Anda di halaman 1dari 17

TUGAS PROPOSAL

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DAN BUDI PEKERTI


TENTANG HUKUM WARIS DALAM ISLAM

Disusun oleh:
Yasyrif Saban A.

SMK Satria Nusantara


Program Keahlian Teknik Komputer Jaringan
Tahun Ajaran 2023-2024
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kami panjatkan kepada tuhan yang maha esa karena atas segala

anugerah, dan kasihnya yang begitu besar kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan karya

tulis kami yang berjudul “Pengaruh Kemajuan Iptek Terhadap Negara Kesatuan Republik

Indonesia.” Karya tulis ini di susun berdasarkan datadata yang didapat dari berbagai sumber.

Pendekatan dan penyajian portofolio ini pada dasarnya membahas mengenai pengaruh

kemajuan iptek dari berbagai aspek terhadap negara kesatuan republik indonesia. Kami sebagai

penulis telah berusaha menyusun karya tulis ini sebaik mungkin. Akan tetapi, kami menyadari

bahwa karya tulis ini berlumlah sempurna. Oleh karena itu, semua kritik dan saran demi perbaikan

karya tulis ini akan kami sambut dengan senang hati.

Akhir kata, kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Sukadi S.Pd. Selaku guru pengajar

pendidikan pancasila dan kewarganegaraan yang telah membimbing kami di Smk Satria Nusantara.

Bekasi, 4 Desember 2023 Penulis

Yasyrif Sa’ban
DAFTAR ISI

Table of Contents
KATA PENGANTAR.......................................................................................................................16
DAFTAR ISI.....................................................................................................................................17
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................................18
1.1 Latar Belakang............................................................................................................................18
1.2 Rumusan Masalah:......................................................................................................................18
1.3 Tujuan Penelitian.........................................................................................................................18
1.4 Manfaat Penelitian.......................................................................................................................18
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................................19
2.1 Pengertian Kewarisan Islam.......................................................................................................19
2.4 Sumber-Sumber Hukum kewarisan Islam..................................................................................22
2.6 Sebab –Sebab Hilangnya Hak Kewarisan Dalam Islam............................................................26
2.7 Rukun Dan Syarat Kewarisan.....................................................................................................26
2.8 Golongan Dan Bagian Waris.....................................................................................................28
2.9 Besaran Bagian Ahli Waris..................................................................................................29
BAB III PENUTUP...........................................................................................................................30
Kesimpulan 3.1..................................................................................................................................30
3.2. Saran...........................................................................................................................................30
KATA PENGANTAR.......................................................................................................................31
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan
bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang
lingkup kehidupan manusia, bahwa setiap manusia akan mengalami peristiwa yang merupakan
hukum yang lazimnya disebut dengan meninggal dunia. Apabila ada peristiwa hukum, yaitu
meninggalnya seseorang sekaligus menimbulkan akibat hukum, yaitu bagaimana tentang
pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia.
1.2 Rumusan Masalah:
1. Bagaimana Eksistensi Penetapan Warisan Oleh Pewaris Non Muslim Terhadap Ahli
Waris Muslim ? 2. Faktor apa yang menyebabkan ahli waris muslim memperoleh warisan dari
pewaris non muslim ?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai tujuan penelitian sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui dan
menggambarkan bagaimana eksistensi penetapan warisan oleh pewaris non muslim terhadap ahli
waris muslim 2. Untuk mengetahui fakor apa yang menyebabkan ahli waris muslim memperoleh
warisan dari pewaris non muslim.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan juga mampu memberikan manfaat yaitu : 1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis, sekurang-kurangnya dapat
berguna sebagai sumbangan pemikiran bagi dunia pendidikan. Terutama dalam bidang ilmu hukum
khususnya dalam kewarisan beda agama 2. Manfaat Praktis a. Bagi Peneliti 9 Sebagai bahan
masukan dan bahan pembelajaran kepada peneliti berikutnya yang akan melakukan penelitian
tentang kewarisan beda agama b. Bagi Ilmu Pengetahuan Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan juga sebagai bahan
referensi dalam ilmu pendidikan sehingga dapat memperkaya dan menambah wawasan, dan bagi
peneliti berikutnya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan atau dikembangkan lebih lanjut,
serta referensi terhadap penelitian yang sejenis.
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kewarisan Islam
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata waris berarti Orang yang berhak
menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal. 1 Di dalam bahasa Arab kata waris
berasal dari kata ‫ورث‬-‫يرث‬-‫ ورثا‬yang artinya adalah Waris. Contoh, ‫ اباه ورث‬yang artinya
Mewaris harta (ayahnya).2
Waris menurut hukum Islam adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta
kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli
warisnya.3 dan juga berbagai aturan tentang perpidahan hak milik, hak milik yang
dimaksud adalah berupa harta, seorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya.
Dalam istilah lain waris disebut juga dengan fara‟id. Yang artinya bagian tertentu yang
dibagi menurut agama Islam kepada semua yang berhak menerimanya dan yang telah di
tetapkan bagianbagiannya.4 Adapun beberapa istilah tentang waris yaitu :

