Dosen Pengampu
M. Fadly Nasution, S.H., M.H.
Disusun oleh:
Tidak lupa juga pada kesempatan ini, kami ingin menyampaikan ucapan
terima kasih kepada semuanya yang bisa saling bekerjasama dalam penyusunan
dan penyelesaian tugas ini.
Kami sangat berharap tugas ini dapat berguna bagi para pembaca,
khususnya bagi diri kami sendiri dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai Warisan Dalam Islam ini.
Kami juga sepenuhnya menyadari bahwa tugas ini memang masih sangat
jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, kami sangat mengharapkan adanya
kritik, saran dan usulan yang bersifat membangun demi perbaikan tugas yang
akan kami buat di masa yang akan datang nantinya.
DAFTAR ISI
ii
KATA PENGANTAR .......................................................................... i
C. Tujuan ................................................................................................. 2
Saran ........................................................................................................ 8
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum kewarisan Islam merupakan satu dari sekian banyak hukum Islam
yang terpenting. Hukum warisan adalah hukum yang mengatur siapa-siapa saja
orang yang bisa mewarisi dan tidak bisa mewarisi bagian-bagian yang diterima
setiap ahli waris dan cara-cara pembagiannya. Dalam hukum kewarisan Islam
penerima harta warisan didasarkan pada asas Ijbari, yaitu harta warisan pindah
dengan sendirinya menurut ketentuan Allah SWT Tanpa digantungkan pada
kehendak pewaris atau ahli waris.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah sekumpulan materi Hukum Islam yang
ditulis pasal demi pasal, berjumlah 229 pasal, terdiri atas tiga kelompok materi
hukum yaitu hukum kewarisan (70 pasal), hukum kewarisan termasuk wasiat
dan hibab (44 pasal) dan hukum perwakafan (14 pasal), ditambah satu pasal
ketentuan penutup yang berlaku untuk ketiga kelompok hukum tersebut KHI
disusun melalui jalan yang sangat panjang dan melelahkan karena pengaruh
perubahan sosial politik terjadi di negeri ini pada masa ke masa.
Akan tetapi dalam pelaksanaannya hukum kewarisan Islam perlu
mendapatkan perhatian yang besar, karena dalam pembagian warisan antara
hak waris yang satu dengan yang lain saling berkaitan. Pembagian warisan sering
menimbulkan akibat-akibat yang tidak jarang menimbulkan perselisihan
diantara anggota keluarga yang berkepanjangan karena secara naluriah manusia
sangat mecintai harta yang dijelaskan dalam surat (QS. A l-Imran ayat 14).
1
2
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Hukum Waris?
2. Apa dasar Hukum Waris?
3. Apa saja syarat-syarat Hukum Waris?
4. Apa saja Rukun Hukum Waris?
5. Apa yang dimaksud dengan Ahli Waris?
6. Apa yang menjadi kriteria Ahli Waris?
7. Apa saja macam-macam Ahli Waris dan hak-haknya?
8. Apa yang menjadi sebab-sebab mendapatkan Warisan!
9. Apa yang menjadi sebab-sebab terhalangnya mendapatkan Warisan?
C. Tujuan
1. Mengetahui dan memahami apa itu Hukum Waris.
2. Mengetahui dasar Hukum Waris.
3. Mengetahui syarat-syarat Hukum Waris.
4. Memahami Rukun Hukum Waris.
5. Mengetahui apa itu Ahli Waris.
6. Mengetahui kriteria Ahli Waris.
7. Mengetahui dan memahami macam-macam Ahli Waris dan hak-haknya.
8. Mengetahui sebab-sebab mendapatkan Warisan.
9. Mengetahui sebab-sebab terhalangnya mendapatkan Warisan
BAB II
PEMBAHASAN
Di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 171 (a) dinyatakan bahwa hukum kewarisan
adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan
(tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa
bagian masing-masing.
