Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

HUKUM WARIS

MENGENAL HUKUM WARIS PERDATA, HUKUM WARIS ISLAM, DAN HUKUM


WARIS ADAT DI INDONESIA

Disusun Oleh :

WIBI DHANU PRAKOSO

1812011100

MATA KULIAH : HUKUM WARIS

DOSEN : DR. NUNUNG RODLIYAH, M.A.

FAKULTAS HUKUM

Universitas Lampung

Jl. Prof. Dr. Ir. Sumantri Brojonegoro No.1, Gedung Meneng, Rajabasa, Bandar Lampung,
Provinsi Lampung, Telp : (0721) 35145

Tahun Ajaran 2019/2020

KATA PENGANTAR
Puji syukur saya agungkan ke hadirat Allah SWT karena berkat Rahmat dan
Karunia-Nya yang begitu besar, saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan harapan dapat
bermanfaat dalam menambah ilmu dan wawasan kita terhadap materi mata kuliah terutama
dalam Hukum Waris. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester
(UAS) pada mata kuliah Hukum Waris, dengan judul makalah ini adalah “Mengenal Hukum
Waris Perdata, Hukum Waris Adat, dan Hukum Waris Islam”.

Dalam membuat makalah ini, dengan keterbatasan ilmu pengetahuan serta


wawasan yang saya miliki, saya berusaha mendalami dan memahami materi ini, yang
diantaranya berasal dari artikel – artikel serta buku atau literatur yang saya dapatkan.
Kegiatan penyusunan makalah ini memberikan saya tambahan ilmu pengetahuan serta
wawasan yang dapat bermanfaat sebagai dasar pembelajaran dan menambah wawasan
mengenai berbagai hukum waris yang ada dan bagaimana sistem hukum waris tersebut yang
ada dan berlaku dalam sistem hukum di Indonesia.

Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang sangat
membantu dalam pembuatan makalah ini. Dan sebagai manusia biasa, saya sadar bahwa
dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu saya berharap
akan adanya masukan yang membangun sehingga makalah ini dapat bermanfaat baik bagi
saya maupun pembaca.

Bandar Lampung, 27 Mei 2020

Atas Nama

WIBI DHANU PRAKOSO (1812011100)

v
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................ v

DAFTAR ISI .......................................................................................................................... vi

BAB I

PENDAHULUAN ...................................................................................................................1

1.1. Latar

Belakang ...............................................................................................................................1

1.2. Rumusan

Masalah ................................................................................................................................2

1.3. Tujuan

Penulisan ..............................................................................................................................2

BAB II

ISI ..............................................................................................................................................3

2.I. Landasan Teori.....................................................................................................................3

2.2. Ulasan Materi .....................................................................................................................4

2.2.1. Hukum Waris Perdata.................................................................................................4

2.2.2. Hukum Waris Islam..................................................................................................10

2.2.3. Hukum Waris Adat...................................................................................................14

BAB III

PENUTUP ..............................................................................................................................19

3.1. Kesimpulan ...........................................................................................................19

3.2. Saran .....................................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................................20

vi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Manusia dalam menjalankan hidupnya di dunia pasti mengalami proses perjalanan


hidup yakni kelahiran, kehidupan seperti yang sedang kita alami sekarang, dan kemudian satu
hal yang pasti akan kita alami kelak yaitu kematian. Semua tahap dan proses tersebut
membawa pengaruh dan akibat hukum kepada lingkungan sekitarnya, terutama dengan orang
yang dekat dengannya, baik dekat dalam arti nasab atau kekerabatan, maupun dekat dalam
arti lingkungan.

Dalam kelahiran membawa akibat timbulnya hak dan kewajiban bagi dirinya dan
orang lain, serta timbulnya hubungan hukum antara dia dengan orang tua, kerabat dan
masyarakat lingkungan sekitarnya dan lingkungan dimana ia hidup.
Demikian juga dengan kematian, seseorang membawa pengaruh dan akibat hukum kepada
dirinya, kepada keluarga, masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Selain itu, kematian tersebut
kemudian akan menimbulkan kewajiban orang lain bagi dirinya (si mayit) yang berhubungan
dengan pengurusan jenazahnya. Dan dengan kematian timbul pula akibat hukum lain secara
otomatis, yaitu adanya hubungan ilmu hukum yang menyangkut hak para keluarganya (ahli
waris) terhadap seluruh harta peninggalannya.1

Dengan adanya proses kematian seseorang tersebut, maka akan menimbulkan lahirnya
cabang ilmu hukum yang menyangkut bagaimana cara penyelesaian harta peninggalan
seseorang kepada keluarganya yang dikenal dengan nama Hukum Waris. Yang di dalam
syari’at Islam ilmu ini dikenal dengan nama Ilmu Mawaris, Fiqih Mawaris, atau Faraidh.

Di Indonesia terdapat tiga macam hukum waris yang masih berlaku, diantaranya yaitu
Hukum Waris Perdata, Hukum Waris Adat, serta Hukum Waris Islam.
Dalam hukum waris ini ditentukanlah orang – orang atau siapa sajakah subjek hukum yang
menjadi ahli waris, siapa saja yang berhak mendapatkan bagian harta waris tersebut,
berapakah bagian masing-masing yang akan didapatkan, bagaimanakah ketentuan pembagian
harta tersebut, serta diatur pula berbagai hal yang berhubungan dengan persoalan pembagian
harta waris.

1
Musthafa. 2009. Fiqih Islam. (Bandung: Media Zhikir Solo).hlm.37.

1
1.2. Rumusan Masalah

1) Bagaimana pengaturan tentang Hukum Waris Perdata ?


2) Bagaimana pengaturan tentang Hukum Waris Islam ?
3) Bagaimana pengaturan tentang Hukum Waris Adat ?

1.3. Tujuan Penulisan

1) Untuk mempelajari serta mengetahui bagaimana pengaturan tentang Hukum Waris


Perdata;
2) Untuk mempelajari serta mengetahui bagaimana pengaturan tentang Hukum Waris
Islam;
3) Untuk memperlajari serta mengetahui bagaimana pengaturan tentang Hukum Waris
Adat.

2
BAB II

ISI

2.1. Landasan Teori

Warisan adalah suatu hal yang penting bagi kehidupan manusia, terkhusus sebagai
orang yang cakap dan mampu secara hukum. Tidak hanya untuk diri sendiri, melainkan juga
untuk anak, cucu, keturunan kelak. Meskipun dinilai penting, namun sering terjadi perihal
pembagian harta warisan ini menimbulkan berbagai permasalahan, baik secara bentuk nilai
pembagiannya maupun siapa saja orang yang mendapatkan harta warisan. Maka tidak heran,
karena permasalahan ini banyak juga orang yang putus tali persaudaraannya karena perihal
hak waris. Permasalahan utamanya yakni biasanya karena perbedaan pendapat mengenai
kesetaraan dan keadilan. Meskipun aturan dan perhitungannya cukup rumit, maka perlu
dipelajari dari sekarang.

Menurut pakar hukum Indonesia, Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro (1976), hukum
waris diartikan sebagai hukum yang mengatur tentang kedudukan harta kekayaan seseorang
setelah pewaris meninggal dunia, dan cara-cara berpindahnya harta kekayaan itu kepada
orang lain atau ahli waris.2

Meskipun pengertian hukum waris tidak tercantum dalam Kitab Undang-Undang


Hukum Perdata (KUH Perdata), namun tata cara pengaturan hukum waris tersebut diatur oleh
KUH Perdata. Sedangkan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, hukum waris
adalah hukum yang mengatur pemindahan hak pemilikan atas harta peninggalan pewaris, lalu
menentukan siapa saja yang berhak menjadi ahli waris dan berapa besar bagian masing-
masing.

