Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan
merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris erat kaitannya dengan ruang
lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia akan mengalami peristiwa hukum yang
dinamakan kematian mengakibatkan masalah bagaimana penyelesaian hak-hak dan kewajiban.
Sebagaimana telah diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) buku kedua
tentang kebendaan dan juga dalam hukum waris Islam, dan juga hukum waris adat.

Pada prinsipnya kewarisan adalah langkah-langkah penerusan dan pengoperaan harta


peninggalan baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari seorang pewaris kepada ahli
warisnya. maksudnya dari pewaris ke ahli warisnya. Akan tetapi di dalam kenyataannya prose
serta langkah-langkah pengalihan tersebut bervariasi, dalam hal ini baik dalam hal hibah, hadiah
dan hibah wasiat, ataupun permasalahn lainnya.

1.2. Rumusan Masalah


Pokok-pokok masalah yang akan dianalisis dalam makalah ini adalah:

1) Pengertian hukum waris


2) Teori hukum waris
3) Pewarisan anak luar kawin
4) Analisis kasus tentang hukum waris anak luar kawin

1.3. Tujuan Penulisan


1) Memperoleh pengetahuan akan hukum waris di Indonesia
2) Dapat memahami seberapa penting dasar-dasar hukum waris
3) Menganalisis kasus yang berkaitan dengan hukum waris
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Hukum Waris


Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan
merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris sangat erat kaitannya dengan
ruang lingkup kehidupan manusia sebab setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum
yang dinamakan kematian. Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta
kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya.
Akibat hukum yang selanjutnya timbul dengan terjadinya peristiwa hukum kematian seseorang
diantaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-
kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu. Penyelesaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban
sebagai akibat meninggalnya seseorang, diatur oleh hukum waris. Untuk pengertian hukum
“waris” sampai saat ini baik para ahli hukum Indonesia maupun di dalam kepustakaan ilmu hukum
Indonesia, belum terdapat keseragaman pengertian sehingga istilah hukum waris masih beraneka
ragam. Misalnya, Wirjono Prodjodikoro, mempergunakan istilah hukum “warisan”. Hazairin,
mempergunakan istilah hukum “kewarisan” dan Soepomo mengemukakan istilah “hukum waris”.

Dengan istilah hukum waris diatas, terdapat suatu pengertian yang mencakup kaidah-
kaidah dan azas-azas yang mengatur proses beralihnya harta benda dan hak-hak serta kewajiban-
kewajiban seseorang yang meninggal dunia. Dibawah ini akan diuraikan beberapa pengertian
istilah dalam hukum waris menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, yaitu:

1) Waris: berarti orang yang berhak menerima peninggalan orang yang telah
meninggal
2) Warisan: berarti harta peninggalan, pusaka, dan surat wasiat
3) Pewaris: adalah orang yang memberi pusaka, yakni orang yang meninggal dunia
dan meninggalkan sejumlah harta kekayaan, pusaka maupun surat wasiat
4) Ahli waris: yaitu sekalian orang yang menjadi waris, berarti orang-orang berhak
menerima harta peninggalan pewaris
5) Mewarisi: yaitu mendapat harta pusaka, biasanya segenap ahli waris adalah
mewarisi harta peninggalan pewarisnya
6) Pewaris: istilah ini mempunyai dua pengertian atau dua makna, yaitu:
 Berarti penerusan atau penunjukkan para waris ketika pewaris masih hidup,
dan
 Berarti pembagian harta warisan setelah pewaris meninggal.

Suatu hal yang perlu diperhatikan, yaitu walaupun terdapat rumusan dan uraian yang
beragam tentang hukum waris, pada umumnya para penulis hukum sependapat bahwa “hukum
waris itu merupakan perangkat kaidah yang mengatur tentang cara atau proses peralihan harta
kekayaan dari pewaris kepada ahli waris atau para ahli warisnya”.

