HUKUM WARIS
“HUTANG - HUTANG PEWARIS YANG DIWARISKAN KEPADA
AHLI WARIS DAN EKSISTENSI TANAH DI BALI DALAM
HUBUNGANNYA DENGAN PEWARISAN”
Dosen : Dr. A.A. Gede Oka Parwata, SH.,M.Si.
KELOMPOK 6 :
MAGISTER KENOTARIATAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
bahan untuk lebih memahami dan menelaah tentang pewarisan dalam hukum
waris adat kaitan dengan hutang-hutang pewaris dan juga eksistensi tanah di bali
dalam pewarisan. Penulis berharap tulisan dalam paper ini dapat menambah ilmu
pengetahuan terkait bidang hukum waris adat sebagai bacaan bagi masyarakat
untuk dapat memahami hukum waris adat khususnya dalam kaitan pewarisan
utang dan juga eksistensi tanah di bali dalam pewarisan adat di bali.
kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran, masukan,
Penulis
i
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
BAB II
PEMBAHASAN .................................................................................................... 9
BAB III
PENUTUP ............................................................................................................ 21
ii
1
BAB I
PENDAHULUAN
penting, yaitu waktu dilahirkan, waktu kawin, waktu dia meninggal dunia. Pada
manusia pada akhirnya akan mengalami kematian meninggalkan dunia fana ini.
Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara
waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup hidup manusia, sebab setiap
kewajiban si pewaris misalnya saja wasiat dan hutang dari si pewaris yang harus
ditunaikan terlebih dahulu.1 Dalam hukum waris Perdata suatu pewarisan terdapat
tiga unsur penting, yaitu: (1) adanya orang yang meninggal dunia selaku pewaris,
(2) adanya harta kekayaan yang ditinggalkan dan, (3) adanya ahli waris. Yang
1
Eman Suparman, 2005, Hukum Waris Indonesia, PT. Rineka Aditama, Bandung, h. 1.
2
meninggalkan harta kekayaan. Sedangkan yang dimaksud ahli waris adalah orang-
adalah harta kekayaan yang dapat berupa kumpulan aktiva dan pasiva dari si
mempelajari hukum waris perlu dipelajari pula sistem hukum waris yang
hukum waris perdata adalah sistem kekeluargaan yang bilateral atau parental,
dalam sistem ini keturunan dilacak baik dari pihak suami maupun pihak isteri.
Sistem kewarisan yang diatur dalam hukum waris perdata adalah sistem secara
individual, ahli waris mewaris secara individu atau sendiri-sendiri, dan ahli waris
tidak dibedakan baik laki-laki maupun perempuan hak mewarisnya sama. Dalam
hukum waris perdata, berlaku suatu asas, yaitu apabila seseorang meninggal dunia
(pewaris), maka demi hukum dan seketika itu juga hak dan kewajibannya beralih
kepada para ahli warisnya, sepanjang hak dan kewajiban tersebut termasuk dalam
lapangan hukum harta kekayaan atau dengan kata lain hak dan kewajiban yang
2
J. Satrio, 1992, Hukum Waris, Penerbit Alumni, Bandung, h. 34.
3
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang lebih lanjut disebut UUPA pada
Negara Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 1960, merupakan tonggak yang
yaitu sebagai salah satu upaya mewujudkan unifikasi hukum dalam bidang
hukum adat dalam UUPA dapat dicermati sejak awal, yaitu melalui
nasional, yang berdasarkan atas hukum adat tentang tanah”. Lebih lanjut dalam
berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat”.
Makna pernyataan istilah “berdasar atas dan ialah hukum adat” tersebut,
Oleh karena itu dalam pembangunan Hukum Tanah Nasional (yang selanjutnya
disebut HTN), maka Hukum Adat berfungsi sebagai sumber utama dalam
sebagai hukum yang melengkapi. Jadi fungsi hukum adat dalam HTN, yaitu:
3
Boedi Harsono, 2003, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan UUPA Isi dan
Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, h. 1.
4
Ibid., h. 205.
