Anda di halaman 1dari 27

TUGAS MATA KULIAH

HUKUM WARIS
“HUTANG - HUTANG PEWARIS YANG DIWARISKAN KEPADA
AHLI WARIS DAN EKSISTENSI TANAH DI BALI DALAM
HUBUNGANNYA DENGAN PEWARISAN”
Dosen : Dr. A.A. Gede Oka Parwata, SH.,M.Si.

KELOMPOK 6 :

Made Pramanaditya Widiada 1982411031


Ni Kadek Dita Anggreni 1982411032
I Putu Asa Jania 1982411033
Putu Silkyamara Nandha Rossana 1982411034
Putu Surya Mahardika 1982411035
Moh Ariq Fauzan 1982411038

MAGISTER KENOTARIATAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan

karunia-Nya, penulis dapat menyusun Resume Mata Kuliah Hukum Waris

dengan judul “HUTANG - HUTANG PEWARIS YANG DIWARISKAN

KEPADA AHLI WARIS DAN EKSISTENSI TANAH DI BALI DALAM

HUBUNGANNYA DENGAN PEWARISAN”. Makalah ini penulis buat sebagai

bahan untuk lebih memahami dan menelaah tentang pewarisan dalam hukum

waris adat kaitan dengan hutang-hutang pewaris dan juga eksistensi tanah di bali

dalam pewarisan. Penulis berharap tulisan dalam paper ini dapat menambah ilmu

pengetahuan terkait bidang hukum waris adat sebagai bacaan bagi masyarakat

untuk dapat memahami hukum waris adat khususnya dalam kaitan pewarisan

utang dan juga eksistensi tanah di bali dalam pewarisan adat di bali.

Dalam penyusunan Makalah ini penulis menyadari bahwa masih banyak

kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran, masukan,

maupun kritik untuk penyempurnaan makalah ini.

Denpasar, 14 Mei 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

BAB I

PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

1.1. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah .................................................................................... 7

1.3. Tujuan Penulisan ...................................................................................... 7

1.4. Manfaat Penulisan .................................................................................... 7

BAB II

PEMBAHASAN .................................................................................................... 9

2.1. Utang-Utang Pewaris Yang Diwariskan Kepada Ahli Waris................... 9

2.2. Eksistensi Tanah Di Bali Dalam Hubungan Dengan Pewarisan. ........... 12

BAB III

PENUTUP ............................................................................................................ 21

3.1. Kesimpulan ............................................................................................. 21

3.2. Saran ....................................................................................................... 22

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 23

ii
1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Manusia dalam perjalanan hidupnya mengalami tiga peristiwa yang

penting, yaitu waktu dilahirkan, waktu kawin, waktu dia meninggal dunia. Pada

saat orang dilahirkan tumbuhlah tugas baru dalam kehidupan (keluarganya).

Demikianlah di dalam artian sosiologis, ia menjadi pengembangan hak dan

kewajiban. Kemudian setelah dewasa setelah dewasa, ia akan melangsungkan

perkawinan yang bertemu dengan lawan jenisnnya untuk membangun dan

menunaikan dharma bhaktinya yaitu kelangsungan keturunan. Selanjutnya,

manusia pada akhirnya akan mengalami kematian meninggalkan dunia fana ini.

Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara

keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum

waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup hidup manusia, sebab setiap

manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian.

Akibat hukum yang selanjutnya timbul dengan terjadinya peristiwa hukum

kematian seseorang, diantaranya ialah pengurusan hak-hak dan kewajiban-

kewajiban si pewaris misalnya saja wasiat dan hutang dari si pewaris yang harus

ditunaikan terlebih dahulu.1 Dalam hukum waris Perdata suatu pewarisan terdapat

tiga unsur penting, yaitu: (1) adanya orang yang meninggal dunia selaku pewaris,

(2) adanya harta kekayaan yang ditinggalkan dan, (3) adanya ahli waris. Yang

1
Eman Suparman, 2005, Hukum Waris Indonesia, PT. Rineka Aditama, Bandung, h. 1.
2

dimaksud dengan pewaris adalah orang yang meninggal dunia dengan

meninggalkan harta kekayaan. Sedangkan yang dimaksud ahli waris adalah orang-

orang yang menggantikan kedudukan si pewaris dalam bidang hukum harta

kekayaan, karena meninggalnya pewaris. Selanjutnya yang dimaksud warisan

adalah harta kekayaan yang dapat berupa kumpulan aktiva dan pasiva dari si

pewaris yang berpindah kepada para ahli waris.2

Hukum waris kental dengan hukum positif yang berlaku di Negara

tertentu, sangat erat hubungannya dengan hukum keluarga, maka dalam

mempelajari hukum waris perlu dipelajari pula sistem hukum waris yang

bersangkutan seperti sistem kekeluargaan, sistem kewarisan, wujud dari barang

warisan dan bagaimana cara mendapatkan warisan. Sistem kekeluargaan dalam

hukum waris perdata adalah sistem kekeluargaan yang bilateral atau parental,

dalam sistem ini keturunan dilacak baik dari pihak suami maupun pihak isteri.