2.2. Sifat Hukum Waris


Bentuk dan sistem hukum waris sangat erat kaitannya dengan bentuk masyarakat dan sifat
kekeluargaan. Sedankan sistem kekeluargaan pada masyarakat Indonesia, berpokok pangkal pada
sistem menarik garis keturunan. Selanjutnya untuk mengetahui dan menguraikan perihal hukum
waris di Indonesia, terlebih dahulu perlu diketahui bentuk masyarakat dan sifat kekeluargaan yang
terdapat di Indonesia menurut sistem keturunan, yaitu :

1) Sistem Patrilineal (Kebapakan)


Sistem yang menarik garis keturunan ayah atau garis keturunan nenek moyangnya yang
laki-laki. Contohnya masyarakat di Tanah Gayo, Alas, Batak, Ambon, Irian Jaya, Timor
dan Bali.
2) Sistem Matrilineal (Keibuan)
Sistem yang menarik garis keturunan ibu dan seterusnya keatas mengambil garis keturunan
dari nenek moyang perempuan. Contohnya, di daerah Minangkabau.
3) Sistem Bilateral/Parental (Kebapak-Ibuan)
Sistem yang menarik garis keturunan baik melalui garis bapak maupun garis ibu sehingga
dalam kekeluargaan semacam ini pada hakikatnya tidak ada perbedaan antara pihak ibu
dan pihak ayah. Contohnya, terdapat di daerah Jawa, Madura, Riau, Aceh, Sumatera
Selatan, seluruh Kalimantan, seluruh Sulawesi, Ternate, dan Lombok.
2.3. Macam-macam Hukum Waris
Di Indonesia dimana Undang Undang merupakan cara pengaturan hukum yang utama
pembaharuan masyarakat dengan jalan hukum berarti pembaharuan hukum terutama melalui
perundang-undangan. Hukum waris sebagai salah satu bidang hukum yang berada di luar bidang
yang bersifat netral kiranya sulit untuk diperbarui dengan jalan perundang-undangan atau
kodifikasi guna mencapai suatu unifikasi hukum sebab senantiasa mendapat kesulitan untuk
membuat hukum waris yang sesuai dengan kebutuhan dan kesadaran masayarakat, mengingar
beraneka ragamnya corak budaya, agama, social, dan adat istiadat serta sistem kekeluargaan
dalam masyarakat Indonesia.

Sebagai akibat dari keadaan yang dikemukakan diatas, maka hukum waris yang berlaku di
Indonesia ini masih tergantung pada hukum waris mana yang berlaku bagi yang meninggal dunia.
Hukum waris terdiri dari 3 macam, yaitu Hukum adat, Hukum Islam dan Hukum B.W. Apabila
yang meninggal dunia atau pewaris termasuk golongan penduduk Indonesia maka yang berlaku
adalah hukum waris adat, sedangkan apabila pewaris termasuk golongan Eropa atau Timur Asing
Cina, bagi mereka berlaku hukum waris Barat. Bila pewaris termasuk golongan penduduk
Indonesia yang beragama Islam, maka ia mempergunakan hukum waris Islam.

2.3.1. Hukum Waris Eropa (BW)


Hukum waris Eropa yang dimuat dalam Burgerlijk Wetboek (BW) adalah
kumpulan peraturan yang mengatur mengenai kekayaan karena wafatnya
seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati
dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam
hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.

Hukum waris menurut BW berlaku asas: “apabila seseorang meninggal


dunia, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih kepada sekalian
ahli warisnya”. Hak-hak dna kewajiban yang dimaksud, yang beralih kepada ahli
waris adalah termasuk ruang lingkup harta kekayaan atau hanya hak dan kewajiban
yang dapat dinilai dengan uang.

Menurut KUHPerdata/ BW, ahli waris yang berhak mewaris dapat dibagi
menjadi 4 (empat) golongan, yaitu :

a. Golongan I : Anak, atau keturunannya dan janda/duda, yang jumlah bagiannya


ditetapkan di dalam Pasal 852, 852a, 852b, dan 515 KUHPerdata.

b. Golongan II : Orang tua (bapak/ibu), saudara-saudara atau keturunannya, yang


jumlah bagiannya ditetapkan di dalam pasal 854, 855, 856, dan 857
KUHPerdata.

c. Golongan III : Kakek dan nenek, atau leluhur dalam garis lurus terus ke atas,
yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal 853, 858 ayat (1)
KUHPerdata.

d. Golongan IV : Sanak keluarga di dalam garis menyamping sampai tingkat ke-


6 yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal 858 ayat (2), 861, 832
ayat (2), 862, 863, 864, 856 dan 866 KUHPerdata.

