Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

SEJARAH DAN RUANG LINGKUP HUKUM ACARA PIDANA


MATA KULIAH: HUKUM ACARA PIDANA

Dosen pengampu:Ainul Mardiah,S.Ag,M.HI

DISUSUN OLEH:
HUSNUL JAILANI(Nim:S.AS.1.2020.021)
AHMAD QATORI(Nim:S.AS.1.2020.018)

PROGRAM STUDI AHWALUSYAKH SHIYAH


YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM SYEKH MAULANA QORI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
SYEKH MAULANA QORI BANGKO
2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................1

LATAR BELAKANG....................................................................................1

BAB II SEJARAH DAN RUANG LINGKUP HUKUM ACARA PIDANA................2

1. SEJARAH HUKUM ACARA PIDANA.........................................................2

A. SEJARAH HUKUM ACARA PIDANA SEBELUM KOLONIAL BELANDA

...................................................................................................................2

B. SEJARAH HUKUM ACARA PIDANA SETELAH ZAMAN PENDUDUKAN

DUDUKAN KOLONIAL BELANDA DI INDONESIA...................................4

C. SEJARAH HUKUM ACARA PIDANA SETELAH ZAMAN PENDUDUKAN

JEPANG DI INDONESIA...........................................................................8

D. SEJARAH HUKUM ACARA PIDANA SETELAH PROKLAMASI

KEMERDEKAAN INDONESIA 1945.........................................................9

2. RUANG LUNGKUP KUHAP.....................................................................11

BAB III PENUTUP...............................................................................................13

KESIMPULAN...............................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................15

iii
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang

Sudah merupakan kewajiban bagi manusia diciptakan oleh Tuhan untuk


hidup bersama dengan manusia lainnya maupun lingkungan sekitarnya untuk
bermasyarakat serta saling menjaga hak dan kewajiban diri atas sesama
manusia.

Dalam hidup bermasyarakat ini kita saling menjalin banyak hubungan


dengan orang lain, masing-masing dari kita memiliki kepentingan tersendiri
yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Adakalanya kepentingan-
kepentingan ini dapat menjadi sengketa dan pertentangan antara kepentingan
kita dan orang lain. Untuk menghindari hal tersebut kita ingin menyelesaikan
semua sengketa kita dengan tertib dan damai maka dari itu kita akan membuat
ketentuan atau kaidah hukum yang harus ditaati oleh seluruh anggota
masyarakat.

Dengan begitu kepentingan anggota masyarakat akan lebih terjaga dan


terlindungi, apabila kaidah hukum itu dilanggar, maka yang bersangkutan akan
diberikan sanksi atau hukuman . Yang dimaksud kepentingan di sini adalah
hak-hak dan kewajiban pidana yang diatur dalam Hukum Pidana Materiil atau
lazim disebut sebagai Hukum Acara Pidana.

Hukum Acara Pidana adalah sekumpulan peraturan yang membuat


bagaimana caranya orang bertindak di depan pengadilan, bagaimana caranya
suatu pihak yang terserang kepentingannya mempertahankan diri, bagaimana
hakim bertindak sekaligus memutus perkara dengan adil, bagaimana
melaksanakan keputusan hakim yang kesemuanya bertujuan agar hak dan
kewajiban yang telah diatur dalam hukum pidana materiil itu dapat berjalan
dengan semestinya, sehingga terwujud tegaknya hukum dan keadilan.

Dengan demikian kedudukan hukum acara pidana amat penting, karena


adanya hukum acara pidana, masyarakat merasa adanya kepastian hukum
bahwa setiap orang berhak mempertahankan hak pidananya dengan sebaik-
baiknya dan setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap hukum pidana
yang mengakibatkan kerugian pada orang lain dapat dituntut melalui
pengadilan. Selain itu hukum acara pidana juga berfungsi untuk menegakan,
mempertahankan dan menjamin ditaatinya ketentuan hukum materiil dalam
pratik melalui perantaraan peradilan. Dengan hukum acara pidana diharapkan
akan tercipta ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat.

1
BAB II
SEJARAH DAN RUANG LINGKUP HUKUM ACARA PIDANA
INDONESIA

1. Sejarah hukum acara pidana

A. Sejarah Hukum Acara Pidana Sebelum Zaman Kolonial Belanda

Pada waktu penjajah Belanda datang pertama kali di Indonesia telah


tercipta hukum yang lahir dari masyarakat tradisional sendiri yang kemudian
disebut Hukum Adat. Pada masa primitive pertumbuhan hukum, yang dalam
dunia modern dipisahkan dalam hukum privat dan hukum publik, tidak
membedakan kedua bidang hukum itu. Penduduk nusantara tidak
membedakan antara hukum acara pidana dan hukum acara perdata. Penduduk
nusantara menggunakan hukum adat untuk menyelesaikan masalah pidana
maupun perdata di kalangan mereka. Cara pembuktian yang digunakan sering
kali menggunakan kekuatan kekuatan gaib.

