Anda di halaman 1dari 123

DOMESTIKASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA;

Membangun Hukum Islam Enkulturatif

Fakhrudin Aziz
992010001407000

Dibiayai dengan Anggaran BOPTN


UIN Walisongo Semarang
Tahun 2021
1
DAFTAR ISI

Halaman Awal 1
Daftar Isi 2
Kata Pengantar 4

Prolog: Domestikasi Hukum Islam dan


Resepsi Agama Di Masyarakat 5

Bab I
Hukum Islam Transformatif 23
Tauhid dan Ideologi Transformatif 23
“Islam” dan “Al-Islam” 27
Islam Agama Wahyu 32
Dinamika Hukum Islam 38

Bab II
Hukum Islam Domestikatif Di Jawa 55
Kebudayaan Jawa Dari Masa Ke Masa 55
Islam Kejawen; Agama Genuine Masyarakat Jawa 60
Mitologi Kejawen dan Konstruksi Hukum Islam 64

Bab III
Walisongo dan Nahdlatul Ulama (NU)
dalam Domestikasi Hukum Islam Di Jawa 71
Walisongo dan Transformasi Dakwah Kultural 72
Dakwah Walisongo: Dari Akulturasi Menuju
Domestikasi 74
Nahdlatul Ulama dan Misi Dakwah Kultural 86

2
NU, Identitas Islam Jawa, dan Budaya Progresif 88
Pesantren; Pioner Dakwah Akulturatif 98

Bab IV
Domestikasi dan Konstruksi Hukum
Islam Enkulturatif 103
Domestikasi Hukum Islam dan Enkulturasi 103
Domestikasi dan Hukum Islam Berkeadilan 106
Domestikasi Hukum Islam Pada Tradisi Selametan 114

Referensi 119

3
KATA PENGANTAR

Penulisan buku “Domestikasi Hukum Islam di


Indonesia; Membangun Hukum Islam Enkulturatif” ini
untuk merespon realitas terkait relasi dialektis antara
Hukum Islam dan budaya masyarakat. Pada satu sisi, hal ini
memberikan perspektif positif tentang kontekstualisasi
Hukum Islam. Namun pada sisi lain, muncul sikap
justifikatif yang menciderai fatsun “Islam agama yang
relevan dalam segala ruang dan waktu ”.
Kajian di dalam buku ini memberikan perspektif
bahwa akulturasi Hukum Islam dengan budaya masyarakat
adalah realitas yang tidak terelakkan. Pasalnya, budaya -bagi
masyarakat- merupakan representasi dari nilai-nilai luhur
yang diwarisi secara turun temurun (ultimate value). Oleh
karena itu, ekspresi beragama melalui piranti kebudayaan di
masyarakat, perlu dilihat sebagai kontekstualisasi Hukum
Islam yang meneguhkan relevansi Islam dalam melintasi
ruang dan waktu.
Kajian ini penting karena menghadirkan formula
Hukum Islam yang humanis dan persuasif. Ini modal
penting untuk membangun relasi harmoni di tengah
masyarakat yang multikultural.

Semarang, 6 November 2021

4
PROLOG

DOMESTIKASI HUKUM ISLAM DAN RESEPSI


AGAMA DI MASYARAKAT

Terma “Domestikasi Hukum Islam” diatribusikan pada


upaya meresepsi agama dalam konteks kehidupan
multikultural. Maka Hukum Islam ditempatkan sebagai
tatanan yang diresepsi oleh masyarakat dengan cara
menciptakan hubungan dialektis antara Hukum Islam
dengan budaya yang berkembang di masyarakat.
Terma “domestikasi” diambil dari kata domestik.
Menurut KBBI, kata “domestik” memiliki beberapa makna,
di antaranya adalah hal-hal yang berhubungan dengan
permasalahan dalam negeri. Makna lainnya, “domestik”
bermakna jinak, jika itu berhubungan dengan binatang.
Perubahan bentuk kata “domestik” menjadi “domestikasi”
menunjukkan adanya proses dialektika yang menghasilkan
hal baru yang dibakukan.
Pada konteks ini, kedua makna tersebut sama-sama
relevan. Jika dikaitkan dengan makna pertama,
“domestikasi” diatribusikan pada upaya mendialektikkan
sesuatu dengan hal-hal yang berhubungan dengan lokalitas;
dalam hal ini adalah budaya. Jika dikaitkan dengan makna
kedua, terma tersebut diatribusikan pada upaya
mengkompromikan sesuatu dengan unsur lainnya secara
dialektis sehingga menghasilkan bentuk baru yang dapat
diterima oleh masyarakat. Bahkan, itu bisa menjadi bagian
yang terpisahkan dalam kehidupan kemasyarakatan.

5
Adapun terma “Hukum Islam” dimaknai sebagai
tatanan kehidupan yang diekstraksi dari ajaran Islam,
diekspresikan, dan diinterpretasikan oleh seseorang sebagai
manifestasi ketaatannya kepada ajaran Islam. Hukum Islam
merupakan proses metamorfosa, dari Islam (al-Islam)
menjadi Pemikiran Keislaman (al-Fikr al-Islamy). Jika “al-
Islam” bersifat universal, maka “al-Fikr al-Islamy” bersifat
lokal. Lokalitas di sini tidak berarti mengabaikan
universalitas Islam itu sendiri, melainkan itu sebagai bentuk
manifestasi keislaman yang terbuka terhadap dinamika
sosial kemasyarakatan.
Berdasarkan uraian di atas, maka Domestikasi
Hukum Islam diatribusikan kepada proses manifestasi
terhadap ajaran Islam dengan cara mengitegrasikan dan
menginternalisasikan ajaran Islam dengan budaya
masyarakat. Hasilnya, terciptalah Hukum Islam dengan
formula baru yang disepakati oleh masyarakat (social
consensus).

Masyarakat Multikultural: Realitas Sosial


Falsafah “Bhineka Tunggal Ika” membangun
kesadaran kolektif segenap bangsa Indonesia bahwa
kemajemukan adalah realitas yang tidak terelakkan.
Kemajemukan ras, agama, bahasa, budaya, dan sebagainya
harus diarahkan kepada arus yang memperkuat persatuan
dan kesatuan di antara sesama anak bangsa. Dengan
ungkapan lain, keragaman tersebut harus diposisikan
sebagai modal sosial yang berfungsi sebagai pemersatu,
bukan pemecah kesatuan di dalam masyarakat. Pada level
yang lebih kecil, individu yang satu dengan lainnya juga
6
berada pada realitas yang sama bahwa dari sisi nature
maupun nurture, mereka berbeda. Hal ini dapat
diilustrasikan bahwa masing-masing individu terlahir
dengan membawa perbedaan, misalnya fisik, watak, dan
bahasa. Maka masyarakat multikultural adalah realitas yang
tak terbantahkan.
Baidhawy (tt: 1-4) mencatat, realitas bahwa
masyarakat multikultural adalah masyarakat yang hidup
berdampingan dengan segala perbedaan; ras, bahasa,
budaya, agama, dan sebagainya. Maka ketika perbedaan itu
sampai pada level memberikan warna agama, maka potensi
konflik akan terjadi. Realitas multikultural akan
menghadirkan intensitas dan ekstensitas sehingga perlu
dibangun kesamaan persepsi untuk menghargai berbagai
keragaman atau perbedaan ini. Maka dua terma yang harus
diperkenalkan kepada khalayak adalah Pendidikan
Multikultural dan Pendidikan Multietnik.
Pendidikan Multikultural diatribusikan pada
kesadaran kolektif bahwa di dalam masyarakat, keragaman
budaya adalah realitas yang tidak terelakkan. Keragaman itu
meliputi seni dan adat istiadat, termasuk di dalamnya adalah
bahasa dan budaya-budaya lain yang telah disepakati oleh
masyarakat (social consensus). Adapun Pendidikan Multietnik
berkaitan dengan asal usul individu di dalam masyarakat,
termasuk di dalamnya adalah ras, suku, dan sebagainya.
Pendidikan Multikultural dan Pendidikan Multietnik
perlu menjadi concern dalam kajian tentang masyarakat.
Pasalnya, keduanya menjadi hal mendasar yang pada satu
sisi, menjadi modal sosial terciptanya relasi harmoni
antaranggota masyarakat. Namun pada sisi lain, keduanya
7
bisa menjadi konflik yang sewaktu-waktu dapat pecah.
Maka penegasan multikulturalisme sebagai ideologi
bermasyarakat perlu menjadi perenungan bersama.
Secara etimologi, kata multikulturalisme berasal dari
akar kata “kultural” (culture) yang bermakna kebudayaan.
Menurut Suparlan (1998: 4-5), definisi tentang kebudayaan
di kalangan para ahli harus disamakan dan tidak
dipertentangkan antara satu dengan lainnya. Karena
multikulturalisme adalah ideologi, alat, atau wahana untuk
meningkatkan derajat manusia dan kemanusiannya, maka
konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif
fungsinya bagi kehidupan manusia.
Hal penting yang harus menjadi perhatian bersama
adalah bagaimana kebudayaan itu menjadi operasional
melalui pranata-pranata sosial. Sebagai sebuah ide atau
ideologi, multikulturalisme terserap dalam berbagai interaksi
yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan
manusia yang tercakup dalam kehidupan sosial, kehidupan
ekonomi dan bisnis, kehidupan politik, dan berbagai
kegiatan lainnya dalam masyarakat yang bersangkutan.
Dari sini dapat ditarik benang merah bahwa
kesadaran multikultural harus dimiliki setiap individu di
dalam masyarakat dengan alasan sebagai berikut:
Pertama, keragaman adalah fitrah yang tidak bisa
dibantah oleh siapapun dan kapanpun. Karena alasan inilah,
setiap individu memiliki hak personal dan kewajiban
komunal. Hak personal berkaitan dengan hak asasi manusia
untuk menjalani hidup dengan baik melalui ekpresi-ekpresi
personal, seperti hak menyalurkan hobi, hak mendapatkan
kenyamanan personal, dan sebagainya. Namun hak
8
personal itu dibatasi oleh kewajiban komunal di mana
dalam konteks bermasyarakat, diperlukan dikap tepo seliro,
toleransi dan sejenisnya. Dengan kata lain, hak personal,
dibatasi oleh kewajiban komunal.
Kedua, egoisme dan arogansi adalah sikap yang
bertentangan dengan fitrah kemanusiaan. Di sini kedewasan
dan kematangan emosional mutlak diperlukan. Hal ini bisa
dijelaskan bahwa manusia tak bisa menuntut orang lain
untuk bisa sesuai dengan dirinya. Kematangan adaptif
dalam bermasyarakat adalah modal dasar ketika semua
anggota masyarakat mendambakan relasi harmoni dan
keteraturan sosial (social order).
Atas dasar dua alasan di atas, maka kehidupan
multikultural adalah realitas yang harus diposisikan sebagai
hal alamiah yang tak terbantahkan, termasuk pada konteks
ekpresi keberagamaan. Menurut pandangan penulis, terma
multikulturalisme berkaitan erat dengan segala bentuk
budaya di masyarakat yang di antaranya adalah budaya
sebagai bagian dari media untuk mengekspresikan tuntunan
agama. Ini bagian dari konsekuensi logis ketika agama
diinterpretasikan di masyarakat, bahwa masyarakat
berkecenderungan untuk memilih media yang bersesuaian
dengan budaya mereka sebagia bagian dari aktualisasi agama
itu sendiri.
Geertz (2014: 10-13) memberikan ulasan yang
komprehensif tentang hal ini, bahwa keragaman budaya di
masyarakat, membuka ruang polarisasi budaya keagamaan.
Klasifikasi Islam Abangan dan Islam Santri -misalnya-
bukanlah tanpa sebab. Klasifikasi ini dikembalikan kepada
cara masyarakat memaknai agama di dalam kehidupannya.
9
Jika Islam Abangan memiliki sejumlah ritual yang khas dan
detil, percaya kepada kekuatan mistik, dan sebagainya, maka
berbeda dengan Islam Santri yang cenderung praktis dan
rasional karena keberagamaannya bersifat referensial. Maka,
respon tentang hal ini, tidak perlu diarahkan kepada
justifikasi benar dan salah, tetapi harus diarahkan pada
pemahaman bahwa hal itu bertalian erat dengan ekspresi
dan ilustrasi beragama dengan tetap memperhatikan
batasan-batasan yang sudah ditentukan oleh agama.
Berdasarkan uraian di atas, maka masyarakat
multikultural sebagai realitas sosial, harus ditempatkan
sebagai pemilik kebudayaan dan pemegang otoritas
penafsiran terhadap agama. Dengan kata lain, corak
domestik suatu agama menjadi tidak terelakkan ketika
budaya dipilih sebagai media aktualisasi agama itu sendiri.
Dermawan (2009: 50) -sebagaimana dinukil dari
Baidhawy (2002), pada konteks sosial, agama tidak semata-
mata dimaknai sebagai ritus, doa, liturgi, dan pengalaman
mistik, tetapi agama juga hadir sebagai manifest dan laten
yang kadang tidak dikehendaki oleh pemeluknya sendiri.
Maka potensi konflik dan harmoni di dalam kehidupan
keberagamaan adalah hal yang alamiah.

Agama; Keyakinan Personal dan Komunal


Agama adalah kebutuhan dasar manusia. Pilihan
untuk memeluk agama (tadayyun) didasarkan pada tiga hal;
Pertama, kesadaran kolektif bahwa unsur material dan
fisikal nyatanya tidak menjamin tercapainya kebahagiaan
(happiness). Keyakinan bawah sadar manusia, menyadari
bahwa kebutuhan rohaniah yang dimanifestasikan dalam
10
bentuk kepasrahan kepada kekuatan Tuhan adalah solusi
untuk mendapatkan kebahagiaan tersebut; Kedua,
komposisi alam semesta alam, tidak hanya berupa unsur
fisis, melainkan banyak unsur metafisis yang hidup
berdampingan dengan manusia. Di sini manusia
berkebutuhan untuk menjamin keselamatan sehingga
diperlukan liturgi-liturgi yang dapat memberikan
kenyamanan dan keselamatan; Ketiga, nurani manusia
adalah makhluk sosial. Maka manusia berkebutuhan untuk
memposisikan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang
dapat beraktualisasi dan berinteraksi dengan masyarakat lain
yang memiliki kesamaan ideologi.
Glock (1993: 2895) mencatat bahwa agama
memiliki lima dimensi sebagai berikut:
1. Dimensi Keyakinan. Dimensi ini berisikan sejumlah
pengharapan di mana orang yang memeluk agama
berpegangteguh kepada pandangan teologis
tertentu. Dengan segenap perangkat regulasi atau
aturan, para pemeluk agama diharapkan taat
mematuhinya.
2. Dimensi Praktik. Dimensi ini mencakup perilaku
pemujaan, ketaatan dan hal-hal lainnya yang
menunjukkan komitmen terhadap agama yang
dianutnya. Dimensi ini bagian dari komitmen umat
beragama yang dengan sadar diikat dengan sejumlah
aturan. Maka agama tidak hanya bicara tentang
keyakinan, tetapi perlu melakukan aktualisasi diri
dengan mempraktikkan sejumlah aturan, seperti
ibadah dan sebagainya.

11
3. Dimensi Pengalaman. Dimensi ini berkaitan dengan
pengalaman, baik yang bersifat personal atau
komunal. Dimensi ini diatribusikan pada
pengalaman dan sensasi dalam memeluk agama.
Dengan kata lain, keyakinannya terhadap kekuatan
supernatural, melahirkan berbagai sensasi batiniah
sehingga para pemeluk agama berkesimpulan bahwa
itu hanya didapat ketika meyakini suatu agama.
Fakta ini tak terbantahkan meskipun tidak selalu
dapat dijelaskan secara verbal.
4. Dimensi Pengetahuan. Dimensi ini berkaitan dengan
sejumlah ilmu pengetahuan yang harus diketahui
oleh pemeluk agama. Pengetahuan itu meliputi
dasar keyakinan, ritus, kitab suci dan tradisi. Ini
menjadi bagian mendasar di dalam beragama karena
agama memberikan konsekuensi logis agar
seseorang mentaati perintah agama. Hal itu bisa
dilakukan ketika ia memiliki pengetahuan yang
memadai.
5. Dimensi konsekuensi. Dimensi konsekuensi
diatribusikan pada efek yang timbul dari sikap
komitmen kepada agama. Ketaatan dan
pembangkangan terhadap tatanan agama, memiliki
konsekuensi yang berbeda.

Salah satu dimensi penting dalam agama adalah


dimensi pengalaman spiritual. Ismail (2016: 21)
berpendapat bahwa agama bertalian erat dengan hidayah
setelah seseorang merasakan pengalaman spiritual.
Pengalaman ini tidak selalu dapat dijelaskan secara verbal.
12
Mengapa? Hal mendasar di dalam agama adalah keyakinan
alam bawah sadar tentang kebenaran suatu agama. Itulah
mengapa di dalam al-Qur’an, tak boleh ada paksaan di
dalam kepemelukan terhadap suatu agama. Allah Swt
berfirman:

‫ا ا‬
‫الرِْ ُد م ان الغي ۚ ف امن ايك ُفر‬ ‫اَل إِكِ ار ااه في الدينِ ۖ اَد اَ اَ نَّ اَ ش‬
‫ا ا‬ ‫ن اا‬ ُ ‫ن‬
‫بالطاغوت او ُي ِؤمن بالله فقد اس اتم اس اك بال ُعر اوة ال ُوثِق ٰى َل‬
‫ن‬ ‫ا ا‬
ِ‫ص اام ل اِها ۗ اِوالل ُِه اسميعِ اعليم‬ِ ‫انف‬
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);
sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.
Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman
kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul
tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 256).

Pada ayat lainnya:


‫ا‬ ‫ا ا ا‬ ‫ا‬ ‫ُ ا اشا ا ُ ا ا ا‬
‫ اوَل أن ُتمِ اعاب ُدوَ اِما‬. َ‫ َل أع َُ ُد اما تع َُ ُدو‬. َ‫و‬‫َل يا أيها ال ِكافر‬
ُ‫ا‬ ‫ا ا‬ ‫ا ا‬ ُ ‫ا اا‬ ‫ا‬
‫ لكم‬. ‫ اوَل أن ُتم اعاب ُدوَ اما أع َُِ ُد‬. ‫ او َِل ِأنا اعابد اما اع اَدَم‬. ‫أع َُ ُِد‬
ُ
ِ‫د ُينكم اول اي دين‬
“Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah
apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang
aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang
kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah
Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah,
agamaku”. (QS. Al-Kafirun: 1-6)
13
Pengalaman spiritual seseorang tidaklah sama.
Meskipun demikian, hal itu bertemu pada premis bahwa
aspek beragama berkutat pada kepercayaan kepada hal
ghaib, sakralitas, dan mistisisme. Ketiga aspek ini penting
untuk dieksplorasi ketika diskursus tentang agama di
tempatkan sebagai fenomena sosial. Di sinilah terjadi
metamorfosa, dari agama sebagai fenomena sosial menjadi
agama yang sakral dan diyakini. Adzan yang
dikumandangakan seorang muadzin, bukanlah sekedar
suara yang dikumandangkan secara rutin melalui pengeras
suara. Adzan adalah “suara Tuhan” yang dipersonifikasikan
sebagai panggilan Tuhan kepada segenap hamba-Nya. Maka
kehadiran seseorang ke masjid, adalah bentuk dari
pemenuhan panggilan Tuhan. Di sinilah keyakinan
seseorang mendapatkan persemaian.
Suparlan (1993: v-vi) menilai, agama merupakan
sebuah sistem keyakinan yang menginterpretasikan
kekuatan yang sakral. Agama berbeda dengan kepercayaan
di masyarakat. Jika agama bersumber wahyu (revelation),
maka kepercayaan bersumber dari pengalaman personal
yang bersifat primitif dan lokal. Kesamaannya, baik agama
maupun kepercayaan, berorientasi kepada kekuatan ghaib
yang bisa diwariskan secara turun temurun. Itulah mengapa
agama dan kepercayaan1 yang diyakini seseorang, seringkali

1
Secara berurutan, Zuhayli (tt: 83-84) mengemukakan empat unsur di
dalam agama yang sekaligus membedakan dengan kepercayaan, bahwa
agama bersumber dari Allah Swt (QS. Ali Imran: 19), ditransmisikan ke
dalam pewahyuan (QS. Al-Mutaffifin: 11), dikodifikasikan dalam
bentuk kitab suci (QS. Yusuf: 76), dan ditransformasikan oleh rasul
(QS. Al-Taubah: 33).

14
terjadi bukan karena pengembaraan spiritual, melainkan
bersifat taken for granted di mana agama suatu generasi
biasanya diyakini dan dipeluk karena warisan dari
pendahulunya.
Uraian di atas menjelaskan bahwa agama
merupakan sistem sakral dan suci yang memuat simbol
yang dipedomani oleh manusia dalam menjalani hidup dan
kehidupan. Dari sini dapat dijelaskan bahwa totalitas
menjadi common platform semua agama. Totalitas inilah yang
melahirkan sikap emotif- individualistis terhadap suatu
agama.
Pada perkembangannya, keyakinan individual akan
bermetomorfosa menjadi keyakinan komunal ketika
antarindividu di masyarakat, menyatu dengan dasar
kesamaan keyakinan dan doktrin keagamaan. Menurut
Durkheim, agama dapat mengungkap peran penting agama
cukup signifikan dalam membentuk kesatuan dan integrasi
di dalam masyarakat. Dengan menganut agama, maka
antarindividu yang memiliki kesamaan keyakinan,
berkeinginan untuk melakukan pengelompokan sosial di
masyarakat.
Berger (1991: 3-5) memberikan ulasan yang bagus
tentang fenomena ini. Menurutnya, terbentuknya
masyarakat adalah melalui proses dialektis antarindividu.
Ada tiga proses dialektik fundamental di masyarakat;
Pertama, eksternalisasi berhubungan dengan pencurahan
individu untuk menegaskan kediriannya. Pada konteks
agama, individu beragama akan terus mengeksplorasi
keyakinannya terhadap suatu agama; Kedua, obyektifikasi.
Ketika pencurahan itu terjadi secara terus menerus, ia akan
15
menjadi sub generis di dalam masyarakat di mana ia akan
bergabung dengan individu lain yang memiliki tipe
pencurahan dan obyek eksplorasi yang sama. Di sini
individu mulai bergabung dengan individu lain dan
membentuk suatu komunitas masyarakat; Ketiga,
internalisasi, di mana individu telah bermatomorfosa menjadi
masyarakat dengan mengusung ideologi tertentu dengan
mempresentasikan sejumlah symbol yang menjadi kekhasan
kelompoknya.
Pengelompokan di dalam masyarakat atas dasar
kesamaan agama, bersifat alamiah. Sesuai dengan
kodratnya, individu berkecenderungan untuk mencari
kesamaan dengan orang lain dengan berbagai latarbelakang,
termasuk agama. Pada level ini, dinamika di dalam
masyarakat selalu meniscayakan adanya konflik dan
harmoni. Konflik bisa terjadi ketika terjadi perbedaan
persepsi yang tidak mencapai titik pertemuan. Akibatnya,
gejolak berbasis agama menjadi tidak terelakkan.
Sebaliknya, ketika antarindividu di dalam masyarakat
memiliki kesamaan, baik dari sisi keyakinan maupun
interpretasi, maka harmoni menjadi keniscayaan.
J.P. Williams (1962: 12-13) memberikan uraian yang
baik tentang gradasi di dalam kepemelukan terhadap suatu
agama. Pertama, kerahasiaan, bahwa agama berkaitan erat
dengan keyakinan. Meskipun antarindividu mengalami
pengembaraan spiritual yang berbeda, hal ini tetap kembali
kepada keputusan meyakini agama tertentu; Kedua, privat.
Salah satu karakteristik penting dalam agama adalah
privatisasi keyakinan yang terjadi sebagai dampak dari
keyakinan personal. Pada level ini, terkadang muncul
16
egoisme dan sensitivitas dari pemeluk agama. Yang pertama
berkaitan dengan keyakinannya tentang prinsip kebenaran
yang dianutnya sehingga individu berkecenderungan untuk
bertahan atau bahkan menyerang ketika keyakinannya itu
diganggu oleh orang lain. Dari sini, sensitivitas beragama
mendapatkan ruang persemaian; Ketiga, denominasi. Ketika
individu mengalami kecocokan dengan individu lainnya,
misalnya atas dasar kesamaan keyakinan berikut dengan
doktrinnya, ia akan membuka diri kepada yang lainnya.
Pada level ini, sikap egoistiknya mampu berkompromi
dengan realitas sosial. Satu sama lain berkepentingan untuk
sama-sama menjaga dan bertahan; keempat, komunal. Ketika
denominasi tercapai, maka akan terbentuk komunitas umat
beragama yang saling bersinergi, termasuk dalam pilihan-
pilihan budaya sebagai media untuk mengekpresikan
keberagamaannya.
Keempat poin dalam gradasi beragama di atas,
membuka peluang munculnya berbagai varian budaya
keagamaan yang memberikan warna khas dalam
keberagamaan suatu masyarakat. Hasilnya, corak beragama
menjadi lebih bervariasi. Variasi ini tidak dalam kerangka
merubah tatanan keagamaan yang sudah baku dan menjadi
dogma, melainkan pada pencapaian hal substansial melalui
perangkat formal kebudayaan. Di sinilah agama muncul ke
permukaan sebagai budaya di masyarakat. Bagi Suparlan
(1993: x), hal ini lahir akibat terjadinya kohesifitas di dalam
masyarakat. Mereka tunduk dan patuh kepada sistem agama
untuk menuju titik yang sama; Tuhan.
Kohesifitas dalam beragama, baik dalam skala
mikro maupun makro, memadukan agama dan kebudayaan
17
sehingga menjadi sistem agama yang diyakini dan
disepakati. Dengan kata lain, pola keagamaan merupakan
pilihan di masyarakat yang didasarkan atas kesepakatan-
kesepakatan di dalam masyarakat yang terjadi secara
alamiah. Di sinilah enkultuasi agama mendapatkan ruang
persemaian.

