Fakhrudin Aziz
992010001407000
Halaman Awal 1
Daftar Isi 2
Kata Pengantar 4
Bab I
Hukum Islam Transformatif 23
Tauhid dan Ideologi Transformatif 23
“Islam” dan “Al-Islam” 27
Islam Agama Wahyu 32
Dinamika Hukum Islam 38
Bab II
Hukum Islam Domestikatif Di Jawa 55
Kebudayaan Jawa Dari Masa Ke Masa 55
Islam Kejawen; Agama Genuine Masyarakat Jawa 60
Mitologi Kejawen dan Konstruksi Hukum Islam 64
Bab III
Walisongo dan Nahdlatul Ulama (NU)
dalam Domestikasi Hukum Islam Di Jawa 71
Walisongo dan Transformasi Dakwah Kultural 72
Dakwah Walisongo: Dari Akulturasi Menuju
Domestikasi 74
Nahdlatul Ulama dan Misi Dakwah Kultural 86
2
NU, Identitas Islam Jawa, dan Budaya Progresif 88
Pesantren; Pioner Dakwah Akulturatif 98
Bab IV
Domestikasi dan Konstruksi Hukum
Islam Enkulturatif 103
Domestikasi Hukum Islam dan Enkulturasi 103
Domestikasi dan Hukum Islam Berkeadilan 106
Domestikasi Hukum Islam Pada Tradisi Selametan 114
Referensi 119
3
KATA PENGANTAR
4
PROLOG
5
Adapun terma “Hukum Islam” dimaknai sebagai
tatanan kehidupan yang diekstraksi dari ajaran Islam,
diekspresikan, dan diinterpretasikan oleh seseorang sebagai
manifestasi ketaatannya kepada ajaran Islam. Hukum Islam
merupakan proses metamorfosa, dari Islam (al-Islam)
menjadi Pemikiran Keislaman (al-Fikr al-Islamy). Jika “al-
Islam” bersifat universal, maka “al-Fikr al-Islamy” bersifat
lokal. Lokalitas di sini tidak berarti mengabaikan
universalitas Islam itu sendiri, melainkan itu sebagai bentuk
manifestasi keislaman yang terbuka terhadap dinamika
sosial kemasyarakatan.
Berdasarkan uraian di atas, maka Domestikasi
Hukum Islam diatribusikan kepada proses manifestasi
terhadap ajaran Islam dengan cara mengitegrasikan dan
menginternalisasikan ajaran Islam dengan budaya
masyarakat. Hasilnya, terciptalah Hukum Islam dengan
formula baru yang disepakati oleh masyarakat (social
consensus).
11
3. Dimensi Pengalaman. Dimensi ini berkaitan dengan
pengalaman, baik yang bersifat personal atau
komunal. Dimensi ini diatribusikan pada
pengalaman dan sensasi dalam memeluk agama.
Dengan kata lain, keyakinannya terhadap kekuatan
supernatural, melahirkan berbagai sensasi batiniah
sehingga para pemeluk agama berkesimpulan bahwa
itu hanya didapat ketika meyakini suatu agama.
Fakta ini tak terbantahkan meskipun tidak selalu
dapat dijelaskan secara verbal.
4. Dimensi Pengetahuan. Dimensi ini berkaitan dengan
sejumlah ilmu pengetahuan yang harus diketahui
oleh pemeluk agama. Pengetahuan itu meliputi
dasar keyakinan, ritus, kitab suci dan tradisi. Ini
menjadi bagian mendasar di dalam beragama karena
agama memberikan konsekuensi logis agar
seseorang mentaati perintah agama. Hal itu bisa
dilakukan ketika ia memiliki pengetahuan yang
memadai.
5. Dimensi konsekuensi. Dimensi konsekuensi
diatribusikan pada efek yang timbul dari sikap
komitmen kepada agama. Ketaatan dan
pembangkangan terhadap tatanan agama, memiliki
konsekuensi yang berbeda.
ا ا
الرِْ ُد م ان الغي ۚ ف امن ايك ُفر اَل إِكِ ار ااه في الدينِ ۖ اَد اَ اَ نَّ اَ ش
ا ا ن اا ُ ن
بالطاغوت او ُي ِؤمن بالله فقد اس اتم اس اك بال ُعر اوة ال ُوثِق ٰى َل
ن ا ا
ِص اام ل اِها ۗ اِوالل ُِه اسميعِ اعليمِ انف
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);
sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.
Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman
kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul
tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 256).
1
Secara berurutan, Zuhayli (tt: 83-84) mengemukakan empat unsur di
dalam agama yang sekaligus membedakan dengan kepercayaan, bahwa
agama bersumber dari Allah Swt (QS. Ali Imran: 19), ditransmisikan ke
dalam pewahyuan (QS. Al-Mutaffifin: 11), dikodifikasikan dalam
bentuk kitab suci (QS. Yusuf: 76), dan ditransformasikan oleh rasul
(QS. Al-Taubah: 33).
14
terjadi bukan karena pengembaraan spiritual, melainkan
bersifat taken for granted di mana agama suatu generasi
biasanya diyakini dan dipeluk karena warisan dari
pendahulunya.
Uraian di atas menjelaskan bahwa agama
merupakan sistem sakral dan suci yang memuat simbol
yang dipedomani oleh manusia dalam menjalani hidup dan
kehidupan. Dari sini dapat dijelaskan bahwa totalitas
menjadi common platform semua agama. Totalitas inilah yang
melahirkan sikap emotif- individualistis terhadap suatu
agama.
Pada perkembangannya, keyakinan individual akan
bermetomorfosa menjadi keyakinan komunal ketika
antarindividu di masyarakat, menyatu dengan dasar
kesamaan keyakinan dan doktrin keagamaan. Menurut
Durkheim, agama dapat mengungkap peran penting agama
cukup signifikan dalam membentuk kesatuan dan integrasi
di dalam masyarakat. Dengan menganut agama, maka
antarindividu yang memiliki kesamaan keyakinan,
berkeinginan untuk melakukan pengelompokan sosial di
masyarakat.
Berger (1991: 3-5) memberikan ulasan yang bagus
tentang fenomena ini. Menurutnya, terbentuknya
masyarakat adalah melalui proses dialektis antarindividu.
Ada tiga proses dialektik fundamental di masyarakat;
Pertama, eksternalisasi berhubungan dengan pencurahan
individu untuk menegaskan kediriannya. Pada konteks
agama, individu beragama akan terus mengeksplorasi
keyakinannya terhadap suatu agama; Kedua, obyektifikasi.
Ketika pencurahan itu terjadi secara terus menerus, ia akan
15
menjadi sub generis di dalam masyarakat di mana ia akan
bergabung dengan individu lain yang memiliki tipe
pencurahan dan obyek eksplorasi yang sama. Di sini
individu mulai bergabung dengan individu lain dan
membentuk suatu komunitas masyarakat; Ketiga,
internalisasi, di mana individu telah bermatomorfosa menjadi
masyarakat dengan mengusung ideologi tertentu dengan
mempresentasikan sejumlah symbol yang menjadi kekhasan
kelompoknya.
Pengelompokan di dalam masyarakat atas dasar
kesamaan agama, bersifat alamiah. Sesuai dengan
kodratnya, individu berkecenderungan untuk mencari
kesamaan dengan orang lain dengan berbagai latarbelakang,
termasuk agama. Pada level ini, dinamika di dalam
masyarakat selalu meniscayakan adanya konflik dan
harmoni. Konflik bisa terjadi ketika terjadi perbedaan
persepsi yang tidak mencapai titik pertemuan. Akibatnya,
gejolak berbasis agama menjadi tidak terelakkan.
Sebaliknya, ketika antarindividu di dalam masyarakat
memiliki kesamaan, baik dari sisi keyakinan maupun
interpretasi, maka harmoni menjadi keniscayaan.
J.P. Williams (1962: 12-13) memberikan uraian yang
baik tentang gradasi di dalam kepemelukan terhadap suatu
agama. Pertama, kerahasiaan, bahwa agama berkaitan erat
dengan keyakinan. Meskipun antarindividu mengalami
pengembaraan spiritual yang berbeda, hal ini tetap kembali
kepada keputusan meyakini agama tertentu; Kedua, privat.
