Anda di halaman 1dari 17

Makalah Hukum Adat

Hukum Waris dan Tanah Adat Suku Akit

Dosen Pengampu :

Eko Mukminto, S. H., M. H.

Disusun Oleh :

Muhammad Fathan H 8111421570

Annisa Tussaleha 8111421556

Ariel Fajrin Hasanudin 8111421553

Bintang Maha Putra 8111421552

Cahyaning Putri Kinasih 8111421547

Putra Jaya Wardana 8111421543

Yazid Rafli Kusumawardana 8111421542

Latifatul Istikomah 8111421541

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hukum Indonesia tidak hanya mengatur tentang hubungan antara negara


dan masyarakatnya tetapi juga mengatur mengenai hubungan antar individu.
Aturan ini kemudian dikodifikasikan ke dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPerdata). KUHPerdata mengatur tentang hubungan hukum yang
dilakukan antar individu. Dalam KUHPerdata terbagi dalam 4 (empat) buku yang
terdiri dari Buku I tentang Orang, Buku II tentang Benda, Buku III tentang
Perikatan, dan Buku IV tentang Pembuktian dan Daluwarsa.

Buku II KUHPerdata tentang Benda juga memuat aturan mengenai


pembagian waris. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
dijelaskan mengenai hak milik melalui pewarisan dalam Pasal 584 berbunyi “Hak
milik atas sesuatu kebendaan tak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan
dengan kepemilikan, karena perlekatan; karena daluwarsa, karena pewarisan, baik
menurut undang-undang, maupun menurut surat wasiat, dan karena penunjukan
atau penyerahan berdasar atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak
milik, dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu.”
Kemudian pembagian warisan menurut hukum waris dibagi lagi menjadi dua
bagian yaitu menurut undang-undang dan pewarisan berwasiat.

Indonesia terkenal dengan keberagaman suku di berbagai wilayah


Indonesia. Dalam suku-suku tersebut masih menjunjung tinggi budaya yang telah
turun-temurun. Termasuk dalam pelaksanaan pembagian waris di dalamnya.
Dengan adanya hukum waris maka adanya suatu dasar hukum yang mengatur
mengenai pembagian waris sebagai bentuk perlindungan untuk menghindari
tindakan sewenang-wenang. Namun dalam pelaksanaan hukum waris dalam
hukum adat tergantung pada setiap suku yang bersangkutan. Maka dari itu, setiap
pembagian waris berdasarkan hukum adat di Indonesia berbeda-beda sesuai
dengan aturan yang ada pada suku tersebut. Termasuk dalam pembagian waris
pada Suku Akit di Provinsi Riau.
Suku Akit berasal dari Provinsi Riau yang mendiami hutan-hutan Riau.
Dalam sejarahnya, suku asli Akit mendiami Pulau Rupat, Kecamatan Rupat.
Kabupaten Bengkalis. Diperkirakan bahwa masyarakat Suku Akit saat ini
berjumlah kurang lebih 5.646 jiwa. Dalam penyebutan Suku Akit oleh masyarakat
dikarenakan pada zaman dahulu semua aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat
dilakukan di atas rumah rakit. Kemudian mereka berpindah-pindah tempat
menggunakan rakit tersebut dan membuat rumah-rumah sederhana di pinggir
pantai.

Suku Akit masih menjunjung tinggi nilai gotong royong dalam


menjalankan aktivitas yang mereka lakukan. Sebagai masyarakat yang hidup
berdampingan dengan laut mereka juga melakukan aktivitas menjadi seorang
nelayan. Selain itu, masyarakat Suku Akit juga memanfaatkan hutan mangrove
yang ada di pinggir laut yang dimanfaatkan menjadi kayu bakar ataupun kayu
arang.

Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan diatur


mengenai hak penguasaan atas tanah bagi masyarakat adat. Dalam Pasal 4 ayat (3)
yang menyebutkan bahwa “Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan
hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui
keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.” Namun
menurut Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 10 Tahun 2016 menyebutkan bahwa “Masyarakat
hukum adat yang memenuhi persyaratan dapat dikukuhkan hak atas tanahnya.
Persyaratan tersebut diatur dalam Pasal 4 ayat (1) meliputi masyarakat yang masih
dalam bentuk paguyuban, ada kelembagaan dalam perangkat penguasa adatnya,
ada wilayah hukum adat yang jelas, dan ada pranata dan perangkat hukum yang
masih ditaati. Namun Sukarto berpendapat bahwa masyarakat Suku Akit yang ada
tidak mempunyai wilayah adat baik berupa hutan adat maupun tanah adat di
Kecamatan Rupat Utara. Hal ini membuat mereka membuka serta mengelola
tanah menjadi lahan pertanian dan perkebunan atas inisiatif mereka sendiri untuk
memenuhi kebutuhan pokok mereka. Oleh karena itu, tanah tersebut bukan
merupakan tanah ulayat melainkan hanya tanah milik pribadi dari masyarakat
Suku Akit.

Suku Akit menjadi salah satu suku yang ada di Indonesia yang masih
memegang teguh adat istiadat yang mereka miliki yang wajib dipatuhi oleh
masyarakatnya. Dalam sistem perkawinan masyarakat Suku Akit, perkawinan
dilaksanakan dengan memberikan uang adat kepada pihak perempuan. Kemudian
pihak perempuan akan masuk ke dalam pihak keluarga laki-laki. Apabila diilihat
secara garis keturunan masyarakat Suku Akit menarik garis keturunan patrilineal
(garis keturunan ayah). Anak laki-laki lebih berkedudukan lebih tinggi daripada
perempuan dalam pewarisan. Meskipun masyarakat Suku Akit menarik garis
keturunan patrilineal namun pada masyarakat Suku Akit subjek dari harta warisan
tersebut adalah anak atau keturunan dari pewaris tersebut. Maka untuk
menentukan sistem pewarisan tersebut dilakukan dengan 3 (tiga) cara antara lain
melalui penghibahan (peninggalan Aeh Heta), wasiat, dan sesudah pewaris wafat.

1.2 Rumusan Masalah

Terdapat beberapa rumusan masalah untuk membahas mengenai hukum


waris dalam Suku Akit di Provinsi Riau, antara lain:

1. Apa Subjek Dan Objek dari Hukum Waris yang Ada di Suku Akit?
2. Bagaimana Proses Pembagian Hukum Waris Adat yang Ada di Suku
Akit?
3. Bagaimana upaya penyelesaian sengketa waris adat Masyarakat Suku
Akit?
4. Bagaimana Hukum Tanah Adat yang Ada di Suku Akit?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari pembahasan dalam makalah ini, antara lain:
1. Mengetahui Subjek Dan Objek dari Hukum Waris yang Ada di Suku
Akit
2. Memahami Proses Pembagian Hukum Waris Adat yang Ada di Suku
Akit
3. Mengetahui upaya penyelesaian sengketa waris adat Masyarakat Suku
Akit
4. Mengetahui Hukum Tanah Adat yang Ada di Suku Akit
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Subjek dan Objek Hukum Waris Adat Suku Akit

Hukum waris adalah aturan yang bertujuan pada pememilihan ahli waris
yang berhak menerima harta warisan berdasarkan seorang yg sudah meninggal
dunia. Harta yang diwariskan bisa diatur supaya output pembagian pada masing-
masing ahli waris menggunakan adil sinkron anggaran aturan kewarisan. Dalam
hal ini terjadi disparitas pada tiap masing-masing warga juga secara agama.
Pembagian warisan menggunakan memakai aturan waris tata cara didasarkan
dalam anggaran suku yg masih dipegang teguh dan dijalankan sampai ketika ini.
Adapun aturan waris tata cara mempunyai anggaran tata cara yg berbeda - beda yg
berakibat sistem penerapannya sanggup berlainan apabila menurut menggunakan
tata cara masing - masing wilayah atau komunitas. Adapun dalam dasarnya
terdapat beberapa sistem yg dijadikan patokan pada aturan waris tata cara, yakni
terdiri berdasarkan Sistem Individual, Sistem Patrilineal, Sistem Matrilineal, dan
Sistem Parental atau Bilateral.

