Anda di halaman 1dari 10

IMPLEMENTASI PEMBAGIAN WARISAN DI MASYARAKAT TIMBU KAB.

POLEWALI MANDAR
Mardiana1
Program Studi Hukum Ekonomi Syariah, Jurusan Syariah dan Ekonomi Bisnis Islam,
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Majene
Email: mardianaidris1@gmail.com

ABSTRACT
This research aims to analyze the implementation of inheritance distribution in the Timbu
Community, Polewali Mandar Regency. In the implementation of inheritance distribution,
many shortcomings and injustices are found for the heirs who should get their share. Based
on the chronology and interviews obtained by researchers, many of the Timbu people do not
comply with positive law regarding inheritance law where many heirs' rights are violated.
The lack of understanding of the Timbu people causes the people to share their heritage in
their own way, and the Timbu people believe in this because it has been a tradition passed
down from generation to generation.

Keywords: Implementation, Legacy, Society.

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Implementasi Pembagian Warisan di Masyarakat
Timbu Kabupaten Polewali Mandar. Dalam implementasi pembagian warisan banyak
ditemukan kekurangan dan ketidak-adilan bagi ahli waris yang seharusnya mendapatkan
bagiannya. Berdasarkan atas kronologi dan wawancara yang diperoleh oleh peneliti pada
masyarakat Timbu banyak yang tidak sesuai dengan hukum positif terkait hukum kewarisan
dimana banyak hak ahli waris yang dilanggar. Kurangnya pemahaman masyarakat Timbu
menyebabkan masyarakat tersebut membagi warisannya dengan caranya sendiri, dan
masyarakat Timbu percaya akan hal tersebut karena sudah menjadi tradisi turun-temurun.
Kata Kunci: Implementasi, Warisan, Masyarakat.