1. Waris adalah orang yang termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan. Ada ahli
waris yang sesungguhnya yang memiiki hubungan
kekerabatan yang dekat akan tetapi tidak berhak menerima warisan. Dalam fiqih
mawaris, ahli waris semacam ini disebut ini disebut Zawil al- arham. Hak-hak Waris
bisa ditimbulkan karena hubungan darah, karena hubungan perkawinan, dan karena
akibat memerdekakan hamba.4
2. Mawarrits, ialah orang yang diwarisi harta benda peninggalan. Yaitu orang yang
meninggal baik itu meninggal secara hakiki, secara taqdiry (perkiraan), atau melalui
keputusan hakim. Seperti orang yang hilang (al-mafqud), dan tidak tahu kabar
beritanya setelah melalui pencaharian dan persaksian, atau tenggang waktu tertentu
hakim memutuskan bahwa ia dinyatakan meninggal dunia melalui keputusan hakim.
3. Al-Irts, ialah harta warisan yang siap dibagi kepada ahli waris sesudah diambil untuk
keperluan pemeliharaan zenazah (tajhiz al-janazah), pelunasan utang, serta
pelaksanaan wasiat.
4. Waratsah, ialah harta warisan yang telah diterima oleh ahli waris. Ini berbeda dengan
harta pusaka yang di beberapa daerah tertentu tidak bisa dibagi-bagi, karena menjadi
milik kolektif semua ahli waris.
5. Tirkah, ialah semua harta peninggalan orang yang meninggal dunia sebelum diambil
untuk kepentingan pemeliharaan zenazah, pelunasan utang, dan pelaksanaan wasiyat
yang dilakukan oleh orang yang meninggal ketika masih hidup.5

2.2 Hukum Mempelajari dan Mengajarkan Fiqih MawariS


Agama Islam mengatur ketentuan pembagian warisan secara rinci dalam al-Qur’an agar
tidak terjadi Perselisihan antara sesama ahli waris. agama Islam menghendaki dan
meletakkan prinsip adil dan keadilan sebagai salah satu sendi pembentukan dan
pembinaan masyarakat dapat ditegakkan Ketentuan teresebut tidak dapat berjalan dengan
baik dan efektif, apabila tidak ditunjang oleh tenaga para ahli yang memahami secara
mendalam dan dapat melaksanakan ketentua-ketentuan teresebut dengan baik.
Untuk itu keberadaan orang-orang yang mempelajari hukum waris merupakan
keniscayaan. Para ulama berpendapat mempelajari dan mengajarkan fiqih mawaris adalah

1
2
3
4
5
wajib kifayah artinya suatu kewajiban yang apabila telah ada sebagian orang yang
mempelajarinya, maka dapat menggugurkan kewajiban semua orang. Akan tetapi apabila
tidak ada seorang pun yang mempelajarinya maka semua orang dalam lingkungan itu akan
menanggung dosa ini sejalan dengan perintah Rasulullah Saw, agar ummatnya mempelajari
dan mengajarkan ilmu waris, sebagaimana perintah untuk mempelajari dan mengajarkan
al-Qur’an.

Artinya:“ pelajarilah oleh kalian al-Qur‟an, dan ajarkanlah kepada orang lain, dan
pelajarila pula ilmu faraid, dan ajarkan kepada orang lain. Karena aku adalah orang
yang akan terenggut(mati) sedang ilmu akan dihilangkan. Hampir saja dua orang yang
bersengketa tentang pembagian warisan tidak mendapatkan seorangpun yang memberikan
fatwa, kepada
mereka.”(HR. Ahmad, al-Nasa’i dan al-Daruqtny).6

Hadis di atas menempatkan perintah untuk mempelajari dan mengajarkan ilmu waris
sejalan dengan perintah untuk mempelajari dan mengajarkan al-Qur’an.
Ini tidak lain dimaksudkan, untuk menunjukan bahwa ilmu tentang waris merupakan salah
satu ilmu yang sangat penting dalam rangka mewujudkan keadilan dalam masyarakat.
Naluri manusia memiliki kecendrungan materialistik, serakah, tidak adil, dan kadang
memetingkan diri sendiri, maka mempelajari ilmu faraid, sangatlah perlu.
Oleh karena itu mempelajari dan mengajarkan Fiqih mawaris yang semula fardu
kifayah karena alasan tertentu menjadi fardu „ain, terutama bagi orang –orang yang bagi
masyarakat dipandang sebagai pemimpin atau panutan, terutama pemimpin keagamaan. 7

2.3 Asas-Asas Hukum Kewarisan Islam.


Dalam kewarisan Islam ada beberapa asas yang berkaitan dengan peralihan harta
kepada ahli warist, cara pemililkan harta oleh yang menerima kadar jumlah harta dan
waktu terjdinya peralihan harta. Asas-asas tersebut yaitu:

1. Asas Ijbari
Asas Ijbari ialah pengalihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada
ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah. Tanpa
digantungkan kepada kehendak pewaris dan ahli warisnya dan asas ini dapat dilihat
dari berbagai segi yaitu:
a. Dari segi pewaris, mengandung arti bahwa sebelum meninggal ia tidak dapat
menolak peralihan harta tersebut. Apa pun kemauan pewaris terhadap hartanya,
maka kemauannya dibatasi oleh ketentuan yang di tetapkan oleh Allah. Oleh
karena itu sebelum meninggal Ia tidak perlu memikirkan atau merencanakan
sesuatu terhadap hartanya, kerena dengan meninggalnya seseorang secara otomatis
hartanya beralih kepada ahli warisnya.
b. Dari segi peralihan harta, mengandung arti bahwa harta orang yang meninggal itu
beralih dengan sendirinya, bukan dialihkan oleh siapa-sapa kecuali oleh Allah. Oleh
6
7
karena itulah kewarisan dalam Islam diartikan dengan peralihan harta, bukan
pengalihan harta karena pada peralihan berarti beralih dengan sendirinya sedangkan
pada kata pengalihan ialah usaha seseorang.
c. Dari segi jumlah harta yang beralih, dari segi jumlah dapat dilihat dari kata
“mafrudan” secara etimologis berarti telah ditentukan atau telah diperhitungkan,
kata-kata tersebut dalam terminologi Ilmu Fikih, berarti sesuatu yang telah
diwajibkan Allah kepadanya, yaitu berarti bagian waris sudah ditentukan.8
d. Dari segi penerima peralihan harta itu, yaitu bahwa penerima harta, dan mereka
yang berhak atas harta peninggalan itu sudah ditentukan secara pasti.
Ketentuan asas Ijbari ini dapat dilihat antara lain dalam ketentuan al-Quran
surat

