Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

ANALISIS KASUS HUKUM WARIS DI INDONESIA

Untuk memenuhi tugas : Fiqh Mawaris II

Dosen Pengampu : Ya’Raka Muyassara, SH, MH.

Disusun oleh

Reza ( 11824051)

JURUSAN HUKUM
KELUARGA ISLAM ( HKI
)

FAKULTAS SYARIAH ( FASYA )

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI ( IAIN ) PONTIANAK

TAHUN AKADEMIK 2021/2022

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..........................................................................................................................ii
KATA PENGANTAR.............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................1
1.1. Latar Belakang...................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah..............................................................................................1
1.3. Tujuan Penulisan................................................................................................2
BAB 2 PEMBAHASAN.........................................................................................................3
2.1. Pengertian Hukum Waris...................................................................................3
2.2. Sifat Hukum Waris.............................................................................................4
2.3. Macam-macam Hukum Waris............................................................................5
2.3.1. Hukum Waris Eropa (BW).........................................................................6
2.4. Cara Mewaris.....................................................................................................7
2.5. Pewarisan Anak Luar Kawin..............................................................................9
2.6. Kedudukan anak hasil kawin siri dalam keluarga.............................................10
2.7. Hak waris anak hasil kawin siri dengan hak waris saudara kandung kawin
menurut Hukum Indonesia..........................................................................................11
2.6. Penolakan Warisan...........................................................................................15
2.7. Analisis Kasus Hukum Waris Anak Dilaur Nikah............................................16
BAB 3 PENUTUP..............................................................................................................20
3.1. Kesimpulan......................................................................................................20
3.2. Saran................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................22
LAMPIRAN........................................................................................................................23

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Makalah Tentang Hukum Waris” dengan baik meskipun banyak kekurangan
didalamnya. Kami berterima kasih juga kepada para dosen mata kuliah fiqh
mawaris II.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita semua. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa
di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh
sebab itu kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah
yang telah kami buat untuk di masa mendatang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa kritik, saran dan usulan yang membangun agar lebih baik untuk
selanjutnya.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang


membacanya. Sekiranya tulisan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami
sendiri, maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan
saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Pontianak,4Agustus2022

Penyusun

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara
keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum
waris erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap
manusia akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian
mengakibatkan masalah bagaimana penyelesaian hak-hak dan kewajiban.
Sebagaimana telah diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) buku kedua tentang kebendaan dan juga dalam hukum waris Islam,
dan juga hukum waris adat.

Pada prinsipnya kewarisan adalah langkah-langkah penerusan dan


pengoperaan harta peninggalan baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud
dari seorang pewaris kepada ahli warisnya. maksudnya dari pewaris ke ahli
warisnya. Akan tetapi di dalam kenyataannya prose serta langkah-langkah
pengalihan tersebut bervariasi, dalam hal ini baik dalam hal hibah, hadiah dan
hibah wasiat, ataupun permasalahn lainnya.

1.2. Rumusan Masalah


Pokok-pokok masalah yang akan dianalisis dalam makalah ini adalah:

1) Pengertian hukum waris


2) Teori hukum waris
3) Pewarisan anak luar kawin
4) Analisis kasus tentang hukum waris anak luar kawin

1.3. Tujuan Penulisan


1) Menyelesaikan tugas makalah yang diberikan oleh dosen fiqh
waris II
2) Memperoleh pengetahuan akan hukum waris di Indonesia
3) Dapat memahami seberapa penting dasar-dasar hukum waris
4) Menganalisis kasus yang berkaitan dengan hukum waris

iv
5)

v
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Hukum Waris


Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara
keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum
waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia sebab setiap
manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian.
Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan
yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli
warisnya. Akibat hukum yang selanjutnya timbul dengan terjadinya peristiwa
hukum kematian seseorang diantaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan
kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu.
Penyelesaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai akibat meninggalnya
seseorang, diatur oleh hukum waris. Untuk pengertian hukum “waris” sampai saat
ini baik para ahli hukum Indonesia maupun di dalam kepustakaan ilmu hukum
Indonesia, belum terdapat keseragaman pengertian sehingga istilah hukum waris
masih beraneka ragam. Misalnya, Wirjono Prodjodikoro, mempergunakan istilah
hukum “warisan”. Hazairin, mempergunakan istilah hukum “kewarisan” dan
Soepomo mengemukakan istilah “hukum waris”.

Dengan istilah hukum waris diatas, terdapat suatu pengertian yang


mencakup kaidah-kaidah dan azas-azas yang mengatur proses beralihnya harta
benda dan hak-hak serta kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia.
Dibawah ini akan diuraikan beberapa pengertian istilah dalam hukum waris
menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, yaitu:

1) Waris: berarti orang yang berhak menerima peninggalan orang


yang telah meninggal
2) Warisan: berarti harta peninggalan, pusaka, dan surat wasiat

vi
3) Pewaris: adalah orang yang memberi pusaka, yakni orang yang
meninggal dunia dan meninggalkan sejumlah harta kekayaan,
pusaka maupun surat wasiat
4) Ahli waris: yaitu sekalian orang yang menjadi waris, berarti orang-
orang berhak menerima harta peninggalan pewaris
5) Mewarisi: yaitu mendapat harta pusaka, biasanya segenap ahli
waris adalah mewarisi harta peninggalan pewarisnya
6) Pewaris: istilah ini mempunyai dua pengertian atau dua makna,
yaitu:
 Berarti penerusan atau penunjukkan para waris ketika
pewaris masih hidup, dan
 Berarti pembagian harta warisan setelah pewaris
meninggal.

