Anda di halaman 1dari 20

Nama : Tri Wulandari

NIM : 1221004
Fakultas / Prodi : Fakultas Agama Islam / Hukum Keluarga Islam
Semester : 3 (tiga)
Mata Kuliah : Sosiologi Hukum Islam
Dosen Pengampu : H. Ilham Thohari Dr.M.HI

Tugas UAS Resensi

BAB I : SOSIOLOGI HUKUM WARIS DI INDONESIA.


BAB II : HUBUNGAN ANTARA SOSIOLOGI DAN HUKUM ISLAM DAN
USHUL FIQIH DENGAN QOWAIDUL FIQIH.
BAB III : KESADARAN MASYARAKAT MUSLIM DALAM HUKUM
ISLAM DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
KESADARANNYA.
BAB IV : HUKUM ISLAM SEBAGAI SARANA PERUBAHAN
MASYARAKAT DALAM BIDANG POLITIK, EKONOMI,
SOSISAL BUDAYA DAN PERILAKU KEAGAMAAN.
BAB V : KONSEP KONTEKSTUALISASI DAN MODERNISASI HUKUM
ISLAM DI INDONESIA.
BAB VI : PENGARUH KONDISI SOSIO-KULTURAL DALAM
PEMBENTUKKAN HUKU ISLAM KLASIK DAN MODERN.
BAB VII : LGBT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM.
BAB VIII : FEMINISME PERSPEKTIF HUKUM ISLAM.
BAB IX : POLIGAMI DAN HAK ASASI MANUSIA.
BAB X : ZAKAT DAN PAJAK.
1

BAB I
Hukum waris diartikan sebagai hukum yang mengatur tentang kedudukan
harta kekayaan seseorang setelah pewaris meninggal dunia, dan cara-cara
berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang lain atau ahli waris. Meskipun
pengertian hukum waris tidak tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata KUH Perdata, namun tata cara pengaturan hukum waris tersebut diatur
oleh KUH Perdata. Walaupun hukum kewarisan sudah diatur dalam Islam dengan
jelas, namun dalam kenyataannya di masyarakat masih belum tersosialisasi
dengan baik. Hal ini tidak bisa lepas dari pengaruh Indonesia yang penduduknya
memiliki beraneka ragam bentuk kebudayaan yang mencakup pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, dan adat-istiadat.
Indonesia adalah negara multikultural. Berbagai aturan yang ada pun tidak
dapat mengotak-kotakan kultur yang ada. Sama berlakunya untuk hukum waris.
Di Indonesia, belum ada hukum waris yang berlaku secara nasional. Hukum waris
adat Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beragam suku
bangsa, agama, dan adat-istiadat yang berbeda satu dengan lainnya. Hal itu
mempengaruhi hukum yang berlaku di tiap golongan masyarakat yang dikenal
dengan sebutan hukum adat. Hukum waris islam. Hukum waris Islam berlaku bagi
masyarakat Indonesia yang beragama Islam dan diatur dalam Pasal 171-214
Kompilasi Hukum Indonesia, yaitu materi hukum Islam yang ditulis dalam 229
pasal. Dalam hukum waris Islam menganut prinsip kewarisan individual bilateral,
bukan kolektif maupun mayorat.
Hukum waris perdata atau yang sering disebut hukum waris barat berlaku
untuk masyarakat nonmuslim, termasuk warga negara Indonesia keturunan, baik
Tionghoa maupun Eropa yang ketentuannya diatur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (KUHP). Hukum waris perdata menganut sistem individual di
mana setiap ahli waris mendapatkan atau memiliki harta warisan menurut
bagiannya masing-masing.
2

BAB II
Hukum Islam baru dikenal di Indonesia setelah agama Islam disebarkan di
tanah air Indonesia. Belum ada kesepakatan para ahli sejarah tentang awal
masuknya Islam di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari hasil karya ahli hukum
Islam Indonesia. Misalnya, Miratul Thullab, Sirathal Mustaqim, Sabilal Muhtadin,
Kutaragama, Sajinatul Hukum, dan lain-lain. Karena teori receptie (resepsi)
sangat berpengaruh dalam sistem hukum masa itu. Maka dapat dikatakan bahwa
produk hukum Islam pada masa pemerintahan Belanda sudah ada, yakni mengatur
tentang Peradilan Agama serta materi hukumnya, akan tetapi peran hukum adat
mendominasi aturan tersebut.
Artinya, kontribusi hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional telah
memiliki kekuatan normatif dan kehadirannya semakin memperkuat wibawa
hukum Islam di Indonesia. Beberapa produk hukum di atas hanya menyangkut
hukum ibadah, keluarga, dan muamalah saja, tidak ada yang secara spesifik
mengatur tentang hukum pidana Islam (jinayah). Dalam Islam, budaya dan
perubahan sosial sangat jelas pengaruhnya terhadap pemikiran hukum. Perbedaan
budaya dan perubahan sosial yang terjadi di daerah-daerah yang dikuasai oleh
umat Islam di awal abad ke-2 sampai pertengahan abad ke-4 H, merupakan salah
satu faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan-perbedaan pendapat di
kalangan ulama fikih tentang masalah hukum, yang akhirnya menyebabkan
terbentuknya aliran-aliran hukum dalam Islam.
Sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami
agama. Karena banyak kajian agama yang baru dapat dipahami secara
proporsional dan tepat apabila menggunakan bantuan dari ilmu sosiologi.
Interaksi orang-orang Islam dengan sesamanya atau dengan masyarakat non-
Muslim di sekitar persoalan hukum Islam adalah gejala sosial. Dalam hal ini,
tercakup masalah-masalah evaluasi pelaksanaan dan efektivitas hukum, masalah
pengaruh hukum terhadap perkembangan masyarakat atau pemikiran hukum,
sejarah perkembangan hukum, sejarah administrasi hukum, dan masalah-masalah
kesadaran hukum masyarakat.
3