1) Sistem Individual

Dalam sistem pewarisan individual, ahli waris bersama-sama


mengakui status anak perempuan dan anak laki-laki dan mewarisi, tetapi
warisan anak laki-laki lebih besar daripada anak perempuan, tetapi hak waris
dipegang oleh ahli waris. Anak perempuan menerima bagian lebih sedikit
daripada anak laki-laki, tetapi anak perempuan menerima setengah dari
pembagian warisan. Adanya hak waris individu ini memberikan kepada ahli
waris hak individu atau pribadi atas pewarisan.

2) Sistem Patrilineal

Sistem kekerabatan patrilineal adalah sistem kekerabatan yang menarik


garis silsilah dari pihak ayah. Sistem kekerabatan patrilineal murni
menjadikan anak laki-laki dari pihak ayah sebagai ahli waris, tetapi anak
perempuan tidak dapat hidup sebagai ahli waris. Namun, selain perkembangan
yang ada, juga terjadi perubahan sosial budaya dan cara pandang terhadap
kedudukan laki-laki dan perempuan dalam keluarga dan lingkungan sosial.
3) Sistem Matrilineal

Salah ini adalah sistem yang menelusuri garis keturunan anggota


masyarakat untuk menemukan ibu, ibu dari ibu, dan perempuan sebagai nenek
moyang. Akibat hukum yang ditimbulkan adalah bahwa semua keluarga
adalah keluarga ibu dan anak diangkat oleh keluarga ibu dan diwarisi dari
keluarga ibu. Suami atau ayah bukan milik keluarga ibu atau keluarga istri.
Dapat dikatakan bahwa sistem kekerabatan yang ditarik dari ibu menempati
posisi pewarisan perempuan daripada laki-laki. Contoh dari komunitas
common law ini adalah masyarakat Minangkabau.

4) Sistem Bilateral

Warisan bilateral atau keluarga perantara berarti bahwa seseorang


mewarisi dari kedua belah pihak kerabatnya, baik silsilah laki-laki maupun
perempuan (M. Idris Ramulyo, 1994). Menurut hukum perdata, pewarisan
bilateral adalah orang yang mewarisi tidak hanya dari ayahnya tetapi juga dari
ibunya, dan merupakan saudara laki-laki yang mewarisi dari saudara-
saudaranya (R. Subekti dan R. Tjitrosudibya, 1999). Sistem kewarisan
bilateral, menurut Hazairin menimbulkan kesatuankesatuan kekeluargaan yang
besar, dimana setiap orang menghubungkan dirinya dalam hal keturunan baik
kepada ibunya maupun kepada bapaknya (Hazairin, 1981). Berdasarkan
beberapa pengertian di atas, kewarisan bilateral yang maksudnya adalah
bahwa seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak, baik dari
pihak bapak maupun dari pihak ibu, dalam hal ini alqur`an telah meletakkan
dasar sistem kewarisan bilateral bagi masyarakat Islam yang memang sistem
kemasyarakatannya bilateral. Kemudian terminologi berbeda agama, yang
dimaksudkan adalah antara Islam dan non Islam. Perbedaan agama di luar
Islam tidak termasuk dalam pengertian ini.

Pada Masyarakat Adat Suku Akit, sistem yg dipakai pada hal pewarisan
merupakan kewarisan Individual. Sistem kewarisan Individual mengatur
disparitas presentasi hak harta warisan antara anak pria dan wanita, dimana
pembagian harta warisan pada anak pria lebih akbar dibandingkan menggunakan
anak wanita. Meski begitu, kedudukan antar anak pria dan wanita permanen sama-
sama harus menerima hak berdasarkan oleh pewaris. Oleh lantaran itu, anak
wanita permanen akan berdasarkan harta yg dibagikan sang pewaris, walaupun nir
sebanyak pembagiannya menggunakan yg diterima sang anak pria. Hal ini terjadi
dikarenakan adanya sistem kewarisan individual yg mengatur hak secara
perorangan pada pakar waris mengenai harta warisan.
Hukum Adat Suku Akit mengungkapkan adanya subjek dan objek harta
warisan. Dalam hal ini subjek harta warisan yg dimaksud merupakan seseorang
pewaris dan pakar warisnya. Pewaris dan pakar warisnya wajib mempunyai
interaksi darah, inilah yg mengakibatkan eratnya interaksi antara pewaris dan
pakar warisnya. Di pada aturan Adat Suku Akit sendiri subjek harta warisannya
merupakan anak keturunan darah berdasarkan si pewaris. apabila pewaris nir
mempunyai keturunan, maka harta warisan akan jatuh ke tangan kerabat misalnya
Nenek pria ataupun wanita, Bah, Ngah, dan Wak. Selanjutnya objek harta
warisan yg dimaksud merupakan mal yg mampu berwujud materi juga non materi.
Objek harta warisan pada warga Suku Akit biasa berupa rumah, tanah, dan juga
kebun yang dimiliki seseorang pewaris.