Setelah masuknya agama Islam, mulailah diberlakukannya hukum Islam


untuk menyelesaikan masalah hukum di antara penduduk. Pada masa ini, mulai
diadakan pembedaan antara masalah pidana dan masalah perdata. Cara
penyelesaian sengketa selalu berpedoman kepada Al Quran, hadits dan hasil
ijtihad.

Pada masa kerajaan nusantara banyak kerajaan yang sudah mempunyai


perangkat aturan hukum. Aturan tersebut tertuang dalam keputusan para raja
ataupun dengan kitab hukum yang dibuat oleh para ahli hukum.
Tidak dipungkiri lagi bahwa adagium ubi societas ibi ius sangatlah tepat.
Karena dimanapun manusia hidup, selama terdapat komunitas dan kelompok
maka akan ada hukum.

Hukum pidana yang berlaku dahulu kala berbeda dengan hukum acara
pidana modern. Hukum pada zaman dahulu kala belum memegang teguh
prinsip kodifikasi. Aturan hukum lahir melalui proses interaksi dalam
masyarakat tanpa ada campur tangan kerajaan. Hukum pidana adat
berkembang sangat pesat dalam masyarakat.

Hukum acara pidana yang berlaku saat itu belum mengenal unifikasi. Di
setiap daerah berlaku aturan hukum pidana yang berbeda-beda. Kerajaan
besar macam Sriwijaya sampai dengan kerajaan Demak pun menerapkan
aturan hukum pidana. Kitab peraturan seperti Undang-undang raja niscaya,
undang-undang mataram, jaya lengkara, kutara Manawa, dan kitab adilullah
berlaku dalam masyarakat pada masa itu. Hukum pidana adat juga menjadi
perangkat aturan hukum acara pidana yang dipatuhi dan ditaati oleh
masyarakat nusantara.

2
Hukum Kerajaan tersebut lazimnya disebut sebagai hukum adat. Hukum
itu ada sebelum kedatangan bangsa Belanda yang dimulai oleh Vasco da
Gamma pada tahun 1596, orang Indonesia telah mengenal dan
memberlakukan hukum pidana adat. Hukum pidana adat yang mayoritas tidak
tertulis ini bersifat lokal, dalam arti hanya diberlakukan di wilayah adat tertentu.

Hukum adat tidak mengenal adanya pemisahan yang tajam antara


hukum pidana dengan hukum perdata (privaat). Pemisahan yang tegas antara
hukum perdata yang bersifat privat dan hukum pidana yang bersifat publik
bersumber dari sistem Eropa yang kemudian berkembang di Indonesia.

Dalam ketentuannya, persoalan dalam kehidupan sehari-hari


masyarakat adat ditentukan oleh aturan-aturan yang diwariskan secara turun-
temurun dan bercampur menjadi satu.

Di beberapa wilayah tertentu, hukum adat sangat kental dengan agama


yang dijadikan agama resmi atau secara mayoritas dianut oleh masyarakatnya.
Sebagai contoh, hukum pidana adat Aceh, Palembang, dan Ujung Pandang
yang sangat kental dengan nilai-nilai hukum Islamnya. Begitu juga hukum
pidana adat Bali yang sangat terpengaruh oleh ajaran-ajaran Hindu.

Di samping hukum pidana adat mengalami persentuhan dengan agama


yang dipeluk oleh mayoritas penduduk, karakteristik lainnya adalah bahwa pada
umumnya hukum pidana adat tidak berwujud dalam sebuah peraturan yang
tertulis. Aturan-aturan mengenai hukum pidana ini dijaga secara turun-temurun
melalui cerita, perbincangan, dan kadang-kadang pelaksanaan hukum pidana
di wilayah yang bersangkutan.

Namun, di beberapa wilayah adat di Nusantara, hukum adat yang terjaga


ini telah diwujudkan dalam bentuk tulisan, sehingga dapat dibaca oleh khalayak
umum. Sebagai contoh dikenal adanya Kitab Kuntara Raja Niti yang berisi
hukum adat Lampung, Simbur Tjahaja yang berisi hukum pidana adat
Sumatera Selatan, dan Kitab Adigama yang berisi hukum pidana adat Bali.

