Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

FIQIH DAN USHUL FIQIH


HADIST DAN KEHUJJAHANNYA

DOSEN PEMBIMBING : BAHARUDDIN, S.H,L,M.H.I

DI SUSUN OLEH:
AHMAD NABAWI
DEA BISMI AZIZI
NURUL ASYAH
MUHAMMAD SURYA A

HUKUM PIDANA ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ACEH TAMIANG
TAHUN AJARAN 2021/2022
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... i


DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1


1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................... 1
1.3 Tujuan ............................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................... 2


2.1 Pengertian Hadits .......................................................................... 2
2.2 Macam macam hadits.................................................................... 2
2.3 Kehujjahan Hadits dan Hubungannya dengan Al-Qur’an............... 4
2.4 Inkarus Sunnah ............................................................................. 7

BAB III PENUTUP ............................................................................................ 12


3.1 Kesimpulan................................................................................. 12
3.2 Saran........................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 14

i
KATA PENGANTAR

Alhamdullilah puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya
kepada kami, sehingga makalah Sejarah Dan Peradaban Islam yang membahas tentang
“HADIS DAN KEHUJJAHANNYA” ini dapat diselesaikan dengan baik meskipun banyak
kekurangan di dalamnya,kami berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita. Makalah ini kami buat berdasarkan refernsi yang kami
temukan dari berbagai sumber-sumber yang ada.

Demikian sedikit pengantar dari kami ,semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
yang membacanya dan kami berharap adanya kritik,saran dan usulan demi perbaikan
makalah-makalah yang akan kami buat di masa yang akan mendatang.

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kita hidup di masa yang sudah cukup jauh dari masa kerasulan nabi Muhamad SAW.
Sehingga kita perlu memiliki pegangan hidup agar dalam kehidupan ini kita tidak melenceng
dan tetap berada dalam manhaj ahlussunnah wal jama’ah. Berdasarkan apa yang disabdakan
Rasulullah dalam haditsnya yang berbunyi “Berpegang teguhlah kamu sekalian kepada Al-
Qur’an dan Sunnahku....” mengisyaratkan kepada kita untuk selalu berpegang kepada kedua
sumber hukum islam ini.
Dalam konteks mencari suatu permasalahan kehidupan tentu takkan terlepas dari kedua
sumber hukum ini. Bagi hadis sebagai sumber hukum islam kedua sangat dibutuhkan
mengingat kita yang memiliki keterbatasan dalam memahami Al-Qur’an maupun hadis Itu
sendiri.
Hadits merupakan sumber hukum islam kedua yang masih kuat, walaupun di perjalanannya
muncul ilmu-ilmu hadits yang disebabkan banyak periwayatan periwayatan hadits yang tidak
benar serta keraguan tentang keshahihan suatu hadits. Pada akhirnya hal inilah yang juga
memunculkan suatu golongan masyarakat yang malah menanggap hadits tidak bisa dijadikan
sumber hukum Islam. Mereka menganggap hanya Al-Qur’an sebagai wahyu Allah Swt lah
yang pantas menjadi sumber hukum Islam. Untuk lebih memahami permasalahan tersebut,
akan dipaparkan pada bab pembahasan

1.2 Rumusan Masalah


a. Bagaimana Pengertian hadits dari para ahli
b. Apa saja macam-macam hadits yang ditinjau dari penyandarannya
c. Bagaimana penjelasan tentang inkarus sunah

1.3 Tujuan
a. Untuk melengkapi persyaratan tugas mata kuliah Al-Qur’an dan Hadits
b. Untuk menjelaskan pengertian hadits serta pembagiannya
c. Untuk menjelaskan kehujanan hadits dan korelasinya dengan Al-Qur’an
d. Untuk menjelaskan tentang inkarus sunnah

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hadits


1 Menurut ahli hadits (Muhadditsin)
Hadits yaitu segala riwayat yang berasal dari Rasulullah SAW. baik berupa perkataan,
perbuatan, ketetapan (taqrir), sifat fisik, dan tingkah laku Rasulullah SAW., baik sebelum
diangkat menjadi Rasul maupun sesudahnya.

