Dosen Pengampu :
Disusun Oleh :
2022
BAB I
PENDAHULUAN
Suku Akit menjadi salah satu suku yang ada di Indonesia yang masih
memegang teguh adat istiadat yang mereka miliki yang wajib dipatuhi oleh
masyarakatnya. Dalam sistem perkawinan masyarakat Suku Akit, perkawinan
dilaksanakan dengan memberikan uang adat kepada pihak perempuan. Kemudian
pihak perempuan akan masuk ke dalam pihak keluarga laki-laki. Apabila diilihat
secara garis keturunan masyarakat Suku Akit menarik garis keturunan patrilineal
(garis keturunan ayah). Anak laki-laki lebih berkedudukan lebih tinggi daripada
perempuan dalam pewarisan. Meskipun masyarakat Suku Akit menarik garis
keturunan patrilineal namun pada masyarakat Suku Akit subjek dari harta warisan
tersebut adalah anak atau keturunan dari pewaris tersebut. Maka untuk
menentukan sistem pewarisan tersebut dilakukan dengan 3 (tiga) cara antara lain
melalui penghibahan (peninggalan Aeh Heta), wasiat, dan sesudah pewaris wafat.
1. Apa Subjek Dan Objek dari Hukum Waris yang Ada di Suku Akit?
2. Bagaimana Proses Pembagian Hukum Waris Adat yang Ada di Suku
Akit?
3. Bagaimana upaya penyelesaian sengketa waris adat Masyarakat Suku
Akit?
4. Bagaimana Hukum Tanah Adat yang Ada di Suku Akit?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari pembahasan dalam makalah ini, antara lain:
1. Mengetahui Subjek Dan Objek dari Hukum Waris yang Ada di Suku
Akit
2. Memahami Proses Pembagian Hukum Waris Adat yang Ada di Suku
Akit
3. Mengetahui upaya penyelesaian sengketa waris adat Masyarakat Suku
Akit
4. Mengetahui Hukum Tanah Adat yang Ada di Suku Akit
BAB II
PEMBAHASAN
Hukum waris adalah aturan yang bertujuan pada pememilihan ahli waris
yang berhak menerima harta warisan berdasarkan seorang yg sudah meninggal
dunia. Harta yang diwariskan bisa diatur supaya output pembagian pada masing-
masing ahli waris menggunakan adil sinkron anggaran aturan kewarisan. Dalam
hal ini terjadi disparitas pada tiap masing-masing warga juga secara agama.
Pembagian warisan menggunakan memakai aturan waris tata cara didasarkan
dalam anggaran suku yg masih dipegang teguh dan dijalankan sampai ketika ini.
Adapun aturan waris tata cara mempunyai anggaran tata cara yg berbeda - beda yg
berakibat sistem penerapannya sanggup berlainan apabila menurut menggunakan
tata cara masing - masing wilayah atau komunitas. Adapun dalam dasarnya
terdapat beberapa sistem yg dijadikan patokan pada aturan waris tata cara, yakni
terdiri berdasarkan Sistem Individual, Sistem Patrilineal, Sistem Matrilineal, dan
Sistem Parental atau Bilateral.
1) Sistem Individual
2) Sistem Patrilineal
4) Sistem Bilateral
Pada Masyarakat Adat Suku Akit, sistem yg dipakai pada hal pewarisan
merupakan kewarisan Individual. Sistem kewarisan Individual mengatur
disparitas presentasi hak harta warisan antara anak pria dan wanita, dimana
pembagian harta warisan pada anak pria lebih akbar dibandingkan menggunakan
anak wanita. Meski begitu, kedudukan antar anak pria dan wanita permanen sama-
sama harus menerima hak berdasarkan oleh pewaris. Oleh lantaran itu, anak
wanita permanen akan berdasarkan harta yg dibagikan sang pewaris, walaupun nir
sebanyak pembagiannya menggunakan yg diterima sang anak pria. Hal ini terjadi
dikarenakan adanya sistem kewarisan individual yg mengatur hak secara
perorangan pada pakar waris mengenai harta warisan.
