Anda di halaman 1dari 17

PROPOSAL

TENTANG
“HUKUM WARIS ISLAM”

DISUSUN OLEH:

NAMA : VIVIN RUSLAN

NIM : 2018110359

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS FLORES

ENDE

2021
A. JUDUL : KONFLIK WARIS DALAM HUKUM ISLAM .
B. BIDANG ILMU : HUKUM WARIS ISLAM.
C. LATAR BELAKANG MASALAH :

Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara
keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan.Hukum waris
sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia. Sebab semua manusia
akan menglami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Akibat hukum yang
selanjutnya timbul, dengan terjadinya peristiwa hukum seseorang diantaranya ialah
masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban
seseorang yang meninggal dunia tersebut.

Penyelesaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai akibat meninggal nya


seseorang, di atur oleh hukum waris. Untuk pengertian hukum waris sampai saat ini
baik para ahli hukum Indonesia, belum terdapat gambaran pengertian, sehingga istilah
untuk hukum waris masih beraneka ragam. Misalnya saja, Wirjono Prodjokoro
menggunakan istilah hukum warisan. Hazairin menggunakan istilah hukum
kewarisan dan soepomo menyebutnya dengan istilah hukum waris.

Hukum waris yang berlaku di Indonesia sampai saat ini masih belum merupakan
unifikasi hukum. Atas dasar peta hukum waris yang di karenakan atau sebab dia
menjadi ahli waris di kerenakan adanya hubungan darah / nasab dan di kerenakan
adanya perkawinan masih demikian pluralistiknya, akibatnya sampai sekarang ini
pengaturan masalah kewarisan di Indonesia masih belum terdapat keseragaman.
Hukum waris sebagai salah satu bidang hukum yang berada di luar bidang yang
bersifat netral kirannya sulit untuk di perbaharui dengan jalan perundang-undangan atau
kodifikasi guna mencapai suatu unifikasi hukum. Hal itu di sebabkan upaya ke arah
membuat hukum waris yang mendapat kesulitan, mengingat beranekaragamnya corak
budaya,agama,sosial dan adat istiadat serta sistem kekeluargaan yang hidup dan
berkembang di dalam masyarakat Indonesia.

Sebagai akibat dari keadaan masyarakat seperti di kemukakan di atas. Hukum waris
yang berlaku di Indonesia dewasa ini bergantung pada hukumnya pewaris. Hukum
pewaris adalah hukum waris mana yang berlaku bagi orang yang meninggal dunia atau
pewaris termasuk golongan penduduk indonesia, maka yang berlaku adalah hukum waris
adat, sedangkan apabila pewaris termasuk golongan penduduk eropa atau timur asing cina,
bagi mereka berlaku hukum waris barat.

Masih ada hukum yang juga hidup di dalam masyarakat yang berdasarkan kaidah-kaidah
agama, khususnya islam( Al-Qur’an) sehingga apabila pewaris termasuk golongan penduduk
Indonesia yang beragama islam, maka tidak dapat di sangkal bahwa dalam beberapa hal mereka
akan mempergunakan peraturan hukum waris berdasarkan hukum waris islam. Sedangkan
apabila pewaris termasuk dalam golongan Penduduk timur.

Salah satunya sumber tertinggi dalam kaitan ini adalah Al-Qur’an dengan sebagai
pelengkap yang menjabarkannya adalah Sunnah Rasul beserta hasil-hasil ijtihad atau upaya para
ahli hukum islam terkemuka berkaitan dengan hal tersebut, di bawah ini beberapa ayat suci Al-
Qur’an yang merupakan sendi utama pengaturan warisan dalam islam. Ayat-Ayat tersebut secara
langsung menegaskan perihal pembagian harta warisan di dalam Al-Qur’an.