4
Pertama, sebagai sumber utama pembangunan HTN, dan kedua, sebagai sumber
karena bahan utama pembangunan HTN dalam wujud: konsepsi (falsafah), asas-
hukum yang tertulis, yang disusun menurut sistem hukum adat. UUPA dapat
undangan sebagai hukum yang tertulis.5 Dengan kata lain, konsepsi/falsafah, asas-
asas, dan lembaga hukum serta sistem pengaturan yang menjadi isi politik HTN
Hukum Adat sebagai pelengkap HTN, artinya jika suatu soal belum atau
adalah ketentuan Hukum Adat (Pasal 56, 58 UUPA). 7 Menurut Nurhasan Ismail,
prismatik, karena berhasil menjadikan nilai sosial tradisional dan modern secara
menjadi lebih baik apabila terjadi koeksistensi antara kepentingan lokal dengan
kepentingan nasional.
relevan dengan kondisi Negara Indonesia yang bercorak multikultural, multi etnik,
agama, ras dan multi golongan. Juga relevan dengan sesanti Bineka Tunggal Ika
5
Ibid, h. 206.
6
Oloan Sitorus dan H.M. Zaki Sierrad, 2006, Hukum Agraria di Indonesia Konsep
Dasar dan Implementasi, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta, h. 4.
7
Boedi Harsono, 2003, op.cit, h. 213.
5
keteraturan dan ketertiban sosial (social order) dalam masyarakat yang fungsinya
nilai kepastian hukum. Namun lebih dari itu fungsi hukum hendaknya dapat
multikultural.
yang digariskan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (yang selanjutnya disebut UUD 1945), bahwa “bumi, air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
Pernyataan ini mengandung arti bahwa menjadi kewajiban agar bumi, air,
dan ruang angkasa dan kekayaan alam yang diletakkan dalam kekuasaan negara
dimaksudkan adalah kesejahteraan lahir batin, adil dan merata bagi seluruh rakyat
6
adat, karena antara UUPA dengan hukum adat akan berfungsi saling melengkapi
upaya mengisi kekosongan hukum yang ada. Di samping itu selayaknya pula
dapat memberi rasa keadilan akan eksistensi terhadap hak ulayat sebagai hak
Kenyataannya dalam beberapa kasus sengketa tanah yang ada dan terus
terjadi di Bali sampai saat ini justru menunjukkan adanya kompetisi antara UUPA
sebagai hukum negara (state law) di satu sisi dengan hukum adat sebagai hukum
rakyat (folks law) di sisi lain, yaitu adanya marginalisasi terhadap pengakuan dan
perlindungan hak ulayat khususnya mengenai hak penguasaan dan pemilikan atas
tanah adat oleh persekutuan hukum yang disebut desa adat. Kasus sengketa ini
juga terjadi disebabkan adanya perbedaan pandangan antar UUPA dengan Hukum
yang dirasakan sebagai pemilikan dalam hukum adat, menurut UUPA belum
pendaftaran, dan hak milik akan dapat dibuktikan secara formal melalui sertifikat.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik membuat tulisan dengan Judul
8
H. Mohammad Hatta, 2005, Hukum Tanah Nasional dalam Perspektif Negara
Kesatuan, Media Abadi, Yogyakarta, h.1.
7
Pewarisan”.
pewaris yang diwariskan kepada ahli waris, serta eksistensi tanah di Bali
Untuk dapat dijadikan pedoman dalam pembuatan karya ilmiah baik itu
pengalaman belajar dan melakukan penelitian bagi para mahasiswa lain mengenai
BAB II
PEMBAHASAN
mengatakan bahwa warisan adalah kekayaan yang berupa kompleks aktiva dan
pasiva si pewaris yang berpindah kepada para ahli waris. 9 Jadi jika seseorang
menerima warisan dari pewaris, maka tidak hanya hartanya yang ia terima, tetapi
ia juga harus memikul utang pewaris, dan secara moral ahli waris yang berhak
terhadap orang tuanya semasa hidup). Hal tersebut sesuai dengan ketentuan pada
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) pada Pasal 1100, yang
menentukan: “para ahli waris yang telah bersedia menerima warisan, harus ikut
dengan apa yang diterima masing-masing dari warisan itu.” Maka seorang ahli
waris secara hukum memperoleh semua hak dan kewajiban pewaris, maka disini
terdapat konsekuensi yang tidak adil terhadap ahli waris, karena tidak menutup
sebuah hak disebut dengan Hak Berpikir. Berikut bunyi pasal tersebut:
9
J. Satrio, op.cit., h. 8.
10
untuk berpikir, dan harus memberikan pernyataan mengenai hal itu pada
penyelidikan tersebut, ahli waris juga berhak menentukan apakah mau menolak
harta warisan tersebut, menerimanya secara murni, ataukah menerima dengan hak
istimewa untuk merinci harta peninggalan itu. Setelah membuat keputusan, ahli
Pengadilan Negeri.
Jika ahli waris menerima warisan secara murni, maka ahli waris tersebut
bertanggung jawab terhadap seluruh hutang pewaris tersebut. Sedangkan, jika ahli
waris menerima warisan dengan hak istimewa (ahli waris beneficiair), maka dia
hanya bertanggung jawab terhadap hutang pewaris sebesar jumlah aktiva yang
para ahli waris beneficiair adalah debitur untuk seluruh utang-utang warisan,
11
hanya saja tanggung jawabnya terbatas hanya sampai sebesar aktiva harta
warisan saja.10
Lebih jelasnya mengenai hak istimewa ahli waris, terdapat dalam Pasal
1. Bahwa ahli waris itu tidak wajib membayar hutang-hutang dan beban-
yang termasuk warisan itu, dan bahkan bahwa ia dapat membebaskan diri
maupun menolak warisan yang diberikan kepadanya seperti yang tertulis pada
Pasal 1045 KUHPerdata, yang berbunyi: “Tiada seorang pun diwajibkan untuk
dapat diterima ataupun ditolak oleh ahli waris, dalam hal ini warisan tersebut
dapat berupa harta kekayaan maupun utang-utang. Jika ahli waris menerima
warisan secara murni, maka para ahli waris selain menerima harta kekayaan
pewaris juga harus menerima dan membayar semua utang pewaris. Sedangkan,
10
J. Satrio, op.cit., h. 316.
12
jika para ahli waris menerima dengan hak istimewa, untuk diadakan perhitungan
aktiva dan pasiva warisan, maka para ahli waris beneficiair hanya perlu
membayar utang pewaris sebesar jumlah warisan yang diterimanya. Sehingga dari
Tanah milik desa pakraman adalah salah satu bentuk tanah adat. Dalam
pengertian luas, istilah tanah adat dapat menunjuk kepada dua pengertian, yaitu
(1) tanah adat dalam pengertian sebagai tanah “bekas milik adat”; dan (2) tanah
milik masyarakat hukum adat. Dalam pengertian yang pertama, istilah tanah adat
merujuk kepada semua tanah orang Indonesia yang belum dikonversi menjadi
tanah dengan hak tertentu yang disebutkan dalam UUPA dan belum didaftarkan
pada Kantor Pertanahan setempat. Munculnya istilah tanah adat dalam pengertian
ini sebagai akibat dari berlakunya dualisme sistem hukum tanah pada jaman
Hindia Belanda yang diwarisi sampai tahun 1960, yaitu sampai dikeluarkan dan
diberlakukannya UUPA. Pada masa itu, dikenal dua golongan hak atas tanah,
yaitu: (1) tanah-tanah yang tunduk kepada Hukum Barat yang lazim disebut
Tanah Hak Barat, seperti: Hak Eigendom, Hak Opstal, Hak Erfpacht, dan Hak
Vruchtgebruik; (2) hak-hak tanah yang tunduk kepada hukum adat disebut dengan
tanah Hak Indonesia atau tanah adat, seperti: hak agrarische eigendom, milik,
andarbeni, yasan, hak atas druwe desa, pasini, altijddurende erfpacht grantsultan,
hak milik, hak gogolan, sanggan, pekulen, dan hak atas tanah yang sederajat
13
dengan Hak pakai, seperti bengkok, pituas, dan lain-lain. Tanahtanah hak Barat
diberlakukan bagi penduduk Hindia Belanda yang tunduk kepada Hukum Barat,
(bumiputra).11
Hukum Adat (KMHA). Hak KMHA atas tanah diakui dalam Pasal 3 UUPA
dengan sebutan hak ulayat. Dalam literatur hukum adat, sebagaimana dikutip dari
Arisaputra, hak ini juga disebut dengan istilah hak pertuanan, sebagai terjemahan
beschikkingrecht.12
Konstitusi menyebutkan adanya 3 (tiga) golongan KMHA, yaitu: (1) KMHA yang
keturunan darah; (2) KMHA yang bersifat fungsional, yaitu KMHA yang
11
Lombogia, C. B., 2017, Perolehan Hak Atas Tanah Melalui Penegasan Konversi
Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria, Lex Et Societatis,
5(5), URL: https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexetsocietatis/article/view/17705, diaskses pada
tanggal 13 Mei 2020, h. 137.