Hukum Adat Suku Akit mengungkapkan adanya subjek dan objek harta
warisan. Dalam hal ini subjek harta warisan yg dimaksud merupakan seseorang
pewaris dan pakar warisnya. Pewaris dan pakar warisnya wajib mempunyai
interaksi darah, inilah yg mengakibatkan eratnya interaksi antara pewaris dan
pakar warisnya. Di pada aturan Adat Suku Akit sendiri subjek harta warisannya
merupakan anak keturunan darah berdasarkan si pewaris. apabila pewaris nir
mempunyai keturunan, maka harta warisan akan jatuh ke tangan kerabat misalnya
Nenek pria ataupun wanita, Bah, Ngah, dan Wak. Selanjutnya objek harta
warisan yg dimaksud merupakan mal yg mampu berwujud materi juga non materi.
Objek harta warisan pada warga Suku Akit biasa berupa rumah, tanah, dan juga
kebun yang dimiliki seseorang pewaris.
2.2 Proses Pembagian Hukum Waris Adat yang Ada di Suku Akit
Menurut peraturan hukum adat, proses dari pembagian harta warisan ini
dilakukan ketika orang tua atau pewaris masih hidup. Proses tersebut dilakukan
dari hasil musyawarah mufakat dari ayah dan ibu mereka. Keputusan dari kedua
ayah dan ibu tersebut wajib untuk hadir bagi seluruh ahli waris baik itu dari pihak
laki-laki maupun dari pihak perempuan serta ketua adat atau tetangga dan juga
orang tua yang dihormati akan menjadi saksi dari musyawarah tersebut.
Pembagian harta waris tersebut dilakukan kepada pewaris oleh ahli waris secara
terbuka pada saat pewaris meninggal dunia.
Dalam hal pewarisan, Masyarakat Adat Suku Akit menggunakan sistem waris
Individual, dimana kedudukan dari anak laki-laki dan anak perempuan diakui
dengan seksama untuk mendapatkan harta warisan dari pewaris, walaupun
pembagian dari harta warisan tersebut akan diterima lebih besar oleh anak laki-
laki dibandingkan dengan anak perempuan. Walaupun anak perempuan
mendapatkan harta waris lebih kecil, tetapi pada proses pembagiannya anak
perempuan berhak untuk mendapatkan setengah bagian dari harta warisan yang
diberikan oleh pewaris atau orang tuanya. Hal tersebut dikarenakan terdapat
sistem pewarisan individual yang sistem tersebut memberi hak dengan
perorangan atau individu terhadap ahli waris tentang harta warisannya.
Proses pembagian warisan yang dilakukan oleh masyarakat adat suku Akit,
dilakukan dengan 3 (tiga) cara pembagian, cara tersebut antara lain:
1) Wasiat
Wasiat merupakan pesan terakhir dari orang yang akan meninggal
(pewaris) dan disampaikan pada ahli warisnya dengan tujuan untuk
menginformasikan keinginan atau kehendaknya kepada ahli waris
mengenai kekayaan asal, kekayaan benda, kekayaan pencaharian bersama,
berbagai hutang, serta bagian dan kewajiban dari para ahli waris. Dengan
adanya wasiat ini menjadi salah satu upaya untuk menghindari keributan
pada keluarga pada saat membagi harta warisan antara para ahli waris.
Pada masyarakat adat suku Akit, pewaris atau orang tua harus
menyampaikan wasiat langsung pada ahli warisnya sebelum pewaris
tersebut wafat. Wasiat yang disampaikan tersebut wajib diksaksikan oleh
keluarga dan ketua adat. Pembagian warisan tersebut dilakukan 7 (tujuh)
hari setelah pewaris telah wafat. Wasiat yang diberikan oleh pewaris bagi
masyarakat suku Akit, wasiat tersebut harus ditaati dengan sebaik
mungkin.
2) Penghibahan
Hibah merupakan salah satu perbuatan yang menimbulkan hukum yang
mana seseorang memberikan suatu barang atau harta tertentu kepada orang
lainnya sesuai dengan kaidah hukum yang telah berlaku. Penghibahan ini
adalah suatu pembagian harta kekayaan secara keseluruhan ataupun
sebagian pada saat pemilik harta tersebut masih hidup. Tujuan dari
penghibahan ini untuk menyerahkan sebagian dari harta pencaharian
seorang bapak dan seorang ibu kepada anak-anaknya selama bapak dan
ibu tersebut masih hidup.
