Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

HUKUM WARIS DI INDONESIA

DISUSUN OLEH :

YASSIR AL AQIB
SABDA WAHYU
R

DOSEN PENGAMPU : Ruslan Efendi, Lc, M.Pd

HUKUM EKONOMI SYARIAH


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI-AT)
TAHUN AJARAN 2022-2023
KATA PENGANTAR

Assalamua’laikumWr. Wb

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat-Nya dan karunia-Nya
saya dapat menyelesaikan makalah singkat tepat pada waktunya. Adapun judul dari makalah
singkat ini adalah “Tentang Konsep dan Perkembangan HAM”.
Pada kesempatan kali ini, saya mengucapkan banyak terima kasih kepada guru mata
pelajaran ini yang telah membimbing saya untuk menyelesaikan makalah singkat ini. Selain
itu, saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu saya
dalam menyelesaikan makalah singkat ini.
Penulis menyadari bahwa dalam menulis makalah singkat ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun diharapkan dapat membuat
makalah singkat ini menjadi lebih baik serta bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Aceh Tamiang, Februari 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................... 1
A. Latar Belakang............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah........................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................... 3
A. Bimbingan Pranikah .................................................................................... 3
B. Tujuan Bimbingan Pranikah ....................................................................... 4
C. Manfaat Bimbingan Pranikah...................................................................... 4
D. Persoalan-Persoalan Yang Berkaitan Dengan Bimbingan Pranikah............ 6
E. Asas-Asas Bimbingan Pranikah................................................................... 9
BAB III PENUTUP.................................................................................................. 10
A. Kesimpulan.................................................................................................. 10
B. Saran............................................................................................................. 11
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 12
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar belakang

Hukum waris merupakan salah satu unsur dari hukum perdata secara menyeluruh
dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris sangat erat
kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia sejak dahulu hingga sekarang, sebab
setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Akibat
hukum yang timbul selanjutnya dengan terjadinya peristiwa hukum kematian seseorang,
diantaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-
kewajiban seseorang yang meninggal dunia tersebut.
Menurut pakar hukum Indonesia, WirjonoProdjodikoro, hukum waris diartikan
sebagai hukum yang mengatur tentang kedudukan harta kekayaan seseorang setelah ia
meninggal dunia (Pewaris), dan cara-cara berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang
lain (Ahli Waris). Meskipun pengertian hukum waris tidak tercantum dalam KUH
Perdata, namun tata cara pengaturan hukum waris tersebut diatur oleh KUH Perdata.
Pembagian harta warisan secara adil sesuai aturan hukum yang berlaku merupakan hal
utama dalam proses pewarisan. Keselarasan, kerukunan, dan kedamaian merupakan hal
terpenting yang harus mampu dijalankan. Kesepakatan dalam musyawarah merupakan
suatu nilai dasar kebersamaan dalam kehidupan keluarga yang harus dikedepankan.
Di Indonesia, belum ada suatu keseragaman penerapan hukum waris yang berlaku
secara nasional. Terdapat 3 hukum waris yang berlaku di Indonesia, yaitu hukum waris
adat, hukum waris Islam, dan hukum waris perdata. Masing-masing hukum ini
mempunyai aturan mengenai waris yang berbeda-beda.
Pewaris adalah seseorang yang telah meniggal dunia dan meningalkan sesuatu
yang dapat beralih kepada keluarganya yang masih hidup (ahli waris) yang secara
sederhana pewaris dapat diartikan sebagai seorang peninggal warisan yang pada waktu
wafatnya meninggalkan harta kekayaan pada orang yang masih hidup.Sedangkan ahli
waris adalah anggota keluarga orang yang meninggal dunia yang menggantikan
kedudukan pewaris dalam bidang hukum kekayaan karena meninggalnya pewaris.
2. Rumusan masalah
a. Sebab – sebab kewarisan dalam hukum waris islam
b. Syarat dan kriteria ahli waris dalam ajaran islam
c. Hjib (penghalang) dan Mahjub dalam penentuan ahli waris

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN WARIS
Pengertian waris menurut bahasa ini tidak terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan
dengan harta, akan tetapi mencakup harta benda dan non harta benda. Kata ‫ ورث‬adalah kata
kewarisan pertama yang digunakan dalam al-Qur’an.  Kata waris dalam berbagai bentuk makna
tersebut dapat kita temukan dalam al-Qur’an, yang antara lain:
 Mengandung makna “mengganti kedudukan” (QS. an-Naml, 27:16).
 Mengandung makna “memberi atau menganugerahkan” (QS. az-Zumar,39:74).
 Mengandung makna “mewarisi atau menerima warisan” (QS. al-Maryam, 19: 6).

