayat hadis baik yang berhubungan dengan
intergritas kepribadiannya maupun kapasitas intelektualnya.
Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa apabila seorang rawi di-jarh oleh
para ahli kritik yang siqah sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus
ditolak. Dan apabila seorang rawi dipuji sebagai orang yang adil, niscaya
periwayatannya diterima.
Dalam menetapkan Rijal al-Hadis,  para ulama telah melaksanakan sebuah
usaha untuk mengkritik perawi dan menerangkan keadaan-keadaan mereka. Ada tiga
peristiwa penting yang mengharuskan adanya kritik atau penelitian para perawi
(sanad) hadis.
Pertama, pada zaman Nabi Muhammad saw. tidak seluruh hadis
tertulis, kedua, sesudah zaman Nabi Muhammad saw, terjadi pemalsuan
hadis, ketiga, perhimpunan hadis secara resmi dan massal terjadi setelah
berkembangnya pemalsuan-pemalsuan hadis. Hadis sebagai sumber ajaran Islam
meniscayakan adanya kepastian validitas bersumber dari Nabi Muhammad saw.
Dalam hubungan ini, para ulama telah membuat undang-undang guna
menetapkan mana orang-orang yang boleh diterima riwayatnya dan mana yang tidak.
Mana yang boleh ditulis hadisnya dan mana yang tidak. Dan mereka menerangkan
mana orang-orang yang tidak boleh sama sekali diterima hadisnya; lahirlah
ilmu Jarhi wa Ta’dil.

7
D. Eksistensi Konsep keadilan Sahabat
a. Pengertian Sahabat Kata sahabat berasal dari bahasa Arab dengan akar kata yang terdiri
dari huruf ‫ح‬, ‫ ص‬, dan ‫ ب‬, dengan makna dasar yang menunjukkan mengikatkan atau
menghubungkan dan mendekatkan sesuatu. Dan kata sahabat (‫حابة‬ƒƒ‫ (ص‬merupakan
bentuk ma¡dar kata ‫ صحب‬,yang bermakna menemani atau mengawani. Para ulama
berbeda pendapat dalam memberi batasan sahabat. Menurut ahli hadis yang dimaksud
dengan sahabat ialah setiap muslim yang melihat Rasulullah saw. Dan defenisi yang
agak mirip seperti yang dikemukakan oleh Jamal al-Din al-Qasimiy sahabat adalah
orang yang bertemu dengan Nabi dalam keadaan beriman walaupun hanya sesaat dan
ia menerima ataupun tidak menerima sesuatu (kata/bahasa) dari Nabi. Sementara
Imam Bukhariy menyatakan barangsiapa yang menemani Nabi saw. atau melihatnya
dari kalangan muslimin maka ia termasuk sahabat. Sedangkan bagi Ibn Hazm,
sahabat ialah semua orang yang duduk atau hadir di majelis Nabi saw. sekalipun
hanya sejenak, ia mendengar walaupun hanya satu kata atau lebih atau ia
menyaksikannya, dengan syarat ia tidak termasuk golongan munafik Dan lain halnya
dengan Sa’id bin Musayyab, ia menyatakan sesesorang tidak terhitung sebagai
sahabat kecuali ia bersama Rasulullah saw. selama satahun atau dua tahun atau ia
berperang sekali atau beberapa kali bersamanya. Dari berbagai batasan pengertian
sahabat tersebut di atas, tampak bahwa pengertian yang diberikan oleh ahli hadis
mengakomodasi keseluruhan defenisi yang lain. Unsur-unsur yang menjadi syarat
batasan sahabat yang diberikan oleh pemikir yang lain dapat dirangkum ke dalam
konteks melihat.

E. Contoh Aplikasi Kaedah Keadilan Periwayat -

َ ‫ا ْو‬CC‫ه ه ه ى َع هن أ ْز َر ع َز ْر ع‬CC‫صلى هلال علي‬- ‫ح َّدثَنَا ْتَيبَة ق َح َّدثَنَا ب و َ أ ْن نَ س َع ْن َعَوانَةَ قَتَا َدةَ َع َ النَّب‬
- َ‫ي‬
‫ي إ ْو ه فَيَأ ك ل ه ْمنه ْن َ أ ْو َ ْطي ر َ أ َمة َب ههي ها َّل‬
َ ‫ قَا َل َما هم ْن م ْسهل م‬-‫ْغهر س َغ ْر سا أ َسا ن ْ وسلم‬
‫ إ َكانَ ْت ه َل َص َدقَة‬.»
Artinya;
Telah menceritakan kepada kami ismail telah menceritakan kepada kami abu
awanah dari qotadah dari anas dari nabi shallallahu alaihi wa sallam
bersabda :“Tidaklah seorang muslim menanam pohon, tidak pula menanam
tanaman kemudian pohon/ tanaman tersebut dimakan oleh  burung, manusia atau
binatang melainkan menjadi sedekah baginya.” (HR. Imam Bukhari)