Sistem kewarisan yang diatur dalam hukum waris perdata adalah sistem secara

individual, ahli waris mewaris secara individu atau sendiri-sendiri, dan ahli waris

tidak dibedakan baik laki-laki maupun perempuan hak mewarisnya sama. Dalam

hukum waris perdata, berlaku suatu asas, yaitu apabila seseorang meninggal dunia

(pewaris), maka demi hukum dan seketika itu juga hak dan kewajibannya beralih

kepada para ahli warisnya, sepanjang hak dan kewajiban tersebut termasuk dalam

lapangan hukum harta kekayaan atau dengan kata lain hak dan kewajiban yang

dapat dinilai dengan uang.

2
J. Satrio, 1992, Hukum Waris, Penerbit Alumni, Bandung, h. 34.
3

Mengenai eksistensi tanah-tanah adat di Bali dan hubungannya dengan

pewaris yakini disahkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang lebih lanjut disebut UUPA pada

tanggal 24 September 1960, yang kemudian diundangkan dalam Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 1960, merupakan tonggak yang

sangat penting dalam sejarah perkembangan agraria/pertanahan di Indonesia 3,

yaitu sebagai salah satu upaya mewujudkan unifikasi hukum dalam bidang

pertanahan, walaupun unifikasi tersebut dapat dinyatakan bersifat “unik”, karena

masih memberikan kemungkinan berlakunya hukum adat dan agama Pengakuan

hukum adat dalam UUPA dapat dicermati sejak awal, yaitu melalui

Konsiderans/Berpendapat dinyatakan, bahwa “perlu adanya hukum agraria

nasional, yang berdasarkan atas hukum adat tentang tanah”. Lebih lanjut dalam

Pasal 5 UUPA ditemukan adanya pernyataan, bahwa “Hukum agraria yang

berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat”.

Makna pernyataan istilah “berdasar atas dan ialah hukum adat” tersebut,

menunjukkan adanya hubungan fungsional antara UUPA dengan Hukum Adat. 4

Oleh karena itu dalam pembangunan Hukum Tanah Nasional (yang selanjutnya

disebut HTN), maka Hukum Adat berfungsi sebagai sumber utama dalam

mengambil bahan-bahan yang diperlukan. Namun demikian dalam hubungannya

dengan Hukum Tanah Nasional Positif, norma-norma Hukum Adat berfungsi

sebagai hukum yang melengkapi. Jadi fungsi hukum adat dalam HTN, yaitu:

3
Boedi Harsono, 2003, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan UUPA Isi dan
Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, h. 1.
4
Ibid., h. 205.
4

Pertama, sebagai sumber utama pembangunan HTN, dan kedua, sebagai sumber

pelengkap hukum tanah positif di Indonesia.

Hukum adat dinyatakan menjadi sumber utama pembangunan HTN,

karena bahan utama pembangunan HTN dalam wujud: konsepsi (falsafah), asas-

asas hukum, lembaga-lembaga hukum, untuk dirumuskan menjadi norma-norma

hukum yang tertulis, yang disusun menurut sistem hukum adat. UUPA dapat

dinyatakan sebagai hasil penuangan hukum adat dalam peraturan perundang-

undangan sebagai hukum yang tertulis.5 Dengan kata lain, konsepsi/falsafah, asas-

asas, dan lembaga hukum serta sistem pengaturan yang menjadi isi politik HTN

terutama diperoleh dari hukum adat.6

Hukum Adat sebagai pelengkap HTN, artinya jika suatu soal belum atau

belum lengkap mendapat pengaturan dalam HTN, yang berlaku terhadapnya

adalah ketentuan Hukum Adat (Pasal 56, 58 UUPA). 7 Menurut Nurhasan Ismail,

UUPA dilihat dari kandungan nilai sosialnya dikategorikan sebagai hukum

prismatik, karena berhasil menjadikan nilai sosial tradisional dan modern secara

bersamaan sebagai dasar menetapkan prinsip-prinsipnya. Kondisinya akan

menjadi lebih baik apabila terjadi koeksistensi antara kepentingan lokal dengan

kepentingan nasional.

Hubungan fungsional antara UUPA dengan hukum adat ini tampaknya

relevan dengan kondisi Negara Indonesia yang bercorak multikultural, multi etnik,

agama, ras dan multi golongan. Juga relevan dengan sesanti Bineka Tunggal Ika

5
Ibid, h. 206.
6
Oloan Sitorus dan H.M. Zaki Sierrad, 2006, Hukum Agraria di Indonesia Konsep
Dasar dan Implementasi, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta, h. 4.
7
Boedi Harsono, 2003, op.cit, h. 213.
5

yang secara de facto mencerminkan kemajemukan budaya bangsa dalam naungan

Negara Kesatuan Republik Indonesia (yang selanjutnya disebut NKRI). Jadi

warna pluralisme hukum tampaknya masih mendapat tempat, dibina dan

dikembangkan. Hubungan fungsional ini juga merefleksikan adanya tujuan

hukum yang tidak hanya secara konvensional diarahkan untuk menjaga

keteraturan dan ketertiban sosial (social order) dalam masyarakat yang fungsinya

hanya menekankan sebagai instrumen pengawasan sosial (social control). Pada

masyarakat yang lebih kompleks fungsi hukum kemudian dikembangkan sebagai

alat untuk merekayasa kehidupan sosial (social engineering) untuk mewujudkan

nilai kepastian hukum. Namun lebih dari itu fungsi hukum hendaknya dapat

ditingkatkan agar dapat memainkan peran sebagai instrumen untuk memelihara

dan memperkokoh integrasi bangsa dalam masyarakat yang bercorak

multikultural.

