NIM : 1221004
Fakultas / Prodi : Fakultas Agama Islam / Hukum Keluarga Islam
Semester : 3 (tiga)
Mata Kuliah : Sosiologi Hukum Islam
Dosen Pengampu : H. Ilham Thohari Dr.M.HI
BAB I
Hukum waris diartikan sebagai hukum yang mengatur tentang kedudukan
harta kekayaan seseorang setelah pewaris meninggal dunia, dan cara-cara
berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang lain atau ahli waris. Meskipun
pengertian hukum waris tidak tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata KUH Perdata, namun tata cara pengaturan hukum waris tersebut diatur
oleh KUH Perdata. Walaupun hukum kewarisan sudah diatur dalam Islam dengan
jelas, namun dalam kenyataannya di masyarakat masih belum tersosialisasi
dengan baik. Hal ini tidak bisa lepas dari pengaruh Indonesia yang penduduknya
memiliki beraneka ragam bentuk kebudayaan yang mencakup pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, dan adat-istiadat.
Indonesia adalah negara multikultural. Berbagai aturan yang ada pun tidak
dapat mengotak-kotakan kultur yang ada. Sama berlakunya untuk hukum waris.
Di Indonesia, belum ada hukum waris yang berlaku secara nasional. Hukum waris
adat Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beragam suku
bangsa, agama, dan adat-istiadat yang berbeda satu dengan lainnya. Hal itu
mempengaruhi hukum yang berlaku di tiap golongan masyarakat yang dikenal
dengan sebutan hukum adat. Hukum waris islam. Hukum waris Islam berlaku bagi
masyarakat Indonesia yang beragama Islam dan diatur dalam Pasal 171-214
Kompilasi Hukum Indonesia, yaitu materi hukum Islam yang ditulis dalam 229
pasal. Dalam hukum waris Islam menganut prinsip kewarisan individual bilateral,
bukan kolektif maupun mayorat.
Hukum waris perdata atau yang sering disebut hukum waris barat berlaku
untuk masyarakat nonmuslim, termasuk warga negara Indonesia keturunan, baik
Tionghoa maupun Eropa yang ketentuannya diatur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (KUHP). Hukum waris perdata menganut sistem individual di
mana setiap ahli waris mendapatkan atau memiliki harta warisan menurut
bagiannya masing-masing.
2
BAB II
Hukum Islam baru dikenal di Indonesia setelah agama Islam disebarkan di
tanah air Indonesia. Belum ada kesepakatan para ahli sejarah tentang awal
masuknya Islam di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari hasil karya ahli hukum
Islam Indonesia. Misalnya, Miratul Thullab, Sirathal Mustaqim, Sabilal Muhtadin,
Kutaragama, Sajinatul Hukum, dan lain-lain. Karena teori receptie (resepsi)
sangat berpengaruh dalam sistem hukum masa itu. Maka dapat dikatakan bahwa
produk hukum Islam pada masa pemerintahan Belanda sudah ada, yakni mengatur
tentang Peradilan Agama serta materi hukumnya, akan tetapi peran hukum adat
mendominasi aturan tersebut.
Artinya, kontribusi hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional telah
memiliki kekuatan normatif dan kehadirannya semakin memperkuat wibawa
hukum Islam di Indonesia. Beberapa produk hukum di atas hanya menyangkut
hukum ibadah, keluarga, dan muamalah saja, tidak ada yang secara spesifik
mengatur tentang hukum pidana Islam (jinayah). Dalam Islam, budaya dan
perubahan sosial sangat jelas pengaruhnya terhadap pemikiran hukum. Perbedaan
budaya dan perubahan sosial yang terjadi di daerah-daerah yang dikuasai oleh
umat Islam di awal abad ke-2 sampai pertengahan abad ke-4 H, merupakan salah
satu faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan-perbedaan pendapat di
kalangan ulama fikih tentang masalah hukum, yang akhirnya menyebabkan
terbentuknya aliran-aliran hukum dalam Islam.
Sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami
agama. Karena banyak kajian agama yang baru dapat dipahami secara
proporsional dan tepat apabila menggunakan bantuan dari ilmu sosiologi.