An-nisa ayat : 7

ۗ ‫ِللِّر َج اِل َنِص ْيٌب ِّمَّم ا َتَر َك اْلَو اِلٰد ِن َو اَاْلْقَر ُبْو َۖن َوِللِّنَس ۤا ِء َنِص ْيٌب ِّمَّم ا َتَر َك اْلَو اِلٰد ِن َو اَاْلْقَر ُب ْو َن ِمَّم ا َق َّل ِم ْن ُه َاْو َك ُث َر‬
‫َنِص ْيًبا َّم ْفُرْو ًضا‬

Artinya: Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa
dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian
yang telah ditetapkan.
Ayat di atas menjelaskan bahwa: “bagi seorang laki-laki maupun perempuan
ada nasib dari harta peninggalan orang tuanya atau dari karib kerabatnya, kata
nasib dalam ayat tersebut dalam arti saham, bagian atau jatah dari harta
peninggalan sipewaris.

2. Asas Bilateral
Yang dimaksud dengan asas bilateral dalam hukum kewarisan Islam adalah
seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak kerabat, yaitu dari garis
keturunan perempuan maupun keturunan laki-laki. Untuk lebih jelasnya asas bilateral in
dapat dilihat dalam surah an-Nisa ayat :7, dan 11. Dalam ayat 7 dijelaskan dikemukakan
bahwa seorang laki-laki berhak memperoleh warisan dari pihak ayahnya maupun
ibunya. Begitu juga dengan perempuan mendapat warisan dari kedua belah pihak orang
tuanya. Ayat ini merupakan dasar bagi kewarisan bilateral selanjutnya di pertegas dalam
surah an-Nisa: 11

‫ُيْو ِص ْيُك ُم ُهّٰللا ِفْٓي َاْو اَل ِد ُك ْم ِللَّذ َك ِر ِم ْثُل َح ِّظ اُاْلْنَثَيْيِن ۚ َفِاْن ُك َّن ِنَس ۤا ًء َفْو َق اْثَنَتْيِن َفَلُهَّن ُثُلَثا َم ا َت َر َك ۚ َوِاْن َك اَنْت َو اِح َد ًة‬
ۚ ‫َفَلَها الِّنْص ُف ۗ َو َاِلَبَو ْيِه ِلُك ِّل َو اِحٍد ِّم ْنُهَم ا الُّسُد ُس ِمَّم ا َتَر َك ِاْن َك اَن َلٗه َو َلٌد ۚ َفِاْن َّلْم َيُك ْن َّلٗه َو َل ٌد َّو َو ِرَث ٓٗه َاَب ٰو ُه َفُاِلِّم ِه الُّثُلُث‬
ۗ‫َفِاْن َك اَن َلٓٗه ِاْخ َو ٌة َفُاِلِّمِه الُّسُد ُس ِم ْۢن َبْع ِد َوِص َّيٍة ُّيْو ِص ْي ِبَه ٓا َاْو َد ْيٍن ۗ ٰا َب ۤا ُؤ ُك ْم َو َاْبَن ۤا ُؤ ُك ْۚم اَل َت ْد ُرْو َن َاُّيُهْم َاْق َر ُب َلُك ْم َنْفًع ا‬
‫َفِر ْيَض ًة ِّم َن ِهّٰللاۗ ِاَّن َهّٰللا َك اَن َع ِلْيًم ا َحِكْيًم ا‬

8
Artinya: “Allah mensyari´atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-
anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak
perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka
dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka
ia memperoleh setengah dari harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-
masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu
mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi
oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-
pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah
dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui
siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah
ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
3. Asas Individual
Yang dimaksud asas individual ini adalah, setiap ahli waris (secara individu)
berhak atas bagian yang didapatkan tanpa terikat kepada ahli waris lainya. Dengan
demikian bagian yang diperoleh oleh ahli waris secara individu berhak mendapatkan
semua harta yang telah menjadi bagianya. Ketentuan ini dapat dijumpai dalam
ketentuan Alquran surat an-Nisa ayat 7 yang secara garis besar menjelaskan bahwa
anak laki-laki maupun prempuan berhak meerima warisan dari orang tuanya dan karib
kerabatnya, terlepas dari jumlah haran yang yang telah ditentukan .yang mengemukakan
bahwa bagian masing-masing ahli waris ditentukan.
4. Asas Keadilan Berimbang
Yang dimaksud asas keadilan berimbang adalah keseimbangan antara antara hak
dengan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan kebutuhan dan
kegunaan. Dengan perkataan lain dapat dikemukakan bahwa faktor jenis kelamin tidak
menentukan dalam hak kewarisan.
5. Kewarisan Akibat Kematian
Hukum waris Islam memandang bahwa terjadinya peralihan harta hanya semata-
mata karena adanya kematian. Dengan perkataan lain harta seseorang tidak dapat
beralih apabila belum ada kematian. Apabila pewaris masih hidup maka peralihan harta
tidak dapat dilakukan dengan pewarisan.

