Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH HUKUM PERDATA

"ANALISIS PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM KASUS


PROYEK PEMBANGUNAN WADUK JATI GEDE”

Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas individu

DI SUSUN OLEH :
NUR DEWI (213312008)

FAKULTAS HUKUM SYARIAH


INSTITUT AGAMA ISLAM AL-AMANAH JENEPONTO
2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah, Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
tugas makalah kelompok ini.
Saya sebagai Tim Penyusun telah mengusahakan kesempurnaan dalam
penulisan makalah ini. Namun, kami menyadari bahwa masih terdapat banyak
kekurangan dalam penulisan makalah ini, baik dari segi isi maupun dari segi
teknik penulisan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun agar makalah ini dapat menjadi lebih baik lagi.

Jeneponto, 21 Oktober 2022

Nur Dewi
DAFTAR ISI
Kata Pengantar....................................................................................................ii
Daftar Isi.............................................................................................................iii
BAB I Pendahuluan............................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah............................................................................1

B. Perumusan Masalah...................................................................................2

C. Tujuan Penulisan........................................................................................2

BAB II Hukum Perdata Islam: Bagian Waris untuk Khuntsa Musykil........3


A. Pengertian Waris Menurut Hukum Islam...............................................3

B. Rukun dan Syarat untuk Mewaris menurut Hukum Waris Islam....3

C. Perihal Khunsta dan Haknya dalam Mewaris Menurut Hukum


Waris Islam .............................................................................................7
D. Contoh Kasus...........................................................................................8

BAB III Penutup................................................................................................11


A. Simpulan...................................................................................................11

B. Daftar Pustaka.........................................................................................12
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Hukum kewarisan yang berlaku Indonesia begitu unik. Bagaimana tidak,
sampai saat ini Indonesia masih memberlakukan tiga sistem hukum waris
sekaligus, yakni hukum waris menurut adat, hukum waris menurut perdata barat
(Burgerlijk Wetboek) dan hukum waris menurut Islam. Di dalam pluralisme
hukum waris tersebut, ternyata hukum waris Islam masih mempunyai variasi
tentang cara pembagian harta warisan kepada ahli waris berdasarkan tiga mazhab,
yakni Bilateral Hazairin, Patrilineal Syafi’i dan Kompilasi Hukum Islam. Hal ini
dapatlah dikatakan bahwa di dalam hukum kewarisan Islam yang berlaku di
Indonesia masih terdapat pluralisme.
Meskipun demikian, ketiga mazhab tersebut tidak sepenuhnya selalu
berbeda pendapat dalam segala hal. Adapun salah satu persamaan dari ketiga
mazhab tersebut adalah menentukan besar bagian harta waris yang akan
diterima oleh ahli waris berdasarkan jenis kelamin. Misalnya, dalam hal ahli
waris yang terdiri dari anak laki-laki dan anak perempuan, maka anak laki-
laki akan mendapatkan bagian dua kali lebih besar daripada anak perempuan.
Namun hal ini akan menjadi kendala pada saat ahli waris yang tampil adalah
seorang khuntsa musykil.
Khuntsa musykil adalah seorang sulit diidentifikasi jenis kelaminnya
akibat berkelamin ganda. Hal ini tentu saja akan berimbas pada sulitnya
menentukan bagian yang akan diterima oleh orang tersebut beserta ahli waris
lain yang terkait mengingat harta warisan harus segera dibagi. Di samping itu,
harus memperhatikan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa
hakim tidak diperkenankan untuk menolak perkara dengan alasan belum ada
dasar hukumnya, maka Hakim perlu melakukan Ijtihad guna menyelesaikan
masalah tersebut. Melalui makalah ini, penulis akan melakukan suatu
penelusuran mengenai bagaimana kedudukan khuntsa musykil dalam suatu
peristiwa mewaris, dan berapa harta waris yang akan diperoleh bagi dirinya,
sehingga dapat pula digunakan sebagai alternatif untuk menyelesaikan
permasalahan mengenai perolehan harta warisan bagi khuntsa musykil dalam
suatu peristiwa mewaris.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka muncul
perumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari hukum waris yang ditinjau dari perspektif hukum
Islam?
2. Bagaimana hukum waris Islam menempatkan khuntsa musykil dalam
suatu peristiwa mewaris?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan yang diharapkan dari hasil penulisan ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengertian hukum waris yang ditinjau dari
perspektif hukum Islam
2. Untuk mengetahui bagian harta warisan bagi khuntsa musykil
dalam peristiwa mewaris yang ditinjau dari hukum waris Islam
BAB II
HUKUM PERDATA ISLAM:
BAGIAN WARIS UNTUK KHUNTSA MUSYKIL