Secara leksikal, kaidah fiqhiyyah berasal dari dua kata “qowaid” jamak dari
“qoidah” yamg berarti pondasi, dasar, asas, atau fundamen segala sesuatu baik
yang kongkrit, materi atau inderawi seperti pondasi rumah maupun yang abstrak
baik yang bukan materi dan bukan inderawi seperti dasar-dasar agama. Dasar
Hukum Kaidah Fiqhiyyah merupakan produk ijtihad yang bersumber dari
Alquran, hadis dan ijma’, dan merupakan generalisasi dari tema-tema fikih yang
tersebar di kalangan imam mazhab. Adapun urgensitas kaidah fiqhiyyah terlihat
dari paparan Abû Zahrah tentang batasan ijtihad. Al-Qarâfi secara garis besar
berpendapat tentang urgensi kaidah fiqhiyyah ada tiga: Pertama, kaidah fiqhiyyah
mempunyai kedudukan istimewa dalam khazanah keilmuan Islam karena
kepakaran seorang faqîh sangat terkait erat dengan penguasaan kaidah fiqhiyyah.
Kedua, dapat menjadi landasan berfatwa. Ketiga, menjadikan ilmu fikih lebih
teratur sehingga mempermudah seseorang untuk mengidentifikasi fikih yang
jumlahnya sangat banyak.

BAB III
Kesejahteraan social (social welfare) selalu terkait dengan ide tentang
pembelaan kaum lemah dan cita-cita kemanusiaan mendasar, yaitu persamaan
manusia dengan keadilan.Islam sebagai agama, telah memiliki dogma dan ajaran
yang mapan mengenai persamaan manusia dengan keadilan. Sebagai way of life,
Islam juga menawarkan konsep keseimbangan dunia dan akhirat, secara sederhana
konsep ini disebut “paradigma sariah”. dalam paradigma ini manusia dipandang
sebagai khalifah yang diberi amanah dan tanggung jawab untuk mencapai
kejayaan (falah) dan kebahagiaan didunia dan di akhirat. Mewujudkan
kesejahteraan lahir dan batin adalah misi manusia sebagai khalifah yang juga
berarti menunjukkan dalam kehidupan manusia.
Berbeda dengan Sistem Ekonomi Konvensional, Islam memandang bahwa
sumber daya alam tersedia cukup untuk seluruh makhluk. Yang diperlukan adalah
sistem distribusi yang adil yang menjamin semua penduduk untuk mempunyai
kesempatan dan memperoleh rezekinya melaui mekanisme zakat dan pajak. Hal
ini telah dibuktikan keberhasilan di zaman Khalifah Umar Bin Khattab dan Umar
4

Bin Abdul Aziz, dimana dunia dengan Sistem Ekonomi Islam menjadi sejahtera,
sampai sulit dicari para mustahiq untuk diberi zakat.
Islam bukan sekedar agama yang melangit, tapi ia juga agama yang
membumi. Islam tidak sekedar agama yang ritualistik, tetapi juga agama yang
humanis. Islam adalah agama yang memadukan antara unsur keduniaan dengan
keakheratan, material dengan spiritual. Agama Islam adalah agama yang
sempurna dan juga paripurna; mencakup pandangan dan cara hidup secara total.
Pada puncaknya Islam bertujuan menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi
seluruh umat manusia.
Dalam Islam harta memiliki fungsi sosial, sehingga setiap orang yang
berharta diwajibkan menyisihkan bagian yang sudah dipastikan untuk orang
miskin, dan bahwa semua orang akan dimintai pertanggungjawaban atas tindakan
terhadap hartanya itu (Majid dalam Siti, 2008: 53). Oleh sebab itu, agama Islam
menganjurkan umat Islam khususnya yang memiliki harta lebih untuk peduli
kepada kaum miskin untuk menyisihkan sebagian hartanya. Salah satu konsep
yang terdapat dalam Islam untuk menyisihkan sebagian hartanya adalah dengan
menunaikan zakat.
Zakat merupakan ibadah yang memiliki akar histori yang cukup panjang,
seperti juga ibadah shalat. Kalau shalat ibadah ruhiya, maka zakat adalah ibadah
harta dan sosial yang memiliki posisi sangat penting, strategis, dan menentukan,
baik yang dilihat dari sisi ajaran Islam maupun dari sisi pembangunan
kesejahteraan umat. Dengan kata lain zakat di samping memiliki dimensi spiritual
jugamemiliki dimensi sosial ekonomi. Dengan demikian, bagi setiap muslim yang
telah menunaikan zakat, tidak hanya beribadah untuk dirinya sendiri tetapi juga
berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan sesamanya, dimana pengeluaran
zakat dibebankan atas hartaatau kekayaan seorang muslim sehingga zakat
memiliki tujuan yang mulia.
5

