Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

HUKUM WARIS

Di Susun Untuk Memenuhi Tugas


Mata kuliah Pengantar Hukum Waris

Dosen Pengampu
NUR MUHAMMAD. M.H

DISUSUN OLEH:

1.AHMAD DENI SAPUTRA


2.YULIA PERMATA

FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM DARUL A’MAL LAMPUNG
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang selalu melimpahkan rahmat, taufiq, dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang ini.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Mata Kuliah ini. Dalam
penulisan makalah ini, tidak lepas dari petunjuk dan bimbingan serta masukan
dari semua pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih Kepada Dosen
yang telah membantu dan memberi pengarahan kepada penulis dalam belajar dan
mengerjakan tugas, dan juga semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah ini, sehingga makalah ini dapat selesai tepat waktu.

Makalah ini berusaha penulis susun sebaik-baiknya. Akan tetapi, penulis


menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan dan
kekurangan pengetahuan serta minimnya pengalaman yang penulis miliki. Oleh
karena itu, kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan untuk perbaikan
pembuatan makalah berikutnya.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penyusun dan


umumnya bagi pembaca.

Metro,4 Maret 2023

Penulis

……………………..

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...........................................................................................i

KATA PENGANTAR.......................................................................................ii

DAFTAR ISI.....................................................................................................iii

BAB I. PENDAHULUAN.................................................................................1

A. Latar Belakang...................................................................................1
B. Rumusan Masalah .............................................................................2
C. Tujuan Penulisan..............................................................................2
BAB II. Pembahasan.........................................................................................3

A. Pengertian Ilmu Mewarisi................................................................3


B. Dasar hukun......................................................................................4
C. Rukun Dan syarat –syara..................................................................4
D. Sebab sebab terhalangannya waris...................................................6
BAB IV. PENUTUP.........................................................................................11

A. Kesimpulan ....................................................................................11
B. Saran...............................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara dengan mayoritas Agama Islam


terbanyak di dunia. Dari luas wilayah sekitar 1.904.569 km2 yang terbentang dari
Pulau Sabang di bagian barat Indonesia hingga Pulau Merauke di bagian timur
Indonesia dan Pulau Miangas yang berada di ujung utara bagian Indonesia hingga
Pulau Rote yang berada di ujung selatan bagian Indonesia serta penduduknya
yang berjumlah sekitar 258.316.051 jiwa, sekitar 75 % nya adalah penganut
Agama Islam.

Banyak sekali penganut Agama Islam yang berada di Indonesia. Namun


dari segi kuantitas yang begitu banyak tidaklah menjamin kualitas kaum
muslimin yang berada di Indonesia itu sendiri. Banyak kaum muslimin yang
berada di Indonesia yang masih sangat awam dan masih sangat minim
pengetahuan tentang agamanya sendiri. Hal itu sudah banyak dibuktikan dengan
kejadian – kejadian yang terjadi di sekitar kita seperti halnya banyak para pejudi ,
pemabuk , perampok , dan lain sebagainya , itu merupakan ulah atau tindakan dari
kaum muslimin itu sendiri. Perbuatannya itu sangatlah tidak mencerminkan umat
muslim. Justru dengan sikapnya itu hanya membuat reputasi Agama Islam
dipandangan kaum non muslim itu sangatlah tidak baik sekali.

Dan suatu peristiwa yang sudah kerap terjadi di lingkungan sekitar kita
yaitu terjadinya suatu keributan antar saudara di dalam keluarga hanya karena
masalah tentang warisan, bahkan pembagian harta warisan tersebut tidaklah adil
seperti halnya yang telah dilakukan Arab jahiliah dahulu.1 Banyak di kalangan
kaum muslimin yang bertengkar atau terputusnya silaturahmi antar saudara hanya
karena pembagian warisan yang menurut mereka itu tidaklah adil di pihak yang
bersangkutan.

Padahal jika mereka itu menerapkan hukum mawaris atau ilmu mawaris
yang sudah diatur dalam agamanya, maka tidak akan terjadi suatu keributan atau
1
Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid I, (Jakarta: Al – I’tishom: 2010), p. 658

1
pertengkaran. Karena Agama Islam itu adalah agama yang membawa rahmat bagi
alam semesta.