12
Arisaputra, M. I., 2011, Status Kepemilikan Dan Fungsi Tanah Dalam Persekutuan
Hidup Masyarakat Adat, Amanna Gappa, 19(4), URL:
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4078/Amanna%20Gappa%20Vol.%201
9%2c%20No.%204%20Desember%202011.pdf?sequence=1, diakses pada tanggal 13 Mei 2020,
h. 424.
14
tidak tergantung kepada hubungan darah atau pun wilayah; dan (3) KMHA yang
tertentu di mana anggota KMHA yang bersangkutan hidup secara turun temurun
dan melahirkan hak ulayat yang meliputi hak atas pemanfaatan air, hutan, dan
sebagainya.
(dulu disebut: desa adat). Bentuk KMHA geneologis adalah dadia/panti atau
disebut dengan nama lain. Sehari-hari sebutan “dadia” atau “panti” dapat
menunjuk dua hal berbeda. Pertama, untuk menyebut satu unit tempat
persembahyangan bersama dari suatu kelompok orang yang berasal dari keturunan
yang sama. Tempat persembahyangan tersebut adalah pura dadia, yang kadang-
kadang hanya disebut dadia atau panti saja. Kedua, dapat merujuk kepada
kelompok orang (sekaa) yang berasal dari satu keturunan (wit) yang memuja
disebut sekaa dadia/sekaa panti. Bentuk KMHA fungsional yang ada di Bali
adalah Subak, yaitu organisasi dari kelompok masyarakat tani yang berfungsi
persawahan tertentu. Ketiga KMHA itu (desa pakraman, dadia/panti dan subak)
13
Windia, W.P. & Sudantra, K., 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Denpasar: Lembaga
Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, h. 39.
15
tentang Pembentukan Kota Tual di Provinsi Maluku terhadap UUD NRI 1945.
Dalam Putusan yang dibacakan pada 18 Juni 2008 itu Mahkamah Konstitusi
menyatakan bahwa suatu KMHA dapat dikatakan secara de fakto masih hidup
adat; dan (4) adanya perangkat norma hukum adat; serta (5) adanya wilayah
tertentu, khusus pada kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat territorial.
dan/atau roh leluhur yang disembah di pura tersebut. Hubungan warga kesatuan
masyarakat hukum adat dengan pura tersebut sangat kuat, bahkan dapat dipandang
bahwa pura adalah unsur pengikat utama yang mempersatukan warga kesatuan
secara spiritual maupun sosial-budaya. Bidang tanah di mana bangunan pura itu
berdiri disebut tanah tegak pura yang luasnya bervariasi tergantung kebutuhan.