Bagian yang harus di terima semuanya di jelaskan sesuai dengan kedudukan nasab terhadap
pewaris. Dalam surat An-Nissa ayat 7 yang artinya :

“ bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan bapakibu dan kerabatnya dan
bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya
baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah di tetapkan”
Hukum kewarisan dalam islam mendapat perhatian besar, karena pembagian warisan sering
menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan bagi keluarga yang ditingal mati
pewarisnya. Naluri manusia yang menyukai harta benda tidak jarang memotovasi seseorang
untuk menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan harta benda tersebut, termasuk di
dalamnya terhadap harta benda peninggalan pewarisnya sendiri.

Kenyataan demikian telah ada dalam sejarah umat manusia hingga sekarang ini
Terjadinya kasus-kasus gugat waris di pengadilan, baik pengadilan agama maupun pengadilan
negeri menunjukan fenomena ini.

Bahkan turunnanya ayat-ayat Al-Qur’an yang mengatur pembagian harta warisan yang
menunjukannya bersifat qath’i al-dalalah adalah merupakan refleksi sejarah dari adalah adanya
kecenderungan materialistis umat manusia, di samping sebagai rekayasa sosial terhadap sosial
terhadap sistem hukum yang berlaku di masyarakat.

Rasullullah juga memerintahkan untuk membagi harta pusaka menurut kitab Al-Quran, yang
artinya:

“ dari Abbas r.a., berkata, Rasullullah SAW., bersabda: Bagikanlah harta pusaka antara ahli
waris menurut kitabullah”( Al-Qur’an) (H.R.Muslim)

Hadis diatas menjelaskan betapa pentingnya Al-Qur’an sebagai sumber dari hukum
waris, namun demikian masih terdapat masalah-masalah mengenai hukum waris yang tidak
tercantum dalam Al-Qur’an sehingga menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ahli hukum
fiqh, diantara salah satunya adalah pusaka orang yang hilang(mafqud). Konteks kewarisan
seseorang yang hilang(mafqud) dapat berperan sebagai pewaris bila dalam kepergiannya
meninggalkan harta, sementara ahli lain bermaksud memanfaatkannya dan dapat juga bertindak
sebagi ahli waris, apabila di antara saudaranya meninggal dunia.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa dalam pembagian warisan harta
kekayaan menurut Hukum Islam dapat dilakukan apabila Pewaris telah meninggal dunia dan
Ahli Waris mendapatkan hak-haknya setelah dikurangi oleh biaya hutang-hutang Pewaris dan
bahwa batas waktu orang hilang yang dipersangkakan meninggal adalah setelah tiga (3) kali
pemanggilan pengadilan atau dalam kurun waktu minimal empat (4) tahun tidak diketahui
keberadaannya maka dapat dinyatakan meninggal oleh hakim melalui penetapan pengadilan

D. RUMUSAN MASALAH

Dalam suatu penenlitian ilmiah, hal penting yang penting pertama kali harus
dilakukan adalah merumuskan masalah, perumusan masalah menjadi suatu acuan
mengenai hal atau objek apa yang akan diteliti untuk ditemukan jawabannya.

Pada hakikatnya seorang peneliti sebelum menentukan judul dalam suatu penelitian
maka harus terlebih dahulu menentukan rumusan masalah, dimana masalah pada
dasarnya adalah suatu proses yang mengalami halangan dalam mencapai tujuan
tertentu.Dalam penelitian ini dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

a. Bagaimana konflik dalam warisan hukum islam ?


b. Bagaimana kedudukan harta kekayaan yang dapat di wariskan oleh pewaris
menurut hukum islam?
c. Bagaimana cara pembagian harta warisan orang yang hilang(mafqud) menurut
hukum islam?

E.RUANG LINGKUP MASALAH:

Konflik antar ahli waris juga sering terjadi karena sikap egois yang ingin menang
sendiri dalam mendapatkan bagian harta waris yang terbesar atau terbaik. Misalnya
pewaris meninggalkan tiga bidang tanah, para ahli warisnya berebutan untuk
mendapatkan tanah yang lokasinya paling strategis.

F. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

Adapun tujuan yang hendak di capai melalui penulisan dan penelitian hukum ini
adalah sebagai berikut:

a. Tujuan Umum:
untuk menghindari potensi sengketa waris di kemudian hari,
setiap orang dapat mempersiapkannya dengan membuat wasiat danatau hibah
pada saat masih hidup.
b. Tujuan Khusus :
1. Mengetahui konflik dalam masyarakat menurut hukum islam.
2. Untuk menentukan kedudukan harta kekayaan yang dapat di wariskan
oleh pewaris menurut hukum islam.
3. Untuk mengetahui cara pembagian harta warisan orang yang
hilang(mafqud) menurut hukum islam .

D. MANFAAT PENELITIAN

Setiap penelitian pasti ada tujuan yang ingin di capai. Hasil dari penelitian ini di
harapkan akan memberikan dan manfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan pada khususnya
dan masyarakat luas pada umumnya. Kegunaan penelitian ini dapat di tinjau dari dua segi yaitu:

1. Manfaat teoritis:

a. Sebagai sumbangan yang di harapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan dan


pemikiran bermanfaat yang berkaitan dengan perkembangan hukum islam, khususnya
hukum waris islam.

b. Sebagai sumbangan pemikiran tentang kajian hukum waris dalam hal pewarisan harta
kekayaan orang yang hilang.

2. Manfaat Praktis:

a. Memberikan masukan dan pertimbangan bagi pihak terkait dalam melakukan


pembagian harta warisan orang yang hilang agar selalu dapat menerapkan prinsip
hukum islam

b. Memberikan masukan dan pengetahuan bagi para ahli waris yang akan menerima
harta warisan dari pewaris yang hilang sehingga timbulnya rasa keadilan bagi
para ahli warisnya.
E. TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian dan Dasar Hukum Kewarisan