Peraturan perundang-undangan di BW telah menetapkan keluarga yang


berhak menjadi ahli waris, serta porsi pembagian harta warisannya. Bagian harta
warisan untuk anak yang lahir di luar perkawinan antara lain diatur sebagai berikut:

1. 1/3 dari bagian anak sah, apabila anak yang lahir di luar pernikahan menjadi ahli
waris bersama-sama dengan anak yang sah serta janda atau duda yang hidup
paling lama.

2. 1/2 dari bagian anak yang sah, apabila anak yang lahir di luar pernikahan
menjadi ahli waris bersama-sama dengan ahli waris golongan kedua dan
golongan ketiga.

3. 3/4 dari bagian anak sah, apabila anak yang lahir diluar perkawinan menjadi ahli
waris bersama-sama ahli waris golongan keempat, yaitu sanak keluarga
pewaris sampai derajat keenam.
4. 1/2 dari bagian anak sah, apabila anak yang lahir di luar perkawinan menjadi
ahli waris bersama-sama dengan kakek atau nenek pewaris, setelah terjadi
kloving. Jadi dalam hal demikian, bagian anak yang lahir diluar pernikahan
bukan 3/4 , sebab untuk ahli waris golongan keempat ini sebelum harta warisan
dibagi,terlebih dahulu dibagi dua/kloving sehingga anak yang lahir diluar
nikah akan memperoleh ¼ (seperempat) dari bagian anak sah dari separuh
harta warisan dari garis ayah dan ¼ dari bagian harta warisan anak sah dari
garis ibu sehingga menjadi ½ bagian.

2.4. Cara Mewaris


Pewarisan berdasarkan Undang Undang (B.W.) terutama didasarkan kekeluargaan
sedarah, antara si pewaris dan ahliwaris. Undang-undang menunjukkan urutan pewarisannya,
siapa yang berhak mewarisi lebih dahulu. Dalam hal itu maka undang-undang membedakan antara
mewaris sendiri dan mewaris sebagai pengganti.

Orang dikatakan mewaris sendiri apabila ia mewaris berdasarkan tempatnya diantara


keluarga sedarah dari si pewaris. Apabila yang mewaris itu hanyalah keluarga sedarah yang
terdekat, maka hal ini akan menimbulkan ketidakadilan. Apabila misalnya si pewaris
meninggalkan 3 anak laki-laki, maka 3 anak ini yang membagi warisannya. Akan tetapi apabila
salah seorang diantara mereka telah meninggal dunia lebih dahulu, maka anak mereka tidak akan
ikut mewaris oleh karena paman-paman mereka, kekeluargaan sedarahnya, lebih dekat dari
mereka. Untuk menghindari ketidakadilan demikian itu, maka dalam keadaan tertentu undang-
undang membolehkan mewaris: sebagai pengganti.

Supaya dapat ada “plaatsvervulling” (penggantian tempat) maka harus dipenuhi 3 syarat:

1. Orang yang tempatnya diganti harus sudah meninggal (847 B.W.). oleh karena itu
apabila seseorang aygn semestinya berhak mewaris adalah “onwaardig” (tidak pantas
mewaris), maka anak-anaknya tidak dapat mewaris sebagai penggantinya. Akan tetapi
hal itu tidak berarti bahwa mereka tidak dapat mewaris sendiri, jika tidak ada keluarga
sedarah yang lebih dekat.
2. Orang yang menggantikan tempat orang lain, haruslah keturunan sah dari orang yang
tempatnya digantikan. Jadi seorang anak luar kawin tidak dapat menggantikan tempat
ayah atau ibunya sebagai pewaris, karena antara anak itu dan keluarga sedarah dari
ayah dan ibunya, tidak ada hubungan keluarga sedarah, meskipun anak itu diakui, oleh
karena syarat untuk “plaatsvervulling” adalah adanya hubungan keluarga sedarah yang
sah.
3. Orang yang menggantikan tempat orang lain sebagai pewaris, harus juga sendiri
memenuhi syarat umum, untuk dapat mewaris dari si pewaris. Artinya ia harus ada
pada saat si pewaris meningga dunia dan ia tidak boleh onwaarding (tidak pantas untuk
mewaris).

2.5. Pewarisan Anak Luar Kawin


Dari pasal 272 B.W. dapat disimpulkan bahwa anak luar kawin yang dapat diakui adalah
anak yang dilahirkan oleh seorang ibu, tetapi yang tidak dibenihkan oleh seorang pria yang berada
dalam ikatan perkawinan sah dengan si ibu anak tersebut, dan tidak termasuk didalam kelompok
anak zinah dan anak-anak sumbang.