Interaksi orang-orang Islam dengan sesamanya atau dengan masyarakat non-
Muslim di sekitar persoalan hukum Islam adalah gejala sosial. Dalam hal ini,
tercakup masalah-masalah evaluasi pelaksanaan dan efektivitas hukum, masalah
pengaruh hukum terhadap perkembangan masyarakat atau pemikiran hukum,
sejarah perkembangan hukum, sejarah administrasi hukum, dan masalah-masalah
kesadaran hukum masyarakat.
3
Secara leksikal, kaidah fiqhiyyah berasal dari dua kata “qowaid” jamak dari
“qoidah” yamg berarti pondasi, dasar, asas, atau fundamen segala sesuatu baik
yang kongkrit, materi atau inderawi seperti pondasi rumah maupun yang abstrak
baik yang bukan materi dan bukan inderawi seperti dasar-dasar agama. Dasar
Hukum Kaidah Fiqhiyyah merupakan produk ijtihad yang bersumber dari
Alquran, hadis dan ijma’, dan merupakan generalisasi dari tema-tema fikih yang
tersebar di kalangan imam mazhab. Adapun urgensitas kaidah fiqhiyyah terlihat
dari paparan Abû Zahrah tentang batasan ijtihad. Al-Qarâfi secara garis besar
berpendapat tentang urgensi kaidah fiqhiyyah ada tiga: Pertama, kaidah fiqhiyyah
mempunyai kedudukan istimewa dalam khazanah keilmuan Islam karena
kepakaran seorang faqîh sangat terkait erat dengan penguasaan kaidah fiqhiyyah.
Kedua, dapat menjadi landasan berfatwa. Ketiga, menjadikan ilmu fikih lebih
teratur sehingga mempermudah seseorang untuk mengidentifikasi fikih yang
jumlahnya sangat banyak.
BAB III
Kesejahteraan social (social welfare) selalu terkait dengan ide tentang
pembelaan kaum lemah dan cita-cita kemanusiaan mendasar, yaitu persamaan
manusia dengan keadilan.Islam sebagai agama, telah memiliki dogma dan ajaran
yang mapan mengenai persamaan manusia dengan keadilan. Sebagai way of life,
Islam juga menawarkan konsep keseimbangan dunia dan akhirat, secara sederhana
konsep ini disebut “paradigma sariah”. dalam paradigma ini manusia dipandang
sebagai khalifah yang diberi amanah dan tanggung jawab untuk mencapai
kejayaan (falah) dan kebahagiaan didunia dan di akhirat. Mewujudkan
kesejahteraan lahir dan batin adalah misi manusia sebagai khalifah yang juga
berarti menunjukkan dalam kehidupan manusia.
Berbeda dengan Sistem Ekonomi Konvensional, Islam memandang bahwa
sumber daya alam tersedia cukup untuk seluruh makhluk. Yang diperlukan adalah
sistem distribusi yang adil yang menjamin semua penduduk untuk mempunyai
kesempatan dan memperoleh rezekinya melaui mekanisme zakat dan pajak. Hal
ini telah dibuktikan keberhasilan di zaman Khalifah Umar Bin Khattab dan Umar
4
Bin Abdul Aziz, dimana dunia dengan Sistem Ekonomi Islam menjadi sejahtera,
sampai sulit dicari para mustahiq untuk diberi zakat.
Islam bukan sekedar agama yang melangit, tapi ia juga agama yang
membumi. Islam tidak sekedar agama yang ritualistik, tetapi juga agama yang
humanis. Islam adalah agama yang memadukan antara unsur keduniaan dengan
keakheratan, material dengan spiritual. Agama Islam adalah agama yang
sempurna dan juga paripurna; mencakup pandangan dan cara hidup secara total.
Pada puncaknya Islam bertujuan menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi
seluruh umat manusia.
Dalam Islam harta memiliki fungsi sosial, sehingga setiap orang yang
berharta diwajibkan menyisihkan bagian yang sudah dipastikan untuk orang
miskin, dan bahwa semua orang akan dimintai pertanggungjawaban atas tindakan
terhadap hartanya itu (Majid dalam Siti, 2008: 53). Oleh sebab itu, agama Islam
menganjurkan umat Islam khususnya yang memiliki harta lebih untuk peduli
kepada kaum miskin untuk menyisihkan sebagian hartanya. Salah satu konsep
yang terdapat dalam Islam untuk menyisihkan sebagian hartanya adalah dengan
menunaikan zakat.