Suatu hal yang perlu diperhatikan, yaitu walaupun terdapat rumusan dan
uraian yang beragam tentang hukum waris, pada umumnya para penulis hukum
sependapat bahwa “hukum waris itu merupakan perangkat kaidah yang mengatur
tentang cara atau proses peralihan harta kekayaan dari pewaris kepada ahli waris
atau para ahli warisnya”.

2.2. Sifat Hukum Waris


Bentuk dan sistem hukum waris sangat erat kaitannya dengan bentuk
masyarakat dan sifat kekeluargaan. Sedankan sistem kekeluargaan pada
masyarakat Indonesia, berpokok pangkal pada sistem menarik garis keturunan.
Selanjutnya untuk mengetahui dan menguraikan perihal hukum waris di
Indonesia, terlebih dahulu perlu diketahui bentuk masyarakat dan sifat
kekeluargaan yang terdapat di Indonesia menurut sistem keturunan, yaitu :

1) Sistem Patrilineal (Kebapakan)


Sistem yang menarik garis keturunan ayah atau garis keturunan nenek
moyangnya yang laki-laki. Contohnya masyarakat di Tanah Gayo, Alas,
Batak, Ambon, Irian Jaya, Timor dan Bali.

vii
2) Sistem Matrilineal (Keibuan)
Sistem yang menarik garis keturunan ibu dan seterusnya keatas
mengambil garis keturunan dari nenek moyang perempuan. Contohnya, di
daerah Minangkabau.
3) Sistem Bilateral/Parental (Kebapak-Ibuan)
Sistem yang menarik garis keturunan baik melalui garis bapak maupun
garis ibu sehingga dalam kekeluargaan semacam ini pada hakikatnya tidak
ada perbedaan antara pihak ibu dan pihak ayah. Contohnya, terdapat di
daerah Jawa, Madura, Riau, Aceh, Sumatera Selatan, seluruh Kalimantan,
seluruh Sulawesi, Ternate, dan Lombok.

2.3. Macam-macam Hukum Waris


Di Indonesia dimana Undang Undang merupakan cara pengaturan hukum
yang utama pembaharuan masyarakat dengan jalan hukum berarti pembaharuan
hukum terutama melalui perundang-undangan. Hukum waris sebagai salah satu
bidang hukum yang berada di luar bidang yang bersifat netral kiranya sulit untuk
diperbarui dengan jalan perundang-undangan atau kodifikasi guna mencapai suatu
unifikasi hukum sebab senantiasa mendapat kesulitan untuk membuat hukum
waris yang sesuai dengan kebutuhan dan kesadaran masayarakat, mengingar
beraneka ragamnya corak budaya, agama, social, dan adat istiadat serta sistem
kekeluargaan dalam masyarakat Indonesia.

Sebagai akibat dari keadaan yang dikemukakan diatas, maka hukum waris
yang berlaku di Indonesia ini masih tergantung pada hukum waris mana yang
berlaku bagi yang meninggal dunia. Hukum waris terdiri dari 3 macam, yaitu
Hukum adat, Hukum Islam dan Hukum B.W. Apabila yang meninggal dunia atau
pewaris termasuk golongan penduduk Indonesia maka yang berlaku adalah
hukum waris adat, sedangkan apabila pewaris termasuk golongan Eropa atau
Timur Asing Cina, bagi mereka berlaku hukum waris Barat. Bila pewaris
termasuk golongan penduduk Indonesia yang beragama Islam, maka ia
mempergunakan hukum waris Islam.

viii
2.3.1. Hukum Waris Eropa (BW)
Hukum waris Eropa yang dimuat dalam Burgerlijk
Wetboek (BW) adalah kumpulan peraturan yang mengatur
mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai
pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat
dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik
dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.

Hukum waris menurut BW berlaku asas: “apabila


seseorang meninggal dunia, maka seketika itu juga segala hak dan
kewajibannya beralih kepada sekalian ahli warisnya”. Hak-hak dna
kewajiban yang dimaksud, yang beralih kepada ahli waris adalah
termasuk ruang lingkup harta kekayaan atau hanya hak dan
kewajiban yang dapat dinilai dengan uang.

Menurut KUHPerdata/ BW, ahli waris yang berhak


mewaris dapat dibagi menjadi 4 (empat) golongan, yaitu :

a. Golongan I : Anak, atau keturunannya dan janda/duda, yang


jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal 852, 852a, 852b,
dan 515 KUHPerdata.

b. Golongan II : Orang tua (bapak/ibu), saudara-saudara atau


keturunannya, yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam
pasal 854, 855, 856, dan 857 KUHPerdata.

c. Golongan III : Kakek dan nenek, atau leluhur dalam garis lurus
terus ke atas, yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal
853, 858 ayat (1) KUHPerdata.

d. Golongan IV : Sanak keluarga di dalam garis menyamping


sampai tingkat ke-6 yang jumlah bagiannya ditetapkan di

ix
dalam Pasal 858 ayat (2), 861, 832 ayat (2), 862, 863, 864,
856 dan 866 KUHPerdata.

