Anda di halaman 1dari 21

PERBANDINGAN DAN PERSAMAAN TENTANG WARIS ADAT

BERDASARKAN PENELITIAN

Paper

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Perbandingan Hukum Adat

Dosen Pengampu : Dr. Maria Kaban, S.H., M.Hum.

DISUSUN OLEH:
Panca Rahmad Siburian ( 227005012 )

Kelas Konsentrasi Hukum Perdata

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2023
KATA PENGANTAR

Segala Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang

Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya kepada kita sekalian.

Kami ingin mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu Mata Kuliah

Sosiologi Hukum, Bapak Dr. Maria Kaban, S.H., M.Hum yang selalu senantiasa

membimbing dan mengarahkan penulis sampai detik hari ini, juga kepada segenap

teman dan sahabat sekalian yang telah mau berpartisipasi untuk penulis ajak

berdiskusi dalam pembentukan makalah ini.

Doa dari penulis, semoga tulisan yang telah penulis usahakan ini, bukan hanya

menjadi bahan bacaan, yang pastinya semakin lama akan rusak sendirinya. tapi

mudah-mudahan bisa menjadi suatu hal bermanfaat bagi kita semua umumnya, dan

tentunya bagi penulis khususnya.

Maka dari itu, apabila mungkin dari beberapa hal yang telah penulis uraikan,

baik dalam segi pemahaman ataupun penulisan ada kesalahan, maka penulis mohon

klarifikasi, kritik dan sarannya yang membangun, dan tentunya yang demikian sangat

penulis harapkan.

Medan, 8 Oktober 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................. i

DAFTAR ISI ............................................................................................................ ii

BAB I : PENDAHULUAN...................................................................................... 1

A. Latar Belakang............................................................................................... 1

BAB II : PEMBAHASAN....................................................................................... 8

A. Suatu Kajian Tetang Hukum Waris Adat Masyarakat Rangko Jambi


Disusun Oleh Absar Surwansyah, SH Universitas Diponegoro Semarang... 8

B. Perkembangan hukum waris adat minangkabau dalam pembagian


warisan pada masyarakat minangkabau di aceh........................................... 10

C. Perkembanan kedudukan perempuan dalam hukum adat waris bali


studi kasus di kota denpasar.......................................................................... 12

D. Penyelesaian sengeketa waris tanah adat pada masyarakat adat karo......... 12

BAB III: PENUTUP................................................................................................ 17

A. Kesimpulan.................................................................................................... 17

B. Saran.............................................................................................................. 17

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 18

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum waris di Indonesia merupakan satu hukum perdata secara keseluruhan

dan merupakan sebagian kecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris terkait erat

dengan ruang lingkup kehidupan manusia, karena setiap manusia pasti akan

ii
mengalami peristiwa hukum, yaitu adanya kematian, sehingga akan menimbulkan

akibat hukum dari peristiwa kematian seseorang, di antaranya adalah masalah

bagaimana kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal

dunia. Bagaimana penyelesaian hak dan kewajiban sebagai akibat meninggalnya

seseorang tersebut diatur oleh hukum waris.

Di Indonesia hukum waris masih bersifat pluralisme hukum (beragam). Di

wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia berlaku jenis-jenis sistem hukum waris,

yaitu hukum waris Barat yang tercantum dalam Burgerlijk Wetboek (BW), hukum

waris Islam dan hukum waris adat. Dalam hukum waris adat juga masih bersifat

pluralisme hukum, karena pada realitanya hukum waris adat masih dipengaruhi oleh 3

(tiga) sistem kekerabatan atau kekeluargaan yang ada dalam masyarakat Indonesia,

yaitu:

1. Sistem patrilineal, yang menarik garis keturunan laki-laki atau ayah yang

terdapat pada masyarakat di Tanah Gayo, Alas, Batak, Bali, Irian Jaya, Timor.

2. Sistem matrilineal, yang menarik garis keturunan perempuan atau ibu yang

terdapat pada masyarakat Minangkabau.

3. Sistem parental atau bilateral, yang menarik garis keturunan ayah dan ibu yang

terdapat pada masyarakat Jawa, Madura, Sumatr Timur, Aceh, Riau, Sumatra

Selatan, seluruh Kalimantan, Ternate, dan Lombok.

Oleh karena hukum waris di Indonesia masih bersifat pluralisme, sehingga

dalam pembagian harta warisan tunduk pada hukum war yang dianut oleh si

pewarisnya. Oleh sebab itu, di sinilah dapat dibe. dakan adanya ruang lingkup

terhadap ketiga sistem hukum waris yang ada di Indonesia. Untuk mengetahui ruang

iii
lingkup hukum waris adat, maka terlebih dahulu mengetahui ruang lingkup hukum

waris Islam dan hukum waris BW.