Sedangkan secara terminologi hukum, kewarisan dapat diartikan sebagai hukum yang
mengatur tentang pembagian harta warisan yang ditinggalkan ahli waris, mengetahui bagian-
bagian yang diterima dari peninggalan untuk setiap ahli waris yang berhak menerimanya.
Sedangkan menurut para fuqoha, pengertian ilmu waris adalah sebagai berikut:

‫علم يعرف به من يرث ومن ال يرث ومقداركل وارث وكيفية التوزيع‬


“Artinya: Ilmu yang mempelajari tentang ketentuan-ketentuan orang yang mewaris, kadar yang
diterima oleh ahli waris serta cara pembagiannya.”
 
Adapun dalam istilah umum, waris adalah perpindahan hak kebendaan dari orang yang
meninggal dunia kepada ahli waris yang masih hidup. Seperti yang disampaikan oleh Wiryono
Projodikoro, definisi waris adalah soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan
kewajibankewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal akan beralih kepada
orang lain yang masih hidup. Dengan demikian secara garis besar definisi warisan yaitu
perpindahan berbagai hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang yang meninggal dunia
kepada orang lain yang masih hidup dengan memenuhi syarat dan rukun dalam mewarisi.

Selain kata waris tersebut, kita juga menemukan istilah lain yang berhubungan dengan
warisan, diantaranya adalah:
a. Waris, adalah orang yang termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan.
b. Muwaris, adalah orang yang diwarisi harta bendanya (orang yang meninggal) baik
secara haqiqy maupun hukmy karena adanya penetapan pengadilan.

2
c. Al-Irsi,  adalah harta warisan yang siap dibagikan kepada ahli waris yang berhak
setelah diambil untuk pemeliharaan jenazah, melunasi hutang dan menunaikan wasiat.
d. Warasah, yaitu harta warisan yang telah diterima oleh ahli waris.
e. Tirkah, yaitu seluruh harta peninggalan orang yang meninggal dunia sebelum diambil
untuk pemeliharaan jenazah, melunasi hutang, menunaikan wasiat.

Adapun pengertian hukum kewarisan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah
hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya (Pasal 171 huruf a
KHI).

B. SYARAT DAN RUKUN WARIS

Terdapat tiga syarat warisan yang telah disepakati oleh para ulama, tiga syarat tersebut
adalah:
1. Matinya Orang yang Mewariskan
Kematian orang yang mewariskan harus bisa dibuktikan, baik dengan pemeriksaan teliti, terdapat
saksi, hingga diberitakan sudah meninggal dari pihak yang dapat dipercaya. Bagi orang yang
sedang sakit parah atau koma berkepanjangan, maka hartanya belum bisa diwariskan.
Bagaimanapun juga harta warisan menjadi sah jika pewaris sudah benar-benar meninggal. Untuk
kasus orang hilang yang kabarnya tidak bisa diketahui, kematian dapat dinyatakan melalui
putusan hakim sehingga harta warisan dapat dibagi kepada ahli warisnya.
2. Hidupnya Orang yang Mewarisi
Jika pewaris sudah dipastikan meninggal, maka ahli waris yang akan menerima hartanya harus
dalam keadaan hidup, kendati dalam keadaan sekarat, meskipun tak lama kemudian menyusul
meninggal.
3. Terdapat Hubungan Ahli Waris dengan Si Mayit
Syarat lain yang mesti dipenuhi adalah adanya hubungan antara ahli waris dengan pewaris, baik
melalui kekerabatan nasab, hubungan pernikahan, atau pemerdekaan budak (wala'). Namun,
kendati memiliki hubungan tertentu yang menjadikan ahli waris dapat menerima pusaka, terdapat
penghalang yang membatalkan warisan. Misalnya jika ahli waris membunuh pewarisnya maka ia
diharamkan memperoleh warisan sebagaimana sabda Nabi Muhammad, "Pembunuh tidak berhak
mendapat apa-apa. Jika tidak ada pewaris yang lain, maka pewarisnya orang terdekat darinya,
dan pembunuh tidak dapat mewarisi apa pun." (HR. Abu Daud)