Keyakinan Enkulturatif
Terma “keyakinan enkulturatif” diatribusikan
kepada realitas agama yang menyemai keyakinan yang telah
berakulturasi dan berasimilasi dengan kebudayaan di
masyarakat. Ini menjadi konsekuensi logis ketika agama
diekspresikan di ruang publik dan berdialektika dengan
berbagai jenis kebudayaan. Relasi dialektis ini memuat
berbagai macam unsur ajaran agama dan kebudayaan. Di
sinilah perlunya membedakan antara agama (religion) dan
keberagamaan (religiousity).
Agama dan keberagamaan adalah dua terma yang
berbeda tetapi tidak bisa dipisahkan. Agama berhubungan
dengan sistem dan doktrin yang mengikat dan berisi
petunjuk kehidupan. Adapun keberagamaan berhubungan
dengan ekpresi umat beragama dalam mengekpresikan
keyakinannya dan menginterpretasikan sakralitas dari
keyakinan tersebut. Jika agama bersifat absolut dan
universal, maka beragama memiliki sifat relatif dan
domestikal.
Salah satu dimensi beragama adalah dimensi praktik
keagamaan. Ini berhubungan dengan pemujaan kepada
Tuhan dan ritualitas yang meniscayakan terjadinya
pertarungan antara agama sebagai doktrin (absolut) yang
18
berasal dari Tuhan dengan nilai-nilai budaya (lokal). Agama
menyiapkan konsepsi kepada manusia tentang konstruk
realitas yang tidak hanya didasarkan pada pengetahuan dan
pengamalan empiris, tetapi pada otoritas mutlak (Tuhan).
(Azra, 1999: 229- 230).
Relasi dialektikal antara agama dan ekspresi
keberagamaan dipengaruhi oleh keyakinan pemeluk agama
terhadap nilai-nilai di dalam masyarakat. Artinya, ketika
agama muncul di ruang publik dengan segala sistem
keyakinan yang menyertainya, maka agama dan kebudayaan
suatu masyarakat menjadi sulit terpisahkan. Bedanya, agama
tidak hanya sebatas keyakinan batiniah, melainkan agama
sebagai sistem di masyarakat yang diformulasikan dalam
bentuk perpaduan antara agama dan nilai budaya.
Perpaduan dua unsur ini melahirkan nilai-nilai yang
disakralkan dan bersifat ideologis sehingga agama dan
budaya melahirkan keyakinan enkulturatif.
Budiyanto (2008: 165) memberikan ulasan tentang
pentingnya membaca agama dari berbagai sudut pandang.
Pasalnya, fenomena keberagamaan di masyarakat selalu
diwarnai oleh proses negosiasi dan relasi dialektikal antara
berbagai unsur di dalam masyarakat sehingga fenomena
keagamaan menjadi lebih kompleks. Pada konteks
keindonesiaan, diskursus tentang pertemuan antara Islam
dan animisme, dinamisme, Hindu dan Budha, dalam posisi
yang saling mempengaruhi.
Proses lahirnya keyakinan enkulturatif dapat
digambarkan seperti pada skema di bawah ini:

19
Agama

Keyakinan Supernatural

Individual Komunal

Nilai Budaya Doktrin

Keyakinan Enkulturatif

Skema di atas dapat dijelaskan bahwa keyakinan


enkulturatif lahir dari proses panjang interpretasi
masyarakat beragama terhadap doktrin agama yang bersifat
supernatural. Ketika keyakinan supernatural ini diyakini
oleh individu-individu di masyarakat, meniscayakan
terjadinya relasi dialektikal antara doktrin keagamaan dan
nilai budaya. Hal ini sebagai konsekuensi logis ketika terjadi
denominasi agama yang mempertemukan antarindividu
beragama yang memiliki kesamaan keyakinan dengan tujuan
yang sama. maka agama muncul ke ruang publik dalam
20
bentuk enkulturasi doktrin keagamaan dan nilai budaya
yang melahirkan kekhasan. Artinya, masing-masing
masyarakat berpotensi merumuskan formula keagamaan
yang memiliki ciri khas mengingat bahwa kebudayaan suatu
masyarakat, lahir dari nilai-nilai lokal yang telah menjadi
kesepakatan di dalam masyarakat.

21
22
BAB I
HUKUM ISLAM TRANSFORMATIF

Tauhid dan Ideologi Transformatif


Kisah penunjukkan nabi Adam As sebagai khalifah
di muka bumi -sebagaimana disebutkan di dalam QS. al-
Baqarah ayat 30- menjadi landasan adanya pendelegasian
misi risalah kepada manusia. Kisah ini menjadi legitimasi
adanya transformasi risalah samawiyah di muka bumi yang
akan diemban oleh para nabi dan rasul. Risalah samawiyah
ini membedakan antara hukum yang datang dari Allah Swt
dan hukum yang dikreasikan oleh manusia. (risalah ardliyah).
Misi universal yang diembankan oleh Allah Swt
kepada nabi Adam As dan kepada seluruh utusan-Nya
adalah ketauhidan (monoteisme); bahwa Allah Swt adalah
Tuhan Mahaesa. Ketauhidan ini sebagai kalimatun sawa’
(common word) yang menjadi titik temu ajaran para nabi dan
rasul. Ketauhidan ini memberikan pesan bahwa Allah swt
adalah satu-satunya Tuhan yang berhak disembah.
Premis ini menegasikan klaim-klaim lain yang
mempertuhankan benda atau entitas selain-Nya. Hal ini
memberikan konsekuensi logis bahwa manusia tidak punya
pilihan selain tunduk dan patuh terhadap aturan Allah Swt.
Pada perkembangannya, diskursus tentang hal ini
memunculkan terminologi “Agama Samawi”; sebutan
untuk agama-agama yang membawa risalah Allah Swt.
Ali (1403: 1303) menegaskan bahwa secara esensial,
semua Tuhan pemeluk agama samawi adalah sama, yaitu
Allah Swt sehingga ajaran inti yang disampaikan oleh
23
seluruh nabi dan rasul, sejak nabi Adam As hingga nabi
Muhammad Saw adalah sama; monoteisme. Ini ajaran inti
di dalam syariat samawi yang tidak membuka ruang dialog.
Menurut Sutardi (2007: 24), agama samawi
bersumber dari Allah Swt dan diberikan kepada nabi dan
rasul dengan membawa misi ketauhidan (monoteisme).
Secara substansial, common word ini mengikat seluruh agama
samawi yang membawa misi yang sama. Pertama, ketauhidan
adalah ruh dari agama. Terlepas dari dinamika tatanan
hukum di dalam agama samawi, hal ini bermuara kepada
titik kesamaan; pengesaan Allah Swt. Kedua, ketauhidan
membangun kesadaran kolektif bahwa secara genealogis,
agama samawi bersumber dari Allah Swt. Maka hal ini
harus dijadikan sebagai basis motivasi semua pemeluknya
untuk membangun relasi harmoni dan tidak ahistoris
terhadap realitas sejarah.
Allah Swt berfirman:
“Dan Kami tidaklah mengutus seorang Rasul sebelum engkau
(Muhammad), kecuali kami telah wahyukan kepadanya, bahwa
tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Aku. Maka
sembahlah Aku (Allah).” (QS. al-Anbiya: 25).

Sabiq (1986: 17) mencatat, ketauhidan merupakan


fondasi dan motivasi pelaksanaan instrumen keagamaan.
Jika ketauhidan ini diimani dan diaktualisasikan secara
proporsional, ia dapat melaksanakan ketentuan agama yang
direfleksikan dalam keimanan dan amal salih. Akidah
ketauhidan yang dibawa oleh para nabi dan rasul bersifat
permanen yang tidak berubah dengan perubahan waktu dan
tempat.
24
Hal ini bersesuaian dengan pendapat Akkad (1998:
22), bahwa setiap agama mengajarkan ketauhidan.
Implikasinya secara ideologis, manusia wajib mengimani
bahwa Allah Swt adalah pencipta alam semesta. Maka
seluruh proses kehidupan harus diarahkan untuk
mengukuhkan keyakinannya kepada Allah Swt sebagai
Tuhan yang Mahaesa. Ketika ketauhidan menjadi pengikat
seluruh ajaran samawi, maka kehidupan multikultural yang
memberikan berbagai varian perbedaan, misalnya ras, etnik,
budaya, dan sebagainya -termasuk dalam kehidupan
beragama, tak boleh diarahkan pada sikap justifikatif semu
yang menampilkan sikap merasa sebagai pihak yang paling
benar (truth claim).
Perbedaan adalah sunnatullah yang harus dibaca
secara proporsional. Bukankah Allah Swt secara tegas
menyatakan bahwa varian perbedaan harus diarahkan pada
relasi harmoni dan sinergis. Allah Swt berfirman:
ُ ُ ‫اا ُ ا‬ ُ ‫اا‬ ‫ا‬
‫س إ ننا خلق اناكم من ذك ٍر اوأنث ٰى او اج اعل اناكم ْ ُع ًوبا‬ ُ ‫ال ننا‬ ‫ايا أ شي اها‬
‫ن‬ ُ ‫ن ا ا‬ ُ ‫ا‬ ُ ‫ا‬
‫ل ات اعا اِرفوا ۚ إ ن َِ أك ار اِمكم عِن اد الله أَقاكم ۚ إ نَ الل اه اعليم‬ ‫اوَ اَائ ال‬
‫ا‬
ِ‫خََّر‬
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13)

25
Ayat di atas menegaskan bahwa realitas sosiologis -
di mana manusia diciptakan dalam keberbedaan- adalah
bagian dari kehendak Allah Swt. Maka semangat ketauhidan
harus dijadikan sebagai basis motivasi untuk membangun
liberasi di mana segala perbedaan, harus ditempatkan
sebagai kekayaan khazanah dalam semua sendi kehidupan,
utamanya dalam beragama.
Perjalanan panjang agama samawi yang dibawa oleh
para nabi dan rasul, diwarnai oleh pasang-surut dan
bongkar-pasang syariat. Salah satu sumber Hukum Islam;
Syar’u Man Qoblana (syariat terdahulu) menjadi bukti bahwa
dinamika syariat samawi adalah realitas yang tak
terbantahkan. Artinya, ketauhidan tak cukup hanya
dijelaskan secara teoritik dan sebatas klaim, tetapi harus
dimanifestasikan dalam kehidupan yang menghormati
perbedaan di tengah masyarakat multikultural. Dengan kata
lain, secara teoritik, ketauhidan sebagai common platform
memberikan legitimasi terhadap munculnya berbagai varian
di dalam ekpresi keagamaan. Hakim (2014: 8) mencatat,
liberasi tauhid pada satu sisi mengikat individu dan
masyarakat untuk tetap patuh terhadap ketuhanan Allah,
dan pada sisi lain memberikan legitimasi pembebasan
individu dan pembebasan sosial.
Pembebasan ini bukan berarti tanpa batas.
Ketauhidan itu sendiri telah mengikat kaum beragama
untuk tunduk dan patuh terhadap tatanan Islam.
pembebasan di sini dimaknai sebagai sikap proporsional
dalam beragama melalui pembebasan diri dari hawa nafsu
Madjid (1985: 216) menekankan, pembebasan itu terletak

26
pada sikap membebaskan diri dari belenggu duniawi
(egoisme).
Uraian ini menjadi basis dalam menciptakan sikap
keberagamaan yang menjunjungtinggi multikulturalisme.
Agama pada satu sisi, mengikat pemeluknya agar konsisten
dengan berbagai aturan yang final (mahdlah), namun pada
sisi lain, agama memberikan ruang kebebasan dalam
mengekspresikan hal-hal lain yang mengarah kepada
penguatan ketauhidan kepada Allah Swt. Maka transformasi
Hukum Islam adalah realitas yang mengukuhkan premis
tersebut.

“Islam” dan “Al-Islam”


Diskursus tentang ketauhidan, tidak bisa dilepaskan
dari dua terma; “Islam” dan “Al-Islam”. Terma “Islam”
diatribusikan kepada Islam sebagai syariat (hukum), bukan
sebagai nama agama (unorganized religion). Maka agama yang
dibawa oleh nabi Adam As hingga nabi Isa As, adalah
agama Islam. Misinya sama; tauhid. Secara operasional, misi
ketauhidan ini diaktualisasikan dalam pelaksanaan syariat
yang beragam di mana antara nabi d an rasul di satu masa,
berbeda dengan nabi dan rasul di masa lainnya. Ini
menunjukkan bahwa ada sisi fleksibelitas hukum di mana
komposisi dan substansinya, disesuaikan dengan umat di
zamannya.
Jika Islam disebut sebagai unorganized religion, maka
Al-Islam diatribusikan kepada posisi Islam sebagai entitas
(organized religion). Artinya, Islam telah menjadi nama agama
yang menghimpun seluruh syariat Allah Swt dan

27
ditransformasikan kepada manusia. Masanya dimulai sejak
diutusnya Nabi Muhammad Saw sebagai nabi dan rasul.
Distingsi dua terma di atas penting untuk dipahami
sebagai upaya untuk membangun karakter beragama yang
multikulturalis. Dengan kata lain, ketentuan Hukum Islam
hari ini, merupakan kelanjutan dari proses panjang
pemberlakuan syariat-syariat agama terdahulu. Itulah
sebabnya, dalam kajian Ushul Fiqh, ada salah satu sumber
Hukum Islam yang dinamakan dengan Syar’u man qoblana;
syariat-syariat yang pernah berlaku pada masa sebelum nabi
Muhammad Saw. Syar’u man qoblana menjadi bukti otentik
bahwa syariat samawi telah melampaui perjalanan yang
cukup panjang.
Fakta sejarah ini menegaskan bahwa telah terjadi
peralihan tongkat estafet kenabian secara gradual dari
masa ke masa. Menurut Arkoun (1996: 120), wahyu Allah
Swt telah sampai kepada pemeluk agama Yahudi, Kristen,
dan Islam melalui nabi dan rasul yang diutus oleh Allah
Swt, seperti nabi Ibrahim As, nabi Musa As, dan nabi
Muhammad Saw. Realitas ini tak terbantahkan meskipun di
akhir periode Madinah, terjadi penolakan atas kerasulan
nabi Muhammad Saw.
Harahap (2014: xiii) mencatat bahwa dalam studi
perbandingan agama (muqaranatul adyan), ketiga agama ini
disebut sebagai Agama Semit, nama lain dari kata Samawi
yang diyakini bersumber dari nabi Ibrahim As sehingga
memunculkan terma semitisme; istilah yang diatribusikan
kepada konsep pentauhidan Allah Swt yang dirumuskan
oleh nabi Ibrahim As.

28
Nabi Ibrahim As dianggap sebagai sosok penting
dalam diskursus ini karena ia mengalami pergulatan cukup
panjang dalam proses mencari Tuhan. Ketika ia mengalami
kebimbangan tentang pencipta alam semesta, nabi Ibrahim
As menganggap bahwa bintang adalah Tuhan. Ketika
bintang itu lenyap dari pandangan, kritisisme nabi Ibrahim
As muncul. Ia menilai, Tuhan tidak mungkin datang dan
pergi. Kebimbangan itu semakin kuat. Akhirnya, ketika nabi
Ibrahim As melihat bulan, ia berfikir bahwa inilah Tuhan
karena ukurannya lebih besar dari bintang. Namun ketika
matahari terbit -yang ditandai dengan lenyapnya bulan, nabi
Ibrahim semakin ragu karena siklus bulan tidak ada bedanya
dengan bintang. Di sinilah nabi Ibrahim As menyimpulkan
bahwa matahari adalah Tuhan. Alasannya, ukurannya lebih
besar dan sinarnya lebih kuat. Namun di sore hari, matahari
lenyap dari pandangannya. Hal ini sebagaimana
digambarkan di dalam firman Allah Swt:

‫ن ُ ا ا ٰ ا ا ً ا ا اٰ ا ا ا ا ن ا ا ا ا ا ا‬ ‫ا‬ ‫اا‬
‫ال َل‬ َ ‫فل نما اج نن اعليه الليل رأى ك ِوكَا ۖ َال هذا ربي ۖ فلما أفل‬
‫ا ا ا ا ً ا ا اٰ ا ا ا ا ن ا ا ا ا ا ا‬ ‫اا ا‬ ُ
َ‫ال لئ‬ َ ‫ فل نما ارأى القمر بازغا َال هذا ربي ۖ فلما أفل‬.ََّ‫أح شب ْلافل ا‬
ً‫ا‬ ‫ن‬ ‫اا ا‬ ‫ون نن مِ ان ال اِقومِ ن‬ ‫ااُ ا‬ ‫ا‬
‫س اب ِازغة‬‫الشم ا‬ ‫ فل نما ارأى‬.ََّ‫الضال ا‬ ِ ‫لم ايهدني اربي ِلك‬
‫ا‬
‫ال ايا َوم إني ابريء م نما‬ ‫ال اٰه اذا اربي اٰه اذا اأك اب ُر ۖ اِف ال نما اأ اف الت اَ ا‬‫اَ ا‬
ُ
َِ ‫ُتشركو ا‬
“Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia
berkata: "Inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia
berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam". Kemudian
tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku".
29
Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: "Sesungguhnya jika
Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku
termasuk orang yang sesat". Kemudian tatkala ia melihat matahari
terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar". Maka
tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: "Hai kaumku,
sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.”
(QS. An-Naml: 76-78)

Madjid (1996: 240). menyatakan, beberapa pihak


menilai bahwa nama “Ibrahim” diambil dari bahasa Semitik
di Babilonia yang berarti “menyeberang”. Anak
keturunannya disebut bangsa Habiru atau Ibrani (Arab:
Ibrani, Inggris: Hebrew), yang diatribusikan pada kebiasaan
para keturunannya yang suka melakukan pengembaraan
(nomaden).
Sejarah menyebutkan bahwa Nabi Ibrahim As
memiliki dua putra yang sama-sama diangkat menjadi nabi:
Ismail dan Ishaq. Pada jalur nabi Ismail As, lahirlah Nabi
Muhammad Saw. Sementara pada jalur nabi Ishaq As, ia
memiliki seorang putra bernama nabi Ya’kub As yang
memiliki dua belas anak. Keturunan nabi Ya’kub As dikenal
dengan Bani Israil yang dari sini lahirlah etnis dan
kelompok yang disebut dengan Yahudi (Madjid, 1996: 246)
Dari sinilah muncul ungkapan bahwa Nabi Ibrahim
As adalah Bapaknya para nabi (Abul Anbiya’). Mengapa?
Karena Nabi Ibrahim As merupakan titik temu dari agama
Yahudi, Nasrani, dan Islam. Fakta ini menunjukkan bahwa
misi risalah tauhid yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw,
secara genealogis bertemu dengan jalur Nabi Ibrahim As.
Ketika Islam (tanpa al) diatribusikan sebagai tatanan hukum
30
(unorganized religion), maka Islam menjadi pedoman
kehidupan dan menjadi agenda dakwa semua nabi dan
rasul. Puncaknya, Al-Islam (dengan al) dikukuhkan oleh
Nabi Muhammad Saw sebagai agama institusional (organized
religion) sekaligus sebagai penutup dan penyempurna seluru
misi Islam yang pernah dibawa oleh para nabi dan rasul
sebelumnya.
Uraian di atas dapat digambarkan dengan skema
sebagai berikut:

Allah

Tauhid (monoteisme) Islam

Al-Islam

Skema di atas menunjukkan bahwa misi tauhid


adalah misi universal yang diturunkan oleh Allah Swt
kepada para nabi dan para rasul. Secara terminologis, Islam
digunakan sebagai semangat untuk mengajak kepada kaum
terdahulu untuk tunduk dan patuh kepada Allah Swt.
Caranya, menyembah Allah Swt secara konsisten dengan
menunaikan syariat yang dibawa oleh para nabi dan rasul-
Nya. Itulah mengapa ketauhidan menjadi pesan terpenting
dalam semua agama samawi. Pada perkembangannya, Islam
31
bermetamorfosa menjadi agama institusional dan identitas
seorang muslim.