8
BAB III
KESIMPULAN
 
a.       Apa pengertian keadilan dalam periwayatan hadis?
Al hakim berpendapat bahwa seorang disebut adil apabila beragama islam,
tidak berbuat bid’ah dan tidak berbuat maksiat. Ibnu Shalah menetapkan lima criteria
seorang periwayat disebut adil, yaitu beragama islam, balig, berakal, memelihara
muru’ah dan tidak berbuat fasiq. Pendapat serupa dikemukakan Al Nawawi.
sementara itu ibnu hajar menyatakan bahwa sifat adil dimiliki oleh seorang periwayat
yang taqwa. Ta’dil menurut bahasa mempunyai beberapa arti: 1) menegakkan,
misalnya orang menegakkan hukum; 2) membersihkan, misalnya orang
membersihkan sesuatu; 3) membuat seimbang, misalnya orang membuat seimbang
dalam penimbangan. Jadi, dalam hal ini ta’dil mempunyai tiga pengertian, yaitu
menegakkan (al-taqwin), membersihkan (al-tazkiyah) dan membuat seimbang (al-
taswiyah).
b.      Peringkat keadilan perawi?
Tingkat pertama: yang menggunakan bentuk superlatif dalam penta’dilan atau
dengan menggunakan wazan “af ala Tingkat kedua: dengan mengulang-ulang
lafal ‘adalah dua kali atau lebih baik yang diulangnya itu, bentuk lafaknya
sendiri Tingkatan ketiga: yaitu lafal yang menunjukkan pada tingkatan rawiyang
mencerminkan kedhabithan, atau menunjukkan adanya pentsiqahan tanpa adanya
penguatan atas hal itu Tingkatan keempat: yaitu lafal-lafal yang menunjukkan kepada
tingkatan perawi yang tidak mencerminkan kedhabithan penuh, atau yang
menunjukkan adanya keadilan tanpa adanya isyarat akan kekuatan hafalan dan
ketelitian Tingkatan kelima: lafal-lafal yang menunjukkan pada tingkatan perawi
yang terlintas persyaratan dhabith, tetapi lebih kecil kedhabithannya daripada
tingkatan keempat.
 
 
 
 
c.       Apa kaedah keadilan periwayat dalam hadis?
 
‫التعاديل مق ّد م على المجرح‬                    .1
‫ الجرح مق ّدم على التّعد يل‬.                    .2

9
‫ اذا تعا رض الجا رح والع ّد ل فا لحكم للمع ّد ل اال اذا ثبت الجرح الفسّر‬.                    .3
‫ اذا كان الجارح ضعيفا فال يقبل جر حه للثّقة‬.                    .4
‫اليقبل الجرح اال بعد التّثّبت خثية اال شبا ه فى الجروحين‬                    .5
‫ الجرح النا شئ عن عد اوة د نيو يّة ال يعت ّد به‬.                    .6
d.   Bagaimana keadilan sahabat
            Seluruh sahabat bersifat adil, adapun yang terjadi diantara mereka
menyangkut terjadinya pemberontakan adalah termasuk dalam kontek ijtihad. Dan
bagi orang yang berijtihad dan ia mencapai kebenaran ijtihadnya maka ia
memperoleh dua pahala dan orang yang keliru dalam ijtihadnya maka ia memperoleh
satu pahala.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

10
DAFTAR PUSTAKA
 
Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta’dil, diterjemahkan oleh A.
zarkasyi Chumaidy, Kredibilitas Para Perawi dan
Pengimplementasiannya (cet.I; Bandung: Gema Media Pusakatama, 2003),
al-Din Abd al-Rahman bin Abi Bakar al-Suyuthiy, Miftah al-Jannah fi al-Ihyijaj bi
al-Sunnah (Cet. III; al-Madinah al-Munawwarah Maktabah al-Rasyid, 1399
H/1979 M),
Al-kandahlay, Muhammad Yusuf, Sirah Sahabat, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 1999.
Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi (Cet.I; Jakarta: Renaisan,
2005)
Bustamin dan M. Isa H.A. Salam, Metodologi Kritik Hadis, (cet.I: Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004),
Erfan Soebhar. Dr. HM, menguak fakta keabsahan Al- sunnah: kritik Mustafa al
siba’I terhadap pemikiran ahmad amin mengenai hadis dalam fajr al
Islam ( kencana : bogor) cet 1. 2003.
Gűlen, M. Fethullah, Kehidupan Rasulullah, Murai Kencana, Jakarta, 2002.
M. Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadits Telaah Kritis  dan Tinjauan
dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, (Cet I; Jakarta: Bulan Bintang, 1988),
M.Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan
Pemalsunya, (Jakarta: Gema Insani Press’ 1985),
Mahmud Ali Fayyad, Manhaj al-Muhadditsiin fii Dhabth as-Sunnah, diterjmahkan
oleh A. Zarksy Chumaidy (Cet.I;Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998),
Muhammad Ajjad al-Katib, Ushul al-Hadis ‘Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Beirut:
Dar al-Fikri 1395H/1975M0,
Muhammad bin Idris al-Syafi’I al-Um, (ttp: Dar al-Sya’ib t.th),
Nuruddin ‘Itr, Manhaj, an-Naqd fi Ulum al-Hadist, (Cet. III, Beirut: Dar al-Fikr,
1997),
Nuruddin ‘Itr, Manhaj, an-Naqd fi Ulum al-Hadist, (Cet. III, Beirut: Dar al-Fikr,
1997), 
Subhi al-Shaleh, Ulum al-Hadis wa Musthalahuhu,  (Cet.IX: Beirut:Darl al-Ilm li al-
Malayin, 1977),
Syaikh Muhammad bin shalih al utsaimin, ‘ilmu mustalah al hadis (dar al atsar :kairo:
mesir) cet. 1, 2002 diterjemahkan oleh ahmad s marzuki, Mustalahal hadits
(media hidayah : jogyakarta) cet 1. 2008. H. 30
Yusuf al-Qardhawi, as-Suunah Masdhar li al-Ma’rifah wa al Hadharah, (Cet. II;
Mesir: Dar as-Syuruq, 1998)

11

Anda mungkin juga menyukai