Peraturan perundang-undangan di BW telah menetapkan


keluarga yang berhak menjadi ahli waris, serta porsi pembagian
harta warisannya. Bagian harta warisan untuk anak yang lahir di
luar perkawinan antara lain diatur sebagai berikut:

1. 1/3 dari bagian anak sah, apabila anak yang lahir di luar
pernikahan menjadi ahli waris bersama-sama dengan anak
yang sah serta janda atau duda yang hidup paling lama.

2. 1/2 dari bagian anak yang sah, apabila anak yang lahir di luar
pernikahan menjadi ahli waris bersama-sama dengan ahli
waris golongan kedua dan golongan ketiga.

3. 3/4 dari bagian anak sah, apabila anak yang lahir diluar
perkawinan menjadi ahli waris bersama-sama ahli waris
golongan keempat, yaitu sanak keluarga pewaris sampai
derajat keenam.

4. 1/2 dari bagian anak sah, apabila anak yang lahir di luar
perkawinan menjadi ahli waris bersama-sama dengan kakek
atau nenek pewaris, setelah terjadi kloving. Jadi dalam hal
demikian, bagian anak yang lahir diluar pernikahan bukan
3/4 , sebab untuk ahli waris golongan keempat ini sebelum
harta warisan dibagi,terlebih dahulu dibagi dua/kloving
sehingga anak yang lahir diluar nikah akan memperoleh ¼
(seperempat) dari bagian anak sah dari separuh harta warisan
dari garis ayah dan ¼ dari bagian harta warisan anak sah dari
garis ibu sehingga menjadi ½ bagian.

2.4. Cara Mewaris


Pewarisan berdasarkan Undang Undang (B.W.) terutama didasarkan
kekeluargaan sedarah, antara si pewaris dan ahliwaris. Undang-undang

x
menunjukkan urutan pewarisannya, siapa yang berhak mewarisi lebih dahulu.
Dalam hal itu maka undang-undang membedakan antara mewaris sendiri dan
mewaris sebagai pengganti.

Orang dikatakan mewaris sendiri apabila ia mewaris berdasarkan


tempatnya diantara keluarga sedarah dari si pewaris. Apabila yang mewaris itu
hanyalah keluarga sedarah yang terdekat, maka hal ini akan menimbulkan
ketidakadilan. Apabila misalnya si pewaris meninggalkan 3 anak laki-laki, maka 3
anak ini yang membagi warisannya. Akan tetapi apabila salah seorang diantara
mereka telah meninggal dunia lebih dahulu, maka anak mereka tidak akan ikut
mewaris oleh karena paman-paman mereka, kekeluargaan sedarahnya, lebih dekat
dari mereka. Untuk menghindari ketidakadilan demikian itu, maka dalam keadaan
tertentu undang-undang membolehkan mewaris: sebagai pengganti.

Supaya dapat ada “plaatsvervulling” (penggantian tempat) maka harus


dipenuhi 3 syarat:

1. Orang yang tempatnya diganti harus sudah meninggal (847 B.W.).


oleh karena itu apabila seseorang aygn semestinya berhak mewaris
adalah “onwaardig” (tidak pantas mewaris), maka anak-anaknya tidak
dapat mewaris sebagai penggantinya. Akan tetapi hal itu tidak berarti
bahwa mereka tidak dapat mewaris sendiri, jika tidak ada keluarga
sedarah yang lebih dekat.
2. Orang yang menggantikan tempat orang lain, haruslah keturunan sah
dari orang yang tempatnya digantikan. Jadi seorang anak luar kawin
tidak dapat menggantikan tempat ayah atau ibunya sebagai pewaris,
karena antara anak itu dan keluarga sedarah dari ayah dan ibunya,
tidak ada hubungan keluarga sedarah, meskipun anak itu diakui, oleh
karena syarat untuk “plaatsvervulling” adalah adanya hubungan
keluarga sedarah yang sah.
3. Orang yang menggantikan tempat orang lain sebagai pewaris, harus
juga sendiri memenuhi syarat umum, untuk dapat mewaris dari si
pewaris. Artinya ia harus ada pada saat si pewaris meningga dunia dan
ia tidak boleh onwaarding (tidak pantas untuk mewaris).

xi
2.5. Pewarisan Anak Luar Kawin
Dari pasal 272 B.W. dapat disimpulkan bahwa anak luar kawin yang dapat
diakui adalah anak yang dilahirkan oleh seorang ibu, tetapi yang tidak dibenihkan
oleh seorang pria yang berada dalam ikatan perkawinan sah dengan si ibu anak
tersebut, dan tidak termasuk didalam kelompok anak zinah dan anak-anak
sumbang.

Kalau diantara para ahli waris terdapat anak-anak luar kawin dan kalau
pewarisnya hanya anak luar kawin. Yang disebut pertama adalah hukum waris
aktif dan yang kedua ialah, hukum waris pasif dari anak-anak luar kawin. Dengan
undang-undang no. 10 Juli 1947, pasal-pasal 862 ,870, dan 873 dari bagian ini
dirubah : pasal 867 sampai dengan pasal 869 dihapuskan.

Yang dimaksud dalam undang-undang dalam bagian ini dengan anak-anak


luar kawin ialah yang diakui sah oleh orang tuanya. Kalau dia tidak diakui oleh
ayahnya, maka ia sama sekali tidak berhak atas harta peninggalan, hanya dalam
pengakuanlah , menurut pasal 281 timbul hubungan perdata antara anak itu
dengan ayahnya.