Islam Agama Wahyu


Islam adalah agama samawi terakhir yang menjadi
penutup dan pelengkap bagi agama samawi yang pernah
ada (Yahudi dan Nasrani). Islam menjadi puncak dari
proses panjang perjalanan agama dan syariat samawi.
Sebagaimana agama samawi lainnya, Syariat Islam
diturunkan melalui proses pewahyuan selama lebih kurang
dalam kurun 23 tahun. Nabi Muhammad Saw, adalah sosok
mulia yang diberikan amanah untuk mengemban misi ini.
Maka wajar jika Nabi Muhammad Saw disebut-sebut
sebagai pamungkas para nabi dan rasul (khatam al-anbiya wa
al-mursalin); tuannya para nabi dan rasul (sayyid al-anbiya wa
al-mursalin). Sebutan ini tentu bukan tanpa alasan. Sebagai
nabi dan rasul yang mengemban misi syariat islam, beliau
diberikan karakter ideal (role model) tentang bagaimana
menjadi muslim yang ideal. Wahyu yang diturunkan secara
gradual, menghasil susunan materi yang terhimpun di dalam
kitab suci al-Qur’an; kitab suci yang merevisi dan
melengkapi syariat sebelumnya. Maka fatsun; al-islam salih
likulli zamanin wa makanin (Islam relevan dalam segala ruang
dan waktu) memberikan konsekuensi logis bahwa Islam
dan al-Qur’an berlaku hingga datangnya hari kiamat; kepada
siapapun, dimanapun, dan sampai kapanpun.
Fatsun di atas juga memberikan legitimasi Islam
sebagai entitas dan non-entitas. Yang pertama berhubungan
dengan kata “Islam” sebagai nama agama dan identitas.
Adapun yang kedua berhubungan dengan substansi Islam
32
itu sendiri. Secara etimologi, kata Islam memiliki makna
ketundukan. Terma ini mengikat semua muslim untuk
tunduk dan patuh terhadap seluruh ajaran yang dibawa oleh
nabi Muhammad Saw.
Posisi Islam sebagai agama pamungkas dan berlaku
tak terbatas hingga datangnya hari kiamat, membuka
peluang munculnya bongkar-pasang syariat Islam. Hal ini
berkaitan dengan ekpresi keislaman yang ditunjukkan oleh
masyarakat muslim. Di sinilah muncul terma Islam dan
Hukum Islam. Terma Islam berhubungan dengan legitimasi
status dan bersifat universal. Ajaran pokoknya (primer)
bersifat qath’I, universal, dan tidak berlaku surut. Rukun
Islam -misalnya, berlaku universal bagi umat Islam;
dimanapun dan sampai kapanpun. Syahadat adalah ikrar
yang harus diucapkan dan diyakini oleh seorang muslim.
Shalat lima waktu dengan jumlah rakaatnya, tak boleh
ditambahi dan dikurangi; zakat adalah kewajiban yang harus
ditunaikan; puasa di bulan ramadlan, kewajibannya bersifat
mutlak; haji ke Baitullah, menjadi kewajiban bagi yang
mampu dan harus mendatangi Ka’bah dan tidak tergantikan
dengan selainnya.
Premis ini sekaligus menegaskan bahwa sebagai
muslim yang telah mengikrarkan syahadat, tidak boleh
berpaling dari hal-hal pokok yang digariskan oleh Islam. Di
sinilah makna Islam sebagai ketundukan mendapatkan
ruang persemaian.
Namun di dalam Islam, ada terma lain yang tidak
bisa dipisahkan dari kata Islam, yaitu Hukum Islam (Syariat
Islam). Jika Islam bersifat mutlak, maka Syariat Islam
bersifat relatif. Artinya, Hukum Islam diposisikan sebagai
33
piranti dalam mengaktualisasikan universalitas Islam
tersebut. Hukum Islam berhubungan dengan ekpresi dan
cara menunaikan ketentuan islam yang bersifat mutlak.
Dengan kata lain, Hukum Islam membuka diri terhadap
perubahan dan penafsiran.
Karim (1990: 134.) menyatakan, Hukum Islam awal
diturunkan di hadapan tradisi Arab pra-Islam yang
merupakan blueprint atau ladang uji coba bagi Islam dan
syariat Islam di zaman sekarang. Maka Hukum Islam
bukanlah otoritas domestik pra-Arab atau Arab. Sebagai
agama yang berlaku dalam lintas waktu dan tempat,
Hukumnya harus fleksibel dan bersesuaian dengan masa di
mana umat Islam berada sehingga bisa dipraktikkan sampai
kapanpun.
Karim menukil firman Allah Swt:
‫ا ُ ا ً ا‬
‫صدَِا ِلا ابَّ اَ اي اديه م ان الك اتاب‬ ‫اب بالحق م‬ ‫او اأن اِزل انا إ اِليِ اك الك ات ا‬
‫ن ا ان ا‬ ‫ا‬ ُ ‫ا‬ ‫ا‬
‫او ُم اهيم ًنا اعليه ۖ فاحكم ابي ان ُهم ب اما أن از ال الل ُه ۖ اوَل َتَع أه او ااء ُهم‬
‫اً ا ا ً ا‬ ُ ُ
‫اجا ِۚ اولو‬ِ ‫اع نما اج ااء اك م ان الِ احق ۚ لك ٍل اج اعل انا منكم ْ ِرعة ِومنه‬
ُ ‫ا‬ ُ ُ ٰ‫ً ا‬ ً ُ ُ‫ا ا ن ا ا‬
ۖ ‫الل ُه ل اج اعل ِكم أ نمة اواح ادة اولكن ل ايَل اوكم في اما آَاكم‬ ِ ‫ْاء‬
ُ ُُ ‫ا ن ا ُُ ا ً ا‬ ‫ا‬ ‫ا ا‬
‫يعا ف ُي انبئكم ب اما كن ُتم‬ ‫فاستَ ُقوا الخَّ ارات ۚ إلى الله مرجعكم جم‬
َِ ‫فيهِ اَخ اتل ُفو ا‬
Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa
kebenaran yang membenarkan apa (syariat) yang sebelumnya, yaitu
kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap
kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka
menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti
34
hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah
datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami
berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi
Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu,
maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah
kalian kembali, lalu Allah mengabarkan kepadamu apa yang telah
kalian perselisihkan (QS. Al-Maidah; 48)

Ayat tersebut di atas menjelaskan bahwa syariat


adalah aturan, jalan, cara atau metode dan proses yang
bersumber dari Alquran dalam menciptakan hukum untuk
setiap umat manusia dari satu generasi ke generasi
berikutnya, secara terus menerus mengikuti perkembangan
konteks yang ada tanpa membekukan hukum itu sendiri.
Asymawi (1992: 150) menegaskan bahwa syariat Islam
merupakan prinsip-prinsip kemaslahatan untuk melakukan
suatu kebajikan yang berkelanjutan dalam menciptakan
aturan aturan baru, melakukan pembaruan-pembaruan
dan interpretasi-interpretasi ulang sehingga tidak membeku
ke dalam aturan formal, praktik, atau interpretasi baku.
Syariat Islam yang lebih mengedepankan kemaslahatan bagi
kehidupan kemanusiaan inilah yang relevan dengan
kehidupan masyarakat zaman modern.
Aziz (2017: 84-85) berpendapat, diskursus tentang
Islam dan Hukum Islam berkaitan erat dengan interpretasi
dan ilustrasi terhadap ajaran Islam. Ketika seorang muslim
dihadapkan pada doktrin tertulis (written text), maka ia
berkepentingan untuk memanifestasikan di dalam
kehidupan sesuai dengan kadar pemahaman dan perangkat
35
kebudayaan yang dimilikinya. Di sinilah akan lahir
manifestasi keagamaan (social text) yang diwariskan secara
askriptif oleh pemeluknya.
Islam sebagai agama wahyu bukan berarti menutup
ruang interpretasi terhadap manifestasi agama itu sendiri.
Hal ini dibangun berdasarkan beberapa argumen:
Pertama, al-Qur’an sebagai dasar semua ajaran Islam,
berisikan ayat-ayat yang memuat berbagai topik, seperti
tauhid, ibadah, muamalah, dan sebagainya. Ada sejumlah
disiplin ilmu yang harus disertakan sebagai upaya
mengelaborasi dan mengeksplorasi kandungan hukum pada
ayat tersebut. Ini tidak berarti bahwa al-Qur’an tidak
komprehensif. Kedalaman isi dan kompleksitas tata bahasa
al-Qur’an, tidak memungkinkan masyarakat awam untuk
memahami itu. Satu-satunya pengkaji dan penafsir al-
Qur’an, hanyalah nabi Muhammad Saw. Kompetensinya
tidak semata-mata didasarkan pada kekuatan
rasionalitasnya, melainkan pada wahyu yang diturunkan
kepadanya. Allah Swt berfirman:

ِ‫او اما اينط ُق اعن ٱل اه او ٰى‬


“dan apa yang diucapkan olehnya (nabi Muhammad Saw) tidaklah
berdasarkan pada hawa nafsunya” (QS. An-Najm: 3)

Pada konteks ini, komunikasi dialektis antara nabi


Muhammad Saw dan para sahabatnya, turut memperkaya
khazanah pemahaman terhadap al-Qur’an. Asbabun Nuzul
-sebagai sebab turunnya al-Qur’an- dapat dimaknai sebagai
bagian dari respon al-Qur’an terhadap dinamika sosial-

36
kemasyarakatan. Begitu juga dengan nasakh-mansukh;
proses amandemen terhadap ayat al-Qur’an, baik yang
berkaitan dengan al-Qur’an dengan al-Qur’an, maupun al-
Qur’an dengan sunah.
Kedua, sunah nabi sebagai media penjelas atas hal-
hal teknis yang terkandung di dalam al-Qur’an. Sunah nabi
berada pada posisi kedua setelah al-Qur’an -dalam sumber
Hukum Islam- karena otoritas yang dimiliki oleh nabi
Muhammad Saw. Namun demikian, tidak berarti teks di
dalam sunah, bersifat kaku. Ada sejumlah relasi dialektis
antara sunah dengan dinamika sosial kemasyarakatan,
misalnya ijtihad para sahabat terkait arah kiblat, penentuan
ghanimah, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan
moral-etik (muamalah).
Ketiga, kompleksitas dinamika sosial
kemasyarakatan, memotivasi sejumlah sahabat, tabiin dan
era setelahnya untuk memformulasikan Hukum Islam yang
diekstraksi dari al-Qur’an dan sunah. Dari sini, muncul
sumber-sumber Hukum Islam seperti qaul sahaby, ijma,
qiyas, urf, istihsan, istishab, maslahah mursalah, dan syar’u
man qablana. Sumber-sumber ini merupakan
pengembangan dari substansi teks di kedua sumber utama
tersebut. Hal ini meniscayakan terbukanya ruang
interpretasi yang melahirkan social text sebagai manifestasi
dari written text.
Ketiga argumen ini menunjukkan bahwa Islam
sebagai agama wahyu membuka peluang lahirnya
interpretasi yang turut memperkaya khazanah pemahaman
terhadap Islam.

37
Dinamika Hukum Islam
Dzuwaini (2000: 23) membagi periode Hukum
Islam ke dalam Risalah Kenabian (ashr al-risalah) dan Risalah
Pasca Kenabian (ashru ma ba’d al-risalah). Yang pertama
diatribusikan kepada fenomena Hukum Islam di masa nabi
Muhammad Saw, sementara yang kedua diatribusikan
kepada Hukum Islam pasca meninggalnya nabi Muhammad
Saw.

Hukum Islam Masa Risalah


Ada banyak terma yang diatribusikan kepada
Hukum Islam Masa Risalah, misalnya Masa Kenabian, Masa
Pewahyuan, dan Masa Kerasulan. Ketiganya memiliki
makna yang sama di mana Hukum Islam pada masa ini,
menjadikan nabi Muhammad Saw sebagai referensi utama
dalam Hukum Islam. Nabi Muhammad Saw mendapatkan
legitimasi kuat karena seluruh statemen dan perilakukanya,
bersumber dari wahyu.
Hukum Islam pada masa ini disebut sebagai Masa
Pembentukan Hukum Islam sebagai hasil dari dakwah Nabi
Muhammad Saw lebih kurang selama 23 tahun. Pada
rentang tersebut, Hukum Islam dibagi menjadi dua; Periode
Makkah selama 13 tahun dan Periode Madinah selama 10
tahun. Pembedaan Periode Makkah dan Periode Madinah
disebabkan oleh corak dan prioritas Hukum Islam yang
didakwahkan oleh nabi Muhammad Saw (Khalaf, 1968: 11).
Hukum Islam pada Periode Makkah, fokus pada
masalah ketauhidan. Hal dilatarbelakangi oleh beberapa hal;
Pertama, masyarakat Makkah telah mengenal peradaban
Paganisme, di mana masyarakat menyembah berhala.
38
Lamanya rentang waktu antara diutusnya nabi Isa As dan
nabi Muhammad Saw selama lebih kurang 600 tahun,
menimbulkan kekosongan hukum. Pada kondisi tanpa nabi
dan rasul, menimbulkan masyarakat pada saat itu
menciptakan kreasi dengan membuat patung yang
disembah karena diyakini mengandung kekuatan ghaib.
Bagi masyarakat, patung tidak hanya sebagai sesembahan,
tetapi juga sebagai komoditas barang dagangan. Di sinilah
Paganisme mendapatkan tempat persemaian.
Kedua, ketauhidan sebagai fondasi beragama. Nabi
Muhammad Saw memerlukan waktu yang cukup untuk
menghilangkan pengaruh Paganisme di kalangan
masyarakat Arab, utamanya di Makkah. Maka misi utama
dakwah nabi Muhammad Saw adalah membangun
kesadaran kolektif masyarakat Makkah agar menyembah
Allah Swt dengan prinsip dasar ketauhidan.
Pada kurun 13 tahun, nabi Muhammad Saw
merumuskan strategi dakwah persuasif di tengah kuatnya
pengaruh Paganisme yang dibawa oleh Amr bin Luhay,
seorang tokoh Bani Khuzaah. Ia dikenal sebagai pelopor
menyembah berhala pada masyarakat Arab. Konsentrasi
Nabi Muhammad Saw terhadap masalah ketauhidan dapat
dilihat dari corak ayat-ayat Makkiyah yang lebih fokus pada
masalah ketauhidan, kisah umat terdahulu, pahala, dan
sebagainya.
Jika Hukum Islam Periode Makkah fokus pada
masalah keimanan, maka Hukum Islam Periode Madinah,
fokus pada masalah ibadah dan muamalah. Komposisi ini
disebabkan oleh kondisi masyarakat Arab pada saat itu yang
telah relatif terbuka menerima dakwah tauhid yang dibawa
39
oleh nabi Muhammad Saw. Dengan kata lain, ketika
masyarakat telah mengikrarkan keimanannya kepada Allah
Swt, selanjutnya nabi Muhammad Saw
mentransformasukan Hukum Islam yang lebih rigid,
utamanya pada masalah ibadah dan hukum.
Perbedaan corak Hukum Islam Periode Makkah
dan Madinah menunjukkan bahwa Hukum Islam sangat
memperhatikan realitas sosial di masyarakat. Artinya, ada
sejumlah pertimbangan psikologis dalam transformasi
Hukum Islam. Hal ini dapat dilihat pada konteks bahwa
Hukum Islam bersifat mengikat masyarakat. Maka realitas
sosial-kemasyarakat harus menjadi pertimbangan penting.
Hukum Islam pada masa ini, nyaris tanpa gejolak.
Kuatnya posisi dan pengaruh nabi Muhammad Saw sebagai
penerima wahyu, tidak menyisakan ruang cukup bagi
terjadinya perbedaan di kalangan para sahabat. Selain itu,
sumber Hukum Islam pada masa ini hanya al-Qur’an dan
sunah. Jika secara eksplisit al-Qur’an memberikan jawaban
atas persoalan yang terjadi, maka sahabat mencukupkan itu.
Jika muatan hukumnya bersifat implisit, maka sahabat
mengembalikannya kepada nabi Muhammad Saw sebagai
pemegang otoritas tafsir al-Qur’an. Di sinilah sunah
mendapatkan pengakuan sebagai penjelas dan penafsir ayat-
ayat al-Qur’an. Hukum Islam periode ini berakhir dengan
wafatnya nabi Muhammad Saw pada tahun 633 M.

Hukum Islam Pasca Risalah


1. Hukum Islam Masa Perkembangan
Pasca wafatnya Nabi Muhammad Saw, para sahabat
dihadapkan pada dinamika seputar kepemimpinan umat
40
Islam. Sebagian sahabat memberikan dukungannya kepada
Abu Bakar Ra, dan sebagian lainnya mendukung Ali bin
Abu Thalib Ra. Ini adalah dinamika Hukum Islam pertama
yang terjadi pada masa Hukum Islam Pasca Risalah.
Hukum Islam pada masa ini dikenal dengan Masa
Perkembangan yang dimulai dari masa sahabat yang
berjalan lebih kurang selama 90 tahun. Ada beberapa situasi
yang melatarbelakangi cepatnya perkembangan Hukum
Islam di masa ini. Pertama, faktor sosial. Pada masa ini,
sahabat dihadapkan pada berbagai fenomena yang belum
pernah terjadi pada masa nabi Muhammad Saw. Hal ini
mendorong sejumlah sahabat untuk melakukan ijtihad
dengan berdasarkan pada aksesibilitas mereka dengan Nabi
Muhammad Saw dalam masalah hukum. Dari sini muncul
Qaul Sahaby (pendapat sahabat) yang dihasilkan dari proses
ijtihad hukum terhadap suatu masalah.
Di antara contoh yang cukup dikenal dalam kajian
tentang Hukum Islam adalah terkait kodifikasi mushaf.
Pada masa Nabi Muhammad Saw, belum pernah ada
kodifikasi mushaf (Dzuwaini, 2000: 13). Ketika banyak para
penghafal al-Qur’an terbunuh dalam perang Yamamah,
sahabat Umar Ra khawatir jika al-Qur’an tidak dapat
dikodifikasikan sebagai warisan buat generasi berikutnya. Ia
mengusulkan kodifikasi tersebut kepada khalifah Abu Bakar
Ra. Setelah mengalami pertimbangan dan perenungan yang
tidak mudah, akhirnya program tersebut terealisasi.
Kisah tentang kodifikasi tersebut memberikan
penegasan bahwa sahabat mengalami dilema dalam
memutuskan satu hal yang belum pernah terjadi pada masa
nabi Muhammad Saw. Perbedaan fenomena dan kondisi
41
sosial-kemasyarakatan -antara masa Nabi Muhammad Saw
dan generasi berikutnya- seiring dengan perjalanan waktu,
meniscayakan para sahabat untuk mengambil langkah
kreatif dan inovatif
Pada kurun selama 90 tahun masa Khulafaur
Rasyidin, sejumlah terobosan para sahabat dalam berijtihad
turut memperkaya khazanah di dalam Hukum Islam.
Kedalaman ilmu para sahabat sekelas Abu Bakar Ra, Umar
bin Khatab Ra, Utsman bin Affan RA, Ali bin Abu Thalib
Ra, Aisyah Ra dan selainnya, tidak lagi diragukan. Selain
memiliki kompetensi, mereka adalah tokoh-tokoh yang
hidup sezaman dengan nabi Muhammad Saw.
Dari sini, terdapat penambahan sumber Hukum
Islam selain al-Qur’an dan sunah, yaitu Ijtihad Sahabat
(Ijtihad Sahaby) atau Pendapat Sahabat (Qaul Sahaby).

Hukum Islam Masa Kodifikasi (101-350 H/720-971 M)


Pada era ini, terdapat sejumlah unifikasi keilmuan
yang dilakukan oleh sejumlah ulama madzhab, seperti
Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, Imam
Hanbali, dan sebagainya. Terbentuknya madzhab menjadi
kebutuhan karena beberapa faktor; pertama, kompleksitas
permasalahan; kedua, kebutuhan metodologis; ketiga,
legitimasi hukum.
Sebagaimana pada masa sahabat, kompleksitas
permasalahan yang dihadapi masyarakat semakin nyata.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan di
masyarakat, memunculkan berbagai fenomena di
masyarakat. Misalnya hukum seputar ukuran air suci dan
mensucikan, shalat, transaksi jual beli, pernikahan, dan
42
sebagainya. Kompleksitas permasalahan ini membutuhkan
kepastian hukum yang dapat diekstraksi dari al-Qur’an dan
sunah. Itulah sebabnya perlu dibuat rumusan metodologis
dalam berijtihad. Dari sini kita mengenal Mujtahid Mutlak;
sebagai kelompok yang memiliki kompetensi penuh dalam
berijtihad, dan Mujtahid Madzhab, yang melakukan ijtihad
berdasarkan metodologi yang ditetapkan oleh Mujtahid
Mutlak.
Kemunculan madzhab turut memperkaya khazanah
keilmuan dan secara diametral memperkaya sumber Hukum
Islam. Jika pada masa perkembangan, terdapat Ijtihad
Sahabat, maka pada fase ini muncul sejumlah sumber
Hukum Islam, seperti qiyas, istihsan, maslahah mursalah,
dan sebagainya. Ini menunjukkan bahwa Hukum Islam
membuka diri untuk dikembangkan sesuai dengan realitas
kehidupan yang dihadapi masyarakat. Kaidah; al-Nushusu
muhaddadah wa al qadlaya ghairu muhaddadah (teks -al-Qur’an
dan sunah terbatas, sementara fenomena yang dihadapi
manusia tidak terbatas).
Kaidah ini menyiratkan pesan bahwa al-Qur’an dan
sunah adalah kitab baku yang tidak beku. Artinya, teks-teks
al-Qur’an dan sunah dianggap final setelah wafatnya Nabi
Muhammad Saw. Namun eksplorasi terhadap teks-teks
tersebut tetap diperlukan agar substansinya dapat diungkap
dan memberikan legitimasi hukum suatu persoalan.
Munculnya Mujtahid Mutlak dan Mujtahid Madzhab adalah
solusi atas segala persoalan yang belum mendapatkan
hukum.
Pada fase ini, sejumlah madzhab dan kitab-kitab
referensi turut berkontribusi dalam memperkaya diskursus
43
Hukum Islam. Formulasi Ilmu Ushul Fiqh dan Fiqh
membuka jalan terbukanya ijtihad dan lahirnya berbagai
jenis hukum.

Hukum Islam Masa Taklid (351 H)


Hukum Islam pada masa ini mengalami kejumudan
(stagnan). Faktornya utamanya, masyarakat tidak memiliki
gairah untuk berijtihad karena telah mencukupkan diri
dengan sejumlah rumusan hukum yang dihasilkan oleh
ulama pada masa kodifikasi. Hal ini melahirkan sikap
fanatic bermadzhab (ta’ashub madzhaby). Akibatnya,
sejumlah benturan antara satu kelompok dengan kelompok
lainnya menjadi tidak terelakkan. Rahman (1995: 320-321)
mengatakan bahwa selain karena fanatisme bermadzhab,
kejumudan ini juga disebabkan oleh instabilitas politik
pemerintah sehingga performa pemerintah menurun dan
berdampak sistemik terhadap perhatiannya terhadap
keilmuan.
Pada fase ini, Hukum Islam tidak mengalami
perkembangan. Sejumlah karya hanya merupakan kutipan
dari sumber-sumber yang sudah ada. Ashqar (1991: 146-
147) memberikan catatan, situasi ini juga dipicu oleh sikap
pemerintah yang terlalu berlebihan dalam memberikan
penghargaan kepada para imam panutan. Akibatnya,
muncul kebijakan mengharuskan mengikuti madzhab
tertentu dan disertai dengan larangan mengikuti madzhab
lain. hal ini turut memperkeruh keadaan.

44
Hukum Islam Masa Kebangkitan (1924 M)
Kejumudan pemikiran Hukum Islam pada masa
sebelumnya, menyadarkan sejumlah kalangan muslim untuk
berbenah. Islam sebagai agama yang telah menyediakan
sejumlah hukum yang komprehensif, tidak sebatas sebagai
kebanggaan. Di sini diperlukan upaya serius dalam mengkaji
kembali Hukum Islam dan mengembangkannya secara
fungsional.
Sirry (1995: 152), menyebutkan, sedikitnya ada
empat pola aliran dalam Hukum Islam pada masa
kebangkitan ini.
1. Modernisme. Kelompok ini mengusung pesan
mendasar bahwa pembaharuan fiqh adalah
keniscayaan. Fiqh yang pernah berkembang di masa
keemasan, dinilai tidak lagi memadai dalam
merespon segala persoalan. Maka diperlukan fiqh
baru yang lebih kontekstual dengan tuntutan masa
modern.
2. Survavilisme. Kelompok ini memiliki semangat
yang sama dengan kelompok modernisme.
Bedanya. Pembaharuan fiqh tidak berarti
mengamandemen rumusan fiqh yang sudah ada.
Fiqh yang sudah ada tidak perlu dihilangkan,
melainkan diperbaharui metodenya sehingga
bersesuaian dengan konteks hari ini.
3. Tradisionalisme. Kelompok ini berpandangan,
bahwa kemunduran umat Islam harus diimbangi
dengan upaya serius untuk kembali kepada al-Quran
dan sunah. Selain itu, perbedaan pendapat yang ada,
hendaknya ditempatkan sebagai rahmat bagi
45
sesama. Hal ini sesuai dengan ungkapan: “ikhtilaf al-
ulama rahmat, wa ikhtilaf al-juhala fitnah – perbedaan
di kalangan para ulama menjadi rahmat. sementara
perbedaan dengan kalangan orang bodoh menjadi
fitnah.”
4. Neo-Survavilisme. Kelompok ini fokus pada respon
Hukum Islam terhadap realita sosial yang terjadi di
masyarakat. Dengan pol aini, Hukum Islam tidak
hanya menjadi “bahasa langit” yang berbicara
idealitas, tetapi harus menjadi “bahasa bumi” yang
vis a vis dengan realitas.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa umat Islam


memiliki sejarah yang cukup panjang dalam dinamika
Hukum Islam. Artinya, landasan historis ini sebagai bukti
universalitas Hukum Islam yang terbuka terhadap
perubahan, baik dalam bentuk eksplorasi ataupun
interpretasi.