a) Pengertian Waris Kata waris berasal dari bahasa Arab yaitu Al-miirats, bentuk masdar
dari kata waritsa-yaritsu-irtsanmiiraatsan. Yang artinya adalah berpindahnya sesuatu dari
seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum lain. Sedangkan makna
al-miirats menurut istilah adalah hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli
warisnya yang masih hidup,baik yang tinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa
saja yang berupa hak milik legal secara syar’i. Di dalam istilah hukum yang baku
digunakan kata kewarisan, dengan mengambil kata waris dengan dibubuhi awalan ke dan
akhiran an. Kata waris itu sendiri dapat berarti orang, pewaris sebagai subjek dan dapat
berarti pula proses. Dalam arti yang pertama mengandung makna hal ikhwal orang yang
menerima warisan dan dalam arti yang kedua mengandung makna hal ihwal peralihan
harta dari yang sudah mati kepada yang masih kewarisan hidup dan dinyatakan berhak
menurut hukum yang diyakini dan diakui berlaku dan mengikat untuk semua orang yang
beragama Islam. Mewaris, berarti menggantikan tempat dari seseorang yang meninggal
(si pewaris) dalam Hubungan-hubungan hukum harta kekayaannya. Pewarisan dibedakan
menjadi dua, yaitu (1) Pewarisan berdasarkan undang-undang,juga disebut pewarisan ab-
intestato. Dan (2) Pewarisan testamentair, yaitu pewarisan yang berdasarkan suatu
testamen.4 Di dalam BW, pewarisan berdasarkan undang-undang dibicarakan terlebih
dahulu, baru kemudian pewarisan testamentair. Kalau dalam pewarisan testamentair
yang ditonjolkan adalah kehendak dari pewaris, maka pewarisan abintestato berdasarkan
berbagai alasan, sebab ada yang bersifat mengatur, tetapi ada juga yang bersifat
memaksa. Salah satu alasan, yaitu pandangan bahwa keluarga terdekat yang pertama
berhak atas warisan itu. Menurut Idris Djakfar dan Taufik yahya bahwa hukum kewarisan
ialah seperangkat ketentuan yang mengatur cara-cara peralihan hak dari seseorang yang
telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup yang ketentuan-ketentuan tersebut
berdasarkan pada wahyu Ilahi yang terdapat dalam al-Quran dan penjelasannya yang
diberikan oleh Nabi Muhammad SAW, dalam istilah Arab disebut Faraidl.5 Pasal 171
huruf (a) Kompilasi Hukum Islam Mendefinisikan: : “Hukum kewarisan adalah hukum
yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris”.
Dari kedua definisi tersebut dapat dipahami bahwa hukum kewarisan Islam merupakan
hukum yang mengatur tentang peralihan kepemilikan harta dari orang yang telah
meninggal dunia kepada orang yang masih hidup (yang berhak menerimanya), yang
mencakup apa saja yang menjadi harta warisan, siapa-siapa saja yang berhak menerima,
berapa besar bagian masing-masing ahli waris,serta bagaimana mekanisme
pembagiannya. Warisan menurut sebagian besar ahli hukum islam ialah semua harta
benda yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia baik berupa benda
bergerak maupun benda tetap, termasuk barang/uang pinjaman dan juga barang yang
adaa sangkut pautnya dengan hak orang lain, misalnya barang yang digadaikan sebagai
jaminan atas hutangnya ketika pewaris masih hidup.Menurut Wirjono
Prodjodikoro( Tolib Setiady :2008:281) dalam buku yang berjudul Intisari Hukum Adat
Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan) bahwa “Warisan itu adalah soal apakah dan
bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu
ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup”. Sedangkan R.
Soepomo merumuskan hukum adat waris adalah sebagai berikut,”Hukum Adat Waris
memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoverkan
barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak terwujud benda (immaterielle
goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya” Kemudian
Hilman Hadikusuma menyebutkan bahwa” Hukum Adat Waris adalah aturan-aturan
hukum adat yang mengatur bagaimana harta peninggalan atau harta warisan diteruskan
atau dibagi-bagi dari pewaris kepada para waris dari generasi ke generasi berikutnya”. 2.
