Anda di halaman 1dari 13

HUKUM KELUARGA ISLAM DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT

(Modernisasi Hukum Keluarga Islam dan Kesadaran Hukum Masyarakat)

Makalah

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Antropologi & Sosiologi Hukum
Keluarga Islam Bidang Hukum Keluarga Islam (Ahwal Syakhsiyyah)
Fakultas Syariah dan Hukum Islam IAIN Bone

Oleh :

KARMILA
NIM. 742302021083

ISRA`MIRANTI
NIM. 742302021095

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BONE
2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Alhamdulillah segala puji bagi Allah subhanahu wa ta'ala karena atas limpahan
rezekinya dan rahmatnya sehingga makalah ini bisa selesai dalam waktu yang telah
ditentukan. Tak lupa pula kita kirimkan shalawat berangkaian salam atas nabi Allah
Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Nabi yang menjadi suri tauladan bagi umat Islam,
Alhamdulillah kami penulis sangat bersyukur karena makalah kami dapat terselesaikan tapa
adanya kendala dan dengan ini kami ingin menyampaikan bahwa makalah ini akan berisi
mengenai modernisasi hukum keluarga islam dan kesadaran hukum dalam masyarakat yang
nantinya akan membawa kita kepada pentingnya kesadaran hukum itu sendiri, karena
sebagaimana kita ketahui dengan adanya kesadaran hukum itu akan membawa pada
kepatuhan hukum.
Demikian kata sambutan yang dapat kami sampaikan, wassalamu'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh

Watampone, 12 Oktober 2023

Kelompok 4,

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..............................................................................................................

KATA PENGANTAR............................................................................................................i

DAFTAR ISI..........................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.............................................................................................1

B. Rumusan Masalah......................................................................................................2

C. Tujuan.........................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

Modernisasi Hukum Keluarga Islam dan Kesadaran Hukum Masyarakat................3

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan.................................................................................................................9

B. Saran...........................................................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................10

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum Islam merupakan salah satu sumber hakum nasional, hal ini dapat
dipahami melalui ketentuan Pasal 29 ayat (I) dan (2) Undang-Undang Dasar (UUD)
1945. Dalam pasal tersebut ditegaskan bahwa negara Indonesia berdasar atas
ketuhanan yang maha esa dan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya
dan kepercayaannya itu.
Secara historis, hukum Islam sudah lama menjadi hukum positif yang berlaku
di Indonesia. Diantara hukum Islam yang menjadi hukum positif di Indonesia adalah
bidang hukum keluarga. Sejak zaman penjajahan sampai sekarang hukum keluarga
yang besumber dari hukum Islam sudah diikuti dan hidup di tengah-tengah mayoritas
rakyat Indonesia.
Pembaharuan hukum Islam di Indonesia, khususnya hukum keluarga adalah
suatu keharusan. Hal ini dikarenakan adanya tuntutan perubahan zaman, tuntutan
perkembangan ilmu pengetahuan, pengaruh globalisasi ekonomi, pengaruh reformasi
dalam berbagai bidang hukum, dan juga pengaruh pembaharuan pemikiran Islam
yang mengharuskan pintu itihad selalu terbuka untuk menemukan hukum baru
terhadap persoalan baru.1
M. Atho Mudzhar menetapakan empat syarat dalam pembaruan fikih:
pertama, fikih harus dipandang sebagai produk dominan akal. Oleh karena itu. fikih
dapat berubah, dibuang. atau dikembangkan. Kedua, tingkat pendidikan dan tingkat
keterbukaan masyarakat muslim tinggi, ketiga, umat Islam berani mengambil pilihan-
pilihan alternatif dari pasang-pasangan tersebut. Keempat, memahami faktor-faktor
sosiokultural dan politik yang melatarbelakangi lahirnva produk pemikiran fiqhiyyah
tertentu.
Ajaran fikih yang hidup dan berkembang di Indonesia salah satunya adalah
fikih perkawinan. Eksistensi fikih perkawinan bukan saja diakui dan ditaatai oleh
masyarakat (diterima secara psikologis dan sosiologis), melainkan juga diakui oleh

1
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2005), h. 4.

1
negara dengan terbentuknya dan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan.2
Modernisasi hukum keluarga di Indonesia pada dasarnya dilakukan atas
syarat-syarat yang telah dikemukakan oleh para ahli. Pembaruan hukum keluarga
Islam dimaksudkan agar ajaran Islam dalam bidang keluarga tetap ada dan diterima
oleh masyarakat modern. Untuk mengembalikan aktualitas hukum Islam atau untuk
menjembatani ajaran teoretis dalam kitab-kitab fiqh hasil pemikiran mujtahid dengan
kebutuhan masa kini.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis merumuskan masalah, yaitu
bagaimana Modernisasi Hukum Keluarga Islam dan Kesadaran Hukum Masyarakat?