Beberapa pura mungkin memiliki satu atau lebih bidang tanah lain yang berupa
lahan pertanian atau perkebunan (sawah, tegalan, hutan) yang hasilnya khusus
dimanfaatkan langsung atau pun tak langsung untuk kepentingan pura yang
bersangkutan, baik untuk pembangunan dan pelestarian bangunan pura atau pun
tersebut. Tanah ini lazim disebut tanah laba pura atau pelaba pura. Semua tanah
pura, baik tegak pura maupun pelaba pura, telah lama dapat didaftarkan dengan
DJA/1986, pura telah ditunjuk sebagai badan hukum keagamaan yang dapat
adat desa pakraman juga memiliki tanah dengan beragam jenis dan karakter, baik
dilihat dari letak atau lokasi tanah adat yang bersangkutan. Secara umum, tanah-
tanah yang dikuasai KMHA desa pakraman disebut tanah desa atau tanah druwe
desa. Dilihat dari subyek yang menguasai dan/atau memanfaatkan tanah desa
tanah desa tersebut, meliputi: (a) tanah desa yang dikuasai dan dimanfaatkan
secara langsung oleh desa pakraman; dan (b) tanah desa yang oleh desa diberikan
umumnya golongan tanah inilah yang disebut tanah druwe atau duwe desa dalam
arti sempit, sedangkan dalam arti luas konsep tanah druwe desa meliputi semua
golongan tanah desa di atas. Secara etimologis, istilah druwe atau duwe (”due”)
yang membentuk frasa ”druwe” atau “duwe desa” berarti ”kepunyaan” atau
14
Suasthawa D., M., 1987, Status dan Fungsi Tanah Adat di Bali Setelah Berlakunya
UUPA, CV Kayumas Agung, h. 42.
17
”milik”, sehingga konsep tanah druwe desa sesungguhnya adalah konsep hak
fungsi dan pemanfaatan yang beragam, mulai dari bidang-bidang tanah yang
pura (tegak pura) ataupun bidang tanah yang hasilnya dimanfaatkan untuk
kepentingan pura milik desa pakraman (laba pura); fungsi-fungsi ekonomi, seperti
untuk pasar desa, pertokoan, lahan parkir, dan lain-lain; maupun bidang tanah
untuk fungsi-fungsi sosial-budaya, untuk balai pertemuan (balai banjar, balai desa,
wantilan), untuk kegiatan olah raga atau aktivitas sosial lainnya (tanah lapang);
bidang tanah untuk tempat menguburkan jenazah dan prosesi ritual kremasi
jenazah (tanah setra), dan sebagainya. Letak atau lokasi tanah druwe desa ini
Beberapa desa pakraman justru memiliki tanah druwe di luar wilayah desa
menukar.
dari desa pakraman bersangkutan (krama desa). Dilihat dari fungsinya, tanah-
tanah yang termasuk golongan ini ada 2 (dua) macam, yaitu pertama adalah tanah
pekarangan desa (tanah PKD) atau disebut dengan nama lain, seperti tanah tegak
desa, karang kawis, dan lain-lain. Ini adalah tanah-tanah desa yang oleh desa
15
Anandakusuma, S.R., 1986, Kamus Bahasa Bali. CV Kayumas, Denpasar, h. 45- 48.
18
luas tanah pekarangan desa ini untuk masing-masing krama desa memiliki luas
tertentu dan seragam untuk semua krama desa, misalnya sekitar 200 m² atau 400
Di samping tanah pekarangan desa, ada juga bidangbidang tanah desa, berupa
lahan pertanian, yang oleh desa diserahkan kepada krama desa untuk dikelola.
Hasil dari tanah-tanah itu sepenuhnya menjadi hak warga yang mengelolanya,
digunakan untuk nafkah keluarga krama desa yang bersangkutan dan sebagian
rutin atau pun insidental, misalnya iuran (disebut: peturunan) untuk kegiatan
melekat pada tanah pekarangan desa dan tanah ayahan desa. Pertama, baik tanah
pekarangan desa mau pun tanah ayahan desa mirip hak perseorangan, dapat
dikelola dan hasilnya dinikmati sendiri, serta dapat diwariskan. Kedua, setiap
pemegang hak atas tanah pekarangan desa dan tanah ayahan desa harus
kewajiban fisik (tenaga) ataupun materi (uang atau barang), sebagai kompensasi
mengambil tindakan untuk mengambil alih kekuasaan terhadap tanah tersebut. Itu
19
menunjukkan, bahwa sesungguhnya hak yang dikuasai oleh krama desa atas tanah
desa tersebut adalah apa yang dalam kepustakaan hukum adat disebut hak milik
terikat.