Secara filosofis pembentukan UUPA ditujukan untuk mewujudkan apa

yang digariskan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 (yang selanjutnya disebut UUD 1945), bahwa “bumi, air

dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Pernyataan ini mengandung arti bahwa menjadi kewajiban agar bumi, air,

dan ruang angkasa dan kekayaan alam yang diletakkan dalam kekuasaan negara

untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Kesejahteraan yang

dimaksudkan adalah kesejahteraan lahir batin, adil dan merata bagi seluruh rakyat
6

Indonesia.8 Mengacu pada pemikiran tersebut di atas, selayaknya dalam

implementasi UUPA tidak mesti ditemukan adanya kompetisi dengan hukum

adat, karena antara UUPA dengan hukum adat akan berfungsi saling melengkapi

(inter complementer) dan Saling menguntungkan (Simbiosis Mutualisme) dalam

upaya mengisi kekosongan hukum yang ada. Di samping itu selayaknya pula

dapat memberi rasa keadilan akan eksistensi terhadap hak ulayat sebagai hak

masyarakat hukum adat setempat.

Kenyataannya dalam beberapa kasus sengketa tanah yang ada dan terus

terjadi di Bali sampai saat ini justru menunjukkan adanya kompetisi antara UUPA

sebagai hukum negara (state law) di satu sisi dengan hukum adat sebagai hukum

rakyat (folks law) di sisi lain, yaitu adanya marginalisasi terhadap pengakuan dan

perlindungan hak ulayat khususnya mengenai hak penguasaan dan pemilikan atas

tanah adat oleh persekutuan hukum yang disebut desa adat. Kasus sengketa ini

juga terjadi disebabkan adanya perbedaan pandangan antar UUPA dengan Hukum

adat dalam memamahi makna “penguasaan dan pemilikan”, di mana penguasaan

yang dirasakan sebagai pemilikan dalam hukum adat, menurut UUPA belum

dapat disebut sebagai pemilikan, karena untuk terjadi pemilikan diperlukan

pendaftaran, dan hak milik akan dapat dibuktikan secara formal melalui sertifikat.

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik membuat tulisan dengan Judul

Makalah hutang-“Hutang - Hutang Pewaris Yang Diwariskan Kepada Ahli

8
H. Mohammad Hatta, 2005, Hukum Tanah Nasional dalam Perspektif Negara
Kesatuan, Media Abadi, Yogyakarta, h.1.
7

Waris Dan Eksistensi Tanah Di Bali Dalam Hubungannya Dengan

Pewarisan”.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apakah utang-utang pewaris dapat diwariskan kepada ahli waris?

2. Bagaimana eksistensi tanah di Bali dalam hubungan dengan pewarisan?

1.3. Tujuan Penulisan

1.3.1 Tujuan Umum:

1. Untuk mengetahui lebih mendalam mengenai hukum waris.

2. Untuk mengetahui lebih mendalam tentang utang-utang pewaris yang

diwariskan kepada ahli waris.

1.3.1 Tujuan Khusus:

1. Untuk lebih memahami tentang utang-utang pewaris yang diwariskan

kepada ahli waris.

2. Untuk lebih memahami mengenai eksistensi tanah di Bali dalam

hubungan dengan pewarisan.

1.4. Manfaat Penulisan

1.4.1. Manfaat Teoritis

1. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah wawasan dan

pengetahuan di bidang ilmu hukum yang berkaitan dengan utang-utang

pewaris yang diwariskan kepada ahli waris, serta eksistensi tanah di Bali

dalam hubungan dengan pewarisan.


8

2. Penulisan ini dapat dijadikan sebagai bahan penulisan selanjutnya di

lingkungan lembaga Fakultas Hukum Universitas Udayana dan sebagai

bahan referensi mengenai permasalahan yang sejenis pada perpustakaan.

1.4.2. Manfaat Praktis

Untuk dapat dijadikan pedoman dalam pembuatan karya ilmiah baik itu

pembuatan makalah maupun penelitian hukum lainnya, dan memberikan

pengalaman belajar dan melakukan penelitian bagi para mahasiswa lain mengenai

permasalahan yang sejenis sehingga mahasiswa mengetahui jalannya praktek

hukum di masyarakat secara langsung.


9

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Utang-Utang Pewaris Yang Diwariskan Kepada Ahli Waris.

Menurut J. Satrio dalam bukunya yang berjudul “Hukum Waris”

mengatakan bahwa warisan adalah kekayaan yang berupa kompleks aktiva dan

pasiva si pewaris yang berpindah kepada para ahli waris. 9 Jadi jika seseorang

menerima warisan dari pewaris, maka tidak hanya hartanya yang ia terima, tetapi

ia juga harus memikul utang pewaris, dan secara moral ahli waris yang berhak

adalah ahli waris yangmana menjalankan kewajiban alimentasi (pengurusan anak

terhadap orang tuanya semasa hidup). Hal tersebut sesuai dengan ketentuan pada

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) pada Pasal 1100, yang

menentukan: “para ahli waris yang telah bersedia menerima warisan, harus ikut

memikul pembayaran hutang, hibah wasiat dan beban-beban lain, seimbang

dengan apa yang diterima masing-masing dari warisan itu.” Maka seorang ahli

waris secara hukum memperoleh semua hak dan kewajiban pewaris, maka disini

terdapat konsekuensi yang tidak adil terhadap ahli waris, karena tidak menutup

kemungkinan jumlah utang pewaris melebihi aktiva pewaris.