Kalau diantara para ahli waris terdapat anak-anak luar kawin dan kalau pewarisnya hanya
anak luar kawin. Yang disebut pertama adalah hukum waris aktif dan yang kedua ialah, hukum
waris pasif dari anak-anak luar kawin. Dengan undang-undang no. 10 Juli 1947, pasal-pasal 862
,870, dan 873 dari bagian ini dirubah : pasal 867 sampai dengan pasal 869 dihapuskan.

Yang dimaksud dalam undang-undang dalam bagian ini dengan anak-anak luar kawin ialah
yang diakui sah oleh orang tuanya. Kalau dia tidak diakui oleh ayahnya, maka ia sama sekali tidak
berhak atas harta peninggalan, hanya dalam pengakuanlah , menurut pasal 281 timbul hubungan
perdata antara anak itu dengan ayahnya.

Apakah pengakuan itu terjadi secara sukarela atau terpaksa, pada umumnya tidak menjadi
soal dalam pewarisan.

Hak Waris Aktif

Pasal 862 sampai 866 dan pasal 873 ayat 1 mengatur hak waris aktif dari anak-anak luar
kawin. Pada dasarnya hak anak-anak ini terhadp harta peninggalan sama dengan keluarga sedarah
yang sah. Keluarga luar kawin adalah benar-benar ahli waris.
Besarnya bagian warisan dari anak-anak luar kawin tergantung dari derajat hubungan
kekeluargaan dari para ahli waris yang sah. Menurut pasal 863, jika yang meninggal meninggalkan
keturunan yang sah atau suami/istri , maka anak-anak luar kawin akan mewaris sepertiga bagian,
yang sedianya mereka harus mendapat nya andaikata mereka anak-anak yang sah.
Mula-mula harus diperiksa, apa yang akan diwaris oleh anak luar kawin, kalau ia anak yang
sah, untuk menentukan bagiannya ambillah sepertiga.

Mengenai anak-anak yang lahir di luar kawin dan tidak diakui terdapat 2 golongan:

1. Anak-anak yang lahir dalam zinah, yaitu anak yang lahir dari perhubungan orang lelaki
dan orang perempuan, sedangkan salah satu dari mereka atau kedua-duanya berada
didalam perkawinan dengan orang lain.
2. Anak-anak yang lahir dalam sumbang, yaitu anak yang lahir dari perhubungan orang
lelaki dan orang perempuan, sedangkan di antara mereka terdapat larangan kawin,
karena masih sangat dekat hubungan kekeluargaannya (pasal 30).

Anak-anak sebagai tersebut diatas memuat pasal 283 tidak dapat diakui. Mengenai hak
waris dari anak-anak ini pasal 867 menentukan, bahwa mereka itu tidak dapat mewarisi dari orang
yang membenihkannya. Mereka hanya bisa dapat nafkah untuk hidup.

Syarat agar anak luar kawin dapat mewaris adalah bahwa anak luar kawin tersebut harus
diakui dengan sah, karena menurut sistem B.W. asasnya adalah, bahwa hanya mereka-mereka
yang mempunyai hubungan hukum dengan si pewaris sajalah, yang mempunyai hak waris menurut
Undang-Undang. Hubungan tersebut justru lahir karena pengakuan, tetap diperlukan suatu
pengakuan untuk menciptakan hubungan keperdataan antara seorang anak luar kawin dengan
orang tuanya.

2.6. Kedudukan anak hasil kawin siri dalam keluarga


Karena perkawinan siri merupakan perkawinan yang tidak sah, maka anak yang
dihasilkan dari perkawinan siri juga disebut sebagai anak tidak sah. Untuk anak tidak sah
seringkali juga dipakai istilah anak luar kawin dalam arti luas. Anak tidak sah di dalam
doktrin dibedakan antara anak zinah, anak sumbang dan anak luar kawin (juga disebut anak
luar kawin dalam pengertian sempit).
Anak hasil perkawinan siri termasuk dalam golongan anak luar kawin dalam
pengertian sempit, yaitu anak yang dilahirkan dari hasil hubungan antara seorang laki-laki
dan seorang perempuan yang keduanya tidak terikat dalam perkawinan yang sah dan tidak
ada larangan untuk saling menikahi.