C. Tujuan
Adapun tujuan yang hendak dicapai melalui penulisan ini adalah untuk
mengetahui Modernisasi Hukum Keluarga Islam dan Kesadaran Hukum Masyarakat

2
Jaih Mubarok, Pembaharuan Hukum Perkawinan di Indonesia (Bandung: Simbiosa Rekatama Media,
2015), h. 10.

2
BAB II
PEMBAHASAN

Modernisasi Hukum Keluarga Islam dan Kesadaran Hukum Masyarakat

Kesadaran hukum adalah konsep penelitian empiris yang dikembangkan dalam ranah
hukum pada era 1980-1990-an dan dialamarkan pada isu-isu hegemoni hukum, dan secara
lebih khusus ingin menguraikan bagaimana hukum menopang kekuatan institusinya,
meskipun secara terus-menerus akan selalu ada jarak antara lain book dan low in actions.
Ketika jarak antara hukum dan masyarakat sangat jauh, bukan tidak mungkin yang terjadi
adalah ketimpangan sosial (social lag). Hukum yang mengatur dan menjadi kontrol sosial
masyarakat, justru sebaliknya malah menjadi bumerang bagi masyarakat itu sendiri. 3
Dalam hal ini, penerapan hakum keluarga di Indonesia penting diperhatikan aspek-
aspek yang terkait dengan penegakan hukum. Akar penerapannya sangat dangkal bila proses
modernisasi dan penegakan hukum keluarga di Indonena hanya dilihat dalam satu arah saja,
karena hukum sendiri berlaku dan herada di masyarakat. Setidaknya, peran serta manusia
sebagai subyek hukum sangat menentukan apakah hukum tersebut berjalan secara efektif atau
tidak. Inilah setidaknya yang dijadikan landasan beberapa politik kontemporer ketika melihat
hubungan dan masyarakat.
Selain konsep yang dikemukakan W. Friedman tentang sistem hukum. Niklas
Luhmann juga mengidentifikasikasi adanya tiga unsur penting dalam sistem hukum, yaitu (a)
kekuatan sosial dan hukum, yang dalam beberapa kasus memberikan tekanan ketika proses
pembentukannya; (b) hukum itu sendiri (struktur dan aturan hukum), (c) pengaruh yang kuat
dari tingkah laku di luar hukum itu sendiri. Dalam hal ini, hukum tidak berada dalam ruang
kosong, tetapi berada dalam satu hubungan sosial dan struktur sosial yang memengaruhi
penerapannya. Dan salah satu elemen masyarakat yang sangat memengaruhi penerapan
hukum adalah kesadaran masyarakat. Kesadaran pun tidak dapat dikatakan berdiri sendiri.
tetapi terkait dengan stuktur dan subjek-subjek lain, sehingga dalam hubungan in tidak dapat
dipastikan adanya salah satu faktor determinan yang memengaruhi hukum, tetapi kesemuanya
terjalin menjadi satu dan saling memengaruhi penerapannya.4
Seperti yang diketahui pula, pembentukan hukum keluarga di Indonesia, terutama
dalam perumusan Undang-Undang Perkawinan tidak luput dari proses politik saat itu.
Undang-Undang Perkawinan merupakan hasil interaksi kekuatan ideologi politik, mulai dari

3
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 287.
4
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia,......h. 288.