A. Pengertian Waris Menurut Hukum Islam


Kata waris (mawaris) berasal dari bahasa Arab Al-miirats, yang artinya adalah
harta peninggalan orang yang telah meninggal dunia yang diwariskan kepada ahli
warisnya.
1 Sedangkan ilmu yang mempelajari mengenai warisan disebut ilmu mawaris
atau lebih dikenal dengan istilah fara’id. Kata fara’id merupakan bentuk jamak
dari kata faridho yang
diartikan oleh para ulama’farridiyun semakna dengan kata mafrudah, yang artinya
adalah bagian yang telah ditentukan kadarnya.
2 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ilmu faraid adalah ilmu untuk
mengetahui orang yang berhak menerima harta warisan, orang yang tidak dapat
menerima harta warisan, kadar atau jumlah yang dimiliki masing-masing pewaris,
dan pembagiannya.
3 Selanjutnya baru dapat diketahui siapa di antara ahli waris yang mendapatkan
bagian dan yang tidak mendapat bagian tertentu.
4 Sedangkan secara terminologi hukum, kewarisan dapat diartikan sebagai
hukum yang mengatur tentang pembagian harta warisan yang ditinggalkan ahli
waris, mengetahui bagianbagian yang diterima dari peninggalan untuk setiap ahli
waris yang berhak menerimanya. 5 . Dengan demikian secara garis besar definisi
hukum waris yaitu hukum yang mengatur segala sesuatu tentang perpindahan
berbagai hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang yang meninggal dunia
kepada orang lain yang masih hidup dengan memenuhi syarat dan rukun dalam
mewarisi.
B. Rukun dan Syarat untuk Mewaris menurut Hukum Waris Islam.
Hukum waris belum mengalami unifikasi hukum, sehingga dalam penerapannya
di Indonesia masih terdapat dualisme. Adapun hukum waris yang berlaku di
Indonesia adalah hukum waris menurut hukum adat, hukum waris menurut
hukum barat (BW) dan hukum waris menurut hukum Islam. Bahkan dalam
penerapannya di Indonesia, hukum waris Islam pun masih terbagi menjadi tiga
mazhab, yakni menurut Bilateral Hazairin, Patrilineal Syafi’I dan Kompilasi
Hukum Islam. Meskipun demikian, ketiga mazhab tersebut hanya berbeda pada
penerapan ayat- ayat Allah yang membahas tentang waris, yakni QS. An-Nisa’
ayat 11, 12, 33 dan 176. Adapun mengenai rukun dan syarat untuk mewaris dalam
hukum Islam, ketiga mazhab tersebut mempunyai pendapat yang sama dan hanya
berbeda istilah saja. Rukun untuk mewaris dalam hukum Islam terdiri dari
pewaris/muwaris, Ahli waris dan Harta warisan/almauruts/al mirats.
6 Pewaris/muwarrist, yaitu seseorang yang meninggal dunia yang
meninggalkan harta warisannya. Dimana meninggalnya pewaris dapat dibagi
menjadi tiga, yaitu mati Hakiki (mati yang dapat dibuktikan dengan panca
indera); Mati Hukmi (mati yang disebabkan oleh vonis hukuman hakim); Mati
Takdiri (menyamakan seseorang dengan orang yang telah mati dalam perkiraan).
7 Ahli waris/al-waris, yaitu mereka yang berhak mengusai atau menerima harta
peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan
pernikahan atau lainnya. Adapun kriteria sebagai ahli waris tercantum di dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 171 huruf c , yang berbunyi, “Ahli waris
ialah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau
hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang
karena hukum untuk menjadi ahli waris.”Harta warisan/al-maurust, yaitu segala
jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalkan oleh pewaris, yang sudah bersih
dan tinggal dibagi. 8 . Atau harta peninggalan yang meninggal dunia yang telah
dikurangi oleh biaya perawatan jenazah, pelunasan hutang, dan pelaksanaan
wasiat.
9 Harta peninggalan ini dapat berupa benda berwujud, baik benda bergerak
maupun benda tidak bergerak, dan benda tidak berwujud yang dapat berupa hak
kebendaan. Adapun syarat- syarat mewaris antara lain:
10. 1) Meninggalnya seseorang (pewaris), baik meninggal secara hakiki, hukmi
maupun takdiri.
2) Pemindahan hak kepemilikan dari pewaris harus kepada ahli waris yang
secara syariat benar- benar masih hidup, sebab orang yang sudah mati tidak
memiliki hak untuk mewarisi.
3) Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-
masing. Dalam hal ini posisi para ahli waris hendaklah diketahui secara pasti.
C. Perihal Khuntsa dan Haknya dalam Mewaris Menurut Hukum Waris Islam.
Ilmu fiqh skolastik hanya mengenal dua kategori, yakni laki-laki dan perempuan.
Meskipun Islam sendiri disisi lain mengenal pula kategori khuntsa dan
mukhannits atau mukhannats, akan tetapi Al-Qur’an tidak menyebut kategori
tersebut.
11 Disisi lain, jenis kelamin seseorang sangat penting kaitannya dengan hukum
waris Islam. Mengingat ketiga mazhab pembagian waris menurut hukum Islam
pun membedakan hak bagi laki-laki dan perempuan yang menjadi ahli waris. Hal
ini akan menjadi kendala apabila terdapat ahli waris yang tidak diketahui atau
tidak jelas jenis kelaminnya (khuntsa).
Kata khuntsa berasal dari kata ‫ خنث‬yang artinya lemah atau pecah, jamaknya dari
wazan ‫فعل‬menjadi lafadz ‫خنث‬. Sedangkan istilah al-khuntsa diambil dari kata dasar