BAB IV
Salah satu tujuan pembangunan nasional adalah adanya upaya
mencerdaskan kehidupan bangsayang menjadi tanggungjawab nasional
sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 merupakan salah satu cita-cita
kemerdekaan untuk meningkatkan sumber daya manusia sehingga mampu
mencapai kesejahteraan bagi segenap rakyat Indonesia.
Tujuan bernegara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa juga merupakan
konsepsi budaya yang menuntut kesadaran harga diri, harkat, dan martabat,
kemandirian, tahan uji, pintar dan jujur, berkemampuan kreatif, produktif, dan
emansipatif. Pada konteks bernegara, pemikiran para pendiri Republik sudah
menembus masa, mendahului lahirnya paham-paham pembangunan progresif
yang menempatkan manusia sebagai subjek luhur: bahwa pembangunan adalah
pembangunan manusia seutuhnya.
Sebagai Hamba Allah SWT Tuhan yang Maha Esa, manusia memerlukan
pemenuhan kebutuhan spiritual, berkomunikasi atau berdialog dengan Tuhan yang
menciptakannya. Lebih dari itu, manusia juga memerlukan keindahan dan
estetika. Manusia juga memerlukan penguasaan keterampilan tertentu agar mereka
bisa berkarya, baik untuk memenuhi kepentingan dirinya sendiri maupun orang
lain. Semua kebutuhan itu harus dapat dipenuhi secara seimbang. Tidak boleh
sebagian saja dipenuhi dengan meninggalkan kebutuhan yang lain.
Manusia tidak cukup hanya sekedar cerdas dan terampil, tetapi dangkal
spiritualitasnya. Begitu pula sebaliknya, tidak cukup seseorang memiliki
kedalaman spiritual, tetapi tidak memiliki kecerdasan dan keterampilan atau
keahlian tertentu. Jadi manusia seutuhnya senyawa dengan prinsip dasar
pembentukan identitas dan karakter umat terbaik (khaira ummah): sebagaimana
tertuang dalam QS. Ali Imran: 10.
Instrumen yang paling mendasar untuk membangun manusia seutuhnya
adalah memastikan setiap warga negara memperoleh hak terhadap pendidikan.
Pendidikan yang selama ini mengedepankan ranah kognisi (pengetahuan) belaka
harus diubah melalui penyeimbangan pengetahuan dengan sikap dan keterampilan
serta akhlak yang mulia. Keseimbangan (tawazun) antara spiritual dengan
6

material, keseimbangan dunia dengan akhirat, keseimbangan mental dengan


akhlakul karimah, keseimbangan pengetahuan dengan hati (qalbu), keseimbangan
pengetahuan dengan skill (keterampilan), sehingga terjadi perpaduan dan
harmonisasi antara sains (ilmu pengetahuan) dengan agama, tidak seperti konsep
barat yang memisahkan sains dengan nilai-nilai agama.

BAB V
Kontekstualisasi berarti mengontekstualkan, sedang kata konteks sendiri
seperti dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti: Apa yang ada didepan atau
dibelakang ( kata, atau kalimat, ucapan) yang membantu menentukan makna
(kata, kalimat, ucapan dlsb). Secara istilah, Kontekstualisasi adalah proses
berkesinambungan yang melalui kontekstual tersebut,kebenaran dan keadilan
Allah dapat diterapkan dan muncul dalam situasi-situasi historis yang kongkrit.
Istilah hukum Islam menurut Hasbi Ash-Shiddieqy seperti dikutip Amir
Syarifuddin adalah koleksi daya upaya para ahli hukum untuk menerapkan syariah
atas kebutuhan masyarakat. Jadi hukum Islam adalah peraturan-peraturan yang
dirumuskan berdasar wahyu Allah dan sunah Rasul-Nya tentang tingkah laku
mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku mengikat bagi semua pemeluk Islam.
Disamping memiliki muatan sosiologis, tak dapat dipungkiri bahwa fikih
(Hukum Islam) juga memiliki dimensi teologis dan inilah yang membedakan fikih
dengan hukum dalam terminologi ilmu hukum modern. Akan tetapi penempatan
cara pandang yang keliru terhadap dimensi teologis yang dikandungnya dapat
mengakibatkan anggapan bahwa fikih merupakan aturan yang sakral, bahkan
dalam keadaan tertentu muncul rasa takut untuk melakukan evaluasi terhadap
aturanaturan fikih yang ada, karena secara psikologis sudah terbebani oleh nilai-
nilai kesakralan tersebut, untuk itu perlu kajian yang mampu mengantarkan pada
cara pandang yang benar mengenai aspek teologis dalam fikih.
Modernisasi merupakan perubahan sosial budaya yang terarah yang
didasarkan pada suatu perencanaan. Modernisasi merupakan suatu persoalan yang
harus dihadapi masyarakat, karena proses tersebut mencakup bidang-bidang yang
sangat luas yang menyangkut proses disorganisasi, masalah-masalah sosial,
7