Mendasarkan pada ketentuan Pasal 280 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa
“dengan pengakuan yang dilakukan terhadap seorang anak luar kawin timbulah hubungan
perdata antara anak dan bapak atau ibunya”, maka dapat dikatakan bahwa antara anak luar
kawin dengan ayah dan ibunya pada asasnya tidak ada hubungan hukum, dan hubungan
hukum tersebut baru ada kalau ayah dan atau ibunya memberikan pengakuan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedudukan anak hasil perkawinan siri
dalam keluarga adalah tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayah dan ibunya.

2.7. Hak waris anak hasil kawin siri dengan hak waris saudara kandung kawin menurut
Hukum Indonesia.
Berpedoman pada kedudukan anak hasil perkawinan siri yang dinyatakan tidak
mempunyai hubungan perdata dengan ayah dan ibunya, tentu saja membawa konsekuensi
bahwa anak tersebut juga tidak memiliki hak waris atas harta peninggalan ayah dan ibunya.

Kepastian hukum untuk para pasangan yang melakukan nikah siri sedianya
memang belum didapati secara penuh dikarenakan pernikahan ini dikatakan merugikan
pihak wanita ke depannya. Selain anak tidak dapat memiliki akte lahir karena tidak
tercantumnya nama ayah, wanita yang berpisah dari pasangannya kelak tidak akan
mendapatkan hak waris untuk anaknya.

Tanpa adanya pencatatan tersebut, maka anak yang lahir dari pernikahan siri hanya
memiliki hubungan hukum dengan ibunya atau keluarga ibunya. Pasal 42 UUP
menyebutkan bahwa “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai
akibat perkawinan yang sah”, dan Pasal 43 ayat (1)UUP menyebutkan “Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya.”Ini juga dikuatkan dengan ketentuan KHI mengenai waris yaitu Pasal 186
yang berbunyi ”Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling
mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.” Oleh karena itu, dia hanya
mewaris dari ibunya saja.

Jika berdasarkan Pasal 863 – Pasal 873 KUHPerdata, maka anak luar kawin yang
berhak mendapatkan warisan dari ayahnya adalah anak luar kawin yang diakui oleh
ayahnya (Pewaris) atau anak luar kawin yang disahkan pada waktu dilangsungkannya
perkawinan antara kedua orang tuanya.

Untuk anak luar kawin yang tidak sempat diakui atau tidak pernah diakui oleh
Pewaris (dalam hal ini ayahnya), berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-
VIII/2010 yang menguji Pasal 43 ayat (1) UUP, sehingga pasal tersebut harus dibaca:
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum
mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.

Jadi anak luar kawin tersebut dapat membuktikan dirinya sebagai anak kandung
dari pewaris. Namun demikian, jika mengacu pada Pasal 285 KUHP perdata yang
menyatakan bahwa apabila terjadi pengakuan dari ayahnya, sehingga menimbulkan
hubungan hukum antara pewaris dengan anak luar kawinnya tersebut, maka pengakuan
anak luar kawin tersebut tidak boleh merugikan pihak istri dan anak-anak kandung pewaris.
Artinya, anak luar kawin tersebut dianggap tidak ada. Oleh karena itu, pembuktian adanya
hubungan hukum dari anak hasil perkawinan siri tersebut tidak menyebabkan dia dapat
mewaris dari ayah kandungnya.

Masalah-masalah yang timbul dalam pembagian harta warisan dan pemecahannya

Disebutkan di atas, bahwa anak hasil perkawinan siri tidak memiliki hak waris atas
harta peninggalan ayah dan ibunya. Untuk memecahkan masalah tersebut, usaha yang
dapat dilakukan adalah dengan melakukan pengakuan terhadap anak tersebut, baik melalui
pengakuan sukarela maupun melalui pengakuan terpaksa.
Anak luar kawin hanya mempunyai hak waris terhadap warisan ayah/ibunya
sepanjang ayah/ibunya sepanjang ayah ibunya telah mengakuinya dengan sah.

Jika Anak Luar Kawin belum diakui oleh keduanya atau salah satunya anak tersebut
tidak ada hubungan perdata dengan orang tuanya itu dan tanpa hubungan perdata (tidak
ada hubungan perdata (tidak ada pertalian keluarga) maka tidak ada pula hubungan
pewarisan antara mereka.