Unsur – Unsur Hukum Waris

Membicarakan hukum waris tidak terlepas dari beberapa unsur yang terikat. Adapun
unsur-unsur tersebut sebagai berikut:

1. Pewaris
Pewaris adalah orang yang meninggal dunia atau orang yang memberikan warisan
disebut pewaris. Biasanya pewaris melimpahkan baik harta maupun kewajibannya
atau hutang kepada orang lain atau ahli waris.
2. Ahli Waris
Ahli waris adalah orang yang menerima warisan disebut sebagai ahli waris yang
diberi hak secara hukum untuk menerima harta dan kewajiban atau hutang yang
ditinggalkan oleh pewaris.
3. Harta Warisan
Warisan adalah segala sesuatu yang diberikan kepada ahli waris untuk dimiliki
pewaris, baik itu berupa hak atau harta seperti rumah, mobil, dan emas maupun
kewajiban berupa hutang.

2
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, (Jakarta: Sumur Bandung, 1976), hlm.8.

3
2.2. Ulasan Materi

2.2.1. Hukum Waris Perdata

A. Pengertian Hukum Waris

Hukum waris ( erfrecht ) yaitu seperangkat norma atau aturan yang mengatur
mengenai berpindahnya atau beralihnya hak dan kewajiban berupa harta kekayaan dari orang
yang meninggal dunia ( pewaris ) kepada orang yang masih hidup ( ahli waris) yang berhak
menerimanya. Atau dengan kata lain, hukum waris yaitu peraturan yang mengatur
perpindahan harta kekayaan orang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang
lain.3

Menurut A. Pitlo, hukum waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur hukum
mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan
kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang orang
yang memperolehnya baik dalam hubungan antara mereka dengan mereka maupun
dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.4

Menurut R. Subekti, hukum waris mengatur hal ihwal tentang benda atau
kekayaan seseorang jikalau ia meninggal dunia. Dapat juga dikatakan, hukum waris itu
mengatur akibat-akibat hubungan kekeluargaan terhadap harta peninggalan seseorang.5

Dari pendapat para ahli hukum tersebut diatas, maka disimpulkan secara umum
bahwa hukum waris adalah hukum yang mengatur tata cara perpindahan atau pengalihan
harta warisan dari orang yang sudah meninggal (pewaris) baik berupa harta benda yang dapat
dinilai dengan uang maupun utang piutang kepada orang yang berhak mewarisinya (ahli
waris) baik menurut Undang Undang maupun surat wasi’at sesuai bagian yang telah
ditentukan dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata.

B. Unsur – Unsur Hukum Waris

Menurut Anisitus Amanat, dalam hal kewarisan terdapat tiga unsur penting6, yaitu :

1. Pewaris (erflater);
2. Ahli Waris (erfgenaam);
3. Harta Peninggalan (boedel).

Ad 1. Pewaris (Erflater)

Tidak semua orang yang meninggal dunia, disebut pewaris karena syarat untuk dapat
disebut pewaris adalah orang yang meninggal dunia tersebut harus meninggalkan
3
Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian menurut Kitab Undang – Undang Hukum
Perdata. (Jakarta:Rineka Cipta,2004), hal.20
4
A. Pitlo Hukum Waris Menurut Kitab Undang Undang Hukum Perdata Belanda, terjemahan oleh Isa
Arief (Jakarta lntermasa 1979) hlm. 1
5
Subekti, Pokok Pokok Hukum Perdata, cet. XXVI, (Jakarta lntermasa 1985) hlm. 17.
6
Anisitus Amanat, Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum Perdata BW, cet. III (Jakarta
Raja Grafindo Persada 2003) hlm. 6-l3.

4
pelbagai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi pada pihak ketiga yang dapat dinilai
dengan uang yang disebut dengan harta peninggalan.

Ad 2. Ahli Waris (erfgenaam)

Ahli waris adalah orang yang menggantikan pewaris dalam kedudukan hukum
mengenai harta peninggalannya, baik untuk seluruhnya maupun untuk bagian yang
sebanding. Penggantian hak oleh mereka atas harta peninggalan pewaris untuk
seluruhnya atau untuk bagian yang sebanding, membuat mereka menjadi orang yang
memperoleh hak dengan titel umum.

Ad 3. Harta Peninggalan (boedel)

Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan pewaris untuk dibagi bagikan
kepada orang yang berhak mewarisinya. Namun demikian tidak semua harta yang
ditinggalkan pewaris secara otomatis bisa dibagi bagikan kepada orang yang berhak
mewarisinya, karena harus dilihat terlebih dahulu apakah harta yang ditinggalkan
pewaris tersebut harta campur atau bukan.

Sedangkan, menurut Abdul Kadir Muhammad, bahwa unsur-unsur kewarisan adalah


sebagai berikut7 :

1. Adanya subyek hukum, yaitu adanya anggota keluarga yang meninggal dunia,
anggota keluarga yang ditinggalkan dan orang yang diberi wasi’at;
2. Status hukum, yaitu anggota anggota keluarga yang ditinggalkan pewaris
sebagai ahli waris yang terdiri atas anak anak dan suami / isteri pewaris dan
orang orang sebagai penerima wasi’at dari pewaris;
3. Peristiwa hukum, yaitu adanya anggota keluarga yang meninggal dunia yang
disebut pewaris;
4. Hubungan hukum, yaitu timbulnya hak dan kewajiban ahli waris terhadap
pewaris mengenai harta peninggalan pewaris dan penyelesaian semua utang
pewaris;
5. Obyek hukum, yaitu pasiva dan aktiva pewaris berupa harta peninggalan dan
utang utang pewaris.

C. Sistem Hukum Kewarisan menurut KUH Perdata (BW)

Di dalam Hukum Waris Perdata, dikenal ada dua cara untuk mendapatkan warisan8,
yaitu :

1. Ketentuan undang-undang atau wettelijk Erfrecht atau Abintestato, yaitu ahli waris
yang telah diatur dalam undang-undang untuk mendapatkan bagian dari warisan,
karena hubungan kekeluargaan atau hubungan darah dengan si meninggal.

7
Abdul Kadir Muhammad, Pokok Pokok Hukum Perdata Indonesia, cet. Revisi (Bandung PT. Citra
Adytia 2010) hlm. 195.
8
Darmabrata, Wahyono. 2003. Hukum Perdata Asas-Asas Hukum Waris. (Jakarta : CV Gitama
Jaya), hal. 41.

5
2. Testament atau wasiat atau testamentair erfrecht, yaitu ahli waris yang mendapatkan
bagian dari warisan, karena ditunjuk atau ditetapkan dalam suatu surat wasiat yang
ditinggalkan oleh si meninggal.

Ahli waris menurut undang-undang (abintestato), yaitu karena kedudukannya sendiri


menurut undang-undang, demi hukum dijamin tampil sebagai ahli waris, sedangkan ahli
waris menurut surat wasiat (ad Testamento), yaitu ahli waris yang tampil karena “ kehendak
terakhir” dari si pewaris, yang kemudian dicatatkan dalam surat wasiat (testament). Ahli
waris yang tampil menurut surat wasiat, atau testamentair erfrecht, dapat melalui dua cara
yaitu Erfstelling, yang artinya penunjukan satu/beberapa orang menjadi ahli waris untuk
mendapatkan sebagian atau seluruh harta peninggalan, sedangkan orang yang ditunjuk
dinamakan testamentair erfgenaam, yang kemudian dicatat dalam surat wasiat, cara kedua
yaitu Legaat (hibah wasiat), adalah pemberian hak kepada seseorang atas dasar
testament/wasiat yang khusus, orang yang menerima legat disebut legataris. Pemberian dalam
wasiat tersebut baru dapat dilaksanakan, setelah pemberi hibah wasiat (pewaris) meninggal
dunia.9

Dalam hukum waris berlaku suatu asas, bahwa hanyalah hak-hak dan kewajiban-
kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan. Dengan
kata lain hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dinilai dengan uang saja
(Subekti, 1993: 95).