konflik antar kelompok, hambatan-hambatan terhadap perubahan, dan lain


sebagainya, tak terkecuali mengenai persoalan hukum Islam. Sebagian para pakar
hukum Islam di Indonesia sering melemparkan gagasan tentang pembaruan ajaran
Islam dengan memakai berbagai istilah pembaruan seperti, restrukturisasi,
reinterpretasi, redefinisi, modernisasi, dan implantasi. Gagasan pembaruan
tersebut menurut Masjfuk Zuhdi dimaksudkan dengan dasar bahwa Islam itu
agama Allah yang sudah sempurna. Akan tetapi setelah Nabi Muhammad saw.
Menurut Abdul Manan terdapat tiga dimensi yang harus dilihat jika hukum
Islam akan diperbarui dalam pengertian fikih. Pertama, perubahan secara
menyeluruh pada doktrin, yaitu mengubah nilai-nilai yang terkandung dalam fikih
yang sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi, situasi, tempat dan waktu harus
diperbarui agar sesuai dengan kondisi zaman. Kedua, pembaruan dalam cara
penerapannya, dalam hal ini Abdul Manan memberikan contoh dalam
kecenderungan mengutamakan penerapan fatwa atau syarah ulama yang sudah
tidak relevan lagi dengan konteks zaman, maka harus ditinggalkan. Ketiga,
pembaruan pada kaidah (aturan) yang sesuai dengan kondisi dan situasi sosial
masyarakat Indonesia dan dilegalisasi oleh instansi yang berwenang sehingga
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Pada sisi lain, hukum Islam sangat mengedepankan konsep tahqiq
problematika kemanusiaan atau merealisasikan kemaslahatan umat manusia.
Dapat dipahami dengan jelas bahwa prinsip keadilan merupakan kata kunci dalam
hukum Islam. Dengan demikian, ruang gerak pembaruan hukum Islam adalah
dalam halhal yang berkaitan dengan permasalahan adat atau muamalah. Dalam hal
ini pula akal atau rasio dapat memberikan pertimbangan mana yang dan
bermanfaat dan mana yang mendatangkan mudarat bagi kehidupan manusia. Tata
cara berhubungan dengan Tuhan, melaksanakan kewajiban sebagai seorang
muslim dalam mendirikan (melaksanakan) salat, mengeluarkan zakat, berpuasa
selama bulan Ramadan dan menunaikan ibadah haji, termasuk dalam kategori
ibadah yang tidak berpaling pada rasionalisasi makna.
Karena keputusan oleh lembaga, maka orang yang terlibat dalam
perumusannya tidaklah terbatas pada para fukaha atau ulama, tetapi juga para
8

politisi dan cendikiawan lainnya. Adapunproduk pemikiran Islam berupa kitab-


kitab fikih merupakan respons bagi problematika hukum secara umum yang
berkembang ketika kitab itu ditulis, dan biasanya kitab-kitab fikih meliputi
seluruh aspek hukum Islam dan tidak memiliki ketentuan tentang masa dan
wilayah berlakunya. Keadaannya yang demikian menjadikan kitab-kitab fikih
dianggap harus diberlakukan sepanjang masa. Karenanya, produk pemikiran
hukum jenis ini cenderung menjadi resisten terhadap perubahan.

BAB VI
Konsep pembaharuan hukum Islam dalam pengertian pembaharuan fikih
telah lama diwacanakan oleh para pakar hukum Islam. Slogan yang disuarakan
juga ber- variasi. Istilah-isitlah seperti restruk- turisasi, redefinisi, dan modernisasi
adalah gagasan-gagasan yang seringkali diwacana- kan oleh para pembaharu
hukum Islam. Pembaharuan fikih harus mencakup tiga dimensi:, Pertama,
perubahan secara menyeluruh pada doktrin, nilai-nilai yang terkandung dalam
fikih yang tidak sesuai lagi dengan konsisi zaman. Kedua, Per- ubahan dalam
penerapan, adanya kecen- derungan menggunakan kitab fikih sebagai kitab
hukum dan sebagai referensi dalam penyelesaian masalah hukum. Ketiga,
Pembaharuan metodologi. Fikih merupakan produk pemikiran yang dihasilkan
melalui serangkaian penerapan metodologi yang telah dirumuskan para fuqaha.
Langkah-langkah pemaharuan fikih menurut A.Qadri Azizi meliputi
beberapa tahapan, yaitu:
1. Menempatkan fikih secara proporsional, yaitu sebagai produk ijtihad yang
dapat direinterpretasi ulang. Kontekstualisasi hasil ijtihad para ulama, sebab
bagaimanapun yang namanya pemikiran pasti dipengaruhi oleh subyek-tifitas
dan lingkungan pemikirnya.
1. Reaktualisasi dan reinterpretasi fikh dalam bentuk praktis.
2. Mengkaji fikih dalam berbagai pen- dekatan dan disiplin ilmu, sehingga
pengamalan fikih dapat dibumikan dan menjadi bagian dari produk hukum
yang mengikat.
Penggunaan metodologi dan pendekatan berbagai disiplin ilmu dalam
9

menyelesaikan masalah sangatlah penting. Untuk itu, pendekatan gabungan antara


metodologi Timur dan metodologi Barat sangat diperlukan untuk mengahsilkan
produk fikih yang lebih dinamis, humanis, dan berwawasan lingkungan, sebab
untuk menghasilkan kajian yang obyektif terkait fikih harus didekati dengan
metodologi yang diwariskan oleh para ulama klasik. Metodologi berfikir itu akan
lebih sem- purna, jika disisipkan dengan pendekatan warisan keilmuawan Barat
yang kaya akan metodologi pengembangan.
Diantara aspek-apek sosial budaya yang melatar belakangi corak pemikiran para
ulama fikih adalah:

a. Faktor Sosial
Dinasti Umayyah memerintah sekitar tahun 661-750 M dengan pendirinya
Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Kekhalifaan ini berdiri tidak terlepas dari konflik
politik sebelumnya yang berakhir dengan ter- bunuhnya Imam Ali ra.
Pemerintahan bani Umayyah bercorak monarki, sebuah sistem pemerintahan yang
bertolak belakang dengan sistem kekhalifaan sebelumnya, yaitu jabatan khalifah
dipilih melalui proses pemilihan ahlu al-ahli wa al-aqdi (semacam parlemen).
Corak pemerintahan bani Umayyah dipengaruhi oleh kerajaan Persia dan
Bizantium. Sepanjang sejarah pemerintahan bani Umayyah, konflik internal,
berupa hubungan warga Arab dan mawali (non Arab) tidak terlalu harmonis.
Mawali (para budak) dianggap sebagai warga kelas dua. Faktor-faktor ini yang
menyebabkan hubungan antar anggota masyarakat sangat tidak kondusif dan
sering terjadi ketegangan.
Kondisi ini mulai membaik ketika masa pemerintahan khalifah al-Walid bin
Abd. Malik (86-97 H/705715 M), cerminan kemakmuran dan kesejahteraan mulai
tampak, meskipun ketegangan antara dua suku Arab yang dikenal sebagai Qay
dan Kalb tetap mengamcam eksistensi pemetintahan khalifah ini. Kemudian pada
masa pemerintahan Umar bin Abd. Aziz (99-102 H/717-720 M) puncak kemak-
muran dan kesejahteraan pemerintahan bani Umayyah dapat dicapai. Konflik-
konflik sosial yang terjadi dikalangan masyarakat dapat diredam. Secara
sosiologi, kelompok yang senantiasa tertekan dan terintimidasi, maka rasa
militansinya akan berkobar. Seperti itu juga yang menjiwai pemikiran Abu
10