Zakat merupakan ibadah yang memiliki akar histori yang cukup panjang,
seperti juga ibadah shalat. Kalau shalat ibadah ruhiya, maka zakat adalah ibadah
harta dan sosial yang memiliki posisi sangat penting, strategis, dan menentukan,
baik yang dilihat dari sisi ajaran Islam maupun dari sisi pembangunan
kesejahteraan umat. Dengan kata lain zakat di samping memiliki dimensi spiritual
jugamemiliki dimensi sosial ekonomi. Dengan demikian, bagi setiap muslim yang
telah menunaikan zakat, tidak hanya beribadah untuk dirinya sendiri tetapi juga
berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan sesamanya, dimana pengeluaran
zakat dibebankan atas hartaatau kekayaan seorang muslim sehingga zakat
memiliki tujuan yang mulia.
5
BAB IV
Salah satu tujuan pembangunan nasional adalah adanya upaya
mencerdaskan kehidupan bangsayang menjadi tanggungjawab nasional
sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 merupakan salah satu cita-cita
kemerdekaan untuk meningkatkan sumber daya manusia sehingga mampu
mencapai kesejahteraan bagi segenap rakyat Indonesia.
Tujuan bernegara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa juga merupakan
konsepsi budaya yang menuntut kesadaran harga diri, harkat, dan martabat,
kemandirian, tahan uji, pintar dan jujur, berkemampuan kreatif, produktif, dan
emansipatif. Pada konteks bernegara, pemikiran para pendiri Republik sudah
menembus masa, mendahului lahirnya paham-paham pembangunan progresif
yang menempatkan manusia sebagai subjek luhur: bahwa pembangunan adalah
pembangunan manusia seutuhnya.
Sebagai Hamba Allah SWT Tuhan yang Maha Esa, manusia memerlukan
pemenuhan kebutuhan spiritual, berkomunikasi atau berdialog dengan Tuhan yang
menciptakannya. Lebih dari itu, manusia juga memerlukan keindahan dan
estetika. Manusia juga memerlukan penguasaan keterampilan tertentu agar mereka
bisa berkarya, baik untuk memenuhi kepentingan dirinya sendiri maupun orang
lain. Semua kebutuhan itu harus dapat dipenuhi secara seimbang. Tidak boleh
sebagian saja dipenuhi dengan meninggalkan kebutuhan yang lain.
Manusia tidak cukup hanya sekedar cerdas dan terampil, tetapi dangkal
spiritualitasnya. Begitu pula sebaliknya, tidak cukup seseorang memiliki
kedalaman spiritual, tetapi tidak memiliki kecerdasan dan keterampilan atau
keahlian tertentu. Jadi manusia seutuhnya senyawa dengan prinsip dasar
pembentukan identitas dan karakter umat terbaik (khaira ummah): sebagaimana
tertuang dalam QS. Ali Imran: 10.
Instrumen yang paling mendasar untuk membangun manusia seutuhnya
adalah memastikan setiap warga negara memperoleh hak terhadap pendidikan.
Pendidikan yang selama ini mengedepankan ranah kognisi (pengetahuan) belaka
harus diubah melalui penyeimbangan pengetahuan dengan sikap dan keterampilan
serta akhlak yang mulia. Keseimbangan (tawazun) antara spiritual dengan
6
BAB V
Kontekstualisasi berarti mengontekstualkan, sedang kata konteks sendiri
seperti dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti: Apa yang ada didepan atau
dibelakang ( kata, atau kalimat, ucapan) yang membantu menentukan makna
(kata, kalimat, ucapan dlsb). Secara istilah, Kontekstualisasi adalah proses
berkesinambungan yang melalui kontekstual tersebut,kebenaran dan keadilan
Allah dapat diterapkan dan muncul dalam situasi-situasi historis yang kongkrit.
Istilah hukum Islam menurut Hasbi Ash-Shiddieqy seperti dikutip Amir
Syarifuddin adalah koleksi daya upaya para ahli hukum untuk menerapkan syariah
atas kebutuhan masyarakat. Jadi hukum Islam adalah peraturan-peraturan yang
dirumuskan berdasar wahyu Allah dan sunah Rasul-Nya tentang tingkah laku
mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku mengikat bagi semua pemeluk Islam.
