Disusun oleh
Reza ( 11824051)
JURUSAN HUKUM
KELUARGA ISLAM ( HKI
)
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..........................................................................................................................ii
KATA PENGANTAR.............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................1
1.1. Latar Belakang...................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah..............................................................................................1
1.3. Tujuan Penulisan................................................................................................2
BAB 2 PEMBAHASAN.........................................................................................................3
2.1. Pengertian Hukum Waris...................................................................................3
2.2. Sifat Hukum Waris.............................................................................................4
2.3. Macam-macam Hukum Waris............................................................................5
2.3.1. Hukum Waris Eropa (BW).........................................................................6
2.4. Cara Mewaris.....................................................................................................7
2.5. Pewarisan Anak Luar Kawin..............................................................................9
2.6. Kedudukan anak hasil kawin siri dalam keluarga.............................................10
2.7. Hak waris anak hasil kawin siri dengan hak waris saudara kandung kawin
menurut Hukum Indonesia..........................................................................................11
2.6. Penolakan Warisan...........................................................................................15
2.7. Analisis Kasus Hukum Waris Anak Dilaur Nikah............................................16
BAB 3 PENUTUP..............................................................................................................20
3.1. Kesimpulan......................................................................................................20
3.2. Saran................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................22
LAMPIRAN........................................................................................................................23
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Makalah Tentang Hukum Waris” dengan baik meskipun banyak kekurangan
didalamnya. Kami berterima kasih juga kepada para dosen mata kuliah fiqh
mawaris II.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita semua. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa
di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh
sebab itu kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah
yang telah kami buat untuk di masa mendatang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa kritik, saran dan usulan yang membangun agar lebih baik untuk
selanjutnya.
Pontianak,4Agustus2022
Penyusun
iii
BAB I
PENDAHULUAN
iv
5)
v
BAB 2
PEMBAHASAN
vi
3) Pewaris: adalah orang yang memberi pusaka, yakni orang yang
meninggal dunia dan meninggalkan sejumlah harta kekayaan,
pusaka maupun surat wasiat
4) Ahli waris: yaitu sekalian orang yang menjadi waris, berarti orang-
orang berhak menerima harta peninggalan pewaris
5) Mewarisi: yaitu mendapat harta pusaka, biasanya segenap ahli
waris adalah mewarisi harta peninggalan pewarisnya
6) Pewaris: istilah ini mempunyai dua pengertian atau dua makna,
yaitu:
Berarti penerusan atau penunjukkan para waris ketika
pewaris masih hidup, dan
Berarti pembagian harta warisan setelah pewaris
meninggal.
Suatu hal yang perlu diperhatikan, yaitu walaupun terdapat rumusan dan
uraian yang beragam tentang hukum waris, pada umumnya para penulis hukum
sependapat bahwa “hukum waris itu merupakan perangkat kaidah yang mengatur
tentang cara atau proses peralihan harta kekayaan dari pewaris kepada ahli waris
atau para ahli warisnya”.
vii
2) Sistem Matrilineal (Keibuan)
Sistem yang menarik garis keturunan ibu dan seterusnya keatas
mengambil garis keturunan dari nenek moyang perempuan. Contohnya, di
daerah Minangkabau.
3) Sistem Bilateral/Parental (Kebapak-Ibuan)
Sistem yang menarik garis keturunan baik melalui garis bapak maupun
garis ibu sehingga dalam kekeluargaan semacam ini pada hakikatnya tidak
ada perbedaan antara pihak ibu dan pihak ayah. Contohnya, terdapat di
daerah Jawa, Madura, Riau, Aceh, Sumatera Selatan, seluruh Kalimantan,
seluruh Sulawesi, Ternate, dan Lombok.
Sebagai akibat dari keadaan yang dikemukakan diatas, maka hukum waris
yang berlaku di Indonesia ini masih tergantung pada hukum waris mana yang
berlaku bagi yang meninggal dunia. Hukum waris terdiri dari 3 macam, yaitu
Hukum adat, Hukum Islam dan Hukum B.W. Apabila yang meninggal dunia atau
pewaris termasuk golongan penduduk Indonesia maka yang berlaku adalah
hukum waris adat, sedangkan apabila pewaris termasuk golongan Eropa atau
Timur Asing Cina, bagi mereka berlaku hukum waris Barat. Bila pewaris
termasuk golongan penduduk Indonesia yang beragama Islam, maka ia
mempergunakan hukum waris Islam.
viii
2.3.1. Hukum Waris Eropa (BW)
Hukum waris Eropa yang dimuat dalam Burgerlijk
Wetboek (BW) adalah kumpulan peraturan yang mengatur
mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai
pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat
dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik
dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.
c. Golongan III : Kakek dan nenek, atau leluhur dalam garis lurus
terus ke atas, yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal
853, 858 ayat (1) KUHPerdata.
ix
dalam Pasal 858 ayat (2), 861, 832 ayat (2), 862, 863, 864,
856 dan 866 KUHPerdata.
