BERDASARKAN PENELITIAN
Paper
DISUSUN OLEH:
Panca Rahmad Siburian ( 227005012 )
Segala Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang
Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya kepada kita sekalian.
Kami ingin mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu Mata Kuliah
Sosiologi Hukum, Bapak Dr. Maria Kaban, S.H., M.Hum yang selalu senantiasa
membimbing dan mengarahkan penulis sampai detik hari ini, juga kepada segenap
teman dan sahabat sekalian yang telah mau berpartisipasi untuk penulis ajak
Doa dari penulis, semoga tulisan yang telah penulis usahakan ini, bukan hanya
menjadi bahan bacaan, yang pastinya semakin lama akan rusak sendirinya. tapi
mudah-mudahan bisa menjadi suatu hal bermanfaat bagi kita semua umumnya, dan
Maka dari itu, apabila mungkin dari beberapa hal yang telah penulis uraikan,
baik dalam segi pemahaman ataupun penulisan ada kesalahan, maka penulis mohon
klarifikasi, kritik dan sarannya yang membangun, dan tentunya yang demikian sangat
penulis harapkan.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................. i
BAB I : PENDAHULUAN...................................................................................... 1
A. Latar Belakang............................................................................................... 1
BAB II : PEMBAHASAN....................................................................................... 8
A. Kesimpulan.................................................................................................... 17
B. Saran.............................................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 18
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
dan merupakan sebagian kecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris terkait erat
dengan ruang lingkup kehidupan manusia, karena setiap manusia pasti akan
ii
mengalami peristiwa hukum, yaitu adanya kematian, sehingga akan menimbulkan
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia berlaku jenis-jenis sistem hukum waris,
yaitu hukum waris Barat yang tercantum dalam Burgerlijk Wetboek (BW), hukum
waris Islam dan hukum waris adat. Dalam hukum waris adat juga masih bersifat
pluralisme hukum, karena pada realitanya hukum waris adat masih dipengaruhi oleh 3
(tiga) sistem kekerabatan atau kekeluargaan yang ada dalam masyarakat Indonesia,
yaitu:
1. Sistem patrilineal, yang menarik garis keturunan laki-laki atau ayah yang
terdapat pada masyarakat di Tanah Gayo, Alas, Batak, Bali, Irian Jaya, Timor.
2. Sistem matrilineal, yang menarik garis keturunan perempuan atau ibu yang
3. Sistem parental atau bilateral, yang menarik garis keturunan ayah dan ibu yang
terdapat pada masyarakat Jawa, Madura, Sumatr Timur, Aceh, Riau, Sumatra
dalam pembagian harta warisan tunduk pada hukum war yang dianut oleh si
pewarisnya. Oleh sebab itu, di sinilah dapat dibe. dakan adanya ruang lingkup
terhadap ketiga sistem hukum waris yang ada di Indonesia. Untuk mengetahui ruang
iii
lingkup hukum waris adat, maka terlebih dahulu mengetahui ruang lingkup hukum
waris Islam, sehingga sebagaimana diketahui hukum warisnya yang berlaku adalah
hukum faraid. Faraid menurut istilah bahasa adalah takdir/qadar/ketentuan dan pada
syara bagian yang di-qadar-kan atau ditentukan pada ahli warisnya. Harta warisan
menurut hukum Islam yaitu sejumlah harta benda serta segala hak dari yang
meninggal dunia dalam keadaan bersih. Artinya, harta peninggalan yang diwariskan
oleh ahli waris adalah sejumlah harta benda serta segala hak dan setelah dikurangi
luasnya sebagai individu untuk berbuat apa saja atas benda yang dimilikinya
iv
Pembatasan tersebut dalam kewarisan perdata disebut dengan istilah legitieme
portie yang artinya bagian tertentu/mutlak dari ahli waris tertentu. Oleh karena bagian
mutlak tersebut erat kaitannya dengan pemberian/hibah yang diberikan pewaris, yaitu
pembatasan atas kebebasan pewaris dalam membuat wasiat, maka legitieme portie
Dasar hukum seorang ahli waris mewaris sejumlah harta dari si pewaris
keturunan mereka beserta suami atau istri yang hidup paling lama;
b. Golongan II: Keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi orangtua dan
c. Golongan III: Kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris;
juga tidak membedakan urutan kelahiran. Hanya ada ketentuan, bahwa ahli
4
Oemar Saliman, 2006, Dasar-dasar Hukum Waris di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta,
halaman 115.