3
zaman Hindia Belanda, pasca kemerdekaan, masa Orde Lama hingga terbentukya undang-
undang ini pada masa orde baru dua di antara pengaruh yang sangat signifikan adalah
pengaruh kelompok Islam dan gerakan perempuan di Indonesia.
Pasca orde lama runtuh, kekuatan politik Islam masih sangat kuat. sedangkan
komunis sebagai kekuatan politik telah hilang ditelan zaman. Dalam suasana tersebut justru
muncul beberapa isu baru yang cukup hangat diperbincangkan umat Islam, yaitu kristenisasi.
Dengan terbentukya CSIS bersatunya lembaga ini dengan militer, sempat muncul wacana
bagaimana umat Kristen Katolik di Indonesia bersatu dengan pemerintah orde baru untuk
mengkristenkan Indonesia. Fenomena ini tidak hanya membuat gerah masyarakat Islam,
tetapi juga para ulama, pemimpin politik, organisasi keagamaan, dan hampir semua elemen
umat Islam merasa posisinya terancam.
Dalam perdebatan materi perundang-undangannya, dapat dilihat dua kecenderungan.
Di satu sisi, kelompok Islam menginginkan agar ajaran dan hukum Islam yang telah lama
dipraktikkan di masyarakat diberlakukan pula secara nasional melalui suatu undang-undang.
Namun di sisi lain, beberapa kelompok gerakan perempuan menginginkan suatu unifikasi
hukum perkawinan yang notabene mengakui dan menjaga hak-hak asasi perempuan.
Sementara itu, politik hukum pemerintah orde baru juga menginginkan adanya stabilitas
politik dalam masyarakat, dengan menggunakan hukum sebagai alat rekayasa sosial juga
memberikan andil dalam pembentukannya.
Hasil dari perseteruan tersebut dirumuskan dalam suatu Undang-Undang Perkawinan
yang dianggap sangat relevan dengan perkembangan masyarakat Indonesia yang sedang
dalam proses membangun. Hukum pun diproyeksikan sebagai alat untuk mengubah dan
mengatur tingkah laku masyarakat menuju satu tatanan sosial yang diharapkan. Dengan kata
lain, hukum menjadi alat rekayasa sosial menuju cita dan tujuan-tujuan hukum yang
diharapkan. Undang-Undang Perkawinan Indonesia menetapkan bahwa perkawinan adalah
suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Dari definisi menurut undang-undang ini sejatinya telah tergambar
bagaimana hukum keluarga di Indonesia hendak merumuskan satu hubungan hukum vang
berbeda dengan tradisi dan khazanah fikin Islam kasik yang melihat perkawinan hanya
sebatas hubungan badan (al-lima, al-wath`).
Adapun kesadaran hukum terdiri atas empat indikator dasar, yang masing-masing
merupakan suatu tahapan bagi tahapan berikutnya, yakni: pengetahuan hukum, pemahaman
hukum, sikap hukum, dan pola perilaku hukum. Meninjau penerapan hukum keluarga dalam
4
proses modernisasi ini penting kiranya melihat bagaimana hukum tersebut berada dalam
kesadaran masyarakat Indonesia. Apakah hukum yang dibentuk tersebut cukup diketahui dan
dipahami olen masvarakat sehingga pemahaman tersebut terwujud dalam sikap dan perilaku
masyarakat.
Dalam satu arena, kesadaran hukum akan terlihat dari bagaimana masyarakat
bertindak di dalam kehidupan hukum dengan mengambil tindakan-tindakan hukum yang
terbanyak dan menjadi patokan. Seperti halnya penelitian tentang akses dan kesetaraan
terhadap Peradilan agama menuniukkan bahwa faktor utama para responden membawa
perkaranya ke pengadilan agama (dijawab oleh 59,2% responden) bahwa hal ini dikarenakan
mereka tidak mampu menyelesaikan masalah tersebut di dalam keluarga mereka. Hanya
10,2% dari mereka yang merasa bahwa keputusan tersebut didasarkan kepada motivasi untuk
patuh kepada hukum yang berlaku di Indonesia. sedangkan 17,3% dari mereka menjawab
karena mereka percava bahwa pengadilan agama akan mampu memberikan penyelesaian
masalah terhadap masalah keluarga mereka.
Bila dikaitkan dengan beberapa penelitian lain, bisa ditarik kesimpulan bahwa
fenomena di atas dapat dianggap sangat wajar. Fenomena masyarakat lebih suka
menyelesalkan masalahannya secara kekeluargaan daripada lembaga hukum formal ini di
kuatkan pula oleh penelitian yang dilakukan The Asia Foundation. Menurut penelitian ini,
mayoritas responden perempuan lebih merasakan keadilan jika masalah mereka dalam
perkawinan dibicarakan kepada keluarga sendiri (75%) Angka yang tak jauh berbeda juga
dengan responden laki-laki yang mencapai 71%, Sementara lembaga formal, kecenderungan
responden sangat kecil. Kepada pengadilan agama hanya 32% bagi perempuan dan 38%
perempuan, sedangkan kepada pengadilan negeri justru sangat kecil, tidak lebih dari 3%.
Oleh karena itu. Kedua penelitian di atas sama-sama menunjukkan fakta bahwa ternyata
masyarakat Indonesia lebih merasa nyaman dan adil jika masalah mereka diselesaikan dalam
keluarga sendiri. Jika keluarga sudah tidak menyelesaikan, maka mereka baru membawa
masalahnya ke pengadilan agama atau lembaga lain.5
Selanjutnya jika dikaitkan dengan ketaatan dan kepatuhan hukum seseorang maka
akan sangat terkait dengan manfaat (utility) yang didapatkannya. Selain itu, masyarakat
senantiasa mempunyai kebutuhan utama, dan dari pengalaman pencapaian kebutuhan itu
masyarakat menemukan faktor-faktor yang menghalangi dan mendukung usaha-usahanya itu.

