Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH MUNAKAHAT

SISTEM KEWARISAN DALAM ISLAM

“Disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas kelompok pada


Mata Kuliah Munakahat”
Dosen Pengampuh : Syamsul Effendi,S.Ag., M.A

Nama Kelompok 8 :

Tasya Dwi Ariani


Sri Wulandari
Mutia Sari
Putri Sari

FAKULTAS EKONOMI

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

UNIVERSITAS ISLAM SUMATERA UTARA

2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillahirobbil ’alamin. Segala puji bagi Allah, Rabb sekalian alam, yang telah
melimpahkan nikmat, kesempatan dan kekuatan sehingga dapat menyelesaikan makalah ini
yang berjudul “ Kewarisan dalam Islam” dan semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk kita
semua. Penyususnan makalah ini dalam rangka memenuhi tugas Mata Pelajaran Munakahat
yang diampu oleh ustazd syamsul Efendi.

Tidak ada orang yang tidak suka, dan semua orang berkeinginan dan senantiasa berusaha
mencari harta. Oleh karenanya sering terjadi persaingan dalam mencari harta, dan jika tidak
ada kontrol diri akhirnya terjadi permusuhan. Banyak pula yang jatuh ke lembah yang nista
dan menjadi tidak berharga karena usahanya dalam mencari harta menggunakan cara-cara yang
tidak terpuji dan dilarang hukum negara dan agama.

Asal harta dapat dari berbagai bermacam sumber, Salah satu asal harta yakni dapat
diperoleh dari harta warisan. Harta warisan merupakan salah satu hal yang penting yang terjadi
setelah meninggalnya seseorang. Selayaknya harta maka harta warisan sering pula
menimbulkan pertentangan, permusuhan bahkan kekerasan fisik akibat perebutan harta. Oleh
karena itu perpindahan harta warisan merupakan hal yang sangat penting untuk diatur.

Cara pembagian harta warisan inilah yang memunculkan hukum bagaimana cara membagi
warisan yang disebut hukum waris.

Semoga makalah ini dapat memberikan nilai guna dan manfaat dan bahan diskusi dalam
pengembangan hukum Islam.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Medan, 06 Maret 2023

penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………………..ii

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………iii

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………………..1

1. Latar Belakang…………………………………………………………………...1

BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………………...3

1. Definisi Waris dan Dasar Hukumnya…………………………………………...3


1.1 Definnisi mawaris/waris……………………………………………………...3
1.2 Hukum waris…………………………………………………………………3
2. Hal-hal yang harus Didahulukan dalam Warisan……………………………...4
3. Rukun Waris Dalam Islam……………………………………………………….5
4. Sistem Waris Pada Zaman Jahiliyah……………………………………………6
5. Sebab-sebab Mendapat Waris…………………………………………………...7
6. Sebab-sebab Tidak Mendapat Warisan ………………………………………..8
7. Hikmah Waris…………………………………………………………………...10

BAB III PENUTUP………………………………………………………………………….12

1. Kesimpulan……………………………………………………………………...12
2. Saran …………………………………………………………………………….13

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Warisan adalah kajian yang berkaitan dengan masalah hibah karena itu
berhubungan dengan harta benda dari pemberi harta sehingga bila pemberi harta
hibah meninggal maka ia akan berganti menjadi seorang pewaris.1 Terhadap hal ini
maka harta benda yang telah diberikan tersebut menjadi hitungan dalam suatu
masalah kewarisan sehingga seorang anak penerima harta hibah pasti akan terlibat
dalam masalah pembagian waris.

Dalam hukum waris telah ditentukan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, dan
siapa-siapa yang berhak mendapatkan bagian harta warisan tersebut, berapa bagian
mereka masing-masing, bagaimana ketentuan pembagiannya, serta diatur pula
berbagai hal yang berhubungan dengan soal pembagian harta warisan.2 Hukum
kewarisan yang berlaku di kalangan masyarakat Indonesia sampai saat masih bersifat
Pluralistis, yang berarti dalam pembagian warisan ada yang tunduk kepada hukum
waris dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata, hukum waris Islam dan hukum
adat. Perbedaan pembagian warisan ini terjadi karena masyarakat Indonesia
berbhineka yang terdiri dari beragam suku bangsa yang memiliki adat istiadat dan
hukum adat yang beragam antar yang satu dengan yang lainnya berbeda, dan
memiliki karakteristik tersendiri.