2.4 Sumber-Sumber Hukum kewarisan Islam


Ada beberapa Sumber hukum ilmu faraidh adalah alQur’an, as- Sunnah Nabi saw, dan
ijma para ulama.9
1. Al-Qur’an
Dari sumber hukum yang pertama al-Qur’an, setidaknya ada tiga ayat yang memuat
tentang hukum waris. Ada beberapa ayat yang berkaitan dengan kewarisan yaitu:
tersebut dalam surat An-Nisa ayat 11:
‫ُيْو ِص ْيُك ُم ُهّٰللا ِفْٓي َاْو اَل ِد ُك ْم ِللَّذ َك ِر ِم ْثُل َح ِّظ اُاْلْنَثَيْيِن ۚ َفِاْن ُك َّن ِنَس ۤا ًء َفْو َق اْثَنَتْيِن َفَلُهَّن ُثُلَثا َم ا َت َر َك ۚ َوِاْن َك اَنْت َو اِح َد ًة َفَلَه ا‬
‫الِّنْص ُف ۗ َو َاِلَبَو ْيِه ِلُك ِّل َو اِحٍد ِّم ْنُهَم ا الُّسُد ُس ِمَّم ا َتَر َك ِاْن َك اَن َلٗه َو َلٌد ۚ َفِاْن َّلْم َيُك ْن َّلٗه َو َل ٌد َّو َو ِرَث ٓٗه َاَب ٰو ُه َفُاِلِّم ِه الُّثُلُث ۚ َف ِاْن‬
‫َك اَن َلٓٗه ِاْخ َو ٌة َفُاِلِّمِه الُّسُد ُس ِم ْۢن َبْع ِد َو ِص َّيٍة ُّيْو ِصْي ِبَهٓا َاْو َد ْيٍن ۗ ٰا َبۤا ُؤ ُك ْم َو َاْبَنۤا ُؤ ُك ْۚم اَل َتْد ُرْو َن َاُّيُهْم َاْقَر ُب َلُك ْم َنْفًع اۗ َفِرْيَض ًة‬
‫ِّم َن ِهّٰللاۗ ِاَّن َهّٰللا َك اَن َع ِلْيًم ا َحِكْيًم ا‬
Artinya: “Allah mensyari´atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-
anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak

9
perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka
dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka
ia memperoleh setengah dari harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-
masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu
mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi
oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-
pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah
dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui
siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah
ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Q.s. An-Nisa ayat: 12
۞ ‫َو َلُك ْم ِنْص ُف َم ا َتَر َك َاْز َو اُج ُك ْم ِاْن َّلْم َيُك ْن َّلُهَّن َو َلٌد ۚ َفِاْن َك اَن َلُهَّن َو َلٌد َفَلُك ُم الُّر ُبُع ِمَّم ا َت َر ْك َن ِم ْۢن َبْع ِد َو ِص َّيٍة ُّيْو ِص ْيَن‬
‫ِبَهٓا َاْو َد ْيٍن ۗ َو َلُهَّن الُّر ُبُع ِمَّم ا َتَر ْكُتْم ِاْن َّلْم َيُك ْن َّلُك ْم َو َلٌد ۚ َفِاْن َك اَن َلُك ْم َو َلٌد َفَلُهَّن الُّثُم ُن ِمَّم ا َت َر ْكُتْم ِّم ْۢن َبْع ِد َو ِص َّيٍة ُتْو ُص ْو َن‬
‫ِبَهٓا َاْو َد ْيٍن ۗ َوِاْن َك اَن َر ُجٌل ُّيْو َر ُث َك ٰل َلًة َاِو اْمَر َاٌة َّو َلٓٗه َاٌخ َاْو ُاْخ ٌت َفِلُك ِّل َو اِحٍد ِّم ْنُهَم ا الُّسُد ُۚس َف ِاْن َك اُنْٓو ا َاْكَث َر ِم ْن ٰذ ِل َك َفُهْم‬
‫ُش َر َك ۤا ُء ِفى الُّثُلِث ِم ْۢن َبْع ِد َو ِص َّيٍة ُّيْو ٰص ى ِبَهٓا َاْو َد ْيٍۙن َغْيَر ُمَض ۤا ٍّرۚ َو ِص َّيًة ِّم َن ِهّٰللاۗ َو ُهّٰللا َع ِلْيٌم َحِلْيٌۗم‬

Artinya : Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai
anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah
dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri
memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak.
Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta
yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah
dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang
tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang
saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi
masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika
saudarasaudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang
sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar
hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan
yang demikian itu sebagai) syari´at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Penyantun.

Ayat yang lebih menegaskan warisan laki-laki dan perempuan dalam Q.s an-Nisa ;176 :
‫َيْسَتْفُتْو َنَۗك ُقِل ُهّٰللا ُيْفِتْيُك ْم ِفى اْلَك ٰل َلِةۗ ِاِن اْم ُر ٌؤ ا َهَلَك َلْيَس َلٗه َو َلٌد َّو َلٓٗه ُاْخ ٌت َفَلَها ِنْص ُف َم ا َتَر َۚك َو ُهَو َيِرُثَهٓا ِاْن َّلْم َيُك ْن َّلَها َو َلٌد ۚ ِا اَنَتا‬
‫َك‬ ‫ْن‬ ‫َف‬