Hukum mempelajari ilmu faraidh adalah fardhu kifayah. Begitu


pentingnya ilmu faraidh sampai dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW. sebagai
separuh ilmu.2 Walaupun hukum mempelajarinya adalah fardu kifayah tetapi tetap
kita sebagai pelajar harus mengetahui hal tersebut agar dikemudian hari dapat
menerapkannya dimana kita berada.

B. Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah yang dapat penulis jabarkan adalah sebgai
berikut:
a. Apa yang di maksut dengan ilmu mawaris ?
b. Apa saja Dasar hukum Ilmu waris?
c. Apa saja Rukun dan syarat –syarat nya ?
d. Apa saja Sebab sebab terhalangnya waris ?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan yang dapat penulis jabarkan adalah sebgai
berikut:
a. Mengetahui apa ilmu mawaris
b. Mengetahui Dasar hukum Ilmu waris
c. Mengetahui Rukun dan syarat –syarat nya
d. Mengetahui Sebab sebab terhalangnya waris

2
____, Ilmu Fiqh 3, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
Departemen Agama RI, Proyek Pembinaan Prasarana dan sarana Perguruan Tinggi Agama/ IAIN
di Jakarta, 1986), hlm 3

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ilmu Mawaris

Faraidh adalah bentuk jamak dari kata faridha yang diambil dari kata al
faradh yang berarti at-taqdir “ketentuan” ,seperti dalam firman Allah swt.,
“...setengah dari apa yang telah kamu tentukan...” (Al-Baqarah:237). Adapun
menurut terminologi syara’,faraidh adalah bagian ahli waris yang telah ditentukan
jumlahnya. Ilmu yang mempelajari tentangnya disebut dengan ilmu mirats (ilmu
waris) atau ilmu faraidh.3

Ilmu Mawaris adalah ilmu yang mempelajari tentang pembagian harta


orang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup dengan
bagian tertentu yang sudah ditetapkan secara syar’i. Jika harta dibagikan kepada
ahli waris sebelum meninggal dunia itu bukanlah sebagai harta waris melainkan
sebagai hadiah.4

Dalam pengertian yang lain, harta warisan atau tirkah adalah semua harta
yang ditinggalkan oleh orang yang sudah mati secara mutlak. 5 Pengertian ini
dibenarkan oleh Ibnu Hazm. Ia berkata, “sesungguhnya” Allah telah mewajibkan
adanya warisan dalam setiap harta yang ditinggal orang setelah wafat, bukan
selain harta. Adapun peninggalan yang berupa hak, tidaklah diwariskan kecuali
hak yang mengikuti harta atau termasuk dalam pengertian harta atau termasuk
dalam pengertian harta, seperti jika hak itu berupa pengaduan, dan hak tinggal di
tanah yang telah diperuntukkan untuk pembangunan dan tanaman. Adapun
menurut pengikut mazhab Imam Maliki, Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal, tirkah
mencakup semua harta dan hak yang ditinggalkan mayit, baik hak tersebut berupa
harta benda maupun bukan.

3
Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid I.(Jakarta: Al – I’tishom: 2010), p. 657
4
Miftahul Hamdi, Pendalaman Materi Ushul Fiqih, p.51
5
Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid I.(Jakarta: Al – I’tishom: 2010), p. 657

3
B. Dasar Hukum

QS. An – Nisa : 11

Bangsa Arab pada masa jahiliah hanya memberikan warisan kepada


lelaki dewasa, selain kaum wanita dan anak-anak. Diantara mereka juga terjadi
kebiasaan saling mewariskan berdasarkan pada perjanjian.

Kemudian Allah membatalkan semua itu dengan menurunkan ayat,


“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan
untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian
dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang
jumlahnya dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan.
Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta
yang ditinggalkan) dan untuk kedua orang tua (mayit) bagian masing-masing
adalah seperenam dari harta yang ditinggalkan apabila dia (yang wafat)
mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) memiliki beberapa orang saudara,
maka ibunya mendapatkan seperenam. (Pembagian tersebut diatas) setelah
( dipenuhi ) wasiat yang dibuatnya atau ( dan setelah dibayar) utangnya. (tentang)
orang tuamu dan anak-anak mu, kamu tidak mengetahui siapa dianta mereka yang
paling banyak manfatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah
Maha Mengetahui dan Mahabijaksana.”.