v
waris golongan pertama jika masih ada, maka akan menutup hak anggota
pula, golongan yang lebih tinggi derajatnya menutup yang lebih rendah
derajatnya.
2. Ditunjuk dalam surat wasiat (testament), yaitu surat wasiat merupakan suatu
utama surat wasiat adalah mempunyai kekuatan berlaku setelah pembuat surat
wasiat meninggal dunia dan tidak dapat ditarik kembali. Ahli waris, menurut
pembuat wasiat.5
Dari kedua macam ahli waris tersebut, ahli waris yang diutamakan adalah ahli
waris menurut undang-undang. Hal ini terbukti beberapa peraturan yang membatasi
kebebasan seseorang untuk membuat surat wasiat agar tidak sekehendak hatinya,
yaitu dalam Pasal 881 ayat (2), BW yaitu Dengan sesuatu pengangkatan waris atau
pemberian hibah, pihak yang mewariskan atau pewaris tidak boleh merugikan para
2. Harus ada ahli waris atau para ahli waris mereka harus ada pada saat pewaris
meninggal dunia;
5
R. van Dijk, 2000, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Terjemahan oleh A. Soehard,
Bandung: Vorkink van Hoeven, halaman 100.
vi
Oleh karena itu, syarat-syarat tersebut harus terpenuhi, maka para ahli waris
diberi kelonggaran oleh undang-undang untuk menentukan sikap terhadap suatu harta
warisan selama empat bulan. Seorang ahli waris dapat memilih antara tiga
kemungkinan, yaitu:
Apabila harta warisan telah dibuka namun tidak seorang pun ahli waris yang
tampil ke muka sebagai ahli waris, maka warisan tersebut dianggap sebagai harta
warisan yang tidak terurus. Dalam keadaan seperti ini, tanpa menunggu perintah
hakim, maka Balai Harta Peninggalan wajib mengurus harta peninggalan tersebut.
Jika terjadi perselisihan tentang apakah suatu harta peninggalan tidak terurus atau
tidak, penentuan ini akan diputus oleh hakim. Apabila dalam jangka waktu tiga tahun
terhitung sejak terbukanya warisan, belum juga ada ahli waris yang tampil ke muka,
kepada negara.
adat terhadap hukum pewarisan sangat ditentukan oleh persekutuan hukum adat itu
vii
anggotanya merasa diri terikat satu sama lain, karena mereka berketurunan dari nenek
moyang yang sama, sehingga diantara mereka terdapat hubungan keluarga. Sementara
persatuan hukum territorial, anggota-anggotanya merasa terikat satu sama lain karena
Persekutuan teritorial disebut desa atau gampong di Aceh dan sebagian daerah
genealogis terdapat di beberapa daerah seperti Mentawai yang disebut Uma, di Nias
disebut Euri, di Minangkabau disebut dengana Nagari, dan di Batak disebut Kuria
atau Huta. Dalam persekutuan genealogis ini terbagi pula menjadi 3 (tiga) tipe tata
atau bapak), matrilineal (garis keturunan peremuan atau ibu), dan parental (garis
keturunan dua sisi, yaitu tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan atau
bapak-ibu).
