DI SUSUN OLEH:
AHMAD NABAWI
DEA BISMI AZIZI
NURUL ASYAH
MUHAMMAD SURYA A
i
KATA PENGANTAR
Alhamdullilah puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya
kepada kami, sehingga makalah Sejarah Dan Peradaban Islam yang membahas tentang
“HADIS DAN KEHUJJAHANNYA” ini dapat diselesaikan dengan baik meskipun banyak
kekurangan di dalamnya,kami berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita. Makalah ini kami buat berdasarkan refernsi yang kami
temukan dari berbagai sumber-sumber yang ada.
Demikian sedikit pengantar dari kami ,semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
yang membacanya dan kami berharap adanya kritik,saran dan usulan demi perbaikan
makalah-makalah yang akan kami buat di masa yang akan mendatang.
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
a. Untuk melengkapi persyaratan tugas mata kuliah Al-Qur’an dan Hadits
b. Untuk menjelaskan pengertian hadits serta pembagiannya
c. Untuk menjelaskan kehujanan hadits dan korelasinya dengan Al-Qur’an
d. Untuk menjelaskan tentang inkarus sunnah
1
BAB II
PEMBAHASAN
4. Ulama Lain
Hadits adalah segala sesuatu yang berasal dari sahabat Nabi Muhammad SAW. dan tabi’in.
Pendapat ini didasarkan pada adanya istilah hadits marfu’ (hadits yang disandarkan kepada
Nabi SAW.), hadits mauquf (hadits yang disandarkan hanya sampai kepada sahabat Nabi
SAW.), dan hadits maqtu’ (hadits yang disandarkan hanya sampai kepada tabi’in).
2
b. Hadits Marfu’
Secara bahasa berarti rafa’a (mengangkat) karena disandarkan kepada yang memiliki derajat
yang lebih tinggi yaitu Rasulullah Saw. Sedangkan menurut istilah perkataan (qauli),
perbuatan (fi’li), ketetapan (Taqriri), ataupun sifat yang disandarkan kepada Nabi Saw dan
sahabat
c. Hadits Mauquf
Secara bahasa berarti “yang terhenti” karena hanya sampai kepada sahabat saja. Sedangkan
menurut istilah , hadits yang disandarkan kepada sahabat, berupa ucapan, perbuatan, dan
ketetapannya.
d. Maqthu’
Secara bahasa berarti artinya yang diputuskan atau yang terputus. Secara istilah perkataan,
perbuatan, dan ketetapan yang disandarkan kepada para tabi’in atau di bawahnya.
3
2) Menurut Ulama Ahli Hukum (Usul Fiqh)
Sunnah adalah segala perkataan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. selain Al-
Qur’an, perbuatan, atau ketetapan beliau yang dapat dijadikan sebagai dalil hukum syara’.
3) Menurut Ahli Fiqh (Fuqaha’)
Segala sesuatu yang ditetapkan Nabi SAW. yang belum sampai pada tingkatan fardlu atau
wajib.
b. Khabar
Khabar menurut bahasa adalah berita yang disampaikan dari seseorang kepada orang lain.
Sedangkan menurut istilah khabar yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW.
dan selain beliau, sehingga mencakup hadits marfu’, mauquf, dan maqtu’. Khabar lebih
cenderung sinonim dengan hadits, bahkan lebih luas dari hadits.
c. Atsar
Atsar menurut bahasa adalah bekas/sisa sesuatu. Para fuqaha’ memakai istilah atsar untuk
perkataan-perkataan ulama salaf, sahabat, tabi’in dan lain-lain. Sedangkan menurut istilah,
atsar adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada selain Nabi Muhammad SAW. yang
secara khusus dinamakan hadits mauquf.
Dalam Al-Qur’an, Allah telah menjelaskan kedudukan Nabi Muhammad SAW. Di antara
ayat-ayat yang dimaksud tersebut yaitu:
b. Dalil Hadits
"Ingat! Bahwa saya diberi Al-Qur’an dan yang seperti Al-Qur’an (Hadits)" (H.R. Abu
Daud).
“Aku tinggalkan pada kalian dua perkara, kalian tidak akan tersesat selama berpegang
teguh kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan sunnahku” (H.R. Al-Hakim dan Malik).