2.2 Proses Pembagian Hukum Waris Adat yang Ada di Suku Akit

Menurut peraturan hukum adat, proses dari pembagian harta warisan ini
dilakukan ketika orang tua atau pewaris masih hidup. Proses tersebut dilakukan
dari hasil musyawarah mufakat dari ayah dan ibu mereka. Keputusan dari kedua
ayah dan ibu tersebut wajib untuk hadir bagi seluruh ahli waris baik itu dari pihak
laki-laki maupun dari pihak perempuan serta ketua adat atau tetangga dan juga
orang tua yang dihormati akan menjadi saksi dari musyawarah tersebut.
Pembagian harta waris tersebut dilakukan kepada pewaris oleh ahli waris secara
terbuka pada saat pewaris meninggal dunia.

Dalam hal pewarisan, Masyarakat Adat Suku Akit menggunakan sistem waris
Individual, dimana kedudukan dari anak laki-laki dan anak perempuan diakui
dengan seksama untuk mendapatkan harta warisan dari pewaris, walaupun
pembagian dari harta warisan tersebut akan diterima lebih besar oleh anak laki-
laki dibandingkan dengan anak perempuan. Walaupun anak perempuan
mendapatkan harta waris lebih kecil, tetapi pada proses pembagiannya anak
perempuan berhak untuk mendapatkan setengah bagian dari harta warisan yang
diberikan oleh pewaris atau orang tuanya. Hal tersebut dikarenakan terdapat
sistem pewarisan individual yang sistem tersebut memberi hak dengan
perorangan atau individu terhadap ahli waris tentang harta warisannya.
Proses pembagian warisan yang dilakukan oleh masyarakat adat suku Akit,
dilakukan dengan 3 (tiga) cara pembagian, cara tersebut antara lain:

1) Wasiat
Wasiat merupakan pesan terakhir dari orang yang akan meninggal
(pewaris) dan disampaikan pada ahli warisnya dengan tujuan untuk
menginformasikan keinginan atau kehendaknya kepada ahli waris
mengenai kekayaan asal, kekayaan benda, kekayaan pencaharian bersama,
berbagai hutang, serta bagian dan kewajiban dari para ahli waris. Dengan
adanya wasiat ini menjadi salah satu upaya untuk menghindari keributan
pada keluarga pada saat membagi harta warisan antara para ahli waris.
Pada masyarakat adat suku Akit, pewaris atau orang tua harus
menyampaikan wasiat langsung pada ahli warisnya sebelum pewaris
tersebut wafat. Wasiat yang disampaikan tersebut wajib diksaksikan oleh
keluarga dan ketua adat. Pembagian warisan tersebut dilakukan 7 (tujuh)
hari setelah pewaris telah wafat. Wasiat yang diberikan oleh pewaris bagi
masyarakat suku Akit, wasiat tersebut harus ditaati dengan sebaik
mungkin.