1. 1/3 dari bagian anak sah, apabila anak yang lahir di luar
pernikahan menjadi ahli waris bersama-sama dengan anak
yang sah serta janda atau duda yang hidup paling lama.
2. 1/2 dari bagian anak yang sah, apabila anak yang lahir di luar
pernikahan menjadi ahli waris bersama-sama dengan ahli
waris golongan kedua dan golongan ketiga.
3. 3/4 dari bagian anak sah, apabila anak yang lahir diluar
perkawinan menjadi ahli waris bersama-sama ahli waris
golongan keempat, yaitu sanak keluarga pewaris sampai
derajat keenam.
4. 1/2 dari bagian anak sah, apabila anak yang lahir di luar
perkawinan menjadi ahli waris bersama-sama dengan kakek
atau nenek pewaris, setelah terjadi kloving. Jadi dalam hal
demikian, bagian anak yang lahir diluar pernikahan bukan
3/4 , sebab untuk ahli waris golongan keempat ini sebelum
harta warisan dibagi,terlebih dahulu dibagi dua/kloving
sehingga anak yang lahir diluar nikah akan memperoleh ¼
(seperempat) dari bagian anak sah dari separuh harta warisan
dari garis ayah dan ¼ dari bagian harta warisan anak sah dari
garis ibu sehingga menjadi ½ bagian.
x
menunjukkan urutan pewarisannya, siapa yang berhak mewarisi lebih dahulu.
Dalam hal itu maka undang-undang membedakan antara mewaris sendiri dan
mewaris sebagai pengganti.
xi
2.5. Pewarisan Anak Luar Kawin
Dari pasal 272 B.W. dapat disimpulkan bahwa anak luar kawin yang dapat
diakui adalah anak yang dilahirkan oleh seorang ibu, tetapi yang tidak dibenihkan
oleh seorang pria yang berada dalam ikatan perkawinan sah dengan si ibu anak
tersebut, dan tidak termasuk didalam kelompok anak zinah dan anak-anak
sumbang.
Kalau diantara para ahli waris terdapat anak-anak luar kawin dan kalau
pewarisnya hanya anak luar kawin. Yang disebut pertama adalah hukum waris
aktif dan yang kedua ialah, hukum waris pasif dari anak-anak luar kawin. Dengan
undang-undang no. 10 Juli 1947, pasal-pasal 862 ,870, dan 873 dari bagian ini
dirubah : pasal 867 sampai dengan pasal 869 dihapuskan.
Pasal 862 sampai 866 dan pasal 873 ayat 1 mengatur hak waris aktif dari
anak-anak luar kawin. Pada dasarnya hak anak-anak ini terhadp harta peninggalan
sama dengan keluarga sedarah yang sah. Keluarga luar kawin adalah benar-benar
ahli waris.
Besarnya bagian warisan dari anak-anak luar kawin tergantung dari derajat
hubungan kekeluargaan dari para ahli waris yang sah. Menurut pasal 863, jika
yang meninggal meninggalkan keturunan yang sah atau suami/istri , maka anak-
anak luar kawin akan mewaris sepertiga bagian, yang sedianya mereka harus
mendapat nya andaikata mereka anak-anak yang sah.
xii
Mula-mula harus diperiksa, apa yang akan diwaris oleh anak luar kawin,
kalau ia anak yang sah, untuk menentukan bagiannya ambillah sepertiga.
Mengenai anak-anak yang lahir di luar kawin dan tidak diakui terdapat 2
golongan:
1. Anak-anak yang lahir dalam zinah, yaitu anak yang lahir dari
perhubungan orang lelaki dan orang perempuan, sedangkan salah satu
dari mereka atau kedua-duanya berada didalam perkawinan dengan
orang lain.
2. Anak-anak yang lahir dalam sumbang, yaitu anak yang lahir dari
perhubungan orang lelaki dan orang perempuan, sedangkan di antara
mereka terdapat larangan kawin, karena masih sangat dekat hubungan
kekeluargaannya (pasal 30).
Anak-anak sebagai tersebut diatas memuat pasal 283 tidak dapat diakui.
Mengenai hak waris dari anak-anak ini pasal 867 menentukan, bahwa mereka itu
tidak dapat mewarisi dari orang yang membenihkannya. Mereka hanya bisa dapat
nafkah untuk hidup.