Bila orang yang meninggal dunia tidak membuat testamen, maka dalam Undang-
undang Hukum Perdata ditetapkan pembagian warisan sebagai berikut10:

a) Yang pertama berhak mendapat warisan yaitu suami atau isteri dan anak-anak, masing
– masing berhak mendapat bagian yang sama jumlahnya (pasal 852 BW).
b) Apabila tidak ada orang sebagaimana tersebut di dtas, maka yang kemudian berhak
mendapat warisan adalah orang tua dan saudara dari orang tua yang meninggal dunia,
dengan ketentuan bahwa orang tua masing-masing sekurang-kurangnya mendapat
seperempat dari warisan (pasal 854 BW).
c) Apabila tidak ada orang sebagaimana tersebut di atas, maka warisan dibagi dua,
separuh untuk keluarga pihak ibu dan separuh lagi untuk pihak keluarga ayah dari
yang meninggal dunia, keluarga yang paling dekat berhak mendapat warisan. Jika
anak-anak atau saudara-saudara dari pewaris meninggal dunia sebelum pewaris, maka
tempat mereka diganti oleh keturunan yang sah (pasal 853 BW).

Menurut ketentuan pasal 838 KUH Perdata, yang dianggap tidak patut menjadi ahli
waris dan karenanya tidak berhak mewaris ialah:

a) Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba
membunuh pewaris.

9
Surani Ahlan Sjarif, 1982. Intisari Hukum Waris Menurut Bergerlijk Wetboek, (Jakarta : Ghalia
Indoneisa), hal. 14.
10
Subekti. 1987. Pokok – Pokok Hukum Perdata. (Jakarta : PT. Intermasa), hlm.63

6
b) Mereka yang dengan putusan hakim Pengadilan dipersalahkan karena dengan fitnah
telah mengajukan pengaduan terhadap pewaris mengenai suatu kejahatan yang
diancam dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau hukuman yang lebih
berat.
c) Mereka yang dengan kekerasan telah mencegah pewaris membuat atau mencabut
surat wasiatnya.
d) Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat pewaris.

D. Asas Hukum Waris Perdata

Dalam hukum waris berlaku asas, bahwa hanya hak dan kewajiban dalam lapangan
hukum harta benda saja yang dapat diwariskan. Atau hak dan kewajiban yang dapat dinilai
dengan uang. Jadi hak dan kewajiban dalam lapangan hukum kekeluargaan atau kepribadian,
misalnya hak dan kewajiban sebagai suami atau ayah, tidak dapat diwariskan.11

Selain itu berlaku juga asas, bahwa apabila seorang meninggal dunia, maka seketika
itu pula segala hak dan kewajibannya beralih pada ahli warisnya. Asas ini dalam bahasa
Perancis disebut “ le mort saisit le vif “. Sedangkan pengoperan segala hak dan kewajiban
dari si pewaris oleh para ahli waris disebut “ saisine “.

Ada juga asas yang disebut dengan “ hereditatis petition “ yaitu hak dari ahli waris
untuk menuntut semua yang termasuk dalam harta peninggalan dari si pewaris terhadap orang
yang yang menguasai harta warisan tersebut untuk diserahkan padanya berdasarkan haknya
sebagai ahli waris. Asas ini diatur dalam pasal 834 BW.

Selain itu ada juga asas “ de naaste in het bloed, erft het goed “ yang artinya yang
berdarah dekat, warisan didapat. Dan untuk mengetahui kedekatan tersebut, harus dilakukan
perhitungan dan untuk ini dipakai ukuran perderajatan dengan rumus X-1. Semakin besar
nilai derajat, maka semakin jauh hubungan kekeluargaan dengan si pewaris. Begitu juga
sebaliknya, semakin kecil nilai derajat, maka semakin dekat hubungan darah dengan si
pewaris. Misal : ukuran derajat seorang anak kandung dengan si pewaris adalah 2-1=1
derajat.

E. Penggolongan Ahli Waris dan Pembagiannya

Ada dua macam ahli waris yang diatur dalam undang - undang yaitu Ahli Waris
berdasarkan hubungan perkawinan dan hubungan darah, dan Ahli Waris berdasarkan surat
wasiat. Ahli Waris yang pertama disebut Ahli Waris ab intestato, sedangkan yang kedua
disebut dengan Ahli Waris testamentair.

Ahli Waris ab intestato diatur dalam pasal 832 KUHPdt, dinyatakan bahwa yang
berhak menjadi Ahli Waris adalah para keluarga sedarah dan istri (sumi) yang masiih hidup
dan jika ini semua tidak ada, maka yang berhak menjadi Ahli Waris adalah Negara.

11
Subekti, dan R. Tjitrosudibio. 1992. Kitab Undang – Undang Hukum Perdata dengan tambahan Undang –
Undang Pokok Agraria dan Undang – Undang Perkawinan.(Balai Pustaka : Jakarta),hlm.128

7
Pertanyaannya adalah siapa sajakah yang termasuk dalam keluarga sedarah yang berhak
mewaris itu?

Untuk menjawabnya kita dapat melihat dalam B.W., dimana Ahli Waris dibedakan
menjadi 4 (empat) golongan ahli waris, yaitu 12:

1. Golongan I
Golongan ini terdiri dari anak dan keturunannya kebawah tanpa batas beserta janda
atau duda. Menurut ketentuan pasal 852 KUHPdt, anak – anak walaupun dilahirkan
dari perkawinan yang berlainan dan waktu yang berlainan, laki – laki atau perempuan
mendapatkan bagian yang sama, mewaris kepala demi kepala. Anak – anak yang
mewaris sebagai pengganti dari ayah (ibu) mewaris pancang demi pancang. Yang
dimaksud dengan pancang adalah semua anak dari seorang yang berhak mewaris,
tetapi telah meninggal terlebih dahulu.

Menurut ketentuan pasal 852 a KUHPdt, bagian seorang istri (suami) jika ada anak
dari parkawiannya dengan orang yang meninggal sama dengan bagian seorang anak
yang meninggal. Jika perkawinan itu bukan perkawinan yang pertama dan dari
perkawinan yang dahulu ada juga anak, maka baigan dari istri (suami) itu tidak boleh
lebih dari bagian terkecil dari anak – anak pewaris itu. Bagaimanapun juga seorang
istri tidak boleh lebih dari seperempat harta warisan.

Yang dimaksud dengan “terkecil” itu adalah bagian dari seorang anak yang dengan
ketetapan surat wasiat dapat berbeda – beda, asal tidak kurang dari legitieme portie.
Selanjutnya dalam pasal 852 b KUHPdt, ditentukan bahwa apabila istri (suami)
mewaris bersama – sama dengan orang – orang lain dari pada anak – anak atau
keturunannya dari perkawinannya yang dulu, maka ia dapat menarik seluruh atau
bagian prabot rumah tangga dalam kekuasannya. Yang dimaksud dengan “orang –
orang lain dari pada anak – anak” itu ialah orang – orang yang menjadi Ahli Waris
karena ditetapkan dengan surat wasiat. Harga perabot rumah tangga itu harus
dikurangkan dari bagian warisan istri (suami) itu. Jika harganya lebih basar dari pada
harga bagian warisannya maka harga kelebihan itu harus dibayar lebih dahulu pada
kawan warisnya.
2. Golongan II
Golongan ini terdiri dari ayah dan/atau ibu si pewaris beserta saudara dan
keturunannya sampai derajat ke 6 (enam). Menurut ketentuan pasal 854
KHUPdt,apabila seorang meninggal dunia tanpa meniggalkan keturunan maupun
istri(suami), sedangkan bapak dan ibunya masih hidup, maka yang berhak mewarisi
ialah bapak, ibu, dan saudara sebagai berikut :
a) Bapak dan ibu masing - masing mendapat sepertiga dari hrta warisan, jika
yang meninggal itu hanya mempunyai seorang saudara, yang mana mendapat
sepertiga lebihnya

12
Hasyim Soka, “Hukum Waris Perdata”, (https://hasyimsoska.blogspot.com/2011/07/hukum-waris-
perdata.html), diakses pada 29 Mei 2020, 2011.