Dasar Hukum Kewarisan Allah Swt memerintahkan agar setiap orang yang beriman
mengikuti ketentuanketentuan Allah menyangkut hukum kewarisan sebagaimana yang
termaksud dalam kitab suci Al-Qur’an dan menjanjikan siksa neraka bagi orang yang
melanggar peraturan ini.7 Dalam Q.S An-Nisa ayat 13 dan 14 Allah swt berfirman:
Terjemahannya : “Hukum-hukum tersebut adalah ketentuan-ketentuan dari Allah, barang
siapa yang taat pada (hukum-hukum) Allah dan RasulNya, niscaya Allah akan
memasukannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungaisungai, sedang mereka
(akan) kekal di dalamnya. Dan yang demikian tersebut merupakan kemenangan yang
besar. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya, serta melanggar
ketentuan (hukum-hukum) Allah dan RasulNya, Niscaya Allah akan memasukannya ke
dalam api neraka, sedangkan mereka akan kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang
amat menghinakan.” Ayat tersebut merupakan ayat yang mengiringi hukum-hukum Allah
menyangkut penentuan para ahli waris, mekanisme pembagian warisan serta bagian
masing-masing ahli waris,yang merupakan kewajiban yang mesti dilaksanakan
berdasarkan ketentuan syar’i.disertai ancaman bagi yang melanggar ketentuan tersebut.
Sebaliknya bagi hamba yang mengikuti ketentuanNya, Allah menjanjikan surga.
Sebagaimana Sabda Rasulullah SAW yang artinya :”Barang siapa yang tidak menerapkan
hukum waris yang telah diatur Allah SWT, maka ia tidak akan mendapat warisan
surga(Muttafaqun Alaihi)”. 4 R.Soetojo Prawirohamidjojo, 2005, Hukum Waris
Kodifikasi, airlangga University press, Surabaya,hlm.4. 5 Idris Djakfar dan Taufik
yahya,1995, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, PT. Dunia Pustaka Jaya,Jakarta, hlm.3-
4 6 Masjfuk zuhdi, 1993, Study Islam, Jilid III. PT. Raja Grafindo,Jakarta, hlm.57 7
Mahmud Yunus, 1989, Hukum Warisan Dalam Islam, PT.Hidakarya Agung, Jakarta,
hlm.5 Hukum Kewarisan Islam diatur secara tegas didalam al-Quran, As-Sunnah dan
ijtihad para ulama. Sebagaimana terdapat didalam al-Quran surat An-Nisa ayat 7, ayat 11,
ayat 12, dan ayat 176. Dalam Q.SAnNisa ayat 7 Allah berfirman: Terjemahannya : “Bagi
laki-laki ada hak bagian harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau
banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.” Ayat di atas dapat dipahami bahwa
laki-laki dan perempuan dapat mewarisi dan selanjutnya baik laki-laki maupun
perempuan memperoleh warisan dari kedua ibu bapaknya dan kaum kerabatnya. Sumber
kedua hukum kewarisan Islam adalah as-Sunnah atau al-Hadits.Dalam uraian ini akan
dikemukan beberapa hadits yang mengatur tentang kewarisan, antara lain: a.Hadits
riwayat Bukhary dan Muslim dan Ibnu Abbas r.a yaitu : Terjemahannya :“Rasulullah saw
bersabda : bagikan harta warisan kepada ahli waris (yang berhak,dzawil furudh), sedang
sisanya untuk saudara laki-laki yang terdekat (asabah)” b.Hadits riwayat Bukhary dan
Muslim dari Ibnu Abbas r.a, yaitu Terjemahannya :”Rasulullah saw bersabda : “Bagikan
harta warisan kepada ahli waris (ashabul furudh) sesuai dengan ketetapan kitabullah,
sedang sisanya kepada keluarga lakilaki yang terdekat (ashabah)”. Kedua hadits tersebut
menjelaskan bahwa harta warisan itu harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak
sesuai dengan ketentuan syar’i. Begitu pula dengan ijtihad sebagai sumber hukum
kewarisan Islam. Ijtihad ini merupakan pemikiran sahabat Rasulullah SAW atau
pemikiran para ulama dalam menyelesaikan kasus pembagian warisan, yang belum atau
disepakati. Seperti masalah radd atau aul di dalamnya terdapat perbedaat pendapat,
sejalan dengan hasil ijtihad masing-masing sahabat, tabi’in atau ulama.Namun demikian
perlu diketahui bahwa meskipun hukum kewarisan Islam atau sering disebut faraidh,
dalam penerapannya sering dijumpai kasus-kasus yang menyimpang atau tidak sama
persis yang dikehendaki oleh al-Quran dan asSunnah, namun tetap dilakukan ijtihad
untuk menemukan hukumnya. Dalam berijtihad tetap juga berpedoman kepada al-Quran