Syarat agar anak luar kawin dapat mewaris adalah bahwa anak luar kawin
tersebut harus diakui dengan sah, karena menurut sistem B.W. asasnya adalah,
bahwa hanya mereka-mereka yang mempunyai hubungan hukum dengan si
pewaris sajalah, yang mempunyai hak waris menurut Undang-Undang. Hubungan
tersebut justru lahir karena pengakuan, tetap diperlukan suatu pengakuan untuk
menciptakan hubungan keperdataan antara seorang anak luar kawin dengan orang
tuanya.
xiii
anak zinah, anak sumbang dan anak luar kawin (juga disebut anak luar
kawin dalam pengertian sempit).
2.7. Hak waris anak hasil kawin siri dengan hak waris saudara kandung
kawin menurut Hukum Indonesia.
Berpedoman pada kedudukan anak hasil perkawinan siri yang
dinyatakan tidak mempunyai hubungan perdata dengan ayah dan ibunya,
tentu saja membawa konsekuensi bahwa anak tersebut juga tidak memiliki
hak waris atas harta peninggalan ayah dan ibunya.
xiv
Tanpa adanya pencatatan tersebut, maka anak yang lahir dari
pernikahan siri hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya atau
keluarga ibunya. Pasal 42 UUP menyebutkan bahwa “Anak yang sah
adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang
sah”, dan Pasal 43 ayat (1)UUP menyebutkan “Anak yang dilahirkan di
luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya.”Ini juga dikuatkan dengan ketentuan KHI mengenai
waris yaitu Pasal 186 yang berbunyi ”Anak yang lahir di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga
dari pihak ibunya.” Oleh karena itu, dia hanya mewaris dari ibunya saja.
Untuk anak luar kawin yang tidak sempat diakui atau tidak pernah
diakui oleh Pewaris (dalam hal ini ayahnya), berdasarkan Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 yang menguji Pasal 43 ayat
(1) UUP, sehingga pasal tersebut harus dibaca: “Anak yang dilahirkan di
luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat
bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk
hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.
xv
pembuktian adanya hubungan hukum dari anak hasil perkawinan siri
tersebut tidak menyebabkan dia dapat mewaris dari ayah kandungnya.
Jika Anak Luar Kawin belum diakui oleh keduanya atau salah
satunya anak tersebut tidak ada hubungan perdata dengan orang tuanya itu
dan tanpa hubungan perdata (tidak ada hubungan perdata (tidak ada
pertalian keluarga) maka tidak ada pula hubungan pewarisan antara
mereka.
xvi
jika orang tuanya tidak meninggalkan keluarga yang termasuk
dalam keempat-empat kelas ahli waris sah.
Hak waris anak luar kawin yang diakui sah diatur dalam pasal 862
sampai diatur dalam pasal 862 sampai dengan pasal 873.
xvii
Pasal 863 KUH Perdata menyebutkan : “Jika pewaris tidak
meninggalkan keturunan, suami atau istri, dan ayah atau ibu, akan tetapi
meninggalkan keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas, baik dari garis
ayah maupun ibu (kakek atau nenek), maka anak luar kawin menerima ½
bagian dari warisan.
Pasal 863 ayat KUH Perdata menentukan : “Jika hanya ada sanak
saudara dalam derajat lebih jauh (paman atau bibi dan keturunanya) maka
anak luar kawin mendapat ¾ bagian dari warisan.
Akibat penolakan warisan diatur dalam pasal 1058, 1059, dan 1060.
Pasal 1058: “si waris yang menolak warisannya, dianggap tidak pernah
telah menjadi waris”
Pasal 1059: “Bagian warisan seorang yang menolak jatuh kepada mereka
yang sedianya berhak atas bagian itu, seandainya si yang menolak itu
tidak hidup pada waktu meninggalnya orang yang mewariskan”
xviii
Pasal 1060: “Siapa yang telah menolak suatu warisan, tidak sekali-kali
dapat diwakili dengan cara pergantian; jika ia satu-satunya waris didalam
derajatnya ataupun jika kesemuanya waris menolak, maka sekalian anak-
anak tampil ke muka atas dasar kedudukan mereka sendiri dan mewaris
untuk bagian yang sama”
Kronologi Kasus
xix
Itulah sebabnya, Machica menuntut ke pengadilan Mahkamah
Konstitusi untuk pengesahan pernikahan mereka dan menuntut judisial
review ke MK. Machica menguji pasal 2 ayat 2 dan pasal 43 ayat 1 dalam
UU 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Penyelesaian Kasus
Machica dinikahi Moerdiono secara siri pada tahun 1993 yang
dikaruniai seorang anak bernama Muhammad Iqbal Ramadhan. Kala itu,
Moerdiono masih terikat perkawinan dengan istrinya. Lantaran UU
Perkawinan menganut asas monogami mengakibatkan perkawinan
Machica dan Moerdiono tak bisa dicatatkan KUA.