Meskipun anak luar kawin mempunyai hak waris terhadap orang tuanya hak
warisannya itu sangat “inferior sifatnya jika dibandingkan dengan hak waris anak-anak sah
karena :

1. Ia tidak mempunyai hak waris tersendiri, dalam arti kata terhadap warisan orang
tuanya itu ia tidak mungkin mewaris sendirian sepanjang orang tuanya masih
mempunyai keluarga sedarah dalam batas derajat yang boleh mewaris yaitu
enam derajat.

2. Ia selalu “membonceng” pada salah satu kelas ahli waris sah yang empat. ALK
itu hanya mempunyai hak waris tersendiri jika orang tuanya tidak
meninggalkan keluarga yang termasuk dalam keempat-empat kelas ahli waris
sah.

3. Porsi atau bahagian yang diterimanya adalah lebih kecil dari porsi yang akan
diterimanya sekiranya ia adalah anak sah. Besar kecilnya porsi itu bukan saja
ditentukan oleh berapa saja ditentukan oleh berapa orang temannya yang
mewaris, akan tetapi juga dan terutama sekali oleh kenyataan ahliwaris kelas
berapa temannya mewaris itu.

Hak waris anak luar kawin yang diakui sah diatur dalam pasal 862 sampai diatur
dalam pasal 862 sampai dengan pasal 873.

Berikut ini penjelasan mengenai bagian yang diterima oleh anak luar kawin yang
diakui dan yang mewaris dengan Golongan I,II,III, dan IV.

1. Anak luar kawin yang diakui mewaris bersama Golongan Pertama


Diatur dalam Pasal 863 KUHPerdata: “Jika pewaris meninggal dengan
meninggalkan keturunan yang sah dan meninggalkan suami atau istri, maka anak luar
kawin yang diakui mewaris 1/3 bagian dari bagian mereka yang sedianya harus mendapat,
seandainya mereka adalah anak sah”.

2. Anak Luar Kawin mewaris bersama ahli waris Golongan II

Pasal 863 KUH Perdata menentukan: “Jika pewaris tidak meninggalkan keturunan,
suami maupun istri akan tetapi meninggalkan keluarga sedarah dalam garis ke atas (ayah
atau ibu) ataupun saudara laki-laki maupun perempuan atau keturunan saudara, maka
mereka menerima ½ dari warisan. Namun, jika hanya terdapat saudara dalam derajat yang
lebih jauh, maka anak-anak yang diakui tersebut mendapat ¾”.

3. Anak luar kawin mewaris bersama Golongan III

Pasal 863 KUH Perdata menyebutkan : “Jika pewaris tidak meninggalkan


keturunan, suami atau istri, dan ayah atau ibu, akan tetapi meninggalkan keluarga sedarah
dalam garis lurus ke atas, baik dari garis ayah maupun ibu (kakek atau nenek), maka anak
luar kawin menerima ½ bagian dari warisan.

4. Anak luar kawin mewaris bersama dengan ahli waris Golongan IV

Pasal 863 ayat KUH Perdata menentukan : “Jika hanya ada sanak saudara dalam
derajat lebih jauh (paman atau bibi dan keturunanya) maka anak luar kawin mendapat ¾
bagian dari warisan.

Pasal 863 ayat (2) KUH Perdata menentukan bahwa kemungkinan adanya anak luar
kawin yang mewaris bersama-sama dengan anggota keluarga yang berhubungan darah
dalam perderajatan yang berlainan. Kemungkinan itu terjadi dalam hal terjadi kloving,
dimana masing-masing bagian dalam kloving diperlakukan seakan-akan suatu warisan
yang berdiri sendiri. Dalam Pasal 863 ayat (2) KUH Perdata dihitung dengan melihat
kelurga yang terdekat hubungan perderajatannya dengan pewaris.
2.6. Penolakan Warisan
Ahli waris yang menolak warisan berarti melepaskan pertanggungawabannya sbagai ahli
waris dqan menyatakan tidak menerima pembagian harta peninggalan.

Akibat penolakan warisan diatur dalam pasal 1058, 1059, dan 1060.