Islam Transformatif; Formalisasi Hukum Islam


Bouthi (1998: 3) mencatat, salah satu alasan
diturunkannya agama Islam di tanah Arab adalah untuk
mengimbangi dua peradaban raksasa pada saat itu, yaitu
Romawi dan Persia. Letak Arab yang cukup strategis,
memungkinkan nabi Muhammad Saw untuk berdakwah
dan melakukan transformasi Islam demi memperbaiki
situasi masyarakat Arab yang hidup di era jahiliyah.
Pendapat Bouthi di atas menambah khazanah
tentang kelahiran Islam di tanah Arab. Banyak kalangan
berpendapat, Arab dipilih sebagai tempat landingnya Islam
46
karena rusaknya moralitas masyarakat yang hidup dengan
tradisi jahiliyah.
Masyarakat Mekah pra Islam mengalami degradasi
aqidah dan moral yang luar biasa. Dalam masalah aqidah
mereka menyembah berhala yang berdasarkan pada
sentimen kabilah. Berhala yang mereka sembah merupakan
simbol dari tiap-tiap kabilah, sehingga tiap kabilah yang ada
pada saat itu mempunyai berhala masing-masing.
Kerusakan moral saat itu sudah sangat parah. Perampokan,
pembunuhan, mabuk-mabukan dan lain sebagainya menjadi
perilaku sebagian besar penduduk Mekah. Tidak ada
penghargaan bagi kaum perempuan, mereka hanya
dijadikan budak nafsu oleh para laki-laki dan apabila lahir
seorang anak perempuan langsung dibunuh oleh ayahnya,
karena mereka menganggap mempunyai anak perempuan
sebagai sebuah aib. Sehingga zaman itu sering disebut
sebagai zaman jahiliyah dikarenakan rusaknya aqidah dan
moral masyarakat Mekah (Rochanah, 2014: 17). Maka
untuk mengatasi rusaknya moral masyarakat Mekah, maka
Allah mengutus Muhammad SAW untuk membenahi moral
mereka. Tugas utama Muhammad ialah makarimal akhlak
bangsa Arab dan menyebarkan ajaran Islam sebagai 18
rahmatan lil ‘alamiin. Muhammad lahir pada hari Senin 12
Rabiul Awal Tahun Gajah, bertepatan dengan 20 April 571
(Sodikin, 2009: 21).
Pada masa ini, tak banyak inovasi hukum yang
dilakukan oleh Abu Bakar Ra. Ia dikenal sebagai sahabat
terdekat Rasulullah Saw dan dikenal memegangteguh
komitmen sehingga kekhawatirannya menyelisihi hukum
yang pernah ditetapkan oleh Rasulullah Saw, membuatnya
47
sangat berhati-hati dalam melakukan inovasi hukum. Salah
satu contohnya, ketika Umar bin Khatab Ra mengusulkan
pembukuan al-Quran akibat banyaknya sahabat penghafal
al-Qur’an yang meninggal dalam perang Yamamah. Abu
Bakar Ra butuh waktu cukup Panjang untuk memutuskan
usulan tersebut. Setelah melakukan shalat Istikharah dan
berdialog Panjang, Abu Bakar Ra menyetujui usulan
tersebut dan memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk
menuliskannya.
Fenomena berbeda terjadi ketika kekhalifahan
dipegang oleh sahabar Umar bin Khatab dan seterusnya.
Ada cukup banyak inovasi yang terjadi pada masa ini.
Setelah pasukan Islam pada masa Umar bin Khatab Ra
melakukan ekspansi ke Persia (Ismail, 1998: 115), ia
melakukan berbagai terobosan, di antaranya adalah
pembakuan sistem negara modern; capaian fantastis yang
dilakukan oleh Umar untuk memperkuat hegemoni dakwah
Islam pada saat itu. Dalam hal Hukum Islam, ia
menerapkan kebijakan strategis dan terbilang cukup berani;
pengampunan terdakwa hukuman potong tangan,
penghapusan kelompok muallaf dalam ashnaf zakat, dan
pengharaman nikah mut’ah (Maliky, 2005: 87-90).
Pasca meninggalnya Umar bin Khatab, Utsman bin
Affan Ra memegang kendali pemerintahan. Meskipun
Umar bin Khatab Ra telah mewariskan sistem negara
modern dan kebijakan lainnya, di awal pemerintahan,
Utsman bin Affan Ra dihadapkan pada maraknya
pemberontakan sebagai imbas terbunuhnya Umar bin
Khatab ra.

48
Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan,
muncul variasi membaca al-Qur’an di kalangan umat Islam
sebagai konsekuensi kelonggaran yang diberikan nabi
Muhammad Saw kepada kabilah-kabilah Arab dalam
membaca dan menghafalkan al-Qur’an sesuai dengan dialek
mereka. Seiring meluasnya wilayah kekuasaan Islam, variasi
dialek membaca al-Qur’an dinilai mengkhawatirkan karena
dapat merubah makna ayat-ayat al-Qur’an. Kemudian
Utsman bin Affan Ra memutuskan untuk membentuk
panitia (lajnah) yang ketuanya dipercayakan kepada Zaid bin
Tsabit Ra. Tugas utamanya, menyalin mushaf yang
disimpan oleh Hafsah dan menyeragamkan dialeknya sesuai
dengan dialek Quraisy. Zaid bin Tsabit Ra menyalin mushaf
tersebut sebanyak 6 buah. Sesuai instruksi Utsman bin
Affan Ra, salinan mushaf dikirim ke beberapa wilayah
Islam. Adapun naskah mushaf lainnya, dibakar demi
menjaga keotentikan al-Qur’an. Dari sinilah kita mengenal
istilah “Mushaf Usmani”. Salah satu mushaf yang disimpan
oleh Utsman bin Affan Ra diberi nama “Mushaf 34 Al
Imam” (Rochanah, 2014: 33).
Pasca terbunuhnya Utsman bin Affan Ra, tampuk
kekhalifahan dipegang oleh Ali bin Abu Thalib KW.
Program pertama yang dilakukan adalah melakukan reshuffle
para kepala daerah pilihan Utsman bin Affan, reformasi
birokrasi dan sertifikasi tanah-tanah milik negara. Tak
banyak yang bisa dilakukan oleh Ali bin Abu Thalib KW
karena terjadi gejolak internal. Ada dua peperangan yang
membuat posisi Ali cukup sulit. Pertama, perang Jamal yang
membuat Ali bin Abu Thalib KW berperang melawan
sesama muslim, bahkan dengan orang-orang terdekat nabi
49
Muhammad Saw, yaitu Aisyah Ra, Talhah Ra, dan Zubair
Ra. Perang ini dipicu oleh dugaan keterlibatan Ali bin Abu
Thalib KW dalam terbunuhnya Utsman bin Affan Ra.
Selain perang Jamal, Ali bin Abu Thalib kembali
berada dalam posisi sulit; ia harus berperang dengan
Muawiyah yang membuat muslim pada saat itu terpecah
menjadi dua; mereka yang membela Ali bin Abu Thalib Ra
-yang disebut dengan Syiah- dan yang melawan Ali -yang
disebut dengan Khawarij. Tak pelak, Ali harus menghadapi
dua musuh sekaligus; Muawiyah dan Khawarij.
Setelah 30 tahun kepemimpinan Khulafaur
Rasyidin, pemerintahan Islam memasukan era Dinasti
Umayyah yang didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan.
Khudari (2011: 421) mencatat, pendirian dinasti Umayah
didahului dengan pencopotan Hasan bin Ali sebagai
khalifah yang dibaiat sebagai khalifah setelah bapaknya
meninggal pada tahun 41 Hijriyah. Sejak itu kepemimpinan
khilafah sudah pindah ke dinasti Umayah, yang
pemerintahannya berpusat di Syam. Sebagian penulis
sejarah ada yang mengatakan bahwa dinasti Umayah bukan
lagi khilafah, tetapi sudah berubah menjadi “Daulah
Islamiyah”. Di sisi lain ada yang menyebut Muawiyah bin
Abu Sofyan dengan sebutan khalifah dan bahkan panggilan
khalifah itu juga disebut-sebut pada generasi setelah
Muawiyah, misalnya khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Salah satu fenomena penting pada masa pasca
kekhalifahan ini adalah munculnya madzhab sebagai bagian
dari upaya mengkaji hukum yang terkandung di dalam al-
Qur’an dan al-Hadits. Madzhab -sebagai wadah
intelektualitas yang didirikan oleh seorang mujtahid-
50
mendapatkan legitimasi sebagai salah satu pemegang
otoritas yang menghasilkan fatwa-fatwa yang berhubungan
dengan masalah fiqh (masail fiqhiyyah). Sirry (2010: 49)
menyatakan, kemunculan para madzhab ini adalah salah
satu hikmah munculnya pergolakan yang terjadi di kalangan
umat Islam.
Selain madzhab, fenomena penting lainnya adalah
penggunaan rasio dalam mengelaborasi dan mengeksplorasi
Hukum Islam. Salah satu tokohnya adalah Ibrahim bin
Yazid al-Nakha’i, fukaha yang mewarisi fiqh Abu Hanifah.
Akibatnya, muncul banyak pertentangan dari fukaha
lainnya, terutama fukaha Madinah yang kuat konsistensinya
terhadap sunah.
Seiring dengan dinamika situasi zaman, mendorong
berbagai ikhtiar dalam merumuskan Hukum Islam. Ikhtiar
ini menjadi bagian penting dalam mengeksplorasi al-Qur’an
dan hadis sebagai referensi primer. Status Islam sebagai
agama yang relevan melintasi ruang dan waktu, mendorong
segenap umat Islam untuk bertahan dengan mengkreasikan
sejumlah ijtihad. Philips (Ameenah, 2005: 89-119) mencatat,
ada sejumlah madzhab besar yang mewarnai dinamika
Hukum Islam, di antaranya adalah madzhab Hanafi (703-
767 M), madzhab Auza’I (708-774 M), madzhab Maliki
(717-801 M), madzhab Zaidi (700-740 M). madzhab Laitsi
(716-791 M), madzhab Tsauri (719-777 M), madzhab Syafii
(769-820 M), madzhab Hanbali (778-855 M), Madzhab
Dzahiri (815-833 M)
Hemat penulis, terbentuknya madzhab ini bersifat
alamiah. Ketika Islam telah mulai melintasi waktu dan
tempat, ada situasi-situasi yang menuntut perumusan
51
Hukum Islam yang applicable. Ketika Imam Syafii berada di
Irak, beliau mengkodifikasikan fatwa-fatwanya dalam “Qaul
Qadim”. Namun setelah pindah ke Mesir dan melihat ada
banyak perbedaan kondisi sosio-kultural di Irak dan di
Mesir, beliau mengubah beberapa fatwanya dan dituang di
dalam “Qaul Jadid”. Artinya, perubahan di dalam Hukum
Islam adalah bersifat alamiah mengingat Hukum Islam ini
berkaitan erat dengan situasi sosial-kemasyarakatan. Ketika
kondisi sosial-kemasyarakatan antara suatu masyarakat
dengan lainnya berbeda, di sinilah kreasi Hukum Islam
mendapatkan tempat persemaian.
Uraian di atas menjelaskan bahwa transformasi
Hukum Islam adalah keniscayaan. Islam dengan model
seperti yang terjadi pada masa Rasulullah Saw, nyatanya
tidak bertahan pasca beliau meninggal. Pada era sahabat
telah muncul kreasi-kreasi hukum sebagaimana yang
dilakukan oleh keempat pemegang tampuk kekhalifahan.
Begitu juga dengan masa-masa setelahnya. Fakta ini
menunjukkan bahwa Hukum Islam mampu
bertransformasi, baik bentuk dan substansinya.
Hal ini menegaskan bahwa Islam dan Hukum Islam
harus didudukkan pada proporsinya. Islam adalah
penamaan agama yang bersifat universal dan baku (organized
religion). Adapun Hukum Islam adalah sistem regulasi yang
memberikan petunjuk teknis dalam beragama. Meskipun
Hukum Islam ini bersifat relatif dan membuka diri terhadap
perubahan, ada ketentuan-ketentuan yang harus
diperhatikan kebakuannya (qath’i).
Khalaf (2007: 16-17) mendefinisikan qath’I sebagai
sesuatu yang menunjuk makna tertentu sesuai dengan teks
52
dan tidak mengandung kemungkinan takwil serta tidak ada
tempat atau peluang untuk memahami makna lain selain
makna yang ditunjuk oleh teks.
Diskursus tentang qath’i dan zanni menjadi garis
pembatas; manakah wilayah-wilayah yang boleh dirubah
(ijtihad) dan yang tidak boleh dirubah? Ini menjadi bagian
dari konsekuensi agama samawi yang aturannya langsung
dari Allah. Maka diskursus tentang qath’i dan zanni
berkaitan erat dengan al-Qur’an dan hadits ditinjau dari sisi
tsubut dan wurud (konstansi hukum) atau dalalah-nya
(indikasi hukum).

53
54
BAB II
HUKUM ISLAM DOMESTIKATIF DI JAWA

Kebudayaan Jawa dari Masa ke Masa


Kajian tentang Hukum Islam Enkulturatif di
Indonesia dalam buku ini, memilih Jawa sebagai setting
kajian dengan alasan; Pertama, secara historis, Jawa memiliki
catatan historis yang relatif lengkap terkait penyeberan
Islam yang dibawa oleh Walisongo. Dakwah kultural yang
dikembangkan oleh Walisongo, mampu mengubah wajah
Jawa yang semula identik dengan aliran kepercayaan
(animisme dan dinamisme) dan aliran keagamaan (Hindu
dan Budha), menjadi “pulau islami” yang berkembang
sangat pesat; Kedua, Islam Kejawen -sebagai agama genuine
pada masyarakat Jawa- menjadi diskursus penting karena
mampu melakukan integrasi dan internalisasi nilai-nilai
budaya dengan ajaran Islam sehingga menjadi kekhasan
bagi masyarakat muslim di Jawa; Ketiga, Jawa (Kota
Jombang) menjadi tempat kelahiran Nahdlatul Ulama;
organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia, yang
melanjutkan dakwah kultural Walisongo dengan
pendekatan persuasif sehingga memberikan warna dominan
dalam dinamika keagamaan di Indonesia.
Ketiga alasan di atas penting diketahui karena Jawa
dikenal banyak pihak sebagai salah satu pulau di Indonesia
yang menorehkan sejarah panjang pergulatan agama dan
kepercayaan di masyarakat. Maka tidak berlebihan jika ada
ungkapan; Islam di Jawa, adalah potret Islam di Indonesia.
Terlebih, diskursus tentang Islam Nusantara dan
Pribumisasi Islam -misalnya, menjadikan Jawa sebagai
55
setting kajian. Bagi Manullang (2020: 85), diskursus tentang
Hukum tak bisa dilepaskan dari peran budaya di
masyarakat. Mengapa? Budaya itulah yang memberikan
warna dan bentuk dari Hukum Islam itu sendiri.
Simuh (2018: 132) mencatat, Jawa memiliki nilai
budaya yang menjadi komposisi norma kehidupan
masyarakatnya sehingga membentuk pola pikir dan sikap
yang merepresentasikan kearifan lokal (local wisdom) dengan
segala kejeniusan masyarakatnya (local genious) sehingga
memberikan kekhasan dalam konteks masyarakat global.
Modal ini menurutnya, dapat digunakan untuk
mempresentasikan Jawa kaitannya dengan persoalan teologi
dan hukum.
Perjalanan panjang kebudayaan Jawa, sejak pra-
Hindu dan Budha hingga datangnya Islam, memotret Jawa
sebagai pulau yang memiliki pengalaman penting dalam
berdialektika dengan berbagai aliran dan agama. Simuh
(2018: 133) mengemukakan bahwa masyarakat Jawa pada
masa pra Hindu dan Budha, telah memiliki sistem
bermasyarakat yang mapan dan teratur. Yang pertama
diatribusikan pada konsepsi nilai yang diwariskan secara
turun temurun dan diletarikan secara konsisten. Adapun
yang kedua, diatribusikan pada terciptanya keteraturan
masyarakat sebagai pengaruh dari kuatnya nilai dan
solidaritas yang melekat pada karakter masyarakat Jawa.
Kuatnya nilai dan solidaritas masyarakat Jawa,
adalah bagian dari implementasi Agama Jawa yang disebut
dengan istilah religion-magis. Religion-magis adalah sistem
keyakinan yang mempercayai kekuatan roh nenek moyang
yang secara sistemik berpengaruh kepada kehidupan
56
manusia. Dengan kata lain, bagi mereka, ruh nenek moyang
adalah Tuhan yang sewaktu-waktu dapat memberikan
pengaruh baik dan buruk. Persepsi ini memotivasi lahirnya
sikap waspada terhadap kehidupan dan secara konsisten
berbuat baik kepada alam semesta. Proposisi ini kemudian -
oleh Sutan Takdir Alisyahbana- disebut sebagai republik
desa-desa kecil.
Koentjaraningrat (1974: 38) mencatat, pasca
masuknya pengaruh kebudayaan India ke Jawa yang
ditandai dengan masuknya agama Hindu dan Budha, lahir
kerajaan-kerajaan kecil di Jawa. Para raja diangkat dari
penduduk asli Jawa. Dalam rangka menciptakan hegemoni
dan kesejahteraan, para raja ini mendatangkan para
Brahmana dari India sebagai penasihat, baik yang berkaitan
dengan politik kekuasaan, maupun politik kesejahteraan.
Jika di Sumatera Selatan pengaruh Budha cukup
kuat -yang ditandai dengan berdirinya kerajaan Sriwijaya, di
Jawa -sebagaimana juga di Bali, pengaruh Hinduisme lebih
kuat. Hal ini ditandai dengan berdirinya kerajaan Mataram
Kuno yang dipimpin oleh raja Sanjaya yang beragama Syiwa
yang berhasil membangun Candi Syiwa di dataran Dieng.
Pasca surutnya kekuasaan Sanjaya, Dinasti Syailendra yang
beragama Budha, mengambil alih kekuasaan dan
bekerjasama dengan kerajaan Sriwijaya. Hasilnya, ia mampu
membangun Candi Borobudur. Pada akhir abad 8 M, ia
kembali memeluk agama Syiwa dan mendirikan Candi
Prambanan.
Simuh (2018: 135) mencatat, raja -bagi masyarakat
Jawa, dianggap sebagai titisan dewa. Tidak hanya karena
kekuatan dan kekuasaannya, tetapi juga keteladanan dalam
57
perilakunya. Terlepas dari atribut tersebut, orientasi utama
tetaplah politik kekuasaan. Agama hanyalah menjadi salah
satu alat untuk melanggengkan kekuasaannya. Wajar jika
terjadi konversi agama, dari Hindu, Budha, Islam, dan
seterusnya.
Seiring berjalannya waktu, terjadi migrasi besar-
besaran, dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, tepatnya di dekat
Sungai Brantas. Disinyalir, salah satu faktornya adalah
ketersediaan sumberdaya alam. Lembah Brantas yang
dikenal subur, mampu menjamin terpenuhinya kebutuhan
pokok masyarakat. Hal ini menyebabkan masyarakat
seantero Jawa, melakukan migrasi. Pada abad 10, berdirilah
kerajaan Kediri yang dipimpin oleh Airlangga yang
beragama Syiwa-Budha; bentuk sinkretisme kedua agama.
Pada masanya, lahir gubahan sastra Ramayana dan
Mahabarata yang menajdi cikal bakal lahirnya kesusasteraan
Jawa Kuno. Sebelum meninggal, Airlangga telah membagi
kekuasaannya menjadi dua dan diwarisi oleh kedua
puteranya yang masing-masing memimpin kerajaan Panjalu
dan kerajaan Singhasari (Jenggala).
Pasca runtuhnya kerajaan Singhasari, berdirilah
kerajaan Majapahit di Mojokerto yang mengalami puncak
kejayaan di masa Majapahit yang dikenal dengan Sumpah
Palapa. Hal ini menyebabkan Jawa semakin dikenal.
Menurut Simuh (2018: 138), sejak Majapahit dikenal luas,
banyak pedagang dari Gujarat, Persia, Cina, dan Arab,
berbondong-bondong datang ke Jawa dengan perantara
orang asing yang beragama Islam. di sinilah muncul benih-
benih berdirinya kerajaan Islam. Pasca runtuhnya Majapahit
pada tahun 1518 M, kerajaan Islam mulai berdiri. Kerajaan
58
yang mewarisi pusaka Majapahit adalah kerajaan pesisiran
Demak.
Pada situasi ini, relasi berbagai agama dan
kebudayaan menjadi tidak terelakkan. Karena pengaruh
Hindu dan Budha tidak dimasifkan oleh rahib atau pendeta
yang militan, melainkan oleh para cendekiawan dan
bangsawan, tidak sulit bagi masyarakat Jawa untuk
menginternalisasikan ajaran Islam ke dalam kebudayaan
Hindu dan Budha. Pasca kedatangan Aji Saka, terjadi
perubahan sistemik dalam kebudayaan Jawa, misalnya
gubahan huruf Hindu menjadi huruf Jawa dan
berkembangnya kepustakaan Jawa sebagai hasil gubahan
dari cerita Mahabarata dan Ramayana yang membawa
warna cukup dominan dalam kesusasteraan Jawa, yang
diantaranya berupa seni Wayang. Dari wayang inilah
berbagai kisah perjuangan di Jawa, dapat disimak.
Pada abad 16 M, Islam mulai menjadi kekuatan
agama dan budaya. Menurut Simuh (2018: 144-145), peran
kaum sufi sangatlah menonjol. Sastra Melayu-Islam -sebagai
awal kemunculan syair yang pertama kali lahir adalah karya
Hamzah Fansuri, seorang ulama sufi akhir abad 16 M. syair-
syair yang memuat tentang ajaran Islam, memberikan
pengaruh terhadap peralihan corak kerajaan Demak, dari
Jawa-Hindu menjadi Jawa-Islam. Dua kekuatan yang
dihadapi adalah kebudayaan para petani lapisan bawah yang
memgang reliji animism-dinamisme dan kebudayaan yang
memegang tradisi Hindu-Budha.
Kerajaan Demak semakin kuat pasca runtuhnya
kerajaan Majapahit. Meskipun demikian, kekuasaan raja
Demak tidak sertamerta membuang pengaruh animisme
59
dan dinamisme. Yang terjadi adalah penyesuaian bentuk
budaya yang mengintegrasikan dan menginternalisasikan
budaya Jawa dan ajaran Islam. Itulah sebabnya masa
kerajaan ini disebut sebagai masa peralihan dari Zaman
Kabudan (tradisi Hindu dan Budha) ke masa zaman Kawalen
(Islam). Di sinilah Islam Kejawen mendapatakan ruang
persemaian.

Islam Kejawen; Agama Genuine Masyarakat Jawa


Menurut Hadiwijono (1983: 22), genealogi masyarakat
kejawen tidak lepas dari dua tokoh, yaitu Dewi Laksmi dan
Wisnu. Keduanya diminta turun ke wilayah Arcapada dalam
kapasitasnya sebagai danyang (nenek moyang) di Jawa.
Ketika keduanya bertemu di Gunung Tidar dan mendirikan
tetenger (simbol) berupa paku di daerah tersebut. Paku ini
juga dikenal dengan nama pakubuwana yang berasal dari kata
“paku” yang bermakna paku dan buwana yang dimaknai
dengan bumi.
Bagi masyarakat Jawa, simbol inilah yang menyebabkan
masyarakat di Jawa merasakan ketenangan. Dari kedua
tokoh inilah lahir banyak keturunan. Sesuai nasihat Batara
Guru, Semar diperintahkan untuk menjaga anak keturunan
yang baik, dan Togog menjaga keturunan yang buruk
(Endaswara, 2006: 2).
Pada perkembangannya, mitologi tentang kedua tokoh
tersebut dijelaskan dalam falsafah “Ajisaka”. Falsafah ini
dikenal sebagai falsafah yang mengukuhkan jatidiri manusia
yang memiliki relijiusitas tinggi yang merupakan inti dari
kejawen.