Hadits Nabi Muhammad صلى هللا عليه وسلمdari Sa’ad bin Waqqas, yang artinya :
Artinya: “Dari Amir bin Sa’ad bin Abi Waqqas, dari ayahnya berkata: Rasulullah صلى هللا
عليه وسلمmengunjungiku sewaktu aku sakit keras, lalu saya bertanya kepada Rasulullah:
“Saya mempunyai harta yang banyak sedangkan saya hanya mempunyai seorang anak
perempuan yang akan mewarisi harta saya. Apakah perlu saya sedekahkan dua pertiga
harta saya ?” Rasululah menjawab: “Jangan!” Kemudian saya bertanya lagi: “Bagaimana
jika sepertiga ?” Bersabda Rasulullah: “Sepertiga, cukup banyak. Sesungguhnya jika
engkau meninggalkan anakmu dalam keadaan berkecukupan adalah lebih baik dari
pada meninggalkannya dalam keadaan miskin (berkekurangan), sehingga meminta -minta kepada
orang lain”. (HR. Bukhari)
3
4
2) Mati Hukmy (mati menurut hakim atau yuridis). Mati Hukmy (mati menurut hakim
atau yuridis) adalah satu kematian yang dinyatakan atas dasar keputusan hakim karena
adanya beberapa pertimbangan. Maka dengan putusan hakim secara yuridis muwaris
dinyatakan meninggal meskipun terdapat kemungkinan muwaris masih hidup. Menurut
Malikiah dan Hambaliah apabila lama meninggalkan tempat itu berlangsung selama 4
tahun sudah dinyatakan mati. Menurut pendapat ulama lain, terserah kepada ijtihad
hakim dalam melakukan pertimbangan dari berbagai macam segi kemungkinannya.
3) Mati Taqdiry (mati menurut dugaan). Mati Taqdiry (mati menurut dugaan) adalah
sebuah kematian (muwaris) berdasarkan dugaan keras, misalkan dugaan seorang ibu
hamil yang dipukul perutnya atau dipaksa meminum racun. Ketika bayinya lahir dalam
keadaan mati, maka dengan dugaan keras kematian itu diakibatkan oleh pemukulan
terhadap ibunya.
b. Waris (ahli waris) yaitu orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan
baik hubungan darah (nasab), hubungan sebab semenda atau hubungan perkawinan,
atau karena memerdekakan hamba sahaya. Syaratnya adalah pada saat meninggalnya
muwaris, ahli waris benar-benar dalam keadaan hidup. Termasuk dalam hal ini adalah
bayi yang masih dalam kandungan (alhaml) terdapat juga syarat lain yang harus
dipenuhi, yaitu antara muwaris dan ahli waris tidak ada halangan saling mewarisi.
5
c. Maurus atau al-Miras, yaitu harta peninggalan si mati setelah dikurangi biaya
perawatan jenazah, pelunasan hutang dan pelaksanaan wasiat.
Seseorang berhak mendapatkan sejumlah harta warisan apabila terdapat salah satu
sebab di bawah ini yaitu:
a. Kekeluargaan
b. Perkawinan
c. Karena memerdekakan budak
d. Hubungan Islam orang yang meninggal dunia apabila tidak mempunyai ahli waris,
maka harta peninggalannya diserahkan ke baitul mal untuk umat Islam dengan jalan
pusaka.
Hal-hal yang dapat menghalangi tersebut yang disepakati para ulama ada tiga, yaitu:
a. Pembunuhan. Pembunuhan yang dilakukan ahli waris terhadap al-muwarris,
menyebabkannya tidak dapat mewarisi harta peninggalan orang yang diwarisinya.
Demikian kesepakatan mayoritas (Jumhur) Ulama. Golongan Khawarij yang
memisahkan diri dari "Ali ibn Abi Thalib dan Mu'awiyah karena peristiwa arbitrase
(tahkim) ketika pasukan Mu'awiyah hampir dikalahkan dengan mengangkat mushaf
menentang pendapat ini. Alasan mereka, ayat-ayat al-Qur'an tidak mengecualikan si
pembunuh. Ayat-ayat mawaris seperti dalam QS. al-Nisa' ayat 11-12 hanya memberi
petunjuk umum. Oleh karena itu petunjuk umum ayat-ayat tersebut harus diamalkan
sebagaimana adanya. Adapun dasar hukum yang melarang ahli waris yang membunuh
untuk mewarisi harta peninggalan si mati adalah sabda Rasulullah, yang artinya :
Artinya: “Dari Amru bin Syuaib dari ayahnya, dari kakeknya ra., beliau berkata:
Rasulullah لمEEEه وسEEEلى هللا عليEEE صbersabda: tidak ada sedikit pun harta warisan bagi
pembunuh”. (HR. an-Nasa'i)
b. Berlainan Agama. Orang muslim tidak mengambil pusaka dari orang kafir, begitu juga
sebaliknya. Hukum ini disepakati para imam yang empat. Dihikayatkan oleh Said ibn
Musaiyab dan an-Nakha'i bahwa muslim mengambil pusaka dari orang kafir, tidak
sebaliknya, sebagaimana orang Islam boleh mengawini wanita kafir, wanita Islam tidak
boleh dikawini lelaki kafir. Menurut al-Ghazzi, orang yang tidak dapat menerima waris
sebab terhalang ada tujuh orang, salah satu di antaranya adalah ahli dua agama
(berlainan agama). Maka seorang Islam tidak dapat mewaris orang kafir, dan
sebaliknya. Berlainan agama yang menjadi penghalang mewarisi adalah apabila antara
ahli waris dan al-muwaris, salah satunya beragama Islam, yang lain bukan Islam.