laki (bapak) yang merupakan pancaran dari bapak asal dan menjadi penentu dalam
keturunan anak cucu. Dalam hal ini, perempuan tidak ada hubungan darah yang
dengan suaminya dan anak-anaknya akan menjadi keluarga atau kerabat dari
bapaknya. Sistem pertalian seperti ini terjadi di Nias, Gayo, Batak, dan sebagian di
Lampung, Bengkulu, Maluku, dan Timor. Dalam hukum waris, persekutuan ini lebih
keturunan laki-laki sebagai penerus keturunan, penerus marga, dan sebagai ahli waris
bukan sebagai penerus keturunan, bukan sebagai ahli waris dari orangtuanya (ba-
viii
paknya). Hal ini karena pada masyarakat patrilineal menganut bentuk perkawinan
jujur (perkawinan dengan membayar sejumlah barang atau uang jujur kepada pihak
suaminya.
sehingga yang menjadi ukuran hanyalah pertalian darah dari garis ibu yang menjadi
ukuran dan merupakan suatu persekutuan hukum. Perempuan yang kawin tetap
tinggal dan termasuk dalam gabungan keluarga sendiri, sedangkan anak-anak mereka
masuk dalam keturunan ibunya. Sistem matrilineal yang terbesar di Indonesia terdapat
di daerah Minangkabau (Sumatra Barat). Oleh karena itu, sesuai dengan sistem
daripada ahli waris dari pihak laki-laki, sehingga selama masih ada anak perempuan,
BAB II
PEMBAHASAN
dengan dikenalnya “Lembaga Ninik Mamak” pada masyarakat Sungai Manau Bangko
Jambi.
ix
Yang menjadi ahli waris pada masyarakat Sungai Manau Bangko Jambi
adalah : 6
1. Bila istri (ibu) yang wafat maka yang menjadi ahli warisnya :
a. Anak perempuan
b. Cucu perempuan
c. Ibu Pewaris
2. Bila suami (bapak) yang wafat , maka yang menjadi ahli warisnya :
a. Anak perempuan
b. Cucu perempuan
c. Ibu pewaris
3. Proses pembagian warisan pada para ahli waris yang berhak mewaris pada
a. Sistem Kewarisan
b. Harta Warisan
6
Absar Surwansyah, 2005, Suatu Kajian Tetang Hukum Waris Adat Masyarakat Rangko
Jambi, Universitas Diponegoro Semarang.
x
Menurut sistem hukum waris adat di Kecamatan Sungai Manau, dikenal
warisnya yaitu harta pusako tinggi dan harta pusaka rendah (harta
suarang/harta pencaharian).
5) Pembagian Warisan
Bila salah seorang suami istri wafat tanpa mempunyai anak, maka
harta dibagi dua. Apabila suami istri mempunyai anak, maka harta
Pembagian warisan dilakukan oleh ninik mamak dari para ahli waris-
suami istri, setelah itu baru pembagian harta warisan ini dapat dibagi-
Kecamatan Sungai Manau ini tidak ada ketentuan waktu yang tepat,
bisa 40 hari atau 100 hari setelah pewaris wafat. Pembagian warisan
kepada ahli waris-ahli waris ini harus adil menurut hukum adat, bukan
xi
berat maupun harta warisan yang ringan. Apabila terjadi perselisihan,
perantauan pada saat ini dalam pembagian warisannya telah menggunakan hukum
menggunakan hukum adat Aceh, namun dari hasil penelitian menunjukkan bahwa
masih adanya 13,3% masyarakat Minang perantauan atau sebanyak 4 keluarga yang
masih menggunakan sistem kewarisan Minangkabau, namun hal itu merupakan angka
Tapaktuan, dilakukan sama dengan apa yang diberlakukan kepada masyarakat Aceh
dan sudah tentu mengikuti Hukum Islam (faraid), tidak terdapat pembedaan didalam
xii
4. Menentukan besarnya bagian masing-masing ahli waris
Minangkabau.
ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, yang mana hal tersebut merupakan
ialah :
2. Faktor perkawinan.
Perkembangan mana umumnya terbatas terhadap harta guna kaya orang tuannya baik
dalam bentuk benda bergerak maupun benda tetap. Hak waris anak perempuan
sangat variatif karena tidak ada katentuan yang dipakai acuan berapa berbanding
berapa tetapi ada beberapa anak perempuan yang mendapat hak sama dengan anak
laki-laki. Ahli waris perempuan tidak dibebani kewajiban sebagaimana alhi laki-
xiii
laki. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kedudukan anak perempuan
dalam hukum adat waris Bali antara lain: adanya peraturan perundang-undangan
yang berspektif gender, adanya perubahan paradigma, sikap dan prilaku dari para
hukum adatnya sendiri yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara
adat Karo, hal ini disebabkan hubungan yang begitu erat antara masyarakat adat Karo
dengan tanahnya. Begitu eratnya hubungan antara tanah dengan masyarakat adat Karo
sehingga tanah dalam suku Karo mempunyai aturan mengenai hukum tanah adat dan
menjadi salah satu objek waris oleh masyarakat adat Karo. Dalam masyarakat adat
Karo pada umumnya, terdapat pengkategorian terhadap tanah, yakni: Pertama, Taneh
kuta (village land), Taneh kuta adalah tanah yang dimiliki oleh desa tertentu sebagai
pembeda dari kampung lain, termasuk di dalamnya tanah terbuka, kuburan, dan tanah
kosong. Kedua, Taneh kesain (ward land), Konsep taneh kesain merujuk kepada
tanah tersebut milik Kesain Rumah Berneh. Ketiga, Taneh nini (grandfather`s land),
Konsep taneh nini digunakan untuk tanah yang yang telah ditanami pertama kali oleh
bapa (bapak/ayah), nini (kakek), nini nai (leluhur). Tanah ini dipunyai oleh anggota
8
Ni Nyoman Sukerti, 2014, Perkembangan Kedudukan Perempuan Dalam hukum Adat Waris
Bali Studi Kasus Di Kota Denpasar, Magister Hukum Udayana, Jurnal Journal article // Jurnal
Magister Hukum Udayana, Vol.6 No.2.
xiv
dari garis kekerabatan patrilineal. Kelompok patrilineal dan anggotanya memiliki
ikatan yang sakral kepada tanah leluhurnya yang harus dipertahankan dengan tidak
melepaskannya kepada orang lain. Tanah seperti ini pada umumnya diwariskan dari
ayah kepada anak laki-lakinya, dan untuk kemudian akan selalu berada dalam
the kalimbubu), Konsep taneh kalimbubu digunakan untuk tanah yang diberikan oleh
kalimbubu kepada anak beru. Pada taneh kalimbubu, kalimbubu harus dilibatkan
keturunan ayah (patriarchaat). Masyarakat Karo yang menarik garis keturunan dari
perkawinan berlainan marga atau di luar marga. Sebabnya secara empiris dapat
diterangkan bahwa satu marga dianggap satu keturunan atau satu klan, sehingga
perkawinan satu marga tidak diperkenankan. Dari sudut lain stelsel perkawinan
tersebut berakibat bahwa si wanita yang kawin telah masuk marga/klan suaminya dan
terlepas dari marga/klan keluarganya semula. Jadi tegasnya perkawinan itu berakibat
lepasnya si wanita dari marga/klan ayahnya dan masuk keluarga/klan suaminya. Dan
yang lepas itu sebenarnya adalah wanita itu bersama hak dan kewajibannya dari
9
Maria Kaban, 2016, Penyelesaian Sengketa Waris Tanah Adat Pada Masyarakat Adat Karo,
Jurnal Mimbar Hukum UGM Vol. 28. No. 3 Tahun 2016, PP. 453-465.
xv
sibayak, dan runggun sibayak berempat sudah tidak dipakai lagi dalam
runggun keluarga dan umumnya runggun ini sering dipakai dalam nerehempo,
yang luas tidak hanya digunakan untuk menyelesaikan masalah saja, oleh
kegunaannya yang lain tetap memiliki susunan yang sama yaitu adanya
kalimbubu, anak beru, dan senina yang diwujudkan dalam konsep sangkep si
telu.