2. Ulama Ushul Fiqh


Hadits yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW., selain Al-
Quran Al-Karim, baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir Nabi yang bersangkut paut
dengan hukum syara’ atau dapat dijadikan sebagai dalil hukum syari’ah.

3. Ulama Fiqh (Fuqaha’)


Hadits adalah segala perbuatan yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW., namun
pelaksanaannya tidak sampai kepada tingkat wajib, dapat ditinggalkan namun dipandang
lebih baik dan lebih utama (afdhal) untuk diamalkan.

4. Ulama Lain
Hadits adalah segala sesuatu yang berasal dari sahabat Nabi Muhammad SAW. dan tabi’in.
Pendapat ini didasarkan pada adanya istilah hadits marfu’ (hadits yang disandarkan kepada
Nabi SAW.), hadits mauquf (hadits yang disandarkan hanya sampai kepada sahabat Nabi
SAW.), dan hadits maqtu’ (hadits yang disandarkan hanya sampai kepada tabi’in).

2.2 Macam macam hadits


1. Pembagian Hadits dari segi penyandarannya
a. Hadits Qudsi
Secara bahasa berasal dari kata al-Qudsu yang berarti suci dan bersih. Sedangkan menurut
istilah merupakan hadits yang disandarkan oleh Rasulullah yang disanadkan kepada Allah
Swt. Sehingga merupakan hadits yang lafaz matannya dari Nabi Muhammad SAW dan
maknanya dari Allah Swt.

2
b. Hadits Marfu’
Secara bahasa berarti rafa’a (mengangkat) karena disandarkan kepada yang memiliki derajat
yang lebih tinggi yaitu Rasulullah Saw. Sedangkan menurut istilah perkataan (qauli),
perbuatan (fi’li), ketetapan (Taqriri), ataupun sifat yang disandarkan kepada Nabi Saw dan
sahabat

c. Hadits Mauquf
Secara bahasa berarti “yang terhenti” karena hanya sampai kepada sahabat saja. Sedangkan
menurut istilah , hadits yang disandarkan kepada sahabat, berupa ucapan, perbuatan, dan
ketetapannya.

d. Maqthu’
Secara bahasa berarti artinya yang diputuskan atau yang terputus. Secara istilah perkataan,
perbuatan, dan ketetapan yang disandarkan kepada para tabi’in atau di bawahnya.

2. Sunnah, Khabar, dan Atsar


Ada istilah lain yang digunakan untuk mengungkapkan makna yang sama dengan arti hadits,
yaitu sunnah, atsar, dan khabar. Kebanyakan para ahli menggunakan istilah tersebut sebagai
sinonim. Meskipun demikian, ada sebagian ahli menggunakan dalam makna yang berbeda.
Mereka menggunakan kata sunnah dan khabar semakna dengan istilah hadits dan kata atsar
untuk menunjukkan perkataan atau keputusan para sahabat.
a. Pengertian Sunnah
Menurut bahasa sunnah merupakan jalan, arah, peraturan, mode atau cara tentang tindakan
atau sikap hidup. Dalam kitab Mukhtar As-Sihah, disebutkan bahwa sunnah secara
etimologis berarti tata cara dan tingkah laku atau perilaku hidup, baik yang terpuji maupun
tercela. Menurut istilah, para ulama juga berbeda-beda dalam memberikan definisi terhadap
sunnah:
1) Menurut Ulama Hadits (Muhadditsin)
Sunnah adalah segala apa yang menjadi peninggalan Nabi Muhammad SAW. berupa
perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat (watak budi atau fisik), atau tingkah laku Nabi
Muhammad SAW., baik sebelum masa kenabian maupun sesudahnya. Dalam hal ini,
menurut mayoritas ulama, sunnah merupakan sinonim dari hadits.