5
c. “Wajib bagi sekalian berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah khulafa ar-
rasyidin (khalifah yang mendapat petunjuk), berpegang teguhlah kamu sekalian dengannya”
(H.R. Abu Daud dan Ibn Majah).
g. Ali bin Abu Thalib berkata “Kami melihat Rasulullah SAW. berdiri, lalu kami berdiri,
dan beliau duduk, kami pun duduk”.
c. Ijma Ulama
- Imam Abu Hanifah berkata:
“Apabila Hadits itu shahih, maka itulah madzhabku”.
“Apabila aku mengemukakan suatu pendapat yang bertentangan dengan kitab Allah dan
khabar dari Rasulullah SAW., maka tinggalkanlah pendapat ku”.
8
c. Mu’tazilah dan Sunnah
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari i’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan
diri (Rozak, 2001: 89). Mereka memisahkan diri dari mayoritas umat Islam.
Syeikh Muhammad Al-Khudhari berpendapat bahwa Mu’tazilah menolak sunah. Pendapat ini
berdasarkan adanya diskusi antara Imam Asy-Syafi’i dan kelompok yang mengingkari sunah.
Sementara kelompok atau aliran yang ada pada waktu itu di Bashrah Irak adalah
Mu’tazilah (Solahudin, 2009: 213).
Ada sebagian ulama Mu’tazilah yang menolak sunnah yaitu: Abu Ishaq Ibrahim bin Sajyar
(Al Nadhdham). Ia mengingkari kemukjizatan al Qur’an dari segi kebahasaannya, mukjizat
Nabi SAW, mengingkari Hadis yang tidak dapat memberikan pengertian yang pasti untuk
dijadikan sumber syari’at Islam.
Namun mayoritas ulama Mu’tazilah seperti Abu Al-Hudzail Al-‘Allaf dan Muhammad bin
‘Abd Al-Wahhab Al Jubba’i justru menilai An-Nadhdham telah keluar dari Islam.
2. Inkar al Sunnah Modern
Setelah sempat teredam beberapa abad, lahir inkar al- sunnah di India (kurang lebih abad 19
M / 13 H). Kemudian muncul ingkar sunnah di Kairo, Mesir (abad 20 M/ 14 H). Munculnya
inkar al- sunnah akibat pengaruh pemikiran kolonialisme yang ingin melumpuhkan dunia
Islam.
Apabila inkar al-sunnah klasik masih banyak bersifat perorangan dan tidak menanamkan
dirinya sebagai mujtahid atau pembaharu, inkar al- sunnah modern banyak yang mengklaim
dirinya sebagai mujtahid dan pembaharu (Solahudin, 2009: 215).
Di India, tokoh-tokohnya ialah Sayyid Ahmad Khan, Ciragh Ali, Maulevi Abdullah
Jakralevi, Ahmad Ad-Din Amratserri, Aslam Cirachburri, Ghulam Ahmad Parwez dan Abdul
Khaliq (Khon, 2009: 29). Dari mereka ini kemudian muncul kelompok masing-masing.
Inkar al-Sunnah muncul di Mesir pada masa Syeikh Muhammad Abduh yang kemudian
diikuti murid-muridnya. Sebagian besar dari mereka hanya menerima hadis mutawatir saja.
Di Indonesia sendiri, Inkar al- Sunnah muncul sekitar tahun 1980-an. Mereka menamakan
pengajian yang mereka adakan dengan sebutan Kelompok Qur’ani (kelompok pengikut Al-
Quran) (Jaiz, 2010: 29).
9
Mereka berpendapat bahwa agama harus dilandaskan pada suatu yang pasti. Apabila kita
mengambil dan memakai Sunnah, berarti landasan agama itu tidak pasti. Al –Qur’an yang
kita jadikan landasan itu bersifat pasti, seperti dalam ayat berikut.
Alif laam Miim. Kitab ( Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka
yang bertakwa (Q.S. Al- Baqarah (2): 1-2).
Apabila agama Islam bersumber dari hadis, ia tidak akan memiliki kepastian. Sebab
keberadaan hadis, khususnya hadis Ahad, bersifat dzanni. Dalam firman-Nya:
Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti, kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya
persangkaan itu sedikit pun tidak berguna untuk mencapai kebenaran.(Q.S. Yunus(10): 36)
10
c) Asal mula hadis Nabi yang dihimpun dalam kitab-kitab hadis adalah dongeng-dongeng
semata.
d) Menurut dokter Tauqif Sidqi, tiada satu pun hadis nabi yang dicatat pada zaman Nabi.