Perpindahan harta seseorang kepada orang lain dalam bentuk kewarisan, harus
terpenuhi tiga hal pokok, yaitu adanya pewaris, ahli waris dan harta warisan. Pewaris
adalah pemilik harta warisan, dan ahli waris adalah orang-orang yang akan menerima
perpindahan harta warisan dari orang yang telah meninggal dunia. Sedangkan harta
warisan adalah hak dan harta milik yang ditinggalkan oleh seseorang dengan sebab
telah meninggal dunia.
Apabila ketiga hal pokok tersebut telah terpenuhi, maka secara otomatis
perpindahan harta warisan orang yang telah meninggal dunia (pewaris) akan
berpindah kepada para orang-orang yang masih hidup yang mempunyai hubungan
sebab-sebab dan syarat-syarat kewarisan dengan bagian-bagian yang telah ditentukan
atau ditetapkan dalam al-Quran.Walaupun syarat kematian atau meninggalnya
1
pewaris dipersyaratkan secara mutlak pembagian harta warisan dikatakan sebagai
pembagian harta dalam bentuk kewarisan sebagaimana dijelaskan pada al-Quran dan
sebagaimana yang diatur pada Pasal 171 huruf b Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Berdasarkan ketentuan tersebut dapat disimpangi dengan membolehkan pembagian
harta warisan sebelum terjadinya kematian pada diri pewaris

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Waris dan Dasar Hukumnya


1. Definisi Mawaris/waris
Menurut bahasa, mawaris merupakan bentuk jamak dari kata miras artinya harta yang
diwariskan. Sedangkan secara istilah, mawaris adalah ilmu yang mempelajari cara-cara
pembagian harta peninggalan setelah orang meninggal dunia.
Ilmu mawaris juga disebut dengan ilmu Faraid, yaitu ilmu yang menjelaskan perkara
pusaka. Pusaka adalah peninggalan orang yang sudah mati, artinya harta benda dan hak
yang ditinggalkan oleh orang yang mati untuk dibagikan kepada yang berhak
menerimanya. Dengan demikian, dapat disimpulkan, definisi ilmu mawaris adalah ilmu
yang mempelajari tentang ketentuan –ketentuan pembagian harta pusaka bagi ahli waris
menurut hokum islam.
Tujuan ilmu mawaris atau Faraid adalah untuk menyelamatkan harta orang yang
meninggal agar terhindar dari pengambilan oleh orang-orang yang tidak berhak
menerimanya, dan agar jangan ada orang yang memakan harta hak milik orang lain.
Warisan dibagikan kepada ahli waris sesudah memberi warisan meninggal dunia.
Perhatikan firman Allah berikut ini!(QS. An-Nisa’:7)
Artinya :
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan
kerabatnya, dan bagi seorang wanita ada hak bagian (pula) dan peninggalan ibu-
bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah
ditetapkan (QS. An-Nisa’:7).

2. Hukum Waris
waris merupakan salah satu bagian hukum yang sifatnya menyangkut kepentingan
perseorangan. Berdasarkan dasar hukum waris dalam KUHPer Pasal 830, pewarisan harta
warisan hanya dapat berlangsung ketika pewaris telah dinyatakan meninggal dunia.
Selanjutnya dalam Pasal 836 KUHPer, harta warisan yang dialihkan pada ahli waris juga
memiliki syarat dimana ahli waris tersebut harus dinyatakan masih hidup agar bisa
mengabil alih harta warisan.