Hanifah, sehingga kerangka berfikirnya cenderung rasional kritis. Kerangka


berfikir ini selanjutnya yang menjiwai epistimologi tasyri’nya dalam pengambilan
keputusan hukum atas berbagai persoalan fikih.
b. Faktor Politik
Kondisi politik diduga kuat memiliki andil signifikan dalam mem- bentuk
corak berfikir para fuqaha dengan analogi bahwa dalam persoalan apapun, politik
selalu memiliki andil dan ikut mewarnai gerakan perkembangan ilmu
pengetahuan secara umum maupun fikih pada khususnya. Jabatan Qadhi (hakim)
pada masa pemerin- tahan bani Umayyah dijabat oleh orang yang spesialis
dibidangnya, dan masjid- masjid megah juga banyak didirikan pada saat itu. ini
menunjukkan bahwa perhatian pemerintah terhadap perkembangan hukum Islam
(fikih) tetap eksis. Namun pada periode akhir masa pemerintahan bani Umayyah
juga ditandai dengan kehidupan berfoya-foya dan hedonistis, pejabat negara
sangat senang menghamburkan uang negara dan cenderung pada kemewahan
dan kurang memperhatikan rakyat.
Berbeda dengan corak pemerintahan bani Abbasiyah, terutama pada
pemerintahan Harun al-Rasyid, karakteristik politiknya ketika itu sangat
memberikan respon positif dan peng- hargaan tinggi terhadap ulama dan para
fuqaha, sehingga pemerintahannya dikenal memiliki hubungan harmonis dengan
para ahli hukum Islam. Kitab tersebut disusun atas per- mintaan khalifah sebagai
bahan referensi para qadhi (hakim) dalam memutuskan persoalan tanah dan pajak
serta yang berkaitan dengannya. Hasil ijtihad dalam penyusunan kitab ini tentunya
juga memiliki nilai subyektifitas dan keter- batasan, karena berangkat dari sebuah
kondisi dan realitas sosio-kultural masya- rakat yang masih sederhana dengan
berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Unsur pejabat
pemerinta- han Abbasiyah yang dominan dikuasai oleh warga Parsia merupakan
penghalang bagi Imam Syafi’i yang keturunan Quraisy Arab untuk
mensosialisasikan ilmunya.

c. Faktor Budaya

Bangsa Arab bukanlah bangsa yang steril dari berbagai pengaruh budaya
11

luar. Peta geografis menunjukkan bahwa ketika Islam datang telah ada empat
kebudayaan besar yang mengitari jazirah Arab. Madinah sebagai kota kedua umat
Islam yang juga tidak terlepas dari proses akulturasi budaya Islam, Kristen dan
Yahudi, proses akulturasi dan asimilasi itu terlihat dari proses interaksi Nabi
dengan beberapa kaum Yahudi, interaksi-interaksi itu sedikit banyak telah
memberikan peluang masuknya unsur-unsur kebudayaan Yahudi-Kristen dalam
kebudayaan Arab. Fakta-fakta tentang hal itu, dapat dilihat dalam beberapa
riwayat yang kadang mengandung unsur israiliyat.

Kota Madinah menjadi pusat ber- kembangnya corak pemikiran ahli al-
hadis> , banyak ulama yang masih berpegang teguh pada corak pemikiran tersebut
ketika Imam Malik memulai pengembaraan keilmuaan- nya. Oleh karena itu,
kontruksi episti- mologi keilmuawan Imam Malik didomi- nasi corak pemikiran
ahli hadis> itu.19 bukti akan pengaruh pemikiran tersebut dapat dijumpai pada
kitab al-muattha’, kitab fikih yang bernuansa hadis-hadis. Imam Malik kemudian
memosisikan diri sebagai ulama’ ahlu al-hadis> , yang berpijak kepada
tekstualitas dan memasuk- kan beberapa konsep amal ahlu Madin> ah serta
maslahah mursalah.

Pada masa pemerintahan Abbasiyah kota Baghdad menjelma menjadi kota


metropolitan dengan berbagai kemajuan dan pem- bangunan disegala bidang.
Arabisasi yang semula mendominasi pemerintahan bani Umayyah terganti dengan
pola non Arab yang menguasai pemerintahan Abbasiyah. Interaksi antara
kebudayaan Arab dan non Arab tentunya sangat berpengaruh ter- hadap
perkembangan kebudayaan di kota Baghdad. Imam Syafi’i cukup lama tinggal di
kota ini dan berinteraksi dengan kebudayaan setempat, sehingga dalam berbagai
fatwa-fatwanya dibidang fikih juga sedikit banyak dipengaruhi oleh kebudayaan
setempat. Meskipun fatwa- fatwa itu akan mengalami perubahan ketika beliau
berdomisili di Mesir yang memiliki kebudayaan yang berbeda dengan Baghdad,
yaitu kebudayaan Mesir kuno.