Berdasarkan hal tersebut, dalam Pasal 1023 KUH Perdata mengatur

sebuah hak disebut dengan Hak Berpikir. Berikut bunyi pasal tersebut:

“Barangsiapa memperoleh hak atas suatu warisan dan sekiranya ingin

menyelidiki keadaan harta peninggalan itu, agar dapat

9
J. Satrio, op.cit., h. 8.
10

mempertimbangkan yang terbaik bagi kepentingan mereka, apakah

menerima secara murni, ataukah menerima dengan hak istimewa untuk

merinci harta peninggalan itu, ataukah menolaknya, mempunyai hak

untuk berpikir, dan harus memberikan pernyataan mengenai hal itu pada

kepaniteraan Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya warisan

itu terbuka; pernyataan itu harus didaftarkan dalam daftar yang

disediakan untuk itu.”

Dengan adanya hak ini, seorang ahli waris berhak melakukan

penyelidikan mengenai warisan tersebut agar dapat menentukan mana yang

terbaik bagi kepentingan ahli waris tersebut. Selanjutnya, berdasarkan

penyelidikan tersebut, ahli waris juga berhak menentukan apakah mau menolak

harta warisan tersebut, menerimanya secara murni, ataukah menerima dengan hak

istimewa untuk merinci harta peninggalan itu. Setelah membuat keputusan, ahli

waris harus memberikan pernyataan mengenai hal itu pada kepaniteraan

Pengadilan Negeri.

Jika ahli waris menerima warisan secara murni, maka ahli waris tersebut

bertanggung jawab terhadap seluruh hutang pewaris tersebut. Sedangkan, jika ahli

waris menerima warisan dengan hak istimewa (ahli waris beneficiair), maka dia

hanya bertanggung jawab terhadap hutang pewaris sebesar jumlah aktiva yang

diterimanya. J. Satrio menjelaskan bahwa ada sarjana yang berpendapat bahwa

para ahli waris beneficiair adalah debitur untuk seluruh utang-utang warisan,
11

hanya saja tanggung jawabnya terbatas hanya sampai sebesar aktiva harta

warisan saja.10

Lebih jelasnya mengenai hak istimewa ahli waris, terdapat dalam Pasal

1032 KUHPerdata yang berbunyi:

1. Bahwa ahli waris itu tidak wajib membayar hutang-hutang dan beban-

beban harta peninggalan itu Iebih daripada jumlah harga barang-barang

yang termasuk warisan itu, dan bahkan bahwa ia dapat membebaskan diri

dari pembayaran itu, dengan menyerahkan semua barang-barang yang

termasuk harta peninggalan itu kepada penguasaan para kreditur dan

penerima hibah wasiat.

2. Bahwa barang-barang para ahli waris sendiri tidak dicampur dengan

barang-barang harta peninggalan itu, dan bahwa dia tetap berhak

menagih pihutang-pihutangnya sendiri dari harta peninggalan itu.

Pada dasarnya, menurut hukum perdata seseorang dapat menerima

maupun menolak warisan yang diberikan kepadanya seperti yang tertulis pada

Pasal 1045 KUHPerdata, yang berbunyi: “Tiada seorang pun diwajibkan untuk

menerima warisan yang jatuh ke tangannya.”

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa warisan pewaris

dapat diterima ataupun ditolak oleh ahli waris, dalam hal ini warisan tersebut

dapat berupa harta kekayaan maupun utang-utang. Jika ahli waris menerima

warisan secara murni, maka para ahli waris selain menerima harta kekayaan

pewaris juga harus menerima dan membayar semua utang pewaris. Sedangkan,

10
J. Satrio, op.cit., h. 316.
12

jika para ahli waris menerima dengan hak istimewa, untuk diadakan perhitungan

aktiva dan pasiva warisan, maka para ahli waris beneficiair hanya perlu

membayar utang pewaris sebesar jumlah warisan yang diterimanya. Sehingga dari

penjelasan tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa utang-utang pewaris dapat

diwariskan kepada para ahli warisnya.