dan Sunnah Nabi. Jadi jelasnya bahwa penyelesaian pembagian warisan, ketentuan
bakunya dalam al-Quran dan sunnah tetap dipedomani untuk menentukan proporsi bagian
dalam penyelesaian pembagian warisan. Sebagai contoh hasil ijtihad para ulama
Indonesia yaitu Kompilasi Hukum Islam yang sudah menjadi hukum positif berdasarkan
Instruksi Presiden RI Nomor I tahun 1999. Dalam Pasal 171 s/d 214 Buku II tentang
Hukum kewarisan yang berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah.
b) Kedudukan Harta Bersama dalam Perkawinan
1. Pengertian Harta Bersama
a) Harta Bersama Menurut Hukum Islam
Dalam kitab-kitab fiqih tradisional, harta bersama diartikan sebagai harta kekayaan yang
dihasilkan oleh suami istri selama mereka diikati oleh tali perkawinan, atau dengan
perkataan lain disebutkan bahwa harta bersama itu adalah harta yang dihasilkan dengan
syirkah antara suami dan istri sehingga terjadi percampuran harta yang satu dengan yang
lain dan tidak dapat di beda-bedakan lagi.
Adanya Harta bersama dalam perkawinan tidak menutup kemungkinan adanya harta
milik masing-masing suami istri. Harta bersama tersebut dapat berupa benda tidak
bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga, sedang yang tidak berwujud bisa
berupa hak dan kewajiban. Keduanya dapat dijadikan jaminan oleh salah satu pihak atas
persetujuan dari pihak lainnya. Suami istri, tanpa persetujuan dari salah satu pihak, tidak
diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama tersebut. Dalam hali ini, baik
suami istri, Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, dijelaskan bahwa harta gono gini adalah
harta bersama milik suami istri yang mereka peroleh selama perkawinan. Dalam
masyarakat Indonesia, hamper semua daerah mempunyai pengertian, bahwa harta bersma
antara suami istri memang ada dengan istilah yang berbeda untuk masing-masing daerah.
Dalam Hukum Islam, harta bersama suami istri pada dasarnya tidak dikenal, karena hal
ini tidak dibicarakan secara khusus dalam kitab fikih. Hal ini sejalan dengan asas
pemilikan harta secara individual (pribadi). Atas dasar ini, suami wajib memberikan
nafkah dalam bentuk biaya hidup dengan segala kelengkapannya untuk anak dari
istrinya dari harta suami sendiri Meskipun gono gini tidak diatur dalam fikih Islam
secara jelas, tetapi keberadaannya, paling tidak dapat diterima oleh sebagian ulama
Indonesia. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa banyak suami istri, dalam
masyarakat Indonesia, sama-sama bekerja, berusaha untuk mendapatkan nafkah hidup
keluarga seharihari dan sekedar harta untuk simpanan (tabungan) untuk masa tua mereka.
Bila keadaan memungkinkan ada juga peninggalan untuk anakanak sudah mereka
meninggal dunia Pencaharian bersama itu termasuk kedalam kategori syirkah
mufawwadhah karena perkongsingan suami istri itu tidak terbatas. Apa saja
yang mereka hasilkan selama dalam masa perkawinan menjadi harta bersama, kecuali
yang mereka terima sebagai harta warisan atau pemberi secara khusus kepada suami istri
tersebut Harta bersama adalah harta yang diperoleh suami atau istri karena usahanya
dalam masa perkawinan, baik mereka bekerja besama-sama. untuk mendapatkan harta
ataupun hanya sang suami saja yang bekerja sedangkan istri hanya berada dirumah untuk
mengurus rumah tangga beserta anak-anak di rumah.Tentang harta bersama ini, suami
atau istri dapat bertindak untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu atas harta
bersama tersebut melalui persetujuan kedua belah pihak. Semua harta yang diperoleh
suami istri selama dalam ikatan perkawinan menjadi harta bersama baik harta tersebut
diperoleh secara tersendiri maupun diperoleh secara bersama-sama. Demikian juga harta
yang dibeli selama ikatan perkawinan berlangsung adalah menjadi harta bersama. Tidak
menjadi suatu permasalahan apakah istri atau suami yang membeli,tidak menjadi masalah
juga apakah istri atau suami mengetahui pada saat pembelian itu atau atas nama siapa
harta itu didaftarkan.