8
b) Bapak dan ibu masing – masing mendapat seperempat dari harta warisan, jika
yang meninggal itu mempunyai lebih dari seorang saudara, yang mana
mendapat dua seperempat lebihnya.
Selanjutnya dalam pasal 855 KUHPdt ditentukan bahwa apabila orang yang
meninggal dunia itu tampa meninggalkan keturunan maupun istri (suami), sedangkan
bapak atau ibunya masih hidup, maka :
a) Bapak atau ibu mendapat seperdua dari harta warisan, jika yang meninggal itu
hanya mempunyai seorang saudara, yang mana mendapat seperdua lebihnya;
b) Bapak atau ibu mendapat sepertiga dari harta warisan, jika yang meninggal itu
mempunyai dua orang saudara yang mana mendapat duapertiga lebihnya;
c) Bapak atau ibu mendapat seperempat dari harta warisan, jika yang meninggal
itu mempunyai lebih dari dua orang saudara, yang mana mendapat
tigaperempat lebihnya.
Jika bapak dan ibu telah meninggal dunia, maka seluruh harta warisan menjadi bagian
saudara – saudaranya (pasal 856 KUHPdt). Pembagian antara saudara – saudara
adalah sama, jika mereka itu mempunyai bapak dan ibu yang sama. Apabila mereka
berasal dari perkawinan yang berlainan (bapak sama tetapi lain ibu, atau ibu sama
tetapi lain bapak), maka harta warisan dibagi dua. Bagian yang pertama adalah bagin
bagi garis bapak dan bagian yang kedua adalah bagian bagi garis ibu. Saudara –
saudara yang mempunyai bapak dan ibu yang sama mendapat bagian dari bagian dari
garis bapak dan garis ibu. Saudara – saudara yang hanya sebapak atau seibu dapat
baian dari bagian garis bapak atau garis ibu saja (Pasal 857). Apabila orang yang
mennggal dunia itu tidak meninggalkan keturunan istri atau suami, saudara,
sedangkan bapak atau ibunya masih hidup. Maka bapak atau ibunya yang masih hidup
itu mewarisi seluruh warisan anaknya yang meniggal dunia itu (pasal 859 KUHPdt).
3. Golongan III
Golongan ini terdiri dari keluarga sedarah menurut garis lurus ke atas.
Menurut ketentuan Pasal 853 dan Pasal 858 KUHPdt apabila orang yang meninggal
dunia itu tidak meninggalkan keturunan, maupun istri atau suami, saudara – saudara,
ataupun orang tua, maka warisan jatuh kepada kakek dan nenek.
Dalam hal ini warisan itu dibelah menjadi dua. Satu bagian diberikan kepada kakek
dan nenek yang diturunkan bapak dan satu bagian lagi diberikan kepada kakek dan
nenek yug menurunkan ibu. Apabila kakek dan nenek tidak ada, maka warisan jatuh
kepada orang tua kakek dan nenek (puyang). Apabila yang tidak ada itu hanya kakek
dan nenek, maka bagian jatuh pada garis keturunannya, dan menjadi bagian yang
masih hidup. Ahli waris yang terdekat derajatnya dalam garis lurus ke atas, mendapat
setengah warisan dalam garisnya dengan menyampingkan semua ahli waris lainnya.
Semua keluarga sedarah dalam garis lurus keatas dalam derajat yang sama mendapat
begian kepala demi kepala (bagian yang sama).
4. Golongan IV
Golongan ini terdiri dari keluarga sedarah dalam garis kesamping yang lebih jauh
sampai derajat ke 6 (enam). Apabila orang yang meninggal dunia itu tidak
meninggalkan keturunan, istri atau suami, saudara – saudara, orangtua, nenek dan
kakek, maka menurut ketentuan Pasal 853 dan Pasal 858 ayat 2 KUHPdt warisan

9
jatuh pada Ahli Waris yang terdekat pada tiap garis. Jika ada beberapa orang yang
derajatnya sama, maka warisan dibagi berdasarkan bagian yang sama.
Keluarga sedarah dalam garis menyimpang lebih dari derajat ke 6 (enam) tidak
mewarisi. Jika dalam garis yang satu tidak ada keluarga yang sedarah dalam derajat
yang mengijinkan untuk mewarisi, maka semua keluarga sedarah dalam garis yang
lain memperoleh seluruh warisan (Pasal 861 KUHPdt). Apabila semua orang yang
berhak mewarisi tidak ada lagi, maka seluruh warisan dapat dituntut oleh anak luar
kawin yang diakui. Apabila anak luar kawin inipun juga tidak ada, maka seluruh
warisan jatuh pada Negara (Pasal 873 ayat 1 dan Pasal 832 ayat 2 KUHPdt).

Dengan berlakunya undang - undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 maka pewarisan
anak luar kawin walaupun diakui, tidak relevan lagi. Undang - undang no. 1 tahun
1974 hanya mengenal anak sah dan anak luar kawin (tidak sah). Anak sah adalah Ahli
Waris, sedangkan anak luar kawin hanya berhak mewarisi dari ibu yang
melahirkannya dan keluarga sedarah dari pihak ibunya.

2.2.2. Hukum Waris Islam

A. Pengertian Hukum Waris Islam

Dalam beberapa literatur Hukum Islam ditemui beberapa istilah untuk menamakan
Hukum Waris Islam, seperti fiqh mawaris, ilmu faraidh dan hukum kewarisan. Perbedaan
dalam penamaan ini trjadi karena perbedaan arah yang dijadikan titik utama dalam
pembahasan. Pengertian Hukum Waris Menurut Islam adalah suatu disiplin ilmu yang
membahas tentang harta peninggalan, tentang bgaimana proses pemindahan, siapa saja yang
berhak menerima bagian harta warisan / peninggalan itu serta berapa masing-masing bagian
harta waris menurut hukum waris islam. 13

Prof. T.M. Hasby As-Shid dalam bukunya hukum islam yang berjudul fiqh mawaris
(Hukum Waris Islam) telah memberikan pemahaman tentang pengertian hukum waris
menurut islam ialah:

"Ilmu yang dengan dia dapat diketahui orang-orang yang menjadi ahli waris dalam
islam, orang yang tidak dapat mewarisi harta warisan menurut islam, kadar yang diterima
oleh masing-masing ahli waris dalam islam serta cara pengambilannya"

Hukum Waris Islam kadang-kadang disebut juga dengan istilah Al-Faraidh bentuk
jamak dari kata fardh, yg artinya kewajiban dan atau bagian tertentu. Apabila dihubungkan
dngan ilmu, menjadi ilmu faraidh, maksudnya ialah ilmu untuk mengetahui cara membagi
harta waris orang yang telah meninggal dunia kepada yang berhak menerimanya menurut
hukum islam. Di dalam ketentuan Hukum Waris Menurut Islam yang terdapat dalam Al-
quran lebih banyak yang ditentukan dibandingkan yang tidak ditentukan bagiannya.14

B. Dalil tentang Waris Islam


13
Hilman Hadikusuma, Pengantar Hukum Adat, (Maju Mundur :Bandung), 1992.hlm.69
14
Muhammad Muhibin , dkk. 2009. Hukum Kewarisan Islam. (Sinar Grafika Offset : Jakarta).hlm.49

10
a) Dalil Al – Qur’an

Di dalam Al-Quran ada beberapa ayat yang secara detail menyebutkan tentang
pembagian waris menurut hukum Islam, di antaranya adalah QS An Nisa ayat: 11, 12, 176.