Pengaruh sosial budaya lahirnya perubahan hukum pemikiran hukum Islam


mengenal empat macam jenis produk pemikiran, yaitu kitab-kitab fikih, fatwa
12

ulama, keputusan pengadilan agama, dan peraturan per-undang-undangan di


negeri Muslim. Masing-masing memiliki karakteristik tersendiri dalam
melahirkan dan menetap- kan suatu hukum. Kitab fikih merupakan kumpulan
produk pemikiran ulama klasik yang tetap dijadikan referensi dalam memutuskan
kasus-kasus modern, mes- kipun terjadi kesenjagan teks dengan realitas empiris,
dan adanya elaborasi pemikiran dengan kondisi sosial budaya tempat
penyusunya melahirkan suatu produk hukum.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi berdampak pada


perkembangan diberbagai bidang dan juga telah memengaruhi
perkembangan sosial-budaya masyarakat. Pertukaran budaya dan peraturan
pemikiran semakin intens terjadi dibelahan dunia. . Arus globalisasi dengan
segala macam pengaruh yang ditimbulkan itu akan menim-bulkan berbagai
persoalan dan permasalahan, baik dibidang politik, ekonomi,hukum,pendidikan,
sosial-budaya maupun pola interaksi antara satu orang dengan orang
lain. Berbagai macam persoalan itu tentunya membutuhkan penyelesaian
masalah dengan pendekatan berbagai aspek pula. Perubahan-perubahan itu
tentunya mem- bawa kecenderungan baru, baik langsung maupun tidak langsung
terhadap hukum. Hukum harus menjadi suatu legalitas terhadap segala perubahan
yang terjadi agar lalu lintas pergaulan manusia dalam menghadapi arus
globalisasi ini tidak saling bertabrakan dan saling mengganggu.

Kasus-kasus seperti bank sperma dan sel telur, transplantasi organ tubuh,
ataupun kasus dibidang penggunaan elektronik commerce dalam dunia maya dan
high teknologi seperti sekarang ini. Dalam presfektif kajian fikih, kasus ini
relative baru dan mungkin saja tidak memiliki landasan teks yang dapat dijadikan
patokan dalam menentukan legalitas hukumnya. Implikasi yang ditimbulkan oleh
kemajuan dan globalisasi mengarah kepada terjadinya perubahan-perubahan
dalam berbagai bidang, termasuk aspek social budaya. Oleh karena itu, aspek-
aspek pengubah hukum ditinjau dari aspek budaya dapat dilihat dari beberapa
hal berikut:

a. Pengaruh Budaya Luar


13

Kebudayaan sebagai hasil dari cipta karsa dan rasa manusia mempunyai
tingkatan yang berbeda-beda antara suatu kebudayaan dengan kebudayaan
lainnya. Kebudayaan-kebudayaan ini saling ber- pengaruh dan saling mengisi satu
sama lainnya. Dalam kaitannya dengan kehidupan suatu masyarakat dalam sebuah
waga Negara, maka tidak dapat dielakkan bahwa kehidupannya akan tersentuh
dengan kehidupan bangsa lain, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Ketika hubungan itu berlangsung lama dan terus- menerus, maka tidak mustahil
akan terjadi penyerapan antara suatu budaya dengan budaya lainnya secara
alamiah. Kontak kebudayaan tersebut akan menimbulkan problem tersendri,
sebab mungkin saja ada yang dapat menerima begitu saja unsur-unsur peradaban
asing itu dan juga ada yang tidak dapat menerima unsur-unsur baru tersebut.

b. Kejenuhan Terhadap Sistem Yang Mapan

Otorisasi kekuasaan merupakan sesuatu yang sangat terlarang dalam dunia


demokrasi, sebab kekuasaan dan wewenang yang dipegang oleh seseorang dalam
rentan waktu yang cukup lama, maka akan menimbulkan kejenuhan dalam
kehidupan organisasi maupun berbangsa dan ber- negara. Tumbangnya orde
baru, dan tumbangnya rezim-rezim di Timur-tengah adalah bukti bahwa
kepemimpinan otoriter adalah sesuatu yang menjenuhkan. Wujud kejenuhan
masyarakat atas suatu tirani terefleksikan dengan adanya upaya untuk
meruntuhkan nilai-nilai yang sudah mapan dan keinginan untuk mengganti
dengan nilai dan aturan baru.

a. Tingkat Kepercayaan Terhadap Hukum Semakin Menipis

Masyarakat akan taat dan patuh ter- hadap hukum, karena dipengaruhi
beberapa faktor, diantaranya, pertama, takut terhadap sanksi yang akan
dikenakan, kedua, patuh kepada hukum karena kepentingannya dijamin oleh
hukum, ketiga, merasa bahwa hukum yang berlaku sesuai dengan nilai-nilai
yang ada pada dirinya. Adanya kecenderungan ketidakpatu- han terhadap
hukum, karena faktor-faktor ter-sebut di atas tidak terigentrasi dalam kehidupan
masyarakat. Supremasi hukum akan berjalan dengan baik apabilah tingkat
kepatuhan masyarakat terhadap hukum juga tinggi, karena hukum telah
14

memihak kepada kepentingan masyarakat yang berfungsi sebagai obyek dari


pemberlakuan suatu hukum.

BAB VII

Orientasi seksual digambarkan sebagai objek impuls seksual seseorang:


heteroseksual (jenis kelamin berlawanan, homoseksual (jenis kelamin sama) atau
biseksual (kedua jenis kelamin). Istilah homoseksual kerap digunakan untuk
menggambarkan perilaku jelas seseorang, orientasi seksual, dan rasa identitas
pribadi atau sosial. Hawkin menjelaskan bahwa istilah gay atau lesbian
merupakan identitas diri atau identitas sosial. Sedangkan Soekanto menjelaskan
homoseksual adalah seseorang yang cenderung mengutamakan orang yang
sejenis kelaminnya sebagai mitra seksual (Soerjono Soekanto, 2004: 381).

Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) merupakan fenomena


yang merebak di era modern sebagai bentuk penyimpangan
seksyangsangatdipengaruhiolehpolaasuhyangsalah,kurangnyaperan seorang
ayah, pendidikan agama Islam yang kurang memadai, dan pornografi yang
sangat mudah terakses semua kalangan.

LGBT juga bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional, sebagaimana


yang ditegaskan dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 pasal 3 bahwa:
“Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. LGBT hanya akan membuat
kecerdasan menurun, tidak memiliki kepribadian yang utuh, dan bertentangan
dengan hukum agama dan hukum negara.

Saat ini LGBT sudah masuk ke dalam kehidupan masyarakat Indonesia


dan merusak generasi muda. Salah satu cara efektif untuk mencegah dan
15

melindungi anak dari LGBT adalah dengan pendidikan agama. Melalui


pendidikan agama Islam diharapkan anak terutama usia
remajaakanmenghindarkandanmenjauhkanmereka daribahaya LGBT. Sehingga
dalam hal ini perlu adanya integrasi melalui pendidikan agama Islam dari
keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat.

Homoseksualitas adalah istilah yang mengacu pada interaksi seksual atau


romantis antara pribadi yang berjenis kelamin sama. Homoseks adalah kata sifat
yang digunakan untuk hubungan intim atau hubungan seksual di antara orang
yang berjenis kelamin sama, bisa sebagai gay atau lesbian. Istilah gay adalah
istilah tertentu yang digunakan untuk merujuk kepada pria homoseks. Sedangkan
lesbian adalah suatu istilah tertentu yang digunakan untuk merujuk kepada
wanita homoseks. Islam adalah agama yang beradab dan selalu memberikan
perhatian penuh kepada umatnya terutama dalam masalah yang tidak lazim
menurut Islam. Lesbian dalam kitab fiqh disebut dengan as-sahaq atau al-
musahaqah berarti hubungan seksual yang terjadi di antara sesama wanita.
Rasulullah bersabda (Al-Baihaqi, 1994: 233).

BAB VIII

Perjuangan penting yang diusung oleh gerakan feminisme adalah untuk


memberdayakan seluruh perempuan dalam mewujudkan hak penuh milik
mereka. Contohnya, menyamakan lapangan permainan antara laki-laki serta
perempuan dengan memastikan bahwa perempuan memiliki kesempatan hidup
yang sama untuk memilih peran serta haknya seperti halnya laki-laki. Istilah ini
sebenarnya berasal dari bahasa Prancis dari kata feminin atau femininitas.
Femininine merupakan sebuah kata adjektif atau kata sifat yang artinya adalah
kewanitaan atau menunjukan sifat perempuan. Sehingga dapat diartikan, bahwa
feminisme adalah sebuah aliran pergerakan wanita yang memperjuangkan hak
perempuan.

Feminisme liberal, asumsi dasar pemikiran ini adalah paham liberalisme


16

yang mengatakan bahwa “Semua manusia, laki-laki dan perempuan diciptakan


seimbang, serasi, dan mestinya tidak terjadi penindasan antara satu dengan yang
lainnya”, feminis yang paling berpengaruh pada aliran ini adalah Mary
Wollstonecraft (abad ke-18), dia menulis buku monumental yang berjudul
Vindication of Right of Woman, dalam buku tersebut Mary mengatakan bahwa
perempuan dan laki-laki mempunyai nalar yang sama, oleh karena itu
perempuan harus dididik dengan cara yang sama pula, selain itu Mary menuntut
agar perempuan mendapat pekerjaan, tanah (kekayaan) dan perlindungan hukum
dengan tidak mengenyampingkan peran tradisionalnya.

Feminisme arxis aliran feminisme marxis mengatakan bahwa


ketertinggalan perempuan bukan disebabkan oleh tindakan individu secara
sengaja, tetapi akibat dari struktur sosial, politik, dan ekonomi yang erat
kaitannya dengan sistem kapitalisme. Beberapa tokoh aliran feminisme Marxis
adalah Clara Zetkin (1857-1933) dan Rosa Luxemburg (1871-1919) dan aliran
ini mulai bekembang di Jerman dan Rusia.

Feminisme sosialis, aliran ini merupakan sintesis dari feminisme marxis


dan feminisme liberal, feminis sosialis mengatakan bahwa perempuan dapat
dibebaskan dari penindasan, kalau sistem ekonomi kapitalis diganti dengan
masyarakat sosialis, yakni masyarakat egaliter tanpa kelas. Untuk mencapai
tujuan masyarakat sosialis, maka harus dimulai dari keluarga, istri harus
dibebaskan agar dia dapat menjadi dirinya sendiri, bukan milik suaminya. Dan
kalau sistem egaliter dalam keluarga dapat tercipta, maka akan tercermin pula
dalam kehidupan sosial.

Feminisme radikal, aliran feminisme radikal berkembang pesat di Amerika


Serikat pada kurun waktu 1960 dan 1970-an, aliran ini memiliki tujuan yang
sama dengan aliran-aliran feminisme lainnya namun memiliki pandangan yang
berbeda dalam aspek biologis (nature), aliran feminisme radikal menggugat
semua lembaga yang dianggap merugikan perempuan seperti institusi keluarga
dan sistem patriarki, hal itu karena keluarga dianggap sebagai institusi yang
17

melahirkan dominasi laki-laki sehingga perempuan termarginalkan, disamping


menuntut persamaan hak dengan laki-laki kaum feminisme radikal juga
menuntut persamaan seks.