‫اْثَنَتْيِن َفَلُهَم ا الُّثُلٰث ِن ِمَّم ا َتَر َكۗ َو ِاْن َك اُنْٓو ا ِاْخ َو ًة ِّر َج ااًل َّوِنَس ۤا ًء َفِللَّذ َك ِر ِم ْثُل َح ِّظ اُاْلْنَثَيْيِۗن ُيَبِّيُن ُهّٰللا َلُك ْم َاْن َتِض ُّلْو اۗ َو ُهّٰللا ِبُك ِّل َش ْي ٍء َع ِلْيٌم‬

Artinya; Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah


memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia
tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki
mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi
jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-
saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara lakilaki sebanyak
bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu,
supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

2. Hadis
Ada beberapa hadis yang menerangkan tentang pembagian harta waris antara lain:

Artinya: dari Ibnu Abbas ra. Nabi Muhammad Saw bersabda” berikanlah harta
pusaka kepada orangorang yang berhak sesudah itu sisanya untuk laki-laki yang lebih
utama.(Hr.Muslim).10

Artinya: Dari Usamah bin Said ra. Bahwasanya Nabi saw bersabda: tidaklah
berhak seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak pula orang kafir mewaisi ( Hr.
Bukhari dan Muslim)11

‫(روه البغا ر ومسلم‬

Artinya “ Serahkanlah bagian-bagian kepada ahlinya, maka apa yang lebih adalah
bagi laki-laki yang lebih dekat.( Bukhari dan Muslim)
Hadis diatas menjelaskan bawa bagian anak laki
–laki lebih besar dari bagian anak perempuan.

3. Ijma dan Ijtihad


Para sahabat, tab‟in, generasi pasca sahabat dan tabi‟it tabi‟in dan generasi
pasca tabi‟in. Telah
berijma atau bersepakat tentang legalitas ilmu faraid dan tidak ada yang dapat
menyalahinya.12 Imamimam mazhab yang berperan dalam pemecahanpemecahan
masalah waris yang belum dijelaskan dalam nash-nash shorih.
2.5 Sebab- Sebab Adanya Hak Kewarisan Dalam Islam.
Ada beberapa sebab dalam kewarisan dalam islam terkait hak seseorang mendapatkan
warisan yaitu hubungan kekerabatan dan hubngan perkawinan. Kedua bentuk hubungan itu
adalah sebagai berikut.
10
11
12
1. Hubungan Kekerabatan.
Hubungan kekerabatan atau biasa disebut hubungan nasab ditentukan oleh adanya
hubungan darah, dan adanya hubungan darah dapat diketahui pada saat adanya kelahiran,
seorang ibu mempunyai hubungan kerabat dengan anak yang dilahirkannya dan si anak
mempunyai hubungan kekerabatan dengan kedua orang tuanya.
Hubungan kekerabatan antara anak dengan ayahnya ditentukan oleh adanya akad
nikah yang sah antara ibunya dengan ayahnya, dengan mengetagui hubungan
kekerabatan antara ibu dengan anaknya dan anak dengan ayahnya, dapat pula diketahui
hungan kekerabatan ke atas yaitu kepada ayah atau ibu dan seterusnya, kebawah, kepada
anak beserta keturunanya. Dari hubungan kerabat yang demikian, dapat juga diketahui
struktur kekerabatan yang tergolong ahli waris bilamana seorang mninggal dunia dan
meninggalkan harta warisan.
Hubungan kerabata tersebut, bila dianalisis pengelompokannya menurut Hazairin
yang mengelompokannya kedalam tiga kelompok ahli waris, yaitu dzawul faraid, dzawul
qarabat dan mawali. Yang dimaksud mawali ialah ahli waris pengganti, atau dapat juga
diartikan sebagai orang-orang yang menjadi ahli waris dikarenakan tidak lagi
penghubung antara mereka dengan pewaris. Demikian pendapat ahlus sunna yang
mengelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu dzawul faraid, ashabah, dan dzawul
arham.
2. Hubungan Perkawinan.
Kaitan hubungan perkawinan dengan hukum kewarisan Islam, berarti hubungan
perkawinan yang sah menurut Islam. Apabila seorang suami meninggalkan harta
warisan dan janda, maka istri yang dinggalkan itu termasuk ahli warisnya demikian
pula sebaliknya .
3. Al-Wala‟ (Memerdekakan Hamba Sahaya atau Budak) Al-Wala‟ adalah
hubungan kewarisan akibat seseorang memerdekakan hamba sahaya, atau melelui
perjanjian tolong menolong. Untuk yang terakhir ini, agaknya jarang dilakukan jika
malah tidak ada sama sekali. Adapun al-wala‟ yang pertama disebut dengan wala‟ al-
„ataqah atau „ushubah sababiyah, dan yang kedua disebut dengan wala‟ al-mualah,
yaitu wala‟yang timbul akibat kesedihan seseorang untuk tolong menolong dengan
yang lain melalui suatu perjanjian perwalian. Orang yang memerdekakan hamba sahaya,
jika laki-laki disebut dengan al-mu‟tiq dan jika perempuan al-mu‟tiqah. Wali penolong
disebut maula’ dan orang yang ditolong yang disebut dengan mawali.
Adapun bagian orang yang memerdekakan hamba sahaya adalah 1/6 dari harta
peninggalan. Jika kemudian ada pertanyaan apakah sekarang masih ada hamba sahaya,
maka jawabanya adalah bahwa hapusnya perbudakan merupakan salah satu
keberhasilan misi Islam. Karena memang imbalan warisan kepada al-mu‟tiq dan atau
al-mu‟tiqah salah satu tujuanya adalah untuk memberikan motifasi kepada siapa saja
yang mampu, agar membantu dan mengembalikan hak-hak hamba sahaya menjadi
orang yang merdeka.13