3
2) Menurut Ulama Ahli Hukum (Usul Fiqh)
Sunnah adalah segala perkataan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. selain Al-
Qur’an, perbuatan, atau ketetapan beliau yang dapat dijadikan sebagai dalil hukum syara’.
3) Menurut Ahli Fiqh (Fuqaha’)
Segala sesuatu yang ditetapkan Nabi SAW. yang belum sampai pada tingkatan fardlu atau
wajib.

b. Khabar
Khabar menurut bahasa adalah berita yang disampaikan dari seseorang kepada orang lain.
Sedangkan menurut istilah khabar yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW.
dan selain beliau, sehingga mencakup hadits marfu’, mauquf, dan maqtu’. Khabar lebih
cenderung sinonim dengan hadits, bahkan lebih luas dari hadits.

c. Atsar
Atsar menurut bahasa adalah bekas/sisa sesuatu. Para fuqaha’ memakai istilah atsar untuk
perkataan-perkataan ulama salaf, sahabat, tabi’in dan lain-lain. Sedangkan menurut istilah,
atsar adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada selain Nabi Muhammad SAW. yang
secara khusus dinamakan hadits mauquf.

2.3 Kehujjahan Hadits dan Hubungannya dengan Al-Qur’an


As-Sunnah (Hadits) adalah penafsiran praktis terhadap Al-Qur’an, implementasi realistis, dan
juga implementasi ideal Islam. Karena pada dasarnya Hadits itu datang dari Nabi SAW dan
pribadi Nabi sendiri adalah merupakan penafsiran Al-Qur’an dan pengejawantahan Islam.
Seperti yang dikatakan oleh Siti ‘Aisyah ra. yang diriwayatkan oleh Muslim tentang budi
pekerti Rasulullah SAW :
ُ‫ﺧُﻠُﻘُﮫُ اﻟْﻘُﺮْاٰن‬
“Budi pekertinya adalah Al-Qur’an”
As-Sunnah adalah sumber hukum kedua dalam Islam dalam kodifikasi dan orientasi,
yang menjadi rujukan para ahli fiqih untuk menarik hukum, juga menjadi rujukan para juru
dakwah untuk mengambil makna-makna yang memberi inspirasi, nilai-nilai yang
memberikan orientasi, kata-kata bijak, gaya bahasa yang menganjurkan kebaikan dan
memperingatkan dari kejahatan.
berikut ini merupakan dalil-dalil serta kesepakatan ulama dalam membuktikan hadits sebagai
sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an :
4
a. Dalil Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an, Allah telah menerangkan kewajiban mempercayai dan menerima segala
yang disampaikan oleh Rasul kepada umatnya untuk dijadikan pedoman hidup. Di antara
ayat-ayat yang dimaksud tersebut yaitu:
ِ‫ﺳﻮْﻟِﮫِ وَاﻟْﻜِﺘٰﺐِ اﻟﱠﺬِى ﻧَﺰﱠلَ ﻋَﻞٰ رَﺳُﻮْﻟِﮫِ وَﻟْﻜِﺘٰﺐِ اﻟﱠﺬِىٓ اَﻧْﺰَلَ ﻣِﻨْﻘَﺒْﻞُ وَﻣَﻦْ ﯾَﻜْﻔُﺮْ بِ اﻟﻠﱠﮫِ وَﻣَﻠَٓىِٕﻜَﺘِﮫ‬
ُ َ‫ﯾَٓﺎَٔﯾﱡﮭَﺎ اﻟﱠﺬِﯾْﻦَ ءَاﻣَﻨُﻮٓاْ ءَاﻣِﻨُﻮاْ ﺑِﺎاﻟﻠﱠﮫِ وَر‬
‫َوﻛُﺘُﺒِﮫِ وَرُﺳُﻠِﮫِ وَاﻟْﯿَﻮْمِ اﻟْﺎَٔﺧِﺮِ ﻓَﻘَﺪْﺿَﻞﱠ ﺿَﻠَىٰﻼَ ﺑَﻌِ ْﯿﺪًا‬
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, serta
kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya.
Bagi siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan hari
kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya” (Q.S. An-Nisa’: 136).