termasuk golongan ini, bahkan di beberapa tempat sudah terjadi kekaburan antara
tanah pekarangan desa dan tanah ayahan desa di satu pihak dengan bidang-bidang
tanah hak milik perseorangan (tanah kedidi) di pihak lainnya. Kondisi ini
disebabkan beberapa hal. Pertama, memang tidak semua desa pakraman memiliki
tanah pekarangan desa dan/atau tanah ayahan desa. Desa-desa pakraman yang
sistem ngemong karang ayahan (Ind. = menguasai tanah desa). Apabila suatu desa
dibedakan antara krama desa yang menguasai tanah desa dengan krama desa yang
tidak menguasai tanah desa. Krama desa yang menguasai tanah desa disebut
krama ngarep, atau disebut dengan nama lain, mempunyai tanggung jawab penuh
(memungkul) kepada desa, sedangkan krama desa yang tidak menguasai tanah
desa, disebut krama ngele atau nama lain, hanya dibebani kewajiban setengahnya
(sibak) dari kewajiban krama ngarep, atau bahkan di beberapa tempat mereka
bebas dari kewajiban-kewajiban kepada desa. Di desa-desa lain, yaitu desa yang
desa yang sudah berumah tangga mempunyai hak dan kewajiban yang sama, tidak
penting apakah yang bersangkutan menguasai tanah desa atau tidak. Pada desa-
desa yang termasuk golongan ini, tentu sulit membedakan status tanah yang
20
ditempati oleh setiap krama desa, apakah menempati tanah pekarangan desa
ataukah menempati tanah hak milik perseorangan (tanah kedidi, tanah gunakaya).
tetapi pasti telah mengubah pola pikir dan pandangan masyarakat Bali dalam
membuat nilai dan kebutuhan akan tanah terus meningkat. Pembangunan fasilitas
pariwisata, seperti hotel, resort, villa, restoran, dan lain-lain, telah menjadikan
tanah sebagai komoditas yang sangat bernilai ekonomi tinggi dan melemahkan
pengelolaan tanah adat yang semula lebih bersifat komunal dan religius mengarah
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
3.1.1 Utang-Utang Pewaris dapat diwariskan oleh Pewaris kepada Ahli Waris
yangmana dalam hal Ahli Waris menerima Warisan tersebut tetapi utang-
utang yang ada hanya dapat ditagih sebesar harta peninggalan semata dan
Ahli Waris bila ahli waris menerima dengan hak istimewa (ahli
utangnya.
3.1.2. Tanah Adat di Bali sebagai eksistensi berupa harta warisan yang
dalam hal ini cenderung pasif, sedangkan tanah adat bali yang saat ini
tentunya hak tanah ulayat bilamana desa adat berperan aktif maka tidak
3.2. Saran
3.2.2. Untuk Desa Adat di Bali, agar lebih proaktif dalam hal menangani
masalah tanah adat sehingga semua tanah adat yang ada jelas
DAFTAR PUSTAKA
1. Literatur
Boedi Harsono, 2003, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan UUPA Isi
Oloan Sitorus dan H.M. Zaki Sierrad, 2006, Hukum Agraria di Indonesia Konsep
Suasthawa D., M., 1987, Status dan Fungsi Tanah Adat di Bali Setelah
Windia, W.P. & Sudantra, K., 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Denpasar:
Udayana.
2. Jurnal
Lombogia, C. B., 2017, Perolehan Hak Atas Tanah Melalui Penegasan Konversi
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexetsocietatis/article/view/17705,
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4078/Amanna%
20Gappa%20Vol.%2019%2c%20No.%204%20Desember%202011.pdf?se
3. Peraturan PerUndang-Undangan
KUHPerdata Indonesia.
4. Putusan Pengadilan
1945.