Salah satu karakteristik penting dalam agama adalah
privatisasi keyakinan yang terjadi sebagai dampak dari
keyakinan personal. Pada level ini, terkadang muncul
16
egoisme dan sensitivitas dari pemeluk agama. Yang pertama
berkaitan dengan keyakinannya tentang prinsip kebenaran
yang dianutnya sehingga individu berkecenderungan untuk
bertahan atau bahkan menyerang ketika keyakinannya itu
diganggu oleh orang lain. Dari sini, sensitivitas beragama
mendapatkan ruang persemaian; Ketiga, denominasi. Ketika
individu mengalami kecocokan dengan individu lainnya,
misalnya atas dasar kesamaan keyakinan berikut dengan
doktrinnya, ia akan membuka diri kepada yang lainnya.
Pada level ini, sikap egoistiknya mampu berkompromi
dengan realitas sosial. Satu sama lain berkepentingan untuk
sama-sama menjaga dan bertahan; keempat, komunal. Ketika
denominasi tercapai, maka akan terbentuk komunitas umat
beragama yang saling bersinergi, termasuk dalam pilihan-
pilihan budaya sebagai media untuk mengekpresikan
keberagamaannya.
Keempat poin dalam gradasi beragama di atas,
membuka peluang munculnya berbagai varian budaya
keagamaan yang memberikan warna khas dalam
keberagamaan suatu masyarakat. Hasilnya, corak beragama
menjadi lebih bervariasi. Variasi ini tidak dalam kerangka
merubah tatanan keagamaan yang sudah baku dan menjadi
dogma, melainkan pada pencapaian hal substansial melalui
perangkat formal kebudayaan. Di sinilah agama muncul ke
permukaan sebagai budaya di masyarakat. Bagi Suparlan
(1993: x), hal ini lahir akibat terjadinya kohesifitas di dalam
masyarakat. Mereka tunduk dan patuh kepada sistem agama
untuk menuju titik yang sama; Tuhan.
Kohesifitas dalam beragama, baik dalam skala
mikro maupun makro, memadukan agama dan kebudayaan
17
sehingga menjadi sistem agama yang diyakini dan
disepakati. Dengan kata lain, pola keagamaan merupakan
pilihan di masyarakat yang didasarkan atas kesepakatan-
kesepakatan di dalam masyarakat yang terjadi secara
alamiah. Di sinilah enkultuasi agama mendapatkan ruang
persemaian.
Keyakinan Enkulturatif
Terma “keyakinan enkulturatif” diatribusikan
kepada realitas agama yang menyemai keyakinan yang telah
berakulturasi dan berasimilasi dengan kebudayaan di
masyarakat. Ini menjadi konsekuensi logis ketika agama
diekspresikan di ruang publik dan berdialektika dengan
berbagai jenis kebudayaan. Relasi dialektis ini memuat
berbagai macam unsur ajaran agama dan kebudayaan. Di
sinilah perlunya membedakan antara agama (religion) dan
keberagamaan (religiousity).
Agama dan keberagamaan adalah dua terma yang
berbeda tetapi tidak bisa dipisahkan. Agama berhubungan
dengan sistem dan doktrin yang mengikat dan berisi
petunjuk kehidupan. Adapun keberagamaan berhubungan
dengan ekpresi umat beragama dalam mengekpresikan
keyakinannya dan menginterpretasikan sakralitas dari
keyakinan tersebut. Jika agama bersifat absolut dan
universal, maka beragama memiliki sifat relatif dan
domestikal.
Salah satu dimensi beragama adalah dimensi praktik
keagamaan. Ini berhubungan dengan pemujaan kepada
Tuhan dan ritualitas yang meniscayakan terjadinya
pertarungan antara agama sebagai doktrin (absolut) yang
18
berasal dari Tuhan dengan nilai-nilai budaya (lokal). Agama
menyiapkan konsepsi kepada manusia tentang konstruk
realitas yang tidak hanya didasarkan pada pengetahuan dan
pengamalan empiris, tetapi pada otoritas mutlak (Tuhan).
(Azra, 1999: 229- 230).
Relasi dialektikal antara agama dan ekspresi
keberagamaan dipengaruhi oleh keyakinan pemeluk agama
terhadap nilai-nilai di dalam masyarakat. Artinya, ketika
agama muncul di ruang publik dengan segala sistem
keyakinan yang menyertainya, maka agama dan kebudayaan
suatu masyarakat menjadi sulit terpisahkan. Bedanya, agama
tidak hanya sebatas keyakinan batiniah, melainkan agama
sebagai sistem di masyarakat yang diformulasikan dalam
bentuk perpaduan antara agama dan nilai budaya.
Perpaduan dua unsur ini melahirkan nilai-nilai yang
disakralkan dan bersifat ideologis sehingga agama dan
budaya melahirkan keyakinan enkulturatif.
Budiyanto (2008: 165) memberikan ulasan tentang
pentingnya membaca agama dari berbagai sudut pandang.
Pasalnya, fenomena keberagamaan di masyarakat selalu
diwarnai oleh proses negosiasi dan relasi dialektikal antara
berbagai unsur di dalam masyarakat sehingga fenomena
keagamaan menjadi lebih kompleks. Pada konteks
keindonesiaan, diskursus tentang pertemuan antara Islam
dan animisme, dinamisme, Hindu dan Budha, dalam posisi
yang saling mempengaruhi.
Proses lahirnya keyakinan enkulturatif dapat
digambarkan seperti pada skema di bawah ini:
19
Agama
Keyakinan Supernatural
Individual Komunal
Keyakinan Enkulturatif
21
22
BAB I
HUKUM ISLAM TRANSFORMATIF
25
Ayat di atas menegaskan bahwa realitas sosiologis -
di mana manusia diciptakan dalam keberbedaan- adalah
bagian dari kehendak Allah Swt. Maka semangat ketauhidan
harus dijadikan sebagai basis motivasi untuk membangun
liberasi di mana segala perbedaan, harus ditempatkan
sebagai kekayaan khazanah dalam semua sendi kehidupan,
utamanya dalam beragama.
Perjalanan panjang agama samawi yang dibawa oleh
para nabi dan rasul, diwarnai oleh pasang-surut dan
bongkar-pasang syariat. Salah satu sumber Hukum Islam;
Syar’u Man Qoblana (syariat terdahulu) menjadi bukti bahwa
dinamika syariat samawi adalah realitas yang tak
terbantahkan. Artinya, ketauhidan tak cukup hanya
dijelaskan secara teoritik dan sebatas klaim, tetapi harus
dimanifestasikan dalam kehidupan yang menghormati
perbedaan di tengah masyarakat multikultural. Dengan kata
lain, secara teoritik, ketauhidan sebagai common platform
memberikan legitimasi terhadap munculnya berbagai varian
di dalam ekpresi keagamaan. Hakim (2014: 8) mencatat,
liberasi tauhid pada satu sisi mengikat individu dan
masyarakat untuk tetap patuh terhadap ketuhanan Allah,
dan pada sisi lain memberikan legitimasi pembebasan
individu dan pembebasan sosial.
Pembebasan ini bukan berarti tanpa batas.
Ketauhidan itu sendiri telah mengikat kaum beragama
untuk tunduk dan patuh terhadap tatanan Islam.
pembebasan di sini dimaknai sebagai sikap proporsional
dalam beragama melalui pembebasan diri dari hawa nafsu
Madjid (1985: 216) menekankan, pembebasan itu terletak
26
pada sikap membebaskan diri dari belenggu duniawi
(egoisme).
Uraian ini menjadi basis dalam menciptakan sikap
keberagamaan yang menjunjungtinggi multikulturalisme.
Agama pada satu sisi, mengikat pemeluknya agar konsisten
dengan berbagai aturan yang final (mahdlah), namun pada
sisi lain, agama memberikan ruang kebebasan dalam
mengekspresikan hal-hal lain yang mengarah kepada
penguatan ketauhidan kepada Allah Swt. Maka transformasi
Hukum Islam adalah realitas yang mengukuhkan premis
tersebut.
27
ditransformasikan kepada manusia. Masanya dimulai sejak
diutusnya Nabi Muhammad Saw sebagai nabi dan rasul.