Dalam Al-Qur’an, Allah telah menjelaskan kedudukan Nabi Muhammad SAW. Di antara
ayat-ayat yang dimaksud tersebut yaitu:

1. Sebagai pensyarah (penafsir) Al-Qur’an


Allah SWT. berfirman:
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Zikru, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa
yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan” (Q.S. An-Nahl: 44).

2. Sebagai pembuat hukum (legislator)


“Nabi SAW menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka
segala yang buruk dan membuang dari beban yang melilit mereka” (Q.S. Al-A’raf: 157).

3. Sebagai teladan kaum muslimin


“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mendambakan rahmat Allah SWT. dan kedatangan hari kiamat dan dia selalu
menyebut Allah” (Q.S. Al-Ahzab: 21)

b. Dalil Hadits
 "Ingat! Bahwa saya diberi Al-Qur’an dan yang seperti Al-Qur’an (Hadits)" (H.R. Abu
Daud).
 “Aku tinggalkan pada kalian dua perkara, kalian tidak akan tersesat selama berpegang
teguh kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan sunnahku” (H.R. Al-Hakim dan Malik).

5
c. “Wajib bagi sekalian berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah khulafa ar-
rasyidin (khalifah yang mendapat petunjuk), berpegang teguhlah kamu sekalian dengannya”
(H.R. Abu Daud dan Ibn Majah).

d. Kesepakatan (Ijma’) sahabat


Kesepakatan umat muslimin dalam mempercayai, menerima, dan mengamalkan segala
ketentuan yang terkandung di dalam hadits ternyata sejak Rasulullah SAW. masih hidup
(langsung dari Nabi), sepeninggal beliau, semenjak masa Khulafa’ Al-Rasyidin hingga masa-
masa selanjutnya tidak ada yang mengingkarinya. Banyak di antara mereka yang tidak hanya
memahami dan mengamalkan isi kandungannya, akan tetapi bahkan mereka menghafal,
memelihara, dan menyebarluaskan kepada generasi-generasi selanjutnya.
Banyak peristiwa menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan hadits sebagai sumber
hukum Islam, antara lain dapat diperhatikan peristiwa berikut:

e. Ketika Abu Bakar dibaiat menjadi khalifah, ia pernah berkata:


“Saya tidak meninggalkan sedikit pun sesuatu yang diamalkan/dilaksanakan oleh Rasulullah
SAW., sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya”.

f. Saat Umar bin Khatab berada di depan Hajar Aswad ia berkata


“Saya tahu bahwa engkau adalah batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah SAW.
menciummu, saya tidak akan menciummu”.

g. Ali bin Abu Thalib berkata “Kami melihat Rasulullah SAW. berdiri, lalu kami berdiri,
dan beliau duduk, kami pun duduk”.

c. Ijma Ulama
- Imam Abu Hanifah berkata:
“Apabila Hadits itu shahih, maka itulah madzhabku”.
“Apabila aku mengemukakan suatu pendapat yang bertentangan dengan kitab Allah dan
khabar dari Rasulullah SAW., maka tinggalkanlah pendapat ku”.

- Imam Malik berkata :


6
“Sesungguhnya aku adalah manusia yang terkadang salah dan terkadang benar, maka lihatlah
pendapat ku, apabila sesuai dengan Al-Qur’an dan hadits maka ambillah. Setiap yang tidak
sesuai dengan Al-Qur’an dan hadits, tinggalkanlah”.
“Tidak seorang pun yang hidup setelah Nabi SAW. kecuali sabdanya yang dibuat pegangan
dan semua pendapat ditinggalkan kecuali sabda Nabi SAW.”.