2) Penghibahan
Hibah merupakan salah satu perbuatan yang menimbulkan hukum yang
mana seseorang memberikan suatu barang atau harta tertentu kepada orang
lainnya sesuai dengan kaidah hukum yang telah berlaku. Penghibahan ini
adalah suatu pembagian harta kekayaan secara keseluruhan ataupun
sebagian pada saat pemilik harta tersebut masih hidup. Tujuan dari
penghibahan ini untuk menyerahkan sebagian dari harta pencaharian
seorang bapak dan seorang ibu kepada anak-anaknya selama bapak dan
ibu tersebut masih hidup.
Dalam masyarakat adat suku Akit, proses penghibahan ini diawali dengan
mengadakan musyawarah mufakat dan harus dihadiri oleh seluruh ahli
waris serta disaksikan oleh wali, waris, dan para tetangga. Apabila terdapat
ketidakcocokan antara para ahli waris, maka kedua orang tua harus
memanggil wali atau waris untuk dapat dijadikan saksi serta apabila
diperlukan saksi tersebut dapat memberi nasehat kepada para ahli waris.
Namun, jika para ahli waris belum juga mendapatkan kesepakatan dari
musyawarah tersebut, maka proses selanjutnya yaitu dengan meminta
bantuan RW, Kepala Adat, dan juga Kepala Dusun untuk dijadikan saksi
dalam kegiatan musyawarah selanjutnya. Apabila pada musyawarah kedua
ini masih belum ada kata sepakat, maka kedua orang tua tetap harus
membuat keputusan sendiri dengan melakukan pembagian kekayaan
sesuai dengan keputusan mereka. Jika ahli waris tidak sepakat atas
pemagian harta warisan dari keputusan kedua orang tua tersebut, maka ahli
waris dapat mengajukan gugatan kepada Kepala Desa.
Apabila seorang anak dalam masyarakat Adat Suku Akit yang semasa
hidupnya mendapatkan pemberian nafkah dari bapak atau kedua orang
tuanya, maka dapat dianggap anak tersebut telah mendapatkan kekayaan
penuh dari penginggalan bapaknya, sehingga anak dari bapak itu tidak
berhak menerima barang atau kekayaan pada saat proses pembagian
warisan yang dilakukan oleh waris setelah meninggal dunia. Namun, bila
barang atau harta kekayaan dari bapaknya tersebut masih banyak setelah
dibagikan dan ternyata anak tersebut belum cukup mendapatkan harta
warisan untuk kebutuhan sehari-harinya, maka ia berhak untuk
mendapatkan harta warisan lebih dari pewaris, sehingga harta warisan
yang didapatkan jumlahnya akan menjadi sama dengan saudara yang
lainnya.

3) Sesudah Pewaris Wafat


Dalam masyarakat adat suku Akit, proses pembagian warisan dilakukan
setalah 7 (tujuh) hari wafatnya pewaris. Pada saat proses pembagian,
semua pihak yang berhak mendapatkan waris harus dikumpulkan untuk
memusyawarahkan perihal harta warisan pewaris yang akan dibagikan.
Tetapi, ada salah satu warga dari masyarakat suku Akit yang memberikan
harta warisan kepada ahli warisnya tersebut setelah 1 (satu) tahun hari
wafatnya pewaris. Juru dari pembagian warisan tersebut antara lain: Orang
tua yang masih hidup (janda atau duda dari pewaris), anak tertua lelaki
atau perempuan, anggota keluarga tertua yang dipandang jujur, adil dan
bijaksana, anggota kerabat tetangga, pemuka masyarakat adat, dan pemuka
agama yang diminta, akan ditunjuk sebagai juru bagi. Dan juga peran
paman dibutuhkan dalam musyawarah pembagian warisan sebagai
penasehat.