Jika si pewaris memberlakukan hukum Islam, maka menyelesaikan hukum

waris Islam, sehingga sebagaimana diketahui hukum warisnya yang berlaku adalah

hukum faraid. Faraid menurut istilah bahasa adalah takdir/qadar/ketentuan dan pada

syara bagian yang di-qadar-kan atau ditentukan pada ahli warisnya. Harta warisan

menurut hukum Islam yaitu sejumlah harta benda serta segala hak dari yang

meninggal dunia dalam keadaan bersih. Artinya, harta peninggalan yang diwariskan

oleh ahli waris adalah sejumlah harta benda serta segala hak dan setelah dikurangi

dengan pembayaran utang-utang si pewaris dan pembayaran lainnya yang diakibatkan

oleh wafatnya si pewaris tersebut.1

Jika pewaris memberlakukan hukum BW, maka dalam hukum waris BW

terdapat 2 (dua) unsur penting, yaitu:

1. Unsur individual (menyangkut diri pribadi seseorang). Pada prinsipnya

seseorang pemilik atas suatu benda mempunyai kebebasan yang seluas-

luasnya sebagai individu untuk berbuat apa saja atas benda yang dimilikinya

termasuk harta kekayaannya menurut kehendaknya.2

2. Unsur sosial (menyangkut kepentingan bersama). Perbuatan yang dilakukan

pemilik harta kekayaan sebagaimana dijelaskan dalam unsur individual dapat

mengakibatkan kerugian pada ahli waris. sehingga undang-undang

memberikan pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan pewaris demi

kepentingan ahli waris.3


1
Wirdjono Prodjodikoro, Hukum Waris di Indoensia, Bandung: Vorkink van Hoeve, T.Th.),
halaman 8-10.
2
Ahlan Sjarif, Surini dan Nurul Elmiyah, 2005, Hukum Kewarisan BW Pewarisan Menurut
Undang-Undang, Badan Penerbitan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, halaman 13.
3
Ibid, halaman 14.

iv
Pembatasan tersebut dalam kewarisan perdata disebut dengan istilah legitieme

portie yang artinya bagian tertentu/mutlak dari ahli waris tertentu. Oleh karena bagian

mutlak tersebut erat kaitannya dengan pemberian/hibah yang diberikan pewaris, yaitu

pembatasan atas kebebasan pewaris dalam membuat wasiat, maka legitieme portie

diatur di dalam bagian yang mengatur mengenani wasiat atau testament.4

Dasar hukum seorang ahli waris mewaris sejumlah harta dari si pewaris

menurut sistem hukum waris BW ada dua cara, yaitu:

1. Menurut ketentuan undang-undang (ab intestato), yaitu undang-undang

berprinsip, bahwa seseorang bebas menentukan kehendaknya tentang harta

kekayaannya setelah ia meninggal dunia, namun bila ternyata orang tersebut

tidak menentukan sendiri ketika masih hidup, maka undang-undang kembali

akan menentukan perihal pengaturan harta yang ditinggalkan seseorang

tersebut. Ahli waris, menurut undang-undang berdasarkan hubungan darah,

terdapat 4 (empat) golongan, yaitu:

a. Golongan I: Keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi anak-anak dan

keturunan mereka beserta suami atau istri yang hidup paling lama;

b. Golongan II: Keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi orangtua dan

saudara, baik laki-laki maupun perempuan serta keturunan mereka;

c. Golongan III: Kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris;

d. Golongan IV Anggota keluarga dalam garis ke samping dan sanak

keluarga lainnya sampai derajat keenam.

Undang-undang tidak membedakan ahli waris laki-laki dan perempuan,

juga tidak membedakan urutan kelahiran. Hanya ada ketentuan, bahwa ahli

4
Oemar Saliman, 2006, Dasar-dasar Hukum Waris di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta,
halaman 115.

v
waris golongan pertama jika masih ada, maka akan menutup hak anggota

keluarga lainnya dalam garis lurus ke atas maupun ke samping. Demikian

pula, golongan yang lebih tinggi derajatnya menutup yang lebih rendah

derajatnya.