2.4 Inkarus Sunnah


a. Pengertian
secara bahasa Kata “Inkar al-sunnah” terdiri dari dua kata yaitu “inkar” dan “Sunnah”. Kata
“inkar” secara etimologis diartikan menolak, tidak mengetahui, dan tidak menerima sesuatu,
baik lahir dan batin yang dilatarbelakangi oleh faktor ketidaktahuannya atau faktor lain. Dan
“Sunnah” adalah hadits-hadits Rasulullah SAW.
Sedangkan menurut istilah adalah paham yang timbul dalam masyarakat Islam yang menolak
hadis atau sunnah sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an.
Inkar al-Sunnah adalah sebuah sikap penolakan terhadap sunnah Rosul, baik sebagian
maupun keseluruhannya.

b. Sejarah Perkembangan Inkar al- Sunnah


Pada zaman Nabi, tidak ada seorang pun dari kalangan umat Islam yang menolak sunnah
sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Demikian pula pada masa Khulafaur Rasyidin (632-
661 M) dan Bani Umayyah (661-750 M), belum nampak jelas adanya kalangan umat Islam
yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber ajaran Islam.
Barulah pada awal masa Abbasiyah (750-1258M), muncul secara jelas sekelompok kecil
umat Islam yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber ajaran Islam (Ismail, 1994: 14).
Sejarah perkembangan Inkar Sunnah terbagi dalam 2 masa yaitu masa klasik dan modern.
1. Inkar al Sunnah Klasik
Inkar sunnah klasik terjadi pada masa Imam Asy-Syafi’i (w. 204H) yang menolak kehujjahan
sunnah dan menolak sunnah sebagai sumber hukum Islam baik mutawatir maupun ahad.
Mereka itu kemudian dikenal sebagai orang-orang yang berpaham inkar al-
sunnah atau munkir al-sunnah (Ismail, 1994: 14). Inkar sunnah klasik lahir di Irak (kurang
lebih abad 2H/7M). Muncul akibat ketidaktahuannya tentang kedudukan sunnah dalam
syari’ah Islam.
Secara garis besar, Muhammad Abu Zahrah berkesimpulan bahwa ada 3 kelompok
pengingkar sunnah yang berhadapan dengan As-Syafi’i, yaitu sebagai berikut:
7
a. Menolak sunnah secara keseluruhan, golongan ini hanya mengakui Al-Qur’an saja
yang dapat dijadikan hujjah.
b. Tidak menerima sunnah kecuali yang semakna dengan Al Qur’an.
c. Hanya menerima sunnah mutawatir saja dan menolak selain mutawatir yakni
sunnah ahad
Menjelang akhir abad kedua Hijriah muncul kelompok yang menolak sunnah sebagai
salah satu sumber syariat Islam, di samping ada pula yang menolak sunnah yang bukan
mutawatir saja.
a. Khawarij dan Sunnah
Secara etimologis kata khawarij berasal dari bahasa Arab, yaitu kharaja yang berarti keluar,
muncul, timbul, atau memberontak (Rozak, 2001: 49). Sementara khawarij yang dimaksud di
sini adalah golongan yang memisahkan diri dari kepemimpinan Ali bin Abu Thalib.
Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat sebelum kejadian fitnah (perang saudara
antara Ali bin Abu Thalib r.a. dan Muawiyah r.a.) diterima oleh kelompok Khawarij dengan
alasan bahwa sebelum kejadian itu para sahabat dinilai sebagai orang-orang yang ‘adil.
Namun setelah kejadian fitnah tersebut, kelompok Khawarij menilai mayoritas sahabat Nabi
SAW sudah keluar dari Islam. Akibatnya, hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para sahabat
sesudah kejadian itu ditolak kelompok khawarij (Solahudin, 2009: 210).
Namun ada juga kelompok dari golongan Khawarij yang menerima hadis Nabawi. Mereka
adalah kelompok Ibadiyah.
b. Syi’ah dan Sunnah
Syi’ah dilihat dari bahasa berarti pengikut, pendukung, partai, atau kelompok (Rozak, 2001:
89). Secara terminologis, Syi’ah merupakan sebagian kaum muslim yang menganggap Ali
bin Abu Thalib lebih pantas menjadi Khalifah daripada Khalifah-khalifah sebelumnya dan
mereka selalu merujuk pada ahl al-bait.
Golongan Syi’ah menganggap bahwa sepeninggal Nabi SAW, mayoritas para sahabat sudah
murtad kecuali beberapa orang saja yang menurut mereka masih tetap Muslim. Karena itu,
golongan Syi’ah menolak hadis-hadis yang diriwayatkan oleh mayoritas para sahabat
tersebut. Syi’ah hanya menerima hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Ahl- Al
Bait saja (Solahudin, 2009: 212).