60
Falsafah Ajisaka yang menjadi basis ideologis Kejawen
faktanya memberikan kekhasan pada masyarakat Jawa,
bahwa manusia hidup berdampingan dengan mistik,
geografi, agama, dan budaya. Dari sinilah lahir nilai-nilai
luhur yang dipedomani sebagai falsafah bagi masyarakat
kejawen.
a. Kembali ke Karakter Dasar (Back to Basic)
Salah satu hal mendasar dalam sistem
berfikir Jawa adalah suka pada mitos. Perilakunya
kemudian selalu dikaitkan dengan hal-hal yang tak
kasat mata. Hal ini menyebabkan sistem berfikir
mistis mendominasi pola perilaku masyarakat.
Karena dengan sistem ini, pola-pola hidup
disandarkan pada nasib. Dalam istilah Jawa dikenal
dengan istilah kabegjan (keberutungan). Pada level
ini orang Jawa sampai pada homologi antropokosmik,
bahwa dalam kehidupan, nasib manusia ditentukan
oleh tata manusia dan sekelilingnya.
Nilai dasar sebagaimana disebutkan di atas
dipegangteguh oleh masyarakat Jawa secara ultimate
value, bahwa masyarakat mewarisi tradisi tersebut
secara turun-temurun. Maka dapat dikatakan bahwa
tradisi dan atau budaya hari ini, merupakan
kelanjutan dari tradisi dan budaya sebelumnya. Hal
tersebut dipegangteguh sebagai doktrin. Pada
konteks ini, masyarakat tidak punya keberanian
merubah, apalagi meninggalkannya. Bagi
masyarakat, tradisi dan warisan nenek moyang,
merupakan fakta yang lahir dan dikonstruksi dari
pengalaman terhadap perkara mistik. Salah satu
61
caranya, adalah dengan mengagungkan roh leluhur
karena dianggap membawa kemaslahatan dan
kemudaratan.
Pada catatan Endaswara (2006: 10), dalam
menjalani tradisi, masyarakat Jawa mengacu pada
budaya leluhur (sebagian dari masyarakat menyebut
istilah itu dengan leluwur). Masyarakat berkeyakinan,
leluwur memiliki kekuatan, terutama jika ia dianggap
sebagai wong tuwo, baik secara usia atau ilmu. Karya
seperti Serat Centhini, Mahabarata, Babad Tanah Jawa,
Serat Wedhatama, dan sebagainya, cukup menjadi
bukti betapa karya para leluhur dijadikan sebagai
pijakan penting dalam kehidupan masyarakat Jawa.
Melalui proses olah batin, karya tersebut menjadi
pedoman dalam berkehidupan. Dari sini,
karakteristik khas kejawen mendapatkan persemaian.
Implikasi dari uraian di atas adalah
munculnya kelompok masyarakat kejawen yang
mengintegrasikan aspek agama, animisme,
dinamisme, dan budaya. Dengan kreatifitas inilah
mereka disebut-sebut sebagai kelompok beragama
yang genuine di pulau Jawa. Kelompok kejawen atau
abangan dianggap memiliki sisi relijiusitas tulen karena
unsur-unsurnya lahir dari dari karakter masyarakat
yang fleksibel, akomodatif, dan terbuka terhadap
ideologi yang lain.
Kejawen merupakan jatidiri Jawa. Menurut
Endaswara (2006: 11), tradisi itu berhubungan
dengan beragam perangkat unsur kehidupan sehari-
hari dan selalu berkaitan dengan mistik yang dinilai
62
cukup misterius dengan kompleksitas yang tinggi.
Misalnya, masyarakat Jawa mengenal perhitungan
sebelum sebuah seremonial dilakukan. Itu bukanlah
perhitungan biasa, melainkan didasarkan pada fakta
empirik dalam rentang yang cukup Panjang.
b. Ngelmu Titen
Masyarakat Jawa memiliki sejarah panjang
terkait dengan pengalaman spiritual, termasuk relasi
dengan alam semesta. Pengalaman itu dikonstruksi
sebagai realitas dalam kehidupannya yang diamati
pola dan hasilnya sehingga masyarakat tahu;
seberapa sering hal itu terjadi. Dengan kata lain,
suatu kejadian diamati sebab dan pengaruhnya
sehingga melahirkan asumsi dan proposisi. Inilah
makna dari ngelmu titen yang dalam tradisi
masyarakat kejawen, hal itu lahir dari suatu kejadian
dengan kesamaan proses, pola, dan hasil.
Kedua karakter ini menegaskan bahwa
masyarakat Jawa memiliki apa yang disebut dengan
ilmu dan ngelmu. Dua terma ini memiliki makna yang
tidak sama meskipun akar katanya sama. Ilmu
diatribusikan kepada kebenaran ilmiah berdasarkan
atas sejumlah teori. Sementara ngelmu diatribusikan
kepada pengalaman personal atau komunal yang
dirumuskan sebagai kebenaran. Jika ilmu disebut
juga dengan knowledge, maka ngelmu disebut dengan
gnosis.
Menurut Endraswara (2006: 33) di antara ciri ngelmu;
Pertama, ngelmu bukan berada pada area kerja otak
(rasionalitas) melainkan pada rasa dan pengalaman
63
batiniah; Kedua, misinya adalah nggayuh
kasampurnaning dumadi (mencapai kesempurnaan);
ketiga, wujudnya berupa ungkapan yang terdiri dari
kiasan dan lambang.
Uraian di atas menjelaskan bahwa diskursus tentang
kejawen didasarkan pada pengalaman personal dan
komunal dengan olah rasa dan batin melalui proses
kecerdasan lakuning urip (kecerdasan dalam menjalani
realitas kehidupan). Maka kejawen dikaji melalui
perspektif emik; yang mendalami perilaku
berdasarkan nilai-nilai dasar yang dipegang.
Berdasarkan atas distingsi antara ilmu dan
ngelmu, maka mistik kejawen dapat dikatakan sebagai
manifestasi agama Jawa. Titik sentralnya sama, yaitu
Tuhan. Bedanya, kejawen memiliki dasar berupa
lakuning urip (perjalanan kehidupan), bukan pada
kitab suci sehingga mereka merumuskan polanya
sendiri berdasarkan atas realitas dan pengalaman
hidup yang dijalaninya. Salah satu hal esensial
dalam Agama Jawa adalah pemujaan ruh nenek
moyang yang dianggap memiliki kekuatan
supernatural yang sewaktu-waktu dapat
memberikan pengaruh positif dan pengaruh negatif.

Mitologi Kejawen dan Konstruksi Hukum Islam


Pada pembahasan sebelumnya, telah diuraikan
tentang mitologi sebagai dasar agama masyarakat Kejawen.
Sebagai syarat untuk dijadikan sebagai obyek kajian, maka
mitologi harus dikaji sebagai formal science, bukan hanya
historical science. Pada level formal science, mitologi dapat dikaji
64
melalui seperangkat teori yang berhubungan dengan
tindakan sosial di masyarakat, misalnya sosiologi,
antropologi, psikologi. Dengan cara ini, maka kajian
difokuskan pada bagaimana masyarakat mengkonstruksi
kebudayaan, termasuk integrasi dan internalisasi budaya di
dalam instrumen agama.
Salah satu piranti untuk mengkaji mitologi dalam
kerangkan formal science adalah melalui teori semiology
Roland Barthes (1972: 64). Fokus kajian bukan pada makna
yang tersembunyi dari suatu benda atau fenomena yang
muncul, melainkan pada cara masyarakat memaknai sebuah
fenomena (signifikasi). Jika disimulasikan, obyek semiologi
bukan pada batu, melainkan pada cara masyarakat
memaknai kekuatan magis yang dikandung oleh batu
tersebut. Dari sini akan muncul berbagai Tindakan penyerta
sebagai bagian yang terpisahkan dalam proses signifikasi
tersebut.
Pada teori semiologi Barthes, ada tiga unsur yang
harus dipenuhi; sign (tanda), signifier (penanda), dan signified
(petanda). Sign adalah tanda yang dikemukakan oleh
masyarakat sebagai basis pemaknaan terhadap suatu benda
atau fenomena. Adapun signifier adalah penanda, yaitu
masyarakat yang memberikan signifikasi terhadap suatu
obyek. Obyek inilah yang disebut dengan sifgnified.
Formulasi ketiga unsur ini akan memposisikan mitologi,
tidak hanya sebagai historical science yang hanya dipercayai,
melainkan sebagai formal science yang dapat diuji dengan
perangkat kajian ilmiah.

65
Pada proses pengujian mitologi sebagai formal science,
ada beberapa tahapan yang perlu diperhatikan.
a. Tautologi, yaitu proses pendefinisian yang
dilakukan oleh masyarakat dan telah sampai
pada kesepakatan sosial. Kesepakatan di sini
tidak selalu dimaknai sebagai kesepakatan
seluruh masyarakat, namun dimaknai sebagai
kesepakatan yang dilakukan oleh sekelompok
anggota masyarakat. Artinya, selalu ada
kelompok-kelompok yang tidak melakukan
pendefinisian karena hal itu berkaitan dengan
pengalaman dan basis keilmuan yang dimiliki.
Tidak semua orang memiliki pengalaman
batiniah yang sama. Bagi sebagian orang,
mereka memiliki pengalaman batiniah terhadap
adanya mitologi. Namun bagi Sebagian yang
lain, hal itu tidak ada kaitannya dengan
mitologi, melainkan terjadi secara kebetulan.
Selain itu, faktor basis keilmuan juga
memberikan makna penting. Seseorang dengan
tingkat keilmuan yang tinggi, berpeluang
mengalami keraguan atas mitologi itu.
Mengapa? Salah satu naluri manusia adalah
menolak sebuah fenomena sebagai mitologi
karena bertentangan dengan formal science atau
teori-teori yang umum dipakai dalam kajian
ilmu sosial. Hal ini berbeda ketika sebuah
fenomena, dilihat dan diamati oleh sekelompok
orang yang memiliki kompetensi keilmuan yang
berhubungan dengan mitologi, atau mereka
66
yang bahkan sama sekali tidak mendasarkan
setiap fenomena pada formal science.
b. Identifikasi. Jika tautologi memfokuskan
kajiannya pada upaya pendefinisian, maka
identifikasi telah sampai pada upaya mereduksi
makna sebuah fenomena. pada konteks ini,
proses reduksi makna dapat terjadi, misalnya
dengan memberikan makna sesuai dengan
pengalaman batiniahnya bahwa kekuatan magis
pada suatu benda, adalah sebuah realita.
Meskipun tidak selalu dapat dibuktikan secara
ilmiah, namun reduksi itu dapat terjadi karena
kesadaran bahwa mitologi memiliki dimensi
metafisis, bukan fisis. Maka dimensi metafisis
tidak selalu membutuhkan penjelasan naratif
dengan sejumlah teori, melainkan lebih pada
metateori, yaitu keyakinan terhadap terjadinya
suatu fenomena. Proses reduksi makna inilah
mendapatkan persemaian ketika sebuah
fenomena, terjadi dengan kesamaan pola dan
tempo sehingga melahirkan kesimpulan bahwa
mitologi bersifat faktual.
c. Privatisasi Sejarah. Setelah mitologi dikaji
berdasarkan konsep tautologi dan identifikasi,
selanjutnya adalah privatisasi sejarah di mana
masyarakat -sebagai pemilik kebudayaan
memformulasi makna ideologis terhadap
sebuah fenomena. Di sinilah usnur-unsur
ideologis dilekatkan. Implikasinya, masyarakat

67
mulai mengaitkan sebuah obyek dengan unsur-
unsur keyakinan.

Fenomena

Formal Science Historical Science

Tautologi

Identifikasi

Privatisasi Sejarah

Ketiga tahapan tersebut melahirkan sikap masyarakat


sebagai berikut:
Pertama, mistifikasi obyek. Mistifikasi adalah
pemaknaan terhadap sebuah fenomena sebagai mitos.
Artinya, fenomena tidak ditempatkan sebagai hal
yang rasional, tetapi pada hal yang bersifat irrasional
yang tidak cukup hanya dikaji dengan seperangkat
teori, tetapi dengan seperangkat metateori. Dalam
diskursus keislaman, metateori adalah keyakinan alam
68
bawah sadar bahwa ada hal metafisis yang melekat
pada sebuah benda (obyek). Ketika seorang petani
mengalami gagal panen karena saat penanaman padi
tidak didahului dengan selametan, ia akan
berkesimpulan bahwa ada kekuatan mistik, yaitu roh
nenek moyang yang marah akibat tanam padi tanpa
selametan. Maka kegagalan panen, tidak dikaitkan
dengan kesalahan teknis saat menanam padi,
melainkan ada pengaruh roh nenek moyang yang
marah dengan petani tersebut. Dengan ungkapan lain,
kegagalan panen adalah bentuk kemarahan nenek
moyang.
Kedua, internalisasi obyek. Internalisasi
adalah upaya untuk memasukkan unsur-unsur lain ke
dalam sebuah fenomena. Caranya, menghadirkan
perspektif lain sebagai bagian dari pemaknaan
terhadap suatu obyek. Pada konteks gagal panen,
petani berkesimpulan bahwa hal itu disebabkan oleh
kemarahan nenek moyang. Maka, sebelum tanam
padi, seharusnya ada selametan sebagai bentuk
permohonan kepada Tuhan agar tanam padi berjalan
sukses hingga proses panen padi. Selametan di sini
dimaknai sebagai bagian dari ikhtiyar demi
kesuksesan tanam padi. Jadi, gagal tanam tidak
dengan serta merta mendorong mereka untuk
melakukan evaluasi terhadap proses tanam padi
tersebut, melainkan lebih pada pemenuhan unsur
spiritual. Maka selametan diadakan tanpa pertimbangan
yang pasti, melainkan didasarkan pada motivasi agar
ruh nenek moyang tidak marah.
69
Ketiga, domestikasi obyek. Domestikasi
adalah respon personal dan komunal dalam
mengintegrasikan unsur-unsur budaya di masyarakat
dengan melahirkan pola baru. Pola ini bisa dalam
bentuk formula baru atau penambahan unsur pada
pola yang sudah ada. Pada konteks selametan,
masyarakat petani berkepentingan untuk
memasukkan unsur-unsur budaya ke dalam tatanan
ritual Islam. Misalnya, pada selametan, perlu ada
prosesi baca al-Qur’an dan doa. Sebagai bentuk
membangun solidaritas, maka petani menyiapkan
sejumlah makanan dengan ragam menu, seperti nasi,
ayam ingkung, kuluban, dan sebagainya. Apa yang
membedakan antara selametan tanam padi dengan
selametan lainnya? Selametan tanam padi, dikategorikan
sebagai ikhtiyar batiniah sebagai bagian dari upaya
membangun relasi harmoni dengan ruh nenek
moyang. Hal ini berbeda dengan selametan pada
umumnya di mana selametan dapat dilakukan oleh
siapapun dengan maksud dan tujuan yang tidak sama.

70
BAB III
WALISONGO DAN NAHDLATUL ULAMA (NU)
DALAM DOMESTIKASI HUKUM ISLAM DI JAWA

Nama dan kiprah dakwah Walisongo, dikenal luas


dalam diskursus dakwah kultural. Manuver dakwahnya
dinilai banyak pihak, sangat maju di masanya. Bagaimana
tidak. Di tengah kuatnya pengaruh animisme, dinamisme,
Hindu, dan Budha yang lebih dulu ada di Indonesia,
Walisongo mampu meresepsi ajaran Islam yang beriringan
dengan budaya lokal tanpa harus menegasikan prinsip dasar
di dalam Islam, yaitu tauhid.
Awal kemunculan Walisongo berasal dari inisiasi
Sultan Muhammad I Turki. Ia mengirimkan surat kepada
Sultan di Afrika dan Timur Tengah. Isinya, permohonan
terkait pengiriman ulama untuk kepentingan dakwah dan
syiar Islam di Jawa. Tokoh yang pertama kali dikirim adalah
Maulana Malik Ibrahim atau Maulana Maghribi (w. 1419 M)
yang kemudian dikenal dengan Sunan Gresik. Ia dikenal
sebagai ahli strategi politik dan pengairan. Kompetensi ini
diharapkan mampu menciptakan perubahan positif di tanah
Jawa.
Jika melihat capaian prestatifnya, maka kajian
tentang Domestikasi Hukum Islam di Jawa – dengan tanpa
bermaksud menegasikan peran organisasi atau kelompok
lainnya -tidak bisa dilepaskan dari peran Walisongo dan
Nahdlatul Ulama. Yang pertama berhubungan dengan
perannya sebagai peletak fondasi dakwah kultural yang
melegenda. Adapun yang kedua, kami nilai sebagai salah
satu organisasi yang concern terhadap pemberdayaan
71
masyarakat melalui dakwah akulturatif antara agama dan
budaya. Pembahasan tentang Walisongo dan Nahdlatul
Ulama menguatkan bukti empirik bahwa domestikasi
Hukum Islam memiliki latarbelakang historis yang cukup
panjang.
Walisongo memberikan warna dominan dalam hal
dakwah akulturatif. Kecerdasan dan kecermatan Walisongo
dalam berdakwah di Indonesia, khususnya di Tanah Jawa,
tak bisa dipungkiri. Sejumlah prestasi di bidang islamisasi
dan formalisasi Islam yang dilakukan oleh Walisongo, sejak
Sunan Ampel hingga Sunan Kalijaga menjadi sejarah yang
penting untuk dicatat dalam Sejarah Islam di Indonesia,
khususnya di Tanah Jawa.
Pada rentang waktu berikutnya, capaian prestatif
Walisongo kembali dikembangkan oleh Nahdlatul Ulama -
selanjutnya disebutkan dengan NU. Dengan konsep dasar;
tawasuth, tawazun, i’tidal, dan tasamuh, NU dapat
dikategorikan sebagai pioner dakwah akulturatif
sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Walisongo.
Pada bagian ini, penulis akan mengkaji kontribusi
Walisongo dan Nahdlatul ulama dalam mengembangkan
dakwah akulturatif sebagai bukti empiric adanya
domestikasi Hukum Islam melalui formalisasi budaya.

Walisongo dan Transformasi Dakwah Kultural


Terma Walisongo diambil dari dua kata; “Wali”
yang berarti kekasih Allah Swt dan “Songo” yang berarti
Sembilan. Terma ini biasa diatribusikan kepada Sembilan
tokoh agama yang menyebarkan Islam di Jawa. Pendapat
lainnya, terma Walisongo diambil dari kata “Wali” dan
72
“Tsana” yang berarti kemuliaan. Jadi terma Walisongo
dimaknai sebagai kumpulan para kekasih Allah yang
memiliki visi mulia, yaitu menyebarkan Islam.
Walisongo sering diatribusikan kepada jumlah
Sembilan dalam periode yang berbeda. Kesembilan wali
tersebut dikenal sebagai tokoh berpengaruh yang memiliki
kedalaman ilmu dan kegigihan dalam mendakwahkan
agama Islam di Jawa. Pada rentang antara tahun 1404 M
hingga 1900 M, nama kesembilan wali tersebut, tidaklah
sama. Pada setiap masa, ada Sembilan nama wali yang
berbeda. Dari kesembilan nama Wali tersebut, ada sembilan
nama yang paling popular di masyarakat, yaitu: Maulana
Malik Ibrahim (Sunan Gresik), Raden Rahmat (Sunan
Ampel), Raden Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang), Raden
Qasim (Sunan Drajat), Ja’far Shadiq (Sunan Kudus), Raden
Paku (Sunan Giri), Raden Said (Sunan Kalijaga), Raden
Umar Said (Sunan Muria), dan Syarif Hidayatullah (Sunan
Gunung Jati)
Sebuah naskah berisi ajaran Islam telah dibawa
pelaut Eropa dari Jawa sekira abad ke-16. Naskah tersebut
tersimpan selama lebih kurang tiga abad di perpustakaan
Marquis Cristino, Ferrara, Italia.
Demikianlah pesan dakwah Wali Songo, agar umat
waspada akan bahaya bid’ah. Pesan ini pula yang telah
disampaikan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,
para sahabatnya, dan juga ulama-ulama penerus mereka.
Salah satu keunikan dari dakwah Walisongo ini
adalah pola dakwahnya bersifat persuasif, yaitu dengan cara
membangun relasi dialektis di antara budaya-budaya yang
sudah mengakar di masyarakat. Pola ini memberikan kesan
73
positif di kalangan masyarakat yang mewarisi budaya
tersebut secara askriptif dari nenek moyangnya. Bagi orang
masyarakat, utamanya masyarakat Jawa, komunikasi dakwah
menjadi unsur penting. Mengapa? Pada konteks dakwah,
kesan pertama sangat penting. Ini berkaitan dengan metode
komunikasi verbal antara dua pihak; subyek dan obyek
dakwah. Jadi, bukan pada materi atau substansi dari dakwah
itu sendiri.

Dakwah Walisongo: dari Akulturasi menuju


Domestikasi
Walisongo menyadari sepenuhnya bahwa
perjuangan penyebaran agama Islam di Indonesia,
khususnya di Jawa memerlukan strategi khusus. Pasalnya,
Jawa telah mengalami perjalanan panjang, mulai masa
animisme dan dinamisme, pra Hindu dan Budha, Hindu
dan Budha, hingga berdirinya kerajaan Islam. Rentang
waktu yang cukup panjang itu, akan memberikan pengaruh
sedikitnya kepada tiga aspek: Pertama, teologi dan budaya;
Kedua, sosial dan kemasyarakatan;
Pertama, teologi. Salah satu hal yang paling
mengakar di masyarakat adalah terbangunnya konsep
berteologi, di mana masyarakat telah berdialektika dengan
berbagai macam corak berteologi. Bagi masyarakat yang
telah menganut animisme, dinamisme, Hindu, dan Budha,
kekuatan roh nenek moyang memberikan makna penting
dalam kehidupannya. Kekuatan itu bisa masuk dan menyatu
dengan berbagai benda, seperti batu, pohon, rumah,
binatang, dan sebagainya.

74
Kekuatan ini menjadi basis motivasi masyarakat
untuk senantiasa melakukan keluhuran di dalam hidupnya,
baik dalam kaitannya dengan Tuhan -yang
dipersonifikasikan ke dalam batu berkekuatan mistik,
misalnya dengan cara memberikan sesajen, maupun kaitannya
dengan sesame makhluk, misalnya dengan berbuat baik,
menjaga tutur lisan, dan sebagainya.
Fakta ini mendorong Walisongo untuk mencari
strategi; bagaimana ajaran Islam yang dibawanya, tidak serta
merta berkonfrontasi dengan sisi teologis yang sudah
mengakar di kalangan mereka. Caranya, Walisongo
melakukan berbagai modifikasi kemasan dakwah dengan
mengintegrasikan unsur agama dan unsur budaya. Dengan
cara ini, motivasi awal yang terbangun di kalangan
masyarakat, bukan mengikuti “agama baru” dan
meninggalkan “agama lama”, melainkan sebagai bentuk
pelestarian budaya. Dakwah Sunan Giri adalah salah satu
contoh, bagaimana pola di atas dipraktikkan oleh
Walisongo. Sunan Giri menciptakan wayang, gending, dan
muik instrumental Jawa yang di dalamnya disisipi pesan-
pesan teologis tentang keesaan Allah Swt. Selain itu,
permainan anak-anak seperti Cublak-cublak Suweng,
Jelungan, Lir-ilir, dan Jamuran.
Selain Sunan Giri, Sunan Kudus dikenal sebagai
salah satu Wali yang mengoptimalkan budaya sebagai media
dakwah. Sunan Kudus menyadari bahwa warga Kudus yang
pada saat itu mayoritas beragama Hindu, melarang
penyembelihan Sapi karena dianggap sebagai kendaraan
para dewa.