c.) Dalam kajian Hukum Islam (fiqh) orang hilang disebut “mafqud” yaitu orang yang terputus
beritanya sehingga tidak diketahui hidup-matinya. Orang ini, sebelumnya pernah hidup dan tidak
diketahui secara pasti apakah masih hidup atau meninggal. Orang hilang menjadi persoalan
dalam hukum kewarisan karena kepastian hidup atau meninggal itu merupakan syarat pokok
dalam kewarisan.

Dalam kewarisan disyaratkan kepastian kematian pewaris dan kepastian status hidupnya pewaris
saat pewaris meninggal dunia. Sedangkan dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata
Burgerlijk Wetboek Voor Indonesia (BW) telah mencantumkan penjelasan mafqud (orang
hilang) pada pasal 463. KUH Perdata tidak menggunakan istilah mafqud, akan tetapi
menggunakan istilah “orang yang diperkirakan telah meninggal dunia” atau “seseorang yang tak
hadir”. Pada pasal 463 KUH Perdata menjelaskan orang yang tidak hadir adalah orang-orang
yang meninggalkan tempat tinggalnya untuk jangka waktu yang relatif lama, tanpa menunjuk
orang lain untuk mewakili dan mengurus kepentingannya.

Perumusan masalahnya adalah: Bagaimana pengaturan kewarisan orang hilang (mafqud) dalam
Hukum/ Islam ? Bagaimana pengaturan kewarisan orang hilang (mafqud) dalam KUH Perdata ?
Bagaimana relevansi pengaturan sistem kewarisan orang hilang (mafqud) antara Hukum Islam
dan KUH Perdata ?

Tujuan penelitian ini adalah: Untuk mengetahui bagaimana pengaturan kewarisan orang hilang
(mafqud) dalam Hukum Islam. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan kewarisan orang hilang
(mafqud) dalam KUH Perdata. Untuk mengetahui bagaimana relevansi pengaturan sistem
kewarisan orang hilang (mafqud) antara Hukum Islam dan KUH Perdata.

Penelitian ini merupakan studi kepustakaan (library research) dengan pendekatan kualitatif.
Seluruh data dianalisis secara deduktif komparatif yang bertujuan untuk mendapatkan
pemahaman, karena data yang dibutuhkan dari penulisan skripsi ini yaitu dengan mencari buku-
buku sebagai sumber datanya atau data penelitian dari penulisan penelitian ini yaitu dengan
mencari data pustaka atau dokumen.
Kesimpulannya bahwa pengaturan kewarisan orang hilang (mafqud) dalam hukum Islam, apabila
Hakim (Qādhi) sudah memutuskan bahwa orang hilang (mafqud) telah meninggal, maka harta
warisan orang hilang (mafqud) boleh dibagikan kepada ahli warisnya. proses pembagian
hartanya hanya sebagian yang dibagikan kepada ahli waris dan sisanya ditangguhkan karena
ditakutkan seseorang yang hilang (mafqud) tersebut kembali, apabila memang benar-benar orang
hilang (mafqud) telah wafat maka harta yang telah ditangguhkan tersebut dibagi rata kembali
kepada ahli warisnya. Sedangkan pengaturan kewarisan orang hilang (mafqud) dalam KUH
Perdata, tercantum dalam pasal 478 KUHPerdata yaitu para ahli waris boleh membagikan harta
peninggalan dari orang yang diperkirakan hilang yang telah mereka kuasai, dengan
memperhatikan peraturan mengenai pemisahan harta peninggalan.

Untuk mencapai suatu pembagian, barang-barang yang tak bergerak tidak diperbolehkan
menjualnya, melainkan sekiranya tidak dapat dibagi, atau tak dapat dimasukkan dalam sesuatu
kavling, barang-barang tersebut harus ditaruh dalam suatu penyimpanan, sedangkan
pendapatannya akan dapat dibagikan menurut persetujuan mereka.Persamaan dan perbedaan
tentang relevansi pengaturan system kewarisan orang hilang (mafqud) antara hukum Islam dan
KUHPerdata adalah sebagai berikut : a. Persamaan, sama halnya dengan Hukum Islam dalam
Hukum Perdatapun jika seseorang belum ditetapkan sudah meninggal oleh Qādhi (Hakim) maka
harta warisannya tidak boleh dibagikan kepada ahli warisnya.

Begitupun sebaliknya apabila Hakim (Qādhi) sudah memutuskan bahwa orang hilang (mafqud)
telah meninggal maka harta warisan tersebut boleh dibagikan kepada ahli warisnya. b.
Sedangkan perbedaan pengaturan kewarisan orang hilang (mafqud) berdasarkan hukum Islam
dan KUH Perdata terletak pada penentuan batas waktu status berapa lamanya orang hilang
(mafqud) tersebut hilang, karena batas waktu untuk menentukan seseorang yang hilang (mafqud)
tersebut sangat mempengaruhi dalam pembagian harta ahli waris.