Feminisme teologis, feminisme teologis bersumber dari teologi


pembebasan yang berkembang pada tahun 1960-an dengan tokoh utamanya
James Cone, feminisme teologis banyak dikembangkan oleh para feminis yang
berpegang teguh pada agama tertentu seperti Kristen, Yahudi dan Islam. Mereka
beranggapan bahwa penindasan terhadap perempuan dalam masyarakat agamis
berakar pada norma-norma agama yang ditafsirkan dengan memakai metodologi
patriarki yang menyudutkan perempuan, kemudian para feminis teologis
menafsirkannya dengan menggunakan ideologi kesetaraan. Feminis teologis
berpendapat bahwa ideologi yang menempatkan perempuan sebagai subordinasi
dari laki-laki harus diubah, perubahan tersebut dapat dilakukan dengan mengkaji
ulang sumber nilai yang menjadi pijakan teologi tersebut, kajian ulang ini
diarahkan untuk mendapatkan pijakan yang sah guna mengembangkan suatu
ideologi yang menempatkan perempuan setara dengan laki-laki, dengan harapan
perempuan tidak lagi dianggap sebagai subordinasi laki-laki, tetapi sebagai mitra
yang sejajar dengan laki-laki. Dengan demikian, penindasan terhadap perempuan
akan hilang dengan sendirinya.

Ekofeminisme, munculnya ekofeminisme seiring dengan perkembangan


baru dalam filsafat etika yang berkaitan dengan rusaknya lingkungan hidup
diseluruh dunia, ekofeminisme mengajak para perempuan untuk bangkit
melestarikan kualitas feminitas agar dominasi sistem maskulin dapat diimbangi,
sehingga kerusakan alam, dekadensi moral yang semakin mengkhawatirkan
dapat dikurangi.

BAB IX
Poligami merupakan perkawinan dengan salah satu pihak (suami)
mengawini lebih dari seorang isteri dalam waktu yang bersamaan. Artinya isteri-
isteri tersebut masih dalam tanggungan suami dan tidak diceraikan serta masih sah
18

sebagai isterinya. selain poligami ada juga istilah poliandri. Poliandri adalah suatu
bentuk perkawinan dengan ciri salah satu pihak (isteri) memiliki lebih dari
seorang suami dalam waktu bersamaan. Dibandingkan poliandri, poligami lebih
banyak di praktekkan dalam kehidupan masyarakat.
HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan
kiprahnya. Setiap individu mempunyai keinginan agar HAM-nya terpenuhi, tapi
satu hal yang perlu kita ingat bahwa Jangan pernah melanggar atau menindas
HAM orang lain. HAM setiap individu dibatasi oleh HAM orang lain. Dalam
Islam, Islam sudah lebih dulu memperhatikan HAM. Ajaran Islam tentang Islam
dapat dijumpai dalam sumber utama ajaran Islam itu yaitu Al-Qur’an dan Hadits
yang merupakan sumber ajaran normatif, juga terdapat dalam praktik kehidupan
umat Islam.

BAB X
Zakat diwajibkan kepada kaum muslimin setelah mendapatkan perintah
Allah pada tahun kedua hijriyah. Pada tahun kesembilan hijriyah, setelah kondisi
ekonomi kaum muslimin stabil, Allah mewajibkan zakat mal. zakat ditetapkan
atau kekayaan-kekayaan yang memiliki kemampuan untuk berkembang dari sisi
nilainya (emas, perak), atau dapat menghasilkan kekayaan lebih lanjut, seperti
ternak, produksi pertanian dan barang-barang dagangan, dan luqathah, harta yang
ditinggalkan musuh dan barang temuan. Semuanya dikenakan zakat ketika sudah
mencapai nishabnya, dan mencapai satu tahun kecuali pertaniaan, dikenakan zakat
ketika panen. Pada masa khalifah Umar, beliau menarik zakat dari satu kuda yang
berniali 20.000 sebesar satu dinar dan didistribusukan kepada fakir miskin serta
budak-budak yang pada masa sebelumnya tidak ditarik. Zakat didistribusikan
kepada delapan asnaf.
Pajak yang berupa jizyah pada awal Islam dibebankan kepada orang non-
muslim, khususnya ahli kitab, sebagai jaminan perlindungan jiwa, harta milik,
kebebasan menjalankan ibadah, serta pengecualian dari wajib militer, sebesar satu
dinar setahun bagi orang laki-laki. Dalam menentukan jizyah senantiasa melihat
situasi dan kondisi daerah yang berbeda-beda. Pajak yang berupa Kharaj, yaitu
19

pajak tanah yang dipungut dari kaum non muslim ketika wilayah Khaibar
ditaklukkan, tanah hasil taklukan diambil alih oleh kaum muslimin dan pemilik
lamanya diberi hak untuk mengolah tanah tersebut dengan status sebagai penyewa
dan bersedia memberikan separo hasil produksinya kepada negara.
Di era modern ini, terjadi pergeseran pada pemaknaan zakat, yaitu tentang
siapa saja yang wajib berzakat (muzakki), dan golongan-golongan penerima zakat
(mustahiq) dan harta yang wajib diszakati, hal ini tidak lepas dari hasil ijtihad para
pemikir Islam kontemporer, seperti Dr.Yusuf Qardawhi dalam kitabnya Fiqh
alzakat, dalam kitab tersebut dibahas masalah harta yang wajib dizakati mengikuti
perkembangan zakat, keberanian Qardhawi tak lepas dari perkebangan zaman
yang memang membutuhkan ijtihad dalam rangka menegakkan keadilan bagi
semua.

Anda mungkin juga menyukai