Distingsi dua terma di atas penting untuk dipahami
sebagai upaya untuk membangun karakter beragama yang
multikulturalis. Dengan kata lain, ketentuan Hukum Islam
hari ini, merupakan kelanjutan dari proses panjang
pemberlakuan syariat-syariat agama terdahulu. Itulah
sebabnya, dalam kajian Ushul Fiqh, ada salah satu sumber
Hukum Islam yang dinamakan dengan Syar’u man qoblana;
syariat-syariat yang pernah berlaku pada masa sebelum nabi
Muhammad Saw. Syar’u man qoblana menjadi bukti otentik
bahwa syariat samawi telah melampaui perjalanan yang
cukup panjang.
Fakta sejarah ini menegaskan bahwa telah terjadi
peralihan tongkat estafet kenabian secara gradual dari
masa ke masa. Menurut Arkoun (1996: 120), wahyu Allah
Swt telah sampai kepada pemeluk agama Yahudi, Kristen,
dan Islam melalui nabi dan rasul yang diutus oleh Allah
Swt, seperti nabi Ibrahim As, nabi Musa As, dan nabi
Muhammad Saw. Realitas ini tak terbantahkan meskipun di
akhir periode Madinah, terjadi penolakan atas kerasulan
nabi Muhammad Saw.
Harahap (2014: xiii) mencatat bahwa dalam studi
perbandingan agama (muqaranatul adyan), ketiga agama ini
disebut sebagai Agama Semit, nama lain dari kata Samawi
yang diyakini bersumber dari nabi Ibrahim As sehingga
memunculkan terma semitisme; istilah yang diatribusikan
kepada konsep pentauhidan Allah Swt yang dirumuskan
oleh nabi Ibrahim As.
28
Nabi Ibrahim As dianggap sebagai sosok penting
dalam diskursus ini karena ia mengalami pergulatan cukup
panjang dalam proses mencari Tuhan. Ketika ia mengalami
kebimbangan tentang pencipta alam semesta, nabi Ibrahim
As menganggap bahwa bintang adalah Tuhan. Ketika
bintang itu lenyap dari pandangan, kritisisme nabi Ibrahim
As muncul. Ia menilai, Tuhan tidak mungkin datang dan
pergi. Kebimbangan itu semakin kuat. Akhirnya, ketika nabi
Ibrahim As melihat bulan, ia berfikir bahwa inilah Tuhan
karena ukurannya lebih besar dari bintang. Namun ketika
matahari terbit -yang ditandai dengan lenyapnya bulan, nabi
Ibrahim semakin ragu karena siklus bulan tidak ada bedanya
dengan bintang. Di sinilah nabi Ibrahim As menyimpulkan
bahwa matahari adalah Tuhan. Alasannya, ukurannya lebih
besar dan sinarnya lebih kuat. Namun di sore hari, matahari
lenyap dari pandangannya. Hal ini sebagaimana
digambarkan di dalam firman Allah Swt:
ن ُ ا ا ٰ ا ا ً ا ا اٰ ا ا ا ا ن ا ا ا ا ا ا ا اا
ال َل َ فل نما اج نن اعليه الليل رأى ك ِوكَا ۖ َال هذا ربي ۖ فلما أفل
ا ا ا ا ً ا ا اٰ ا ا ا ا ن ا ا ا ا ا ا اا ا ُ
َال لئ َ فل نما ارأى القمر بازغا َال هذا ربي ۖ فلما أفل.ََّأح شب ْلافل ا
ًا ن اا ا ون نن مِ ان ال اِقومِ ن ااُ ا ا
س اب ِازغةالشم ا فل نما ارأى.ََّالضال ا ِ لم ايهدني اربي ِلك
ا
ال ايا َوم إني ابريء م نما ال اٰه اذا اربي اٰه اذا اأك اب ُر ۖ اِف ال نما اأ اف الت اَ ااَ ا
ُ
َِ ُتشركو ا
“Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia
berkata: "Inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia
berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam". Kemudian
tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku".
29
Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: "Sesungguhnya jika
Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku
termasuk orang yang sesat". Kemudian tatkala ia melihat matahari
terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar". Maka
tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: "Hai kaumku,
sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.”
(QS. An-Naml: 76-78)
Allah
Al-Islam
36
kemasyarakatan. Begitu juga dengan nasakh-mansukh;
proses amandemen terhadap ayat al-Qur’an, baik yang
berkaitan dengan al-Qur’an dengan al-Qur’an, maupun al-
Qur’an dengan sunah.
Kedua, sunah nabi sebagai media penjelas atas hal-
hal teknis yang terkandung di dalam al-Qur’an. Sunah nabi
berada pada posisi kedua setelah al-Qur’an -dalam sumber
Hukum Islam- karena otoritas yang dimiliki oleh nabi
Muhammad Saw. Namun demikian, tidak berarti teks di
dalam sunah, bersifat kaku. Ada sejumlah relasi dialektis
antara sunah dengan dinamika sosial kemasyarakatan,
misalnya ijtihad para sahabat terkait arah kiblat, penentuan
ghanimah, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan
moral-etik (muamalah).
Ketiga, kompleksitas dinamika sosial
kemasyarakatan, memotivasi sejumlah sahabat, tabiin dan
era setelahnya untuk memformulasikan Hukum Islam yang
diekstraksi dari al-Qur’an dan sunah. Dari sini, muncul
sumber-sumber Hukum Islam seperti qaul sahaby, ijma,
qiyas, urf, istihsan, istishab, maslahah mursalah, dan syar’u
man qablana. Sumber-sumber ini merupakan
pengembangan dari substansi teks di kedua sumber utama
tersebut. Hal ini meniscayakan terbukanya ruang
interpretasi yang melahirkan social text sebagai manifestasi
dari written text.
Ketiga argumen ini menunjukkan bahwa Islam
sebagai agama wahyu membuka peluang lahirnya
interpretasi yang turut memperkaya khazanah pemahaman
terhadap Islam.
37
Dinamika Hukum Islam
Dzuwaini (2000: 23) membagi periode Hukum
Islam ke dalam Risalah Kenabian (ashr al-risalah) dan Risalah
Pasca Kenabian (ashru ma ba’d al-risalah). Yang pertama
diatribusikan kepada fenomena Hukum Islam di masa nabi
Muhammad Saw, sementara yang kedua diatribusikan
kepada Hukum Islam pasca meninggalnya nabi Muhammad
Saw.
44
Hukum Islam Masa Kebangkitan (1924 M)
Kejumudan pemikiran Hukum Islam pada masa
sebelumnya, menyadarkan sejumlah kalangan muslim untuk
berbenah. Islam sebagai agama yang telah menyediakan
sejumlah hukum yang komprehensif, tidak sebatas sebagai
kebanggaan. Di sini diperlukan upaya serius dalam mengkaji
kembali Hukum Islam dan mengembangkannya secara
fungsional.
Sirry (1995: 152), menyebutkan, sedikitnya ada
empat pola aliran dalam Hukum Islam pada masa
kebangkitan ini.
1. Modernisme. Kelompok ini mengusung pesan
mendasar bahwa pembaharuan fiqh adalah
keniscayaan. Fiqh yang pernah berkembang di masa
keemasan, dinilai tidak lagi memadai dalam
merespon segala persoalan. Maka diperlukan fiqh
baru yang lebih kontekstual dengan tuntutan masa
modern.
2. Survavilisme. Kelompok ini memiliki semangat
yang sama dengan kelompok modernisme.
Bedanya. Pembaharuan fiqh tidak berarti
mengamandemen rumusan fiqh yang sudah ada.
Fiqh yang sudah ada tidak perlu dihilangkan,
melainkan diperbaharui metodenya sehingga
bersesuaian dengan konteks hari ini.
3. Tradisionalisme. Kelompok ini berpandangan,
bahwa kemunduran umat Islam harus diimbangi
dengan upaya serius untuk kembali kepada al-Quran
dan sunah. Selain itu, perbedaan pendapat yang ada,
hendaknya ditempatkan sebagai rahmat bagi
45
sesama. Hal ini sesuai dengan ungkapan: “ikhtilaf al-
ulama rahmat, wa ikhtilaf al-juhala fitnah – perbedaan
di kalangan para ulama menjadi rahmat. sementara
perbedaan dengan kalangan orang bodoh menjadi
fitnah.”
4. Neo-Survavilisme. Kelompok ini fokus pada respon
Hukum Islam terhadap realita sosial yang terjadi di
masyarakat. Dengan pol aini, Hukum Islam tidak
hanya menjadi “bahasa langit” yang berbicara
idealitas, tetapi harus menjadi “bahasa bumi” yang
vis a vis dengan realitas.