C. Rukun dan Syarat - syarat


1. Rukun Waris

Warisan berimplikasi pada adanya tiga komponen6:

a. Ahli waris. Yaitu orang yang berafiliasi kepada mayit dengan suatu sebab
diantara sebab-sebab yang menjadikannya berhak mendapatkan warisan.
b. Pihak yang mewariskan. Yaitu mayit atau ketetapan hukum, seperti orang
hilang yang ditetapkan secara hukum dia telah mati.
c. Sesuatu yang diwariskan, atau yang disebut dengan peninggalan dan
warisan. Yaitu harta atau hak yang dialihkan dari pihak yang mewariskan
kepada ahli waris.
6
Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009), p. 606

4
2. Syarat – syarat warisan

Untuk membuktikan warisan, disyaratkan 3 hal: matinya orang yang


mewariskan, hidupnya orang yang mewarisi dan mengetahui arah kekerabatan.

a. Matinya orang yang mewariskan. Kematian orang yang mewariskan


harus dibuktikkan, bisa secara hakiki, hukmi, atau taqdiri dengan cara
menganalogikan orang – orang yang mati. Mati hakiki adalah tidak
adanya kehidupan, adakalanya dengan melihat, seperti seseorang telah
disaksikan meninggal, atau dengan suatu bukti. Mati hukmi adalah
dengan keputusan hakim. Adakalanya keputusan itu dibarengi adanya
kemungkinan orang yang dimaksud masih hidup atau keyakinan bahwa
orang yang diputusi mati masih hidup.

b. Hidupnya orang yang mewarisi: hidupnya orang yang mewarisi setelah


kematian orang yang mewariskan harus terwujud juga, bisa dengan
kehidupan hakiki dan tetap atau disamakan dengan orang yang masih
hidup dengan perkiraan (taqdiri).

c. Mengetahui arah warisan. Ketiadaan halangan – yaitu tiadanya halangan


warisan – bukanlah syarat warisan. Sebagaimana dinyatakan oleh
undang – undang Mesir, di mana dalam pasal 2 hanya dinyatakan 2
syarat pertama saja.7 Demikian juga, undang – undang Syria dalam pasal
26 menyatakan 2 syarat ini saja. Pasal 261 menyatakan syarat warisan
orang yang hamil. Namun, harus diketahui arah yang menyebakan
warisan. Yakni, hendaklah diketahui bahwa dia adalah orang yang
mewarisi karena arah kekerabatan nasab, karena arah (alasan) suami
istri, keduanya, atau karena Al Wala’. Hal ini dikarenakan adanya
perbedaan hukum dalam masalah tersebut.

D. Sebab – sebab terhalangnya waris

7
Wahbah Az – Zuhaili, Al Fiqhul Islamiy Wal Adillatuh, Jakarta: Gema Insani, 2011, p.350

5
Para ulama mazhab sepakat bahwa, ada 3 hal yang menghalangi warisan,
yaitu: perbedaan agama, pembunuhan, dan perbudakan.

1. Perbedaan agama

Para ulama mazhab sepakat bahwa , non-muslim tidak bisa mewarisi Muslim. 8
Sebagaimana yang tertulis dalam hadits Nabi Muhammad SAW.

َ‫ب ع َْن َعلِ ِّي ب ِْن ُح َس ْي ٍن ع َْن َع ْم ِرو ب ِْن ع ُْث َمان‬ ٍ ‫ْج ع َْن ا ْب ِن ِشهَا‬ ِ ‫َح َّدثَنَا َأبُو ع‬
ٍ ‫َاص ٍم ع َْن ا ْب ِن ُج َري‬
‫ث ْال ُم ْسلِ ُم ْال َكافِ َر‬ َ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ق‬
ُ ‫ال اَل يَ ِر‬ َ ‫ي‬ ِ ‫ع َْن ُأ َسا َمةَ ب ِْن َز ْي ٍد َر‬
َّ ِ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ َما َأ َّن النَّب‬
‫َواَل ْال َكافِ ُر ْال ُم ْسلِ َم‬
“Telah menceritakan kepada kami Abu 'Ashim dari Ibnu Juraij dari Ibnu
Syihab dari Ali bin Husain dari Amru bin Utsman dari Usamah bin Zaid
radliallahu 'anhuma, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Orang muslim
tidak mewarisi orang kafir, dan orang Kafir tidak mewarisi orang muslim." 9

Tetapi mereka berbeda pendapat apakah seorang yang muslim bisa mewarisi non-
muslim?

Imamiyah berpendapat bahwa seorang muslim bisa mewarisi non-muslim.