Pencatatan hadis terjadi setelah Nabi wafat. Dalam masa tidak tertulisnya hadis itu,
manusia berpeluang untuk mempermainkan dan merusak hadis sebagaimana yang telah
terjadi (Ismail, 1994: 20-21).
11
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hadits adalah sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Secara umum bentuknya
berupa perkataan, perbuatan, dan ketetapan Baginda Rasulullah SAW. Banyak istilah dan
pembagian hadits bila ditinjau dari aspek-aspek tertentu. Bila ditinjau dari penyandarannya,
maka hadits dibagi menjadi hadits qudsi, marfu’, mauquf, dan maqthu. Hadits qudsi adalah
hadits yang disandarkan kepada Allah Swt. namun lafadznya dari Nabi SAW. Hadits marfu’
adalah hadits yang disandarkan kepada Nabi Saw dan sahabat. Hadits mauquf adalah hadits
yang disandarkan kepada sahabat saja. Sedangkan hadits maqthu’ penyandarannya hanya
sampai kepada kalangan tabi’in saja. Ada juga beberapa istilah lain dalam penyebutan hadits
seperti Sunnah, Khobar, dan Atsar. Sunnah adalah segala perkataan, perbuatan, dan ketetapan
dari Nabi SAW. Khabar adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW. dan
selain beliau, sehingga mencakup hadits marfu’, mauquf, dan maqtu’. Atsar adalah segala
sesuatu yang disandarkan kepada selain Nabi Muhammad SAW. yang secara khusus
dinamakan hadits mauquf.
Korelasi antara hadits dengan Al-Qur’an adalah sebagai penjelas dan sumber hukum kedua
dalam agama Islam. “Wajib bagi sekalian berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah
khulafa ar-sasyidin (khalifah yang mendapat petunjuk), berpegang teguhlah kamu sekalian
dengannya” (H.R. Abu Daud dan Ibn Majah).
Kemudian dalam pejalan sejarah terdapat segolongan kaum yang malah
menafikan/membantah isi dari Al-Qur’an. Mereka menganggap bahwa hanya Al-Qur’an
sajalah yang pantas dijadikan sumber hukum. Kemudian mereka disebut sebagai kaum
inkarus sunnah. Mereka juga menggunakan beberapa dalil Al-Qur’an sebagai hujjah dari
pendapat mereka
3.2 Saran
Kita perlu untuk memahami betul hadits yang disampaikan oleh Rasulullah Saw. Sebab
tanpanya kita akan sulit memahami nas nas yang terdapat dalam Al-Qur’an. Bahkan untuk
saat ini tidak relevan jika hanya mengandalkan Al-Qur’an dan Hadits sebagai penuntun
pemahaman kita. Karena banyak juga kesulitan yang akan dialami bila membaca hadits tanpa
pemahaman dari ahli tafsir dan para ulama. Sehingga dibutuhkan pula ijma’ dan qiyas. Dalam
12
konteks ini bukan berarti menambah hukum baru dalam Islam. Karena pada dasarnya semua
ilmu itu bersumber dari Al-Qur’an.
Dalam memahami hadits kita perlu mengetahui seluk beluk ilmu hadits dari sisi perawi, jenis
hadits, kategori hadits, dan lain lain. Karena dalam perjalanan sejarah banyak cabang-cabang
ilmu hadits dibuat karena seiring perkembangan zaman banyak kendala serta hal hal baru
yang dibutuhkan dalam mengoreksi hadits
Namun di sisi lain justru ada kalangan yang menafikan hadits. Hal ini terjadi karena
kurangnya pemahaman mereka tentang Al-Qur’an dan Hadits. Oleh karena itu sebaiknya kita
lebih meningkatkan ilmu kita dengan terus belajar dengan guru yang memiliki sanad
keilmuan yang sampai ke Rasulullah Saw. agar kita tidak tersesat dalam mencari ilmu.
13
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qardawi, Yusuf. 1994. Metodel Memahami As-Sunnah Dengan Benar. Jakarta: Penerbit
Media Dakwah
Suparta, Munzier. 2011. Ilmu Hadis. Jakarta: Rajawali Pers
Sumbulah, Umi. 2010. Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang: UIN Maliki Press
14