48
Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan,
muncul variasi membaca al-Qur’an di kalangan umat Islam
sebagai konsekuensi kelonggaran yang diberikan nabi
Muhammad Saw kepada kabilah-kabilah Arab dalam
membaca dan menghafalkan al-Qur’an sesuai dengan dialek
mereka. Seiring meluasnya wilayah kekuasaan Islam, variasi
dialek membaca al-Qur’an dinilai mengkhawatirkan karena
dapat merubah makna ayat-ayat al-Qur’an. Kemudian
Utsman bin Affan Ra memutuskan untuk membentuk
panitia (lajnah) yang ketuanya dipercayakan kepada Zaid bin
Tsabit Ra. Tugas utamanya, menyalin mushaf yang
disimpan oleh Hafsah dan menyeragamkan dialeknya sesuai
dengan dialek Quraisy. Zaid bin Tsabit Ra menyalin mushaf
tersebut sebanyak 6 buah. Sesuai instruksi Utsman bin
Affan Ra, salinan mushaf dikirim ke beberapa wilayah
Islam. Adapun naskah mushaf lainnya, dibakar demi
menjaga keotentikan al-Qur’an. Dari sinilah kita mengenal
istilah “Mushaf Usmani”. Salah satu mushaf yang disimpan
oleh Utsman bin Affan Ra diberi nama “Mushaf 34 Al
Imam” (Rochanah, 2014: 33).
Pasca terbunuhnya Utsman bin Affan Ra, tampuk
kekhalifahan dipegang oleh Ali bin Abu Thalib KW.
Program pertama yang dilakukan adalah melakukan reshuffle
para kepala daerah pilihan Utsman bin Affan, reformasi
birokrasi dan sertifikasi tanah-tanah milik negara. Tak
banyak yang bisa dilakukan oleh Ali bin Abu Thalib KW
karena terjadi gejolak internal. Ada dua peperangan yang
membuat posisi Ali cukup sulit. Pertama, perang Jamal yang
membuat Ali bin Abu Thalib KW berperang melawan
sesama muslim, bahkan dengan orang-orang terdekat nabi
49
Muhammad Saw, yaitu Aisyah Ra, Talhah Ra, dan Zubair
Ra. Perang ini dipicu oleh dugaan keterlibatan Ali bin Abu
Thalib KW dalam terbunuhnya Utsman bin Affan Ra.
Selain perang Jamal, Ali bin Abu Thalib kembali
berada dalam posisi sulit; ia harus berperang dengan
Muawiyah yang membuat muslim pada saat itu terpecah
menjadi dua; mereka yang membela Ali bin Abu Thalib Ra
-yang disebut dengan Syiah- dan yang melawan Ali -yang
disebut dengan Khawarij. Tak pelak, Ali harus menghadapi
dua musuh sekaligus; Muawiyah dan Khawarij.
Setelah 30 tahun kepemimpinan Khulafaur
Rasyidin, pemerintahan Islam memasukan era Dinasti
Umayyah yang didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan.
Khudari (2011: 421) mencatat, pendirian dinasti Umayah
didahului dengan pencopotan Hasan bin Ali sebagai
khalifah yang dibaiat sebagai khalifah setelah bapaknya
meninggal pada tahun 41 Hijriyah. Sejak itu kepemimpinan
khilafah sudah pindah ke dinasti Umayah, yang
pemerintahannya berpusat di Syam. Sebagian penulis
sejarah ada yang mengatakan bahwa dinasti Umayah bukan
lagi khilafah, tetapi sudah berubah menjadi “Daulah
Islamiyah”. Di sisi lain ada yang menyebut Muawiyah bin
Abu Sofyan dengan sebutan khalifah dan bahkan panggilan
khalifah itu juga disebut-sebut pada generasi setelah
Muawiyah, misalnya khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Salah satu fenomena penting pada masa pasca
kekhalifahan ini adalah munculnya madzhab sebagai bagian
dari upaya mengkaji hukum yang terkandung di dalam al-
Qur’an dan al-Hadits. Madzhab -sebagai wadah
intelektualitas yang didirikan oleh seorang mujtahid-
50
mendapatkan legitimasi sebagai salah satu pemegang
otoritas yang menghasilkan fatwa-fatwa yang berhubungan
dengan masalah fiqh (masail fiqhiyyah). Sirry (2010: 49)
menyatakan, kemunculan para madzhab ini adalah salah
satu hikmah munculnya pergolakan yang terjadi di kalangan
umat Islam.
Selain madzhab, fenomena penting lainnya adalah
penggunaan rasio dalam mengelaborasi dan mengeksplorasi
Hukum Islam. Salah satu tokohnya adalah Ibrahim bin
Yazid al-Nakha’i, fukaha yang mewarisi fiqh Abu Hanifah.
Akibatnya, muncul banyak pertentangan dari fukaha
lainnya, terutama fukaha Madinah yang kuat konsistensinya
terhadap sunah.
Seiring dengan dinamika situasi zaman, mendorong
berbagai ikhtiar dalam merumuskan Hukum Islam. Ikhtiar
ini menjadi bagian penting dalam mengeksplorasi al-Qur’an
dan hadis sebagai referensi primer. Status Islam sebagai
agama yang relevan melintasi ruang dan waktu, mendorong
segenap umat Islam untuk bertahan dengan mengkreasikan
sejumlah ijtihad. Philips (Ameenah, 2005: 89-119) mencatat,
ada sejumlah madzhab besar yang mewarnai dinamika
Hukum Islam, di antaranya adalah madzhab Hanafi (703-
767 M), madzhab Auza’I (708-774 M), madzhab Maliki
(717-801 M), madzhab Zaidi (700-740 M). madzhab Laitsi
(716-791 M), madzhab Tsauri (719-777 M), madzhab Syafii
(769-820 M), madzhab Hanbali (778-855 M), Madzhab
Dzahiri (815-833 M)
Hemat penulis, terbentuknya madzhab ini bersifat
alamiah. Ketika Islam telah mulai melintasi waktu dan
tempat, ada situasi-situasi yang menuntut perumusan
51
Hukum Islam yang applicable. Ketika Imam Syafii berada di
Irak, beliau mengkodifikasikan fatwa-fatwanya dalam “Qaul
Qadim”. Namun setelah pindah ke Mesir dan melihat ada
banyak perbedaan kondisi sosio-kultural di Irak dan di
Mesir, beliau mengubah beberapa fatwanya dan dituang di
dalam “Qaul Jadid”. Artinya, perubahan di dalam Hukum
Islam adalah bersifat alamiah mengingat Hukum Islam ini
berkaitan erat dengan situasi sosial-kemasyarakatan. Ketika
kondisi sosial-kemasyarakatan antara suatu masyarakat
dengan lainnya berbeda, di sinilah kreasi Hukum Islam
mendapatkan tempat persemaian.
Uraian di atas menjelaskan bahwa transformasi
Hukum Islam adalah keniscayaan. Islam dengan model
seperti yang terjadi pada masa Rasulullah Saw, nyatanya
tidak bertahan pasca beliau meninggal. Pada era sahabat
telah muncul kreasi-kreasi hukum sebagaimana yang
dilakukan oleh keempat pemegang tampuk kekhalifahan.
Begitu juga dengan masa-masa setelahnya. Fakta ini
menunjukkan bahwa Hukum Islam mampu
bertransformasi, baik bentuk dan substansinya.
Hal ini menegaskan bahwa Islam dan Hukum Islam
harus didudukkan pada proporsinya. Islam adalah
penamaan agama yang bersifat universal dan baku (organized
religion). Adapun Hukum Islam adalah sistem regulasi yang
memberikan petunjuk teknis dalam beragama. Meskipun
Hukum Islam ini bersifat relatif dan membuka diri terhadap
perubahan, ada ketentuan-ketentuan yang harus
diperhatikan kebakuannya (qath’i).
Khalaf (2007: 16-17) mendefinisikan qath’I sebagai
sesuatu yang menunjuk makna tertentu sesuai dengan teks
52
dan tidak mengandung kemungkinan takwil serta tidak ada
tempat atau peluang untuk memahami makna lain selain
makna yang ditunjuk oleh teks.