2. Ditunjuk dalam surat wasiat (testament), yaitu surat wasiat merupakan suatu

pernyataan tentang apa yang dikehendaki setelah ia meninggal dunia. Sifat

utama surat wasiat adalah mempunyai kekuatan berlaku setelah pembuat surat

wasiat meninggal dunia dan tidak dapat ditarik kembali. Ahli waris, menurut

surat wasiat jumlahnya tidak tentu sebab bergantung pada kehendak si

pembuat wasiat.5

Dari kedua macam ahli waris tersebut, ahli waris yang diutamakan adalah ahli

waris menurut undang-undang. Hal ini terbukti beberapa peraturan yang membatasi

kebebasan seseorang untuk membuat surat wasiat agar tidak sekehendak hatinya,

yaitu dalam Pasal 881 ayat (2), BW yaitu Dengan sesuatu pengangkatan waris atau

pemberian hibah, pihak yang mewariskan atau pewaris tidak boleh merugikan para

ahli warisnya yang berhak atas sesuatu bagian yang mutlak.

Seseorang yang akan menerima sejumlah harta peninggalan terlebih dahulu

harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Harus ada orang yang meninggal dunia (Pasal 830 BW);

2. Harus ada ahli waris atau para ahli waris mereka harus ada pada saat pewaris

meninggal dunia;

3. Seorang ahli waris harus cakap serta berhak mewaris.

5
R. van Dijk, 2000, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Terjemahan oleh A. Soehard,
Bandung: Vorkink van Hoeven, halaman 100.

vi
Oleh karena itu, syarat-syarat tersebut harus terpenuhi, maka para ahli waris

diberi kelonggaran oleh undang-undang untuk menentukan sikap terhadap suatu harta

warisan selama empat bulan. Seorang ahli waris dapat memilih antara tiga

kemungkinan, yaitu:

1. Menerima warisan dengan penuh;

2. Menerima warisan akan tetapi dengan ketentuan, bahwa ia tidak akan

diwajibkan membayar utang-utang pewaris yang melebihi ba giannya dalam

warisan itu (menerima warisan secara beneficiaire);

3. Menolak warisan, baik menerima maupun menolak warisan masing-masing

memiliki konsekuensi sendiri-sendiri terhadap ahli waris.

Apabila harta warisan telah dibuka namun tidak seorang pun ahli waris yang

tampil ke muka sebagai ahli waris, maka warisan tersebut dianggap sebagai harta

warisan yang tidak terurus. Dalam keadaan seperti ini, tanpa menunggu perintah

hakim, maka Balai Harta Peninggalan wajib mengurus harta peninggalan tersebut.

Jika terjadi perselisihan tentang apakah suatu harta peninggalan tidak terurus atau

tidak, penentuan ini akan diputus oleh hakim. Apabila dalam jangka waktu tiga tahun

terhitung sejak terbukanya warisan, belum juga ada ahli waris yang tampil ke muka,

Balai Harta Peninggalan akan memberikan pertanggungjawaban atas pengurusan itu

kepada negara.

Jika si pewaris memberlakukan hukum waris adat, maka pandangan hukum

adat terhadap hukum pewarisan sangat ditentukan oleh persekutuan hukum adat itu

sendiri. Beberapa persekutuan hukum adat itu di antaranya, pertama persekutuan

genealogis (berdasarkan keturunan) dan persekutuan territorial (berdasarkan

persekutuan hukum teritorial). Dalam persekutuan hukum yang genealogis, anggota-

vii
anggotanya merasa diri terikat satu sama lain, karena mereka berketurunan dari nenek

moyang yang sama, sehingga diantara mereka terdapat hubungan keluarga. Sementara

persatuan hukum territorial, anggota-anggotanya merasa terikat satu sama lain karena

mereka bertempat kedudukan di suatu daerah yang sama.

Persekutuan teritorial disebut desa atau gampong di Aceh dan sebagian daerah

Melayu-Sumatra, sedangkan persekutuan hukum yang dipengaruhi territorial dan

genealogis terdapat di beberapa daerah seperti Mentawai yang disebut Uma, di Nias

disebut Euri, di Minangkabau disebut dengana Nagari, dan di Batak disebut Kuria

atau Huta. Dalam persekutuan genealogis ini terbagi pula menjadi 3 (tiga) tipe tata

susunan kekeluargaan atau kekerabatan, yaitu patrilineal (garis keturunan laki-laki

atau bapak), matrilineal (garis keturunan peremuan atau ibu), dan parental (garis

keturunan dua sisi, yaitu tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan atau

bapak-ibu).