3
Adapun rukun waris dalam hukum kewarisan Islam, diketahui ada tiga macam, yaitu :

1. Muwaris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang yang mewariskan
hartanya. Syaratnya adalah muwaris benar-benar telah meninggal dunia. Kematian
seorang muwaris itu, menurut ulama dibedakan menjadi 3 macam :
a) Mati Haqiqy (mati sejati).
Mati haqiqy (mati sejati) adalah matinya muwaris yang diyakini tanpa
membutuhkan putusan hakim dikarenakan kematian tersebut disaksikan oleh orang
banyak dengan panca indera dan dapat dibuktikan dengan alat bukti yang jelas dan nyata.
b) Mati Hukmy ( mati menurut putusan hakim atau yuridis)
Mati hukmy (mati menurut putusan hakim atau yuridis) adalah suatu kematian
yang dinyatakan atas dasar putusan hakim karena adanya beberapa pertimbangan. Maka
dengan putusan hakim secara yuridis muwaris dinyatakan sudah meninggal meskipun
terdapat kemungkinan muwaris masih hidup. Menurut pendapat Malikiyyah dan
Hambaliyah, apabila lama meninggalkan tempat itu berlangsung selama 4 tahun, sudah
dapat dinyatakan mati. Menurut pendapat ulama mazhab lain, terserah kepada ijtihad
hakim dalam melakukan pertimbangan dari berbagai macam segi kemungkinannya.
c) Mati Taqdiry (mati menurut dugaan).
Mati taqdiry (mati menurut dugaan) adalah sebuah kematian (muwaris)
berdasarkan dugaan keras, misalnya dugaan seorang ibu hamil yang dipukul perutnya
atau dipaksa minum racun. Ketika bayinya lahir dalam keadaan mati, maka dengan
dugaan keras kematian itu diakibatkan oleh pemukulan terhadap ibunya.

2. Waris (ahli waris), yaitu orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan baik
hubungan darah (nasab), hubungan sebab semenda atau perkawinan, atau karena
memerdekakan hamba sahaya. Syaratnya adalah pada saat meninggalnya muwaris, ahli
waris diketahui benarbenar dalam keadaan hidup. Termasuk dalam hal ini adalah bayi
yang masih dalam kandungan (al-haml). Terdapat juga syarat lain yang harus dipenuhi,
yaitu: antara muwaris dan ahli waris tidak ada halangan saling mewarisi.

3. Harta warisan atau Al-Mauruts, yaitu harta benda yang ingin diwariskan karena di
tinggalkan oleh mayit setelah peristiwa kematiannya.

4
C. Sebab-Sebab Mendapatkan Hak Waris
Dalam hukum Islam, sebab-sebab untuk dapat menerima warisan ada tiga, yaitu:
Hubungan kekerabatan (al-qarabah), Hubungan perkawinan atau semenda (al-musaharah),
Hubungan karena sebab memerdekakan budak atau hamba sahaya (al-wala'). Namun untuk
sebab karena memerdekakan budak sudah tidak berlaku Iagi untuk sekarang, karena praktik
perbudakan ini hanya ada pada masa Rasulullah SAW.
a. Hubungan Kekerabatan (al-qarabah).

Di antara sebab beralihnya harta seseorang yang telah mati kepada yang masih hidup
adalah adanya hubungan kekerabatan antara keduanya. Adapun hubungan kekerabatan
ditentukan oleh adanya hubungan darah yang ditentukan pada saat adanya kelahiran.
Jika seorang anak lahir dari seorang ibu, maka ibu mempunyai hubungan kerabat dengan anak
yang dilahirkan. Hal ini tidak dapat dipungkiri oleh siapa pun karena setiap anak yang lahir
dari rahim ibunya sehingga berlaku hubungan kekerabatan secara alamiah antara seorang anak
dengan seorang ibu yang melahirkannya. Sebaliknya, bila diketahui hubungan antara ibu
dengan anaknya maka dicari pula hubungan dengan laki-laki yang menyebabkan si ibu
melahirkan. Jika dapat dibuktikan secara hukum melalui perkawinan yang sah penyebab si ibu
melahirkan, maka hubungan kekerabatan berlaku pula antara si anak yang lahir dengan si ayah
yang menyebabkan kelahirannya.
Hubungan kekerabatan antara anak dengan ayah ditentukan Oleh adanya akad nikah yang
sah antara ibu dengan ayah (penyebab si ibu hamil dan melahirkan). Dengan mengetahui
hubungan kekerabatan antara ibu dengan anaknya dan hubungan kekerabatan antara anak
dengan ayahnya, dapat pula diketahui hubungan kekerabatan ke atas, yaitu kepada ayah atau
ibu dan seterusnya, ke bawah, kepada anak dan seterusnya, dan hubungan kekerabatan ke
samping, kepada saudara beserta keturunannya. Dari hubungan kekerabatan yang demikian,
dapat juga diketahui struktur kekerabatan yang tergolong ahli waris bila seorang meninggal
dunia dan meninggalkan harta warisan.
1. Hubungan Perkawinan (al-musharah)

Hubungan atau pernikahan dijadikan sebagai penyebab hak adanya perkawinan, hal ini
dipetik dan Qur'an surah An-Nisa' (4) : 12, yang intinya menjelaskan tentang hak saling
mewarisi antara orang yang terlibat dalam tali pernikahan yaitu suami- istri.
Syarat suami-istri saling mewarisi di samping keduanya telah melakukan akad nikah secara
sah menurut syariat. Juga antara suami-istri yang berakad nikah itu belum terjadi perceraian
ketika salah seorang dari keduanya meninggal dunia.