Diskursus tentang qath’i dan zanni menjadi garis
pembatas; manakah wilayah-wilayah yang boleh dirubah
(ijtihad) dan yang tidak boleh dirubah? Ini menjadi bagian
dari konsekuensi agama samawi yang aturannya langsung
dari Allah. Maka diskursus tentang qath’i dan zanni
berkaitan erat dengan al-Qur’an dan hadits ditinjau dari sisi
tsubut dan wurud (konstansi hukum) atau dalalah-nya
(indikasi hukum).
53
54
BAB II
HUKUM ISLAM DOMESTIKATIF DI JAWA
60
Falsafah Ajisaka yang menjadi basis ideologis Kejawen
faktanya memberikan kekhasan pada masyarakat Jawa,
bahwa manusia hidup berdampingan dengan mistik,
geografi, agama, dan budaya. Dari sinilah lahir nilai-nilai
luhur yang dipedomani sebagai falsafah bagi masyarakat
kejawen.
a. Kembali ke Karakter Dasar (Back to Basic)
Salah satu hal mendasar dalam sistem
berfikir Jawa adalah suka pada mitos. Perilakunya
kemudian selalu dikaitkan dengan hal-hal yang tak
kasat mata. Hal ini menyebabkan sistem berfikir
mistis mendominasi pola perilaku masyarakat.
Karena dengan sistem ini, pola-pola hidup
disandarkan pada nasib. Dalam istilah Jawa dikenal
dengan istilah kabegjan (keberutungan). Pada level
ini orang Jawa sampai pada homologi antropokosmik,
bahwa dalam kehidupan, nasib manusia ditentukan
oleh tata manusia dan sekelilingnya.
Nilai dasar sebagaimana disebutkan di atas
dipegangteguh oleh masyarakat Jawa secara ultimate
value, bahwa masyarakat mewarisi tradisi tersebut
secara turun-temurun. Maka dapat dikatakan bahwa
tradisi dan atau budaya hari ini, merupakan
kelanjutan dari tradisi dan budaya sebelumnya. Hal
tersebut dipegangteguh sebagai doktrin. Pada
konteks ini, masyarakat tidak punya keberanian
merubah, apalagi meninggalkannya. Bagi
masyarakat, tradisi dan warisan nenek moyang,
merupakan fakta yang lahir dan dikonstruksi dari
pengalaman terhadap perkara mistik. Salah satu
61
caranya, adalah dengan mengagungkan roh leluhur
karena dianggap membawa kemaslahatan dan
kemudaratan.
Pada catatan Endaswara (2006: 10), dalam
menjalani tradisi, masyarakat Jawa mengacu pada
budaya leluhur (sebagian dari masyarakat menyebut
istilah itu dengan leluwur). Masyarakat berkeyakinan,
leluwur memiliki kekuatan, terutama jika ia dianggap
sebagai wong tuwo, baik secara usia atau ilmu. Karya
seperti Serat Centhini, Mahabarata, Babad Tanah Jawa,
Serat Wedhatama, dan sebagainya, cukup menjadi
bukti betapa karya para leluhur dijadikan sebagai
pijakan penting dalam kehidupan masyarakat Jawa.
Melalui proses olah batin, karya tersebut menjadi
pedoman dalam berkehidupan. Dari sini,
karakteristik khas kejawen mendapatkan persemaian.
Implikasi dari uraian di atas adalah
munculnya kelompok masyarakat kejawen yang
mengintegrasikan aspek agama, animisme,
dinamisme, dan budaya. Dengan kreatifitas inilah
mereka disebut-sebut sebagai kelompok beragama
yang genuine di pulau Jawa. Kelompok kejawen atau
abangan dianggap memiliki sisi relijiusitas tulen karena
unsur-unsurnya lahir dari dari karakter masyarakat
yang fleksibel, akomodatif, dan terbuka terhadap
ideologi yang lain.
Kejawen merupakan jatidiri Jawa. Menurut
Endaswara (2006: 11), tradisi itu berhubungan
dengan beragam perangkat unsur kehidupan sehari-
hari dan selalu berkaitan dengan mistik yang dinilai
62
cukup misterius dengan kompleksitas yang tinggi.
Misalnya, masyarakat Jawa mengenal perhitungan
sebelum sebuah seremonial dilakukan. Itu bukanlah
perhitungan biasa, melainkan didasarkan pada fakta
empirik dalam rentang yang cukup Panjang.
b. Ngelmu Titen
Masyarakat Jawa memiliki sejarah panjang
terkait dengan pengalaman spiritual, termasuk relasi
dengan alam semesta. Pengalaman itu dikonstruksi
sebagai realitas dalam kehidupannya yang diamati
pola dan hasilnya sehingga masyarakat tahu;
seberapa sering hal itu terjadi. Dengan kata lain,
suatu kejadian diamati sebab dan pengaruhnya
sehingga melahirkan asumsi dan proposisi. Inilah
makna dari ngelmu titen yang dalam tradisi
masyarakat kejawen, hal itu lahir dari suatu kejadian
dengan kesamaan proses, pola, dan hasil.
Kedua karakter ini menegaskan bahwa
masyarakat Jawa memiliki apa yang disebut dengan
ilmu dan ngelmu. Dua terma ini memiliki makna yang
tidak sama meskipun akar katanya sama. Ilmu
diatribusikan kepada kebenaran ilmiah berdasarkan
atas sejumlah teori. Sementara ngelmu diatribusikan
kepada pengalaman personal atau komunal yang
dirumuskan sebagai kebenaran. Jika ilmu disebut
juga dengan knowledge, maka ngelmu disebut dengan
gnosis.
Menurut Endraswara (2006: 33) di antara ciri ngelmu;
Pertama, ngelmu bukan berada pada area kerja otak
(rasionalitas) melainkan pada rasa dan pengalaman
63
batiniah; Kedua, misinya adalah nggayuh
kasampurnaning dumadi (mencapai kesempurnaan);
ketiga, wujudnya berupa ungkapan yang terdiri dari
kiasan dan lambang.
Uraian di atas menjelaskan bahwa diskursus tentang
kejawen didasarkan pada pengalaman personal dan
komunal dengan olah rasa dan batin melalui proses
kecerdasan lakuning urip (kecerdasan dalam menjalani
realitas kehidupan). Maka kejawen dikaji melalui
perspektif emik; yang mendalami perilaku
berdasarkan nilai-nilai dasar yang dipegang.
Berdasarkan atas distingsi antara ilmu dan
ngelmu, maka mistik kejawen dapat dikatakan sebagai
manifestasi agama Jawa. Titik sentralnya sama, yaitu
Tuhan. Bedanya, kejawen memiliki dasar berupa
lakuning urip (perjalanan kehidupan), bukan pada
kitab suci sehingga mereka merumuskan polanya
sendiri berdasarkan atas realitas dan pengalaman
hidup yang dijalaninya. Salah satu hal esensial
dalam Agama Jawa adalah pemujaan ruh nenek
moyang yang dianggap memiliki kekuatan
supernatural yang sewaktu-waktu dapat
memberikan pengaruh positif dan pengaruh negatif.
65
Pada proses pengujian mitologi sebagai formal science,
ada beberapa tahapan yang perlu diperhatikan.
a. Tautologi, yaitu proses pendefinisian yang
dilakukan oleh masyarakat dan telah sampai
pada kesepakatan sosial. Kesepakatan di sini
tidak selalu dimaknai sebagai kesepakatan
seluruh masyarakat, namun dimaknai sebagai
kesepakatan yang dilakukan oleh sekelompok
anggota masyarakat. Artinya, selalu ada
kelompok-kelompok yang tidak melakukan
pendefinisian karena hal itu berkaitan dengan
pengalaman dan basis keilmuan yang dimiliki.
Tidak semua orang memiliki pengalaman
batiniah yang sama. Bagi sebagian orang,
mereka memiliki pengalaman batiniah terhadap
adanya mitologi. Namun bagi Sebagian yang
lain, hal itu tidak ada kaitannya dengan
mitologi, melainkan terjadi secara kebetulan.
Selain itu, faktor basis keilmuan juga
memberikan makna penting. Seseorang dengan
tingkat keilmuan yang tinggi, berpeluang
mengalami keraguan atas mitologi itu.