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara dengan kepulauan yang berbeda-beda dan budaya yang
berbeda-beda, sehingga banyak terjadi peristiwa-peristiwa penting dengan ciri khas yang
berbeda-beda di berbagai daerah. Begitu pula dengan hukum waris yang mengalami
perkembangan seiring berjalannya waktu, mulai dari zaman kerajaan hingga saat ini. Secara
umum ideologi adalah mazhab Syafii yang menerapkan norma-norma hukum Islam. Seiring
berjalannya waktu, masyarakat perlahan-lahan mengubah gagasan dan pandangannya
mengenai pembagian harta warisan, dan hukum umum menjadi norma. Indonesia mempunyai
agama dan budaya yang berbeda-beda, sehingga hukum waris pun ikut berubah.1
Setiap manusia menjalani suatu perjalanan, mulai dari lahir, hidup di dunia, hingga
mati. Tahapan ini mempunyai implikasi hukum dan lingkungan, terutama bagi mereka yang
berhubungan dengan tahapan tersebut, seperti saudara sedarah dan pasangan. Ketika manusia
dilahirkan, ia mempunyai hak dan tanggung jawab sebagai individu dalam berinteraksi
dengan orang lain. Interaksi tersebut terjadi dengan orang tua, kerabat, anggota keluarga,
bahkan masyarakat setempat. Sejak masa bayi, masa kanak-kanak, tamiz, masa remaja, dan
masa tua, seseorang tidak pernah lepas dari hak dan kewajibannya.
Hal yang sama juga berlaku ketika seseorang meninggal. Ia memberikan pengaruh
dan pengaruh hukum terhadap dirinya sendiri, keluarganya, masyarakat dan lingkungannya.
Kematian seseorang juga membawa serta kewajiban-kewajiban baru terhadap orang lain,
termasuk pemeliharaan jenazah. Inilah Fardu Kifayah bagi yang ditinggalkan, beserta
beberapa implikasi hukum lainnya. Salah satunya menyangkut hak anggota keluarga (ahli
waris) yang masih hidup. Seseorang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta benda,
wajib mewarisinya. Pembagian harta harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, khususnya hukum waris.2
Hukum kewarisan adalah sekumpulan kaidah dan norma mengenai pembagian
warisan dari si pewaris kepada ahli waris. Sebagaimana Pasal 830 KUHPerdata menyebutkan
bahwa hukum waris adalah hukum yang mengatur kedudukan hukum harta kekayaan
seseorang setelah ia meninggal, terutama berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang lain.
Hukum waris ini mengatur mengenai hak-hak dan kewajiban para ahli waris yang akan
menerima warisan dari pewaris atau mayit.3
Warisan hanya terjadi jika beberapa faktor atau persyaratan terpenuhi. Dengan kata
lain: 1. Ada orang yang meninggal atau ahli waris, 2. Ada ahli waris yang masih hidup dan
menerima warisan atau warisan, dan 3. Ada harta peninggalan atau warisan dalam jumlah
besar. Warisan tidak akan berjalan dengan benar jika ada elemen yang tidak terpenuhi.4
Konflik akibat perebutan harta warisan masih banyak terjadi di masyarakat. Bahkan,
konflik itu kerap mencuat sebelum pewarisnya meninggal dunia. Pemicu konflik itu selain
disebabkan oleh kesadaran hukum masyarakat terhadap pembagian harta warisan masih
1
Iim Fahimah, Sejarah Perkembangan Hukum Waris Di Indonesia, Jurnal Nuansa, Vol. XI, No. 2,
Desember 2018, h. 107.
2
Ahmad Affandy, Sejarah Kewarisan Islam dan Terwujudnya Hukum Kewarisan di Indonesia, Jurnal
Studi Islam, Vol. 15, No. 2, Desember 2020, h. 35-36.
3
Dwi Putra Jaya, Hukum Kewarisan di Indonesia, (Bengkulu: Publish Your Creations, 2020), h. 4.
4
Dwi Putra Jaya, Hukum Kewarisan di Indonesia, h. 5-6.
rendah, juga disebabkan oleh problem yuridis yang berkenaan dengan hukum waris yang
berlaku di Indonesia. Setidaknya ada tiga yang menjadi acuan untuk menentukan pembagian
warisan yaitu hukum waris berdasarkan syariat Islam, hukum waris berdasarkan
KUHPerdata, dan hukum waris berdasarkan adat.5
Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, karena
semua orang pasti mengalami peristiwa hukum kematian. Akibat hukum yang timbul akibat
peristiwa hukum meninggalnya seseorang antara lain adalah persoalan bagaimana hak dan
kewajiban orang yang meninggal itu harus diperlakukan dan dilanjutkan. Pengaturan
mengenai hak dan kewajiban atas meninggalnya seseorang diatur dalam hukum waris.6
Pembagian warisan harus dilakukan sesuai dengan prinsip keadilan. Artinya
pembagian harta warisan harus dilakukan dengan memperhatikan asas keadilan antar ahli
waris yang sah. Keadilan dalam konteks ini berarti bahwa harta warisan harus dibagikan
secara adil dan merata, dengan memperhatikan faktor-faktor seperti hubungan keluarga,
kebutuhan ekonomi, dan kontribusi pewaris dalam perolehan kekayaan semasa hidupnya.
Berdasarkan premis di atas, dapat dikemukakan bahwa untuk memahami keadaan sebenarnya
pewarisan menurut hukum waris di Indonesia, maka penting untuk mengangkat kembali
perdebatan mengenai pewarisan menurut hukum waris dan membahasnya kembali.7
Hukum waris mengatur siapa yang berhak mewarisi, siapa yang dikecualikan dari
warisan, besar kecilnya bagian, cara kerja syarat-syarat pembagian, dan mengatur hak-hak
yang berkaitan dengan pembagian warisan. Hukum waris terkadang dapat menimbulkan
masalah distribusi dan kebingungan bagi ahli waris. Contohnya adalah pertanyaan tentang
alasan menerima harta warisan, hambatan menerima harta warisan, dan hak sebelum warisan
dibagi. Ketika salah satu anggota keluarga meninggal dunia dan meninggalkan harta warisan,
penting untuk berupaya memberikan solusi bagi para ahli waris.8