5
2. Memerdekakan Budak Atau Hamba Sahaya (al-Wala')
Al-wala' adalah hubungan kewarisan akibat seseorang memerdekakan budak atau hamba
sahaya, atau melalui perjanjian tolong menolong. Untuk yang terahir ini agaknya jarang
dilakukan malahan tidak sama sekali. Adapun al-wala' yang pertama disebut dengan wala ' al-
ataqah atau ushubah sababiyah, dan yang kedua disebut dengan wala' al-muwalah, yaitu wala'
yang timbul akibat kesediaan orang untuk tolong menolong dengan yang lain melalui suatu
perjanjian perwalian.
Adapun bagian orang yang memerdekakan budak atau hamba sahaya adalah 1/6 dari harta
peninggalan. Jika kemudian ada pertanyaan apakah sekarang masih ada hamba sahaya, maka
jawabannya adalah bahwa hapusnya perbudakan merupakan salah satu keberhasilan misi Islam.
Karena memang imbalan warisan kepada al- mufiq atau al-mu 'ttqah salah satu tujuannya
adalah untuk memberikan motivasi kepada siapa saja yang mampu, agar membantu dan
mengembalikan hak-hak hamba menjadi orang yang merdeka.

D. Sebab-Sebab Hilangnya Hak Kewarisan Dalam Islam


Memperoleh hak waris tidak cukup hanya karena adanya penyebab kewarisan, tetapi pada
seseorang itu juga harus tidak ada penyebab yang dapat menghalanginya untuk menerima
warisan. Karena itu orang yang dilihat dari aspek penyebab- penyebab kewarisan sudah
memenuhi syarat untuk menerima warisan, tetapi jika ia dalam keadaan dan atau melakukan
sesuatu yang menyebabkan dia tersingkir sebagai ahli waris. Dalam hukum Islam secara umum
faktor penghalang hak waris terdapat beberapa sebab yaitu:
a. Ahli waris yang membunuh pewaris, tidak berhak mendapatkan warisan dari
keluarga yang dibunuhnya.
b. Ahli waris yang murtad tidak berhak mendapat warisan dari keluarganya yang
beragama Islam, demikian pula sebaliknya.
c. Orang kafir tidak berhak menerima warisan dari keluarga yang beragama Islam.
d. Anak zina

6
E. HAL-HAL YANG MENGHALANGI WARIS

Pada umum hal-hal yang bisa menjadi penghalang mewarisi itu ada tiga macam, yaitu:
a) Pembunuhan.
Pembunuhan adalah sesuatu perbuatan yang mutlak menjadi penghalang waris,
karena adanya dalil yang kuat dari hadis Rasulullah SAW, Yang Artinya:
” Tidak berhak sipembunuh mendapat sesuatupun dari harta warisan (Hadis Riwayat an-
Nasa’i dengan isnad yang sahih)”.
Imam Syafi’i memberikan contoh pembunuhan yang dapat menjadi penghalang
mewarisi sebagai berikut:
1. Hakim yang menjatuhkan hukuman mati, tidak dapat mewarisi harta orang yang telah
dijatuhi hukuman mati.
2. Algojo yang menjalankan tugas membunuh tidak dapat mewarisi harta orang
peninggalan pesakitan yang dibunuhnya.
3. Seseorang yang memberikan persaksian (sumpah) palsu, tidak dapat mewarisi harta
peninggalan orang yang menjadi korban persaksian palsunya.

b) Berbeda Agama.
Adapun yang dimaksudkan dengan berbeda agama adalah agama yang dianut antara
waris dengan muwaris itu berbeda. Sedangkan yang dimaksud dengan berbeda agama dapat
menghalangi kewarisan adalah tidak ada hak saling mewarisi antara seorang muslim dan
kafir (non Islam), orang Islam tidak mewarisi harta orang non Islam demikian juga
sebaliknya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang  Artinya:” Diriwayatkan daripada
Usamah bin Zaid r.a katanya: Nabi s.a.w bersabda: Orang Islam tidak boleh mewarisi
harta orang kafir dan orang kafir tidak boleh mewarisi harta orang Islam. (Hadis Riwayat
an-Nasa’I dengan isnad yang sahih)”

c) Perbudakan.
Secara umum, mayoritas ulama sepakat bahwa seorang budak terhalang menerima
warisan, karena budak (hamba sahaya) secara yuridis tidak cakap dalam melakukan
perbuatan hukum, sedangkan hak kebendaannya dikuasai oleh tuannya. Sehingga ketika
tuannya meninggal, maka seorang budak tidak berhak untuk mewarisi, karena pada
hakekatnya seorang budak juga merupakan “harta” dan sebagai harta maka dengan sendirinya
benda itu bisa diwariskan.