Mengapa? Salah satu naluri manusia adalah
menolak sebuah fenomena sebagai mitologi
karena bertentangan dengan formal science atau
teori-teori yang umum dipakai dalam kajian
ilmu sosial. Hal ini berbeda ketika sebuah
fenomena, dilihat dan diamati oleh sekelompok
orang yang memiliki kompetensi keilmuan yang
berhubungan dengan mitologi, atau mereka
66
yang bahkan sama sekali tidak mendasarkan
setiap fenomena pada formal science.
b. Identifikasi. Jika tautologi memfokuskan
kajiannya pada upaya pendefinisian, maka
identifikasi telah sampai pada upaya mereduksi
makna sebuah fenomena. pada konteks ini,
proses reduksi makna dapat terjadi, misalnya
dengan memberikan makna sesuai dengan
pengalaman batiniahnya bahwa kekuatan magis
pada suatu benda, adalah sebuah realita.
Meskipun tidak selalu dapat dibuktikan secara
ilmiah, namun reduksi itu dapat terjadi karena
kesadaran bahwa mitologi memiliki dimensi
metafisis, bukan fisis. Maka dimensi metafisis
tidak selalu membutuhkan penjelasan naratif
dengan sejumlah teori, melainkan lebih pada
metateori, yaitu keyakinan terhadap terjadinya
suatu fenomena. Proses reduksi makna inilah
mendapatkan persemaian ketika sebuah
fenomena, terjadi dengan kesamaan pola dan
tempo sehingga melahirkan kesimpulan bahwa
mitologi bersifat faktual.
c. Privatisasi Sejarah. Setelah mitologi dikaji
berdasarkan konsep tautologi dan identifikasi,
selanjutnya adalah privatisasi sejarah di mana
masyarakat -sebagai pemilik kebudayaan
memformulasi makna ideologis terhadap
sebuah fenomena. Di sinilah usnur-unsur
ideologis dilekatkan. Implikasinya, masyarakat
67
mulai mengaitkan sebuah obyek dengan unsur-
unsur keyakinan.
Fenomena
Tautologi
Identifikasi
Privatisasi Sejarah
70
BAB III
WALISONGO DAN NAHDLATUL ULAMA (NU)
DALAM DOMESTIKASI HUKUM ISLAM DI JAWA
74
Kekuatan ini menjadi basis motivasi masyarakat
untuk senantiasa melakukan keluhuran di dalam hidupnya,
baik dalam kaitannya dengan Tuhan -yang
dipersonifikasikan ke dalam batu berkekuatan mistik,
misalnya dengan cara memberikan sesajen, maupun kaitannya
dengan sesame makhluk, misalnya dengan berbuat baik,
menjaga tutur lisan, dan sebagainya.
Fakta ini mendorong Walisongo untuk mencari
strategi; bagaimana ajaran Islam yang dibawanya, tidak serta
merta berkonfrontasi dengan sisi teologis yang sudah
mengakar di kalangan mereka. Caranya, Walisongo
melakukan berbagai modifikasi kemasan dakwah dengan
mengintegrasikan unsur agama dan unsur budaya. Dengan
cara ini, motivasi awal yang terbangun di kalangan
masyarakat, bukan mengikuti “agama baru” dan
meninggalkan “agama lama”, melainkan sebagai bentuk
pelestarian budaya. Dakwah Sunan Giri adalah salah satu
contoh, bagaimana pola di atas dipraktikkan oleh
Walisongo. Sunan Giri menciptakan wayang, gending, dan
muik instrumental Jawa yang di dalamnya disisipi pesan-
pesan teologis tentang keesaan Allah Swt. Selain itu,
permainan anak-anak seperti Cublak-cublak Suweng,
Jelungan, Lir-ilir, dan Jamuran.
Selain Sunan Giri, Sunan Kudus dikenal sebagai
salah satu Wali yang mengoptimalkan budaya sebagai media
dakwah. Sunan Kudus menyadari bahwa warga Kudus yang
pada saat itu mayoritas beragama Hindu, melarang
penyembelihan Sapi karena dianggap sebagai kendaraan
para dewa.
75
Selain itu, melakukan penyesuaian bangunan masjid
Menara Kudus dengan arsitektur Hindu dan Budha. Ini
dapat menstimulasi dan memotivasi masyarakat yang
beragama Hindu untuk mau datang meskipun hanya untuk
membasuh tangan, kaki, atau mandi. Pada
perkembangannya, setelah mereka tertarik untuk datang ke
masjid ini, secara gradual mereka diberikan materi tentang
kerukunan dan perdamaian. Bukankah kedua materi ini
menjadi bagian dari Hukum Islam yang telah diektraksi dan
diresepsi di masyarakat.
Salah satu upaya untuk mensyiarkan bulan
Ramadlan, Sunan Kudus membuat tradisi Dandangan
setiap satu tahun sekali menjelang bulan Ramadhan. Inti
dari tradisi ini adalah kegembiraan dengan menghadirkan
sejumlah hiburan. Namun lebih dari itu, Sunan Kudus
berkeinginan untuk melibatkan masyarakat dalam
menyambut bulan Ramadlan.
Uraian di atas menunjukkan bahwa Walisongo
memposisikan diri sebagai “pendatang” yang harus
melakukan penyesuaian-penyesuaian, khususnya di bidang
teologi dan budaya. Tujuannya adalah menciptakan
dialektika agama dan budaya yang dapat diterima oleh
masyarakat. Salah satu karakter masyarakat Jawa adalah
menghormati warisan tradisi nenek moyang. Maka, pilihan
strategi yang menguatkan nilai-nilai dasar budaya
masyarakat, penting untuk dilakukan.
Kedua, sosial-kemasyarakatan. Implikasi sosial bagi
masyarakat beragama adalah keinginan untuk bergabung
dalam suatu komunitas yang memiliki kesamaan visi
teologis. Ini salah satu tantangan berat bagi Walisongo.
76
Bergabungnya para pemeluk animisme, dinamisme, Hindu,
dan Budha menyatukan kekuatan di masyarakat. Pada
kondisi ini, potensi konflik dan harmoni sangat terbuka
lebar.
Harmoni dapat terjadi ketika kepentingan suatu
kelompok dalam mengekspresikan keyakinan teologisnya,
tidak diganggu. Relasi harmoni ini memerlukan kesadaran
kuat bahwa ranah teologis adalah ranah yang sensitif yang
tidak selalu dapat dijelaskan secara verbal. Dengan kata lain,
setiap kelompok akan berjuang di garda terdepan untuk
mengamankan kepentingan teologisnya. Ketika hal itu tidak
bisa dilakukan, maka konflik menjadi tidak terelakkan.
Realitas ini nampaknya disadari oleh Walisongo.
Ketika ranah teologis masyarakat beragama dan
berkepercayaan menjadi ranah sensitif sehingga membentuk
kekuatan yang tidak mudah untuk menerima kehadiran
ajaran Islam yang dibawa oleh Walisongo. Maka sejumlah
cara dipilih oleh Walisongo, yaitu dengan memilih aspek
vital dalam masyarakat. Salah satu contohnya adalah Sunan
Gresik. Ia merupakan wali pertama di Jawa yang berdakwah
dengan berdagang, pengobatan gratis, dan bercocok-tanam.
Ketiga obyek bukanlah tujuan yang utaman, melainkan
sebagai bagian penting dalam proses transformasi Syariat
Islam.
Model dakwah Sunan Gresik juga memiliki
kemiripan dengan model dakwah Sunan Muria. Sunan
Muria mengajarkan tentang cara berdagang, melaut, dan
bercocok tanam. Di sela-sela kegiatan ini, Sunan Muria
menyampaikan ajaran Islam secara persuasif. Tradisi sesajen
berisi aneka menu makanan yang dibuang ke laut, diganti
77
dengan tradisi kenduri yang masih dilestarikan hingga
sekarang.
Selain Sunan Gresik, Sunan Ampel juga memilih
cara cerdas dalam dakwahnya. Ia melakukan pendekatan
kebahasaan dengan cara mengadopsi terminologi-
terminologi Jawa Kuno untuk menjelaskan Syariat Islam. Di
antara terminologi yang dipakai adalah "langgar", "santri",
dan "sembahyang". Ia juga memperkenalkan terminologi
“Moh Limo”, bukan “Molimo”. Jika “Molimo” selama ini
berkonotasi negatif (madat, minum, mabuk, main, dan
medok), maka kata “Moh” berarti: tidak. Artinya, Sunan
Gresik mengajarkan kepada masyarakat agar meninggalkan
lima kemaksiatan.