Disamping memiliki muatan sosiologis, tak dapat dipungkiri bahwa fikih
(Hukum Islam) juga memiliki dimensi teologis dan inilah yang membedakan fikih
dengan hukum dalam terminologi ilmu hukum modern. Akan tetapi penempatan
cara pandang yang keliru terhadap dimensi teologis yang dikandungnya dapat
mengakibatkan anggapan bahwa fikih merupakan aturan yang sakral, bahkan
dalam keadaan tertentu muncul rasa takut untuk melakukan evaluasi terhadap
aturanaturan fikih yang ada, karena secara psikologis sudah terbebani oleh nilai-
nilai kesakralan tersebut, untuk itu perlu kajian yang mampu mengantarkan pada
cara pandang yang benar mengenai aspek teologis dalam fikih.
Modernisasi merupakan perubahan sosial budaya yang terarah yang
didasarkan pada suatu perencanaan. Modernisasi merupakan suatu persoalan yang
harus dihadapi masyarakat, karena proses tersebut mencakup bidang-bidang yang
sangat luas yang menyangkut proses disorganisasi, masalah-masalah sosial,
7
BAB VI
Konsep pembaharuan hukum Islam dalam pengertian pembaharuan fikih
telah lama diwacanakan oleh para pakar hukum Islam. Slogan yang disuarakan
juga ber- variasi. Istilah-isitlah seperti restruk- turisasi, redefinisi, dan modernisasi
adalah gagasan-gagasan yang seringkali diwacana- kan oleh para pembaharu
hukum Islam. Pembaharuan fikih harus mencakup tiga dimensi:, Pertama,
perubahan secara menyeluruh pada doktrin, nilai-nilai yang terkandung dalam
fikih yang tidak sesuai lagi dengan konsisi zaman. Kedua, Per- ubahan dalam
penerapan, adanya kecen- derungan menggunakan kitab fikih sebagai kitab
hukum dan sebagai referensi dalam penyelesaian masalah hukum. Ketiga,
Pembaharuan metodologi. Fikih merupakan produk pemikiran yang dihasilkan
melalui serangkaian penerapan metodologi yang telah dirumuskan para fuqaha.
Langkah-langkah pemaharuan fikih menurut A.Qadri Azizi meliputi
beberapa tahapan, yaitu:
1. Menempatkan fikih secara proporsional, yaitu sebagai produk ijtihad yang
dapat direinterpretasi ulang. Kontekstualisasi hasil ijtihad para ulama, sebab
bagaimanapun yang namanya pemikiran pasti dipengaruhi oleh subyek-tifitas
dan lingkungan pemikirnya.
1. Reaktualisasi dan reinterpretasi fikh dalam bentuk praktis.
2. Mengkaji fikih dalam berbagai pen- dekatan dan disiplin ilmu, sehingga
pengamalan fikih dapat dibumikan dan menjadi bagian dari produk hukum
yang mengikat.
Penggunaan metodologi dan pendekatan berbagai disiplin ilmu dalam
9
a. Faktor Sosial
Dinasti Umayyah memerintah sekitar tahun 661-750 M dengan pendirinya
Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Kekhalifaan ini berdiri tidak terlepas dari konflik
politik sebelumnya yang berakhir dengan ter- bunuhnya Imam Ali ra.
Pemerintahan bani Umayyah bercorak monarki, sebuah sistem pemerintahan yang
bertolak belakang dengan sistem kekhalifaan sebelumnya, yaitu jabatan khalifah
dipilih melalui proses pemilihan ahlu al-ahli wa al-aqdi (semacam parlemen).
Corak pemerintahan bani Umayyah dipengaruhi oleh kerajaan Persia dan
Bizantium. Sepanjang sejarah pemerintahan bani Umayyah, konflik internal,
berupa hubungan warga Arab dan mawali (non Arab) tidak terlalu harmonis.
Mawali (para budak) dianggap sebagai warga kelas dua. Faktor-faktor ini yang
menyebabkan hubungan antar anggota masyarakat sangat tidak kondusif dan
sering terjadi ketegangan.