2.6 Sebab –Sebab Hilangnya Hak Kewarisan Dalam Islam.


Adapun yang dimaksud sebab hilangnya hak keawarisan adalah hal-hal yang
menggugurkan hak ahli waris untuk mendapatkan harta warisan dari pewaris. Ada
beberapa sebab yang mengakibatkan ahli waris kehilangan haknya yaitu:
1. Perbudakan

13
Seorang yang berstatus sebagai budak tidaklah mempunyai hak untuk mewarisi
sekalipun dari saudaranya. Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak menjadi milik
tuannya juga.
2. Perbedaan Agama.
Adapun yang dimaksud perbedaan agama ialah keyakinan yang dianut antara ahli
waris dan muaris
(orang yang mewarisi) ini menjadi penyebab hilangnya
hak kewarisan sebagaimana ditegaskan dalam hadis Rasulullah dari Usama bin Zaid,
diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Tirmizi dan Ibn Majah. Yang telah
disebutkan bahwa seorang muslim tidak bisa menerima warisan dari yang bukan
muslim.14 Dari hadis tersebut dapat diketahui bahwa hubungan antara kerabat yang
berbeda agama dalam kehidupan sehari-hari hanya nenyangkut hubungan sosial saja.
3. Pembunuhan
Pembunuhan menghalangi seseorang untuk mendapatkan warisan dari pewaris yang
dibunuhnya. Ini berdasarkan hadis Rosulullah dari Abu Hurairah yang di riwayatkan
oleh Ibn Majah, bahwa seseorang yang membunuh pewarisannya tidak berhak
menerima warisan dari orang yang dibunuhnya. Dari hadis tersebut menegaskan bahwa
pembunuhan
menggugurkan hak kewarisan.
4. Berlainan Negara
Yang dimaksud dengan negara dalam hal ini ialah ibarat suatu daerah yang
ditempat tinggali oleh muarris dan ahli waris, baik daerah itu berbentuk kesultanan,
kerajaan, maupun republik.
5. Murtad
Adapun yang dimaksud Murtad ialah orang yang keluar dari agama Islam, dan
tidak dapat menerima harta pusaka dari keluarganya yang muslim. Begitu pula
sebaliknya.

2.7 Rukun Dan Syarat Kewarisan


Pada dasarnya persoalan waris-mewarisi selalu identik dengan perpindahan
kepemilikan sebuah benda, hak dan tanggung jawab dari pewaris kepada ahli warisnya.
Dan dalam hukum waris Islam penerimaan harta warisan didasarkan pada asas ijbari,
yaitu harta warisan berpindah dengan sendirinya menurut ketetapan Allah swt tanpa
digantungkan pada kehendak pewaris atau ahli waris.15 Pengertian tersebut akan terwujud
jika syarat dan rukun mewarisi telah terpenuhi dan tidak terhalang mewarisi. Ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pembagian harta warisan. Syarat-syarat
tersebut selalu mengikuti rukun, akan tetapi sebagian ada yang berdiri sendiri. Ada tiga
rukun warisan yang telah disepakati oleh para ulama, tiga syarat tersebut adalah:

1. Pewaris baik secara haqiqy, hukmy (misalnya dianggap telah meninggal) maupun
secara taqdiri.
2. Adanya ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima harta
penenggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab),atau ikatan
pernikahan, atau lainnya.
3. Harta warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalankan pewaris
baik berupa uang, tanah.

14
15
Adapun syarat waris harus terpenuhi pada saat pembagian harta warisan. Rukun
waris dalam hukum kewarisan Islam, diketahui ada tiga macam, yaitu:
1. Muwaris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang, yang
mewariskan hartanya. Syaratnya adalah muwaris benar-benar telah meninggal dunia.
Kematian seorang muwaris itu, menurut ulama dibedakan menjadi 3 macam:
a. Mati Haqiqy (mati sejati).
Mati haqiqy (mati sejati) adalah matinya muwaris yang diyakini tanpa
membutuhkan putusan hakim dikarenakan kematian tersebut disaksikan oleh
orang banyak dengan panca indera dan dapat dibuktikan dengan alat bukti yang
jelas dan nyata.
b. Mati Hukmy ( mati menurut putusan hakim atau yuridis).
Mati Hukmy (mati menurut putusan hakim atau yuridis) adalah suatu
kematian yang dinyatakan atas dasar putusan hakim karena adanya beberapa
pertimbangan. Maka dengan putusan hakim secara yuridis muwaris dinyatakan
sudah meninggal meskipun terdapat kemungkinan muwaris masih hidup. Menurut
pendapat Malikiyyah dan Hambaliyah, apabila lama meninggalkan tempat itu
berlangsung selama 4 tahun, sudah dapat dinyatakan mati. Menurut pendapat
ulama mazhab lain, terserah kepada ijtihad hakim dalam melakukan pertimbangan
dari berbagai macam segi kemungkinannya.
c. Mati Taqdiry (mati menurut dugaan).
Mati taqdiry (mati menurut dugaan) adalah sebuah kematian (muwaris)
berdasarkan dugaan yang sangat kuat, misalnya dugaan seorang ibu hamil yang
dipukul perutnya atau dipaksa minum racun. Ketika bayinya lahir dalam keadaan
mati, maka dengan dugaan kuat kematian itu diakibatkan oleh pemukulan
terhadap ibunya.
2. Waris (ahli waris)
Yaitu orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan baik hubungan
darah (nasab), hubungan sebab semenda atau perkawinan, atau karena
memerdekakan hamba sahaya.
Syaratnya adalah pada saat meninggalnya muwaris, ahli waris diketahui benar-benar
dalam keadaan hidup. Termasuk dalam hal ini adalah bayi yang masih dalam
kandungan (al-haml). Terdapat juga syarat lain yang harus dipenuhi, yaitu, antara
muwaris dan ahli waris tidak ada halangan saling mewarisi.