Selain itu Hukum Acara perdata tidak terpisah dari Hukum Acara Pidana.
Tuntutan Perdata dan tuntutan pidana merupakan suatu kesatuan, termasuk
lembaga – lembaganya.

Supomo menunjukan bahwa pandangan rakyat Indonesia terhadap alam


semesta adalah suatu totalitas yaitu bahwa Manusia beserta makhluk lain dan
Lingkungannya merupakan suatu kesatuan, alam gaib dan alam nyata tidak
dipisahkan. Sehingga yang paling utama adalah keseimbangan dan
keharmonisan antara satu dengan yang lainnya. Segalanya perbuatan yang
menggangu keseimbangan itu merupakan pelanggaran hukum (adat).
Hazairin dalam tulisannya berjudul “Negara tanpa penjara” dalam Tiga
Serangkai Tentang Hukum menulis bahwa dalam masyarakat tradisional
Indonesia tidak ada pidana penjara. Hukum pembuktian pada masyarakat
tradisional Indonesia seiring digantungkan pada kekuasaan Tuhan.

3
Bentuk – bentuk sanksi hukum adat (dahulu) dihimpun dalam Pandecten
van het Adatrecht bagian X yang disebut juga dalam buku Supomo tersebut,
yaitu sebagai berikut :

1. Pengganti kerugian “immaterial” dalam pelbagai rupa seperti


paksaan menikahi gadis yang telah dicemarkan.

2. Bayaran “uang adat” kepada orang yang terkena, yang berupa


benda yang sakti sebagai peganti kerugian rohani.

3. Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala


kotoran gaib

4. Penutup malu, permintaan maaf.

5. berbagai rupa hukuman badan, hingga hukuman mati.

6. Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang diluat Tata


Hukum.

B. Sejarah Hukum Acara Pidana Setelah Zaman Pendudukan Kolonial


Belanda di Indonesia

Pada masa periodisasi ini sangatlah panjang, mencapai lebih dari empat
abad. Indonesia mengalami penjajahan sejak pertama kali kedatangan bangsa
Portugis, Spanyol, kemudian selama tiga setengah abad dibawah kendali
Belanda. Indonesia juga pernah mengalami pemerintahan dibawah kerajaan
Inggris dan kekaisaran Jepang. Selama beberapa kali pergantian pemegang
kekuasaan atas nusantara juga membuat perubahan besar dan signifikan.

Masa pemberlakuan hukum acara pidana Barat dimulai setelah bangsa


Belanda datang ke wilayah Nusantara, yaitu ditandai dengan diberlakukannya
beberapa peraturan pidana oleh VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie).

VOC sebenarnya adalah kongsi dagang Belanda yang diberikan


"kekuasaaan wilayah" di Nusantara oleh pemerintah Belanda. Hak
keistimewaan VOC berbentuk hak octrooi Staten General yang meliputi
monopoli pelayaran dan perdagangan, mengumumkan perang, mengadakan
perdamaian dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, dan mencetak uang.

Pemberian hak demikian memberikan konsekuensi bahwa VOC


memperluas dareah jajahannya di kepulauan Nusantara. Dalam usahanya
untuk memperbesar keuntungan, VOC memaksakan aturan-aturan yang
dibawanya dari Eropa untuk ditaati orang-orang pribumi.

Pada tahun 1642 Joan Maetsuycker bekas Hof van Justitie di Batavia
yang mendapat tugas dari Gubernur Jenderak van Diemen merampungkan
suatu himpunan plakat-plakat yang diberi nama Statuten van Zeventien. Pada
tahun 1850 himpunan itu disahkan oleh Heeren Zeventien.

4
Menurut Utrecht, hukum yang berlaku di daerah yang dikuasai oleh VOC ialah :

1. hukum statuta yang termuat di dalam : Statuten van Batavia.


2. hukum Belanda kuno
3. asas-asas hukum Romawi.

Hubungan hukum Belanda yang kuno dengan statuta itu ialah sebagai
pelengkap, jika statuta tidak dapat menyelesaikan masalah, maka hukum
Belanda kuno yang diterapkan, sedangkan hukum Romawi berlaku untuk
mengatur kedudukan hukum budak (Slaven recht).

Statuta Betawi berlaku bagi daerah Betawi dan sekitarnya yang


mempunyai batas utara : pulau-pulau Teluk Betawi, di timur : sungai Citarum, di
selatan : Samudera India, di barat : Sungai Cisadane.

Ini merupakan teori saja, karena prakteknya orang pribumi tetap tunduk
kcpada hukum adatnya. Di daerah lain tetap berlaku hukum adat pidana.
Campur tangan VOC hanya dalam soal-soal pidana yang berkaitan dengan
kepentingan dagangnya. Di daerah Cirebon berlaku Papakem Cirebon yang
mendapat pengaruh VOC.