3
B. Hal-hal yang harus Didahulukan dalam Warisan
Ada 4 Hal yang harus didahulukan sebelum pembagian harta waris. Jika suatu
permasalahan waris telah terpenuhi padanya rukun waris, syarat waris, sebab waris, dan
tidak didapati penghalang waris, maka langkah selanjutnya adalah membagikan harta waris
tersebut kepada Ahli Warisnya sesuai dengan apa yang dibimbingkan Allah ta’ala dan
Rasul-Nya ‫ﷺ‬. [Pembagian harta waris ini tentunya dengan melalui proses penghitungan
tertentu, sebagaimana yang dirinci dalam Ilmu Al-Faraidh]

Namun perlu diketahui, ada empat perkara terkait dengan harta waris, yang amat
menentukan proses pembagian harta waris. Di mana proses pembagian harta waris tidak
akan bisa dilakukan hingga benar-benar diselesaikan terlebih dahulu empat perkara
tersebut. Empat perkara itu adalah:
1. Biaya pemakaman si mayit dan segala sesuatu yang berkaitan dengan pengurusan
jenazahnya.
2. Utang dalam bentuk barang (berkaitan langsung dengan barang yang diwariskan),
seperti sepeda motor utang (kredit) milik si mayit, dll. Dengan kata lain, utang mayit
yang berbentuk gadai/utang beragunan.
3. Utang secara mutlak yang tidak berkaitan dengan barang, baik utang tersebut
berkaitan dengan hak Allah ta’ala seperti zakat, kaffarah, haji (jjka sudah ada
kemampuan secara finansial) dan lain-lain, maupun yang berkaitan dengan hak
manusia seperti pinjam uang, transaksi tertentu yang belum dilunasi, pembayaran gaji
pegawai dan lain-lain.
4. Pelaksanaan wasiat yang ditujukan kepada selain Ahli Waris dengan nominal yang
tidak lebih dari 1/3 harta waris. Jadi misalnya wasiat yang membutuhkan dana dari
harta mayit, berupa infak dalam wasiat, pembiayaan haji, perwasiatan harta kepada
kawan atau kerabat, dan lain-lain. Seperti telah dikatakan sebelumnya, wasiat tidak
boleh melebihi sepertiga warisan, dan juga tidak boleh diberikan kepada ahli waris,
karena mereka telah mendapat harta jatah warisannya, sehingga tidak adil jika mereka
mendapat dua jatah; wasiat dan warisan.

Demikianlah empat perkara yang harus didahulukan sebelum pembagian harta waris.
Jika empat perkara tersebut telah diselesaikan dengan baik, maka tibalah saatnya
pembagian harta waris sesuai dengan yang dibimbingkan Allah ta’ala dan Rasul-Nya ‫ﷺ‬.

4
C. Rukun Waris Dalam Islam

Menurut Pasal 171 Kompilasi Hukum Islam, hukum kewarisan adalah hukum yang
mengatur tentang pemindahan hak pemilikan atas harta peninggalan pewaris kemudian
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan menentukan berapa bagian
masing-masing.

Mengacu pada pasal tersebut, Al Qur’an merupakan landasan utama sebagai dasar
hukum yang mengatur pembagian waris dalam Islam. Sementara ketetapan-ketetapan
mengenai warisan biasanya diambil dari sumber seperti hadis-hadis Rasulullah SAW.

Dalam Al-Qur’an, hukum waris dibahas pada Surat Al-Baqarah ayat 180 yang menjelaskan
bahwa wasiat merupakan kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa kepada Allah SWT.

Selain itu, Surat An-Nisa ayat 11-12 juga menjelaskan bahwa dalam hukum waris Islam,
kedudukan wasiat sangat penting sehingga harus didahulukan sebelum dilakukannya
pembagian harta yang ditinggalkan oleh pewaris kepada ahli warisnya.

Seperti tertera di atas, hukum waris Islam di Indonesia diatur dalam Kompilasi Hukum
Islam atau KHI. KHI sendiri dibentuk atas Instruksi Presiden No. 1/1991. Berlandaskan
Al-Qur'an serta hadis, KHI digunakan secara khusus oleh Pengadilan Agama untuk
menangani permasalahan keluarga Islam di Indonesia.