8
c. Mu’tazilah dan Sunnah
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari i’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan
diri (Rozak, 2001: 89). Mereka memisahkan diri dari mayoritas umat Islam.
Syeikh Muhammad Al-Khudhari berpendapat bahwa Mu’tazilah menolak sunah. Pendapat ini
berdasarkan adanya diskusi antara Imam Asy-Syafi’i dan kelompok yang mengingkari sunah.
Sementara kelompok atau aliran yang ada pada waktu itu di Bashrah Irak adalah
Mu’tazilah (Solahudin, 2009: 213).
Ada sebagian ulama Mu’tazilah yang menolak sunnah yaitu: Abu Ishaq Ibrahim bin Sajyar
(Al Nadhdham). Ia mengingkari kemukjizatan al Qur’an dari segi kebahasaannya, mukjizat
Nabi SAW, mengingkari Hadis yang tidak dapat memberikan pengertian yang pasti untuk
dijadikan sumber syari’at Islam.
Namun mayoritas ulama Mu’tazilah seperti Abu Al-Hudzail Al-‘Allaf dan Muhammad bin
‘Abd Al-Wahhab Al Jubba’i justru menilai An-Nadhdham telah keluar dari Islam.
2. Inkar al Sunnah Modern
Setelah sempat teredam beberapa abad, lahir inkar al- sunnah di India (kurang lebih abad 19
M / 13 H). Kemudian muncul ingkar sunnah di Kairo, Mesir (abad 20 M/ 14 H). Munculnya
inkar al- sunnah akibat pengaruh pemikiran kolonialisme yang ingin melumpuhkan dunia
Islam.
Apabila inkar al-sunnah klasik masih banyak bersifat perorangan dan tidak menanamkan
dirinya sebagai mujtahid atau pembaharu, inkar al- sunnah modern banyak yang mengklaim
dirinya sebagai mujtahid dan pembaharu (Solahudin, 2009: 215).
Di India, tokoh-tokohnya ialah Sayyid Ahmad Khan, Ciragh Ali, Maulevi Abdullah
Jakralevi, Ahmad Ad-Din Amratserri, Aslam Cirachburri, Ghulam Ahmad Parwez dan Abdul
Khaliq (Khon, 2009: 29). Dari mereka ini kemudian muncul kelompok masing-masing.
Inkar al-Sunnah muncul di Mesir pada masa Syeikh Muhammad Abduh yang kemudian
diikuti murid-muridnya. Sebagian besar dari mereka hanya menerima hadis mutawatir saja.
Di Indonesia sendiri, Inkar al- Sunnah muncul sekitar tahun 1980-an. Mereka menamakan
pengajian yang mereka adakan dengan sebutan Kelompok Qur’ani (kelompok pengikut Al-
Quran) (Jaiz, 2010: 29).

c. Argumentasi Inkar al –Sunnah


1. Argumen-argumen Naqli
a) Agama bersifat konkret dan pasti

9
Mereka berpendapat bahwa agama harus dilandaskan pada suatu yang pasti. Apabila kita
mengambil dan memakai Sunnah, berarti landasan agama itu tidak pasti. Al –Qur’an yang
kita jadikan landasan itu bersifat pasti, seperti dalam ayat berikut.
Alif laam Miim. Kitab ( Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka
yang bertakwa (Q.S. Al- Baqarah (2): 1-2).
Apabila agama Islam bersumber dari hadis, ia tidak akan memiliki kepastian. Sebab
keberadaan hadis, khususnya hadis Ahad, bersifat dzanni. Dalam firman-Nya:
Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti, kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya
persangkaan itu sedikit pun tidak berguna untuk mencapai kebenaran.(Q.S. Yunus(10): 36)