1) Waris untuk anak

ْ‫ق ا ْثنَتَ ْي ِن فَلَ ُهنَّ ثُلُثَا َما تَ َركَ َوِإن َكانَت‬ َ ِ‫لذ َك ِر ِم ْث ُل َحظِّ اُألنثَيَ ْي ِن فَِإن ُكنَّ ن‬
َ ‫ساء فَ ْو‬ َّ ِ‫وصي ُك ُم هّللا ُ فِي َأ ْوالَ ِد ُك ْم ل‬
ِ ُ‫ي‬
ُ‫صف‬ ِّ َ َ ً
ْ ‫َوا ِح َدة فل َها الن‬

“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu:


bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika
anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta”.
(QS.  An-Nisa’ : 11)

2) Waris untuk orang tua

‫ث فَِإن‬ ُ ُ‫ُس ِم َّما تَ َر َك ِإن َكانَ لَهُ َولَ ٌد فَِإن لَّ ْم يَ ُكن لَّهُ َولَ ٌد َو َو ِرثَهُ َأبَ َواهُ فَُأل ِّم ِه الثُّل‬
ُ ‫سد‬ ِ ‫َوَألبَ َو ْي ِه لِ ُك ِّل َو‬
ُّ ‫اح ٍد ِّم ْن ُه َما ال‬
ً ‫ب لَ ُك ْم نَ ْفعا‬ ُ ‫صي بِ َها َأ ْو َد ْي ٍن آبَآُؤ ُك ْم َوَأبناُؤ ُك ْم الَ تَ ْدرُونَ َأيُّ ُه ْم َأ ْق َر‬ِ ‫صيَّ ٍة يُو‬
ِ ‫ُس ِمن بَ ْع ِد َو‬ ُ ‫سد‬ ُّ ‫َكانَ لَهُ ِإ ْخ َوةٌ فَُأل ِّم ِه ال‬
‫ضةً ِّمنَ هّللا ِ ِإنَّ هّللا َ َكانَ َعلِيما َح ِكي ًما‬ َ ‫فَ ِري‬

“Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga;
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)
sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui
siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan
dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. An-Nisa’ :
11)15

3) Waris untuk suami dan istri

‫صينَ بِ َها َأ ْو َد ْي ٍن‬ ُّ ‫اج ُك ْم ِإن لَّ ْم يَ ُكن لَّ ُهنَّ َولَ ٌد فَِإن َكانَ لَ ُهنَّ َولَ ٌد فَلَ ُك ُم‬
ِ ‫الربُ ُع ِم َّما ت ََر ْكنَ ِمن بَ ْع ِد َو‬
ِ ‫صيَّ ٍة يُو‬ ُ ‫صفُ َما ت ََركَ َأ ْز َو‬ ْ ِ‫َولَ ُك ْم ن‬
‫صيَّ ٍة تُوصُونَ بِ َها َأ ْو َد ْي ٍن‬ِ ‫الربُ ُع ِم َّما تَ َر ْكتُ ْم ِإن لَّ ْم يَ ُكن لَّ ُك ْم َولَ ٌد فَِإن َكانَ لَ ُك ْم َولَ ٌد فَلَ ُهنَّ الثُّ ُمنُ ِم َّما تَ َر ْكتُم ِّمن بَ ْع ِد َو‬
ُّ َّ‫َولَ ُهن‬

“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika
mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat
seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau
(dan) sesudah dibayar utangnya.Paraistri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri

15
Musthafa,Op.Cit., hlm.37

11
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang
kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu”. (QS. An-Nisa’ : 12)

4) Waris Kalalah

Kalalah lainnya adalah seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan
saudara perempuan.

ْ ِ‫س لَهُ َولَ ٌد َولَهُ ُأ ْختٌ فَلَ َها ن‬


‫صفُ َما تَ َر َك‬ َ ‫ستَ ْفتُونَ َك قُ ِل هّللا ُ يُ ْفتِي ُك ْم فِي ا ْل َكالَلَ ِة ِإ ِن ا ْم ُرٌؤ َهلَكَ لَ ْي‬
ْ َ‫ي‬

“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: “Allah memberi fatwa
kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai
anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu
seperdua dari harta yang ditinggalkannya”. (QS. An-Nisa’ : 176)

b) Dalil Al-Hadist

Ada begitu banyak dalil sunnah nabi yang menunjukkan pensyariatan hukum waris
buat umat Islam. Di antaranya adalah hadits-hadits berikut ini:

.‫ض بَِأ ْهلِ َها فَ َما بَقِ َي فََِأل ْولَى َر ُج ٍل َذ َكر‬


َ ‫سو ُل هللاِ َأ ْل ِحقُوا الفَ َراِئ‬
ُ ‫س قَا َل قَا َل َر‬
ٍ ‫َن ا ْب ِن َعبَّا‬
ِ ‫ع‬
“Dari Ibnu Abbas radiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabdam”Bagikanlah
harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi hak laki-laki
yang paling utama.” (HR Bukhari)

ْ ‫سلِ ُم الكاَفِ َر َوالَ ال َكافِ ُر ال ُم‬


‫سلِ َم‬ ْ ‫ث ال ُم‬ َ ‫عَنْ ُأ‬
ُ ‫ قَا َل قَا َل َر‬ ‫سا َمةَ ْب ِن َز ْي ٍد‬
ُ ‫سو ُل هللاِ الَ يَ ِر‬

“Dari Usamah bin zaid radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW


bersabda,”Seorang muslim tidak mendapat warisan dari orang kafir dan orang kafir tidak
mendapat warisan dari seorang muslim”.

Hambal dalam Al-Musnad meriwayatkan:

ِ ‫ ع َْن َأبِي هُ َري َْرةَ قَا َل قَا َل َرسُو ُل هَّللا‬r ‫صيَّتِ ِه‬ ِ ‫صى َحافَ فِي َو‬ َ ْ‫ِإ َّن ال َّر ُج َل لَيَ ْع َم ُل بِ َع َم ِل َأ ْه ِل ْال َخي ِْر َس ْب ِعينَ َسنَةً فَِإ َذا َأو‬
ِ ‫فَي ُْختَ ُم لَهُ بِ َش ِّر َع َملِ ِه فَيَ ْد ُخ ُل النَّا َر وَِإ َّن ال َّر ُج َل لَيَ ْع َم ُل بِ َع َم ِل َأ ْه ِل ال َّش ِّر َس ْب ِعينَ َسنَةً فَيَ ْع ِد ُل فِي َو‬
‫صيَّتِ ِه فَي ُْختَ ُم لَهُ بِخَ ي ِْر َع َملِ ِه فَيَ ْد ُخ ُل‬
‫ين‬ٌ ‫ك ُحدُو ُد هَّللا ِ ِإلَى قَوْ لِ ِه َع َذابٌ ُم ِه‬ َ ‫ْال َجنَّةَ قَا َل ثُ َّم يَقُو ُل َأبُو هُ َر ْي َرةَ َوا ْق َر ُءوا ِإ ْن ِشْئتُ ْم تِ ْل‬

“Dari Abu Hurairah Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya seorang beramal


dengan amalan kebaikan selama tujuh puluh tahun, kemudian dia berwasiat (di akhir
hayatnya) dan berbuat dzolim dalam wasiatnya maka amalnya ditutup dengan kejelekan
maka diapun masuk neraka, dan ada seorang yang melakukan amalan kejelekan selama tujuh
puluh tahun kemudian dia berwasiat dengan keadilan (diakhir hayatnya) maka amalannya
ditutup dengan kebaikan maka masuklah ke dalam jannah”.