75
Selain itu, melakukan penyesuaian bangunan masjid
Menara Kudus dengan arsitektur Hindu dan Budha. Ini
dapat menstimulasi dan memotivasi masyarakat yang
beragama Hindu untuk mau datang meskipun hanya untuk
membasuh tangan, kaki, atau mandi. Pada
perkembangannya, setelah mereka tertarik untuk datang ke
masjid ini, secara gradual mereka diberikan materi tentang
kerukunan dan perdamaian. Bukankah kedua materi ini
menjadi bagian dari Hukum Islam yang telah diektraksi dan
diresepsi di masyarakat.
Salah satu upaya untuk mensyiarkan bulan
Ramadlan, Sunan Kudus membuat tradisi Dandangan
setiap satu tahun sekali menjelang bulan Ramadhan. Inti
dari tradisi ini adalah kegembiraan dengan menghadirkan
sejumlah hiburan. Namun lebih dari itu, Sunan Kudus
berkeinginan untuk melibatkan masyarakat dalam
menyambut bulan Ramadlan.
Uraian di atas menunjukkan bahwa Walisongo
memposisikan diri sebagai “pendatang” yang harus
melakukan penyesuaian-penyesuaian, khususnya di bidang
teologi dan budaya. Tujuannya adalah menciptakan
dialektika agama dan budaya yang dapat diterima oleh
masyarakat. Salah satu karakter masyarakat Jawa adalah
menghormati warisan tradisi nenek moyang. Maka, pilihan
strategi yang menguatkan nilai-nilai dasar budaya
masyarakat, penting untuk dilakukan.
Kedua, sosial-kemasyarakatan. Implikasi sosial bagi
masyarakat beragama adalah keinginan untuk bergabung
dalam suatu komunitas yang memiliki kesamaan visi
teologis. Ini salah satu tantangan berat bagi Walisongo.
76
Bergabungnya para pemeluk animisme, dinamisme, Hindu,
dan Budha menyatukan kekuatan di masyarakat. Pada
kondisi ini, potensi konflik dan harmoni sangat terbuka
lebar.
Harmoni dapat terjadi ketika kepentingan suatu
kelompok dalam mengekspresikan keyakinan teologisnya,
tidak diganggu. Relasi harmoni ini memerlukan kesadaran
kuat bahwa ranah teologis adalah ranah yang sensitif yang
tidak selalu dapat dijelaskan secara verbal. Dengan kata lain,
setiap kelompok akan berjuang di garda terdepan untuk
mengamankan kepentingan teologisnya. Ketika hal itu tidak
bisa dilakukan, maka konflik menjadi tidak terelakkan.
Realitas ini nampaknya disadari oleh Walisongo.
Ketika ranah teologis masyarakat beragama dan
berkepercayaan menjadi ranah sensitif sehingga membentuk
kekuatan yang tidak mudah untuk menerima kehadiran
ajaran Islam yang dibawa oleh Walisongo. Maka sejumlah
cara dipilih oleh Walisongo, yaitu dengan memilih aspek
vital dalam masyarakat. Salah satu contohnya adalah Sunan
Gresik. Ia merupakan wali pertama di Jawa yang berdakwah
dengan berdagang, pengobatan gratis, dan bercocok-tanam.
Ketiga obyek bukanlah tujuan yang utaman, melainkan
sebagai bagian penting dalam proses transformasi Syariat
Islam.
Model dakwah Sunan Gresik juga memiliki
kemiripan dengan model dakwah Sunan Muria. Sunan
Muria mengajarkan tentang cara berdagang, melaut, dan
bercocok tanam. Di sela-sela kegiatan ini, Sunan Muria
menyampaikan ajaran Islam secara persuasif. Tradisi sesajen
berisi aneka menu makanan yang dibuang ke laut, diganti
77
dengan tradisi kenduri yang masih dilestarikan hingga
sekarang.
Selain Sunan Gresik, Sunan Ampel juga memilih
cara cerdas dalam dakwahnya. Ia melakukan pendekatan
kebahasaan dengan cara mengadopsi terminologi-
terminologi Jawa Kuno untuk menjelaskan Syariat Islam. Di
antara terminologi yang dipakai adalah "langgar", "santri",
dan "sembahyang". Ia juga memperkenalkan terminologi
“Moh Limo”, bukan “Molimo”. Jika “Molimo” selama ini
berkonotasi negatif (madat, minum, mabuk, main, dan
medok), maka kata “Moh” berarti: tidak. Artinya, Sunan
Gresik mengajarkan kepada masyarakat agar meninggalkan
lima kemaksiatan.
Salah satu upaya untuk tetap menjaga keteraturan
relasi di dalam masyarakat adalah dengan penguatan
kegiatan sosial. Cara ini dipilih oleh Sunan Drajat dalam
upaya mentransformasikan Syariat Islam. Ajaran Sunan
Drajat dikenal dengan istilah Pepali Pitu atau Tujuh Ajaran
Dasar. Ia menggunakan media seperti seni suluk, wayang,
dan tembang pangkur selama berdakwah. Ketiganya adalah
bagian dari hobi masyarakat pada saat itu. Secara persuasif,
masyarakat dapat menerima Pepali Pitu yang diajarkan oleh
Sunan Drajat.
Sebagaimana Sunan Drajat, Sunan Bonang juga tak
kalah kreatif dalam memilih media berdakwah. Melalui
penyusunan Tembang Tombo Ati yang diadopsi dari Syair
Abu Nawas, Sunan Bonang menyampaikan ajaran Islam
kepada masyarakat. Cara yang mirip juga dipilih oleh Sunan
Kalijaga yang menggunakan wayang kulit dan gog sekaten

78
sebagai media dakwah dan Sunan Gunung Jati melalui
Panca Laku.
Strategi dakwah Walisongo didasari pada kesadaran
kolektif pada saat itu bahwa masyarakat Jawa berada di
bawah pengaruh kuat animisme, dinamisme, Hindu dan
Budha. Fakta ini menuntut Walisongo untuk mencari
strategi efektif dalam mendakwahkan ajaran Islam. Di
antara media yang dilakukan adalah wayang, desain masjid,
dan Gending
Uraian di atas menunjukkan bahwa strategi
perjuangan Walisongo terbilang cerdas. Dengan tanpa
melakukan Gerakan-gerakan konfrontatif dan sporadis,
Islam di Jawa dapat berkembang dengan pesat. Pesan
bahwa dakwah perlu dilakukan dengan bil hikmah -
sebagaimana yang dianjurkan oleh Allah dan termaktub di
dalam al-Qur’an- sukses direalisasikan. Jika dlihat dari sisi
manuver dan capaiannya, dakwah Walisongo berhasil
melahirkan diskursus penting dalam kajian keislaman, yaitu
Formalisasi Islam Jawa sebagai hasil dialektika panjang
antara agama dan budaya sehingga menghasilkan
Domestikasi Islam.
Di antara Strategi dakwah Walisongo adalah sebagai
berikut:
1. Zonasi Obyek Dakwah.
Demi efektifitas capaian dakwah, Walisongo
melakukan program zonasi dengan cara membagi zona
obyek dakwah. Zonasi ini dipilih dengan cara membagi
beberapa wilayah strategis yang memiliki basis massa
dan kekuatan kultural. Menurut Suryanegara (1995:
104), zonasi dakwah Walisongo menggunakan formasi
79
5:3:1. Formasi ini didasarkan pada luasan wilayah dan
kompleksitas dakwah di lapangan.
Hatmansyah (2015: 12) mencatat, Kerajaan
Kediri di kota Kediri dan Kerajaan Majapahit memiliki
pengaruh kuat di masyarakat sehingga perlu ada Wali
yang mampu bergerak cepat dan menempati titik-titik
strategis. Awalnya, Maulana Malik Ibrahim (Sunan
Gresik) menjadi perintis di Jawa Timur. Wilayah
dakwahnya adalah Gresik. Setelah meninggal,
perjuangannya dilanjutkan oleh Sunan Giri yang
menempati posisi di kota yang sama: Gresik.
Sementara Sunan Ampel mengambil posisi di Surabaya
dan Sunan Bonang di daerah Tuban. Adapun wilayah
Sedayu menjadi fokus dakwah Sunan Drajat.
Adapun dakwah Walisongo di wilayah Jawa
Tengah, dalam kendali ketiga wali, yaitu Sunan Kudus,
Sunan Muria, dan Sunan Kalijaga. Sistuasi politik
dakwah di Jawa Tengah, berbeda dengan Jawa Timur.
Jika di Jawa Timur masih ada dua kerajaan besar yang
memiliki pengaruh kuat, di Jawa Tengah, para wali
memfokuskan dirinya pada dakwah kultural di
masyarakat yang masih memegangteguh pengaruh
animisme, dinamisme, Hindu, dab Budha.
Di Jawa Barat, Sunan Gunung Jati memilih domain
politik kekuasaan dalam strategi dakwahnya pasca
diangkat oleh Pangeran Cakrabuana sebagai pemimpin
di wilayah kekuasaan Pakuan Pajajaran. Fauziyah
(2015: 88-89) memberikan catatan bahwa Sunan
Gunung Jati termasuk wali yang multitalenta. Ia
memiliki sejumlah kompetensi yang dengan
80
kompetensinya itu, ia mampu meraih hati masyarakat
di Jawa Barat, khususnya Cirebon. Selain ahli politik, ia
juga ahli pengobatan dan siasat perang. Talenta ini
menjadi modal penting dalam perjuangan dakwahnya.

2. Pendekatan Persuasif.
Walisongo menyadari bahwa dakwah dengan
cara konfrontatif hanya kontraproduktif. Keyakinan
masyarakat terhadap agama dan kepercayaan
sebelumnya, telah mendarahdaging sehingga
diperlukan cara-cara persuasif. Jiwa sosial yang dimiliki
oleh Sunan Muria dan Sunan Drajat dan tembang Lir
Ilir dan Gundul Pacul yang diwariskan oleh Sunan
Kalijaga menjadi bukti bahwa Walisongo dinilai cerdik
dalam meraih hati masyarakat. Strategi yang dipakai,
bukanlah dengan menarasikan ayat dan hadis dengan
penerjemahan yang kasat mata, tetapi dengan
keramahan sikap dan kreatifitas media. Cara ini
menunjukka kejeniusan Walisongo dalam
mengukuhkan Islam sebagai agama yang membawa
rahmat dan kasih bagi semesta.
Walisongo tidak serta merta menggunakan
pendekatan syariat (fiqh) yang mentransformasikan
ajaran Islam secara taken for granted dan justifikatif,
melainkan menggunakan pendekatan sufistik (tasawuf)
yang secara persuasif mempresentasikan nilai
keluhuran di dalam Islam yang merupakan nilai-nilai
universal yang bisa diterima oleh siapapun. Secara
teknis, Walisongo mencermati karakter dasar
masyarakat. Karena pertimbangan inilah, Walisongo
81
harus mampu beradaptasi dengan mereka, termasuk
dalam hal seni berkomunikasi, baik secara lisan
maupun non-lisan (seperti media seni).

3. Internalisasi Ideologi
Pilihan pendekatan persuasif melahirkan
berbagai kreatifitas media dakwah. Media didesain
dengan dua komponen; pertama, artifisial; kedua,
substansial. Dari sisi artifisial, para Walisongo
mencermati terlebih dahulu; tren apa yang sedang
berkembang di masyarakat. Pilihan para Walisongo,
seperti Sunan Gunung Jati memilih jalur politik; Sunan
Drajat memilih pendekatan sosial-ekonomi; Sunan
Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga memilih alat musik
Jawa; Suann Ampel memilih pesantren, didasarkan
pada realitas bahwa dakwah ini disesuaikan dengan tren
masyarakat. Dengan cara ini, capaian dakwah bisa
tercapai secara efektif.
Secara substansial, media ini diintegrasikan dan
internalisasikan dengan hal-hal substansial di dalam
Syariat Islam. Politik diarahkan pada upaya advokasi
masyarakat lemah dan tegaknya keadilan; sosial-
ekonomi diarahkan pada terciptanya kesejahteraan dan
keadilan ekonomi di masyarakat; alat musik Jawa
menjadi media transformasi pesan-pesan Islam melalui
iringan tembang dan syair; pesantren dijadikan sebagai
media pembelajaran bagi kalangan yang membutuhkan.
Pada konteks ini, Walisongo menggencarkan
pribumisasi ajaran Islam yang berselaras dengan nilai-
nilai kultural di masyarakat.
82
4. Diplomasi Kultural
Salah satu kunci keberhasilan dakwah
Walisongo adalah kemampuan berdiplomasi dengan
para tokoh kunci yang menjadi figur di masyarakat. Ini
menjadi faktor penting karena salah satu karakter dasar
masyarakat Jawa adalah manut. Bagi masyarakat, tokoh
masyarakat adalah panutan dalam segala hal, termasuk
dalam hal etika dan beragama. Wajar jika sikap ini
melahirkan fanatsime di kalangan masyarakat.
Cara ini -bagi Walisongo- menjadi modal
penting karena keberhasilan dakwah pada kalangan
grass-root, bukan karena kesadaran dan kemampuan
penerimaan akan ajaran Islam yang notabene baru,
melainkan pada sikap manut kepada orang yang
ditokohkan.

Strategi dakwah Walisongo -sebagaimana telah


diuraikan di atas- berselaras dengan firman Allah Swt:

‫ن‬ ‫ا ا‬ ‫ا‬
‫اد ُع إل ٰى اسبيل ارب اك بالِحك امة اواِلوعظةِ ال اح اس انة ۖ او اجادل ُهم بالتي‬
‫ا ا‬ ‫ه اي اأح اس ُن ۚ إ نَ ا نب اك ُه او اأع ال ُم بِ امن ا‬
‫ض نل اعن اسبيله ۖ او ُه او ِأعل ُم‬ ‫ر‬
ُ
ِ ‫باِله اتد ا‬
‫ين‬
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa
yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. An-Nahl: 125)

83
Imam Qurtubi memaknai ayat di atas sebagai
petunjuk dakwah. Kata “hikmah” yang secara etimologi
bermakna kebijaksanaan, mengandung pengertian bahwa
dakwah Islam, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan
nilai keadilan. Maka dakwah Islam tak boleh dilakukan
dengan jalur kekerasan atau berkonfrontasi secara radikal
dengan kondisi yang ada dengan segala varian
kebudayaannya. Salah satu bentuknya adalah kemampuan
beradaptasi dan berdialektika dengan tatanan budaya yang
sudah ada atau mapan.
Sistimatika kata “hikmah”, “mauidlah hasanah”,
dan “mujadalah” pada ayat di atas, menjadi rujukan
operasional dalam berdakwah; kata “hikmah” diatribusikan
kepada kebijaksanaan sikap dan kemampuan beradaptasi
dengan masyarakat; kata “mauidloh hasanah”
menitikberatkan pada pilihan materi yang tepat sesuai
dengan situasi dan kondisi masyarakat sebagai obyek
dakwah; kata “mujadalah” diatribusikan pada kemampuan
berdialektika dengan realitas di lapangan, termasuk
rasionalisasi ajaran Islam sebagai ajaran yang universal dan
berselaras dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
Hal ini bersesuaian dengan petunjuk Rasulullah
Saw:
‫ا‬ ‫ا ا‬ ‫ا‬ ‫إ نَ ا‬
‫هللا ارفيق ُيح شب الرف اق اِو ُيعطي اعلى الرفق ما َل ُيعِطي اعلى‬
‫ا‬ ‫ا ا‬
)‫ (رواه مسلم‬.‫العنف اوما َل ُيعطي اعلى اما س او ُاه‬
ُ
“Sesungguhnya Allah Swt Dzat yang Maha lembut, mencintai
kelembutan. Dia (akan) memberikan kepada yang lembut (dengan
sesuatu) yang tidak diberikan kepada yang kasar dan selainnya”

84
‫ا‬
ِ)‫امن ُِيح ار ُِم الرف ُق ُيح ار ُم الخَّ ُر (رواه مسلم‬
“Barang siapa yang tidak memiliki kelembutan, maka tidak ada
pula kebaikan padanya.”

‫ا‬ ُ ‫ا‬ ُ ‫ا‬


‫ فإ نن اما ُبعث ُتم ُم اِيسري ان‬،‫ او ابش ُروا اِوَل َ انف ُروا‬،‫اي ُس شروا اوَل ت اعس ُروا‬
ُ ُ ‫ا‬
)‫ن (رواه مسلم‬ ِ ‫اولم ََ اعثوا ام اِعسري ا‬
“Mmudahkanlah, dan jangan menyulitkan. Sampaikanlah kabar
gembira, dan janganlah membuat mereka lari. Sungguh kalian
diutus untuk memudahkan, bukan untuk menyulitkan.”

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan


bahwa strategi dakwah Walisongo menunjukkan terjadinya
domestikasi Hukum Islam karena beberapa alasan:
1. Walisongo telah melakukan proses demistifikasi
ajaran agama dan kepercayaan masyarakat Jawa
yang telah menganut animisme, dinamisme,
Hindu, dan Budha yang teraktualisasikan di
dalam kehidupan sehar-hari. Proses
demistifikasi dapat diartikan sebagai otokritik
Walisongo terhadap tatanan yang sudah ada. Ini
faktor penting karena tanpa adanya otokritik,
berarti Walisongo patut diduga ikut melakukan
pembenaran budaya yang sudah ada.
Demistifikasi yang dilakukan oleh Walisongo
menjadi fondasi dasar dalam melakukan
internalisasi ajaran dan budaya dengan unsur-
unsur di dalam Islam.

85
2. Walisongo telah menempuh proses internalisasi
ajaran dan budaya masyarakat Jawa. Hal ini
ditandai dengan upaya mengintegrasikan unsur-
unsur Islam dengan ajaran dan budaya Jawa.
Hal ini menjadi bagian dari upaya
mempromosikan ajaran Islam yang ramah
dengan nilai-nilai universal yang ada di
masyarakat.
3. Walisongo telah melakukan proses domestikasi
Hukum Islam ketika proses demistifikasi dan
internalisasi berhasil diterima oleh masyarakat
luas serta dibakukan sebagai tatanan Hukum
Islam yang disepakati dan diwariskan secara
turun temurun. Fakta ini menunjukkan bahwa
proses domestikasi Hukum Islam menjadi salah
satu cara strategis dalam mendakwahkan ajaran
Islam yang menebarkan rahmat bagi semesta.
Strategi ini perlu diadopsi di tengah maraknya
cara-cara dakwah konfrontatif yang menjadi
tren bagi pendakwah akhir-akhir ini.

Nahdlatul Ulama dan Misi Dakwah Kultural


Perjuangan Kebangkitan Nasional, tidak hanya
merambah level nasional, tetapi juga level internasional.
Ketika tersiar kabar bahwa raja Arab Saudi, Ibnu Saud
hendak menjadikan Wahabi sebagai asas tunggal, kalangan
pesantren melakukan kecaman. Pasalnya, Ibnu Saud hendak
menjadikan Wahabi sebagai asas tunggal yang memiliki
agenda -di antaranya- menghancurkan situs-situs sacral yang
selama ini diziarahi oleh para jamaah haji, termasuk
86
Indonesia. Sikap tegas kalangan pesantren ini menimbulkan
konstelasi politik nasional memanas. Jika Muhammadiyah
di bawah kepemimpinan Ahmad Dahlan dan PSII
pimpinan H.O.S Tjokroaminoto, ikut mendukung rencana
Ibnu Saud, kalangan pesantren justru bersikap sebaliknya;
mengecam keras agenda Ibnu Saud tersebut. Akibatnya,
pesantren dikeluarkan dari Kongres Al-Islam dan tidak lagi
dilibatkan dalam Kongres Islam Internasional (Mu’tamar
Alam Islamy). Kondisi ini membangkitkan militansi
kalangan pesantren dengan mendirikan Komite Hijaz yang
dipimpin oleh KH. Wahab Hasbullah.
Ketegasan sikap Komite Hijaz, terbukti efektif.
Ibnu Saud membatalkan rencananya tersebut. Para kiai dan
kalangan pesantren menyadari bahwa tantangan ke depan
akan semakin kompleks, sehingga mereka bermusyawarah
untuk membentuk organisasi yang tangguh dan
diperhitungkan. Pada tanggal 16 Rajab 1344 H bertepatan
dengan 31 Januari 1926, berdirilah organisasi Nahdlatul
Ulama (NU) dan KH. Hasyim Asy’ari didaulat sebagai Rais
Am. Tak lama, KH. Hasyim Asy’ari membuat Qanun Asasi
(prinsip dasar) yang diaktualisasikan dalam bentuk Khittah
NU.
Uraian ini menjelaskan bahwa Nahdlatul Ulama
memiliki peran strategis, utamanya di level internasional.
Hal ini menunjukkan moderasi NU ketika dihadapkan pada
situasi yang cukup kompleks. NU adalah organisasi
masyarakat yang memberikan ruang pengayaan khazanah
dengan memadukan mazhab yang ada. Misalnya, dalam
Hukum Islam, NU menggunakan mazhab empat (Hanafi,
Maliki, Syafii, dan Hanbali); dalam ketauhidan, NU
87
mengikuti mazhab Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur
al-Maturidi; dan dalam tasawuf, NU mengikuti mazhab al-
Ghazali dan Abu Qasim al-Junaidi. Inilah tradisi NU yang
mampu menyeimbangkan sisi literasi yang menjadi pijakan
bersikap. Keseimbangan referensi dan literasi nyatanya
mampu melahirkan khazanah Islam Moderat.

NU, Identitas Islam Jawa dan Budaya Progresif


Sejak awal berdirinya, NU menjadi organisasi
kemasyarakatan yang meresepsi nilai-nilai budaya
Nusantara. Metode dakwah NU “menduplikasi” dakwah
kultural yang dikembangkan oleh Walisongo. Hal itu bisa
dilihat dari cara dakwah para ulama NU pada saat
berinteraksi dengan ragam budaya masyarakat yang
dipengaruhi oleh animisme, dinamisme, Hindu, dan Budha.
Selain Walisongo, dakwah NU juga dipengaruhi
oleh tradisi keislaman yang mewarisi pemikiran ulama
Nusantara yang berpegangteguh pada kitab-kitab klasik.
Fakta ini menjadikan NU tetap dikenal sebagai organisasi
“wong jowo” yang setia mengakomodasi realitas kultural di
masyarakat dan mampu menghadirkan dirinya di pentas
global. NU -hingga saat ini- tetap mempertahankan
kekhasannya, yaitu dakwah kultural. Menurut Wahid (2006),
NU menjadi organisasi yang melembagakan tradisi yang
berkembang di masyarakat. Tradisi ini -bagi ulama NU-
menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan
masyarakat. Maka NU pada posisi, meresepsi kembali
kearifan lokal dan mengintegrasikannya dengan ajaran
Islam.

88
NU adalah organisasi kemasyarakatan yang secara
concern memberikan pendampingan kepada umat secara
terorganisir. Dalam upaya pengorganisasian ini, ada dua
terma yang selalu melekat pada NU, yaitu jamaah dan
jam’iyyah.
NU sebagai jamaah diatribusikan pada realitas
bahwa pendampingan masyarakat adalah salah satu domain
utama yang dipegangteguh oleh NU bahwa ideologi
masyarakat harus diselamatkan dari pengaruh animisme dan
dinamisme dengan tanpa mengabaikan local wisdom dan
local genious yang sudah diwarisi dari nenek moyang dan
telah dipegang teguh sebagai norma. Sebagaimana diketahui
bahwa jauh sebelum datangnya Islam ke Indonesia,
masyarakat Jawa dinilai sebagai salah satu masyarakat
dengan keragaman budaya, baik budaya kemasyarakatan
maupun budaya keagamaan yang memberikan corak khusus
atau pembeda antara masyarakat Jawa dengan lainnya. Salah
satunya adalah munculnya nama Kejawen.
Hemat penulis, kejawen diatribusikan pada formula
berkehidupan masyarakat Jawa. Filsafat Kejawen didasarkan
pada filsafat kehidupan masyarakat Jawa yang meliputi
tradisi, budaya, seni, sikap, dan ritual yang diformulasikan
sebagai Spiritualitas Jawa. Komponen ini sebagai perpaduan
perpaduan antara kearifan lokal yang muncul secara alamiah
di dalam kehidupan sehari-hari. Secara mendasar,
masyarakat Jawa memformulasikan tatanan berkehidupan
tidak dengan merujuk pada kitab atau regulasi yang
terkodifikasikan. Mereka merumuskan pola dari kecerdasan
lakuning urip; sebuah ungkapan yang memotret tentang
pengalaman berkehidupan yang terjadi secara terus menerus
89
sehingga menjadi kesepakatan sosial (social consensus) dan
disepakati sebagai norma. Pada perkembangannya, terjadi
sinkretisme yang memadukan antara kearifan local dengan
animisme, dinamisme, Hindu, dan Budha. Dari sini muncul
keragaman budaya kegamaan masyarakat Kejawen.
NU melihat realitas ini bukan sebagai ancaman,
melainkan sebagai obyek dakwah. Transformasi doktrin
keagamaan dilakukan oleh segenap tokoh NU dengan cara
persuasive, bukan konfrontatif. Dakwah bil hikmah
menjadi pilihan, bahwa misi utama dalam berdakwah adalah
mengajak masyarakat untuk kembali ke jalan Allah Swt. Di
sinilah domain NU sebagai jamaah mendapatkan
persemaian.
Pada proses dakwah tersebut, beberapa tokoh NU
memandang bahwa strategi dakwah secara kultural, harus
dimenej dengan strategi yang efektif dan bersesuaian
dengan massanya. NU yang semula lahir secara kultural,
merasa perlu untuk membuat struktur yang mengikat dan
bersifat koordinatif. Maka NU bermetamorfosa menjadi
organisasi kemasyarakatan yang memiliki tertib administrasi
dan panduan. Pada level ini, NU tetap sebagai kekuatan
kultural yang dimenej dengan tata keorganisasian agar
dalam perjuangannya, langkah yang diambil lebih sistematis.
Di sinilah NU memegang domainnya sebagai jamiyyah
dengan berpegang teguh pada prinsip dasar; tawasuth,
tawazun, tasamuh, dan i’tidal.

90
1. Tawasuth
Tawasuth secara etimologi bermakna di tengah-
tengah (moderat). Pada perjuangannya, NU tidak ekstrim
ke kanan atau ke kiri. Penggunaan mazhab dalam Hukum
Islam, Tauhid, dan Tasawuf sebagaimana dijelaskan di atas
menunjukkan bahwa NU memberikan perhatian pada
keseimbangan referensi dan literasi. Keluasan khazanah
disinyalir akan mempengaruhi sikap seseorang. Semakin
luas khazanah seseorang, semakin bijak sikap dan
pemikirannya.
Tawasuth lahir dari tradisi pemikiran kyai yang
memiliki tradisi mengaji kepada para ulama yang
keilmuannya dapat dipertanggungjawabkan. Ulama
memiliki konsistensi dalam mengkaji kitab-kitab klasik yang
biasa diajarkan di pesantren.
Tawasuth menjadi visi besar dakwah keislaman
sebagaimana firman Allah Swt:
ُ ً ‫اا ا ا ا ا ا ُ ُن ً ا ا‬
‫طا ل ات ُك ُونوا ُْ اه اداء اع الى ن‬
َ‫الناسِ اِو اي ِكو ا‬ ‫اكم أمة ِوس‬
ِ ‫وكذلك جعلن‬
ً ‫ا ُ ا‬
ِ ِ‫الر ُسو ُل اعليِكم ْه‬
‫يدا‬ ‫ن‬
Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat
pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran
penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia umumnya dan
supaya Allah SWT menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap
dan perbuatan) kamu sekalian. (QS al-Baqarah: 143).