Kondisi ini mulai membaik ketika masa pemerintahan khalifah al-Walid bin
Abd. Malik (86-97 H/705715 M), cerminan kemakmuran dan kesejahteraan mulai
tampak, meskipun ketegangan antara dua suku Arab yang dikenal sebagai Qay
dan Kalb tetap mengamcam eksistensi pemetintahan khalifah ini. Kemudian pada
masa pemerintahan Umar bin Abd. Aziz (99-102 H/717-720 M) puncak kemak-
muran dan kesejahteraan pemerintahan bani Umayyah dapat dicapai. Konflik-
konflik sosial yang terjadi dikalangan masyarakat dapat diredam. Secara
sosiologi, kelompok yang senantiasa tertekan dan terintimidasi, maka rasa
militansinya akan berkobar. Seperti itu juga yang menjiwai pemikiran Abu
10
c. Faktor Budaya
Bangsa Arab bukanlah bangsa yang steril dari berbagai pengaruh budaya
11
luar. Peta geografis menunjukkan bahwa ketika Islam datang telah ada empat
kebudayaan besar yang mengitari jazirah Arab. Madinah sebagai kota kedua umat
Islam yang juga tidak terlepas dari proses akulturasi budaya Islam, Kristen dan
Yahudi, proses akulturasi dan asimilasi itu terlihat dari proses interaksi Nabi
dengan beberapa kaum Yahudi, interaksi-interaksi itu sedikit banyak telah
memberikan peluang masuknya unsur-unsur kebudayaan Yahudi-Kristen dalam
kebudayaan Arab. Fakta-fakta tentang hal itu, dapat dilihat dalam beberapa
riwayat yang kadang mengandung unsur israiliyat.
Kota Madinah menjadi pusat ber- kembangnya corak pemikiran ahli al-
hadis> , banyak ulama yang masih berpegang teguh pada corak pemikiran tersebut
ketika Imam Malik memulai pengembaraan keilmuaan- nya. Oleh karena itu,
kontruksi episti- mologi keilmuawan Imam Malik didomi- nasi corak pemikiran
ahli hadis> itu.19 bukti akan pengaruh pemikiran tersebut dapat dijumpai pada
kitab al-muattha’, kitab fikih yang bernuansa hadis-hadis. Imam Malik kemudian
memosisikan diri sebagai ulama’ ahlu al-hadis> , yang berpijak kepada
tekstualitas dan memasuk- kan beberapa konsep amal ahlu Madin> ah serta
maslahah mursalah.
Kasus-kasus seperti bank sperma dan sel telur, transplantasi organ tubuh,
ataupun kasus dibidang penggunaan elektronik commerce dalam dunia maya dan
high teknologi seperti sekarang ini. Dalam presfektif kajian fikih, kasus ini
relative baru dan mungkin saja tidak memiliki landasan teks yang dapat dijadikan
patokan dalam menentukan legalitas hukumnya. Implikasi yang ditimbulkan oleh
kemajuan dan globalisasi mengarah kepada terjadinya perubahan-perubahan
dalam berbagai bidang, termasuk aspek social budaya. Oleh karena itu, aspek-
aspek pengubah hukum ditinjau dari aspek budaya dapat dilihat dari beberapa
hal berikut:
Kebudayaan sebagai hasil dari cipta karsa dan rasa manusia mempunyai
tingkatan yang berbeda-beda antara suatu kebudayaan dengan kebudayaan
lainnya. Kebudayaan-kebudayaan ini saling ber- pengaruh dan saling mengisi satu
sama lainnya. Dalam kaitannya dengan kehidupan suatu masyarakat dalam sebuah
waga Negara, maka tidak dapat dielakkan bahwa kehidupannya akan tersentuh
dengan kehidupan bangsa lain, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Ketika hubungan itu berlangsung lama dan terus- menerus, maka tidak mustahil
akan terjadi penyerapan antara suatu budaya dengan budaya lainnya secara
alamiah. Kontak kebudayaan tersebut akan menimbulkan problem tersendri,
sebab mungkin saja ada yang dapat menerima begitu saja unsur-unsur peradaban
asing itu dan juga ada yang tidak dapat menerima unsur-unsur baru tersebut.