Apakah pengakuan itu terjadi secara sukarela atau terpaksa, pada


umumnya tidak menjadi soal dalam pewarisan.

Hak Waris Aktif

Pasal 862 sampai 866 dan pasal 873 ayat 1 mengatur hak waris aktif dari
anak-anak luar kawin. Pada dasarnya hak anak-anak ini terhadp harta peninggalan
sama dengan keluarga sedarah yang sah. Keluarga luar kawin adalah benar-benar
ahli waris.
Besarnya bagian warisan dari anak-anak luar kawin tergantung dari derajat
hubungan kekeluargaan dari para ahli waris yang sah. Menurut pasal 863, jika
yang meninggal meninggalkan keturunan yang sah atau suami/istri , maka anak-
anak luar kawin akan mewaris sepertiga bagian, yang sedianya mereka harus
mendapat nya andaikata mereka anak-anak yang sah.

xii
Mula-mula harus diperiksa, apa yang akan diwaris oleh anak luar kawin,
kalau ia anak yang sah, untuk menentukan bagiannya ambillah sepertiga.

Mengenai anak-anak yang lahir di luar kawin dan tidak diakui terdapat 2
golongan:

1. Anak-anak yang lahir dalam zinah, yaitu anak yang lahir dari
perhubungan orang lelaki dan orang perempuan, sedangkan salah satu
dari mereka atau kedua-duanya berada didalam perkawinan dengan
orang lain.
2. Anak-anak yang lahir dalam sumbang, yaitu anak yang lahir dari
perhubungan orang lelaki dan orang perempuan, sedangkan di antara
mereka terdapat larangan kawin, karena masih sangat dekat hubungan
kekeluargaannya (pasal 30).

Anak-anak sebagai tersebut diatas memuat pasal 283 tidak dapat diakui.
Mengenai hak waris dari anak-anak ini pasal 867 menentukan, bahwa mereka itu
tidak dapat mewarisi dari orang yang membenihkannya. Mereka hanya bisa dapat
nafkah untuk hidup.

Syarat agar anak luar kawin dapat mewaris adalah bahwa anak luar kawin
tersebut harus diakui dengan sah, karena menurut sistem B.W. asasnya adalah,
bahwa hanya mereka-mereka yang mempunyai hubungan hukum dengan si
pewaris sajalah, yang mempunyai hak waris menurut Undang-Undang. Hubungan
tersebut justru lahir karena pengakuan, tetap diperlukan suatu pengakuan untuk
menciptakan hubungan keperdataan antara seorang anak luar kawin dengan orang
tuanya.

2.6. Kedudukan anak hasil kawin siri dalam keluarga


Karena perkawinan siri merupakan perkawinan yang tidak sah,
maka anak yang dihasilkan dari perkawinan siri juga disebut sebagai anak
tidak sah. Untuk anak tidak sah seringkali juga dipakai istilah anak luar
kawin dalam arti luas. Anak tidak sah di dalam doktrin dibedakan antara

xiii
anak zinah, anak sumbang dan anak luar kawin (juga disebut anak luar
kawin dalam pengertian sempit).

Anak hasil perkawinan siri termasuk dalam golongan anak luar


kawin dalam pengertian sempit, yaitu anak yang dilahirkan dari hasil
hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang keduanya
tidak terikat dalam perkawinan yang sah dan tidak ada larangan untuk
saling menikahi.

Mendasarkan pada ketentuan Pasal 280 KUH Perdata, yang


menyatakan bahwa “dengan pengakuan yang dilakukan terhadap seorang
anak luar kawin timbulah hubungan perdata antara anak dan bapak atau
ibunya”, maka dapat dikatakan bahwa antara anak luar kawin dengan ayah
dan ibunya pada asasnya tidak ada hubungan hukum, dan hubungan
hukum tersebut baru ada kalau ayah dan atau ibunya memberikan
pengakuan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedudukan anak hasil


perkawinan siri dalam keluarga adalah tidak mempunyai hubungan hukum
dengan ayah dan ibunya.

2.7. Hak waris anak hasil kawin siri dengan hak waris saudara kandung
kawin menurut Hukum Indonesia.
Berpedoman pada kedudukan anak hasil perkawinan siri yang
dinyatakan tidak mempunyai hubungan perdata dengan ayah dan ibunya,
tentu saja membawa konsekuensi bahwa anak tersebut juga tidak memiliki
hak waris atas harta peninggalan ayah dan ibunya.

Kepastian hukum untuk para pasangan yang melakukan nikah siri


sedianya memang belum didapati secara penuh dikarenakan pernikahan ini
dikatakan merugikan pihak wanita ke depannya. Selain anak tidak dapat
memiliki akte lahir karena tidak tercantumnya nama ayah, wanita yang
berpisah dari pasangannya kelak tidak akan mendapatkan hak waris untuk
anaknya.

xiv
Tanpa adanya pencatatan tersebut, maka anak yang lahir dari
pernikahan siri hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya atau
keluarga ibunya. Pasal 42 UUP menyebutkan bahwa “Anak yang sah
adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang
sah”, dan Pasal 43 ayat (1)UUP menyebutkan “Anak yang dilahirkan di
luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya.”Ini juga dikuatkan dengan ketentuan KHI mengenai
waris yaitu Pasal 186 yang berbunyi ”Anak yang lahir di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga
dari pihak ibunya.” Oleh karena itu, dia hanya mewaris dari ibunya saja.