• Penggolongan Kelompok Ahli Waris dalam Hukum Waris Islam menurut Hukum Islam
1. Penggolongan kelompok berdasarkan hubungan darah
➢ Pria: Ayah, anak pria, saudara pria, paman, serta kakek
➢ anita: Ibu, anak wanita, saudara wanita, serta nenek
2. Penggolongan kelompok menurut hubungan perkawinan
➢ Janda atau duda

Secara urutan, jika ahli waris ada dan bisa menerima waris, yang paling berhak secara
berturut-turut adalah anak laki-laki, anak perempuan, ayah, ibu, paman, kakek, nenek,
saudara laki-laki, saudara perempuan, janda, lalu duda.

Sementara itu penggolongan kelompok ahli waris dari segi pembagian dalam hukum waris
Islam KHI dibagi menjadi tiga kategori, yakni:

5
1. Kelompok ahli waris Dzawil Furudh atau kelompok yang mendapat pembagian pasti.
Kelompok ini terdiri dari anak perempuan, ayah, ibu, istri (janda), suami (duda),
saudara laki-kaki atau saudara perempuan satu ibu, dan saudara perempuan kandung
satu ayah.
2. Kelompok ahli waris yang tidak ditentukan pembagiannya. Kelompok ini terdiri dari
anak laki-laki dan keturunannya, anak perempuan dan keturunannya (bila bersama anak
laki-laki), saudara laki-laki bersama saudara perempuan bila pewaris tidak memiliki
keturunan dan ayah, kakek dan nenek, serta paman dan bibi (baik dari pihak ayah
maupun ibu dan keturunannya).
3. Kelompok ahli waris pengganti diatur pada pasal 185 hukum waris Islam KHI jika
terjadi ahli waris mengalami kematian terlebih dahulu dari pewarisnya. Jika terjadi hal
tersebut, maka penggantinya adalah anak dari ahli waris tersebut (kecuali orang yang
terhalang hukum sesuai Pasal 173), keturunan dari saudara laki-laki/perempuan
sekandung, nenek dan kakek dari pihak ayah, nenek dan kakek dari pihak ibu, serta bibi
dan paman beserta keturunannya, dari pihak ayah (bila tidak ada nenek dan kakek dari
pihak ayah).

• Rukun Waris
Terdapat beberapa rukun yang harus dipenuhi dalam hukum waris Islam agar harta
waris dapat dibagikan kepada para ahli waris. Rukun warisan tersebut antara lain:
1. Orang yang mewariskan atau Al-Muwarrits, dalam hal ini orang yang telah
meninggal dunia yang berhak mewariskan harta bendanya.
2. Orang yang mewarisi atau Al-Warits, dalam hal ini orang yang memiliki ikatan
kekeluargaan dengan Al-Muwarrits berdasarkan sebab-sebab yang menjadikannya
sebagai orang yang bisa mewarisi.
3. Harta warisan atau Al-Mauruts merupakan harga benda yang ingin diwariskan
karena ditinggalkan oleh Al-Muwarrits setelah peristiwa kematiannya.

D. Sistem Waris Pada Zaman Jahiliyah


Bangsa Arab pada zaman jahiliyah memiliki sifat kekeluargan patrilineal. Bangsa
Arab pada zaman jahiliyah tergolong salah satu bangsa yang gemar mengembara dan
berperang, kondisi daerahnya kering dan tandus mengharuskan mereka menjalani hidup
penuh keberanian dan kekerasan. Tradisi pembagian harta warisan pada zaman jahiliyah,
berpegang teguh pada tradisi yang telah diwariskan oleh nenek moyang atau leluhur

6
mereka, yaitu anak-anak yang belum dewasa dan kaum perempuan dilarang mempusakai
harta peninggalan ahli warisnya yang telah meninggal. Mereka beranggapan bahwa anak-
anak perempuan dan orang yang berusia lanjut adalah orang yang lemah fisiknya dan tidak
berharga. Karena kaum wanita, anak kecil, dan orang lanjut usia tidak mampu mencari
nafkah, tidak sanggup berperang dan tidak mampu merampas harta musuh, sehingga
mereka tidak berhak menerima harta warisan dari keluarga atau orang tuanya sendiri.