Sedangkan mazhab yang empat mengatakan : tidak boleh.10

Jadi, kalau salah seorang di antara anak – anak mayit ada yang non-
muslim , lalu masuk islam sesudah orang yang diwarisi itu meninggal dan tirkah
nya sudah dibagikan kepada para ahli warisnya, maka menurut kesepakatan para
ulama mazhab , orang tersebut tidak berhak atas waris tersebut. Tetapi mereka
berbeda pendapat jika dia masuk islam sesudah orang yang diwarisi itu meninggal
tapi tirkah nya belum dibagikan.

Imamiyah dan Hanbali mengatakan : bahwa dia berhak atas waris

Syafi’i , Maliki, dan Hanafi mengatakan : bahwa dia tidak berhak atas waris.11
8
Muhammad Jawad Al Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: PT. Lentera Basritama ,2004),
p, 541
9
Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Kitab Faraidh, No.Hadits.6267
10
Muhammad Jawad Al Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: PT. Lentera Basritama ,2004),
p, 541
11
Muhammad Jawad Al Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: PT. Lentera Basritama ,2004),
p, 541

6
Orang murtad

Orang murtad, menurut pendapat mazhab 4 , tidak berhak atas waris, baik
murtadnya itu dari fitrah maupun dari millah, kecuali bila dia taubat sebelum
dilakukan pembagian tirkah.

Warisan orang – orang beragama lain ( non-islam )

Maliki dan Hanbali mengatakan : para penganut agama – agama non-islam tidak
boleh mewarisi satu sama lain. Dengan demikian seorang Yahudi tidak bisa
mewarisi orang Nasrani, dan sebaliknya.

Imamiyah , Hanafi, dan Syafi’i mengatakan: mereka bisa saling mewarisi satu
sama lain. Sebab mereka mempunyai millah yang sama. Mereka semuanya adalah
orang – orang non-muslim.12

2. Pembunuhan

Menurut Ulama Malikiyah, bahwa ada 10 penghalang warisan.13 Dan


menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah terdapat 3 penghalang warisan.14 Para
ulama mazhab sepakat bahwa, pembunuhan yang sengaja dan tidak memiliki alasa
yang benar, mengakibatkan pelakunya terhalang menerima waris. Ini didasarkan
atas hadits Nabi Muhammad SAW.yang berbunyi:

‫ب َو َع ْب ُد هَّللا ِ بْنُ َس ِعي ٍد ْال ِك ْن ِديُّ قَااَل َح َّدثَنَا َأبُو خَالِ ٍد اَأْلحْ َم ُر ع َْن يَحْ يَى ب ِْن َس• ِعي ٍد‬ٍ ‫َح َّدثَنَا َأبُو ُك َر ْي‬
‫ج قَتَ َل ا ْبنَ•هُ فََأخَ• َذ ِم ْن•هُ ُع َم• ُر ِماَئةً ِم ْن اِإْل بِ• ِل‬
ٍ ِ‫ب َأ َّن َأبَا قَتَا َدةَ َر ُج ٌل ِم ْن بَنِي ُم ْدل‬ ٍ ‫ع َْن َع ْم ِرو ب ِْن ُش َع ْي‬
ُ ‫ص •لَّى هَّللا‬
َ ِ ‫ول هَّللا‬
َ • ‫ْت َر ُس‬ ُ ‫ول َس • ِمع‬ ِ ُ‫ال ابْنُ َأ ِخي ْال َم ْقت‬
َ َ‫ثَاَل ثِينَ ِحقَّةً َوثَاَل ثِينَ َج َذ َعةً َوَأرْ بَ ِعينَ خَ لِفَةً فَق‬
‫يراث‬ َ ‫َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَقُو ُل لَي‬
َ ‫ْس لِقَاتِ ٍل ِم‬

“Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib dan Abdullah bin Sa'id Al

Kindi, keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al

Ahmar dari Yahya bin Sa'id dari Amru bin Syu'aib bahwa Qatadah,
12
Muhammad Jawad Al Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: PT. Lentera Basritama ,2004),
p, 541
13
Wahbah Az – Zuhaili, Al Fiqhul Islamiy Wal Adillatuh, (Jakarta: Gema Insani. 2011), p. 352
14
Wahbah Az – Zuhaili, Al Fiqhul Islamiy Wal Adillatuh, (Jakarta: Gema Insani. 2011), p. 353

7
seseorang lelaki dari Bani Mudlij telah membunuh anaknya. Maka Umar

mengambil darinya seratus ekor unta, yaitu tiga puluh unta hiqqah (unta betina

yang umurnya masuk tahun ke empat), tiga puluh unta jad'ah (unta betina yang

umurnya masuk tahun ke lima), dan empat puluh unta khalifah (unta yang

sedang hamil)." Keponakan korban berkata; "Aku mendengar Rasulullah

shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak ada hak waris bagi seorang

pembunuh."15

Lebih dari itu, dia berarti ingin cepat memperoleh warisan, maka
terhadapnya diperlakukan yang sebaliknya. Terhadap yang selain itu, para ulama
berbeda pendapat.