Dalam masyarakat adat suku Akit, anak laki-laki yang paling tua atau yang
paling besar memiliki tanggung jawab yang paling utama terhadap keutuhan
keluarga dan kesejahteraan keluarga sekaligus sebagai pengurus warisan dari harta
kedua orang tuanya. Selain anak laki-laki, suku Akit juga memiliki beberapa
kedudukan untuk beberapa orang berhak menjadi ahli waris, orang tersebut antara
lain:
1) Anak Kandung
Dalam masyarakat suku Akit, anak laki-laki serta anak perempuan dan
cucunya, dan juga bayi yang ada dikandungan seorang ibu dapat memiliki
hak sebagai ahli waris dalam keluarganya. Anak laki-laki dalam suatu
keluarga berhak mendapatkan harta kekayaan warisan lebih banyak
dikarenakan anak laki-laki berada pada tahta atau kedudukan paling tinggi
dalam keluarga terkhusus pada masyarakat suku Akit. Pada anak
Perempuan, akan mendapatkan warisan bernilai setengah harta kekayaan
yang diberikan kepada anak laki-laki. Atau dapat pula, anak Perempuan
mendapatkan harta kekayaan warisan ini secara sukarela tergantung
dengan keikhlasan pewaris atau kedua orang tuanya. Anak perempuan
yang mendapatkan harta warisan setengah dari harta laki-laki atau
mendapatkan harta secara sukarela dari keluarga merupakan anak
perempuan yang masih tinggal bersama keluarga atau anak perempuan
tersebut belum menikah atau belum dibeli oleh seorang laki-laki dengan
membayar uang adat.
2) Janda
Dalam masyarakat suku Akit, janda tidak termasuk ke dalam orang yang
masuk ke dalam kelompok ahli waris. Hal ini karena janda tidak memiliki
hubungan kekeluargaan langsung dengan pemberi waris atau pewaris.
Namun, dalam masyarakat suku Akit Janda memiliki keuntungan untuk
dapat menikmati harta kekayaan warisan dari pewaris di masyarakat suku
Akit. Harta warisan tersebut diberi kepada Janda yang memiliki anak
hingga anak tersebut tumbuh dewasa.
3) Duda
Hukum dalam masyarakat suku Akit mengatakan bahwa Duda berhak
untuk menjadi ahli waris. Hal ini dikarenakan suku Akit menganut sistem
garis keturunan secara Patrineal yang mana garis keturunan tersebut
diambil atau ditarik garis lurus melalui laki-laki atau dari sang ayah saja.
Seorang Duda akan mendapatkan harta kekayaan warisan dengan nilai dan
jumlah yang sama dengan harta yang diberikan pewaris kepada anak
kandung. Harta warisan yang diberikan ini salah satu tujunnya yaitu untuk
mengurus anak dari seorang Duda hingga anak tersebut tumbuh dewasa.
4) Anak Angkat
Dalam masyarakat suku Akit, proses mengangkat anak dilakukan melalui
upacara hukum adat suku Akit dengan cara melakukan upacara yang
disaksikan oleh keluarga dari pihak laki-laki dan pihak keluarga
perempuan, serta mengundang juga dari tokoh masyarakat seperti Kepala
Suku dan Kepala desa. Setelah selesainya proses upacara adat tersebut,
maka kedudukan dari anak angkat menjadi setara dengan anak kandung.
Sehingga, secara tidak langsung anak angkat tersebut harus menerima
harta kekayaan warisannya dari ayah angkatnya dengan nilai dan jumlah
yang sama dengan anak kandungnya. Apabila ayah atau orang tua tersebut
tidak memiliki anak kandung, maka harta kekayaan warisan secara penuh
akan diberikan oleh pewaris atau orang tua kepada anak angkatnya.
2.3 Sengketa Waris Di Suku Akit Dan Penyelesaiannya

Dalam pembagian warisan yang telah ditetapkan dan diatur oleh Hukum
Adat pada Suku Akit, seringkali terjadi perbedaan paham dengan sebagaimana
yang seharusnya. Hal ini sendiri dapat menimbulkan perselisihan dan konflik
yang tak henti hentinya bahkan sekalipun dengan anggota keluarga sendiri yang
tentunya juga merupakan ahli waris. Konflik yang seperti ini dapat kita kenal
dengan sebutan Sengketa Waris. Objek dari sengketa waris ini biasanya tidak jauh
jauh dari urusan ‘pertanahan’. Masyarakat adat Suku Akit sangat menjunjung
tinggi pertahanan wilayah nya karena mereka berpikir wilayah tersebut adalah
wilayah yang nenek moyang mereka temukan dan pertahankan hingga saat ini,
maka dari itu mereka kerap kali terlibat dengan sengketa waris terkait tanah
bahkan dengan anggota keluarga sendiri yang tidak lain tujuan mempertahankan
wilayah adat mereka.