Pada masa jahiliyah ini selain tidak mendapatkan warisan, para wanita juga dapat
diwariskan, hal ini sebagaimana dijelaskan oleh ulama salaf. Apabila wanita itu yang
ditinggal suaminya itu berparas cantik, maka ahli waris akan menikahinya sehingga dapat
bersenang senang dengan diri dan hartanya, jika dia bertahta. Namun apabila wanita itu
tidak cantik maka ahli waris menikahkan dengan laki-laki lain agar mendapatkan harta dari
calon suaminya. Hal ini disebabkan karena antara suami istri tidak saling mewarisi.
Sebelum Islam datang , kaum wanita sama sekali tidak mempunyai hak untuk menerima
warisan dari peninggalan pewaris (orang tua ataupun kerabatnya). Dengan dalih bahwa
kaum wanita tidak dapat ikut berperang membela kaum dan sukunya. Bangsa Arab
jahiliyah dengan tegas menyatakan, “bagaimana mungkin kami memberikan warisan (harta
peninggalan) kepada orang yang tidak bisa dan tidak pernah menunggang kuda, tidak
mampu memanggul senjata, serta tidak pula berperang melawan musuh. “Mereka
mengharamkan kaum wanita menerima harta warisan sebagaimana mereka
mengharamkannya kepada anak-anak kecil.

E. Sebab-sebab Mendapat Waris

Dalam kajian fikih Islam hal-hal yang menyebabkan seseorang mendapatkan warisan
ada 4 yaitu :

1. Sebab Nasab (Hubungan keluarga)


Nasab yang dimaksud disini adalah nasab hakiki. Artinya hubungan darah atau
hubungan kerabat, baik dari segi garis atas atau leluhur si mayit (ushul), garis
keturunan (furu’), maupun hubungan kekerabatan garis menyimpang (hawasyi),
baik laki-laki maupun perempuan.

7
Misalnya seorang anak akan memperoleh harta warisan dari bapaknya dan
sebaliknya, atau seseorang akan memperoleh harta warisan dari saudaranya, dan lain-
lain. Sebagaimana firman Allah SWT :

Artinya:“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peniggalan ibu-
bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”
(QS. An-Nisa : 7)

2. Sebab pernikahan yang sah


Yang dimaksud dengan pernikaha yang sah adalah berkumpulnya suami istri
dalam ikatan pernikahan sah. Dari keduanya inilah muncul istilah-istilah baru
dalam ilmu mawaris, seperti : dzawil furudh, ashobah, dan furudh
muwaddlarah. Allah SWT Berfirman :

Artinya : “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
istri-istri kamu, jika mereka tidak mempunyai anak” (QS. An-Nisa’ : 12)

3. Sebab Kesamaan Agama


Ketika seorang muslim meninggal sedangkan ia tidak memiliki ahli waris, baik
ahli waris kepada sebab nasab, nikah, ataupun wala (memerdekakan budak)
maka harta warisannya dipasrahkan kepada baitul mal untuk maslahat umat
islam. Hal tersebut berdasarkan pada sabda Rasulullah Saw.

Artinya : “ Aku adalah ahli waris bagi orang yang tidak mempunyai ahli waris” (HR.
Ahmad dan Abu Dawud)

F. Sebab-sebab Tidak Mendapat Warisan

Dalam kajian ilmu faraidh, hal-hal yang menyebabkan seseorang tidak mendapatkan
harta warisan masuk dalam pembahasan mawani’ul irs (penghalang- penghalang warisan).
Penghalang yang dimaksud disini adalah hal-hal tertentu yang menyebabkan seseorang
tidak mendapatkan warisan, padahal pada awal mulanya ia merupakan orang-orang yang
semestinya mendapatkan harta waris.

8
Orang yang terhalang mendapatkan warisan disebut dengan mamnu’ al-irs atau mahjub
bil washfi (terhalang karena adanya sifat tertentu). Mereka adalah; pembunuh, budak,
murtad, dan orang yang berbeda agama dengan orang yang meninggalkan harta warisnya.
Berikut penjelasan singkat ketiga kelompok manusia yang masuk dalam kategori mamnu’
al-irs tersebut:

a) Pembunuh

Orang yang membunuh salah satu anggota keluarganya maka ia tidak berhak
mendapatkan harta warisan dari yang terbunuh. Dalam salah satu qaidah fiqhiyah
dijelaskan:

Artinya: ”Barangsiapa yang tegesa-gesa untuk mendapatkan sesuatu, maka ia


tidak diperbolehkan menerima sesuatu tersebut sebagai bentuk hukuman
untuknya.”