Jika berdasarkan Pasal 863 – Pasal 873 KUHPerdata, maka anak


luar kawin yang berhak mendapatkan warisan dari ayahnya adalah anak
luar kawin yang diakui oleh ayahnya (Pewaris) atau anak luar kawin yang
disahkan pada waktu dilangsungkannya perkawinan antara kedua orang
tuanya.

Untuk anak luar kawin yang tidak sempat diakui atau tidak pernah
diakui oleh Pewaris (dalam hal ini ayahnya), berdasarkan Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 yang menguji Pasal 43 ayat
(1) UUP, sehingga pasal tersebut harus dibaca: “Anak yang dilahirkan di
luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat
bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk
hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.

Jadi anak luar kawin tersebut dapat membuktikan dirinya sebagai


anak kandung dari pewaris. Namun demikian, jika mengacu pada Pasal
285 KUHP perdata yang menyatakan bahwa apabila terjadi pengakuan
dari ayahnya, sehingga menimbulkan hubungan hukum antara pewaris
dengan anak luar kawinnya tersebut, maka pengakuan anak luar kawin
tersebut tidak boleh merugikan pihak istri dan anak-anak kandung pewaris.
Artinya, anak luar kawin tersebut dianggap tidak ada. Oleh karena itu,

xv
pembuktian adanya hubungan hukum dari anak hasil perkawinan siri
tersebut tidak menyebabkan dia dapat mewaris dari ayah kandungnya.

Masalah-masalah yang timbul dalam pembagian harta warisan dan


pemecahannya

Disebutkan di atas, bahwa anak hasil perkawinan siri tidak


memiliki hak waris atas harta peninggalan ayah dan ibunya. Untuk
memecahkan masalah tersebut, usaha yang dapat dilakukan adalah dengan
melakukan pengakuan terhadap anak tersebut, baik melalui pengakuan
sukarela maupun melalui pengakuan terpaksa.

Anak luar kawin hanya mempunyai hak waris terhadap warisan


ayah/ibunya sepanjang ayah/ibunya sepanjang ayah ibunya telah
mengakuinya dengan sah.

Jika Anak Luar Kawin belum diakui oleh keduanya atau salah
satunya anak tersebut tidak ada hubungan perdata dengan orang tuanya itu
dan tanpa hubungan perdata (tidak ada hubungan perdata (tidak ada
pertalian keluarga) maka tidak ada pula hubungan pewarisan antara
mereka.

Meskipun anak luar kawin mempunyai hak waris terhadap orang


tuanya hak warisannya itu sangat “inferior sifatnya jika dibandingkan
dengan hak waris anak-anak sah karena :

1. Ia tidak mempunyai hak waris tersendiri, dalam arti kata


terhadap warisan orang tuanya itu ia tidak mungkin mewaris
sendirian sepanjang orang tuanya masih mempunyai keluarga
sedarah dalam batas derajat yang boleh mewaris yaitu enam
derajat.

2. Ia selalu “membonceng” pada salah satu kelas ahli waris sah


yang empat. ALK itu hanya mempunyai hak waris tersendiri

xvi
jika orang tuanya tidak meninggalkan keluarga yang termasuk
dalam keempat-empat kelas ahli waris sah.

3. Porsi atau bahagian yang diterimanya adalah lebih kecil dari


porsi yang akan diterimanya sekiranya ia adalah anak sah.
Besar kecilnya porsi itu bukan saja ditentukan oleh berapa saja
ditentukan oleh berapa orang temannya yang mewaris, akan
tetapi juga dan terutama sekali oleh kenyataan ahliwaris kelas
berapa temannya mewaris itu.

Hak waris anak luar kawin yang diakui sah diatur dalam pasal 862
sampai diatur dalam pasal 862 sampai dengan pasal 873.

Berikut ini penjelasan mengenai bagian yang diterima oleh anak


luar kawin yang diakui dan yang mewaris dengan Golongan I,II,III, dan
IV.

1. Anak luar kawin yang diakui mewaris bersama Golongan


Pertama

Diatur dalam Pasal 863 KUHPerdata: “Jika pewaris meninggal


dengan meninggalkan keturunan yang sah dan meninggalkan suami atau
istri, maka anak luar kawin yang diakui mewaris 1/3 bagian dari bagian
mereka yang sedianya harus mendapat, seandainya mereka adalah anak
sah”.

2. Anak Luar Kawin mewaris bersama ahli waris Golongan II

Pasal 863 KUH Perdata menentukan: “Jika pewaris tidak


meninggalkan keturunan, suami maupun istri akan tetapi meninggalkan
keluarga sedarah dalam garis ke atas (ayah atau ibu) ataupun saudara laki-
laki maupun perempuan atau keturunan saudara, maka mereka menerima
½ dari warisan. Namun, jika hanya terdapat saudara dalam derajat yang
lebih jauh, maka anak-anak yang diakui tersebut mendapat ¾”.

3. Anak luar kawin mewaris bersama Golongan III

xvii
Pasal 863 KUH Perdata menyebutkan : “Jika pewaris tidak
meninggalkan keturunan, suami atau istri, dan ayah atau ibu, akan tetapi
meninggalkan keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas, baik dari garis
ayah maupun ibu (kakek atau nenek), maka anak luar kawin menerima ½
bagian dari warisan.