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian Yuridis-empiris. Jenis penelitian ini
disesuaikan dengan rumusan masalah yang diajukan sebagai acuan untuk menganalis isu
penelitian dalam latar belakang masalah tentang Implementasi Pembagian Warisan Di
Masyarakat Timbu Kabupaten Polewali Mandar. Lokasi penelitian ini merupakan objek
5
Akhmad Haries, Pluralisme Hukum Kewarisan di Indonesia, Jurnal Mazahib, 2013, h. 31.
6
Mohammad Yasir Fauzi, Legislasi Hukum Kewarisan di Indonesia, Jurnal Pengembangan
Masyarakat Islam, Vol. 9, No. 2, Agustus 2016, h. 53-54.
7
Vinna Lusiana, Hukum Kewarisan di Indonesia (Studi Komparatif antara Kompilasi Hukum Islam
dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), Jurnal Alwatzikhoebillah: Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi,
Humaniora, Vol. 8 No. 2 Juli 2022, h. 292.
8
Ahmad Affandy, Sejarah Kewarisan Islam dan Terwujudnya Hukum Kewarisan di Indonesia , h. 36.
sekaligus tempat peneliti melakukan penelitian untuk memperoleh data-data yang berkaitan
denga perihal yang akan diteliti lalu mengolah dan menganalisisnya. Adapun lokasi
penelitian dilakukan di Dusun Timbu Kabupaten Polewali Mandar Provinsi Sulawesi Barat.
Penulis akan melakukan penelitian ditempat ini dengan alasan bahwa untuk menganalisis
perihal implementasi pembagian warisan di masyarakat Baruga. Analiss data adalah proses
mencari, memperoleh dan mengolah data secara sistematis berupa hasil wawancara dan
observasi. Berdasarkan jenis data penelitian ini, analisis yang digunakan adalah deskriptif
kualitatif.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Pembagian Warisan Menurut Hukum Kewarisan
Ketentuan undang-undang telah mengatur cara untuk mendapatkan suatu warisan
yaitu sebagai berikut: 1. Secara Ab Intestato (ahli waris menurut Undang-Undang dalam
Pasal 832 KUH Perdata) Menurut ketentuan undangundang, yang berhak menerima bagian
warisan adalah para keluarga sedarah, baik sah maupun luar kawin dan suami istri yang hidup
terlama. Keluarga sedarah yang menjadi ahli waris dibagi dalam empat golongan yang
masing-masing merupakan ahli waris golongan pertama, kedua, ketiga dan golongan
keempat. Mengenai golongan ahli waris ini akan dijelaskan lebih lanjut pada pembahasan
cara pembagian hak ahli waris menurut cara Ab Intestato. 2. Secara testamentair (ahli waris
karena ditunjuk dalam surat wasiat atau testament) hal ini di atur dalam pasal 899 KUH
Perdata9
Warisan adalah kekayaan (vermorgen) si pewaris, yaitu semua hak dan kewajiban
yang dipunyai orang dan mempunyai nilai uang. Hal-hal itu dapat diuraikan seperti berikut
ini.

1. Hukum waris sesungguhnya merupakan bagian dari hukum kekayaan.


2. Hak-hak dan kewajiban yang tidak mempunyai nilai uang, seperti hak dan kewajiban
tertentu yang berasal dari hubungan hukum kekeluargaan, tidak dapat diwariskan.Contoh:
hak maritaal (maritale macht), hak wali atas orang yang ditaruh di bawah perwaliannya
dan kewajiban pengampu (curator) atas curandus.
3. Perikatan meskipun mempunyai sifat hukum kekayaan (vermogensrechtelijke
verbintenissen), tetapi berasal dari hukum keluarga, tidak termasuk dalam warisan.