Pasal 1058: “si waris yang menolak warisannya, dianggap tidak pernah telah menjadi
waris”

Pasal 1059: “Bagian warisan seorang yang menolak jatuh kepada mereka yang sedianya
berhak atas bagian itu, seandainya si yang menolak itu tidak hidup pada waktu
meninggalnya orang yang mewariskan”

Pasal 1060: “Siapa yang telah menolak suatu warisan, tidak sekali-kali dapat diwakili
dengan cara pergantian; jika ia satu-satunya waris didalam derajatnya ataupun jika
kesemuanya waris menolak, maka sekalian anak-anak tampil ke muka atas dasar
kedudukan mereka sendiri dan mewaris untuk bagian yang sama”

2.7. Analisis Kasus Hukum Waris Anak Dilaur Nikah

Kronologi Kasus

Hubungan pernikahan siri yang terjadi antara Moerdiono dan Machica Mochtar, 20
Desember 1993 berbuntut ke pengadilan. Karena pernikahan siri yang mereka lakukan
menimbulkan kekacauan setelah anak yang di lahirkan Machica Mochtar tidak diakui
sebagai anak sah dari Moerdiono, mantan Menteri Sekretaris Negara pada Masa Orde
Baru tesebut.
Pernikahan siri yang dilakukan hanya dapat bertahan 6 tahun saja. Tapi, dari
pernikahan mereka, Machica melahirkan anak dari Moerdiono yang diberi nama M. Iqbal
Ramadhan. Iqbal tidak mendapat pengakuan dari ayah biologis nya karena dia hanya anak
dari pernikahan siri.
Selama ini anak dari hasil pernikahan siri Machica dan Moerdiono tidak memiliki
kepastian status, namun saat putusan ini diketuk, Moerdiono telah tutup usia pada 7
oktober 2011 silam karena sakit.
Sehingga Machica menuntut hak pengakuan bahwa M. Iqbal Ramadhan adalah
anak yang sah, dan menuntut harta warisan dari ayah nya yang sekarang sudah meninggal.
Pihak dari Moerdiono pun tidak tinggal diam. Karena mereka tidak mengakui Iqbal
sebagai anak sah dari darah daging Moerdiono dan dia tidak boleh menuntut hak warisan
dari Moerdiono.
Itulah sebabnya, Machica menuntut ke pengadilan Mahkamah Konstitusi untuk
pengesahan pernikahan mereka dan menuntut judisial review ke MK. Machica menguji
pasal 2 ayat 2 dan pasal 43 ayat 1 dalam UU 1 tahun 1974 tentang perkawinan.

Penyelesaian Kasus
Machica dinikahi Moerdiono secara siri pada tahun 1993 yang dikaruniai seorang
anak bernama Muhammad Iqbal Ramadhan. Kala itu, Moerdiono masih terikat perkawinan
dengan istrinya. Lantaran UU Perkawinan menganut asas monogami mengakibatkan
perkawinan Machica dan Moerdiono tak bisa dicatatkan KUA.

Akibatnya, perkawinan mereka dinyatakan tidak sah menurut hukum (negara) dan
anaknya dianggap anak luar nikah yang hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu
dan keluarga ibunya. Setelah bercerai, Moerdiono tak mengakui Iqbal sebagai anaknya dan
tidak pula membiayai hidup Iqbal sejak berusia 2 tahun. Iqbal juga kesulitan dalam
pembuatan akta kelahiran lantaran tak ada buku nikah.

Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapatkan
perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi
perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan
dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun
keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan.
Berdasarkan uraian ini Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan ini harus dibaca, Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan
darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.

Karena itu, setelah Moerdiono wafat, Machica mengajukan tuntutan yaitu meminta
anaknya yang bernama M Iqbal Ramaadhan diakui sebagai bagian dari keluarga
Moerdiono.

Kedudukan anak diluar nikah anak hasil perkawinan siri dalam keluarga adalah
tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayah dan ibunya. Untuk anak Machica yang
lahir di luar kawin yang tidak sempat diakui atau tidak pernah diakui oleh Pewaris (dalam
hal ini ayahnya Moerdiono), berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-
VIII/2010 yang menguji Pasal 43 ayat (1) UUP, sehingga pasal tersebut harus dibaca:
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum
mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.

Machica melakukan serangkaian tes DNA terhadap Iqbal anak nya agar putusan
Mahkamah Konstitusi pasal 43 ayat (1) berlaku terhadap iqbal. Jadi anak luar kawin
tersebut dapat membuktikan dirinya sebagai anak kandung dari pewaris. Namun demikian,
jika mengacu pada Pasal 285 KUHP perdata yang menyatakan bahwa apabila terjadi
pengakuan dari ayahnya,sehingga menimbulkan hubungan hukum antara pewaris dengan
anak luar kawinnya tersebut, maka pengakuan anak luar kawin tersebut tidak boleh
merugikan pihak istri dan anak-anak kandung pewaris.