Rasulullah Saw. dalam salah satu sabdanya, menegaskan bahwa seorang pembunuh
tidak akan mewarisi harta yang terbunuh. Beliau Saw. bersabda:

“Bagi pembunuh tidak berhak mendapatkan warisan sedikitpun”.(HR. an-Nasa’i


dan al-Daruqutni)

b) Budak

Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak berhak mendapatkan harta


warisan dari tuannya. Demikian juga sebaliknya, tuannya tidak berhak
mendapatkan warisan dari budaknya karena ia memang orang yang tidak
mempunyai hak milik sama sekali. Terkait dengan hal ini Allah berfirman:

Artinya: “Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang


dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun.” (QS. An-Naḥl: 75)

c) Orang Murtad

Murtad artinya keluar dari agama Islam. Orang murtad tidak berhak mendapat
warisan dari keluarganya yang beragama Islam. Demikian juga sebaliknya.
Rasulullah Saw. bersabda:

9
“Orang Islam tidak bisa mewarisi harta orang kafir, dan orang kafir tidak bisa
mewarisi harta dari orang Islam (Muttafaq ‘Alaih)

d) Agama Perbedaan

Orang Islam tidak dapat mewarisi harta warisan orang kafir meskipun masih
kerabat keluarganya. Demikian juga sebaliknya. Dalil syar’i terkait hal ini adalah
hadis yang telah kita pelajari sebelumnya bahwa seorang muslim tidak akan
menerima warisan orang kafir, sebagaimana juga orang kafir tidak akan menerima
warisan orang muslim.

G. Hikmah Warisan

Hikmah mawaris antara lain sebagai berikut :

1. Memperkuat keyakinan bahwa allah betul-betul maha adil, karena keadilan Allah
tidak hanya terdapat pada alam ciptaan-Nya, tetapi juga pada hukum-hukum yang
telah ditetapkan-Nya, seperti hukum waaris islam. Pembagian harta warisan
menurut hukum waris islam sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan, sehingga tidak
ada ahli waris yang merasa dirugikan. Prinsip-prinsip keadilan tersebut antara lain
:
a) Semua ahli waris yang mempunnyai hubungan darah secara langsung dengan
pewaris (ibu, ayah, anak laki-laki dan anak perempuan) tentu akan mendapat
bagian harta warisan. Mereka tidak dapat terhalang oleh ahli waris lain. Ahli
waris yang tidak mempunyai hubungan darah secara langsung dengan pewaris,
mungkin tidak dapat bagian harta waris karena terhalang. Misalnya, kakek
terhalang oleh ayah, nenek terhalang oleh ibu, dan saudara-saudara terhalang
oleh anak.
b) Suami mendapat bagian dan harta peninggalan istrinya dan istri menddapat
bagiann dan harta peninggalan suaminya. Hal ini sesuai dengan prinsip
keadilan. Walaupun antara suami-istri tidak ada hubungan sedarah, tetapi dalam
kehidupan sehari-hari hubungan mereka sangat dekat dan jasanya pun anatara
yang satu terhadap lainnya tidak sedikit. Sungguh adil jika suami/istri mendapat
bagian dan harta warisan dan tidak dapat terhalang oleh ahli waris lain.