Pada tahun 1848 dibentuk lagi intermaire strafbepalingen. Barulah pada


tahun 1866 muncul kodifikasi yang sistematis. Mulai tanggal 10 Pebruari 1866
berlakulah dua KUHP di Indonesia :

1. Het Wetboek van Strafrecht voor Europeanen (Stbl. 1866 Nomor


55) yang berlaku bagi golongan Eropa mulai 1 Januari 1867.
Kemudian dengan Ordonansi tanggal 6 Mei 1872 berlaku KUHP
untuk golongan Bumiputra dan Timur Asing.

2. Het Wetboek van Strafrecht voor Inlands en daannede gelijk-


gestelde (Stbl. 1872 Nomor 85), mulai berlaku 1 Januari 1873.

Setiap peraturan yang dibuat VOC diumumkan dalam bentuk plakaat,


tetapi pengumuman itu tidak tidak disimpan dalam arsip. Sesudah diumumkan,
plakaat peraturan itu kemudian dilepas tanpa disimpan sehingga tidak dapat
diketahui peraturan mana yang masih berlaku dan yang sudah tidak berlaku
lagi. Keadaan demikian menimbulkan keinginan VOC untuk mengumpulkan
kembali peraturan-peraturan itu.

Kumpulan peraturan-peraturan itu disebut sebagai Statuten van Batavia


(Statuta Betawi) yang dibuat pada tahun 1642. Pada tahun 1766 Statuta
Batavia itu dibuat kembali dan dihasilkan Statuta Batavia Baru. Statuta itu
berlaku sebagai hukum positif baik bagi orang pribumi maupun bagi orang
asing, dengan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan peraturan-
peraturan lain.

5
Walaupun statuta tersebut berisi kumpulan peraturan-peraturan, namun
belum dapat disebut sebagai kodifikasi hukum karena belum tersusun secara
sistematis.
Dalam perkembangannya, salah seorang gubernur jenderal VOC, yaitu Pieter
Both juga diberikan kewenangan untuk memutuskan perkara pidana yang
terjadi di peradilan-peradilan adat.

Alasan VOC mencampuri urusan peradilan pidana adat ini disebabkan


beberapa hal, antara lain:

1. sistem pemidanaan yang dikenal dalam hukum pidana adat tidak


memadai untuk dapat memaksakan kepada penduduknya agar
mentaati peraturan-peraturan.
2. sistem peradilan pidana adat terkadang tidak mampu menyelesaikan
perkara pidana yang terjadi karena permasalahan alat bukti; dan
3. adanya perbedaan pemahaman mengenai kejahatan dan pelanggaran
antara hukum pidana adat dengan hukum pidana yang dibawa VOC.

Sebagai contoh adalah suatu perbuatan yang menurut hukum pidana


adat bukanlah dianggap sebagai kejahatan, namun menurut pendapat VOC
perbuatan tersebut dianggap kejahatan, sehingga perlu dipidana yang setimpal.

Bentuk campur tangan VOC dalam hukum pidana adat adalah


terbentuknya Pepakem Cirebon yang digunakan para hakim dalam peradilan
pidana adat. Pepakem Cirebon itu berisi antara lain mengenai sistem
pemidanaan seperti pemukulan, cap bakar, dirantai, dan lain sebagainya.

Pada tahun 1750 VOC juga menghimpun dan mengeluarkan Kitab


Hukum Muchtaraer yang berisi himpunan hukum pidana Islam. Pada tanggal 31
Desember 1799, Vereenigde Oost Indische Compagnie dibubarkan oleh
pemerintah Belanda dan pendudukan wilayah Nusantara digantikan oleh
Inggris.
Gubernur Jenderal Raflles yang dianggap sebagai gubernur jenderal terbesar
dalam sejarah koloni Inggris di Nusantara tidak mengadakan perubahan-
perubahan terhadap hukum yang telah berlaku. Dia bahkan dianggap sangat
menghormati hukum adat.

Pada tahun 1747 VOC telah mengatur organisasi peradilan pribumi


dipedalan, yang langsung memikirkan tentang “Javasche wetten” (undang-
undang Jawa). Hal itu diteruskan pula oleh Daendels dan Raffls untuk
menyelami hukum adat sepanjang pengetahuannya. Tetapi dengan kejadian di
negeri Belanda tersebut, maka usaha ini ditangguhkan.