2. Tawazun
Tawazun berarti seimbang, bahwa dalam
melandaskan dalil, NU mengambil keseimbangan antara
dalil yang bersumber dari al-Qur’an dan sunah (dalil naqli)
91
dan dalil yang bersumber dari rasionalitas (dalil aqli). Dalil
Naqli bersifat sakral dan transendental karena datangnya
dari Allah Swt melalui proses pewahyuan. Dalil ini
membedakan dengan kepercayaan yang dogmanya
bersumber dari wangsit. Sebagai dalil yang diturunkan untuk
manusia, maka dalil aqli juga diperlukan. Fungsinya adalah
mengaktualisasikan dalil naqli agar bisa dipahami oleh
masyarakat dan efektif menyelesaikan berbagai fenomena
yang dihadapi oleh manusia. Bukankah Islam -sebagai
agama yang membawa rahmat bagi semesta- harus
diposisikan sebagai piranti pemberi solusi atas seluruh
persoalan manusia. Dengan kata lain, sakralitas dalil naqli
tidak lantas menutup rasionalitas manusia untuk
memahami substansi terdalam dari nash. Sementara dalil
aqli menawarkan pemahaman yang rasional dan sesuai
dengan realitas. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt:
‫اَ ل اي ُق ا‬
‫وم‬ ‫ال اقدِ اأ ِر اسلِ انا ُر ُس ال انا بال اَيِ انات اِو اأ انزلِ انا ام اع ُه ُم الك ات ا‬
ِ ‫اب اواِلِ اَّز ا‬
ِ‫اس بالقسط‬ ‫ن‬
ُ ‫الن‬
“Sunguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa
bukti kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama
mereka al-kitab dan neraca (penimbang keadilan) supaya manusia
dapat melaksanakan keadilan.” (QS al-Hadid: 25)

3. I’tidal
I’tidal bermakna tegak lurus, bahwa NU akan terus
berkomitmen untuk berjuang demi tegaknya agama Allah
Swt (i’la’ kalimatillah). Historitas berdirinya Nahdlatul
Ulama menunjukkan bahwa apapun dimensinya, NU
92
didirikan dengan mental perjuangan demi tegaknya agama
Allah Swt. Maka apapun situasinya, bagi NU itu tetaplah
sebuah perjuangan. .
Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt:
‫ا‬ ُ ‫ُ ُ ا‬
‫آم ُنوا كونوا َ نوام اََّ لله ْ اه اِداء بالقسط اوَل‬ ِ‫ين ا‬ ‫ايا اأ شي اها نالذ ا‬
‫ا‬ ُ ُ ‫ا ا ا‬ ‫ا انُ ا ا ُ ا‬
‫آَ َو ٍم اعلى أ نَِل تعدلوا اعدلوا ُه او أَ ار ُب ل نلتق اوى‬ ‫ْن‬ِ ‫يجرمنكم‬
ُ ‫ا‬
َِ ‫او ناَ ُقوا الل اه إ نَ الل اه اخََّر ب اما تع املو ا‬
“Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian
menjadi orang-orang yang tegak membela (kebenaran) karena Allah
menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Dan janganlah
kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak
adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada
taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah
Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS al-Maidah: 8)

4. Tasamuh
Secara etimologi, tasamuh bermakna toleransi. NU
menegaskan dirinya sebagai organisasi yang mampu
mengakomodir keragaman budaya keagamaan dan
menghargai perbedaan yang ada. Hal ini sesuai dengan
firman Allah Swt:
‫ا‬ ‫ا ا ا ا ًن ً ن ن ان ا‬
‫ف ُقوَل ل ُه َوَل لينا ل اعل ُه اي اتذك ُر أو ايخش ى‬
“Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa AS dan Nabi
Harun AS) kepadanya (Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah
lembut dan mudah-mudahan ia ingat dan takut.” (QS. Thaha: 44)

93
Keempat prinsip dasar perjuangan NU ini menjadi
landasan dalam berdakwah yang berkelindan dengan
perjuangan Walisongo dalam mendakwah agama Islam di
tanah Jawa.
Secara operasional, NU memformulasi dakwah
dialogis yang mengkompromikan prinsip syariat dengan
prinsip kejawen yang telah dulu ada. Pada satu sisi, budaya
kejawen berisi keluhuran-keluhuran nilai sangkan paraning
dumadi yang mengakui keberadaan Tuhan yang Maha
Berkehendak sehingga mempengaruhi perilaku
masyarakatnya. Namun pada sisi lain, ada ritual-ritual
sinkretisme yang dipengaruhi oleh animisme, dinamisme,
Hindu, dan Budha.
Realitas ini oleh NU didekati secara persuasive
dengan tidak serta merta melarang secara frontal atas ritual
yang sudah dijalaninya. Secara gradual, masyarakat
dibiarkan tetap menjalani ritualnya dan secara berangsur
disisipi dengan nilai-nilai agama Islam dengan tanpa
menanggalkan budaya. Salah satu contohnya adalah pada
tradisi selametan. Bagi masyarakat kejawen, sesajen adalah
ritual penghambaan kepada Dewa untuk memanjatkan
keselamatan dan kesejahteraan. Pada prosesnya, sejumlah
mantra dibaca dan ragam makanan disajikan, seperti ayam,
bubur, dan menyan. Formula ini menjadi hasil dari
akulturasi antara budaya Jawa dengan animisme,
dinamisme, Hindu, dan Budha yang telah mengakar di
masyarakat Jawa.
Corak budaya adalah potret dan realitas masyarakat.
Maka tak mudah jika ada kekuatan yang hendak
menghilangkan atau mengintervensinya. Di sinilah NU
94
menawarkan pola akulturatif-kompromistis antara budaya
tersebut dengan nilai-nilai Islam. Secara teknis, nilai-nilai
Islam yang substansial diintegrasikan ke dalam ritual
tersebut. Aziz (2019: 43) menguraikan contoh dakwah
akulturatif-kompromostis NU di Bubakan Semarang.
Pertama, Punggahan, merupakan prosesi doa
bersama di akhir bulan Sya’ban. Bagi masyarakat Bubakan –
yang secara umum dikenal oleh masyarakat Jawa, Sya’ban
disebut juga dengan Ruwah; dari kata arwâh, jamak dari kata
rûh (roh). Bagi masyarakat, pada akhir bulan Sya’ban roh
nenek moyang naik ke atas. Momentum ini dimanfaatkan
untuk berdoa agar roh mereka tenang. Ketenangan mereka
berpengaruh terhadap keluarga dan masyarakat sekitar
sehingga memotivasi masyarakat untuk mendatangi musala
atau masjid guna memanjatkan doa. Jika itu tak dilakukan,
akan lahir ketakutan bahwa roh tersebut akan marah
sehingga berdampak kepada ketenangan dan kesejahteraan
masyarakat.
Kedua, Pudunan, berasal dari kata mudun yang
berarti turun. Jika bulan Sya’ban diyakini sebagai
momentum naiknya arwah, maka pudunan -yang dilakukan
pada akhir Ramadhan- diyakini sebagai momentum
turunnya arwah (kembali ke bumi). Pada momen ini,
berbagai doa dipanjatkan dengan motivasi sebagaimana
pada punggahan.
Ketiga, Kabumi yang merupakan akronim dari
“sedekah bumi”. Keyakinan bahwa bumi adalah tempat di
mana manusia hidup berdampingan dengan makhluk tak
kasat mata (ghaib). Maka Kabumi diposisikan sebagai
ikhtiar masyarakat untuk menciptakan ketenangan dan
95
membangun relasi harmoni dengan makhluk tak kasat mata.
Bahkan, di beberapa tempat, pemerintah setempat telah
menjadikan kabumi sebagai pesta rakyat dan agenda rutin.
Awalnya, ketiga seremonial di atas disebut dengan
sesajen, yang bermakna menyajikan berbagai jenis makanan
dengan disertai berbagai ragam doa. Namun dengan
kecerdasan para tokoh NU, acara yang semula bernuansa
sinkretis dapat diformulasi ulang prosesi ritualnya dengan
mengintegrasikan nilai-nilai dan materi keagamaan yang
bersesuaian dengan agama Islam. Jika sebelumnya mereka
membaca sejumlah mantra dan membakar kemenyan,
sekarang prosesi diisi dengan pembacaan tahlil dan
pemberian sedekah.
Uraian di atas menunjukkan bahwa NU menempatkan
dirinya sebagai organisasi yang menjadi sistem nilai dan
berkontribusi terhadap reformulasi budaya local sehingga
melahirkan budaya yang akulturatif-kompromistis yang
diterjemahkan ke dalam beberapa pendekatan:
1. Pendekatan Psikologi
Para tokoh NU sadar bahwa pada masa itu,
mereka berhadapan dengan kelompok masyarakat yang
terbilang mapan. Kemapanan itu sedikitnya bisa dilihat
dari beberapa aspek; pertama, ideologi; kedua, budaya.
Yang pertama berhubungan dengan keyakinan
terhadap Tuhan. Kuatnya pengaruh animisme,
dinamisme, Hindu, dan Budha membentuk pola
keyakinan terhadap Dewa sebagai pengatur semesta.
Dari sini lahir berbagai mitologi-mitologi yang
dipersonifikasikan ke dalam berbagai benda, seperti
pohon besar, macan putih, buaya putih, dan
96
sebagainya. Bagi masyarakat kejawen, berbagai
kemujuran dan musibah, selalu dikaitkan dengan sikap
Dewa.
Ketakutan masyarakat terhadap sikap Dewa,
menjadi basis munculnya berbagai budaya yang
diformulasikan sebagai ketaatan mereka kepada Dewa.
Sesajen -sebagai salah satu budaya yang mengakar di
masyarakat- adalah contoh riil betapa kuatnya ideologi
masyarakat terhadap keberadaan Dewa. Meskipun pada
perkembangannya terjadi pergeseran -dari keyakinan
terhadap Dewa menjadi keyakinan kepada “Tuhan
Lain”, budaya-budaya tersebut tetaplah bertahan.
Realitas ini menuntut segenap tokoh
masyarakat untuk memilih pendekatan psikologi, yaitu
dengan cara berbaur dengan mereka dan tidak secara
sporadis mengenalkan mereka kepada nilai-nilai Islam.
Terlebihm karakter masyarakat Jawa sangat
menghormati warisan nenek moyangnya.

2. Pendekatan Normatif
Pendekatan ini dipilih ketika psikologi
masyarakat Jawa telah mulai terbuka dengan kehadiran
agama Islam. Sebagai bentuk aktualisasi sikap tasamuh
NU adalah memberikan ruang yang cukup kepada
mereka untuk mengekpresikan keyakinannya kepada
sang Hyang, sebagai symbol Tuhan Pengatur Alam.
Meskipun keyakinannya sama, namun para tokoh NU
mencoba mengintegrasikan syariat dan nilai Islam ke
dalam ritual mereka. Jika biasanya mereka menyediakan
sesajen dengan pembacaan mantra, secara gradual
97
mantra diganti dengan pembacaan shalawat dengan
nada dan intonasi yang mirip dengan saat mereka
membaca mantra.

3. Pendekatan budaya
Masyarakat Jawa sangat kental dengan
kehidupannya akan hal mistik. Lebih lagi dengan adat
istiadat dan kebiasaan yang hampir setiap hari
dilakukan oleh orang Jawa selalu sarat dengan unsur
mistisnya. Niels Mulder memaparkan bahwasanya
mistisisme lebih kepada hal kebatinan. Karena di dalam
kebatinan yang dilakukan oleh setiap orang juga
termasuk praktik mistisisme. Praktik kebatinan sendiri
adalah upaya berkomunikasi dengan realitas tertinggi;
sebagai cabang pengetahuan ia mempelajari tempat
manusia di dunia ini dan di semesta.
Aliran kebatinan mengisyaratkan bahwa
manusia memiliki dua sisi; lahir dan batin. Keduanya
memiliki hubungan yang erat karena saling melengkapi.
Aspek batin memberikan bimbingan agar ekspresi lahir
menjadi terkendali. Dengan demikian, maka pranata
sopan santun dan tradisi dapat teraktualisasikan secara
baik dalam pranata agama formal dan perilaku moral
(Mulder, 2001: 40-41).

Pesantren; Pioner Dakwah Akulturatif


NU tidak bisa dipisahkan dengan pesantren sebagai
lembaga pendidikan organik yang memadukan antara
kekuatan intelektualitas dan moralitas. Kekuatan
intelektualitas dapat dilihat dari kuatnya tradisi literasi dan
98
aksesibilitas terhadap karya-karya multidisiplin dari ulama
klasik, seperti tafsir, ushul fiqh, tasawuf, bahasa, dan
sebagainya. Kekuatan literasi ini dapat dilihat dari
“kurikulum sederhana” pesantren yang secara konsisten
mengkaji kitab-kitab para ulama dan mengembangkannya
dalam tradisi Bahtsul Masail; forum pembahasan masalah-
masalah keagamaan (masail diniyyah) berdasarkan atas
kekayaan referensi. Tradisi ini tak hanya mengasah
kritisisme santri, tetapi juga menciptakan tradisi positif
bahwa ilmu harus didasarkan pada referensi yang dapat
dipertanggungjawabkan (mu’tabar).
Pesantren juga menjadi lembaga pendidikan tertua
yang memiliki concern pada penataan akhlak (moral). Jika
hari ini terma revolusi mental menjadi tren pemerintah
Indonesia, maka sesungguhnya pesantren sudah sejak lama
memberikan perhatian serius terhadap penataan akhlak
santri. Hal itu bisa dilihat dari tradisi ta’dzim kiyai yang
mengajarkan sikap rendah hati dan loyal terhadap kiyai.
Mulyono (Ninin Kholida Mulyono, Zaenal Abidin, and
Endah Kumala Dewi, ‘Proses Pencarian Identitas Diri Pada
Remaja Muallaf’ (Universitas Diponegoro, 2002), mencatat,
pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua yang
melestarikan tradisi dan kultur keindonesiaan dan
berkontribusi secara riil terhadap pembangunan manusia
yang berkarakter. Maka wajar jika Madjid (Nurcholis Madjid,
Bilik-Bilik Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta:
Paramadina), menilai pesantren sebagai lembaga pendidikan
tertua di Indonesia yang mempresentasikan Pendidikan
Keindonesiaan dengan kekhasannya.

99
Pesantren menjadi benteng bagi manuver dakwah
kultural yang diusung oleh NU. Ada dua hal penting yang
menguatkan posisi NU sebagai lembaga pendidikan yang
mengafirmasi dakwah kultural dan pelembagaan
domestikasi Hukum Islam. Pesantren didesain untuk
mengakomodasi masyarakat -utamanya kalangan grassroot-
agar mendapatkan pendidikan agama yang memadai. Hidup
di tengah masyarakat Jawa yang multikultural, mendorong
kalangan pesantren untuk ikut andil secara aktif dalam
proses edukasi yang massif. Kurikulum pesantren didesain
dengan komponen materi yang mengakomodir kebutuhan
masyarakat di bidang agama (bahasa, tafsir, dan fiqh)
dengan pola yang sederhana (sorogan). Pesantren
memposisikan dirinya sebagai lembaga yang siap
memberikan solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi
oleh masyarakat. Pada level ini, pesantren melakukan
inovasi dari sisi metodologi dan substansi. Secara
metodologi, pesantren mengukuhkan pendapat keempat
madzhab fiqh sunni yang diantaranya menggunakan urf
sebagai salah satu sumber Hukum Islam. Ini menjadi alat
untuk merespon berbagai tradisi yang berkembang di
masyarakat. Di sini pesantren mendapatkan persemaian
sebagai lembaga yang mampu meresepsi kearifan lokal.
Itulah sebabnya pesantren dinilai sebagai lembaga yang
secara aktif memproduksi hukum -dengan kekayaan literasi-
sehingga dapat memberikan kepastian hukum atas berbagai
persoalan yang berkembang. Dengan kata lain, kekuatan
literasi yang dimiliki oleh para santri di pesantren,
memberikan ruang luas bagi proses modifikasi Hukum
Islam. Pada posisi ini, proses domestifikasi Hukum Islam
100
mendapatkan persemaian. Kajian Hukum Islam adalah
kajian yang terus berkembang sesuai dengan dinamika yang
terjadi di masyarakat. Kuatnya pengaruh Walisongo dan
sanad keilmuan yang bersambung kepada para ulama klasik,
memberikan legitimasi intelektual dan kultural.

101
102
BAB IV
DOMESTIKASI DAN KONSTRUKSI HUKUM
ISLAM ENKULTURATIF

Domestikasi Hukum Islam dan Enkulturasi


Ada beberapa terma yang asimetris dengan
domestikasi Hukum Islam, seperti Pribumisasi Islam,
Jawanisasi Islam, Islam Nusantara, dan sebagainya. Terma-
terma ini bermuara pada upaya mendialogkan Hukum Islam
dengan budaya lokal. Istilah ini muncul di tengah kuatnya
kebutuhan masyarakat Islam di Indonesia mendapatkan
pola Hukum Islam yang kontekstual.
Kontekstualisasi Hukum Islam tidak lepas dari
proses akulturasi antara Hukum Islam dan budaya lokal.
Pertemuan Hukum Islam dan budaya Jawa adalah realitas
yang tidak terelakkan. Kuatnya pengaruh Animisme,
Dinamisme, Hindu, dan Budha membangun sistem sosial
yang sangat kuat dan dominan pada masyarakat jawa.
Dengan kata lain, filosofi hidup masyarakat Jawa
dikonstruksi oleh ideologi animisme, dinamisme, Hindu
dan Budha yang dipengaruhi oleh kepercayaan terhadap
kekuatan ghaib. Maka pola kehidupan bermasyarakat Jawa,
memegang teguh nilai-nilai ini dan menjadi basis dalam
kehidupan. Hal ini senada dengan pendapat Bharati (2021:
1315) yang menyatakan bahwa akulturasi agama dan
budaya, telah menjadi kesatuan di dalam masyarakat.
Pada konteks keagamaan, mulanya corak Jawa
muncul dominan dalam ritualitas masyarakat. Hal itu bisa
terlihat dari pakaian, arsitektur, terminologi, peribadatan

103
dan sebagainya yang menunjukkan kuatnya pengaruh ajaran
dan agama sebelum Islam.
Kondisi faktual ini -dalam diskursus domestikasi
Hukum Islam- diposisikan sebagai modal spiritual dan tidak
dihadap-hadapkan secara konfrontatif dengan Hukum
Islam. Domestikasi Hukum Islam menjunjung prinsip dasar
Islam yang tersistematisasi dalam terma baku seperti “Islam
agama rahmat”, “tidak ada paksaan dalam beragama”,
“agamamu dan agamaku”, dan sebagainya.
Pada awal perjumpaannya, Walisongo melakukan
pendekatan persuasif. Komponen Islam tidak serta merta
melebur dengan pola ritualitas yang sudah ada. Bahkan,
bentuk-bentuk formal keislamaan tidak terlihat secara kasat
mata. Walisongo melakukan penetrasi pada integrasi nilai
universal yang menjadi common platform beragama, seperti
doa, kontemplasi, penghormatan kepada sesama, kesalehan
sosial, dan sebagainya. Akulturasi budaya dipilih dalam
kondisi ini bahwa dikotomi formal keislaman dapat
dibedakan dengan mudah.
Pada perkembangannya, secara gradual nilai-nilai
pada formal keislaman dimunculkan. Secara berurutan,
obyek penetrasi dari domestikasi Hukum Islam
memfokuskan aspek; pertama, kesadaran komunal tentang
kesamaan visi beragama; kedua, kesamaan pada orientasi
keyakinan beragama; ketiga, formalisasi budaya sebagai
instrumen beragama; keempat, enkulturasi budaya
keagamaan; kelima, formalisasi agama.
Secara teoritis, domestikasi Hukum Islam
melakukan integrasi nilai yang bertolak dari kesadaran
komunal bahwa common platform di antara kaum beragama
104
adalah kebutuhan mendasar untuk memeluk agama. Ini
berkaitan dengan keyakinan alam bawah sadar tentang
suatu agama. Terlepas dari adanya perbedaan dari aspek
formal, manusia berkebutuhan untuk untuk mendapatkan
ketenangan dan keselamatan dari segala pengaruh jahat. Di
sinilah keputusan beragama mendapatkan tempat
persemaian. Pada satu sisi, manusia menyadari eksistensi
kekuatan metafisis yang memberikan pengaruh baik dan
buruk. Pada sisi lain, muncul kesadaran kolektif bahwa
aspek-aspek fisik seperti uang, jabatan, kelas sosial, dan
sebagainya tidak menjamin tercapaianya ketenangan batin.
Realitas di atas menjadi pintu masuk domestikasi
Hukum Islam. Secara umum, Marranci (2020: 8)
menyatakan, Hukum Islam tidak diintegrasikan secara
formal, tapi secara nonformal; bukan bentuk yang
diintegrasikan, tetapi substansinya bahwa Islam dengan
agama dan kepercayaan menjadi kebutuhan primer bagi
manusia.
Ciri khas dari agama adalah adanya keyakinan
terhadap kekuatan metafisis. Ini sebagai konsekuensi logis
dan ideologis bagi pemeluk agama dan kepercayaan. Aspek
pertama berhubungan dengan konsekuensi beragama yang
diikat oleh sistem keyakinan. Beragama tidak bebas nilai.
Ada sistem-sistem keyakinan yang mengikat pemeluknya
sehingga tidak ada pilihan kecuali mentaatinya. Adapun
yang kedua berhubungan dengan upaya untuk membangun
komitmen beragama dengan terus memperbaiki kualitas
ibadah sebagai bentuk ketaatannya kepada kekuatan
metafisis.

105
Pada level ini, domestikasi Hukum Islam
diposisikan sebagai penguat sistem keyakinan bahwa tujuan
umat beragama adalah sama; Tuhan. Jika pada aspek
pertama penetrasinya terletak pada kepemelukan agama dan
keyakinan secara formal, pada aspek ini penetrasinya
terletak pada kepentingan memperkuat ideologi agama.
Pilihan untuk memeluk agama dan kepercayaan,
disertai dengan kepentingan untuk mengekspresikan dan
memanifestasikan agama dan kepercayaannya melalui
seperangkat media. Candi, pertapaan, masjid, wihara, pura,
dan sebagainya adalah media yang tak terpisahkan bagi
umat beragama. Keyakinan tidak berhenti pada sikap
batiniah, melainkan disertai dengan komitmen menunaikan
ibadah dengan menggunakan berbagai perangkat atau
media penyerta. Di sinilah domestikasi Hukum Islam
menawarkan pola persuasif dengan melakukan reorientasi
terhadap keyakinan kepada kekuatan metafisis.

Domestikasi dan Hukum Islam Berkeadilan


“Kita adalah orang Indonesia yang muslim.”
Ungkapan ini relevan untuk mengilustrasikan kondisi ideal;
bagaimana seharusnya orang Indonesia yang muslim
mampu mengintegrasikan nilai-nilai keislaman dan nilai-
nilai keindonesiaan? Premis pertama berhubungan dengan
idealitas seorang muslim yang memegangteguh prinsip
dasar Syariat Islam, baik dari sisi universalitas maupun
lokalitasnya. Adapun premis kedua berhubungan dengan
idealitas bangsa Indonesia yang hidup berdampingan di
tengah pluralitas budaya.