Indahnya islam dalam menjaga hak-hak manusia:

12
ِ ‫ُول هَّللا‬
ِ ‫يع بِا ْبنَتَ ْيهَا ِم ْن َس ْع ٍد ِإلَى َرس‬ِ ِ‫ت ا ْم َرَأةُ َس ْع ِد ْب ِن ال َّرب‬ ْ ‫ال َجا َء‬ َ َ‫ ع َْن َجابِ ِر ْب ِن َع ْب ِد هَّللا ِ ق‬r ‫ت يَا َر ُس‘و َل هَّللا ِ هَاتَ‘‘ا ِن‬ ْ َ‫فَقَال‬
َ َ‫ان ِإاَّل َولَهُ َم‘‘ا َم‘ا ٌل ق‬ ‫ُأ‬
ِ ‫ك يَوْ َم ُح ٍد َش ِهيدًا َوِإ َّن َع َّمهُ َما َأخَ َذ َمالَهُ َما فَلَ ْم يَ َد ْع لَهُ َما َمااًل َواَل تُ ْن َك َح‬ َ ‫يع قُتِ َل َأبُوهُ َما َم َع‬
‫‘ال‬ ِ ِ‫ا ْبنَتَا َس ْع ِد ْب ِن ال َّرب‬
ِ ‫ث َرسُو ُل هَّللا‬ ِ ‫ت آيَةُ ْال ِمي َرا‬
َ ‫ث فَبَ َع‬ َ ِ‫ضي هَّللا ُ فِي َذل‬
ْ َ‫ك فَنَ َزل‬ ‫ُأ‬
ِ ‫ يَ ْق‬r ‫ِإلَى َع ِّم ِه َما فَقَا َل َأ ْع ِط ا ْبنَت َْي َس ْع ٍد الثُّلُثَي ِْن َوَأ ْع ِط َّمهُ َما الثُّ ُمنَ َو َما بَقِ َي‬
َ‫فَهُ َو لَك‬

“`Dari Jabir bin Abdillah t berkata: Istri Sa’d bin Rabi’t mendatangi Rasulullah r
dengan membawa kedua anak perempuan dari Sa’d t, dia berkata: “Wahai Rasulullah, kedua
anak perempuan ini adalah anak Sa’d bin Rabi’ yang terbunuh syahid ketika perang Uhud
bersama engkau, dan paman keduanya (saudara laki-laki Sa’d bin Rabi’-pent) mengambil
harta keduanya dan tidak meninggalkan untuk keduanya harta, dan keduanya tidak bisa
dinikahkan kecuali jika memiliki harta. (mendengar pengaduan ini) Rasulullah r bersabda:
“Allah akan memutuskan perkara ini.” Kemudian turunlah ayat-ayat tentang waris maka
Rasulullah r mengutus kepada paman kedua anak ini dan memerintahkan agar memberi
kedua anak perempuan Sa’d bin Rabi duapertiga, dan memberi ibunya seperdelapan dan apa
yang tersisa adalah untukmu”.

C. Manfaat Hukum Waris Islam

Keuntungan atau hikma hmenerapkan mawaris ini juga untuk manusia. Hikmah
melaksanakan mawaris antara lain sebagai berikut.16

1. Untuk menunjukkan ketaatan kita kepada kita wajib taat kepada semua perintah
Allah, termasuk dalam hal mawaris. Dengan menerapkan mawaris ini berarti kita taat
kepada Karena ketaatan itu, maka melaksanakan mawaris dinilai ibadah.
2. Untuk menegakkan keadilan. Dengan mcnerapkan mawaris, berarti kita menegakkan
keadilan. Adil di dalam Islam tidak sama dengan sama rata dan sama rasa. Banyak
dan sedikitnya bagian ahli waris itu disesuaikan dengan tanggung jawabnya dalam hal
menanggung natkah dan kedekatan kekerabatannya terhadap si mayat.
3. Untuk tetap mengharmoniskan hubungan antar kerabat. Jika semua ahli waris
menyadari aturan ini, dengan pembagian warisan menggunakan hukum akan
membuat hubungan mereka akan tetap harmonis. Namun, jika tidak menggunakan
hukum mawaris ini, kemungkinan akan timbul monopoli. Akibatnya, perpecahan di
antara kerabat itu tidak dapat dihindari.
4. Untuk lebih menyejahterakan keluarga yang ditinggal. Dengan menggunakan hukum
waris Islam, pembagian anak lebih besar daripada keluarga yang lebih jauh. Ini
dimaksudkan agar keturunan yang ditinggalkan itu tidak hidup dalam kesengsaraan.
Dengan tidak menggunakan hukum waris Islam, bisa terjadi anak sendiri tidak
mendapatkan bagian harta pusaka, sedangkan saudara yang lebih jauh malah
memperoleh banyak.
5. Untuk kemaslahatan masyarakat. Dengan menerapkan hukum waris Islam,
masyarakatkita akan tenang. Jika tidak dibagi menurut aturan ini, kemunkinan terjadi
di masyrakat. Misalnya, anak atau saudara dekatnya mistinya memperoleh bagian
ternyata tidak. Masyarakat akan bergejolak lantaran bersimpati kepada akhli waris
dekat yang mestinya mendapat bagian itu.
16
Muhammad Muhibin, Op.Cit., hlm.49.

13
6. Mengangkat martabat dan hak kaum wanita sebagai ahli waris.
7. Menghindarkan terjadinya persengketaan dalam keluarga karena masalah pembagian
harta wariasan.
8. Menghindari timbulnya fitnah. Karena salah satu penyebab timbulnya fitnah adalah
pembagian harta warisan yang tidak benar.
9. Dapat mewujudkan keadilan dalam keluarga, yang kemudian berdampak positif bagi
keadilan dalam masyarakat.
10. Memperhatikan orang-orang yang terkena musibah karena ditinggalkan oleh anggota
keluarganya.
11. Menjunjung tinggi hukum Allah.

2.2.3. Hukum Waris Adat

A. Pengertian Hukum Waris Adat

Hukum waris adat adalah hukum yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan
asas-asas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan waris serta cara bagaimana harta
warisan itu dialihkan oleh pemiliknya dari pewaris kepada ahli waris. Hukum ini
sesungguhnya adalah hukum penerusan serta mengoperkan harta kekayaan dari sesuatu
genarasi kepada keturunannya. Di dalam Hukum adat sendiri tidak mengenal cara-cara
pembagian dengan penghitungan tetapi didasarkan atas pertimbangan, mengingat wujud
benda dan kebutuhan waris yang bersangkutan.17

Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta
mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang tidak berwujud dari angkatan
manusia kepada turunannya. Soerojo Wignjodipoero, mengatakan : Hukum adat waris
meliputi norma-norma hukum yang menetapkan harta kekayaan baik yang materiil maupun
immaterial yang manakah dari seseorang yang dapat diserahkan kepada keturunannya. Jadi,
Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengatur tentang cara penerusan dan
peralihan harta kekayaan yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari generasi ke
generasi. Dengan demikian, hukum waris itu mengandung tiga unsur, yaitu: adanya harta
peninggalan atau harta warisan, adanya pewaris yang meninggalkan harta kekayaan dan
adanya ahli waris atau waris yang akan meneruskan pengurusannya atau yang akan menerima
bagiannya.