Sebelum berlakunya perundang-undangan baru di negeri Belanda, yaitu


dalam tahun 1836. Scholten van Oud-Haarlem telah menyatakan kesediannya
untuk mempersiapkan perundang-undangan baru di Hindia Belanda disamping
jabatannya sebagai presidan Hooggerechtshof. Ia memangku jabatannya itu
pada tahun 1837 dan bersama dengan Mr. van Vloten dan Mr P. Mijer, ia

6
diangkat oleh gubernur jendral de Eerens sebagai panitia untuk
mempersiapkan perundang-undangan baru itu di Hindia Belanda.

Salah satu peraturan yang mulai berlaku pada tanggal 1 mei 1848
berdasarkan pengumuman Gubernur Jendral tanggal 3 desember 1847 Sld
Nomor 57 ialah Inlands Reglement atau disingkat IR. Mr Wichers mengadakan
beberapa perbaikan atas anjuran Gubernur Jendral, tetapi ia mempertahankan
hasil karyanya itu pada umumnya. Akhirnya, reglemenn tersebut disahkan oleh
Gubernur Jendral, dan diumumkan pada tanggal 5 april 1848, Sbld nomor 16,
dan dikuatkan dengan firman Raja tanggal 29 september 1849 \nomor 93,
diumumkan dalam Sbld 1849 nomor 63. Dengan Sbld 1941 nomor 44 di
umumkan kembali dengan Herziene Inlands Reglement atau HIR. Yang
terpenting dari perubahan IR menjadi HIR ialah dengan perubahan itu dibentuk
lembaga openbaar ministerie atau penuntut umum, yag dahulu ditempatkan
dibawah pamongpraja.
Dengan perubahan ini maka openbaar ministerie (OM) atau parket itu secara
bulat dan tidak terpisah-pisahkan (een en ondeelbaar) berada dibawah officier
van justitie dan procureur generaal. Dalam praktek IR masih masih berlaku
disamping HIR di Jawa dan Madura. HIR berlaku dikota-kota besar seperti
Djakarta (Batavia), Bandung, Semarang, Surabaya, Malang, dan lain-lain,
sedangkan di kota-kota lain berlaku IR. Untuk golongan bumi putera, selain
yang telah disebutkan di muka, masih ada pengadilan lain seperti
Districhtsgerecht, regentshapsgerecht, dan luar jawa dan madura terdapat
magistraatsgerecht menurut ketentuan Reglement Buitengewesten yang
memutus perkara perdata yang kecil-kecil. Sebagai pengadilan yang tertinggi
meliputi seluru “Hindia Belanda”, ialah Hooggerechtshof yang putusan-
putusannya disebut arrest. Tugasnya diatur dalam pasal 158 Indische
Staatsregeling dan RO.

Kita terbawa oleh arus kepada perubahan penting perundang –


undangan di negeri Belanda pada tahun 1838, pada waktu mana mereka baru
saja terlepas dari penjajahan Prancis.Pada waktu itu, golongan logis yaitu yang
memandang bahwa semua peraturan hukum seharusnya dalam bentuk undang
– undang sangat kuat. Berlaku ketentuan pada waktu itu bahwa kelaziman –
kelaziman tidak merupakan hukum, kecuali bilamana kelaziman tersebut
ditunjuk dalam undang – undang (aturan hukum yang tertulis dan terbuat
dengan sengaja) Sebelum itu, VOC pada tahun 1747 telah mengatur organisasi
peradilan pribumi di pedalaman, yang langsung memikirkan tentang “Javasche
wetten” (undang – undang Jawa). Hal itu diteruskan pula oleh Daendels dan
Raffles untuk menyelami hukum adapt sepanjang pengetahuannya. Tetapi
dengan kejadian di negeri Belanda itu maka usaha ini ditangguhkan. Mr. H.L.
Wichers seorang legis yang berasal dari Groningen. Pada waktu masih di
Belanda ia mempelajari rancangan Panitia Scholten. Ia berpengalaman sebagai
bekas jaksa dan anggota dewan pertimbangan agung. Ia berangkat ke Hindia
Belanda pada bulan Mei 1846. Tiga pekerjaan utama yang; diselesaikan
selama satu setengah tahun, yaitu gpertama peraturan mengenai peradilan,
kedua mengenai perbaikan kitab undang-undang yang telah ditetapkan itu, dan
ketiga pertimbangan tentang berlakunya hukum Eropa untuk orang Timur. Isi
dari firman Raja tanggal 16 Mei 1846 Nomor 1 yang diumumkannya di

7
Indonesia dengan Sbld 1847 Nomor 23 yang terpenting ialah yang tersebut
Pasal 1 dan Pasal 4. Peraturan – peraturan hukum yang dibuat untuk “Hindia
Belanda” yaitu sebagai berikut:

1. Ketentuan Umum tentang Perundang – Undangan; (AB).


2. Peraturan tentang Susunan Pengadilan dan Kebijaksanaan
Pengadilan (RO).
3. Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (BW).
4. Kitab Undang – Undang Hukum Dagang (WvK)
5. Ketentuan – ketentuan tentang kejahatan yang dilakukan pada
kesempatan jatuh pailit dan terbukti tidak mampu, begitu pula kala
diadakan penangguhan pembayaran utang (Pasal 1)
6. Peraturan acara perdata untuk (Hooggerechtshof dan Raad van
Justitie).
7. Peraturan tata usaha kepolisian, beserta pengadilan sipil dan
penuntutan perkara criminal mengenai golongan Bumiputra dan
orang – orang yang dipersamakan (Pasal 4).

Yang disebut di atas ini yang disebut reglement op de uitofening van de


politie, de burgelijke rechtspleging en de strafvordering onder de Inlanders en
de Oosterlingen of Java en Madoera.

C. Sejarah Hukum Acara Pidana Setelah Zaman Pendudukan Jepang


di Indonesia

Pada masa pendudukan Jepang selama 3,5 tahun, pada hakekatnya


hukum pidana yang berlaku di wilayah Indonesia tidak mengalami perubahan
yang signifikan. Pemerintahan bala tentara Jepang (Dai Nippon)
memberlakukan kembali peraturan jaman Belanda dahulu dengan dasar Gun
Seirei melalui Osamu Seirei.

Pertama kali, pemerintahan militer Jepang mengeluarkan Osamu Seirei


Nomor 1 Tahun 1942. Pasal 3 undang-undang tersebut menyebutkan bahwa
semua badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang
dari pemerintah yang dulu tetap diakui sah untuk sementara waktu, asalkan
tidak bertentangan dengan pemerintahan militer.
Dengan dasar ini maka dapat diketahui bahwa hukum yang mengatur
pemerintahan dan lain-lain, termasuk hukum pidananya, masih tetap
menggunakan hukum pidana Belanda yang didasarkan pada Pasal 131 jo. Psal
163 Indische Staatregeling.
Dengan demikian, hukum pidana yang diberlakukan bagi semua golongan
penduduk sama yang ditentukan dalam Pasal 131 Indische Staatregeling, dan
golongan-golongan penduduk yang ada dalam Pasal 163 Indische
Staatregeling.
Untuk melengkapi hukum acara pidana yang telah ada sebelumnya,
pemerintahan militer Jepang di Indonesia mengeluarkan Gun Seirei nomor
istimewa 1942, Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 dan Gun Seirei Nomor 14
Tahun 1942. Gun Seirei Nomor istimewa Tahun 1942 dan Osamu Seirei Nomor
25 Tahun 1944 berisi tentang hukum pidana umum dan hukum pidana khusus.

8
WvSI tetap berlaku pada zaman pendudukan Jepang. Hal ini didasarkan pada
undang-undang (Osama Serei} Nomor 1 Tahun 1942 yang mulai berlaku pada
tanggal 7 Maret 1942 sebagai peraturan peralihan Jawa dan Madura.

Pasal 3 Osamu Serei tersebut berbunyi:

"Semua badan-badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum undang-


undang dan pemerintah yang dulu tetap diakui sah buat sementara waktu asal
saja tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer."

Jadi, hanya pasal-pasal yang menyangkut pemerintah Belanda, misalnya


penyebutan raja/ratu yang tidak berlaku lagi. Peraturan yang semacam
dikeluarkan juga di luar Jawa dan Madura.

Dibanding dengan hukum pidana materiel, maka hukum acara pidana


lebih banyak berubah, karena terjadi uninikasi acara dan susunan pengadilan.
Ini diatur di dalam Osamu Serei Nomor 3 Tahun 1942 tanggal 20 September
1942.
Sedangkan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942 mengatur tentang pengadilan di
Hindia Belanda.

Pada masa ini, Indonesia telah mengenal dualisme hukum pidana


karena wilayah Hindia Belanda dibagi menjadi dua bagian wilayah dengan
penguasa militer yang tidak saling membawahi.

Wilayah Indonesia timur di bawah kekuasaan Angkatan Laut Jepang


yang berkedudukan di Makassar, dan wilayah Indonesia barat di bawah
kekuasaan Angkatan Darat Jepang yang berkedudukan di Jakarta.
Akibatnya, dalam berbagai hal terdapat perbedaan peraturan yang berlaku di
masing-masing wilayah.