xx
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan
darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.
xxi
Diputuskan Iqbal sebagai anak di luar kawin dengan pertimbangan
hak asasi anak bahwa anak juga harus mengetahui orangtuanya. Namun di
mata hukum, Iqbal tetap tidak mempunyai hubungan perdata dengan
Moerdiono, karena tidak ada pengakuan dari pihak keluarga. Dampak dari
putusan ini, Iqbal tidak bisa dimasukkan sebagai daftar ahli waris mantan
Menteri Sekretaris Negara di masa orde baru itu..
Jadi, Iqbal tidak bisa menjadi ahli waris Moerdiono, karena syarat
agar anak luar kawin dapat mewaris adalah bahwa anak luar kawin
tersebut harus diakui dengan sah, karena menurut sistem B.W. asasnya
adalah, bahwa hanya mereka-mereka yang mempunyai hubungan hukum
dengan si pewaris sajalah, yang mempunyai hak waris menurut Undang-
Undang. Hubungan tersebut justru lahir karena pengakuan. Sementara itu,
keluarga Moerdiono sama sekali tidak mengakui bahwa Iqbal adalah anak
dari Moerdiono. dan pada akhirnya Iqbal hanya memiliki hubungan
perdata dengan ibu dan keluarga ibu nya.
xxii
BAB 3
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas, maka
diakuinya anak luar kawin (hasil biologis) sebagai anak yang sah berarti akan
mempunyai hubungan waris dengan bapak biologisnya tanpa harus didahului
dengan pengakuan dan pengesahan, dengan syarat dapat dibuktikan adanya
hubungan biologis antara anak dan bapak biologis berdasarkan ilmu pengetahuan,
misalnya melalui hasil tes DNA. Namun demikian, apabila ada penyangkalan
mengenai anak luar kawin ini dari anak-anak ahli waris yang sah, maka menurut
kami dalam hal ini tetap perlu dimohonkan Penetapan Pengadilan mengenai status
anak luar kawin tersebut sebagai ahli waris yang sah.
xxiii
Pada akhirnya Iqbal hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga
ibu nya.
Sesuai dengan Pasal 42 UUP menyebutkan bahwa “Anak yang sah adalah
anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”, dan Pasal
43 ayat (1)UUP menyebutkan “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.”
3.2. Saran
Mengharapkan pemerintah dengan putusan MK tersebut membuat
sinkronisasi hukum dan peraturan perundang undangan yang berkaitan dengan
perkawinan dan hak waris menurut agama dan kepercayaannya sehingga tidak
menimbulkan pendapat/ opini yang tumpang tindih yang menimbulkan banyak
masalah baru dan diharapkan penegakkan hukum serta rasa keadilan dimasyarakat
dapat terwujud.
xxiv
DAFTAR PUSTAKA
xxv
LAMPIRAN
xxvi
Pihak Moerdiono Puas Atas Vonis Kasus Machica Mochtar
Machica Mochtar
xxvii
"Kami puas yah. Statusnya anak sesuai bunyi undang-undang tentang perkawinan
sebelum putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Itu memang yang kami upayakan.
Yang di sini, Iqbal tidak diakui untuk mempunyai hubungan keperdataan dengan
Moerdiono, keluarga dan tidak mewarisi," tutur Kartika Yosodiningrat di PA
Jakarta Selatan, Rabu (24/4).
Meski begitu Iqbal sudah memiliki kejelasan siapa ayah kandungnya. Jadi
diputuskan bahwa Iqbal adalah hasil sah perkawinan secara Islam dan tidak
dicatatkan antara Moerdiono dan Machica.
"Iqbal sebagai anak di luar kawin. Dengan pertimbangan hak asasi anak, bahwa
anak juga harus mengetahui siapa orang tuanya," tegasnya.
Alhasil, hubungan perdata, salah satunya adalah hak waris Iqbal tetap kepada
ibunya. "Anak di luar kawin hanya berhubungan perdata dengan ibunya. Sesuai
dengan UU tentang perkawinan dahulu. Kalau putusan MK kan harus mempunyai
hubungan keperdataan dengan bapak dan keluarganya. Jadi status Iqbal masih
sesuai dengan status anak di luar kawin yang sesuai dengan undang-undang
lama," pungkasnya.(kpl/ato/abs/dar)
xxviii
Sumber: http://www.kapanlagi.com/showbiz/selebriti/pihak-moerdiono-puas-atas-
vonis-kasus-machica-mochtar-da7648.html
xxix