2.2. Eksistensi Tanah Di Bali Dalam Hubungan Dengan Pewarisan.

Tanah milik desa pakraman adalah salah satu bentuk tanah adat. Dalam

pengertian luas, istilah tanah adat dapat menunjuk kepada dua pengertian, yaitu

(1) tanah adat dalam pengertian sebagai tanah “bekas milik adat”; dan (2) tanah

milik masyarakat hukum adat. Dalam pengertian yang pertama, istilah tanah adat

merujuk kepada semua tanah orang Indonesia yang belum dikonversi menjadi

tanah dengan hak tertentu yang disebutkan dalam UUPA dan belum didaftarkan

pada Kantor Pertanahan setempat. Munculnya istilah tanah adat dalam pengertian

ini sebagai akibat dari berlakunya dualisme sistem hukum tanah pada jaman

Hindia Belanda yang diwarisi sampai tahun 1960, yaitu sampai dikeluarkan dan

diberlakukannya UUPA. Pada masa itu, dikenal dua golongan hak atas tanah,

yaitu: (1) tanah-tanah yang tunduk kepada Hukum Barat yang lazim disebut

Tanah Hak Barat, seperti: Hak Eigendom, Hak Opstal, Hak Erfpacht, dan Hak

Vruchtgebruik; (2) hak-hak tanah yang tunduk kepada hukum adat disebut dengan

tanah Hak Indonesia atau tanah adat, seperti: hak agrarische eigendom, milik,

andarbeni, yasan, hak atas druwe desa, pasini, altijddurende erfpacht grantsultan,

landerderijenbezitrecht, , hak usaha bekas tanah partikelir yang sederajat dengan

hak milik, hak gogolan, sanggan, pekulen, dan hak atas tanah yang sederajat
13

dengan Hak pakai, seperti bengkok, pituas, dan lain-lain. Tanahtanah hak Barat

diberlakukan bagi penduduk Hindia Belanda yang tunduk kepada Hukum Barat,

yaitu penduduk golongan Eropa, sedangkan Tanah Indonesia diberlakukan bagi

orang-orang yang tunduk kepada hukum adat, yaitu penduduk pribumi

(bumiputra).11

Mengenai istilah tanah adat digunakan dalam pengertian yang kedua,

yaitu sebagai tanah-tanah yang dikuasai oleh Kesatuan-Kesatuan Masyarakat

Hukum Adat (KMHA). Hak KMHA atas tanah diakui dalam Pasal 3 UUPA

dengan sebutan hak ulayat. Dalam literatur hukum adat, sebagaimana dikutip dari

Arisaputra, hak ini juga disebut dengan istilah hak pertuanan, sebagai terjemahan

dari istilah yang digunakan oleh Cornelis Van Vollenhoven, yaitu

beschikkingrecht.12

Dengan mengkonsepsikan tanah adat sebagai tanah hak dari KMHA,

dapat diidentifikasi adanya bermacam-macam tanah adat di Bali. Mahkamah

Konstitusi menyebutkan adanya 3 (tiga) golongan KMHA, yaitu: (1) KMHA yang

bersifat genealogis, yaitu KMHA yang terbentuk berdasarkan kriteria hubungan

keturunan darah; (2) KMHA yang bersifat fungsional, yaitu KMHA yang

terbentuk didasarkan atas fungsi-fungsi tertentu yang menyangkut kepentingan

11
Lombogia, C. B., 2017, Perolehan Hak Atas Tanah Melalui Penegasan Konversi
Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria, Lex Et Societatis,
5(5), URL: https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexetsocietatis/article/view/17705, diaskses pada
tanggal 13 Mei 2020, h. 137.
12
Arisaputra, M. I., 2011, Status Kepemilikan Dan Fungsi Tanah Dalam Persekutuan
Hidup Masyarakat Adat, Amanna Gappa, 19(4), URL:
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4078/Amanna%20Gappa%20Vol.%201
9%2c%20No.%204%20Desember%202011.pdf?sequence=1, diakses pada tanggal 13 Mei 2020,
h. 424.
14

bersama yang mempersatukan masyarakat hukum adat yang bersangkutan dan

tidak tergantung kepada hubungan darah atau pun wilayah; dan (3) KMHA yang

bersifat teritorial, yaitu KMHA yang pembentukannya bertumpu pada wilayah

tertentu di mana anggota KMHA yang bersangkutan hidup secara turun temurun

dan melahirkan hak ulayat yang meliputi hak atas pemanfaatan air, hutan, dan

sebagainya.

Di Bali, ketiga golongan KMHA itu eksis dalam kehidupan

masyarakatnya.13 Bentuk KMHA yang bersifat teritorial adalah desa pakraman

(dulu disebut: desa adat). Bentuk KMHA geneologis adalah dadia/panti atau

disebut dengan nama lain. Sehari-hari sebutan “dadia” atau “panti” dapat

menunjuk dua hal berbeda. Pertama, untuk menyebut satu unit tempat

persembahyangan bersama dari suatu kelompok orang yang berasal dari keturunan

yang sama. Tempat persembahyangan tersebut adalah pura dadia, yang kadang-

kadang hanya disebut dadia atau panti saja. Kedua, dapat merujuk kepada

kelompok orang (sekaa) yang berasal dari satu keturunan (wit) yang memuja

leluhur yang sama di pura dadia/panti tersebut. Kelompok tersebut kemudian

disebut sekaa dadia/sekaa panti. Bentuk KMHA fungsional yang ada di Bali

adalah Subak, yaitu organisasi dari kelompok masyarakat tani yang berfungsi

mengkordinasikan sistem pengaturan dan penggunaan air irigasi pada areal

persawahan tertentu. Ketiga KMHA itu (desa pakraman, dadia/panti dan subak)

memenuhi syarat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat sebagaimana

13
Windia, W.P. & Sudantra, K., 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Denpasar: Lembaga
Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, h. 39.
15

disebutkan dalam Keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Dalam

Putusan Nomor 31/PUU-V/2007 tentang Pengujian UU Nomor 31 Tahun 2007

tentang Pembentukan Kota Tual di Provinsi Maluku terhadap UUD NRI 1945.