b) Al Qur’an sudah lengkap


Mereka menggunakan dalil Al-Qur’an berikut ini:
Dan tidaklah Kami alpakan sesuatu pun dalam Al-Kitab (Al-Qur’an) ini (QS. Al
An’am(6):38)
Al Qur’an turun sebagai penerang atas segala sesuatu secara sempurna. Al-Qur’an telah
menjelaskan segala hal secara tuntas. Jadi tak perlu mengambil pegangan lain.
c) Al Qur’an tidak memerlukan penjelas
Dan kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an ) untuk menjelaskan segala sesuatu dan
petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (Q.S. An-
Nahl (16): 89)
Ayat ini dipakai dalil oleh para pengingkar sunnah, baik dulu maupun kini. Mereka
menganggap Al Qur’an sudah cukup karena memberikan penjelasan terhadap segala masalah.
Mereka adalah yang menolak hadis secara keseluruhan seperti Taufiq Sidqi dan Abu Rayyah.

2. Argumen-argumen Non Naqli


Argumen yang tidak berupa ayat Al-Qur’an dan atau hadis-hadis di antaranya:
a) Al-Qur’an diwahyukan oleh Allah kepada Nabi Muhammad (melalui malaikat
Jibril) dalam bahasa Arab. Orang-orang yang memiliki pengetahuan bahasa Arab
mampu memahami Al-Qur’an secara langsung, tanpa bantuan penjelasan dari hadis
Nabi.
b) Dalam sejarah, umat Islam mengalami kemunduran. Umat Islam mundur karena
umat Islam terpecah-pecah. Perpecahan itu terjadi karena umat Islam berpegang
kepada hadis Nabi.

10
c) Asal mula hadis Nabi yang dihimpun dalam kitab-kitab hadis adalah dongeng-dongeng
semata.
d) Menurut dokter Tauqif Sidqi, tiada satu pun hadis nabi yang dicatat pada zaman Nabi.
Pencatatan hadis terjadi setelah Nabi wafat. Dalam masa tidak tertulisnya hadis itu,
manusia berpeluang untuk mempermainkan dan merusak hadis sebagaimana yang telah
terjadi (Ismail, 1994: 20-21).

Pokok pokok ajaran Inkar al-Sunnah:


a) Tidak percaya kepada semua hadits Rasulullah saw. Menurut mereka hadis itu
karangan Yahudi untuk menghancurkan Islam dari dalam.
b) Dasar hukum Islam hanya Al Qur’an saja.
c) Syahadat mereka: Isyhadu bi anna muslimun.
d) Sholat mereka bermacam-macam, ada yang sholatnya 2 rakaat dan ada yang hanya
ketika ingat saja.
e) Puasa wajib hanya bagi orang yang melihat bulan saja, kalau seseorang saja yang
melihat bulan , maka dialah yang wajib berpuasa.
f) Haji boleh dilakukan selama 4 bulan haram yaitu Muharram, Rajab, Zulqaidah dan
Zulhijah,
g) Pakaian ihram adalah pakaian Arab dan membuat repot. Oleh karena itu, waktu
mengerjakan haji boleh memakai celana panjang dan baju biasa serta memakai jas/dasi.
h) Rasul tetap diutus sampai hari kiamat.
i) Nabi Muhammad tidak berhak menjelaskan tentang ajaran Al Qur’an.
j) Orang yang meninggal dunia tidak disholatkan karena tidak ada perintah Al- Qur’an

d. Ciri-Ciri Inkar al-Sunnah


1. Mendahulukan ketetapan hukum berdasar nash yang zhahir, disertai keyakinan bahwa
Sunnah tidak memiliki kekuatan hukum sedikit
pun (Ashim,http://almanhaj.or.id/content/2744/slash/0/cacat-penganut-ideologi-ingkar-
sunnah/, akses 1 Juni 2013).
2. Menolak hadis Nabi, baik seluruhnya maupun sebagian
3. Menyalahi faham mayoritas ulama dan umat
4. Hanya mengambil dasar hukum dari Al-Quran saja
5. Berbeda dalam cara pelaksanaan ibadah tertentu