Dalam masyarakat adat suku Akit, proses penghibahan ini diawali dengan
mengadakan musyawarah mufakat dan harus dihadiri oleh seluruh ahli
waris serta disaksikan oleh wali, waris, dan para tetangga. Apabila terdapat
ketidakcocokan antara para ahli waris, maka kedua orang tua harus
memanggil wali atau waris untuk dapat dijadikan saksi serta apabila
diperlukan saksi tersebut dapat memberi nasehat kepada para ahli waris.
Namun, jika para ahli waris belum juga mendapatkan kesepakatan dari
musyawarah tersebut, maka proses selanjutnya yaitu dengan meminta
bantuan RW, Kepala Adat, dan juga Kepala Dusun untuk dijadikan saksi
dalam kegiatan musyawarah selanjutnya. Apabila pada musyawarah kedua
ini masih belum ada kata sepakat, maka kedua orang tua tetap harus
membuat keputusan sendiri dengan melakukan pembagian kekayaan
sesuai dengan keputusan mereka. Jika ahli waris tidak sepakat atas
pemagian harta warisan dari keputusan kedua orang tua tersebut, maka ahli
waris dapat mengajukan gugatan kepada Kepala Desa.
Apabila seorang anak dalam masyarakat Adat Suku Akit yang semasa
hidupnya mendapatkan pemberian nafkah dari bapak atau kedua orang
tuanya, maka dapat dianggap anak tersebut telah mendapatkan kekayaan
penuh dari penginggalan bapaknya, sehingga anak dari bapak itu tidak
berhak menerima barang atau kekayaan pada saat proses pembagian
warisan yang dilakukan oleh waris setelah meninggal dunia. Namun, bila
barang atau harta kekayaan dari bapaknya tersebut masih banyak setelah
dibagikan dan ternyata anak tersebut belum cukup mendapatkan harta
warisan untuk kebutuhan sehari-harinya, maka ia berhak untuk
mendapatkan harta warisan lebih dari pewaris, sehingga harta warisan
yang didapatkan jumlahnya akan menjadi sama dengan saudara yang
lainnya.
Dalam masyarakat adat suku Akit, anak laki-laki yang paling tua atau yang
paling besar memiliki tanggung jawab yang paling utama terhadap keutuhan
keluarga dan kesejahteraan keluarga sekaligus sebagai pengurus warisan dari harta
kedua orang tuanya. Selain anak laki-laki, suku Akit juga memiliki beberapa
kedudukan untuk beberapa orang berhak menjadi ahli waris, orang tersebut antara
lain:
1) Anak Kandung
Dalam masyarakat suku Akit, anak laki-laki serta anak perempuan dan
cucunya, dan juga bayi yang ada dikandungan seorang ibu dapat memiliki
hak sebagai ahli waris dalam keluarganya. Anak laki-laki dalam suatu
keluarga berhak mendapatkan harta kekayaan warisan lebih banyak
dikarenakan anak laki-laki berada pada tahta atau kedudukan paling tinggi
dalam keluarga terkhusus pada masyarakat suku Akit. Pada anak
Perempuan, akan mendapatkan warisan bernilai setengah harta kekayaan
yang diberikan kepada anak laki-laki. Atau dapat pula, anak Perempuan
mendapatkan harta kekayaan warisan ini secara sukarela tergantung
dengan keikhlasan pewaris atau kedua orang tuanya. Anak perempuan
yang mendapatkan harta warisan setengah dari harta laki-laki atau
mendapatkan harta secara sukarela dari keluarga merupakan anak
perempuan yang masih tinggal bersama keluarga atau anak perempuan
tersebut belum menikah atau belum dibeli oleh seorang laki-laki dengan
membayar uang adat.
2) Janda
Dalam masyarakat suku Akit, janda tidak termasuk ke dalam orang yang
masuk ke dalam kelompok ahli waris. Hal ini karena janda tidak memiliki
hubungan kekeluargaan langsung dengan pemberi waris atau pewaris.