Imamiyah, mengatakan bahwa barangsiapa yang membunuh kerabatnya


sebagai qishash, atau untuk mempertahankan diri , atau karena perintah hakim
yang adil, dan alasan – alasan lain yang dibenarkan oleh syara’ , maka
pembunuhan seperti ini tidak menghalanginya untuk memperoleh waris.
Demikian pula halnya dengan pembunuhan tidak sengaja.16

Tentang hal tersebut di atas, masing – masing imam di kalangan mazhab


empat mempunyai pandangan sendiri – sendiri. Imam Malik memiliki pendapat
yang sama dengan Imamiyah. Imam Syafi’i berpendapat bahwa pembunuhan
tidak sengaja, menghalangi hak atas waris , persis dengan pembunuhan sengaja.
Sementara itu, Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa pembunuhan yang
menghalangi hak memperoleh warisan adalah pembunuhan yang mengakibatkan
adanya hukuman, sekalipun dalam bentuk harta. Dengan demikian, tidak
termasuk pembunuhan yang dilakukan karena kebenaran, maka mereka berhak
menerima harta waris. Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa
pembunuhan yang menyebabkan terhalangnya hak atas waris adalah pembunuham
yang mengakibatkan adanya qishash , diyat, atau kafarat, termasuk di dalamnya

15
Imam Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Kitab Diyat, No.Hadits.2636
16
Wahbah Az – Zuhaili, Al Fiqhul Islamiy Wal Adillatuh, (Jakarta: Gema Insani. 2011), p. 547

8
pembunuhan tidak sengaja. Tidak termasuk di dalamnya kematian yang
diakibatkan oleh perbuatannya secara tidak langsung (seperti menggali lubang)
dan yang dilakukan oleh orang gila dan anak kecil.17

a. Ashabah bin nafsih

Ahli waris yang mendapat sisa harta karena dirinya sendiri.

Penerima ashabah bin nafsih merupakan ashabah yang paling dekat dan akan
menerima warisan secara berturut – turut sebagai berikut:

- Anak laki – laki


- Anak laki – laki dari anak laki – laki
- Ayah
- Kakek dari pihak ayah ke atas
- Saudara sekandung
- Saudara seayah
- Anak laki – laki dari saudara laki – laki kandung
- Anak laki – laki dari saudara laki – laki seayah
- Paman kandung (saudara laki – laki ayah sekandung)
- Paman seayah (saudara laki – laki ayah seayah)
- Anak paman sekandung
- Anak paman seayah

Bila beberapa orang yang disebutkan di atas bertemu satu sama lain
dalam pembagian tirkah, maka – menurut mazhab empat – anak laki – laki
didahulukan dari ayah mayit, dalam arti ayah mengambil bagian tetapnya, yakni
seperenam, dan sisanya diberikan kepada anak sebagai ashabah. Demikian pula
dengan anak laki – laki dari anak laki – laki mayit, didahulukan daripada ayah.
Juga ayah didahulukan dari kakek dari jalur ayah. Terdapat perbedaan tentang
kakek ini: apakah dia lebih didahulukan dari saudara – saudara laki – laki dalam
menerima warisan ataukah mereka itu pada posisi yang sama?

17
Wahbah Az – Zuhaili, Al Fiqhul Islamiy Wal Adillatuh, (Jakarta: Gema Insani. 2011), p. 547 -
548

9
Hanafi mengatakan, kakek didahulukan daripada saudara, dan mereka
(saudara – saudara) tidak memperoleh bagian waris sedikitpun bersama kakek.
Sementara itu, Imamiyah dan Syafi’i dan Maliki mengatakan mereka menerima
waris bersama – sama dengan kakek, sebab mereka itu berada pada peringkat
yang sama.18

b. Ashabah bil ghair

Ahli waris yang mendapat sisa harta karena bersama ahli waris ashabah yang
sederajat/setingkat.