Salah satu upaya untuk tetap menjaga keteraturan
relasi di dalam masyarakat adalah dengan penguatan
kegiatan sosial. Cara ini dipilih oleh Sunan Drajat dalam
upaya mentransformasikan Syariat Islam. Ajaran Sunan
Drajat dikenal dengan istilah Pepali Pitu atau Tujuh Ajaran
Dasar. Ia menggunakan media seperti seni suluk, wayang,
dan tembang pangkur selama berdakwah. Ketiganya adalah
bagian dari hobi masyarakat pada saat itu. Secara persuasif,
masyarakat dapat menerima Pepali Pitu yang diajarkan oleh
Sunan Drajat.
Sebagaimana Sunan Drajat, Sunan Bonang juga tak
kalah kreatif dalam memilih media berdakwah. Melalui
penyusunan Tembang Tombo Ati yang diadopsi dari Syair
Abu Nawas, Sunan Bonang menyampaikan ajaran Islam
kepada masyarakat. Cara yang mirip juga dipilih oleh Sunan
Kalijaga yang menggunakan wayang kulit dan gog sekaten
78
sebagai media dakwah dan Sunan Gunung Jati melalui
Panca Laku.
Strategi dakwah Walisongo didasari pada kesadaran
kolektif pada saat itu bahwa masyarakat Jawa berada di
bawah pengaruh kuat animisme, dinamisme, Hindu dan
Budha. Fakta ini menuntut Walisongo untuk mencari
strategi efektif dalam mendakwahkan ajaran Islam. Di
antara media yang dilakukan adalah wayang, desain masjid,
dan Gending
Uraian di atas menunjukkan bahwa strategi
perjuangan Walisongo terbilang cerdas. Dengan tanpa
melakukan Gerakan-gerakan konfrontatif dan sporadis,
Islam di Jawa dapat berkembang dengan pesat. Pesan
bahwa dakwah perlu dilakukan dengan bil hikmah -
sebagaimana yang dianjurkan oleh Allah dan termaktub di
dalam al-Qur’an- sukses direalisasikan. Jika dlihat dari sisi
manuver dan capaiannya, dakwah Walisongo berhasil
melahirkan diskursus penting dalam kajian keislaman, yaitu
Formalisasi Islam Jawa sebagai hasil dialektika panjang
antara agama dan budaya sehingga menghasilkan
Domestikasi Islam.
Di antara Strategi dakwah Walisongo adalah sebagai
berikut:
1. Zonasi Obyek Dakwah.
Demi efektifitas capaian dakwah, Walisongo
melakukan program zonasi dengan cara membagi zona
obyek dakwah. Zonasi ini dipilih dengan cara membagi
beberapa wilayah strategis yang memiliki basis massa
dan kekuatan kultural. Menurut Suryanegara (1995:
104), zonasi dakwah Walisongo menggunakan formasi
79
5:3:1. Formasi ini didasarkan pada luasan wilayah dan
kompleksitas dakwah di lapangan.
Hatmansyah (2015: 12) mencatat, Kerajaan
Kediri di kota Kediri dan Kerajaan Majapahit memiliki
pengaruh kuat di masyarakat sehingga perlu ada Wali
yang mampu bergerak cepat dan menempati titik-titik
strategis. Awalnya, Maulana Malik Ibrahim (Sunan
Gresik) menjadi perintis di Jawa Timur. Wilayah
dakwahnya adalah Gresik. Setelah meninggal,
perjuangannya dilanjutkan oleh Sunan Giri yang
menempati posisi di kota yang sama: Gresik.
Sementara Sunan Ampel mengambil posisi di Surabaya
dan Sunan Bonang di daerah Tuban. Adapun wilayah
Sedayu menjadi fokus dakwah Sunan Drajat.
Adapun dakwah Walisongo di wilayah Jawa
Tengah, dalam kendali ketiga wali, yaitu Sunan Kudus,
Sunan Muria, dan Sunan Kalijaga. Sistuasi politik
dakwah di Jawa Tengah, berbeda dengan Jawa Timur.
Jika di Jawa Timur masih ada dua kerajaan besar yang
memiliki pengaruh kuat, di Jawa Tengah, para wali
memfokuskan dirinya pada dakwah kultural di
masyarakat yang masih memegangteguh pengaruh
animisme, dinamisme, Hindu, dab Budha.
Di Jawa Barat, Sunan Gunung Jati memilih domain
politik kekuasaan dalam strategi dakwahnya pasca
diangkat oleh Pangeran Cakrabuana sebagai pemimpin
di wilayah kekuasaan Pakuan Pajajaran. Fauziyah
(2015: 88-89) memberikan catatan bahwa Sunan
Gunung Jati termasuk wali yang multitalenta. Ia
memiliki sejumlah kompetensi yang dengan
80
kompetensinya itu, ia mampu meraih hati masyarakat
di Jawa Barat, khususnya Cirebon. Selain ahli politik, ia
juga ahli pengobatan dan siasat perang. Talenta ini
menjadi modal penting dalam perjuangan dakwahnya.
2. Pendekatan Persuasif.
Walisongo menyadari bahwa dakwah dengan
cara konfrontatif hanya kontraproduktif. Keyakinan
masyarakat terhadap agama dan kepercayaan
sebelumnya, telah mendarahdaging sehingga
diperlukan cara-cara persuasif. Jiwa sosial yang dimiliki
oleh Sunan Muria dan Sunan Drajat dan tembang Lir
Ilir dan Gundul Pacul yang diwariskan oleh Sunan
Kalijaga menjadi bukti bahwa Walisongo dinilai cerdik
dalam meraih hati masyarakat. Strategi yang dipakai,
bukanlah dengan menarasikan ayat dan hadis dengan
penerjemahan yang kasat mata, tetapi dengan
keramahan sikap dan kreatifitas media. Cara ini
menunjukka kejeniusan Walisongo dalam
mengukuhkan Islam sebagai agama yang membawa
rahmat dan kasih bagi semesta.
Walisongo tidak serta merta menggunakan
pendekatan syariat (fiqh) yang mentransformasikan
ajaran Islam secara taken for granted dan justifikatif,
melainkan menggunakan pendekatan sufistik (tasawuf)
yang secara persuasif mempresentasikan nilai
keluhuran di dalam Islam yang merupakan nilai-nilai
universal yang bisa diterima oleh siapapun. Secara
teknis, Walisongo mencermati karakter dasar
masyarakat. Karena pertimbangan inilah, Walisongo
81
harus mampu beradaptasi dengan mereka, termasuk
dalam hal seni berkomunikasi, baik secara lisan
maupun non-lisan (seperti media seni).
3. Internalisasi Ideologi
Pilihan pendekatan persuasif melahirkan
berbagai kreatifitas media dakwah. Media didesain
dengan dua komponen; pertama, artifisial; kedua,
substansial. Dari sisi artifisial, para Walisongo
mencermati terlebih dahulu; tren apa yang sedang
berkembang di masyarakat. Pilihan para Walisongo,
seperti Sunan Gunung Jati memilih jalur politik; Sunan
Drajat memilih pendekatan sosial-ekonomi; Sunan
Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga memilih alat musik
Jawa; Suann Ampel memilih pesantren, didasarkan
pada realitas bahwa dakwah ini disesuaikan dengan tren
masyarakat. Dengan cara ini, capaian dakwah bisa
tercapai secara efektif.
Secara substansial, media ini diintegrasikan dan
internalisasikan dengan hal-hal substansial di dalam
Syariat Islam. Politik diarahkan pada upaya advokasi
masyarakat lemah dan tegaknya keadilan; sosial-
ekonomi diarahkan pada terciptanya kesejahteraan dan
keadilan ekonomi di masyarakat; alat musik Jawa
menjadi media transformasi pesan-pesan Islam melalui
iringan tembang dan syair; pesantren dijadikan sebagai
media pembelajaran bagi kalangan yang membutuhkan.
Pada konteks ini, Walisongo menggencarkan
pribumisasi ajaran Islam yang berselaras dengan nilai-
nilai kultural di masyarakat.
82
4. Diplomasi Kultural
Salah satu kunci keberhasilan dakwah
Walisongo adalah kemampuan berdiplomasi dengan
para tokoh kunci yang menjadi figur di masyarakat. Ini
menjadi faktor penting karena salah satu karakter dasar
masyarakat Jawa adalah manut. Bagi masyarakat, tokoh
masyarakat adalah panutan dalam segala hal, termasuk
dalam hal etika dan beragama. Wajar jika sikap ini
melahirkan fanatsime di kalangan masyarakat.