G. METODE PENELITIAN:

1) Jenis dan pendekatan Penelitian

Penelitian dengan judul “ Konflik Hukum Waris Islam” ini dilakukan menggunakan jenis
penelitian lapangan (field research), yaitu penelitian yang bertujuan mempelajari secara
insentif latar belakang dan keadaan sekarang dan interaksi lingkungan yang terjadi pada suatu
satuan social.

2) Aspek-Aspek yang diteliti


 Konflik yang ada d kehidupan masyarakat tentang hukum islam.
 Mengetahui pemahaman tentang kedudukan warisan hukum islam.
 Menentukan pembagian harta warisan yang hilang agar orang hilang disebut
“mafqud” yaitu orang yang terputus beritanya sehingga tidak diketahui hidup-
matinya. Orang ini, sebelumnya pernah hidup dan tidak diketahui secara pasti
apakah masih hidup atau meninggal.
3) Sumber Data

1. Sumber Data Primer

Sumber data Primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada peneliti
untuk tujuan penelitian.

2. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber kedua atau sumber sekunder
dari data yang dibutuhkan. Data ini diperoleh dari pihak-pihak yang tidak berkaitan
langsung dengan penelitian, tetapi berhubungan dengan objek penelitian. Seperti buku-
buku, majalah, koran, makalah, artikel dan lain sebagainya sebagai data pendukung yang
berhubungan dengan pemahaman hukum kewarisan Islam.

4) Lokasi penelitian

Penelitian ini di lakukan d pengadilan Negegri Ende .Perpustakaan Daerah

5) Teknik Pengumpulan Data

1. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan magsur tertentu. Percakapan yang dilakuan oleh
dua pihak, yaitu pewawancara interview yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara
interviewe yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.

Bentuk wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah Wawancara yang tidak
terstruktur. Wawancara tidak terstruktur adalah wawancara yang bebas diamana peneliti
tidak menggunakan pedoman wawancara yang terlah tersususn secara sistematis dan
lengkap untuk pengumpulan datanya.

2. Dokumentasi

Dokumentasi berasal dari kata dokumen yang artinya peristiwa yang sudah berlalu.
Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang.
Dokumen berbentuk tulisan misalnya catatan harian, sejarah kehidupan life histories, cerita,
biografi, peraturan, kebijakan. Dokumen yang berbentuk gambar, misalnya foto, gambar
hidup, sketsa dan lain-lain. Dokumen yang berbentuk karya misalnya karya seni, yang
dapat berupa gambar patung, film dan lain-lain.

6) Teknik Analisis Data

Setelah data-data yang dibutuhkan berkumpul, selanjutnya dilakukan proses analisis data,
yang dalam hal ini peneliti menggunakan metode analisis data kualitatif, Bogdan dan
Biklen menjelaskan bahwa analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan
jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan
yang dapat dikelola, mensintesiskan, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang
penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang
lain.
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

Ali, Zainuddin, 2008, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Sinar Grafika,


Jakarta.

Anshori, Abdul Ghofur dan Yulkanain Harahab,2008, Hukum Islam Dinamika dan
Perkembangannya di Indonesia,

Bakhtiar, Amsal, 2007, Filsafat Ilmu, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Eklektisisme Hukum Nasional: Kompetisi antara Hukum Islam dan


Bakhtiar, Amsal, 2007, Filsafat Ilmu, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Eklektisisme Hukum Nasional: Kompetisi antara Hukum Islam dan

Hukum Umum, Gama Media, Yogyakarta.

Endaswara, Suwardi, 2006, Falsafah Hidup Jawa, Cakrawala, Yogyakarta

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk

Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)

Muhammad Ali Ash-Shabuni, 1995, Pembagian Waris Menurut Islam,

Penerjemah A.M. Basamalah, Gema Insani Pressukum Umum, Gama Media,

Anda mungkin juga menyukai