106
Kedua premis di atas bertemu pada nilai
universalitas Islam yang memiliki visi besar sebagai agama
yang menjadi rahmat bagi semesta (rahmatan lil alamin). Pada
konteks ini, letak rahmat terletak pada kemampuan untuk
mengintegrasikan misi agama dengan kearifan lokal di suatu
tempat. Dengan kata lain, Domestikasi Hukum Islam
memberikan legitimasi bahwa agama Islam membuka diri
bagi pemeluknya untuk berdialektika dengan pluralitas
masyarakat berikut dengan budayanya.
Domestikasi Hukum Islam memiliki semangat
membumikan nilai-nilai keislaman dan menjadikan budaya
masyarakat sebagai media. Hal ini memberikan pesan
bahwa visi besar agama Islam adalah menciptakan
keteraturan. Hukum Islam dengan segala perangkatnya
merupakan aturan yang bersifat sakral karena bersumber
dari wahyu. Pada sisi ini, maka secara substansi manusia
pada posisi taken for granted bahwa Hukum Islam diposisikan
sebagai aturan dari Allah Swt yang bersifat mengikat. Pada
sisi lain, agama memuat unsur profan ketika pada level
aktualisasinya di mana Hukum Islam akan berdialektika
dengan unsur-unsur alamiah di dalam masyarakat. Ini
adalah bentuk pemahaman terhadap QS. Al-Anbiya’: 107 di
mana misi dakwah Rasulullah Saw adalah menebar rahmat
bagi semesta. Maka transformasi Hukum Islam harus
memperhatikan psikologi masyarakat dan diaktualisasikan
secara gradual.
Uraian di atas bersesuaian dengan tingkatan Islam,
Iman dan Ihsan yang tidak bisa ditukar posisinya.
Manifestasi keislaman seseorang bisa dilihat dari
ketaatannya terhadap instrument-instrumen yang bersifat
107
visual, seperti pengucapan syahadat, penunaian shalat lima
waktu, ketaatan membayar zakat, pelaksanaan puasa di
bulan Ramadlan, dan penuanaian ibadah haji bagi yang
mampu.
Aktualisasi keislaman dapat diaktualisasikan pada
konteks domestikasi Hukum Islam bahwa tahap pertama
dalam berdakwah adalah performa. Di sinilah domestikasi
Hukum Islam mendapatkan ruang persemaian bahwa
formalisasi Hukum Islam melalui perangkat-perangkat
budaya, adalah hal substantif sebagai tahapan awal
membumikan Islam sebagai rahmat bagi semesta.
Setelah Islam, satu tingkat di atasnya adalah iman;
suatu sistem kepercayaan terhadap hal-hal yang bersifat
metafisis. Keimanan terhadap Rukun Iman memberikan
pesan bahwa formalisasi Hukum Islam adalah tangga
menuju pemahaman Islam yang substantif. Artinya,
substansi keagamaan menjadi pengisi tatanan formalistik
yang telah mapan. Ketika praktik keagamaan telah sampai
pada level ini, poin pentingnya adalah bagaimana keimanan
ditempatkan sebagai spirit dalam mengukuhkan aktualisasi
Hukum Islam. Pada bagian ini, maka kemapanan Islam
Jawa yang kental dengan atribut Jawa dengan kekayaan
makna dan filosofi, menjadi modal social yang memadai
bahwa budaya Jawa telah membuat road map menuju aspek
ketuhanan. Di sinilah Hukum Islam memberikan corak
warna; bagaimana visi ketuhanan tersebut dikelola dengan
bingkai Hukum Islam. Peran ini telah dimainkan dengan
sangat rapi oleh Walisongo. Berbagai tradisi lokal di Jawa,
tidak dihilangkan tetapi justru dijadikan sebagai media
dakwa secara persuasif. Hasilnya sangat menggembirakan;
108
bagaimana masyarakat Jawa Abangan berbondong-bondong
memeluk Islam tanpa harus meninggalkan tradisi Jawa yang
telah mengakar di masyarakat.
Kondisi di atas memberikan efek psikis yang
signifikan bahwa agama Islam, bukanlah agama yang
konfrontatif dengan budaya, melainkan justru mengadopsi
budayanya dalam aktualisasi Hukum Islam. Dari sini
muncul Hukum Islam Integratif yang memadukan antara
nilai-nilai keislaman dengan nilai-nilai kebudayaan.
Bukankah pola ini telah lebih dulu dilakukan oleh
Rasulullah Saw ketika mendakwahi kaum kafir di Makkah
yang telah lebih dulu mengenal paganisme. Apakah
Rasulullah Saw serta menolak mengilangkan paganism
tersebut? Jawabannya adalah tidak. Bukankah ayat-ayat
Makkiyah bercorak seruan untuk menciptakan kemapanan
keimanan kepada Allah Swt (tauhid)? Pada ayat Makkiyah,
mereka tidak diberikan beban lebih dalam urusan ibadah.
Setelah aspek keimanan mencapai titik mapan, barulah
Allah Swt menurunkan ayat-ayat Madaniyah yang secara
gradual mengenalkan berbagai ibadah yang harus ditunaikan
seorang muslim.
Kemapanan dalam hal keislaman dan keimanan,
menghantarkan seseorang pada level ihsan; suatu sistem
yang mengedukasi manusia agar meneguhkan posisinya
sebagai agent of change di masyarakat melalui nilai-nilai
keagamaan. Pada sisi ini, manusia tidak lagi disibukkan pada
atribut-atribut yang letterlijk dan bernuansa Arab. Maka
ungkapan “kita sebagai orang Indonesia yang muslim”
disemangati oleh kemampuan membumikan universalitas
nilai-nilai Islam yang bersesuaian dengan lokalitas.
109
Tingkatan Islam, Iman, dan Ihsan menjadi pijakan
penting dalam domestikasi Hukum Islam menuju
terciptanya Hukum Islam yang berkeadilan. Terma ini
mengandung pesan bahwa puncak agama adalah keadilan.
Ketika al-Qur’an secara eksplisit menyatakan pentingnya
berdakwah dengan bahasa kaum sebagaimana disebutkan di
dalam QS. Ibrahim: 14, maka visi dakwah keislaman,
bukanlah mentransformasikan hal-hal formalistik an sich,
melainkan pada hal-hal substantif yang bersifat universal
(keadilan).
Pada QS. Al-Nahl: 125, memberikan framework
tentang hikmah dalam berdakwah. Secara etimologi, kata
“hikmah” berarti kebijaksanaan yang bisa diaktualisasikan
pada beberapa aspek; pertama, materi; kedua, psikologi;
ketiga, ekspektasi.
Aspek materi berhubungan dengan kecerdasan
dalam memilih komponen-komponen dakwah yang
persuasif, bukan konfrontatif. Persuasif tidak dimaknai
dengan sikap lemah dan ikut arus yang ada, melainkan
kecermatan dalam memanfaatkan momentum dan memilih
komponen yang proporsional. Secara teknis, domestikasi
Hukum Islam menawarkan konsep tentang pemilihan jenis
budaya yang dapat diintegrasikan dengan Hukum Islam
dengan batasan-batasan yang tidak bertentangan dengan
nilai ketauhidan yang menjadi basis dari misi transformasi
Hukum Islam.
Domestikasi Hukum Islam akan masuk pada bagian
dari budaya yang membuka ruang integrasi. Ketika
masyarakat melakukan sesajen, maka domestikasi Hukum
Islam akan masuk ke dalam aspek meluruskan niat bahwa
110
tumpuan dari semua permohonan adalah Tuhan, bukan
kepada kekuatan ghaib pada pohon, keris, atau roh nenek
moyang. Jika varian menu makanan hendak disajikan
kepada pohon, keris, dan roh jahat, maka domestikasi
Hukum Islam melakukan reorientasi bahwa sajian makanan
adalah bentuk sedekah kepada yang hadir sesuai dengan
sabda Rasulullah Saw bahwa sedekah dapat menjadi
penangkal bahaya.
Pada aspek psikologi, domestikasi Hukum Islam
berkepentingan untuk mendekati masyarakat secara
persuasif. Bukan materi formal yang dibawa, melainkan
kesamaan visi untuk memperkuat relasi harmoni dengan
Tuhan. Secara psikis, masyarakat Jawa telah meyakini
sepenuhnya bahwa sesajen adalah media yang meneguhkan
relasi harmoni dengan berbagai kekuatan semesta. Pada
bagian ini, domestikasi Hukum Islam ikut serta
meneguhkan misi tersebut bahwa kekuatan Tuhan adalah di
atas segalanya.
Psikologi berhubungan dengan keyakinan atas pola
yang telah dilakukan secara terus menerus dan hasilnya
telah dirasakan. Pada level ini, domestikasi Hukum Islam
ikut meneguhkan bahwa keyakinan dan pengharapan
terhadap Tuhan, akan menyebabkan turunnya rahmat.
Secara teknis, masyarakat Jawa telah akrab dengan
doa dan primbon yang diwarisi secara turun temurun. Pada
bagian ini, domestikasi Hukum Islam tidak dengan serta
merta mengamandemen ritual yang mereka lakukan.
Bukankah doa dan pengharapan bisa diungkapan dengan
bahasa apapun?; bukankah Allah Swt Dzat yang Maha
Mengetahui keinginan hamba-Nya?
111
Aspek terakhir dari pemaknaan kata “hikmah”
adalah ekspektasi. Pada kurun selama 23 tahun dakwah
Rasulullah Saw memberikan pesan mendasar bahwa
gradualitas adalah konsekuensi alamiah dalam berdakwah.
Pada bagian ini, domestikasi Hukum Islam tidak serta merta
melakukan perubahan mendasar pada budaya yang telah
mapan. Terlebih, doktrin animisme, dinamisme, Hindu dan
Budha telah mangakar di dalam masyarakat Jawa. Maka
domestikasi Hukum Islam, bukan merubah pola pikir
keagamaan masyarakat Jawa secara frontal, melainkan pada
proses integrasi nilai keagamaan dan kebudayaan sehingga
melahirkan local genious di masyarakat.
Penulis menilai, kata “hikmah” mengandung pesan
tentang urgensi membangun narasi, literasi, dan resepsi
Hukum Islam yang berkeadilan; Hukum Islam yang
kontekstual dengan kondisi factual di masyarakat. Dengan
pola ini, Islam meneguhkan identitasnya sebagai agama
pamungkas dan penyempurna yang dibawa oleh Rasulullah
Saw. Ini memberikan beberapa konsekuensi logis terhadap
persemaian domestikasi Hukum Islam.
Pertama, Islam sebagai agama samawi terakhir,
memberikan perangkat Hukum Islam yang komprehensif,
universal, dan up to date. Komprehensif dimaknai bahwa al-
Quran dan sunah sebagai sumber primer Hukum Islam,
harus diposisikan sebagai sumber yang hidup, yang dikaji
dan diaktualisasikan sehingga nilai-nilainya bisa
diaktualisasikan kapanpun dan dimanapun. Relevansi al-
Quran dan sunah tidak lekang oleh waktu. Susunan bahasa
dengan tingkat sastra tertinggi yang materinya berasal dari
Allah Swt, harus dijadikan sebagai motivasi bagi umat Islam
112
untuk terus menghidupkan al-Quran dan sunah di dalam
kehidupan. Bukankah Allah Swt telah memberikan ruang
yang sangat memadai bagi orang-orang yang kritis
melakukan kajian. Hal itu diungkapkan dengan redaksi -
misalnya- la’allakum tatafakkarun, la’ayatin liulil albab, dan
seterusnya, sehingga secara substansi, Hukum Islam akan
relevan sepanjang masa.
Kedua, secara empirik, interpretasi dan eksplorasi
Hukum Islam menunjukkan terjadinya domestikasi Hukum
Islam. Elaborasi al-Quran dan sunah yang tertuang dalam
sumber Hukum Islam seperti Istihsan, Maslahah Mursalah,
Qaul Sahabi, menunjukkan bahwa domestikasi Hukum
Islam tidak terbantahkan. Kreasi-kreasi pengembangan
Hukum Islam menjadi sebuah keniscayaan karena teks al-
Quran dan sunah berhenti dengan wafatnya Rasulullah Saw,
sementara fenomena yang dihadapi oleh manusia
berkembang sangat dinamis.
Ketiga, pada aspek “Islam” -sebagai entitas dan
sistem universal, semua pemeluknya tunduk dan patuh.
Sementara pada aspek “fikr Islamy (pemikiran keislaman)”,
terdapat ruang yang sangat memadai untuk
menginterpretasikan “Islam” sesuai dengan kondisi factual
di masyarakat. Dengan kata lain, interpretasi budaya dalam
mengaktualisasikan Hukum Islam adalah sebuah
keniscayaan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
domestikasi Hukum Islam adalah kebutuhan di tengah
kompleksitas kondisi sosio-kultural masyarakat yang
merajut Hukum Islam pada posisi dialektis dengan budaya

113
masyarakat sehingga Islam Rahmatan lil Alamin mendapatkan
ruang persemaian.

Domestikasi Hukum Islam pada Tradisi Selametan


Secara umum, tradisi di masyarakat, termasuk
selametan adalah bentuk resepsi Hukum Islam di masyarakat.
Konsep Domestikasi Hukum Islam bisa diuji
melalui 3 tahapan:
Pertama, pada proses demistifikasi, budaya
ditempat sebagai konsensus masyarakat. Budaya
tidak hanya sebagai akumulasi nilai di masyarakat.
Budaya dimaknai sebagai media atau wahana.
Sebagai makhluk yang memiliki kemampuan rasa
dan karsa, manusia selalu menciptakan hal-hal baru
di dalam masyarakat yang lahir secara alamiah,
misalnya selametan. Bagi masyarakat, selametan
adalah salah satu formula memanjatkan
permohonan kepada Allah Swt. integrasi nilai-nilai
kearifan lokal, tampak sekali dan menunjukkan
kekhasan suatu masyarakat. Jika pada masyarakat
muslim di Arab, doa dipanjatkan dengan membaca
doa dan menikmati hidangan yang disajikan, di Jawa
ada sejumlah budaya yang melekat, sebelum, selama,
dan setelah pelaksanaan selametan.
Bagi masyarakat Jawa, selametan
diselenggarakan dengan berbagai tujuan. seperti
pembangunan rumah, kesuksesan mengikuti ujian,
pernikahan, khitanan, dan sebagainya. Biasanya,
sahibul hajat menyebarkan undangan perihal
pelaksanaan selametan. Setelah para undangan
114
berkumpul, acara dibuka oleh pembawa acara -yang
kendalinya kadang langsung dipegang oleh sahibul
hajat. Usai pembukaan dan sambutan, tokoh agama
setempat memimpin pembacaan tahlil dan doa.
Umumnya, dalam selametan ada aneka hidangan
yang diletakkan di piring dan bisa dinikmati oleh
para undangan yang hadir. Usai tahlil dan doa, para
undangan diberi bingkisan (biasanya berupa kardus
atau tumbu) yang berisi nasi, aneka lauk, dan aneka
jajanan.
Selametan telah menjadi consensus di
masyarakat. Pola ini berlaku untuk semua even
dengan berbagai maksud dan tujuan. Sebagai
consensus social, selametan tidak pernah
dilewatkan. Masyarakat meyakini bahwa selametan
adalah harmonisasi relasi vertical dengan Allah Swt
agar segala keperluannya dimudahkan dan
dikabulkan oleh Allah Swt.
Kedua, integrasi Syariat Islam. pada tradisi
selametan, ada sejumlah ritual yang dilakukan,
seperti membaca tahlil, barzanji atau dziba, dan doa.
Bukankah ini bagian dari ibadah yang dianjurkan di
dalam Islam. Terlepas dari pro dan kontra tentang
tinjauan fiqh terkait doa yang dipanjatkan secara
kolektif, budaya selametan menegaskan pesan
bahwa syariat Islam melekat dalam tradisi ini.
Nilai penting lainnya adalah penguatan
kerukunan. Selametan meniscayakan seseorang
untuk hadir, bertemu, dan berkomunikasi dengan
sesama secara intens. Bukankah kerukunan ini
115
menjadi bagian dari misi universal Syariat Islam. Hal
ini menjelaskan bahwa formula selametan
mengukuhkan nilai universal dari Syariat Islam,
yaitu kesalehan spiritual dan kesalehan social. Maka
tradisi selametan dapat dikategorikan sebagai Urf
Sahih atau tradisi baik yang bersesuaian dengan
Syariat Islam sehingga hukumnya boleh.
Ketiga, internalisasi universalisme Islam.
Internalisasi dapat diartikan sebagai proses
penghayatan terhadap suatu obyek tertentu sehingga
obyek tersebut dipertahankan karena dinilai sebagai
kebenaran universal. Pada konteks ini, masyarakat
menyadari bahwa perpaduan antara kesalehan
spiritual dan kesalehan sosial dalam tradisi
selametan adalah bentuk dari kejeniusan masyarakat
(local genious) dalam menginternalisasikan nilai-nilai
Islam dan budaya local melalui formula selametan.
Maka tradisi selametan dapat dikatakan sebagai
tafsir budaya atas Syariat Islam. di sinilah
domestikasi Hukum Islam mendapatkan
persemaian.
Salah satu konsekuensi dari proses
internalisasi ini adalah muncul varian budaya agama
di masyarakat. Meskipun dengan terminology yang
berbeda, pola selametan nyaris menjadi kelaziman di
dalam masyarakat secara umum. Maka wajar jika
substansi dan pola selametan di suatu masyarakat,
berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya.
Perbedaan ini disebabkan oleh keragaman budaya
suatu masyarakat.
116
Berdasarkan uraian di atas, maka proses domestikasi
Hukum Islam dapat digambarkan dalam skema sebagai
berikut:

Demistifikasi

Doa Selametan Internalisasi

Domestikasi

Skema di atas menunjukkan bahwa anjuran berdoa


yang dianjurkan oleh Islam, diinterpretasikan oleh
masyarakat dalam formula selametan. Garis putus
menunjukkan adanya tafsir relatif bahwa selametan adalah
bagian dari cara masyarakat menginterpretasikan doa.
Dengan kata lain, interpretasi bersifat relatif karena cara
masyarakat suatu daerah dengan daerah lainnya, tidaklah
sama.
Pada tahap selanjutnya, relatifitas itu juga terjadi
pada proses demistifikasi, internalisasi, dan domestikasi.
Corak dan pola yang ada, ditentukan oleh budaya dan nilai
yang berlaku di suatu masyarakat. Premis ini menegaskan
117
bahwa Islam membuka ruang luas terhadap munculnya
interpretasi dan ekpresi masyarakat. Di sinilah adagium
“Islam rahmatan lil alamin” mendapatkan ruang
persemaian.

118
REFERENSI

Al-Quran al-Karim
Asymawi, Muhammad Sa’id, 1992, Ushulu al-Syari’ah,
Beirut: al-Maktabah al-Syaqafiyyah,
Al-Akkad, Abbas Mahmud, 1998, Ketuhanan Sepenjang
Ajaran Agama-Agama dan Pemikiran Manusia, terj.
A. Hanafi, Jakarta: Bulan Bintang
Ali, Muhammad Daud, 1995, Lembaga-lembaga Islam di
Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Ali, A. Yusuf, 1983, The Holy Qur’an, Translation and
Commentary, Jeddah: Dar al-Qiblah
Al-Khalaf, Saud bin Abdul Aziz, 2004, Dirasat fi al-Adyan al-
Yahudiyyah wa al-Nashraniyyah, Makkah: Maktabah
Adwa Salaf
Arkoun, Mohammad, 1996, Rethinking Islam, Terj. Yudian
W.Asmin, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Asyqar, Umar Sulaiman, 1991. Tarikh fi al-Islam, Amman:
Dar Nafa'is.
Aziz, Fakhrudin, “Formula Pemeliharaan Agama (Ḥifz aL-
Din) pada Masyarakat desa Dermolo Jepara:
Implementasi Maqāṣid al-Sharī’ah dengan
Pendekatan Antropologi”, Al-Ahkam, Volume 27,
Nomor 1, April 2017.
Azra, Azyumardi, 1994, Jaringan Ulama Timur Tengah:
Bandung: Mizan
______________, 1999, Islam Reformis Dinamika Intelektual
dan Gerakan, Jakarta: Rajawali Pers
Baidhawy, Zakiyudin,tt, Pendidikan Agama Berwawasan
Multikultural, Yogyakarta: Lesfi,
119
Berger, Peter L, 1990, Sacred Canopy, Jakarta: Rajawali
Press

Bharati, Aishorya, Sudharsana Pukan, “A Study on


Educational Relationship with Society, Religion,
Culture”, Psychology and Education Journal,
Volume: 58 (4), 2017
Bouthi, Ramadhan, 2000, Fiqh al-Sirah, Beirut: Darul Kutub
Ilmiyyah
Budiyanto, Mangun, 2008, “Pergulatan Agama dan Budaya:
Pola Hubungan Islam dan Budaya lokal di
Masyarakat Tutup Ngisor Lereng Merapi Magelang
Jawa Tengah”, Jurnal Penelitian Agama, XVII (3),
165.
Darraz, Muhammad, 1952, al-Din, Beirut: Matbaah
Alamiyah.
Dermawan, Andy, 2009, Dialektika Islam dan
Multikulturalisme di Indonesia; Ikhtiar Menguarai Akar
Konflik, Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta
Dzuwaini, Muhammad, 2000, Tarikh al-Tasyri’ al-Islamy,
Kairo: Matba’ah al-Azhar
Endaswara, Suwardi, 2006, Mistik Kejawen; Sinkretisme,
Simbolisme, dan Sufisme dalam Budaya Spiritual Jawa,
Yogyakarta: Narasi
Fauziyah, Siti, “Kiprah Sunan Gunung Jati Dalam
Membangun Kekuatan Politik Islam di Jawa Barat
Jurnal Tsaqafah, Volume 13, No 1, 2015

Geertz, Clifford, 2014, Agama Jawa, Jakarta: Komunitas


Bambu

120
Glock, C.Y dan R. Stark, 1992, Dimensi-dimensi Keberagamaan,
Jakarta: Rajawali Press
Hakim, Didik Lutfi, “Monotheisme Radikal”, Jurnal
Teologia, Volume 25, No 2, 2014
Harahap, Iqbal Ibrahim, 2014, Bapak Semua Agama; dalam
Pengantar, Tangerang: Lentera Hati
Hadiwijono, Harun, 1983, Konsepsi tentang Manusia dalam
kebatinan Jawa, Jakarta: Sinar Harapan.
Hamid, Yusuf, 2000, Al Maqashid al-Ammah, Kairo: Darul
Hadis
Hatmansyah, “Strategi dan Metode Dakwah Walisongo”,
Jurnal Hiwar, Volume 3 No 5, 2015
Ismail, Faisal, 1998, Sejarah dan Kebudayaan Islam dari Zaman
Permulaan Hingga Zaman Khulafaurasyidin, Yogyakarta:
Bina Usaha
Ismail, Muhammad Bakar, 2016, al-Fiqh al-Islamy, Kairo:
Darul Manar
_____________________, 2010, Al-Islam wa al-Syariah,
Kairo: Darul Manar
Karim, Khalil ‘Abdul, 1990, al-Judzuru al-Tarikhiyyah li al-
Syari’ah al-Islamiyyah, Kairo: Sina
Khalaf, Abdul Wahab, 2007, Ushul al-Fiqh al-Islamy,
Kairo: Darul Manar
Khudhari, Muhammad Bik, 2011, Mukhadharah Tarih al-
Umam al-Islamiyah, Beirut: Dar Qalam
Koentjaraningrat, Pembitjaraan Buku Clifford Geertz, The
Religion of Java , Madjalah Ilmu Sastera Volume 1,
1974.
Madjid, Nurcholish Al-Quds, 1996, Yerusalem: Tanah
Kelahiran Para Nabi, dalam Muhammad Wahyuni
121
Nafis (ed), Rekonstruksi dan Renungan, Religius
Islam, Jakarta: Paramadina
Maliky, Maman A, 2005, Sejarah Kebudayaan Islam,
Yogyakarta: Pokja Akademik
Manullang, Sardjana Orba, “Understanding of Modern
Society Perception on Sociology of Islamic Law in
Indonesia”, International Journal of Humanities,
Literature, and Arts, 2020
Marranci, Gabrielle, 2020, The Anthropology of Islam,
London: Routlede
Niels, Mulder, 2001, Mistisisme Jawa, Yogyakarta: LKiS,
Philips, Abu A, 2005, Asal-usul dan Perkembangan Fiqh:
Analisis Historis atas Madzhab, Doktrin, dan Kontribusi ,
M. Fauzi Arifin penj., Bandung: Nusa media dan
Nuansa
Rahman, Budi Munawar, 1995, Kontekstualisasi Doktrin Islam
dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina
Rochanah, 2014, Dinamika Pemikiran dan Peradaban Islam
Masa Khulafaur Rasyidin, Yogyakarta: Qaulun
Pustaka
Roland Barthes, 1972, Mythologies, New York, Hill and
Wang Publisher
Sabiq, Sayyid, 1986, ‘Aqidah al-Islam, Bandung: Diponegoro
Simuh, 1995, Sufisme Jawa, Yogyakarta: Lesfi
Sodikin, Ali, dkk, 2009, Sejarah Peradaban Islam Dari Masa
Klasik Hingga Modern, Lesfi: Yogyakarta
Sirry, Mun’im A, 2010, Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar,
Risalah Gusti:Surabaya

122
Suparlan, Supardi, 2000, Agama dalam Teori Sosial,
Bandung: Cakrawala
_______________, Menuju Masyarakat Indonesia yang
Multikultural Tauhid sebagai Esensi Ajaran Islam Al-
Munzir Vol. 7, No. 2, November 2014
Suryanegara, A Mansur, 1995, Menemukan Sejarah Wacana
Pergerakan Islam di Indonesia, Bandung: Mizan
Sutardi, Tedi, 2007, Mengungkap Keberagaman Budaya,
Bandung: PT Setia Purna Inves
Wahid, Abdurrahman, 2006, Islamku, Islam Anda ,Islam Kita:
Agama Masyarakat Negara Demokrasi, Jakarta: The
Wahid Institute
Zuhayli, Muhamad, tt. Wadlifat al-Din fi al-Hayat wa hajat al-
Nas ilaihi, Libya: Jam’iyyah Dakwah Islamiyah

Tuhan tidak perlu dibela


Al wajiz

123

Anda mungkin juga menyukai