7
d) Berlainan Negara
Perbedaan negara dilihat dari segi ilmu waris adalah perbedaan negara jika telah
memenuhi 3 kriteria sebagai berikut:

a) Angkatan bersenjata yang berbeda, artinya masing-masing di bawah komando yang


berbeda.
b) Kepala negara yang berbeda.
c) Tidak ada ikatan satu dengan yang lainnya, artinya tidak ada kerjasama diplomatik yang
terjalin antar keduanya.

Sedangkan yang menjadi penghalang mewarisi dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), yaitu
beda agama (pasal 171 huruf c dan pasal 172 KHI), membunuh, percobaan pembunuhan,
penganiayaan berat terhadap pewaris dan memfitnah (pasal 173 KHI)

Adapun persoalan agama menjadi sangat esensial sehingga harus ada penegasan bahwa
perbedaan agama akan menghilangkan hak waris, namun hal ini juga tidak kita temukan dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) buku kedua. Sedangkan pewaris dalam ketentuan hukum
kewarisan Islam adalah bergama Islam, maka secara otomatis ahli waris juga beragama Islam.
Sebagaimana Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam (KHI) berbunyi:

“Ahli waris ialah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau
hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk
menjadi ahli waris.”
Dan sebagai indikasi bahwa ahli waris tersebut beragama Islam, telah dijelaskan dalam
pasal 172 KHI yang berbunyi:

“Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari kartu identitas atau
pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang
belum dewasa beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.”

  Sedangkan penghalang mewarisi yang berupa pembunuhan, percobaan pembunuhan,


penganiayaan berat pewaris dan memfitnah telah dijelaskan dalam pasal 173 KHI yang berbunyi:

“Seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:

8
i. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada
pewaris.
ii. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa bahwa pewaris telah
melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman
yang lebih berat.”

9
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kata Logika berasal dari bahasa Yunani Logike dari kata Logos artinya ucapan atau
pengartian. Ucapan berarti yang diucapkan, dilisankan, disebutkan. Ucapan merupakan hasil
proses berpikir. Berpikir artinya menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan

10
memutuskan sesuatu. Kata pengartian berarti proses, cara, perbuatan memberi arti. Logika
dipelajari agar orang yang mempelajarinya memiliki kecerdasan logika dan mampu secara
cerdas menggunakan logikany, membuat daya fikir akal tidak saja menjadi lebih tajam tetapi
juga lebih menjadi berkembang melalui latihan-latihan berfikir dan menganalisis serta
mengungkap permasalahan secara ilmiah, membuat seseorang menjadi mampu meletakkan
sesuatu pada tempatnya dan mengerjakan sesuatu pada waktunya. membuat seseorang mampu
membedakan— ini merupakan manfaat yang paling asasi ilmu mantiq atau logika —antara
pikir yang benar dan oleh karenanya akan menghasilkan kesimpulan yang benar dan urut pikir
yang salah yang dengan sendirinya akan menampilkan kesimpulan yang salah. Sedangan
pembagian logika dapat dikelompokkan menjadi (a) logika makna luas dan logika makna
sempit, (b) logika deduktif dan induktif, (c) logika formal dan logika material, (d) logika
murni dan terapan, (e) logika falsafati dan logika matematik.

B. Saran
Dengan di susunnya makalah ini mengharapkan kepada semua pembaca agar dapat
menelaah dan memahami apa yang telah tertulis dalam makalah ini sehingga sedikit banyak
bisa menambah pengetahuan pembaca. Di samping itu kami juga mengharapkan saran dan
kritik dari para pembaca sehingga kami bisa memperbaiki makalah kami selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Soekadijo, Logika Dasar, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1991


2. Mundiri, Logika, Jakarta: PT. Raja Garfindo Persada, 2001
3. Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta, Bumi Aksara, cet-1, 2005
11
4. Bagus, Lorens, Kanus Filsafat, Jakarta, Gramedia, 2005

12

Anda mungkin juga menyukai