Jadi sebenarnya hukum waris adat tidak semata-mata hanya mengatur tentang warisan
dalam hubungannya dengan ahli waris tetapi lebih luas dari itu. Hilman Hadikusuma
mengemukakan hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan
tentang sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris, dan waris serta
cara bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris
kepada waris.18

Dalam hal ini terlihat adanya kaidah-kaidah yang mengatur proses penerusan harta, baik
material maupun non material dari suatu generasi kepada keturunannya. Selain itu pandangan
17
Hilman Hadikusuma, Hukum Kekerabatan Adat, (Fajar Agung:Jakarta), 1997.hlm.68
18
Djaren Saragih, Hukum Adat Indonesia, (Rajawali:Jakarta), 1980.hlm.92

14
hukum adat pada kenyataannya sudah dapat terjadi pengalihan harta kekayaan kepada waris
sebelum pewaris wafat dalam bentuk penunjukan, penyerahan kekuasaan atau penyerahan
pemilikan atas bendanya oleh pewaris kepada waris.

B. Corak Hukum Waris Adat

Secara teoritis hukum waris adat di Indonesia sesungguhnya dikenal banyak ragam sistem
kekeluargaan di dalam masyarakat. Akan tetapi secara umum yang dikenal sangat menonjol
dalam peraturan hukum adat ada tiga corak yaitu: prinsip patrilineal, matrilineal, dan bilateral
atau parental.

a) Sistem Patrilinial
Yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan pihak nenek moyang laki-
laki. Di dalam sistem ini kedudukan dan pengaruh pihak laki-laki dalam hukum waris
sangat menonjol, contohnya pada masyarakat Batak. Yang menjadi ahli waris hanya
anak laki-laki seba anak perempuan yang telah kawin dengan cara ”kawin jujur” yang
kemudian masuk menjadi anggota keluarga pihak suami, selanjutnya ia tidak
merupakan ahli waris orang tunya yang meninggal dunia.
b) Sistem Matrilinial
Yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan pihak nenek moyang
perempuan. Di dalam sistem kekeluargaan ini pihak laki-laki tidak menjadi pewaris
untuk anak-anaknya. Anak-anak menjadi ahli waris dari garis perempuan/garis ibu
karena anak-anak mereka merupakan bagian dari keluarga ibunya, sedangkan ayahnya
masih merupakan anggota keluarganya sendiri, contoh sistem ini terdapat pada
masyarakat Minangkabau.
c) Sistem Parental/Bilateral
Yaitu sistem yang menarik garis keturunan dari dua sisi, baik dari pihak ayah maupun
dari pihak ibu. Di dalam sistem ini kedudukan anak laki-laki dan perempuan dalam
hukum waris sama dan sejajar. Artinya, baik anak laki-laki maupun anak perempuan
merupakan ahli waris dari harta peninggalan orang tua mereka.

Disamping sistem kekelurgaan yang sangat berpengaruh terhadap pengaturan hukum


adat waris terutama terhadap penepatan ahli waris dan bagian peninggalan yang diwariskan,
hukum adat waris mengenal tiga sistem kewarisan, yaitu:

1. Sistem Kewarisan Individual


Yaitu suatu sistem kewarisan yang menentukan bahwa para ahli waris
mewarisi secara perorangan, misalnya: Jawa, Batak, Sulawesi, dan lain-lain;
2. Sistem Kewarisan Kolektif
Yaitu sistem yang menentukan bahwapara ahli waris mewaris harta
peninggalan secara bersama-sma (kolektif) sebab harta peninggalan yang
diwarisi itu tidak dapat dibagi-bagi pemilikannya kepada masing-masing ahli
waris. Contohnya ”harta pusaka” di Minangkabau dan ”tanah dati” di
Semenanjung Hitu, Ambon;
3. Sistem Kewarisan Mayorat

15
Yaitu sistem kewarisan yang menentukan bahwa harta peninggalan pewaris
hanya diwarisi oleh seorang anak.
Sistem mayorat ini ada dua macam, yaitu:
 Mayorat laki-laki, yaitu apabila anak laki-laki tertua/sulung atau
keturunan laki-laki merupakan ahli waris tunggal dari si pewaris,
misalnya di Lampung;
 Mayorat perempuan, yaitu apabila anak perempuan tertua merupakan
ahli waris tunggal dari pewaris, misalnya pada masyarakat Tanah
Semendo di Sumatera Selatan.

C. Unsur – Unsur Waris Adat

Jika dilihat dari harta warisan, Dalam hal ini Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa
untuk mengetahui apakah harta dapat terbagi atau memang tidak terbagi, harta warisan itu
perlu dikelompokkan yaitu:

a. Harta Asal
Yaitu semua kekayaan yang dikuasai dan dimiliki pewaris, baik berupa harta
peninggalan ataupun harta bawaan yang dibawa masuk ke dalam perkawinan.
Harta peninggalan dapat dibedakan lagi dengan harta peninggalan yang tidak
terbagi, peninggalan yang belum terbagi dan peninggalan yang terbagi. Harta
peninggalan ini pada daerah tertentu seperti di Minangkabau di kenal pula dengan
harta pusaka rendah. Harta pusaka tinggi adalah harta warisan yang diperoleh ahli
waris dari lebih dua generasi di atas pewaris, sedangkan harta pusaka rendah
semua harta warisan yang diperoleh dari satu atau dua angkatan kerabat di atas
pewaris.
Harta bawaan dapat dibedakan antara harta bawaan suami dan harta bawaan
istri. Dilihat dari sudut perkawinan, baik harta peninggalan maupun harta bawaan
kesemuanya merupakan harta asal. Sebaliknya, dilihat dari sudut pewarisan,
keduanya merupakan harta peninggalan. Harta bawaan suami maupun harta
bawaan istri akan kembali kepada pemilik asalnya yaitu yang membawanya bila
terjadi perceraian.
b. Harta Pencaharian
Yaitu harta yang didapat suami isteri secara bersama selama dalam ikatan
perkawinan. Tidak perlu dipermasalahkan apakah isteri ikut aktif bekerja atau
tidak. Walaupun yang bekerja hanya suami, sedangkan isteri hanya tinggal di
rumah mengurus rumah tangga dan anak, namun tetap menjadi hasil usaha suami
isteri.
c. Harta Pemberian
Yaitu harta pemberian yang merupakan harta warisan yang bukan karena jerih
payah seseorang bekerja untuk mendapatkannya. Pemberian dapat dilakukan
seseorang atau sekelompok orang atau seseorang atau kepada suami-isteri. Untuk
harta pemberian ini, bila terjadi perceraian maka dapat dibawa kembali oleh
masing-masing, sebagaimana peruntukan yang dimaksud pemberinya.

16
d. Ahli Waris
Yang menjadi ahli waris terpenting adalah anak kandung, sehingga anak
kandung dapat menutup ahli waris lainnya. Di dalam hukum adat juga dikenal
istilah :
1. Anak Angkat
Dalam hal status anak angkat, setiap daerah mempunyai perbedaan. Putusan
Raad Justitie tanggal 24 Mei 1940 mengatakan anak angkat berhak atas
barang-barang gono gini orang tua angkatnya. Sedangkan barang-barang
pusaka (barang asal) anak angkat tidak berhak mewarisinya, (Putusan M.A.
tanggal 18 Maret 1959 Reg. No. 37 K/SIP/1959).
2. Anak Tiri
Terhadap bapak dan ibu kandungnya anak tersebut merupakan ahli waris,
namun anak tersebut tidak menjadi ahli waris orang tua tirinya. Kadang-
kadang begitu eratnya hubungan antara anggota rumah tangga, sehingga anak
tiri mendapat hak hibah dari bapak tirinya, bahkan anak tiri berhak atas
penghasilan dari bagian harta peninggalan bapak tirinya demikian sebaliknya.
3. Anak Luar Nikah
Anak diluar nikah hanya dapat menjadi ahli waris ibunya.
4. Kedudukan Janda
Didalam hukum adat kedudukan janda didalam masyarakat di Indonesia
adalah tidak sama sesuai dengan sifat dan system kekelurgaan. Sifat
kekelurgaan Matrilineal : harta warisan suaminya yang meninggal dunia
kembali kekeluarga suaminya atau saudara kandungnya.
5. Kedudukan Duda
Di Daerah Minangkabau dengan sifat kekeluargaan matrilineal suami pada
hakekatnya tidak masuk keluarga isteri, sehingga duda tidak berhak atas
warisan isteri.