9
Indah Sari, Pembagian Hak Waris Kepada Ahli Waris Ab Intestato dan Testamentair Menurut Hukum
Perdata Barat (BW), Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara, Fakultas Hukum Universitas Suryadarma, Vol. 5, No. 1,
September 2014, h. 7.
Sebaliknya hak-hak kekayaan yang sudah ada, sekalipun berasal dari hubungan
kekeluargaan masuk dalam warisan misalnya angsuran alimentatie yang sudah jatuh
tempo (oseisbaar) pada waktu yang berhak meninggal dunia. Contoh: Agus mempunyai
kewajiban untuk memberi nafkah hidup (alimentasi) kepada bekas istrinya dari
perkawinan yang pertama. Apabila Agus meninggal dunia, maka janda si Agus dari
perkawinan kedua yaitu Cindy, sebagai ahli waris tunggal dari Agus, tidak akan
mengoper atau mewarisi kewajiban alimentasi terhadap bekas istrinya si Agus (istri
pertama). Namun sebaliknya, kalau kewajiban Agus adalah untuk memberikan alimentasi
setiap tanggal 1 sejumlah Rp250.000,00 maka apabila bekas istri si Agus tersebut
meninggal dunia pada tanggal 5, maka hak atas alimentasi uang sebesar Rp250.000,00
tersebut masuk dalam warisnya, dan diwarisi oleh para ahli warisnya.
4. Hubungan hukum meskipun mempunyai uang, tetapi bersifat pribadi, tidak termasuk
dalam hak dan kewajiban yang dapat diwariskan.
Contoh:
a. Hubungan yang bersifat pribadi, yang mengandung kewajiban prestasi yang
berhubungan erat dengan si pewaris, seperti pelukis yang berjanji untuk membuat
lukisan potret seseorang (Pasal 1601 KUH Perdata).
b. Keanggotaan dalam suatu perseroan (Pasal 1646, ayat (4)), perseroan berakhir kalau
seorang pesero meninggal atau di bawah pengampuan.
c. Lastgeving (Pasal 1813 KUH Perdata), pemberian kuasa berakhir dengan
meninggalnya si pemberi kuasa maupun si penerima kuasa. Termasuk hak menikmati
hasil orang tua atau wali atas kekayaan anak yang berada di bawah kekuasaan orang
tuanya atau ditaruh di bawah perwaliannya (Pasal 311 dan 314 KUH Perdata tentang
vruchtgenot).