5
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia,.....h. 297.

5
Bila pengalaman ini dikonsolidasikan, maka terciptalah sistem nilai-nilai yang mencakup
konsepsi-konsepsi atau patokan-patokan abstrak tentang apa yang dianggap baik dan buruk.6
Salah satu contoh untuk menunjukkan adanya ketidaksadaran hukum terkait
modernisasi dalam hukum keluarga islam pada 1977 pernah dilakukan penelitian di Banda
Aceh tentang pelaksanaan hukum Perkawinan. Menurut penelitian ini, pembatasan poligami
yang dilakukan oleh Undang-Undang Perkawinan tidak hanya mampu membatasi laki-laki
untuk melakukan poligami, tetapi juga memberikan akibat negatif lain, seperti poligami
dengan nikah siri, tanpa memberitahukan kepada kepala desa, istri, keluarga atau tanpa
melakukan pencatat nikah. Jalan yang dipilih adalah perceraian dengan istri pertama,
hubungan gelap dan penipuan.
Kasus-kasus seperti inilah, di mana perempuan Indonesia semakin memahami hak-
haknya yang disertai dengan adanya kesadaran hukum yang mereka miliki. Oleh karena itu,
Jika terjadi perceraian karena istri yang menggugat untuk bercerai maka sudah menjadi
fenomena yang tidak perlu dipertanyakan. Setidaknya, hal ini merupakan gejala yang
mengindikasikan bahwa perempuan semakin sadar akan hak dan kewajiban serta berani
memperjuangkan apa yang menjadi prinsipnya. Untuk itu, pengetahuan dan pemahaman
masyarakat terhadap lembaga perkawinan, selain dari faktor eksternal lainnya, menjadi tujuan
yang tidak dapat dihindarkan, mengingat ketidaktahuan tersebut yang menjadikan masyarakat
tidak mematuhi hukum.
Dalam hal ini, penulis berusaha memotret penerapan hukum keluarga di Indonesia
terkait dengan kesadaran hukum di masyarakat. Seperti di ketahui, bahwa hukum keluarga
merupakan upaya sadar dan konstitusional dalam rangka memulai merekayasa kehidupan
masyarakat. Dalam proses rekayasa sendiri terdapat dua kemungkinan yang akan terjadi, jika
nilai-nilai baru sesuai dengan kondisi dan praktik di masyarakat, maka rekayasa akan sangat
mudah dilakukan. Tapi sebaliknya, ketika nilai baru tersebut berbeda dengan adat atau
kebiasaan masyarakat, bukan tidak mungkin masyarakat justru menolak atau secara diam-
diam tidak menjalankan.
Untuk yang terakhir, penolakan masyarakat terhadap hukum baru tersebut sangat
terlihat dari praktik perkawinan ilegal. Secara lisan, memang masyarakat akan dapat
memberikan rasionalisasi terhadap apa yang akan dipilihnya, seperti halnya dalam banyak
survai dilakukan. Tetapi, secara praktis ternyata masyarakat terikat dengan kondisi, struktur,
dan sistem masyarakat yang tidak dapat dipisahkan begitu saja. Kebanyakan perilaku
menyimpang dari undang-undang dilakukan dalam kondisi yang sadar. Untuk itulah,
6
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia,......h. 300.