D. Proses Penerusan Harta Waris Adat

Proses pewarisan yang berlaku menurut hukum adat di dalam masyarakat Indonesia
hanya ada dua bentuk. Pertama, proses pewarisan yang dilakukan semasa pewaris masih
hidup. Kedua, proses pewarisan yang dilakukan setelah pewaris wafat.[10] Apabila proses
pewarisan dilakukan semasa pewaris masih hidup maka dapat dilakukan dengan cara
penerusan, pengalihan, berpesan, berwasiat, dan beramanat. Sebaliknya, apabila dilaksanakan
setelah pewaris wafat, berlaku cara penguasa yang dilakukan oleh anak tertentu, anggota
keluarga atau kepada kerabat, sedangkan dalam pembagian dapat berlaku pembagian
ditangguhkan, pembagian dilakukan berimbang, berbanding atau menurut hukum agama.19

Mengenai hibah pada masyarakat parental adalah bagian dari proses pewarisan yang
dilakukan sebelum orang tua atau pewaris meninggal. Selanjutnya, hibah pada masyarakat
matrilineal pada dasarnya tidak dikenal. Dan hibah pada masyarakat patrilineal mempunyai
arti pemberian (sebagian kecil) harta kepada anak perempuan yang bukan bagian dari ahli

19
Ibid., Hlm. 102

17
waris. Hibah ada dua macam, pertama, hibah biasa yaitu hibah yang diberikan pada waktu
pewaris masih hidup, kedua, hibah wasiat yaitu hibah yang dilaksanakan ketika pewaris telah
meninggal dunia.

Sedangkan terkait harta warisan setelah pewaris wafat karena alasan - alasan tertentu ada
yang dibagi-bagikan dan ada yang pembagiannya ditangguhkan. Adapun alasan-alasan
penangguhan itu antara lain :

a) Terbatasnya harta pusaka;


b) Tertentu jenis macamnya;
c) Para waris belum dewasa;
d) Belum adanya waris pengganti;
e) Diantara waris belum hadir;
f) Belum diketahui hutang piutang pewaris.

Pembagian harta waris dapat dilakukan dapat mengikuti hukum adat dan mengikuti
hukum waris Islam. Hilman Hadikusuma menyebutkan bahwa pada umumnya masyarakat
Indonesia menerapkan pembagian berimbang yaitu di antara semua waris mendapat bagian
yang sama, seperti dilakukan oleh masyarakat Jawa, dan banyak pula yang menerapkan
hukum waris Islam di mana setiap waris telah mendapatkan jumlah bagian yang telah
ditentukan.

18
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Warisan merupakan suatu hal yang penting bagi kehidupan manusia, terkhusus
sebagai orang yang cakap dan mampu secara hukum. Selain itu, dalam setiap kehidupan
manusia pasti mengalami proses kelahiran dan kematian, sehingga hukum waris menjadi
suatu hal terpenting. Maka, tidak hanya untuk diri sendiri, melainkan juga untuk anak, cucu,
keturunan kelak waris merupakan hal yang sering dijalankan.

Di Indonesia terdapat 3 macam Hukum Waris yang masih digunakan, yaitu Hukum
Waris secara Perdata, Hukum Waris secara Islam, dan Hukum Waris secara Adat. Dan
masing-masing hukum waris tersebut diatas telah tercantum sesuai dengan ketentuannya
masing-masing. Pada Hukum Waris Perdata, pengaturannya diatur di dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) atau dalam bahasa Belanda disebut dengan Burgerlijk
Wetboek (BW) yang diatur di dalam Buku Kedua. Pada Hukum Waris Islam, sumber
pengaturannya diatur di dalam Al-Qur’an, Al-Hadist, dan diatur di dalam Kompilasi Hukum
Islam. Serta Hukum Waris Adat sendiri yang diatur secara turun-temurun dimana telah
diturunkan dari nenek moyang dan diatur oleh masing-masing adat yang terdapat di
Indonesia.

Hukum waris adalah hukum yang mengatur tata cara perpindahan atau pengalihan
harta warisan dari orang yang sudah meninggal (pewaris) baik berupa harta benda yang dapat
dinilai dengan uang maupun utang piutang kepada orang yang berhak mewarisinya (ahli
waris) baik menurut Undang Undang maupun surat wasi’at sesuai bagian yang telah
ditentukan dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata.

Meskipun dinilai penting, namun sering terjadi perihal pembagian harta warisan ini
menimbulkan berbagai permasalahan, baik secara bentuk nilai pembagiannya maupun siapa
saja orang yang mendapatkan harta warisan. Maka tidak heran, karena permasalahan ini
banyak juga orang yang putus tali persaudaraannya karena perihal hak waris. Permasalahan
utamanya yakni biasanya karena perbedaan pendapat mengenai kesetaraan dan keadilan.
Meskipun aturan dan perhitungannya cukup rumit, maka perlu dipelajari dari sekarang.

3.2. Saran

___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
__________________________________________________________________________

19
DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Afandi,Ali. 2004. Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian menurut


Kitab Undang – Undang Hukum Perdata. Jakarta : Rineka Cipta.

Ahlan Sjarif, Surani. 1982. Intisari Hukum Waris Menurut Bergerlijk Wetboek,
Jakarta : Ghalia Indonesia.

Amanat, Anisitus. 2003. Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum Perdata


BW. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Darmabrata, Wahyono. 2003. Hukum Perdata Asas-Asas Hukum Waris. Jakarta : CV


Gitama Jaya.

Hadikusuma, Hilman. 1992. Pengantar Hukum Adat. Bandung : Maju Mundur

Hadikusuma, Hilman. 1997. Hukum Kekerabatan Adat, Jakarta : Fajar Agung.

Kadir Muhammad, Abdul. 2010. Pokok Pokok Hukum Perdata Indonesia. Bandung :
PT. Citra Adytia.

Muhibin, Muhammad, dkk. 2009. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta : Sinar Grafika
Offset.

Musthafa. 2009. Fiqih Islam. Bandung : Media Zhikir Solo.

Pitlo, A. 1979. Hukum Waris Menurut Kitab Undang Undang Hukum Perdata
Belanda, terjemahan oleh Isa Arief. Jakarta : lntermasa.

Prodjodikoro, Wirjono. 1976. Hukum Warisan di Indonesia, Jakarta : Sumur


Bandung.

Subekti. 1985. Pokok Pokok Hukum Perdata. Jakarta : lntermasa.

Subekti. 1987. Pokok – Pokok Hukum Perdata. Jakarta : PT. Intermasa.

Subekti, dan R. Tjitrosudibio. 1992. Kitab Undang – Undang Hukum Perdata dengan
tambahan Undang – Undang Pokok Agraria dan Undang – Undang Perkawinan. Balai
Pustaka : Jakarta.

Saragih, Djaren. 1980. Hukum Adat Indonesia. Jakarta : Rajawali, 1980.

Artikel :

Soka, Hasyim. 2011. “Hukum Waris Perdata”.


(https://hasyimsoska.blogspot.com/2011/07/hukum-waris-perdata.html). Diakses pada 29 Mei
2020.

20

Anda mungkin juga menyukai