D. Sejarah Hukum Acara Pidana setelah Proklamasi Kemerdekaan


Indonesia 1945

Pasca Kemerdekaan keadaan pada zaman pendudukan Jepang


dipertahankan sesudah proklamasi kemerdekaan. Pasal II Aturan Peralihan
UUD 1945 berlaku pada tanggal 18 Agustus 1945 mengatakan :

"Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama
belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini."

Untuk memperkuat aturan peralihan tersebut, maka Presiden


mengeluarkan suatu peraturan pada tanggal 10 Oktober 1945 yang disebut
Peraturan Nomor 2 yang berbunyi :

"Untuk ketertiban masyarakat berdasar atas Aturan Peralihan Undang-Undang


Dasar Negara Republik Indonesia pasal II berhubung dengan pasal IV Kami
Presiden menetapkan peraturan sebagai berikut ;

9
Pasal I

"Segala badan-badan negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai


berdirinya Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, selama
belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar, masih berlaku asal
saja tidak bertentangan dengan Undang-Undang tersebut."

Pasal II

"Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1945."

Barulah dengan Undang—Undang Nomor 1 Tahun 1946 diadakan


perubahan yang mendasar atas WvSI.
Ditentukan di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tersebut bahwa
hukum pidana yang berlaku sekarang (mulai 1946) iaiah hukum pidana yang
berlaku pada tanggal 8 Maret 1942 dengan pelbagai perubahan dan
penambahan yang disesuaikan dengan keadaan Negara Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia dengan nama Wetboek van Srrafrecht mor
Nederlandsch Indie diubah menjadi Wetboek van Strufrechz yang dapat disebut
Kitab Undang - Undang Hukum Pidana (KUHP) dan KUHAP.

Perubahan-perubahan yang diciptakan oleh Undang-Undang Nomor 1


Tahun 1946 terhadap Wetboek van Strafrecht 8 Maret Tahun 1942 (saat mulai
pendudukan Jepang) ialah :

1. Pasal V yang menentukan bahwa peraturan hukum pidana yang


seluruhnya atau sebagian sekarang tidak dapat dijalankan atau
bertentangan dengan kedudukan Indonesia sebagaj negara merdeka
atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap tidak berlaku.
2. Pasal VI mengubah dengan resmi nama Wetbcek van Strafrecht voor
Nederlandsch Indie menjadi Wetboek van Stmfrecht (saja) yang dapat
disebut juga dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP)
3. Pasal VIII membuat perubahan kata-kata dan penghapusan beberapa
pasal KUHAP itu sebanyak 68 ketentuan.
4. Diciptakan delik-delik baru yang dimuat dalam Pasal IX sampai
dengan Pasal XVI, tetapi kemudian dengan Undang Undang Nomor
78 Tahun 1958 Pasal XVI tersebut dicabut.

Tentulah harus diingat bahwa teks asli Wetboek van Shafrecht atau
KUHP itu sampai kinipun masih di dalam bahasa Belanda, kecuali
penambahan-penambahan kemudian sesudah tahun 1946 itu yang teksnya
sudah tentu dalam bahasa Indonesia.

Jadi, apa yang sering dipegang oleh pelaksana hukum (hakim,jaksa,


polisi dan pengacara) adalah terjemahan di dalam bahasa Indonesia, yang
corak ragamnya tergantung pada selera penerjemah dan saat penerjemahan
sama halnya dengan yang dipakai oleh para dosen dan mahasiswa hukum.

10
Sebagai sejarah perlu diingat, bahwa Belanda pada tahun 1945 sampai
dengan 1949 kembali lagi ke Indonesia menduduki beberapa wilayah, dan
bertambah luas sesudah Aksi Militer I, terutama meliputi kota-kota besar di
Jawa dan Sumatera, seperti Jakarta, Bogor, Bandung, Semarang, Surabaya,
Malang, Palembang, Padang dan Medan dan seluruh Nusatenggara, Sulawesi,
Kalimantan, Maluku dan Irian Barat.

2. RUANG LINGKUP KUHAP

Undang-undang Hukum Acara Pidana berlaku untuk melaksanakan tata


Cara peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat
peradilan meliputi Peradilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.
Ini juga berarti bahwa ruang Iingkup berlakunya undang-undang Hukum Acara
Pidana mengikuti asas-asas yang dianut oleh Hukum Pidana Indonesia,
meliputi :

- Asas Legalitas
- Asas Teritorial (termasuk ZEE)
- Asas Kewarganegaraan Aktif / Personalitas
- Asas Kewarganegaraan Pasif / Perlindungan
- Asas Universal

Ruang lingkup undang-undang Hukum Acara Pidana mencakup


pengkhususan dari peradilan umum seperti halnya pengadilan lalu lintas,
pengadilan anak, pengadilan ekonomi. Undang-undang Hukum Acara Pidana
berlaku juga pada semua ketentuan pidana khusus yaitu perbuatan-perbuatan
lainnya yang diancam dengan pidana kecuali apabila undang-undang pidana
khusus tersebut menentukan lain (mengatur hukum acara pidana tersendiri).
Ketentuan peralihan KUHAP mengatakan bahwa setelah tahun 1983 maka
terhadap semua perkara pidana diberlakukan ketentuan KUHAP, dengan
pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana
sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan
dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi.