- Anak perempuan bersama dengan anak laki – laki


- Cucu perempuan bersama dengan cucu laki – laki
- Saudari sekandung bersama dengan saudara sekandug
- Saudari sebapak bersama dengan saudara sebapak19

Catatan:

Kaidah umum: bagian laki – laki 2 : 1 dengan perempuan.20

c. Ashabah ma’al ghair

Ahli waris yang menjadi ashobah karena bersama ahli waris yang sederajat /
setingkat.

- Saudara perempuan sekandung bersama dengan anak perempuan atau


bersama cucu perempuan
- Saudara perempuan sebapak bersama dengan anak perempuan atau bersama
cucu perempuan

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

18
Muhammad Jawad Al Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: PT. Lentera Basritama,2004),
p, 553
19
Miftahul Hamdi, Pendalaman Materi Ushul Fiqih, p.52
20
Miftahul Hamdi, Pendalaman Materi Ushul Fiqih, p.53

10
Ilmu Mawaris adalah ilmu yang mempelajari tentang pembagian harta
orang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup dengan
bagian tertentu yang sudah ditetapkan secara syar’i. Jika harta dibagikan kepada
ahli waris sebelum meninggal dunia itu bukanlah sebagai harta waris melainkan
sebagai hadiah. Hukum waris ini pun dilandasi oleh dalil Alquran yang bertumpu
atau tolak ukur yaitu Q.S. An – Nisa:11. Ayat tersebut diturunkan karena pada
saat itu kebiasaan bangsa Arab jahiliah yaitu hanya memberikan hak waris kepada
kaum laki – laki saja, bahkan di antara mereka pun ada yang menjadikan hak
waris itu melalui sebuah perjanjian. Di dalam hukum waris pun terdapat
rukunnya,

Dalam proses pewarisan pun terdapat penyebab mengapa seseorang


mendapatkan hak waris. Mereka yang mendapatkan jatah warisan itu memilki
sebab – sebab masing di antaranya, (1) kekerabatan atau nasab hakiki, (2)
hubungan suami istri atau nikah yang sah, yang dimaksudkan adalah akad yang
sah, baik disertai menggauli istri atau tidak, dan (3) Wala’, yaitu kekerabatan
secara hukum yang dibentuk oleh syar’i karena memerdekakan budak. Disamping
sebab – sebab menerima harta warisan tersebut. Terdapat hal – hal yang menjadi
penghalang seseorang menjadi tidak mendapatkan hak harta warisan, yaitu (1)
perbedaan agama, (2) pembunuhan, dan (3) perbudakan.

B. Saran dan Kritik

Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah Swt karena dengan segala


nikmat yang Dia berikan kami dapat menyelesaikan makalah mata kuliah Fiqih
yang berjudul Hukum Waris. Namun dengan selesainya makalah ini bukan berarti
makalah ini telah disusun secara sempurna akan tetapi kami pun sangat berharap
kepada Pak Hafidz Taqiyuddin, M.A.,Hk. selaku dosen pengajar atau dosen
pengampu dapat memberikan saran dan kritik kepada kami agar dapat menjadi
tolak ukur dalam membuat makalah untuk kedepannya.

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

11
Hamdi, Miftahul. Pendalaman Materi Ushul Fiqh.

Mughniyah, Muhammad Jawad. 2004. Fiqih Lima Mazhab. Jakarta: PT. Lentera
Basritama

Sabiq, Sayyid. 2009. Fiqih Sunnah Jilid 5. Jakarta: Cakrawala Publishing

Sabiq, Sayyid. 2010. Fiqih Sunnah Jilid I. Jakarta: Al – I’tishom

Zuhaili, Wahbah. 2011. Al Fiqhul Islamiy Wal Adillatuh. Jakarta: Gema Insani

____ . Ilmu Fiqh 3. 1986. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan


Agama Islam Departemen Agama RI, Proyek Pembinaan Prasarana dan sarana
Perguruan Tinggi Agama/ IAIN di Jakarta.

Jurnal :

Taqiyuddin, Hafidz. " Membuktikan Keadilan dalam Hukum Waris Islam"


Syakhsia : Jurnal Hukum Perdata Islam [Online], Volume 15 Number 01 (24 June
2016)

Internet :

http://jendelaislam2.blogspot.com/2017/03/ahli-waris-laki-laki-dan-
peremuan.html

12

Anda mungkin juga menyukai