Sistem kekerabatan patrilineal tersebut, mengambil dari garis keturunan laki-

laki (bapak) yang merupakan pancaran dari bapak asal dan menjadi penentu dalam

keturunan anak cucu. Dalam hal ini, perempuan tidak ada hubungan darah yang

menghubungkan dengan keluarga. Perempuan yang kawin dengan laki-laki ikut

dengan suaminya dan anak-anaknya akan menjadi keluarga atau kerabat dari

bapaknya. Sistem pertalian seperti ini terjadi di Nias, Gayo, Batak, dan sebagian di

Lampung, Bengkulu, Maluku, dan Timor. Dalam hukum waris, persekutuan ini lebih

mementingkan keturunan laki-laki daripada keturunan perempuan. Oleh karena

keturunan laki-laki sebagai penerus keturunan, penerus marga, dan sebagai ahli waris

dari harta peninggalan orang tuanya (bapaknya), sedangkan keturunan perempunan

bukan sebagai penerus keturunan, bukan sebagai ahli waris dari orangtuanya (ba-

viii
paknya). Hal ini karena pada masyarakat patrilineal menganut bentuk perkawinan

jujur (perkawinan dengan membayar sejumlah barang atau uang jujur kepada pihak

kerabat perempuan), sehingga perempuan setelah kawin mengikuti kelompok kerabat

suaminya.

Sistem kekerabatan matrilineal adalah keturunan yang berasal dari ibu,

sehingga yang menjadi ukuran hanyalah pertalian darah dari garis ibu yang menjadi

ukuran dan merupakan suatu persekutuan hukum. Perempuan yang kawin tetap

tinggal dan termasuk dalam gabungan keluarga sendiri, sedangkan anak-anak mereka

masuk dalam keturunan ibunya. Sistem matrilineal yang terbesar di Indonesia terdapat

di daerah Minangkabau (Sumatra Barat). Oleh karena itu, sesuai dengan sistem

kekerabatan, matrilineal lebih mengutamakan ahli waris dari pihak perempuan

daripada ahli waris dari pihak laki-laki, sehingga selama masih ada anak perempuan,

anak laki-laki tidak mendapatkan harta warisan atau harta peninggalan.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Suatu Kajian Tetang Hukum Waris Adat Masyarakat Rangko Jambi


Disusun Oleh Absar Surwansyah, SH Universitas Diponegoro Semarang

Sistem kekerabatan masyarakat Sungai Manau Bangko Jambi pada umumnya

terpengaruh pada sistem kekerabatan masyarakat Minangkabau sebagaimana terbukti

dengan dikenalnya “Lembaga Ninik Mamak” pada masyarakat Sungai Manau Bangko

Jambi.

ix
Yang menjadi ahli waris pada masyarakat Sungai Manau Bangko Jambi

adalah : 6

1. Bila istri (ibu) yang wafat maka yang menjadi ahli warisnya :

a. Anak perempuan

b. Cucu perempuan

c. Ibu Pewaris

d. Saudara perempuan pewaris

e. Keluarga terdekat pewaris

2. Bila suami (bapak) yang wafat , maka yang menjadi ahli warisnya :

a. Anak perempuan

b. Cucu perempuan

c. Ibu pewaris

d. Saudara perempuan pewaris

e. Kemenakan perempuan pewaris

f. Keluarga terdekat pewaris

3. Proses pembagian warisan pada para ahli waris yang berhak mewaris pada

masyarakat Sungai Manau Bangko Jambi adalah sebagai berikut :

a. Sistem Kewarisan

Sistem kewarisan yang dianut hukum waris adat masyarakat di Kecamatan

Sungai Manau ini adalah kombinasi antara sistem kewarisan individual

dengan sistem kewaris kolektif.

b. Harta Warisan

6
Absar Surwansyah, 2005, Suatu Kajian Tetang Hukum Waris Adat Masyarakat Rangko
Jambi, Universitas Diponegoro Semarang.

x
Menurut sistem hukum waris adat di Kecamatan Sungai Manau, dikenal

adanya harta-harta warisan yaitu :

1) Harta pusaka tinggi

2) Harta pusaka rendah (harta suarang / harta pencaharian)

3) Harta bawaan, ada dua :

a) Harta bawaan suami disebut harta pembao

b) Harta bawaan istri disebut harta tepatan

4) Harta pemberian Harta yang dapat dibagi-bagikan kepada ahli

warisnya yaitu harta pusako tinggi dan harta pusaka rendah (harta

suarang/harta pencaharian).

5) Pembagian Warisan

Bila salah seorang suami istri wafat tanpa mempunyai anak, maka

harta dibagi dua. Apabila suami istri mempunyai anak, maka harta

pencaharian tidak dibagi akan tetapi diwarisi kepada anaknya.