Dalam Putusan yang dibacakan pada 18 Juni 2008 itu Mahkamah Konstitusi

menyatakan bahwa suatu KMHA dapat dikatakan secara de fakto masih hidup

(actual existence) jika setidaknya mengandung unsur-unsur, yaitu: (1) adanya

masyarakat yang warganya memiliki perasaan kelompok (in-group feeling); (2)

adanya pranata pemerintahan adat; (3) adanya kekayaan dan/atau benda-benda

adat; dan (4) adanya perangkat norma hukum adat; serta (5) adanya wilayah

tertentu, khusus pada kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat territorial.

Tiap-tiap KMHA tersebut (teritorial, geneologis, dan fungsional)

mempunyai tempat persembahyangan bersama yang disebut pura, sebagai tempat

suci untuk menghubungkan warga kesatuan dengan Tuhan serta dewa-dewa

dan/atau roh leluhur yang disembah di pura tersebut. Hubungan warga kesatuan

masyarakat hukum adat dengan pura tersebut sangat kuat, bahkan dapat dipandang

bahwa pura adalah unsur pengikat utama yang mempersatukan warga kesatuan

secara spiritual maupun sosial-budaya. Bidang tanah di mana bangunan pura itu

berdiri disebut tanah tegak pura yang luasnya bervariasi tergantung kebutuhan.

Beberapa pura mungkin memiliki satu atau lebih bidang tanah lain yang berupa

lahan pertanian atau perkebunan (sawah, tegalan, hutan) yang hasilnya khusus

dimanfaatkan langsung atau pun tak langsung untuk kepentingan pura yang

bersangkutan, baik untuk pembangunan dan pelestarian bangunan pura atau pun

untuk keberlangsungan aktivitas-aktivitas sosial keagamaan (ritual) di pura


16

tersebut. Tanah ini lazim disebut tanah laba pura atau pelaba pura. Semua tanah

pura, baik tegak pura maupun pelaba pura, telah lama dapat didaftarkan dengan

status hak milik menurut UUPA karena berdasarkan SK Mendagri No SK.

DJA/1986, pura telah ditunjuk sebagai badan hukum keagamaan yang dapat

mempunyai hak milik atas tanah.

Di samping tanah pura, khusus kesatuan-kesatuan masyarakat hukum

adat desa pakraman juga memiliki tanah dengan beragam jenis dan karakter, baik

dilihat dari subyek yang menguasainya, fungsi dan pemanfaatannya, maupun

dilihat dari letak atau lokasi tanah adat yang bersangkutan. Secara umum, tanah-

tanah yang dikuasai KMHA desa pakraman disebut tanah desa atau tanah druwe

desa. Dilihat dari subyek yang menguasai dan/atau memanfaatkan tanah desa

tersebut, Suasthawa telah mengidentifikasi dengan cukup baik penggolongan

tanah desa tersebut, meliputi: (a) tanah desa yang dikuasai dan dimanfaatkan

secara langsung oleh desa pakraman; dan (b) tanah desa yang oleh desa diberikan

pemanfaatannya kepada perseorangan warga desa pakraman.14

Golongan yang pertama, yaitu tanah-tanah desa yang dikuasai dan

dimanfaatkan secara langsung oleh desa pakraman sebagai kesatuan. Pada

umumnya golongan tanah inilah yang disebut tanah druwe atau duwe desa dalam

arti sempit, sedangkan dalam arti luas konsep tanah druwe desa meliputi semua

golongan tanah desa di atas. Secara etimologis, istilah druwe atau duwe (”due”)

yang membentuk frasa ”druwe” atau “duwe desa” berarti ”kepunyaan” atau

14
Suasthawa D., M., 1987, Status dan Fungsi Tanah Adat di Bali Setelah Berlakunya
UUPA, CV Kayumas Agung, h. 42.
17

”milik”, sehingga konsep tanah druwe desa sesungguhnya adalah konsep hak

milik, dalam hal ini milik komunal desa pakraman.15

Tanah-tanah druwe desa ini meliputi berbagai bidang tanah dengan

fungsi dan pemanfaatan yang beragam, mulai dari bidang-bidang tanah yang

dimanfaatkan untuk fungsi-fungsi keagamaan, seperti untuk mendirikan bangunan

pura (tegak pura) ataupun bidang tanah yang hasilnya dimanfaatkan untuk

kepentingan pura milik desa pakraman (laba pura); fungsi-fungsi ekonomi, seperti

untuk pasar desa, pertokoan, lahan parkir, dan lain-lain; maupun bidang tanah

untuk fungsi-fungsi sosial-budaya, untuk balai pertemuan (balai banjar, balai desa,

wantilan), untuk kegiatan olah raga atau aktivitas sosial lainnya (tanah lapang);

bidang tanah untuk tempat menguburkan jenazah dan prosesi ritual kremasi

jenazah (tanah setra), dan sebagainya. Letak atau lokasi tanah druwe desa ini

umumnya terletak di wilayah (wawidangan) desa, tetapi tidak selalu demikian.