3. Al –Mauruts
Adalah segala sesuatu harta benda yang menjadi warisan. Baik berupa harta
atau hak yang termasuk dalam kategori warisan.

2.8 Golongan Dan Bagian Waris


a. Golongan ahli waris
Adapun ahli waris dari kalangan dari kalangan laki-laki ada sepuluh yaitu:
1) Anak laki-laki
2) Cucu laki-laki dari anak laki-laki
3) Ayah
4) Kakek dan terus ke atas
5) Saudara laki-laki sekandung
6) Saudara laki-laki dari ayah
7) Paman
8) Anak laki-laki
9) suami
10) Tuan laki-laki yang memerdekakan budak
Ada tujuh ahli waris dari dari kalangan perempuan
1) Anak perempuan
2) Anak perempuan dari anak laki-laki
3) Ibu
4) Nenek
5) Saudara perempuan
6) Istri
7) Tuan wanita yang memerdekakan budak
Ada lima ahli waris yang yang tidak perna gugur mendapatkan mendapatkan hak
waris
1) Suami
2) Istri
3) Ibu
4) Ayah
5) Anak yang langsung dari pewaris16 Dan ashabah yang paling dekat yaitu:

1) Anak laki-laki
2) Cucu dari anak laki-laki
3) Ayah
4) Kakek dari pihak ayah
5) Saudara laki-laki seayah dan seibu
6) Saudara laki-laki seayah
7) Anak laki-laki dari saudara laki seayah dan seibu
8) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
9) Paman
10) Anak laki-laki paman
11) Jika Ashabah tidak ada, maka tuan yang memerdekakan budaklah yang
Mendapatkannya.

2.9 Besaran Bagian Ahli Waris


Setiap ahli waris memiliki besaran bagian masing-masing dalam hukum waris Islam. Untuk
mengetahui hal tersebut, kamu bisa melihat tabel pembagian harta warisan menurut Islam di bawah
ini:

1. Pembagian Warisan Kepada Anak Perempuan

16
Pembagian warisan kepada anak perempuan menurut Islam dapat dilihat dari status anak
perempuan. Jika anak perempuan itu anak tunggal, maka warisannya setengah. Namun, jika Anda
memiliki 2 anak perempuan atau lebih, Anda akan mendapatkan 2/3 bagian.

Menurut hukum waris Islam, jika ahli waris mempunyai anak perempuan dan anak laki-laki, maka
anak laki-laki akan menerima 2 kali bagian warisan yang sama dengan masing-masing anak
perempuan. Misalnya, sebuah keluarga memiliki harta warisan Rp 15 miliar untuk dibagikan
kepada 3 anak perempuan dan 1 anak laki-laki. Jadi setiap anak perempuan mendapat Rp 3 miliar
dan satu anak laki-laki mendapat Rp 6 miliar.

2. Pembagian warisan kepada istri atau janda

Pembagian warisan ketika seorang laki-laki meninggal atas nama istri atau jandanya menurut Islam
adalah istri atau janda menerima setengah dari harta yang dibagi dengan suaminya. Lebih dari
separuh harta bersama (milik suami) dibagi rata antara istri atau janda dan anak-anaknya. Namun
menurut hukum waris Islam, setelah kematian suami, jika suami tidak mempunyai anak, maka istri
atau janda menerima seperempat bagian. Tetapi jika laki-laki itu mempunyai anak, istri atau janda
mendapat seperdelapan bagian.

3. Pembagian Warisan Kepada Ayah

Hukum Waris Islam mengatur bahwa ayah memegang peranan penting dalam pembagian warisan.
Jika ayah dari putra mahkota menerima sepertiga dari warisan yang ditinggalkan oleh putra
mahkota (putranya). Namun, syarat ini berlaku selama pembagian warisan jika Anda tidak
memiliki anak. Jika pewaris memiliki anak, bagian ayah berkurang sekitar seperenam.

4. Pembagian warisan kepada ibu

Ibu pewaris juga berhak atas warisan. Menurut hukum waris Islam, ibu menerima sepertiga dari
seluruh harta peninggalan ahli waris (anaknya) jika ia tidak memiliki anak. Jika ada keturunan, ibu
hanya mendapat seperenam. Tapi ini benar ketika ibu tidak bersama ayah. Jika mereka masih
bersama, ibu hanya menerima sepertiga dari hak istri atau janda.

5. Pembagian Warisan Kepada Anak Laki-Laki

Menurut Hukum Islam tentang Warisan, anak laki-laki memiliki bagian yang lebih besar
dibandingkan dengan anak perempuan putra mahkota, yaitu dua kali lipat. Tetapi jika anak laki-
laki adalah anak tunggal, maka bagiannya adalah setengah dari harta warisan putra mahkota (ayah).