Pembagian warisan dilakukan oleh ninik mamak dari para ahli waris-

ahli waris. Pertama-tama harus dipisahkan harta pusaka tinggi, harta

pusaka rendah (harta suarang/harta pencaharian) dengan harta bawaan

suami istri, setelah itu baru pembagian harta warisan ini dapat dibagi-

bagikan kepada ahli warisnya. Dalam hal jangka waktu pembagian

harta warisan, menurut sistem hukum waris adat masyarakat di

Kecamatan Sungai Manau ini tidak ada ketentuan waktu yang tepat,

bisa 40 hari atau 100 hari setelah pewaris wafat. Pembagian warisan

kepada ahli waris-ahli waris ini harus adil menurut hukum adat, bukan

menurut perhitungan matematika, baik terhadap harta warisan yang

xi
berat maupun harta warisan yang ringan. Apabila terjadi perselisihan,

terlebih dahulu diselesaikan secara kekeluargaan melalui musyawarah.

Tetapi kalau tidak mendapat keputusan, baru diajukan dan

diselesasikan oleh Penguasa Adat.

B. Perkembangan Hukum Waris Adat Minangkabau Dalam Pembagian


Warisan Pada Masyarakat Minangkabau Di Aceg (Studi Di Kecamatan
Tapaktuan, Aceh Selatan Rezki Mutia Universitas Indonesia)

Dalam perkembangan pelaksanaan pembagian warisan pada masyarakat

Minangkabau yang ada di kecamatan Tapaktuan, sebagian besar masyarakat Minang

perantauan pada saat ini dalam pembagian warisannya telah menggunakan hukum

adat Aceh. Meskipun sebagian besar masyarakat Minang perantauan telah

menggunakan hukum adat Aceh, namun dari hasil penelitian menunjukkan bahwa

masih adanya 13,3% masyarakat Minang perantauan atau sebanyak 4 keluarga yang

masih menggunakan sistem kewarisan Minangkabau, namun hal itu merupakan angka

yang sangat kecil.

Pelaksanaan hukum waris pada masyarakat Minang perantauan di kecamatan

Tapaktuan, dilakukan sama dengan apa yang diberlakukan kepada masyarakat Aceh

dan sudah tentu mengikuti Hukum Islam (faraid), tidak terdapat pembedaan didalam

pelaksanaannya. Adapun prosedur pelaksanaannya sebagai berikut:7

1. Mengeluarkan hak-hak yang berkaitan dengan harta peninggalan.

2. Memanggil imum masjid atau teungku imum untuk melakukan pembagian

warisan (ada juga yang membagi berdasarkan keluarga saja),

3. Menentukan siapa saja ahli waris yang ditinggalkan,


7
Rezki Mutia, 2016, Perkembangan Hukum Waris Adat Minangkabau Dalam Pembagian
Warisan Pada Masyarakat Minangkabau Di Aceg (Studi Di Kecamatan Tapaktuan, Aceh Selatan)
Universitas Indonesia.

xii
4. Menentukan besarnya bagian masing-masing ahli waris

5. Melaksanakan pembagian warisan. Bagi masyarakat Minang perantauan yang

masih menggunakan pembagian warisan secara pusako tinggi, pembagian

dilaksanakan di Minangkabau sesuai dengan adat yang berlaku di

Minangkabau.

Dari kenyataan yang terjadi, berkembangnya hukum waris adat Minangkabau

ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, yang mana hal tersebut merupakan

hambatan yang menyebabkan tidak dapat berjalannya hukum waris adat

Minangkabau di Kecamatan Tapaktuan, sehingga terjadinya perkembangan dalam

pelaksanaan hukum waris adat Minangkabau yang digunakan. Adapun hambatannya

ialah :

1. Pengaruh keyakinan beragama.

2. Faktor perkawinan.

3. Tidak adanya sanksi dalam pelaksanaannya.

C. Perkembangan Kedudukan Perempuan Daamhukum Adat Waris Bali Studi


Kasus Di Kota Denpasar Oleh: Ni Nyoman Sukerti I Gusti Ayu Agung
Ariani Magister Hukum Udayana.

Mengenai kedudukan anak perempuan dalam hokum adat waris Bali

berdasarkan kasus-kasus yang diteliti sudah mengalami sedikit perkembangan.