Menurut Pasal 250 KUH Perdata: "Tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan
sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya". Namun pernyataan pasal di
atas, masih perlu dibuktikan dulu apakah anak tersebut dibenihkan sepanjang perkawinan
walaupun pembuktiannya cukup sulit. Oleh karena itu, undang-undang membuat asumsi atau
persangkaan sebagai berikut: "Anak-anak yang dilahirkan dalam waktu 300 hari sesudah
putusnya perkawinan adalah anak yang dibenihkan sepanjang perkawinan dan karenanya
adalah anak sah".
Hak yang dipunyai suami untuk menyangkal keabsahan anak di atas dapat dilanjutkan
oleh para ahli warisnya. Hal ini diatur dalam pasal-pasal di bawah ini.
1. Pasal 257 KUH Perdata, menetapkan: "Tuntutan yang dimajukan oleh si suami menjadi
gugur apabila para ahli waris tidak melanjutkan setelah meninggalnya si suami".
Pasal 258 KUH Perdata, menyatakan: "Apabila si suami meninggal dunia sebelum ia
mempergunakan tentang hal ini,... maka para ahli waris takkan dapat mengingkari si
anak, kecuali dalam hal tersebut dalam Pasal 252 KUH Perdata".
Pasal 259 KUH Perdata, menyatakan: "Dalam hal-hal bilamana para ahli waris berhubung
dengan Pasal 256, 257, dan 258 berhak memajukan atau melanjutkan suatu tuntutan...."
Ketentuan pasal tersebut merupakan kelanjutan pasal sebelumnya yang mengatur
hak seorang anak yang dilahirkan oleh istri. Menurut pasal itu. hak-hak si suami yang
telah meninggal dunia dapat beralih kepada para ahli warisnya sekalipun jelas hak-hak
tersebut mempunyai nilai uang, walaupun secara tidak langsung mempunyai akibat
finansial. Hak mengingkari keabsahan anak dapat berupa haknya si pewaris yang belum
digunakan atau hak si pewaris yang sudah digunakan, tetapi belum selesai diputus pada
waktu si pewaris mati, hak itu kemudian dilanjutkan oleh para ahli warisnya.
Menurut J. Satrio, bahwa hak mengingkari anak (menyangkal anak) terkena
pembatasan waktu. Hak tersebut bagi si bapak harus dilakukan dalam jangka waktu
berikut ini.
a. 1 bulan, kalau ia berada di tempat anak tersebut dilahirkan.
b. 2 bulan sesudah ia kembali, kalau tidak berada di tempat pada waktu anak tersebut
dilahirkan, atau sejak diketahui olehnya kalau kelahiran anak tersebut dirahasiakan."
2. Seorang anak dapat mengajukan tuntutan ke pengadilan agar ia dinyatakan sebagai anak
sah, sebagaimana diatur dalam Pasal 269, 270, 271, dan 271a KUH Perdata. Hak untuk
menuntut keabsahan anak dapat dilanjutkan oleh para ahli warisnya. Dalam hal ini bila
tuntutan tersebut sudah dilakukan oleh si anak yang menuntut keabsahan namun si anak
telah meninggal dunia. Jadi, ahli waris dapat mengajukan tuntutan itu, walaupun si anak
itu sendiri sewaktu hidupnya belum menggunakan hak tersebut.
3. Di antara hak-hak tertentu yang dimiliki seseorang, mempunyai nilai uang, tetapi di
dalam undang-undang ditentukan bahwa hak-hak tersebut berakhir dengan matinya si
pemilik. Hak-hak tersebut adalah:
a. hak pakai (vide Pasal 807 KUH Perdata) vruchtgebruik,
b. hak bunga cagak hidup (vide Pasal 1776 jo. 1779 KUH Perdata) lijfrente.
4. Ada juga hak-hak tertentu lainnya di dalam hukum kekayaan, walaupun beralih kepada
para ahli warisnya, tetapi tidak dalam bentuk semula atau sudah berubah, misalnya: hak
pengarang, dalam Pasal 37 Autuers Wet, ditetapkan bahwa hak pengarang tersebut
berakhir 50 tahun sesudah matinya si pengarang; perjanjian kerja yang ditutup jangka
waktu tertentu, berubah menjadi
a. Jangka waktu hak tertentu (Pasal 1603k KUH Perdata);
b. Perjanjian penitipan barang (Pasal 1717 KUH Perdata) bewaargeving. 10
Tentang kematian, ada beberapa pengecualian dalam Pasal 830 KUH Perdata, antara
lain orang yang dinyatakan meninggal dunia berdasarkan persangkaan (de vermoedelijk
overleden verklaarde) dianggap masih hidup. Namun bagi hukum ia merupakan orang yang
sudah tiada sampai ada bukti yang dapat ditunjukkan bahwa ia masih hidup. Dalam kasus
demikian, pembuat undang-undang menetapkan tenggang waktu 20 tahun sebelum pewarisan
definitif diselenggarakan selama sepuluh tahun pertama, ahli waris atau penerima hibah
wasiat belum dapat menikmati hak-hak lengkap yang dipunya pemilik, dan mereka
diharuskan membuat pencatatan (boedelbeschrijving) dan memberikan jaminan, hanya
dengan alasan-alasan mendesak dan atas seizin hakim mereka dapat mengesampingkan
barang tersebut dan apabila sudah dua puluh tahun, maka gugurlah segala perbuatan tersebut.
Menurut Pasal 836 KUH Perdata (883 BW), untuk dapat bertindak sebagai ahli waris
ia harus ada pada saat harta peninggalan terbuka. Namun menurut Pasal 2 KUH Perdata,
menentukan anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah
dilahirkan, bilamana kepentingan si anak menghendakinya. Jadi, apabila janin yang ada
dalam kandungan ibunya lahir hidup, maka ia akan menerima bagian harta peninggalan
ayahnya, sama besar dengan ibu dan kakak-kakaknya. Pengecualian dari pasal ini diatur
dalam Pasal 895 KUH Perdata.11

Implementasi Hukum Kewarisan Masyarakat Timbu Kabupaten Polewali Mandar


Pembagian warisan yaitu pemberian harta dari pewaris kepada si ahli waris sebagai
bentuk kasih sayang dari orang tua kepada anak dan modal untuk membenahi kehidupan
setelah sang orang tua meninggal. Masyarakat Timbu biasanya yang menjadi ahli waris
adalah anak dan suami/istri yang ditinggalkan, tak jarang juga cucu menjadi ahli waris namun
dengan situasi atau kondisi tertentu. Anak yang paling berperan dalam menjalankan posisi
sebagai ahli waris karena masyarakat beranggapan anak yang akan menjadi penerus bagi
keluarga tersebut. Namun jika anak tidak ada atau keadaan menuntun sang anak tudak
mendapatkan warisan maka anggota keluarga yang lain berhak mendapatkannya.

10
Maman Suparman, Hukum Waris Perdata, (Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2015), Cet. Ke-1, h. 10-14.
11
Maman Suparman, Hukum Waris Perdata, h. 16-17.
Pengalihan harta ini dilakukan setelah anggota keluarga ada yang meninggal atau si
pewaris meninggal. Terkadang juga harta langsung dibagikan sebelumm si pewaris
meninggal dengan menunjuk ahli waris namun ini sebenarnya bukan dikatakan warisan
namun sebagai wasiat, keadaan ini memungkinkan sesorang mendapat harta di luar yang
ditetapkan oleh hukum. Ada beberapa pertimbangan orang tua masyarakat Timbu jika
menggunakan wasiat yaitu melihat situasi sang anak apakah sudah cukup umur atau dalam
artian dewasa yang sudah mampu menjalankan amanah orangtuanya. Di sisi lain juga, orang
tua mempertimbangkan kondisi keuangan sang anak misal anaknya sudah banyak yang
berkeluarga sedangkan hanya 1 yang belum maka sang orang tua lebih memberikan hartanya
kepada anaknya yang belum menikah contohnya rumah. 12
Masyarakat Timbu dalam membagikan warisan hanya melihat keadaan dan situasi
sang anak atau ahli waris tanpa berpedoman pada hukum positif yang ada, karena menurut
mereka ini lebih adil walaupun pada pelaksaannya masih saja banyak yang bersengketa.
Pembagian warisan masyarakat Timbu lebih kepada siapa ahli waris yang memiliki ekonomi
rendah maka warisan tersebut lebih lebih diutamakan kepada ahli waris tersebut.
Tinjauan Hukum Positif Terhadap Praktik Pembagian Warisan Masyarakat Timbu
Kabupaten Polewali Mandar
Proses pembagian warisan sering kali menuai pertiakaian, karena bagi manusia harta
menduduki posisi yang amat penting dalam kehidupan dan bahkan sebagian orang
menjadikan harta segala-galanya. Dalam proses pengalihan yang tidak adil tentu
menimbulkan kecemburuan sosial serta menimbulkan ketidak-ikhlasan di antara para ahli
waris.
Jika tidak ada wasiat yang diberikan dan pembagian warisan tetap ingin dilakukan
secara sukarela pihak-pihak yang berkepentingan, biasanya ahli waris dapat bersama-sama
menentukan kesepakatan mengenai pembagian warisan. Namun, langkah-langkah ini
mungkin lebih kompleks tanpa panduan tertulis dari pewaris.
Proses pembagian sukarela dapat melibatkan:
1. Negosiasi: Ahli waris dapat bernegosiasi untuk mencapai kesepakatan mengenai
pembagian aset warisan. Pemahaman bersama mengenai keadilan dan keinginan masing-
masing pihak dapat membantu mencapai kesepakatan.

12
Tria Septi Wulani, Fahmi Fatwa Rosyadi Satria Hamdani, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik
Pembagian Harta Warisan Adat Suku Mandar, Jurnal Riset Hukum Keluarga Islam, Vol. 2, No. 1, Juli 2022, h.
2-3.
2. Kesepakatan Schriftelijk: Meskipun tidak ada wasiat formal, disarankan untuk
mendokumentasikan kesepakatan pembagian secara tertulis untuk menghindari potensi
konflik di masa mendatang.
3. Bantuan Profesional: Keterlibatan notaris atau ahli waris profesional dapat membantu
memastikan bahwa kesepakatan yang dicapai sesuai dengan hukum yang berlaku dan
tidak menimbulkan konsekuensi hukum yang tidak diinginkan.
Meskipun pembagian sukarela bisa menjadi opsi, penting untuk mempertimbangkan
hukum waris setempat dan mendapatkan nasihat profesional untuk memastikan bahwa proses
tersebut dilakukan secara sah dan sesuai dengan aturan yang berlaku.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan di atas, maka
dapat diambil kesimpulan yaitu: 1) Ketentuan undang-undang telah mengatur cara untuk
mendapatkan suatu warisan yaitu sebagai berikut: secara Ab Intestato (ahli waris menurut
Undang-Undang dalam Pasal 832 KUH Perdata) dan secara testamentair (ahli waris karena
ditunjuk dalam surat wasiat atau testament) hal ini di atur dalam pasal 899 KUH Perdata.
Dalam undang-undang anak masuk menjadi ahli waris, namun banyak pengertian lain
mengenai anak yang dimaksud. 2) Masyarakat Timbu banyak membagi warisannya dengan
secara sukarela tanpa berpatokan kepada hukum kewarisan yang berlaku, yang menimbulkan
adanya ketidak-adilan maupun ketidak-ikhlasan diantara para ahli waris menyebabkan
banyaknya sengketa warisan yang terjadi di masyarakat Timbu. 3) Pelaksanaan pembagian
warisan bisa saja dilakukan secara sukarela, namun perlu melakukan beberapa pertimbangan
seperti musyawarah antar ahli waris untuk meminimalisir terjadinya ketidak-adilan dan
sengketa warisan.

REFERENSI
Affandy, Ahmad, Sejarah Kewarisan Islam dan Terwujudnya Hukum Kewarisan di
Indonesia, Jurnal Studi Islam, Vol. 15, No. 2, Desember 2020.

Fahimah, Iim, Sejarah Perkembangan Hukum Waris Di Indonesia, Jurnal Nuansa, Vol. XI,
No. 2, Desember 2018.

Fauzi, Mohammad Yasir, Legislasi Hukum Kewarisan di Indonesia, Jurnal Pengembangan


Masyarakat Islam, Vol. 9, No. 2, Agustus 2016.

Haries, Akhmad, Pluralisme Hukum Kewarisan di Indonesia, Jurnal Mazahib, 2013.

Jaya, Dwi Putra, Hukum Kewarisan di Indonesia, Bengkulu: Publish Your Creations, 2020.
Lusiana, Vinna, Hukum Kewarisan di Indonesia (Studi Komparatif antara Kompilasi Hukum
Islam dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), Jurnal Alwatzikhoebillah:
Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, Humaniora, Vol. 8 No. 2 Juli 2022.

Sari, Indah, Pembagian Hak Waris Kepada Ahli Waris Ab Intestato dan Testamentair
Menurut Hukum Perdata Barat (BW), Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara, Fakultas
Hukum Universitas Suryadarma, Vol. 5, No. 1, September 2014.

Suparman, Maman, Hukum Waris Perdata, Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2015, Cet. Ke-1.

Wulani, Tria Septi, Fahmi Fatwa Rosyadi Satria Hamdani, Tinjauan Hukum Islam Terhadap
Praktik Pembagian Harta Warisan Adat Suku Mandar, Jurnal Riset Hukum Keluarga
Islam, Vol. 2, No. 1, Juli 2022.

Anda mungkin juga menyukai