Beberapa desa pakraman justru memiliki tanah druwe di luar wilayah desa

pakraman, misalnya yang diperoleh melalui transaksi jual-beli atau tukar

menukar.

Golongan kedua adalah tanah-tanah desa yang oleh desa pakraman

diserahkan penguasaan dan pemanfaatannya kepada warga yang menjadi anggota

dari desa pakraman bersangkutan (krama desa). Dilihat dari fungsinya, tanah-

tanah yang termasuk golongan ini ada 2 (dua) macam, yaitu pertama adalah tanah

pekarangan desa (tanah PKD) atau disebut dengan nama lain, seperti tanah tegak

desa, karang kawis, dan lain-lain. Ini adalah tanah-tanah desa yang oleh desa
15
Anandakusuma, S.R., 1986, Kamus Bahasa Bali. CV Kayumas, Denpasar, h. 45- 48.
18

diserahkan pemanfaatannya kepada krama desa untuk tempat tinggal. Umumnya

luas tanah pekarangan desa ini untuk masing-masing krama desa memiliki luas

tertentu dan seragam untuk semua krama desa, misalnya sekitar 200 m² atau 400

m² (?) sehingga disebut sikut satak (Ind.: sikut=ukuran; satak=200; samas=400).

Di samping tanah pekarangan desa, ada juga bidangbidang tanah desa, berupa

lahan pertanian, yang oleh desa diserahkan kepada krama desa untuk dikelola.

Hasil dari tanah-tanah itu sepenuhnya menjadi hak warga yang mengelolanya,

digunakan untuk nafkah keluarga krama desa yang bersangkutan dan sebagian

lainnya digunakan untuk menunaikan kewajiban-kewajiban berupa materi (barang

atau uang) yang diserahkan kepada desa (disebut: pawedalan/papeson) secara

rutin atau pun insidental, misalnya iuran (disebut: peturunan) untuk kegiatan

sosialkeagamaan di desa tersebut, pembangunan atau perbaikan pura, balai

pertemuan, dan lain-lain.

Walaupun mempunyai fungsi berbeda, terdapat karakter yang sama

melekat pada tanah pekarangan desa dan tanah ayahan desa. Pertama, baik tanah

pekarangan desa mau pun tanah ayahan desa mirip hak perseorangan, dapat

dikelola dan hasilnya dinikmati sendiri, serta dapat diwariskan. Kedua, setiap

pemegang hak atas tanah pekarangan desa dan tanah ayahan desa harus

melaksanakan seperangkat kewajiban-kewajiban kepada desa, baik berupa

kewajiban fisik (tenaga) ataupun materi (uang atau barang), sebagai kompensasi

dari haknya itu. Kewajiban-kewajiban itu disebut ayahan. Apabila kewajiban-

kewajiban tersebut dilalaikan, maka sampai batas-batas tertentu desa dapat

mengambil tindakan untuk mengambil alih kekuasaan terhadap tanah tersebut. Itu
19

menunjukkan, bahwa sesungguhnya hak yang dikuasai oleh krama desa atas tanah

desa tersebut adalah apa yang dalam kepustakaan hukum adat disebut hak milik

terikat.

Dewasa ini, mungkin agak sulit mengidentifikasi tanah-tanah desa yang

termasuk golongan ini, bahkan di beberapa tempat sudah terjadi kekaburan antara

tanah pekarangan desa dan tanah ayahan desa di satu pihak dengan bidang-bidang

tanah hak milik perseorangan (tanah kedidi) di pihak lainnya. Kondisi ini

disebabkan beberapa hal. Pertama, memang tidak semua desa pakraman memiliki

tanah pekarangan desa dan/atau tanah ayahan desa. Desa-desa pakraman yang

memiliki tanah pekarangan desa pun, keanggotaannya tidak semua berdasarkan

sistem ngemong karang ayahan (Ind. = menguasai tanah desa). Apabila suatu desa

menganut sistem keanggotaan ngemong karang ayahan, kewajiban krama desa

dibedakan antara krama desa yang menguasai tanah desa dengan krama desa yang

tidak menguasai tanah desa. Krama desa yang menguasai tanah desa disebut

krama ngarep, atau disebut dengan nama lain, mempunyai tanggung jawab penuh

(memungkul) kepada desa, sedangkan krama desa yang tidak menguasai tanah

desa, disebut krama ngele atau nama lain, hanya dibebani kewajiban setengahnya

(sibak) dari kewajiban krama ngarep, atau bahkan di beberapa tempat mereka

bebas dari kewajiban-kewajiban kepada desa. Di desa-desa lain, yaitu desa yang

menganut sistem keanggotaan mapikuren (Ind.= berumah tangga), semua warga

desa yang sudah berumah tangga mempunyai hak dan kewajiban yang sama, tidak

penting apakah yang bersangkutan menguasai tanah desa atau tidak. Pada desa-

desa yang termasuk golongan ini, tentu sulit membedakan status tanah yang
20

ditempati oleh setiap krama desa, apakah menempati tanah pekarangan desa

ataukah menempati tanah hak milik perseorangan (tanah kedidi, tanah gunakaya).