Perkembangan mana umumnya terbatas terhadap harta guna kaya orang tuannya baik

dalam bentuk benda bergerak maupun benda tetap. Hak waris anak perempuan

sangat variatif karena tidak ada katentuan yang dipakai acuan berapa berbanding

berapa tetapi ada beberapa anak perempuan yang mendapat hak sama dengan anak

laki-laki. Ahli waris perempuan tidak dibebani kewajiban sebagaimana alhi laki-

xiii
laki. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kedudukan anak perempuan

dalam hukum adat waris Bali antara lain: adanya peraturan perundang-undangan

yang berspektif gender, adanya perubahan paradigma, sikap dan prilaku dari para

orang tua dalam memandang anak perempuan, majunya tingkat pendidikan

masyarakat (orang tua), dan meningkatnya perekonomian keluarga.8

D. Penyelesaian Sengketa Waris Tanah Adat Pada Masyarakat Adat Karo,


Oleh Maria Kaban, Jurnal Mimbar Hukum UGM Vol. 28. No. 3 Tahun 2016,
PP. 453-465

Masyarakat adat Karo merupakan masyarakat hukum yang memiliki sistem

hukum adatnya sendiri yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara

Republik Indonesia. Berbicara mengenai masalah berarti berbicara mengenai hukum

adat Karo, hal ini disebabkan hubungan yang begitu erat antara masyarakat adat Karo

dengan tanahnya. Begitu eratnya hubungan antara tanah dengan masyarakat adat Karo

sehingga tanah dalam suku Karo mempunyai aturan mengenai hukum tanah adat dan

menjadi salah satu objek waris oleh masyarakat adat Karo. Dalam masyarakat adat

Karo pada umumnya, terdapat pengkategorian terhadap tanah, yakni: Pertama, Taneh

kuta (village land), Taneh kuta adalah tanah yang dimiliki oleh desa tertentu sebagai

pembeda dari kampung lain, termasuk di dalamnya tanah terbuka, kuburan, dan tanah

kosong. Kedua, Taneh kesain (ward land), Konsep taneh kesain merujuk kepada

kawasan perkampungan, sebagai contoh, taneh Rumah Berneh menunjukkan bahwa

tanah tersebut milik Kesain Rumah Berneh. Ketiga, Taneh nini (grandfather`s land),

Konsep taneh nini digunakan untuk tanah yang yang telah ditanami pertama kali oleh

bapa (bapak/ayah), nini (kakek), nini nai (leluhur). Tanah ini dipunyai oleh anggota

8
Ni Nyoman Sukerti, 2014, Perkembangan Kedudukan Perempuan Dalam hukum Adat Waris
Bali Studi Kasus Di Kota Denpasar, Magister Hukum Udayana, Jurnal Journal article // Jurnal
Magister Hukum Udayana, Vol.6 No.2.

xiv
dari garis kekerabatan patrilineal. Kelompok patrilineal dan anggotanya memiliki

ikatan yang sakral kepada tanah leluhurnya yang harus dipertahankan dengan tidak

melepaskannya kepada orang lain. Tanah seperti ini pada umumnya diwariskan dari

ayah kepada anak laki-lakinya, dan untuk kemudian akan selalu berada dalam

keluarga atau kelompok kekerabatan patrilineal. Keempat, Taneh kalimbubu (land of

the kalimbubu), Konsep taneh kalimbubu digunakan untuk tanah yang diberikan oleh

kalimbubu kepada anak beru. Pada taneh kalimbubu, kalimbubu harus dilibatkan

dalam setiap keputusan yang berkaitan dengan taneh kalimbubu.9

Sistem pewarisan dalam masyarakat adat Karo didasarkan pada garis

keturunan ayah (patriarchaat). Masyarakat Karo yang menarik garis keturunan dari

kebapakan mempunyai karakteristik: Stelsel perkawinan di Karo bersifat eksogami,

perkawinan berlainan marga atau di luar marga. Sebabnya secara empiris dapat

diterangkan bahwa satu marga dianggap satu keturunan atau satu klan, sehingga

perkawinan satu marga tidak diperkenankan. Dari sudut lain stelsel perkawinan

tersebut berakibat bahwa si wanita yang kawin telah masuk marga/klan suaminya dan

terlepas dari marga/klan keluarganya semula. Jadi tegasnya perkawinan itu berakibat

lepasnya si wanita dari marga/klan ayahnya dan masuk keluarga/klan suaminya. Dan

yang lepas itu sebenarnya adalah wanita itu bersama hak dan kewajibannya dari

marga/klan orangtuanya sendiri. Persekutuan hukum marga. Hampir seluruh marga di

Karo mempunyai persekutuan hukum yang dikepalai oleh “bangsa taneh”/”anak

taneh” dari marga itu yaitu “simatek”/mendirikan “kuta”/kampung pada mulanya.