10
c) Anak laki-laki mendapat bagian harta warisan dua kali lipat dan bagian anak
perempuan. Hal ini disesuaikan dengan prinsip keadilan bahwa kewajiban dan
tanggung jawab anak laki-laki lebih besar dari pada anak perempuan.
2. Hukum waris islam memberi petunjuk kepada setiap muslim, keluarga muslim, dan
masyarakat islam agar selalu giat melakukan usaha-usaha dakwah dan pendidikan
islam, sehingga tidak ada seorang islam pun yang murtad. Bukankah murtad
merupakan penghalang untuk memperoleh bagaian harta warisan? Bukankah
murtad merupakan dosa yang paling besar?
3. Menghilangkan jurang pemisah antara kelompok kaya dan kelompok miskin serta
dapat mendorong masyarakat untuk maju. Alasannya adalah sebagai berikut :
a) Harta peninggalan orang-orang kaya yang meninggal dunia tetapi tidak
menninnggalkan ahli waris dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat.
Misalnya: untuk mengangkat kemiskinan, menghilangkan kebodohaan, dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
b) Muslim/muslimat yang dikaruniai allah harta kekayaan yang melimpah.
Alangkah baiknya apabila sebelum meninggal dunia berwasiat.

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak
pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa
yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing,
Dari definisi hukum kewarisan menurut KHI ini, dapat kita simpulkan
bahwa hukum kewarisan merupakan aturan-aturan tentang bagaimana
kepemilikan harta peninggalan di bagikan kepada orang-orang yang berhak atas
pembagian itu,serta ketentuan-ketentuan yang mengatur
berapa saja bagian tiap-tiap mereka yang berhak atas harta peniggalan itu.
2. Seorang khunsa dapat mempunyai kedudukan yang sah untuk menjadi ahli
waris berdasarkan kelamin baru apabila telah diperoleh putusan yang sah,
karena telah dilalui proses penanganan secara medis terhadap seorang
khunsa tersebut dan telah melalui proses hukum hukum yang sah maka
seorang khunsa tersebut mengikuti status hukum yang baru apabila terjadi
perubahan status dari yang awalnya misalkan berjenis kelamin wanita
menajadi berjenis kelamin pria, hal ini tidak bertentangan dengan FATWA MUI
dalam MUNAS No. 3 Tahun 2010, dimana penulis menyimpulkan
seorang khunsa dapat tergolong golongan yang sah melakukan operasi
jenis kelamin karena berkelamin ganda, dan statusnya mengikuti jenis kelamin yang
baru setelah dilakukan operasi ataupun sesuai putusan yang
berlaku.
3. Upaya hukum yang dapat dialkukan seorang khunsa untuk memperoleh
kepastian hukum adalah melalui proses pengajuan perubahan data atas
status barunya apabila seorang khunsa telah melakukan operasi pada
kelaminnya/ melakukan pembuangan salah satu kelamin, dengan bukti
secara medis yang sah maka orang tersebut dapat mengajukan perubahan
statusnya ke pengadilan untuk merubah status kependudukan dengan jenis
kelamin yang baru dengan dasar perubahan data tersebut termasuk ke
dalam peristiwa penting menurut UU AMINDUK, meskipun tikdak
terdapat UU yang secara khusus mengatur mengenai seorang khunsa
pengadilan tetap harus menerima kasus tersebut karena menurut UU No.
12
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, pengadilan tidak boleh menolak
suatu perkara meskiipun tidak ada UU yang mengaturnya.

B. Saran
1. Waris merupakan hal penting di dalam hukum Islam karena sering
menimbulkan perselisihan, sebagai umat yang beragama Islam untuk
mecegah perpecahan dalam tali persaudaraan, sebaiknya gunakanlah
pembagian waris sesuai dengan hukum Islam.
2. Sebaiknya Pemerintah membuat UU yang secara khusus mengatur
mengenai kewarisan menurut Hukum Islam termasuk kasus-kasus yang
ada dalam ruanglingkup kewarisan seperti kasus seorang khunsa, transeksual, anak
luar kawin dan lain-lain, agar terdapat kepastian yang
tidak membingungkan masyarakat.
3. Sebagai masayarakat yang hidup di zaman modern, sebaiknya masyarakat
lebih menggali informasi dengan mengikuti perkembangan zaman karena
pentingnya masalah seperti warisan, informasi yang di dapatkan
masyarakat bisa bermanfaat bagi orang lain seperti informasi mengenai
upaya seperti apa apabila seorang khunsa ingin mendapatkan kejelasan
status kewarisannya

13

Anda mungkin juga menyukai