Kehidupan masyarakat Bali terus bergerak. Globalisasi serta

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memberikan pengaruh yang luar

biasa terhadap perkembangan masyarakat. Proses modernisasi secara perlahan

tetapi pasti telah mengubah pola pikir dan pandangan masyarakat Bali dalam

memaknai tanah dan kehidupannya. Lebih-lebih, kemajuan pariwisata telah

mendorong pesatnya pembangunan sarana dan prasarana pariwisata, tidak hanya

di daerah perkotaan tetapi juga merambah ke pelosok-pelosok perdesaan,

membuat nilai dan kebutuhan akan tanah terus meningkat. Pembangunan fasilitas

pariwisata, seperti hotel, resort, villa, restoran, dan lain-lain, telah menjadikan

tanah sebagai komoditas yang sangat bernilai ekonomi tinggi dan melemahkan

nilai-nilai sosial-religiusnya. Perkembangan pariwisata yang pesat ini dibarengi

semakin menguatnya nilai-nilai individualisme dalam masyarakat membuat

egoisme dan keserakahan masyarakat untuk mengejar kesenangan pribadi

(hedonisme) semakin tidak terkendali. Kondisi tersebut berpengaruh terhadap pola

pengelolaan tanah adat yang semula lebih bersifat komunal dan religius mengarah

kepada pengelolaan yang bersifat individual untuk dimanfaatkan bagi

kesejahteraan dan kepentingan pribadi semata.


21

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

3.1.1 Utang-Utang Pewaris dapat diwariskan oleh Pewaris kepada Ahli Waris

yangmana dalam hal Ahli Waris menerima Warisan tersebut tetapi utang-

utang yang ada hanya dapat ditagih sebesar harta peninggalan semata dan

Ahli Waris bila ahli waris menerima dengan hak istimewa (ahli

waris beneficiair) dan membayar penuh sampai dengan harta pribadinya

bila ia menerima warisan secara murni walaupun Pada Dasarnya Ahli

Waris dapat menolak harta warisan yangmana didalamnya beserta utang-

utangnya.

3.1.2. Tanah Adat di Bali sebagai eksistensi berupa harta warisan yang

bilamana secara hukum terdapat sertifikat kepemilikan tanah pribadi oleh

pewaris sehingga tanah dapat diwariskan mengingat peran desa adat

dalam hal ini cenderung pasif, sedangkan tanah adat bali yang saat ini

diakuinya Kesatuan-Kesatuan Masyarakat Hukum Adat (KMHA)

tentunya hak tanah ulayat bilamana desa adat berperan aktif maka tidak

dapat diwariskan melainkan hanya keputusan Adat yang dapat

menentukan Tanah Adat tersebut untuk siapa diberikannya hak

mengelola tanah adat tersebut meliputi Anggota Desa Adat.


22

3.2. Saran

3.2.1. Untuk Masyarakat, agar lebih mengetahui dan menambah wawasan

mengenai Pewarisan, sehingga mengetahui hak dan kewajibannya

masing-masing serta memandang warisan sebagai tanggung jawab juga

bukan hanya sebagai hak yang dapat dinikmati semata.

3.2.2. Untuk Desa Adat di Bali, agar lebih proaktif dalam hal menangani

masalah tanah adat sehingga semua tanah adat yang ada jelas

keberadaannya da nasal-usulnya sehingga tidak akan menjadi

perseleisihan kembali di dalam lingkup desa adat itu sendiri.


23

DAFTAR PUSTAKA

1. Literatur

Anandakusuma, S.R., 1986, Kamus Bahasa Bali. CV Kayumas. Eman Suparman,

2005, Hukum Waris Indonesia, PT. Rineka Aditama, Bandung.

Boedi Harsono, 2003, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan UUPA Isi

dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta.

H. Mohammad Hatta, 2005, Hukum Tanah Nasional dalam Perspektif Negara

Kesatuan, Media Abadi, Yogyakarta.

J. Satrio, 1992, Hukum Waris, Penerbit Alumni, Bandung.

Oloan Sitorus dan H.M. Zaki Sierrad, 2006, Hukum Agraria di Indonesia Konsep

Dasar dan Implementasi, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta.

Suasthawa D., M., 1987, Status dan Fungsi Tanah Adat di Bali Setelah

Berlakunya UUPA, CV Kayumas Agung.

Windia, W.P. & Sudantra, K., 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Denpasar:

Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas

Udayana.

2. Jurnal

Lombogia, C. B., 2017, Perolehan Hak Atas Tanah Melalui Penegasan Konversi

Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok

Agraria, Lex Et Societatis, 5(5), URL:


24

https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexetsocietatis/article/view/17705,

diaskses pada tanggal 13 Mei 2020.

Arisaputra, M. I., 2011, Status Kepemilikan Dan Fungsi Tanah Dalam

Persekutuan Hidup Masyarakat Adat, Amanna Gappa, 19(4), URL:

http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4078/Amanna%

20Gappa%20Vol.%2019%2c%20No.%204%20Desember%202011.pdf?se

quence=1, diakses pada tanggal 13 Mei 2020.

3. Peraturan PerUndang-Undangan

Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1960 Nomor 104).

KUHPerdata Indonesia.

4. Putusan Pengadilan

Putusan Nomor 31/PUU-V/2007 tentang Pengujian UU Nomor 31 Tahun 2007

tentang Pembentukan Kota Tual di Provinsi Maluku terhadap UUD NRI

1945.

Anda mungkin juga menyukai