al-khanats yang artinya lembut atau lunak. Sebagaimana dikatakan ‫وتخنث‬K ‫ خنث‬yang
berarti seorang laki-laki yang berbicara, berjalan, atau berpakaian dengan lembut,
lunak, atau lemah gemulai seperti cara perempuan berbicara, berjalan, dan
berpakaian.
12 Meskipun masyarakat mempunyai penilaian tertentu terhadap seseorang yang
disebut khuntsa, sebenarnya Allah mengetahui bahwasanya orang tersebut laki-
laki atau perempuan. Pada dasarnya Allah tidak pernah menciptakan seseorang
dengan setengah laki-laki maupun setengah perempuan, Melainkan seseorang
yang seutuhnya laki-laki maupun seseorang yang seutuhnya perempuan saja.
Dalam QS. Al-Lail : 3, Allah berfirman: Sebenarnya manusialah yang
menentukan status seorang khuntsa yang entah itu laki-laki ataukah perempuan.
13 Sehingga para fuqaha membagi khuntsa menjadi dua macam, yakni: (i)
Khuntsa musykil yaitu orang yang mempunyai alat kelamin ganda, jika ia
membuang air kecil melewati kedua alat kelaminnya secara bersama-sama; dan
(ii) Khuntsa ghair musykil, yaitu orang yang mempunyai alat kelamin ganda, akan
tetapi statusnya sudah diketahui bahwa ia statusnya laki-laki ketika membuang air
kecinya lewat dzakar atau ia statusnya perempuan ketika membuang air kecilnya
lewat farji. Adapun cara-cara untuk menentukan besarnya bagian yang akan
diterima oleh seseorang khuntsa yang tampil menjadi ahli waris adalah
sebagai berikut:
1) Menemukan kejelasan jenis kelamin dari khuntsa tersebut, yakni dari jenis
kelamin yang dominan, akan tetapi apabila sulit untuk menentukan jenis kelamin
yang dominan dari orang yang bersangkutan, maka para ahli hukum Islam sepakat
dengan cara mengidentifikasi indikasi fisik yang dimiliki oleh yang bersangkutan
(bukan penampilan psikis atau kejiwaannya). Hal ini berdasarkan sabda
Rasulullah SAW dalam hadist riwayat Ibnu Abbas, yakni “Berilah harta
warisan anak khuntsa dari mana pertama lewat ia membuang air kecilnya”.
2) Meneliti tanda-tanda kedewasaannya. Pada umumnya antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan terdapat tanda-tanda kedewasaan yang khas, misalnya
dari tumbuhnya jenggot, kumis, perubahan suara atau tumbuhnya buah dadanya.
Apabila tanda-tanda ini diketahui dengan jelas, maka khuntsa tersebut
digolongkan kepada jenis kelamin yang memiliki tanda-tanda khas tersebut.
3) Seandainya apa yang diungkapkan dalam poin 1 dan 2 tidak dapat ditentukan
atau samarsamar, maka para ahli hukum Islam tidak ada kesepakatan bagaimana
cara untuk menentukannya, sehingga dalam hal ini lahir beberapa pendapat dari
berbagai mazhab:14
• Mazhab Hanafiyah berpendapat bahwa khuntsa musykil mendapat harta
warisan yang kurang dari bagian yang seharusnya diberikan kepada ahli waris
laki-laki dan perempuan. Hal ini didasarkan pada khuntsa tersebut dapat diduga
sebagai laki-laki maupun perempuan. Maka bagian yang paling sedikit di antara
dua bagian tersebutlah yang akan diberikan kepadanya.
Pendapat ini juga merupakan salah satu pendapat Imam Syafi’i rahimahullah dan
pendapat kebanyakan sahabat Rasulullah saw.
• Mazhab Syafi’iyah berpendapat bahwa seluruh ahli waris termasuk khuntsa
musykil mendapat harta warisan kurang dari bagian yang semestinya, karena
bagian tersebutlah yang diyakini sebagai bagian masing-masing ahli waris. Sisa
harta warisan warisan.
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Hukum waris menurut tinjauan Islam yaitu hukum yang mengatur segala
sesuatu tentang perpindahan berbagai hak dan kewajiban tentang kekayaan
seseorang yang meninggal dunia kepada orang lain yang masih hidup dengan
memenuhi syarat dan rukun dalam mewarisi. Adapun rukun mewaris adalah
Pewaris/muwarrist, Ahli waris/al-waris dan Harta warisan/almaurust. Sedangkan
syarat- syarat mewaris adalah meninggalnya seseorang (pewaris) baik meninggal
secara hakiki, hukmi maupun takdiri; pemindahan hak kepemilikan dari pewaris
harus kepada ahli waris yang secara syariat benar- benar masih hidup; seluruh ahli
waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-masing.
Khuntsa adalah orang yang mengalami ketidakjelasaan kelamin karena
mempunyai dua jenis kelamin sekaligus. Meskipun demikian, sekalipun khuntsa
tersebut berkelamin ganda, ia tetap berhak untuk menjadi ahli waris dan berhak
menerima warisan. Menurut pendapat yang paling kuat dan mu’tamad dalam
mazhab Syafi’i sebagaimana diisyaratkan oleh penyusun kitab Manzhumah Ar-
Rahabiyyah, khuntsa mendapat bagian harta warisan yang kurang dari hak
semestinya. Adapun tata cara pembagian harta waris ini dilakukan melalui dua
tahap. Pada tahap pertama khuntsa dianggap sebagai laki-laki dan pada tahap
kedua dia dianggap sebagai perempuan. Harta waris yang akan khuntsa terima
nantinya adalah kurang dari pada hak yang semestinya tersebut. Adapun selisih
pembagian untuk sementara waktu dibekukan hingga jelas keadaannya, ataupun
para ahli waris itu berdamai menentukan bagiannya itu.
DAFTAR PUSTAKA