4. Anak luar kawin mewaris bersama dengan ahli waris Golongan


IV

Pasal 863 ayat KUH Perdata menentukan : “Jika hanya ada sanak
saudara dalam derajat lebih jauh (paman atau bibi dan keturunanya) maka
anak luar kawin mendapat ¾ bagian dari warisan.

Pasal 863 ayat (2) KUH Perdata menentukan bahwa kemungkinan


adanya anak luar kawin yang mewaris bersama-sama dengan anggota
keluarga yang berhubungan darah dalam perderajatan yang berlainan.
Kemungkinan itu terjadi dalam hal terjadi kloving, dimana masing-masing
bagian dalam kloving diperlakukan seakan-akan suatu warisan yang
berdiri sendiri. Dalam Pasal 863 ayat (2) KUH Perdata dihitung dengan
melihat kelurga yang terdekat hubungan perderajatannya dengan pewaris.

2.6. Penolakan Warisan


Ahli waris yang menolak warisan berarti melepaskan
pertanggungawabannya sbagai ahli waris dqan menyatakan tidak
menerima pembagian harta peninggalan.

Akibat penolakan warisan diatur dalam pasal 1058, 1059, dan 1060.

Pasal 1058: “si waris yang menolak warisannya, dianggap tidak pernah
telah menjadi waris”

Pasal 1059: “Bagian warisan seorang yang menolak jatuh kepada mereka
yang sedianya berhak atas bagian itu, seandainya si yang menolak itu
tidak hidup pada waktu meninggalnya orang yang mewariskan”

xviii
Pasal 1060: “Siapa yang telah menolak suatu warisan, tidak sekali-kali
dapat diwakili dengan cara pergantian; jika ia satu-satunya waris didalam
derajatnya ataupun jika kesemuanya waris menolak, maka sekalian anak-
anak tampil ke muka atas dasar kedudukan mereka sendiri dan mewaris
untuk bagian yang sama”

2.7. Analisis Kasus Hukum Waris Anak Dilaur Nikah

Kronologi Kasus

Hubungan pernikahan siri yang terjadi antara Moerdiono dan


Machica Mochtar, 20 Desember 1993 berbuntut ke pengadilan. Karena
pernikahan siri yang mereka lakukan menimbulkan kekacauan setelah
anak yang di lahirkan Machica Mochtar tidak diakui sebagai anak sah dari
Moerdiono, mantan Menteri Sekretaris Negara pada Masa Orde Baru
tesebut.
Pernikahan siri yang dilakukan hanya dapat bertahan 6 tahun saja.
Tapi, dari pernikahan mereka, Machica melahirkan anak dari Moerdiono
yang diberi nama M. Iqbal Ramadhan. Iqbal tidak mendapat pengakuan
dari ayah biologis nya karena dia hanya anak dari pernikahan siri.
Selama ini anak dari hasil pernikahan siri Machica dan Moerdiono
tidak memiliki kepastian status, namun saat putusan ini diketuk,
Moerdiono telah tutup usia pada 7 oktober 2011 silam karena sakit.
Sehingga Machica menuntut hak pengakuan bahwa M. Iqbal
Ramadhan adalah anak yang sah, dan menuntut harta warisan dari ayah
nya yang sekarang sudah meninggal. Pihak dari Moerdiono pun tidak
tinggal diam. Karena mereka tidak mengakui Iqbal sebagai anak sah dari
darah daging Moerdiono dan dia tidak boleh menuntut hak warisan dari
Moerdiono.

xix
Itulah sebabnya, Machica menuntut ke pengadilan Mahkamah
Konstitusi untuk pengesahan pernikahan mereka dan menuntut judisial
review ke MK. Machica menguji pasal 2 ayat 2 dan pasal 43 ayat 1 dalam
UU 1 tahun 1974 tentang perkawinan.

Penyelesaian Kasus
Machica dinikahi Moerdiono secara siri pada tahun 1993 yang
dikaruniai seorang anak bernama Muhammad Iqbal Ramadhan. Kala itu,
Moerdiono masih terikat perkawinan dengan istrinya. Lantaran UU
Perkawinan menganut asas monogami mengakibatkan perkawinan
Machica dan Moerdiono tak bisa dicatatkan KUA.

Akibatnya, perkawinan mereka dinyatakan tidak sah menurut


hukum (negara) dan anaknya dianggap anak luar nikah yang hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Setelah
bercerai, Moerdiono tak mengakui Iqbal sebagai anaknya dan tidak pula
membiayai hidup Iqbal sejak berusia 2 tahun. Iqbal juga kesulitan dalam
pembuatan akta kelahiran lantaran tak ada buku nikah.

Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah


seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-
tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian
hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-
hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun
keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan.

Berdasarkan uraian ini Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan ini harus


dibaca, Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai
ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan

xx
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan
darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.

Karena itu, setelah Moerdiono wafat, Machica mengajukan


tuntutan yaitu meminta anaknya yang bernama M Iqbal Ramaadhan diakui
sebagai bagian dari keluarga Moerdiono.