6
kebiasaan yang ada akan terus dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, meskipun undang-
undang telah mengatur sesuatu yang baru. Selain itu, masih kuatnya fungsi lembaga
masyarakat menjadi pendorong praktik-praktik tersebut berlangsung, seperti dalam hal
poligami dan nikah di bawah tangan, ternyata dalam banyak kasus disebutkan bahwa ulama
tau qadhi masih menganggap bahwa perkawinan di bawah tangan adalah sah dan dibolehkan
Islam. Lambat laun, ketika hukum tidak diterapkan di masyarakat, maka kewibawaannya pun
akan hilang. Dan tentu hal ini akan semakin mengikis kesadaran masyarakat untuk mentaati
hukum.
Sebagaimana yang telah diketahui bersama pencatatan pernikahan adalah suatu hal
yang memiliki kedudukan penting bagi bangsa Indonesia, adanya hukum menunjukkan
adanya sanksi yang diterapkan. Ketika sanksi tidak berjalan, maka sama saja hukum tidak
ada. Sedangkan aspek yang diperlukan adalah penerimaan masyarakat terhadap hukum
perkawinan yang telah ditetapkan.
Untuk itulah, dalam beberapa hal ternyata modernisasi hukum keluarga dapat diterima
masyarakat Indonesia. Selain itu, harus dipahami pula bahwa penerapan sebuah hukum akan
efektif dan mudah berlaku di masyarakat, meskipun bersifat "mengubah", jika terkait dengan
keuntungan dan kepentingan. Dalam hal ini, ketika hukum keluarga memberikan perangkat
bagi perempuan untuk lebih setara dengan laki-laki, terutama di bidang hukum, maka sangat
mungkin hal ini akan dimanfaatkan oleh kaum perempuan.
Perubahan drastis kondisi perempuan, baik di bidang ekonomi, sosial, maupun
pendidikan, justru menjadikan mereka lebih mandiri dan berupaya melepaskan diri dari
ketergantungan kaum Adam. Selain itu, perubahan struktur masyarakat ini juga mengarahkan
keluarga menuju tipe dan bentuk keluarga modern, yang lebih kecil, mementingkan kasih
sayang, kebahagiaan, kekekalan, dan lebih pribadi. Oleh karena itu, dalam praktik di
lapangan, tidak mengherankan jika cerai gugat di pengadilan meningkat tajam. Undang-
Undang Perkawinan ataupun mekanisme pengadilan ternyata memberikan solusi bagi
perempuan yang telah maju (secara ekonomi, sosial, dan budaya) untuk melepaskan ikatan
perkawinan yang dianggapnya gagal mewujudkan tujuannya.
Dari kedua perspektif ini, hemat penulis, hukum keluarga tidak bisa dilihat secara
monolitik, tetapi dengan banyak sudut pandang dan pendekatan, mengingat keragaman
masyarakat Indonesia juga menjadikan upaya unifikasi tidak semudah dalam masyarakat
yang homogen. Demikian pula dengan kesadaran hukum masyarakat, ternyata tidak berdiri
sendiri. Tetapi juga terkait dengan struktur dan substansi hukum. Ketiganya saling
memengaruhi dan membentuk satu tindakan sosial dan selalu mereproduksi. Sehingga dalam

7
praktiknya ketika salah satu tidak mampu melakukan fungsinya dengan baik, maka hal itupun
akan memberikan pengaruh kepada komponen lain, meskipun tidak determinan.7

7
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia,.....h. 304-305.

8
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Kesadaran hukum terdiri atas empat indikator dasar, yang masing-masing


merupakan suatu tahapan bagi tahapan berikutnya, yakni: pengetahuan hukum,
pemahaman hukum, sika hukum, dan pola perilaku hukum. Meninjau penerapan
hukum keluarga dalam proses modernisasi ini penting kiranya melihat bagaimana
hukum tersebut berada dalam kesadaran masyarakat Indonesia. Apakah hukum yang
dibentuk tersebut cukup diketahui dan dipahami oleh masyarakat, sehingga
pemahaman tersebut terwujud dalam sikap dan perilaku masyarakat.

B. Saran

Makalah ini memuat mengenai bagaimana modernisasi hukum keluarga islam


dan kesadaran hukum masyarakat yang dapat memberikan kita sedikit gambaran ada
atau tidaknya kesadaran hukum masyarakat dalam modernisasi hukum keluarga islam
itu sendiri, penulis menyadari betul bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan dan
sedikit ingin penulis sampaikan bagi teman-teman pembaca jika merasa makalah ini
butuh perbaikan, kami sangat berterimakash atas sarannya tersebut karena suatu
kesalahan muncul untuk diperbaiki. Dan untuk memperoleh sumber yang lebih
lengkap, kami penulis sarankan juga agar teman-teman mencari referensi yang
terlengkap mengenai ini.

9
DAFTAR PUSTAKA

Amin Suma, Muhammad. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 2015.

Kharlie, Ahmad Tholabi. Hukum Keluarga Islam. Cet I; Jakarta: Sinar Grafika, 2013.

Mubarok, Jaih. Pembaharuan Hukum Perkawinan di Indonesia. Bandung: Simbiosa

Rekatama Media, 2015.

10

Anda mungkin juga menyukai