penyelesaian sengketa dimana begu akan dipanggil melalui ritual tertentu guna
meninggal dunia ini dianggap sebagai orang yang bijaksana serta mempunyai
letak permasalahan para pihak. Perumah begu bagi orang yang telah
Medium perantara antara roh orang mati dengan pihak yang bersengketa
adalah Guru Sibaso. Guru Sibaso pada umumnya terdiri dari seorang wanita
xvi
c. Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan Negeri. Pengadilan Negeri
dalam hal waris. Menurut masyarakat Karo adalah hal yang sangat memalukan
para pihak.35 Sesuai dengan ketentuan Pasal 189 Rbg dan Pasal 178 HIR
xvii
kedua belah pihak; (2) Ia wajib mengadili segala bagian gugatan. (3) Ia
waris tanah adat pada PN Kabanjahe adalah mediasi yang melibatkan mediator
dimana para pihak yang bersengketa memanfaatkan bantuan pihak ketiga yang
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun persamaan dari perwarisan adat tersebut diatas dapat terjadi setelah
meninggalnya pewaris. Dalam hal ini warisan dalam hukum adat beralih dari pewaris
kepada ahli waris secara otomatis. Hak penguasaan terhadap harta warisa terseput
setiap hukum adat. Adapun perbedaaannya pada masyarakat hukum adat yang
xviii
mendapatkan warisan, dimana anak perempuan tidak mendapatkan warisan kecuali
pemberian dalam bentuk hibah sewaktu pewaris masih hidup dan disepakati ahli waris
lainnya. Berbeda dengan masyarakat hukum adat yang bercorak matrilineal warisan
hanya diberikan kepada anak perempuan dan anak laki-laki tidak mendapat warisan
dan tidak dapat menguasai harta pusaka. Namun pada masyarakat hukum adat yang
mendapatkan warisan.
B. Saran
seharusnya mengarah pada prinsip parental yaitu tidak membedakan antara anak laki-
laki dan anak perempuan. Baik anak laki-laki maupun perempuan sama-sama
mendapatkan warisan yang sama. Dimana prinsip tersebut dapat mendorong kepada
arah yang damai tanpa adanya menimbulkan kecemburuan bagi masing-masing pihak.
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Absar Surwansyah, 2005, Suatu Kajian Tetang Hukum Waris Adat Masyarakat
Rangko Jambi, Universitas Diponegoro Semarang.
Ahlan Sjarif. Surini dan Nurul Elmiyah. 2005. Hukum Kewarisan BW Pewarisan
Menurut Undang-Undang. Badan Penerbitan Fakultas Hukum Universitas
Indonesia. Depok.
Ahmad Nurmandi. 2012. Menjaga Indonesia dari KEPRI (Peluang, Tantangan, &
Proil 19 Pulau Terdepan Indonesia di Kepulauan Riau). Badan Pengelola
perbatasan Provinsi Kepulauan Riau. Tanjungpinang.
xix
Djamanat Samosir, 2013, Hukum Adat Indonesia (Eksekusi dalam Dinamika
Perkembangan Hukum Di Indonesia), Bandung: Nuansa Aulia.
Ellyne Dwi Poespassari. 2018, Pemahaman Seputar Hukum Waris Adat Di Indonesia.
Jakarta Timur: Prenadamedia Group.
Iman Sudayat. 1999. Asas-asas Hukum Adat Bekal Pengantar. Yogyakarta: Liberty.
R. van Dijk. 2000. Pengantar Hukum Adat Indonesia. Terjemahan oleh A. Soehard.
Bandung: Vorkink van Hoeven.
B. JURNAL
Maria Kaban, 2016, Penyelesaian Sengketa Waris Tanah Adat Pada Masyarakat Adat
Karo, Jurnal Mimbar Hukum UGM Vol. 28. No. 3 Tahun 2016, PP. 453-465.
xx