Hanya saja, tuntutan Machica tersebut tidak dapat diterima oleh majelis hakim. M
Iqbal hanya diakui sebagai anak Moerdiono di luar nikah. Majelis hakim yang dipimpin
oleh Yasardin akhirnya mengabulkan soal status Iqbal sebagai anak di luar pernikahan
Machicha dan Moerdiono yang tidak dicatatkan ke negara.
Diputuskan Iqbal sebagai anak di luar kawin dengan pertimbangan hak asasi anak
bahwa anak juga harus mengetahui orangtuanya. Namun di mata hukum, Iqbal tetap tidak
mempunyai hubungan perdata dengan Moerdiono, karena tidak ada pengakuan dari pihak
keluarga. Dampak dari putusan ini, Iqbal tidak bisa dimasukkan sebagai daftar ahli waris
mantan Menteri Sekretaris Negara di masa orde baru itu..

Tidak punya hubungan perdata dengan Moerdiono dan tidak bisa mewarisi. Pihak
keluarga hanya mengakui terhadap perkawinan yang dicatatkan, bukan mengakui bahwa
Iqbal adalah anak sah dari Moerdiono. Istri sah satu-satunya adalah Ibu Maryati, bukan
Machica.

Pasal 42 UUP menyebutkan bahwa “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan
dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”, dan Pasal 43 ayat (1)UUP menyebutkan
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya”.

Jadi, Iqbal tidak bisa menjadi ahli waris Moerdiono, karena syarat agar anak luar
kawin dapat mewaris adalah bahwa anak luar kawin tersebut harus diakui dengan sah,
karena menurut sistem B.W. asasnya adalah, bahwa hanya mereka-mereka yang
mempunyai hubungan hukum dengan si pewaris sajalah, yang mempunyai hak waris
menurut Undang-Undang. Hubungan tersebut justru lahir karena pengakuan. Sementara
itu, keluarga Moerdiono sama sekali tidak mengakui bahwa Iqbal adalah anak dari
Moerdiono. dan pada akhirnya Iqbal hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan
keluarga ibu nya.
BAB 3
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas, maka diakuinya anak luar
kawin (hasil biologis) sebagai anak yang sah berarti akan mempunyai hubungan waris dengan
bapak biologisnya tanpa harus didahului dengan pengakuan dan pengesahan, dengan syarat dapat
dibuktikan adanya hubungan biologis antara anak dan bapak biologis berdasarkan ilmu
pengetahuan, misalnya melalui hasil tes DNA. Namun demikian, apabila ada penyangkalan
mengenai anak luar kawin ini dari anak-anak ahli waris yang sah, maka menurut kami dalam hal
ini tetap perlu dimohonkan Penetapan Pengadilan mengenai status anak luar kawin tersebut
sebagai ahli waris yang sah.

Mengenai kasus Machica Mochtar dan anaknya, anaknya hanya dapat diakui sebagai anak
diluar nikah karena anaknya tidak diakui oleh keluarga Moerdiono. Keluarga Moerdiono hanya
mengakui perkawinannya. Jadi status Iqbal masih sesuai dengan status anak di luar kawin yang
sesuai dengan undang-undang lama. Karena syarat agar anak luar kawin dapat mewaris adalah
bahwa anak luar kawin tersebut harus diakui dengan sah, karena menurut sistem B.W. asasnya
adalah, bahwa hanya mereka-mereka yang mempunyai hubungan hukum dengan si pewaris
sajalah, yang mempunyai hak waris menurut Undang-Undang. Pada akhirnya Iqbal hanya
memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu nya.

Sesuai dengan Pasal 42 UUP menyebutkan bahwa “Anak yang sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”, dan Pasal 43 ayat (1)UUP
menyebutkan “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya.”
3.2. Saran
Mengharapkan pemerintah dengan putusan MK tersebut membuat sinkronisasi
hukum dan peraturan perundang undangan yang berkaitan dengan perkawinan dan
hak waris menurut agama dan kepercayaannya sehingga tidak menimbulkan
pendapat/ opini yang tumpang tindih yang menimbulkan banyak masalah baru dan
diharapkan penegakkan hukum serta rasa keadilan dimasyarakat dapat terwujud.

Anda mungkin juga menyukai