BAB III PENUTUP


Kesimpulan 3.1.
Mengenai kedudukan ahli waris menurut Hukum Waris Islam, Al-Qur’an telah memberikan garis-
garis pokoknya mengenai siapa saja yang dapat menjadi ahli waris beserta bagiannya masing-
masing, yang kemudian digolongkan menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu:
1) Ahli waris secara faraaidh, yaitu ahli waris yang mendapat bagian tetap sebagaimana telah
ditentukan dengan jelas di dalam Al-Qur’an;
2) Ahli waris qarabat atau asabah, yaitu ahli waris yang mendapat bagian warisan tidak
tertentu jumlahnya atau mendapat bagian sisa atau bagian terbuka;
3) Ahli waris yang tidak termasuk golongan pertama dan kedua, yaitu:
a. Menurut Hazairin adalah ahli waris pengganti (mawali); atau
b. Menurut Syafi’i adalah ahli waris yang memiliki hubungan darah dengan pewaris
melalui garis penghubung anak perempuan tetapi tidak termasuk golongan faraaidh
maupun ashabah (dzawul arham).
Apabila jumlah hutang pewaris lebih besar daripada harta peninggalan pewaris, maka untuk
penyelesaiannya, ahli waris dapat memilih salah satu dari tiga pendapat ulama (mazhab) yang telah
dikenal masyarakat, yaitu:
1. Lebih mendahulukan hutang kepada Allah swt, lalu kemudian utang kepada sesama
manusia (mazhab Syafi’iyyah);
2. Mendahulukan terlebih dahulu utang kepada manusia, baru selanjutnya utang kepada Allah
swt, dengan pertimbangan bahwa manusia lebih memerlukan pelunasan piutangnya
(mazhab Hanafiyyah dan Malikiyyah);
3. Kedudukan pelunasan utang kepada Allah swt, sama halnya dengan utang kepada sesama
manusia. Dengan demikian untuk pelunasannya, dilakukan menurut perbandingan kedua
macam utang tersebut (mazhab Hambaliyyah).
3.2. Saran
1. Perlu adanya suatu undang-undang tersendiri mengenai Hukum Kewarisan Islam yang
mengatur dengan lebih jelas, tegas, dan terperinci yang didasarkan pada Al Qur’an, hadits
Rasulullah saw, dan juga ijma para ulama untuk dijadikan pegangan atau landasan hukum
bagi mereka yang beragama Islam ketika dihadapkan pada berbagai macam permasalahan
mengenai pembagian harta warisan tersebut;
2. Berkenaan dengan penyelesaian utang pewaris, sebaiknya diselesaikan secara musyawarah
mufakat diantara para ahli waris, karena Al-Qur’an dan Kompilasi Hukum Islam telah
mengatur dengan jelas bahwa ahli waris wajib menyelesaikan hal-hal berkenaan dengan
utang pewaris; Tanggung jawab..., Yulia Hidayat, FH UI, 2010. 90 Universitas Indonesia
3. Perlunya adanya sosialisasi mengenai hukum waris Islam ini kepada masyarakat khususnya
bagi mereka yang beragam Islam, sebab aturanaturan mengenai waris Islam dalam Al
qur’an tidak diatur secara khusus hanya dalam satu surat, akan tetapi tersebar dalam
beberapa surat. Sehingga menyulitkan bagi mereka yang tidak terlalu mendalami ilmu Al
Qur’an.
KATA PENGANTAR
Tim penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia,.ed.3 .( jakarta: balai pustaka 2001)h.. 1386.
Munawwir,ahmad warson. Kamus Al Munawwir (pustaka
progressif, Surabaya, thun1997,)h. 1634
Effendi Perangin, Hukum Waris,(Jakarta: Rajawali Pers ,2008), h.3 4 Beni Ahmad Saebani, Fiqih
Mawaris, (Bandung :Pustaka setia, 2012), h 13.
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta Utara: PT Raja Grafindo
Persada,2005), h.4
Ibid, h.5
Ibid. h.6
Imam Abi Abdurahman Ahmad Bin Syu’aib An-Nasa’i, Kitab AsSunan Al-Kubra ,
Ibid h. 7
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, ( Jakarta: Sinar Grafika , Tahun
2008).h.39 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam,( Jakarta: Prenada Media tahun 2004) h.19 Ibid
h.21
Ibid h.24 Ibid h. 28
Addys Aldizar, Faturraman, Hukum Waris, ( Jakarta: Senayan Abadi Publisbing, 2004) h.14 Imam Az-
Zabidi, Shahih Al- Bukori Ringkasan Hadis , ( Jakarta:
Pustaka Amani Thun 2002) h.035
Muhammad bin Ismail al –Bukhari, Jus IV, ahli bahasa
Zainuddi, Hamidy, DKK, Terjemah Shahih Bukhari , hadis no 1799 ( Jakarta: Widajaya, thun 1992) h. 91
Ibid h. 19.
Ibid hlm. 20.
Fahtur Rahman, Ilmu Waris (Bandung:PT Alma’arif thun 1981) h. 33 Op. Cit Ahmad Rofiq h.45
Muhammad Muslih, Fiqih (Bogor: Yudhistira, thun 2007) h. 126
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta; Sinar Grafika tahun 2007) h.112.
Ibid. hlm.113. Op. Cit Fatchur Rahman h. 105
Muhammad Ali As-Shabuni, Hukum Kewarisan Menurut AlQur‟an Dan Sunnah ( Jakarta: Cv
Diponegoro, thun 2004) h.64
Muhammad Daut Ali, Asas Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali press thn 1990) h. 129
Op. Cit.Addys Aldizar, Faturraman, Hukum Waris ,h.28 Long. Cit Ahmad Rofiq h.28 Mustafa Bid
Al-Bugha, Fiqih Islam Lengkap, (Surakarta: Media Zikir thun 2009) h.327
Ibid h. 328

Anda mungkin juga menyukai