Namun, dalam masyarakat suku Akit Janda memiliki keuntungan untuk
dapat menikmati harta kekayaan warisan dari pewaris di masyarakat suku
Akit. Harta warisan tersebut diberi kepada Janda yang memiliki anak
hingga anak tersebut tumbuh dewasa.
3) Duda
Hukum dalam masyarakat suku Akit mengatakan bahwa Duda berhak
untuk menjadi ahli waris. Hal ini dikarenakan suku Akit menganut sistem
garis keturunan secara Patrineal yang mana garis keturunan tersebut
diambil atau ditarik garis lurus melalui laki-laki atau dari sang ayah saja.
Seorang Duda akan mendapatkan harta kekayaan warisan dengan nilai dan
jumlah yang sama dengan harta yang diberikan pewaris kepada anak
kandung. Harta warisan yang diberikan ini salah satu tujunnya yaitu untuk
mengurus anak dari seorang Duda hingga anak tersebut tumbuh dewasa.
4) Anak Angkat
Dalam masyarakat suku Akit, proses mengangkat anak dilakukan melalui
upacara hukum adat suku Akit dengan cara melakukan upacara yang
disaksikan oleh keluarga dari pihak laki-laki dan pihak keluarga
perempuan, serta mengundang juga dari tokoh masyarakat seperti Kepala
Suku dan Kepala desa. Setelah selesainya proses upacara adat tersebut,
maka kedudukan dari anak angkat menjadi setara dengan anak kandung.
Sehingga, secara tidak langsung anak angkat tersebut harus menerima
harta kekayaan warisannya dari ayah angkatnya dengan nilai dan jumlah
yang sama dengan anak kandungnya. Apabila ayah atau orang tua tersebut
tidak memiliki anak kandung, maka harta kekayaan warisan secara penuh
akan diberikan oleh pewaris atau orang tua kepada anak angkatnya.
2.3 Sengketa Waris Di Suku Akit Dan Penyelesaiannya
Dalam pembagian warisan yang telah ditetapkan dan diatur oleh Hukum
Adat pada Suku Akit, seringkali terjadi perbedaan paham dengan sebagaimana
yang seharusnya. Hal ini sendiri dapat menimbulkan perselisihan dan konflik
yang tak henti hentinya bahkan sekalipun dengan anggota keluarga sendiri yang
tentunya juga merupakan ahli waris. Konflik yang seperti ini dapat kita kenal
dengan sebutan Sengketa Waris. Objek dari sengketa waris ini biasanya tidak jauh
jauh dari urusan ‘pertanahan’. Masyarakat adat Suku Akit sangat menjunjung
tinggi pertahanan wilayah nya karena mereka berpikir wilayah tersebut adalah
wilayah yang nenek moyang mereka temukan dan pertahankan hingga saat ini,
maka dari itu mereka kerap kali terlibat dengan sengketa waris terkait tanah
bahkan dengan anggota keluarga sendiri yang tidak lain tujuan mempertahankan
wilayah adat mereka.
Untuk Hukum Tanah Adat yang ada di Suku Akit, Suku Akit memiliki hak
ulayat sebagaimana terdapat pada Pasal 3 UUPA , yaitu “Dengan mengingat
ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan Hak Ulayat dan hak-
hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang
menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai
dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan
bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-
peraturan lain yang lebih tinggi.” Dengan konsep tersebut, suku akit memiliki
hukum tanah adat yang diakui sebagai masyarakat hukum adat selaku subyek
yang memiliki hak ulayat.
Kansil, C. (1989). Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia. Balai Pustaka .
Orlando, Y. (2017). Pembagian Waris Menurut Hukum Adat Masyarakat Suku Akit (Studi
Di Kecamatan Rupat Utara, Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau) .
Premise Law Journal .
Syamsyidar, R. (2014). Profil Suku Akit Di Teluk Setimbul Kecamatan Meral Kabupaten
Karimun Kepulauan Riau. Jurnal Ilmu Budaya Unilak .
Sonny Dewi Judiasih, Dkk. (2021). Pergeseran Norma Hukum Waris Pada Masyarakat
Adat Patrilineal. Rechtidee.