a. Penyelesaian Sengketa Melalui Runggun. Pada masa sekarang ini peradilan

adat berangsur-angsur hilang, runggun kuta/ kesain, runggun urung, runggun

9
Maria Kaban, 2016, Penyelesaian Sengketa Waris Tanah Adat Pada Masyarakat Adat Karo,
Jurnal Mimbar Hukum UGM Vol. 28. No. 3 Tahun 2016, PP. 453-465.

xv
sibayak, dan runggun sibayak berempat sudah tidak dipakai lagi dalam

menyelesaikan masalah. Runggun yang masih dipakai saat ini hanyalah

runggun keluarga dan umumnya runggun ini sering dipakai dalam nerehempo,

penguburan, pindah rumah, perceraian, penggantian nama, dan juga dalam

menyelesaikan masalah. Runggun dalam masyarakat Karo mempunyai makna

yang luas tidak hanya digunakan untuk menyelesaikan masalah saja, oleh

karena itu tidaklah etis untuk mendefinisikan runggun sebagai lembaga

penyelesaian sengketa antar masyarakat adat Karo. Runggun baik dalam

kegunaannya sebagai lembaga penyelesaian masalah maupun dalam

kegunaannya yang lain tetap memiliki susunan yang sama yaitu adanya

kalimbubu, anak beru, dan senina yang diwujudkan dalam konsep sangkep si

telu.

b. Penyelesaian Sengketa Melalui Perumah Begu. Perumah Begu adalah upaya

penyelesaian sengketa dimana begu akan dipanggil melalui ritual tertentu guna

menyelesaikan sengketa yang terjadi. Umumnya roh orang yang telah

meninggal dunia ini dianggap sebagai orang yang bijaksana serta mempunyai

hubungan yang dekat dengan pihak yang bersengketa sehingga mengetahui

letak permasalahan para pihak. Perumah begu bagi orang yang telah

meninggal dunia dilakukan pada malam pertama setelah mayat dikebumikan.

Medium perantara antara roh orang mati dengan pihak yang bersengketa

adalah Guru Sibaso. Guru Sibaso pada umumnya terdiri dari seorang wanita

atau beberapa wanita yang memiliki kemampuan untuk berhubungan dengan

roh orang yang telah meninggal.

xvi
c. Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan Negeri. Pengadilan Negeri

merupakan lembaga formal yang paling dekat dengan masyarakat dalam

struktur hukum formal untuk menegakkan keadilan. Keadaan ini

menempatkan Pengadilan Negeri Kabanjahe dalam posisi yang harus tanggap

atas nilainilai yang berkembang di masyarakat Karo. Keadilan yang dijanjikan

oleh lembaga pengadilan ini terbuka untuk segala golongan masyarakat

(equality of justice). Masyarakat Karo umumnya memperlakukan pengadilan

sebagai lembaga terakhir untuk menyelesaikan sengketa mereka, terutama

dalam hal waris. Menurut masyarakat Karo adalah hal yang sangat memalukan

apabila permasalahan harta warisan dibawa ke pengadilan. Hal ini dikarenakan

dengan mengajukan sengketanya ke pengadilan maka mereka akan

menyerahkan penyelesaiannya kepada pihak ketiga yang menurut mereka

tidak akan mengetahui akar permasalahan dari sengketa mereka, namun

dikarenakan runggun dianggap tidak lagi dapat memberikan jalan keluar

permasalahan, maka diajukanlah sengketa tadi ke pengadilan.

d. Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Berbentuk Putusan Dalam

menyelesaikan sengketa waris tanah adat di PN Kabanjahe bentuk

penyelesaian sengketa yang sering dijumpai adalah putusan. Menurut Sudikno

Mertokusumo, putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim,

sebagai pejabat yang diberi wewenang itu, diucapkan di persidangan dan

bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara

para pihak.35 Sesuai dengan ketentuan Pasal 189 Rbg dan Pasal 178 HIR

yaitu: (1) Hakim dalam waktu bermusyawarah karena jabatannya, harus

mencukupkan alasan-alasan Hukum, yang mungkin tidak dikemukakan oleh

xvii
kedua belah pihak; (2) Ia wajib mengadili segala bagian gugatan. (3) Ia

dilarang menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat, atau

meluluskan lebih dari apa yang digugat.

e. Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Berbentuk Mediasi Mediasi sengketa

waris tanah adat pada PN Kabanjahe adalah mediasi yang melibatkan mediator

dalam pelaksanaannya. Mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa

dimana para pihak yang bersengketa memanfaatkan bantuan pihak ketiga yang

independen untuk bertindak sebagai mediator (penengah) dengan

menggunakan berbagai prosedur, teknik, dan ketrampilan untuk membantu

para pihak dalam menyelesaikan sengketa mereka melalui perundingan.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Adapun persamaan dari perwarisan adat tersebut diatas dapat terjadi setelah

meninggalnya pewaris. Dalam hal ini warisan dalam hukum adat beralih dari pewaris

kepada ahli waris secara otomatis. Hak penguasaan terhadap harta warisa terseput

sepenuhnya beralih kepada pewaris dengan ketentuan-ketetuan yang berbeda pada

setiap hukum adat. Adapun perbedaaannya pada masyarakat hukum adat yang

bercorak patrilineal pada pembagian warisannya hanya ana laki-laki yang

xviii
mendapatkan warisan, dimana anak perempuan tidak mendapatkan warisan kecuali

pemberian dalam bentuk hibah sewaktu pewaris masih hidup dan disepakati ahli waris

lainnya. Berbeda dengan masyarakat hukum adat yang bercorak matrilineal warisan

hanya diberikan kepada anak perempuan dan anak laki-laki tidak mendapat warisan

dan tidak dapat menguasai harta pusaka. Namun pada masyarakat hukum adat yang

bercorak paretal baik anak laki-laki maupun anak perempuan sama-sama

mendapatkan warisan.

B. Saran

Bahwa sebaiknya baik pada masyarakat hukum pariental maupun matrilineal

seharusnya mengarah pada prinsip parental yaitu tidak membedakan antara anak laki-

laki dan anak perempuan. Baik anak laki-laki maupun perempuan sama-sama

mendapatkan warisan yang sama. Dimana prinsip tersebut dapat mendorong kepada

arah yang damai tanpa adanya menimbulkan kecemburuan bagi masing-masing pihak.

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Absar Surwansyah, 2005, Suatu Kajian Tetang Hukum Waris Adat Masyarakat
Rangko Jambi, Universitas Diponegoro Semarang.

Ahlan Sjarif. Surini dan Nurul Elmiyah. 2005. Hukum Kewarisan BW Pewarisan
Menurut Undang-Undang. Badan Penerbitan Fakultas Hukum Universitas
Indonesia. Depok.

Ahmad Nurmandi. 2012. Menjaga Indonesia dari KEPRI (Peluang, Tantangan, &
Proil 19 Pulau Terdepan Indonesia di Kepulauan Riau). Badan Pengelola
perbatasan Provinsi Kepulauan Riau. Tanjungpinang.

Bushar Muhammad. 2000. Pokok-pokok Hukum Adat, Jakarta Pradyana Paramita.

xix
Djamanat Samosir, 2013, Hukum Adat Indonesia (Eksekusi dalam Dinamika
Perkembangan Hukum Di Indonesia), Bandung: Nuansa Aulia.

Ellyne Dwi Poespassari. 2018, Pemahaman Seputar Hukum Waris Adat Di Indonesia.
Jakarta Timur: Prenadamedia Group.

Iman Sudayat. 1999. Asas-asas Hukum Adat Bekal Pengantar. Yogyakarta: Liberty.

Oemar Saliman. 2006. Dasar-dasar Hukum Waris di Indonesia. Jakarta: Rineka


Cipta.

R. van Dijk. 2000. Pengantar Hukum Adat Indonesia. Terjemahan oleh A. Soehard.
Bandung: Vorkink van Hoeven.

Wirdjono Prodjodikoro. Hukum Waris di Indoensia. Bandung: Vorkink van Hoeve.


T.Th.

Rezki Mutia, 2016, Perkembangan Hukum Waris Adat Minangkabau Dalam


Pembagian Warisan Pada Masyarakat Minangkabau Di Aceg (Studi Di
Kecamatan Tapaktuan, Aceh Selatan) Universitas Indonesia.

B. JURNAL

Maria Kaban, 2016, Penyelesaian Sengketa Waris Tanah Adat Pada Masyarakat Adat
Karo, Jurnal Mimbar Hukum UGM Vol. 28. No. 3 Tahun 2016, PP. 453-465.

Ni Nyoman Sukerti, 2014, Perkembangan Kedudukan Perempuan Dalam hukum Adat


Waris Bali Studi Kasus Di Kota Denpasar, Magister Hukum Udayana, Jurnal
Journal article // Jurnal Magister Hukum Udayana, Vol.6 No.2.

xx

Anda mungkin juga menyukai