Kedudukan anak diluar nikah anak hasil perkawinan siri dalam


keluarga adalah tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayah dan
ibunya. Untuk anak Machica yang lahir di luar kawin yang tidak sempat
diakui atau tidak pernah diakui oleh Pewaris (dalam hal ini ayahnya
Moerdiono), berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-
VIII/2010 yang menguji Pasal 43 ayat (1) UUP, sehingga pasal tersebut
harus dibaca: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-
laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan
dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai
hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.

Machica melakukan serangkaian tes DNA terhadap Iqbal anak nya


agar putusan Mahkamah Konstitusi pasal 43 ayat (1) berlaku terhadap
iqbal. Jadi anak luar kawin tersebut dapat membuktikan dirinya sebagai
anak kandung dari pewaris. Namun demikian, jika mengacu pada Pasal
285 KUHP perdata yang menyatakan bahwa apabila terjadi pengakuan
dari ayahnya,sehingga menimbulkan hubungan hukum antara pewaris
dengan anak luar kawinnya tersebut, maka pengakuan anak luar kawin
tersebut tidak boleh merugikan pihak istri dan anak-anak kandung pewaris.

Hanya saja, tuntutan Machica tersebut tidak dapat diterima oleh


majelis hakim. M Iqbal hanya diakui sebagai anak Moerdiono di luar
nikah. Majelis hakim yang dipimpin oleh Yasardin akhirnya mengabulkan
soal status Iqbal sebagai anak di luar pernikahan Machicha dan Moerdiono
yang tidak dicatatkan ke negara.

xxi
Diputuskan Iqbal sebagai anak di luar kawin dengan pertimbangan
hak asasi anak bahwa anak juga harus mengetahui orangtuanya. Namun di
mata hukum, Iqbal tetap tidak mempunyai hubungan perdata dengan
Moerdiono, karena tidak ada pengakuan dari pihak keluarga. Dampak dari
putusan ini, Iqbal tidak bisa dimasukkan sebagai daftar ahli waris mantan
Menteri Sekretaris Negara di masa orde baru itu..

Tidak punya hubungan perdata dengan Moerdiono dan tidak bisa


mewarisi. Pihak keluarga hanya mengakui terhadap perkawinan yang
dicatatkan, bukan mengakui bahwa Iqbal adalah anak sah dari Moerdiono.
Istri sah satu-satunya adalah Ibu Maryati, bukan Machica.

Pasal 42 UUP menyebutkan bahwa “Anak yang sah adalah anak


yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”, dan
Pasal 43 ayat (1)UUP menyebutkan “Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya”.

Jadi, Iqbal tidak bisa menjadi ahli waris Moerdiono, karena syarat
agar anak luar kawin dapat mewaris adalah bahwa anak luar kawin
tersebut harus diakui dengan sah, karena menurut sistem B.W. asasnya
adalah, bahwa hanya mereka-mereka yang mempunyai hubungan hukum
dengan si pewaris sajalah, yang mempunyai hak waris menurut Undang-
Undang. Hubungan tersebut justru lahir karena pengakuan. Sementara itu,
keluarga Moerdiono sama sekali tidak mengakui bahwa Iqbal adalah anak
dari Moerdiono. dan pada akhirnya Iqbal hanya memiliki hubungan
perdata dengan ibu dan keluarga ibu nya.

xxii
BAB 3
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas, maka
diakuinya anak luar kawin (hasil biologis) sebagai anak yang sah berarti akan
mempunyai hubungan waris dengan bapak biologisnya tanpa harus didahului
dengan pengakuan dan pengesahan, dengan syarat dapat dibuktikan adanya
hubungan biologis antara anak dan bapak biologis berdasarkan ilmu pengetahuan,
misalnya melalui hasil tes DNA. Namun demikian, apabila ada penyangkalan
mengenai anak luar kawin ini dari anak-anak ahli waris yang sah, maka menurut
kami dalam hal ini tetap perlu dimohonkan Penetapan Pengadilan mengenai status
anak luar kawin tersebut sebagai ahli waris yang sah.

Mengenai kasus Machica Mochtar dan anaknya, anaknya hanya dapat


diakui sebagai anak diluar nikah karena anaknya tidak diakui oleh keluarga
Moerdiono. Keluarga Moerdiono hanya mengakui perkawinannya. Jadi status
Iqbal masih sesuai dengan status anak di luar kawin yang sesuai dengan undang-
undang lama. Karena syarat agar anak luar kawin dapat mewaris adalah bahwa
anak luar kawin tersebut harus diakui dengan sah, karena menurut sistem B.W.
asasnya adalah, bahwa hanya mereka-mereka yang mempunyai hubungan hukum
dengan si pewaris sajalah, yang mempunyai hak waris menurut Undang-Undang.

xxiii
Pada akhirnya Iqbal hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga
ibu nya.

Sesuai dengan Pasal 42 UUP menyebutkan bahwa “Anak yang sah adalah
anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”, dan Pasal
43 ayat (1)UUP menyebutkan “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.”