11
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hadits adalah sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Secara umum bentuknya
berupa perkataan, perbuatan, dan ketetapan Baginda Rasulullah SAW. Banyak istilah dan
pembagian hadits bila ditinjau dari aspek-aspek tertentu. Bila ditinjau dari penyandarannya,
maka hadits dibagi menjadi hadits qudsi, marfu’, mauquf, dan maqthu. Hadits qudsi adalah
hadits yang disandarkan kepada Allah Swt. namun lafadznya dari Nabi SAW. Hadits marfu’
adalah hadits yang disandarkan kepada Nabi Saw dan sahabat. Hadits mauquf adalah hadits
yang disandarkan kepada sahabat saja. Sedangkan hadits maqthu’ penyandarannya hanya
sampai kepada kalangan tabi’in saja. Ada juga beberapa istilah lain dalam penyebutan hadits
seperti Sunnah, Khobar, dan Atsar. Sunnah adalah segala perkataan, perbuatan, dan ketetapan
dari Nabi SAW. Khabar adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW. dan
selain beliau, sehingga mencakup hadits marfu’, mauquf, dan maqtu’. Atsar adalah segala
sesuatu yang disandarkan kepada selain Nabi Muhammad SAW. yang secara khusus
dinamakan hadits mauquf.
Korelasi antara hadits dengan Al-Qur’an adalah sebagai penjelas dan sumber hukum kedua
dalam agama Islam. “Wajib bagi sekalian berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah
khulafa ar-sasyidin (khalifah yang mendapat petunjuk), berpegang teguhlah kamu sekalian
dengannya” (H.R. Abu Daud dan Ibn Majah).
Kemudian dalam pejalan sejarah terdapat segolongan kaum yang malah
menafikan/membantah isi dari Al-Qur’an. Mereka menganggap bahwa hanya Al-Qur’an
sajalah yang pantas dijadikan sumber hukum. Kemudian mereka disebut sebagai kaum
inkarus sunnah. Mereka juga menggunakan beberapa dalil Al-Qur’an sebagai hujjah dari
pendapat mereka

3.2 Saran
Kita perlu untuk memahami betul hadits yang disampaikan oleh Rasulullah Saw. Sebab
tanpanya kita akan sulit memahami nas nas yang terdapat dalam Al-Qur’an. Bahkan untuk
saat ini tidak relevan jika hanya mengandalkan Al-Qur’an dan Hadits sebagai penuntun
pemahaman kita. Karena banyak juga kesulitan yang akan dialami bila membaca hadits tanpa
pemahaman dari ahli tafsir dan para ulama. Sehingga dibutuhkan pula ijma’ dan qiyas. Dalam
12
konteks ini bukan berarti menambah hukum baru dalam Islam. Karena pada dasarnya semua
ilmu itu bersumber dari Al-Qur’an.
Dalam memahami hadits kita perlu mengetahui seluk beluk ilmu hadits dari sisi perawi, jenis
hadits, kategori hadits, dan lain lain. Karena dalam perjalanan sejarah banyak cabang-cabang
ilmu hadits dibuat karena seiring perkembangan zaman banyak kendala serta hal hal baru
yang dibutuhkan dalam mengoreksi hadits
Namun di sisi lain justru ada kalangan yang menafikan hadits. Hal ini terjadi karena
kurangnya pemahaman mereka tentang Al-Qur’an dan Hadits. Oleh karena itu sebaiknya kita
lebih meningkatkan ilmu kita dengan terus belajar dengan guru yang memiliki sanad
keilmuan yang sampai ke Rasulullah Saw. agar kita tidak tersesat dalam mencari ilmu.

13
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qardawi, Yusuf. 1994. Metodel Memahami As-Sunnah Dengan Benar. Jakarta: Penerbit
Media Dakwah
Suparta, Munzier. 2011. Ilmu Hadis. Jakarta: Rajawali Pers
Sumbulah, Umi. 2010. Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang: UIN Maliki Press

14

Anda mungkin juga menyukai