Alimi, Moh Yasir. 2004. Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial: Dari Wacana


Bangsa Hingga Wacana Agama. Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara
Yogyakarta.
Al-sabouni, Muhammad Ali. 2005. Hukum Kewarisan Menurut Al-Qur’an dan
Sunnah, Jakarta: Dar Al-Kutub Al-Islamiyyah.
Ash-Sahabuni, Muhammad Ali. 1995. Al-Mawaris Fisy Syari’atil Islamiyyah
‘Ala Dhau’ AlKitab wa Sunnah. Terj. A.M. Basalamah “Pembagian Waris
Menurut Islam”. Jakarta: Gema Insani Press.
Hasan, M. Ali. 1996. Hukum Warisan Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Hadzami, Muhammad Syafi’i. 2010. Taudhihul Adillah (Buku 2), Fatwa-fatwa
Mualim KH. Syafi’i Hadzami: Penjelasan Dalil-dalil tentang Ushul dan
Akhlak dalam Islam. Jakarta:
PT Elex Media Komputindo, Kompas Gramedia.
Maruzi, Muslich. 1981. Pokok-Pokok Ilmu Waris (Asas Mawaris). Semarang:
Mujahidin. Rofiq, Ahmad. 2000. Fiqh Mawaris. Jakarta: PT . Raja
Grafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai