Disusun Oleh:
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SURAKARTA
Tahun Ajaran 2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
limpahan rahmatnya penyusun dapat menyelesaikan makalah ini hingga selesai
dan sesuai dengan harapan.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada bapak … (nama dosen
pengampu mata kuliah) sebagai dosen pengampu mata kuliah … (nama mata
kuliah) yang telah membantu memberikan arahan dan pemahaman dalam
penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan karena keterbatasan kami. Maka dari itu penyusun sangat
mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah ini. Semoga apa
yang ditulis dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Surakarta
Kelompok …
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................2
DAFTAR ISI............................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................4
A. Latar Belakang..............................................................................................4
B. Rumusan Masalah.........................................................................................9
C. Tujuan Penulisan...........................................................................................9
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................10
A. Kesimpulan.................................................................................................28
B. Saran............................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................30
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
memiliki peran penting di samping hukum perkawinan. Hal ini tiada lain karena
hukum kewarisan itu sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan
manusia, bahwa setiap manusia pasti mengalami peristiwa hukum yang lazim
masyarakat.1
Dalam tinjauan Islam, hukum kewarisan adalah salah satu aturan yang mengatur
hubungan antar sesama manusia, dan salah satu bentuk aturannya adalah menata
cara-cara peralihan hak seseorang yang telah meninggal dunia kepada seseorang
umum. Selain diatur dalam hukum positif, Negara juga mengakui pembagian
1
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadits (Jakarta: Tintamas,
1982),11
2
Muhammad Ali al-Sabuni, al-Mawarith fi al-Shari'ah al-Islamiyah (Beirut: 'Ilm al-Kitab,
1985),34
4
Jadi secara ringkas, hukum waris yang berlaku di Indonesia ada tiga macam,
yaitu: Hukum Waris Islam untuk lingkungan peradilan agama, Hukum Waris BW
Berdasarkan ketentuan pasal 131 I.S.jo. Staatsblad 1917 Nomor 129 jo.
Staatblad 124 Nomor 124 557, jo. Staatblad 1917 Nomor 12, hukum BW berlaku
Timur Asing Tionghoa, 3) Timur Asing lainnya dan pribumi yang menundukkan
diri.4 Sedangkan hukum waris Islam berlaku bagi orang-orang Indonesia yang
Negara Belanda, Staatblad 1929 Nomor 221 berdasarkan pasa 29 UUD 1945, jo.
pengadilan selama ini, tergantung kepada inisiatif warganya sendiri. Hal tersebut
dikarenakan secara umum peran pengadilan, baik itu Pengadilan Agama atau pun
Salah satu contoh pembagian harta waris yang terjadi di indonesia yaitu:
3
Tamakan S., Azas-azas Hukum Waris Menurut Tiga Sistem Hukum (Bandung: Pioner,
1986), 8.
4
Surini Ahlan Syarif, Intisari Hukum Waris Menurut Burgerlijk Wet. Boek (Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata) (Jakarta: Graha Indonesia, 1986), 14.
5
Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004), 31; Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-aspek Perkembangan Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia (Yogyakarta: UII Press, 2005), 67-69.
5
Masyarakat lebih banyak memilih menyelesaikan pembagian waris
pembagian waris ini dilakukan di luar pengadilan, berarti telah terjadi perdamaian
kesepakatan bersama semua ahli waris. Tidak sedikit yang justru menimbulkan
Saat suami meninggal, pembagian harta waris ditentukan oleh istri II. Ahli
waris yang memperoleh bagian harta waris hanya anak-anak dari istri II,
sedangkan anak-anak dari istri I tidak memperoleh harta waris sama sekali. Selain
itu, besarnya bagian harta waris yang diperoleh oleh anak-anak dari istri II tidak
pembagian harta waris tersebut, mereka tetap enggan untuk mendaftarkan perkara
terjadi, karena hukum waris Islam telah mengatur pembagian harta waris dengan
6
sangat rinci, yang pelaksanaannya secara lembaga formal diterapkan oleh
Pengadilan Agama.
Dari ayat-ayat al-Qur’an dan hadith-hadith Nabi saw, terdapat lima asas
yang berkaitan dengan sifat peralihan harta warisan, cara pemilikan harta oleh
yang menerima, kadar jumlah harta yang diterima, dan waktu terjadinya peralihan
2. Asas Bilateral, yaitu: bahwa harta warisan beralih kepada atau melalui
dua arah. Setiap orang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak
warisan dari pihak ayahnya dan juga dari pihak ibunya, dan begitu juga
sebaliknya.
bagiannya secara tersendiri, tanpa terikat dengan ahli waris yang lain.
6
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media, 2005), 17-33.
7
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), 109.
8
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006), 210
7
mungkin dibagi-bagi, kemudian jumlah tersebut dibagikan kepada
dan kegunaan.9
lain dengan nama waris selama yang mempunyai harta masih hidup. 10
Segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup baik secara
9
Ali Parman, Kewarisan dalam al-Qur’an; Suatu Kajian Hukum Dengan Pendekatan
Tafsir Tematik (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), 75.
10
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Jakarta: Sinar
Grafika, 1995), 38.
8
B. Rumusan Masalah
Pengadilan Agama?
C. Tujuan Penulisan
9
BAB II
PEMBAHASAN
mengakui eksistensi hukum keluarga Islam sebagai salah satu sistem hukum yang
Hukum waris dalam Islam merupakan subsistem hukum keluarga Islam (al-
ahwal al-shakhsiyyah).11 Secara bahasa, waris dalam hukum Islam dapat diartikan
dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yag masih hidup, baik yang
ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik
Dasar dan sumber hukum kewarisan Islam diatur dalam al-Qur’an, yaitu
QS. al-Nisa’ (4) ayat: 7, 8, 10, 11, 12, 13, 33, 176, QS. al-Anfal (8): 75; hadith-
11
Musttafa Ahmad al-Zarqa, al-Fiqh al-Islam fi Thaubih al-Jadid al-Madkhal al-Fiqh al-
Amm juz I, (Damshik: al-Adib, 1968), 34.
12
Muhammad Ali al-Sabuni, al-Mawarith fi al-Shari’ah, 31.
13
Ibid., 32.
10
واألقربون وللنساء نصيب مما ترك الوالدانaللرجال نصيب مما ترك الوالدان
14
واألقربون مما قل منه أو آثر نصيبا مفروضا
“Bagi laki-laki ada hak bagian harta peninggalan ibu bapak dan karib kerabat; dan
bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.”
Sebab turunnya ayat waris yang pertama bermula saat meninggalnya Aus
bin Thabit al-Ansari, dan ia meninggalkan seorang isteri dan tiga orang anak
perempuan. Namun dua orang sepupu Aus bin Thabit dating mengambil semua
harta Aus tanpa memberikan sedikitpun harta tersebut kepada isteri dan anak-anak
Aus, karena dalam tradisi jahiliyah, perempuan dan anak kecil (walaupun anak
warisan hanyalah laki-laki yang telah dewasa. Melihat hal ini, isteri Aus bin
Thabit kemudian datang kepada Nabi SAW, dan mengadukan hal tersebut, maka
Dari ayat al-Qur’an dan al-hadith tersebut kemudian terbentuk lima asas yang
berkaitan dengan sifat peralihan harta warisan, cara pemilikan harta oleh ahli
waris, kadar jumlah harta yang boleh diterima, dan waktu terjadinya peralihan
14
Al-Qur’an, 4 (al-Nisa’): 7.
15
Abi Hasan Ali bin Ahmad al-Wahdi al-Nisaburi, Asbab al-Nuzul (Beirut: Dar al-Fikr,
1988), 95.
16
Al-Qur’an, 4 (al-Nisa’): 8.
11
a. Rukun Waris.17
b. Syarat-syarat Mewarisi.18
2) Adanya ahli waris yang masih hidup secara hakiki pada waktu
masing-masing.
semuanya jika tidak ada ashab al-furud. Asabah ada dua macam:
17
Abdullah bin Muhammad bin Ahmad al-Tayyar dan Jamal Abd al-Wahhab al-Hilafi,
Mabahith fi’Ilm al-Faraid (Riyad: Maktabah al-Rushd, 2010), 30-31.
18
Ibid., 49
19
H.R. Otje Salman dan Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam (Bandung: Refika Aditama,
2006), 51.
20
Ahmad abd al-Jawad, Usul ‘Ilm al-Mawarith (Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyah, 1986), 6.
12
i. Asabah bi al-Nafsi, yaitu laki-laki yang nasabnya kepada
arah:
wanita, yaitu:21
laki-laki.
laki-lakinya.
21
Salih Ahmad al-Shammi, al-Faraid: Fiqhan wa hisaban (Beirut: al-Maktabah al-Islami,
2008),54.
13
bersamaan dengan anak perempuan atau cucu perempuan dari
laki-laki.26
perempuan.
anak.
a) Dua orang anak perempuan atau lebih, jika tidak bersama anak
laki-laki.29
27
Badran Abu al-‘Ainiyain Badran, al-Mawarith wa al-Wasiyyah wa al-Hibah
Iskandariyah: Muassasah al-Jami’ah, t.t), 51.
28
Muhammad Ali al-Sabuni, al-Mawarith fi al-Shari’ah, 53.
29
Muhammad Muhyiddin Abd al-Hamid, Ahkam al-Mawarith fi al-Shari’at al-Islamiyah
‘ala Madhahib al-Aimmah al-Arba’ah (Riyad}: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1984), 133.
30
Ibid., 136.
15
b) Ibu, jika ada anak atau beberapa saudara.31
perempuan tunggal.33
setengah.
2) Perbedaan agama.
3) Budak.
dua macam hijab, yaitu hijab hirman dan hijab nuqsan. Hijab
31
M. Ali Hasan, Hukum Kewarisan dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), 42.
32
Mahfuz bin Ahmad bin al-Hasan al-Kalwadhani, al-Tahdhib fi ‘Ilm al-Faraid wa al-
Wasaya (Riyad: Maktabah al-‘Abikan, 1995), 106.
33
Abi ‘Abdillah Sufyan bin Nu’id al-Nawari, al-Faraid (Riyad: Dar al-‘Asimah, 1410 H), 27
34
Muhammad Mustafa Shalabi, Ahkam al-Mawarith, (Beirut: Dar al-Nahdah, 1978), 77.
16
waris seseorang. Hijab nuqsan adalah pengurangan hak waris
waris, serta ahli waris yang lebih berhak menerima bagian waris.
dalam al-Qur’an.
sebagai berikut:39
mawalinya.
beserta mawalinya.
berhak mewarisi.40
40
Al Yasa Abu Bakar, Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian Perbandingan Terhadap
Penalaran Hazairin dan Penalaran Fikih Mazhab (Jakarta: INIS, 1998), 45.
41
Muhammad Abu Zahrah, Sharh Qanun al-Wasiyah (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 2001),
272.
19
menerima waris, dan orang tua yang meninggal belum pernah
sahamnya itu.42
Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan salah satu dasar hukum bagi
Hakim di Pengadilan Agama dalam memutuskan perkara. Salah satu bagian yang
diatur dalam KHI adalah tentang hukum waris. Hukum waris tersebut tertulis
dalam buku II KHI mulai dari pasal 171 sampai pasal 193, serta pasal 209 tentang
siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-
masing.
c. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai
42
Mashru’ Qanun al-Ahwal al-Shakhsiyyah al-Muwahhad (Beirut: Dar al-Shamiyyah, 1996),
400.
43
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
20
beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli
waris.
identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi
yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya
atau lingkungannya.
3. Pasal 173.
karena:
21
4. Pasal 174.
Ayat (2), apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak
5. Pasal 175.
Ayat (2), tanggung jawab ahli waris terhadap utang atau kewajiban
bila dua orang atau lebih, mereka bersama-sama mendapat dua pertiga
22
maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak
perempuan.
7. Pasal 177.
8. Pasal 178.
Ayat (1), ibu mendapat seperempat bagian bila ada anak atau dua
saudara atau lebih. Bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih,
Ayat (2), ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil
9. Pasal 179.
seperempat bagian.
23
seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka
sama dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau
mereka yang tersebut dalam pasal 173 Ayat (2), bagian ahli waris
24
pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat
oleh pewaris semasa hidupnya atau oleh para ahli waris dapat ditunjuk
ahli waris yang bersangkutan, bila perlu dinilai harganya dengan uang.
harta warisan yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak.
Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan
permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta
warisan. Bila ada di antara ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka
25
Ayat (1), bila harta warisan yang akan dibagi berupa lahan
Ayat (2), bila ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini tidak
yang memerlukan uang, maka lahan tersebut dapat dimiliki oleh seorang
atau lebih ahli waris dengan cara membayar harganya kepada ahli waris
istri berhak mendapat bagian atas gono gini dari rumah tangga dengan
ahli warisnya.
Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, atau ahlim
warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas utusan
Dzawil furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih besar dari angka
26
pembilang, dan baru sesudah itu harta warisan dibagi secara aul menurut
angka pembilang.
angka penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris asabah, maka pembagian
harta warisan tersebut dilakukan secara rad, yaitu sesuai dengan hak
antara mereka.
orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah
Ayat (2), terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi
angkatnya.
27
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
perkara waris yang terjadi. Dari uraian-uraian dalam Makalah ini, dapat diperoleh
agama.
hukum.
pengadilan agama.
pengadilan agama.
pengadilan agama.
28
4) Masyarakat lebih memilih tokoh masyarakat yang sudah
terpercaya.
B. Saran
1. Kepada pemerintah
masyarakat.
untuk menjalankan atau mentaati hukum Islam dengan baik dan suka rela.
SWT dan Nabi SAW. Oleh karena hukum waris adalah bagian dari wahyu
Allah SWT, yang tidak dapat terpisahkan dari seluruh ajaran-Nya, maka
29
DAFTAR PUSTAKA
30
al-Jawad, Ahmad abd. Usul ‘Ilm al-Mawarith. Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyah,
1986.
al-Kalwadhani, Mahfuz bin Ahmad bin al-Hasan. al-Tahdhib fi ‘Ilm al-Faraid wa
al- Wasaya. Riyad: Maktabah al-Abikan, 1995.
Kuswarno. Fenomenologi: Konsepsi, Pedoman dan Contoh Penelitiannya.
Bandung: Widya Padjadjaran, 2009.
Kuzari, Ahmad. Sistem Asabah: Dasar Pemindahan Hak Milik atas Harta
Tinggalan. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996.
Lubis, Suhrawardi K. dan Komis Simanjuntak. Hukum Waris Islam. Jakarta:
Sinar Grafika, 1995.
Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2006.
Mubarok, Jaih. Kaidah Fiqh: Sejarah dan Kaidah Asasi. Jakarta: Raja Grafindo,
2002.
Muhadjir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin,
1992.
Musthofa. Kepaniteraan Pengadilan Agama. Jakarta: Prenada Media, 2005.
Musyafa’ah, Nur Lailatul, et.al. Peradilan Agama di Indonesia. Bandung: Pustaka
Bani Quraisy, 2004.
al-Nawari, Abi ‘Abdillah Sufyan bin Nu’id. al-Faraid. Riyad: Dar al-Asimah,
1410 H.
al-Nisaburi, Abi Hasan Ali bin Ahmad al-Wahdi. Asbab al-Nuzul. Beirut: Dar al-
Fikr, 1988.
Oemarsalim. Dasar-dasar Hukum waris di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta,
1991.
Parman, Ali. Kewarisan dalam al-Qur’an; Suatu Kajian Hukum Dengan
Pendekatan Tafsir Tematik. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Prawirohamidjojo, R. Soetojo, dan Marthalena Pohan. Hukum Orang dan
Keluarga. Surabaya: Airlangga University Press, 2008.
Salman, H.R. Otje dan Mustofa Haffas. Hukum Waris Islam. Bandung: Refika
Aditama, 2006.
Sarmadi, Sukris. Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif.
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.
Shalabi, Muhammad Mustafa. Ahkam al-Mawarith. Beirut: Dar al-Nahdah, 1978.
31
al-Shammi, Salih Ahmad. al-Faraid: Fiqhan wa hisaban. Beirut: al-Maktabah al-
Islami, 2008.
al-Shiddieqi, T.M. Hasbi. Fiqh al-Mawaris. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Soimin, Soedharyo. Hukum Orang dan Keluarga Perspektif Hukum Perdata
Barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat. Jakarta: Sinar Grafika, 2002.
Subekti, R. Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa, 1977.
Sudarsono. Hukum Waris dan Sistem Bilateral. Jakarta: Rineka Cipta, 1994.
Sulistini, Elise T, dan Rudy T. Erwin. Petunjuk Praktis Menyelesaikan Perkara-
Perkara Perdata. Jakarta: Bina Aksara, 1987.
al-Sunaiki, Muhammad al-Ansari. Nihayah al-Hidayah ila Tahrir al-Kifayah, juz
I. Riyad: Dar Ibn Khuzaimah, 1999.
Suparman, Eman. Hukum Waris Indonesia dalam perspektif Islam, Adat, dan
BW. Bandung: Refika Aditama, 2007.
Susantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata
dalam Teori dan Praktek. Bandung: Mandar Maju, 1997.
Suryabrata, Sumadi. Metodologi Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003
Sutiyoso, Bambang dan Sri Hastuti Puspitasari. Aspek-aspek Perkembangan
Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Yogyakarta: UII Press, 2005.
Syahrani, Riduan. Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata. Bandung: Alumni,
2006.
Syarifuddin, Amir. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Prenada Media, 2005.
Syarif, Surini Ahlan. Intisari Hukum Waris Menurut Burgerlijk Wet. Boek (Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata). Jakarta: Graha Indonesia, 1986.
al-Tabari, Abi Ja’far Muhammad bin Jarir. Tafsir al-Tabari, juz III. Beirut: Dar
al- Kutub al-Ilmiyah, 1992.
At-Tamimi, A. Hamid S. Peranan Keputusan Presiden Indonesia dalam
Penyelengaraan Pemerintahan Negara. Jakarta: Pascasarjana Universitas Indonesia, 1990.
al-Tayyar, Abdullah bin Muhammad bin Ahmad, dan Jamal Abd al-Wahhab al-
Hilafi. Mabahith fi ‘Ilm al-Faraid. Riyad: Maktabah al-Rushd, 2010.
Thalib, Sajuti. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika,
1995.
Usman, Rachmadi. Aspek-Aspek Hukum Perorangan & Kekeluargaan di
Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
32
Vollmar, H.F.A. Inleiding Tot de Studie van Het Nederlands Burgerlijk Recht,
(terj)
I.S. Adiwimarta. Pengantar Studi Hukum Perdata. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996.
Wahid, Abdurrahman, et.al. Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek.
Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994.
Wahyudi, Abdullah Tri. Peradilan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004.
Waluyo, Bambang. Implementasi Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia.
Jakarta: Sinar Grafika, 1992.
Zahrah, Muhammad Abu. Ahkam al-Tirkat wa al-Mawarith. Kairo: Dar al-Fikr
al-Arabi, 1963.
Mashru’ Qanun al-Ahwal al-Shakhsiyyah al-Muwahhad. Beirut: Dar al-
Shamiyah, 1996.
Herzien Indonesis Reglement, dalam Engelbrecht, Himpunan Peraturan
Perundangundangan RI. Jakarta: PT Intermasa, 1989.
Rechtsreglement Buitengewesten, dalam Engelbrecht, Himpunan Peraturan
Perundang-undangan RI, Jakarta: PT Intermasa, 1989.
UU. No. 4/2004, tentang Kekuasaan Kehakiman.
UU. No. 5/2009, tentang Peradilan Agama.
33