Dalam menyelesaikan sengketa waris yang seperti ini, Masyarkat adat


Suku Akit tidak jauh berbeda dengan masyarakat adat lainnya, namun yang
membedakan penyelesaian sengketa waris dalam Suku Akit dengan suku lainnya
ialah dalam Suku Akit penyelesaian nya tidak seformal masyarakat adat lainnya.
Penyelesaian Sengketa Waris tersebut dapat dilakukan melalui dua cara yakni:

1. Dapat dilakukan melalui Musyawarah (Hapat atau Behonding)Keluarga.


Meyer Fortes mengatakan bahwa Sistem Kekerabatan yang ada dalam
suatu masyarakat adalah sesuatu yang dapat menggambarkan bagaimana
struktur sosial dari masyarakat itu sendiri. Seperti halnya dengan sistem
kekerabatan yang dimiliki oleh Masyarakat Adat Suku Akit, kekerabatan
terkecilnya ialah Keluarga. Keluarga tersebut terdiri dari ayah, ibu, anak,
kakak, adik, kakek, nenek, dan cucu. Karena pada Suku Akit menganut
Sistem Patrineal pada system kekerabatannya, maka dalam Suku Akit anak
laki-laki tertua lebih berperan dalam pembagian warisan, serta menjadi
penerus keluarga jika suatu saat orang tua nya meninggal.
Dalam Musyawararah Keluarga yang biasa mereka sebut dengan Hapat
atau Behonding, peran anak laki-laki tertua sangat dibutuhkan untuk
menentukan keputusan akhir dari hapat/behonding ini. Dalam
hapat/behonding ada status kedudukan yang dinamakan Wali dan Waris.
Status kedudukan wali ditempati oleh anak laki-laki (bukan yang tertua)
dan Waris ditempati oleh anak perempuan. Saat pelaksanaan
hapat/behonding yang diadakan untuk menyelesaikan sengketa waris,
biasanya anak laki-laki tertua memanggil wali dan waris untuk mencari
solusi dan jalan keluar dari sengketa tersebut. Wali dan waris juga
mempunyai kewajiban untuk mengambil keputusan yang tidak merugikan
ahli waris dan sebijaksana mungkin, karena kembali lagi kepada tujuan
awal dari pemanggilan wali dan waris yakni agar dapat mendapatkan
solusi dan hasil akhir yang baik dan tidak ada lagi permasalahan lanjutan
dari sengketa waris ini. Pada umumnya dalam hapat/behonding ini wali
dan waris memutuskan untuk membagi rata bagian waris antara anak laki-
laki dan anak perempuan, namun ada dalam beberapa kasus jumlah dari
anak laki-laki dua kali lebih besar dibandingkan anak perempuan. Setelah
ditetapkannya keputusan ini biasanya juga menjadi perintah bagi
masyarakat yang mana jadinya tidak akan ada yang berani menentang
keputusan dari hapat/behonding.

2. Dapat dilakukan melalui Musyawarah Adat.


Masyarakat adat Suku Akit saat ini menganut sistem kepemimpinan
tradisional hingga saat ini. Masyarakat adat Suku Akit sekarang ini
dipimpin oleh pemimpin adat yang juga memegang kendali atas suku
mereka yang biasa dikenal dengan Batin. Pada awalnya Batin ini hanya
memiliki tugas dan kewajiban sebagai pemimpin adat saja, namun
sekarang ini Batin merangkap beberapa pekerjaan lainnya seperti kepala
desa. Batin dapat meminta bantuan kepada bawahannya yang disebut
Jakrah ketika menangani permasalahan yang berhubungan dengan
ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan Hukum Adat yang telah
ditetapkan masyarakat adat. Dan Batin dibantu oleh Antan dalam
menangani pekerjaan sehari-hari dalam urusan adat dan urusan
pemerintahan.
Ada berbagai permasalahan yang dihadapi oleh Masyarakat Adat Suku
Akit termasuk masalah perkawinan, perceraian, dan yang paling utama
ialah permasalahan warisan. Ketika menghadapi sengketa waris, hal
pertama yang dilakukan oleh Batin adalah Musyawarah Adat. Untuk
melakukan musyawarah adat, Batin perlu memanggil seluruh ahli waris
serta wali dan waris yang sebelumnya telah ditentukan. Setelah itu Batin
mengadakan mediasi untuk membahas mengenai permasalahan yang
sedang terjadi. Batin tidak akan hanya mendengar dari sisi ahli waris saja,
tetapi Batin juga menghadirkan saksi-saksi yang bersangkutan agar
keputusan yang dibuat Batin adil sama rata bagi pihak manapun, karena
memang itu tujuan dari musyawarah adat ini.