Akan tetapi pada kenyataannya setelah KUHAP diundangkan lahir


undang-undang yang mengatur ketentuan pidana sekaligus mengatur hukum
acara pidananya sendiri.
Sebagai contoh :
Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi No. 31 tahun
1999, pasal 26 menyatakan : “Penyidikan penuntutan dan pemeriksaan di
sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan
hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-
undang ini “.

Jadi kalau KUHAP semula dirancang sebagai suatu kodifikasi dan


unifikasi hukum acara Indonesia ternyata gagal. Kedudukan KUHAP sekarang
hanya sekedar lex generalis saja.
- Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi;

11
Pasal 39 ayat (1); penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana
korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan
berdasarkan Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-undang Nomor
20 tahun 2001, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.

- Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010, Tindak Pidana Pencucian Uang;


Pasal 74; Penyidikan tindak pidana pencucian uang, dilakukan oleh penyidik
tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan
peraturan perundang- undangan, kecuali ditentukan lain menurut undang-
undang ini.

- Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009, tentang Narkotika;


Pasal 73; Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan
terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor
narkotika dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan, kecuali
ditentukan lain dalam undang-undang ini.

- Undang-undang Nomor 31 tahun 2004 jo Undang-undang Nomor 45


tahun 2009 tentang perikanan.
Pasal 72, Penyidikan dalam perkara tindak pidana di bidang perikanan,
dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain
dalam undang-undang ini.

12
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Pada waktu penjajah Belanda datang pertama kali di Indonesia telah


tercipta hukum yang lahir dari masyarakat tradisional sendiri yang kemudian
disebut Hukum Adat.
Masa pemberlakuan hukum acara pidana Barat dimulai setelah bangsa
Belanda datang ke wilayah Nusantara, yaitu ditandai dengan diberlakukannya
beberapa peraturan pidana oleh VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie).
Pada masa pendudukan Jepang selama 3,5 tahun, pada hakekatnya hukum
pidana yang berlaku di wilayah Indonesia tidak mengalami perubahan yang
signifikan. Pemerintahan bala tentara Jepang (Dai Nippon) memberlakukan
kembali peraturan jaman Belanda dahulu dengan dasar Gun Seirei melalui
Osamu Seirei.

Pasca Kemerdekaan keadaan pada zaman pendudukan Jepang


dipertahankan sesudah proklamasi kemerdekaan. Pasal II Aturan Peralihan
UUD 1945 berlaku pada tanggal 18 Agustus 1945 mengatakan :
"Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama
belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini."

Untuk memperkuat aturan peralihan tersebut, maka Presiden


mengeluarkan suatu peraturan pada tanggal 10 Oktober 1945 yang disebut
Peraturan Nomor 2 yang berbunyi :
"Untuk ketertiban masyarakat berdasar atas Aturan Peralihan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia pasal II berhubung dengan pasal IV Kami
Presiden menetapkan peraturan sebagai berikut ;

Pasal I

"Segala badan-badan negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai


berdirinya Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, selama
belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar, masih berlaku asal
saja tidak bertentangan dengan Undang-Undang tersebut."

Pasal II

"Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1945."


Barulah dengan Undang—Undang Nomor 1 Tahun 1946 diadakan perubahan
yang mendasar atas WvSI.

13
Penggunaan istilah “hukum acara pidana” sudah merupakan pemilihan
yang tepat dibandingkan dengan “hukum proses pidana” atau “hukum tuntutan
pidana di negara Belanda memakai istilah strafvordering yang kalau
diterjemahkan adalah “tuntutan Pidana” oleh karena itu menurut Prof. Dr. Jur.
Andi Hamzah istilah Inggris Criminal prosedure law lebih tepat daripada istilah
Belanda.

14
DAFTAR PUSTAKA

http://umemsindonesia.blogspot.com/…/sejarah-hukum-acara-pi…
http://www.parlemen.net/…/mendorong-pembaruan-kitab-undang-…

15

Anda mungkin juga menyukai