Masyarakat akan taat dan patuh ter- hadap hukum, karena dipengaruhi
beberapa faktor, diantaranya, pertama, takut terhadap sanksi yang akan
dikenakan, kedua, patuh kepada hukum karena kepentingannya dijamin oleh
hukum, ketiga, merasa bahwa hukum yang berlaku sesuai dengan nilai-nilai
yang ada pada dirinya. Adanya kecenderungan ketidakpatu- han terhadap
hukum, karena faktor-faktor ter-sebut di atas tidak terigentrasi dalam kehidupan
masyarakat. Supremasi hukum akan berjalan dengan baik apabilah tingkat
kepatuhan masyarakat terhadap hukum juga tinggi, karena hukum telah
14
BAB VII
BAB VIII
BAB IX
Poligami merupakan perkawinan dengan salah satu pihak (suami)
mengawini lebih dari seorang isteri dalam waktu yang bersamaan. Artinya isteri-
isteri tersebut masih dalam tanggungan suami dan tidak diceraikan serta masih sah
18
sebagai isterinya. selain poligami ada juga istilah poliandri. Poliandri adalah suatu
bentuk perkawinan dengan ciri salah satu pihak (isteri) memiliki lebih dari
seorang suami dalam waktu bersamaan. Dibandingkan poliandri, poligami lebih
banyak di praktekkan dalam kehidupan masyarakat.
HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan
kiprahnya. Setiap individu mempunyai keinginan agar HAM-nya terpenuhi, tapi
satu hal yang perlu kita ingat bahwa Jangan pernah melanggar atau menindas
HAM orang lain. HAM setiap individu dibatasi oleh HAM orang lain. Dalam
Islam, Islam sudah lebih dulu memperhatikan HAM. Ajaran Islam tentang Islam
dapat dijumpai dalam sumber utama ajaran Islam itu yaitu Al-Qur’an dan Hadits
yang merupakan sumber ajaran normatif, juga terdapat dalam praktik kehidupan
umat Islam.
BAB X
Zakat diwajibkan kepada kaum muslimin setelah mendapatkan perintah
Allah pada tahun kedua hijriyah. Pada tahun kesembilan hijriyah, setelah kondisi
ekonomi kaum muslimin stabil, Allah mewajibkan zakat mal. zakat ditetapkan
atau kekayaan-kekayaan yang memiliki kemampuan untuk berkembang dari sisi
nilainya (emas, perak), atau dapat menghasilkan kekayaan lebih lanjut, seperti
ternak, produksi pertanian dan barang-barang dagangan, dan luqathah, harta yang
ditinggalkan musuh dan barang temuan. Semuanya dikenakan zakat ketika sudah
mencapai nishabnya, dan mencapai satu tahun kecuali pertaniaan, dikenakan zakat
ketika panen. Pada masa khalifah Umar, beliau menarik zakat dari satu kuda yang
berniali 20.000 sebesar satu dinar dan didistribusukan kepada fakir miskin serta
budak-budak yang pada masa sebelumnya tidak ditarik. Zakat didistribusikan
kepada delapan asnaf.
Pajak yang berupa jizyah pada awal Islam dibebankan kepada orang non-
muslim, khususnya ahli kitab, sebagai jaminan perlindungan jiwa, harta milik,
kebebasan menjalankan ibadah, serta pengecualian dari wajib militer, sebesar satu
dinar setahun bagi orang laki-laki. Dalam menentukan jizyah senantiasa melihat
situasi dan kondisi daerah yang berbeda-beda. Pajak yang berupa Kharaj, yaitu
19
pajak tanah yang dipungut dari kaum non muslim ketika wilayah Khaibar
ditaklukkan, tanah hasil taklukan diambil alih oleh kaum muslimin dan pemilik
lamanya diberi hak untuk mengolah tanah tersebut dengan status sebagai penyewa
dan bersedia memberikan separo hasil produksinya kepada negara.
Di era modern ini, terjadi pergeseran pada pemaknaan zakat, yaitu tentang
siapa saja yang wajib berzakat (muzakki), dan golongan-golongan penerima zakat
(mustahiq) dan harta yang wajib diszakati, hal ini tidak lepas dari hasil ijtihad para
pemikir Islam kontemporer, seperti Dr.Yusuf Qardawhi dalam kitabnya Fiqh
alzakat, dalam kitab tersebut dibahas masalah harta yang wajib dizakati mengikuti
perkembangan zakat, keberanian Qardhawi tak lepas dari perkebangan zaman
yang memang membutuhkan ijtihad dalam rangka menegakkan keadilan bagi
semua.