Misalnya, ahli waris beragama Islam, muwarisnya beragama Kristen, atau sebaliknya.
Demikian kesepakatan mayoritas Ulama.
Jadi apabila ada orang meninggal dunia yang beragama Budha, ahli warisnya beragama
Hindu di antara mereka tidak ada halangan untuk mewarisi. Demikian juga tidak
termasuk dalam pengertian berbeda agama, orang-orang Islam yang berbeda mazhab,
satu bermazhab Sunny dan yang lain Syi'ah. Dasar hukumnya adalah hadits Rasulullah
riwayat al-Bukhari dan Muslim sebagai berikut:
6
Artinya: “Dari Usamah bin Zaid, sesungguhnya Nabi لمE صلى هللا عليه وسbersabda: Orang
muslim tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi orang muslim”.
(Muttafaq 'alaih)
Hadits Nabi Muhammad لمEEه وسEEلى هللا عليEEص: Artinya: “Dari Abdullah bin Umar ra.,
mengatakan: Rasulullah صلى هللا عليه وسلمbersabda: tidak ada waris mewarisi terhadap
orang yang berbeda agama”. (HR. Tirmidzi) Hal ini diperkuat lagi Firman Allah dalam
surah an-Nisa ayat 141: Artinya: “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberikan suatu
jalan bagi orangorang kafir (untuk menguasai orang mukmin)”.
Firman Allah هEEEل جاللEEE جdalam surah al-Nahl ayat 75: Artinya: “Allah membuat
perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak
terhadap sesuatupun...” Islam sangat tegas tidak menyetujui adanya perbudakan,
sebaliknya Islam sangat menganjurkan agar setiap budak hendaknya dimerdekakan.
Pada hakikatnya, perbudakan tidak sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan rahmat
yang menjadi ide dasar ajaran Islam. Ini ditunjukkan melalui adanya sanksi-sanksi
hukum, bagi pelaku pelanggaran atau kejahatan, memerdekakan budak merupakan
salah satu alternatif yang harus ditempuh. Ini dimaksudkan agar secepatnya
perbudakan dihapuskan dan muka bumi.
d. Berlainan Negara. Pengertian negara adalah suatu wilayah yang di tempati suatu
bangsa yang memiliki angkatan bersenjata sendiri, kepala negara tersendiri, dan
memiliki kedaulatan sendiri dan tidak ada ikatan kekuasaan dengan negara asing. Maka
dalam konteks ini, negara bagian tidak dapat dikatakan sebagai negara yang berdiri
sendiri, karena kekuasaan penuh berada di negara federal. Adapun berlainan negara
yang menjadi penghalang mewarisi adalah apabila di antara ahli waris dan
muwarrisnya berdomisili di dua negara yang berbeda kriterianya seperti tersebut di
atas. Apabila dua negara sama-sama sebagai negara muslim, menurut para Ulama, tidak
menjadi penghalang saling mewarisi antara warga negaranya. Malahan mayoritas
ulama mengatakan, bahwa meskipun negaranya berbeda, apabila antara ahli waris dan
muwarrisnya nonMuslim, tidak berhalangan bagi mereka untuk saling mewarisi.
Demikian juga jika antara dua warga negara sama-sama Muslim. Imam Abu Hanifah dan
sebagian mazhab Hanabilah menyatakan bahwa antara mereka yang berlainan negara
dan sama-sama non-muslim terhalang untuk saling mewarisi.
Antara negara yang sama-sama muslim pada hakikatnya adalah satu, meskipun
kedaulatan, angkatan bersenjata dan kepala negaranya sendiri-sendiri. Negara hanyalah
semata-mata sebagai wadah perjuangan, yang masing-masing di antara mereka terikat
oleh satu tali persaudaraan, yaitu persaudaraan sesama muslim (ukhuwah Islamiyah).
Jadi, dari illustrasi di atas, yang lebih prinsip untuk diperhatikan, tampaknya adalah soal
adanya perbedaan agama antara ahli waris dan muwarrisnya yang berada di dua negara
yang berbeda. Meskipun berbeda negara, jika tidak ada perbedaan agama, maka tidak
ada halangan untuk dapat saling mewarisi.
7
Kata “ahli waris” dalam bahasa arab disebut “” الوارثyang secara bahasa berarti keluarga
tidak secara otomatis ia dapat mewarisi harta peninggalan pewarisnya yang meninggal
dunia. Karena kedekatan hubungan keluarga juga dapat mempengaruhi kedudukan dan
hak-haknya untuk mendapatkan warisan. Terkadang yang dekat menghalangi yang
jauh, atau ada juga yang dekat tetapi tidak dikategorikan sebagi ahli waris yang berhak
menerima warisan, karena jalur yang dilaluinya perempuan.