2.4 Bagaimana Hukum Tanah Adat yang Ada di Suku Akit?

Dalam pengaturan tentang masyarakat Hukum Adat lebih sering didapat


dalam peraturan perundang-undangan pemerintahan daerah, kecuali UUPA. Tidak
bisa dibantahkan bahwa UUPA merupakan salah satu tempat dasar konsep dan
materi pengaturan tentang masyarakat hukum adat. Berdasarkan Pasal 1 angka 1
Permen Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999, disebutkan hak ulayat adalah
kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat
tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan wilayah lingkungan hidup para
warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah
dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya yang timbul
dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara
masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.

Untuk Hukum Tanah Adat yang ada di Suku Akit, Suku Akit memiliki hak
ulayat sebagaimana terdapat pada Pasal 3 UUPA , yaitu “Dengan mengingat
ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan Hak Ulayat dan hak-
hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang
menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai
dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan
bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-
peraturan lain yang lebih tinggi.” Dengan konsep tersebut, suku akit memiliki
hukum tanah adat yang diakui sebagai masyarakat hukum adat selaku subyek
yang memiliki hak ulayat.

Suku Akit memanfaatkan sumber daya alam yang terdapat di wilayah


lingkungan hidupnya. Umumnya, mereka memanfaatkan sumber daya alam yang
berkaitan dengan kehidupan laut, karena mereka biasa beraktifitas di sungai, selat
dan laut. Selain itu, Suku Akit juga memanfaatkan hutan – hutan mangrove yang
kayunya dijadikan sebagai kayu bakar maupun arang. Suku Akit sudah ratusan
tahun menempati dan mengelola Pulau Rupat yang mereka huni sekarang. Suku
Akit sekarang telah menetap di daratan dan menempatkan diri didaerah tertentu
dan berkembang mengikuti pola kehidupan yang baru dan kebanyakan berada di
hutan-hutan dan daerah pemekaran dari Provinsi Riau. Dengan adanya
pertumbuhan penduduk dan dampak pembangunan daerah mengakibatkan Suku
Akit mengikuti pola dan merasakan dampak perubahannya sehingga secara tak
langsung Suku Akit bisa dibilang sudah menghilangkan nilai-nilai leluhur.
Kebanyakan orang dari Suku Akit mengembangkan kehidupan adaptif di dekat
wilayah perairan kepulauan Riau dan kehidupan dari Suku Akit juga bergantung
dengan kegiatan-kegiatan seperti, berburu, menangkap ikan, membuka lahan
untuk bercocok tanam maupun mengolah sagu.
DAFTAR PUSTAKA

Suku Akit di Pulau Rupat. (2011). Direktorat Jenderal Kebudayaan .

Hadikusuma, H. (1987). Hukum Kekerabatan Adat . Jakarta : Fajar Agung.

Kansil, C. (1989). Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia. Balai Pustaka .

Orlando, Y. (2017). Pembagian Waris Menurut Hukum Adat Masyarakat Suku Akit (Studi
Di Kecamatan Rupat Utara, Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau) .
Premise Law Journal .

Syamsyidar, R. (2014). Profil Suku Akit Di Teluk Setimbul Kecamatan Meral Kabupaten
Karimun Kepulauan Riau. Jurnal Ilmu Budaya Unilak .

Anwar, Ilham, C. 2021. Mengenal Sistem Kekerabatan Bilateral, Patrilineal, dan


Matrilineal.

Sonny Dewi Judiasih, Dkk. (2021). Pergeseran Norma Hukum Waris Pada Masyarakat
Adat Patrilineal. Rechtidee.

Anda mungkin juga menyukai