3.2. Saran
Mengharapkan pemerintah dengan putusan MK tersebut membuat
sinkronisasi hukum dan peraturan perundang undangan yang berkaitan dengan
perkawinan dan hak waris menurut agama dan kepercayaannya sehingga tidak
menimbulkan pendapat/ opini yang tumpang tindih yang menimbulkan banyak
masalah baru dan diharapkan penegakkan hukum serta rasa keadilan dimasyarakat
dapat terwujud.

xxiv
DAFTAR PUSTAKA

Afiandi, A. (2004). Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian. Jakarta:


PT Rineka Cipta.
Ali, Z. (2008). Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Hazairin. (1964). Hukum Kewarisan Bilateral menurut Al-Qur'an. Jakarta:
Tintarmas.
Pitlo, A. (1979). Hukum Waris Menurut Kitab Undang Undang Hukum Perdata.
(M. I. Arief, Trans.) Jakarta: Intermasa.
Prodjodikoro, W. (n.d.). Hukum Warisan di Indonesia. Bandung: Vorkink van
Hoeve.
Ramulyo, M. I. (1982, Maret 12). Majalah Hukum dan Pembangunan. Suatu
Perbandingan Antara Ajaran Sjafi'i Hazairin dan Wasiat Wajib di Mesir,
Tentang Pembagian Harta Warisan Untuk Cucu Menurut Islam.
Satrio, J. (1990). Hukum Waris. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Soepomo. (1966). Bab-bab tentang Hukum Adat. Penerbitan Universitas.
Subekti, R. (1977). Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa.
Suparman, E. (1991). Intisari Hukum Waris Indonesia. Bandung: Mandar Maju.

xxv
LAMPIRAN

Anak Machica Mochtar Tak Dapat Warisan Moerdiono

Rabu, 24 April 2013 15:13 WIB


Machica Mochtar bersama anaknya Iqbal,
seusai mengikuti sidang putusan pengakuan
anak di Pengadilan Agama Jakarta Selatan,
Rabu (17/4). Namun sidang ditunda pihak
majelis hakim belum siap, karena keputusan
itu belum dituangkan dalam bentuk tertulis.
(WARTA KOTA/NURICHSAN)

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gugatan pengakuan anak Machica


Mochtarkepada keluarga Moerdiono ditolak oleh Majelis Hakim Pengadilan
Agama Jakarta Selatan, Rabu (24/4/2013).
Majelis hakim yang dipimpin oleh Yasardin hanya mengabulkan soal status Iqbal
sebagai anak di luar pernikahanMachica Mochtar dan Moerdiono yang tidak
dicatatkan ke negara.
"Diputuskan Iqbal sebagai anak di luar kawin dengan pertimbangan hak asasi
anak bahwa anak juga harus mengetahui orangtuanya," kata Kartika
Yosodiningrat seperti dikutip Tribunnews.com dari Tabloidnova.com.
Namun di mata hukum, Iqbal tetap tidak mempunyai hubungan perdata
dengan Moerdiono. Dampak dari putusan ini, menurut Kartika, Iqbal tidak bisa
dimasukkan sebagai daftar ahli waris mantan Menteri Sekretaris Negara di masa
orde baru itu..
"Tidak punya hubungan dengan Moerdiono dan tidak bisa mewarisi. Pihak
keluarga hanya mengakui terhadap perkawinan yang dicatatkan. Istri sah satu-
satunya adalah Ibu Maryati," ujar Kartika.(Tabloidnova.com/Isna)
Sumber: http://www.tribunnews.com/seleb/2013/04/24/anak-machica-mochtar-
tak-dapat-warisan-moerdiono

xxvi
Pihak Moerdiono Puas Atas Vonis Kasus Machica Mochtar

Rabu, 24 April 2013 18:26 | 

Machica Mochtar

Kapanlagi.com - Atas putusan majelis hakim Pengadilan Agama (PA) Jakarta


Selatan, pihak kuasa hukum keluarga Moerdiono merasa puas. Karena apa yang
diharapkan oleh mereka dikabulkan oleh majelis hakim.

Dalam putusannya, PA Jakarta Selatan menyatakan bahwa Muhammad Iqbal


Ramadhan diakui secara sah sebagai anak Machica Mochtar dan Moerdiono di
luar pernikahan yang dicatatkan di Kantor Urusan Agama.

xxvii
"Kami puas yah. Statusnya anak sesuai bunyi undang-undang tentang perkawinan
sebelum putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Itu memang yang kami upayakan.
Yang di sini, Iqbal tidak diakui untuk mempunyai hubungan keperdataan dengan
Moerdiono, keluarga dan tidak mewarisi," tutur Kartika Yosodiningrat di PA
Jakarta Selatan, Rabu (24/4).

Meski begitu Iqbal sudah memiliki kejelasan siapa ayah kandungnya. Jadi
diputuskan bahwa Iqbal adalah hasil sah perkawinan secara Islam dan tidak
dicatatkan antara Moerdiono dan Machica.

"Iqbal sebagai anak di luar kawin. Dengan pertimbangan hak asasi anak, bahwa
anak juga harus mengetahui siapa orang tuanya," tegasnya.

Alhasil, hubungan perdata, salah satunya adalah hak waris Iqbal tetap kepada
ibunya. "Anak di luar kawin hanya berhubungan perdata dengan ibunya. Sesuai
dengan UU tentang perkawinan dahulu. Kalau putusan MK kan harus mempunyai
hubungan keperdataan dengan bapak dan keluarganya. Jadi status Iqbal masih
sesuai dengan status anak di luar kawin yang sesuai dengan undang-undang
lama," pungkasnya.(kpl/ato/abs/dar)

xxviii
Sumber: http://www.kapanlagi.com/showbiz/selebriti/pihak-moerdiono-puas-atas-
vonis-kasus-machica-mochtar-da7648.html

xxix

Anda mungkin juga menyukai