Sedangkan pengertian ahli waris (وارثEE( الsecara istilah adalah orang yang
menerima atau memiliki hak warisan dari tirkah (harta peninggalan) orang yang
meninggal dunia (pewaris). Untuk berhaknya dia menerima harta warisan itu
diisyaratkan dia telah dan hidup saat terjadinya kematian pewaris. Dalam hal ini
termasuk pengertian ahli waris janin yang telah hidup dalam kandungan, meskipun
kepastian haknya baru ada setelah ia lahir dalam keadaan hidup. Hal ini juga berlaku
terhadap seseorang yang belum pasti kematiannya. Tidak semua ahli waris mempunyai
kedudukan yang sama, melainkan mempunyai tingkatan yang berbedabeda secara
tertib sesuai dengan hubungnnya dengan si mayit.
Adapun kriteria ahli waris tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal
171 huruf c, yang berbunyi “Ahli ialah orang yang pada saat meninggal mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak
terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris”.
Ahli waris itu ada yang ditetapkan secara khusus dalam al-Qur’an dan langsung oleh
Allah dalam al-Qur’an dan oleh Nabi dalam Haditsnya; ada juga yang ditentukan melalui
ijtihad dengan meluaskan lafaz yang terdapat dalam nash hukum dan ada pula yang
dipahami dari petunjuk umum dari al-Qur’an dan atau Hadits Nabi. Artinya para ahli
waris yang mempunyai hak waris dari seseorang yang meninggal dunia baik yang
ditimbulkan melalui hubungan turunan (zunnasbi), hubungan periparan (asshar),
maupun hubungan perwalian (mawali) dapat dikelompokkan atas dua golongan, yakni
(1) ahli waris yang hak warisnya mengandung kepastian, berdasarkan ittifaq oleh para
ulama dan sarjana hukum Islam, dan (2) golongan yang hak warisnya masih
diperselisihkan (ikhtilâ f) oleh para ulama dan sarjana hukum Islam.
Macam-macam ahli waris ditinjau dari sebab-sebabnya, dapat dikelompokkan
menjadi dua macam, yaitu:
a. Ahli waris nasabiah.
b. Ahli waris sababiyah.
Apabila dilihat dari segi bagian-bagian yang diterima mereka, ahli waris dapat
dibedakan kepada:
a. Ahli waris ashâ b al-furû dh, yaitu ahli waris yang menerima bagian yang besar
kecilnya telah ditentukan dalam al-Qur’an, seperti 1/2, ¼, 1/8, 1/3, 1/6 dan 2/3.
b. Ahli waris ‘ashabah, yaitu ahli waris yang bagian yang diterimanya adalah sisa setelah
harta waris dibagikan kepada ahli waris ashâ b al-furû dh.
c. Ahli waris dzawil al-arhâ m, yaitu ahli waris yang sesungguhnya memiliki hubungan
darah, akan tetapi menurut ketentuan al-Qur’an tidak berhak menerima warisan
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak
pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang
berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing, dari definisi
hukum kewarisan menurut KHI ini, dapat kita simpulkan bahwa hukum
kewarisan merupakan aturan-aturan tentang bagaimana kepemilikan harta
peninggalan di bagikan kepada orang-orang yang berhak atas pembagian itu,
serta ketentuan-ketentuan yang mengatur berapa saja bagian tiap-tiap mereka
yang berhak atas harta peniggalan itu.
Saran
Waris merupakan hal penting di dalam hukum Islam karena sering menimbulkan
perselisihan, sebagai umat yang beragama Islam untuk mecegah perpecahan dalam tali
persaudaraan, sebaiknya gunakanlah pembagian waris sesuai dengan hukum Islam dan
sebaiknya Pemerintah membuat UU yang secara khusus mengatur mengenai kewarisan
menurut Hukum Islam.
8
6
DAFTAR PUSTAKA
Ah. Rofiq, hukum Islam di Indonesia , jakarta : PT. Raja grafindo persada , 200 hl 356
Muhammad Daud Ali, Asas Hukum Islam , jakarta : rajawali prese 1990 hl. 129
Ali Parman, Kewarisan dalam al-Qur’an , (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995)
M. Thaha Abul Ela Khalifah, Hukum Waris, (Solo: Tiga Serangkai, 2007)
Muhammad Ali As-Sahbuni, Hukum Waris dalam Syariat Islam, (Bandung: CV. Diponegoro,
1995)
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,
2008)
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris: Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2002)