Cara ini -bagi Walisongo- menjadi modal
penting karena keberhasilan dakwah pada kalangan
grass-root, bukan karena kesadaran dan kemampuan
penerimaan akan ajaran Islam yang notabene baru,
melainkan pada sikap manut kepada orang yang
ditokohkan.
ن ا ا ا
اد ُع إل ٰى اسبيل ارب اك بالِحك امة اواِلوعظةِ ال اح اس انة ۖ او اجادل ُهم بالتي
ا ا ه اي اأح اس ُن ۚ إ نَ ا نب اك ُه او اأع ال ُم بِ امن ا
ض نل اعن اسبيله ۖ او ُه او ِأعل ُم ر
ُ
ِ باِله اتد ا
ين
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa
yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. An-Nahl: 125)
83
Imam Qurtubi memaknai ayat di atas sebagai
petunjuk dakwah. Kata “hikmah” yang secara etimologi
bermakna kebijaksanaan, mengandung pengertian bahwa
dakwah Islam, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan
nilai keadilan. Maka dakwah Islam tak boleh dilakukan
dengan jalur kekerasan atau berkonfrontasi secara radikal
dengan kondisi yang ada dengan segala varian
kebudayaannya. Salah satu bentuknya adalah kemampuan
beradaptasi dan berdialektika dengan tatanan budaya yang
sudah ada atau mapan.
Sistimatika kata “hikmah”, “mauidlah hasanah”,
dan “mujadalah” pada ayat di atas, menjadi rujukan
operasional dalam berdakwah; kata “hikmah” diatribusikan
kepada kebijaksanaan sikap dan kemampuan beradaptasi
dengan masyarakat; kata “mauidloh hasanah”
menitikberatkan pada pilihan materi yang tepat sesuai
dengan situasi dan kondisi masyarakat sebagai obyek
dakwah; kata “mujadalah” diatribusikan pada kemampuan
berdialektika dengan realitas di lapangan, termasuk
rasionalisasi ajaran Islam sebagai ajaran yang universal dan
berselaras dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
Hal ini bersesuaian dengan petunjuk Rasulullah
Saw:
ا ا ا ا إ نَ ا
هللا ارفيق ُيح شب الرف اق اِو ُيعطي اعلى الرفق ما َل ُيعِطي اعلى
ا ا ا
) (رواه مسلم.العنف اوما َل ُيعطي اعلى اما س او ُاه
ُ
“Sesungguhnya Allah Swt Dzat yang Maha lembut, mencintai
kelembutan. Dia (akan) memberikan kepada yang lembut (dengan
sesuatu) yang tidak diberikan kepada yang kasar dan selainnya”
84
ا
ِ)امن ُِيح ار ُِم الرف ُق ُيح ار ُم الخَّ ُر (رواه مسلم
“Barang siapa yang tidak memiliki kelembutan, maka tidak ada
pula kebaikan padanya.”
85
2. Walisongo telah menempuh proses internalisasi
ajaran dan budaya masyarakat Jawa. Hal ini
ditandai dengan upaya mengintegrasikan unsur-
unsur Islam dengan ajaran dan budaya Jawa.
Hal ini menjadi bagian dari upaya
mempromosikan ajaran Islam yang ramah
dengan nilai-nilai universal yang ada di
masyarakat.
3. Walisongo telah melakukan proses domestikasi
Hukum Islam ketika proses demistifikasi dan
internalisasi berhasil diterima oleh masyarakat
luas serta dibakukan sebagai tatanan Hukum
Islam yang disepakati dan diwariskan secara
turun temurun. Fakta ini menunjukkan bahwa
proses domestikasi Hukum Islam menjadi salah
satu cara strategis dalam mendakwahkan ajaran
Islam yang menebarkan rahmat bagi semesta.
Strategi ini perlu diadopsi di tengah maraknya
cara-cara dakwah konfrontatif yang menjadi
tren bagi pendakwah akhir-akhir ini.
88
NU adalah organisasi kemasyarakatan yang secara
concern memberikan pendampingan kepada umat secara
terorganisir. Dalam upaya pengorganisasian ini, ada dua
terma yang selalu melekat pada NU, yaitu jamaah dan
jam’iyyah.
NU sebagai jamaah diatribusikan pada realitas
bahwa pendampingan masyarakat adalah salah satu domain
utama yang dipegangteguh oleh NU bahwa ideologi
masyarakat harus diselamatkan dari pengaruh animisme dan
dinamisme dengan tanpa mengabaikan local wisdom dan
local genious yang sudah diwarisi dari nenek moyang dan
telah dipegang teguh sebagai norma. Sebagaimana diketahui
bahwa jauh sebelum datangnya Islam ke Indonesia,
masyarakat Jawa dinilai sebagai salah satu masyarakat
dengan keragaman budaya, baik budaya kemasyarakatan
maupun budaya keagamaan yang memberikan corak khusus
atau pembeda antara masyarakat Jawa dengan lainnya. Salah
satunya adalah munculnya nama Kejawen.
Hemat penulis, kejawen diatribusikan pada formula
berkehidupan masyarakat Jawa. Filsafat Kejawen didasarkan
pada filsafat kehidupan masyarakat Jawa yang meliputi
tradisi, budaya, seni, sikap, dan ritual yang diformulasikan
sebagai Spiritualitas Jawa. Komponen ini sebagai perpaduan
perpaduan antara kearifan lokal yang muncul secara alamiah
di dalam kehidupan sehari-hari. Secara mendasar,
masyarakat Jawa memformulasikan tatanan berkehidupan
tidak dengan merujuk pada kitab atau regulasi yang
terkodifikasikan. Mereka merumuskan pola dari kecerdasan
lakuning urip; sebuah ungkapan yang memotret tentang
pengalaman berkehidupan yang terjadi secara terus menerus
89
sehingga menjadi kesepakatan sosial (social consensus) dan
disepakati sebagai norma. Pada perkembangannya, terjadi
sinkretisme yang memadukan antara kearifan local dengan
animisme, dinamisme, Hindu, dan Budha. Dari sini muncul
keragaman budaya kegamaan masyarakat Kejawen.
NU melihat realitas ini bukan sebagai ancaman,
melainkan sebagai obyek dakwah. Transformasi doktrin
keagamaan dilakukan oleh segenap tokoh NU dengan cara
persuasive, bukan konfrontatif. Dakwah bil hikmah
menjadi pilihan, bahwa misi utama dalam berdakwah adalah
mengajak masyarakat untuk kembali ke jalan Allah Swt. Di
sinilah domain NU sebagai jamaah mendapatkan
persemaian.
Pada proses dakwah tersebut, beberapa tokoh NU
memandang bahwa strategi dakwah secara kultural, harus
dimenej dengan strategi yang efektif dan bersesuaian
dengan massanya. NU yang semula lahir secara kultural,
merasa perlu untuk membuat struktur yang mengikat dan
bersifat koordinatif. Maka NU bermetamorfosa menjadi
organisasi kemasyarakatan yang memiliki tertib administrasi
dan panduan. Pada level ini, NU tetap sebagai kekuatan
kultural yang dimenej dengan tata keorganisasian agar
dalam perjuangannya, langkah yang diambil lebih sistematis.
Di sinilah NU memegang domainnya sebagai jamiyyah
dengan berpegang teguh pada prinsip dasar; tawasuth,
tawazun, tasamuh, dan i’tidal.
90
1. Tawasuth
Tawasuth secara etimologi bermakna di tengah-
tengah (moderat). Pada perjuangannya, NU tidak ekstrim
ke kanan atau ke kiri. Penggunaan mazhab dalam Hukum
Islam, Tauhid, dan Tasawuf sebagaimana dijelaskan di atas
menunjukkan bahwa NU memberikan perhatian pada
keseimbangan referensi dan literasi. Keluasan khazanah
disinyalir akan mempengaruhi sikap seseorang. Semakin
luas khazanah seseorang, semakin bijak sikap dan
pemikirannya.
Tawasuth lahir dari tradisi pemikiran kyai yang
memiliki tradisi mengaji kepada para ulama yang
keilmuannya dapat dipertanggungjawabkan. Ulama
memiliki konsistensi dalam mengkaji kitab-kitab klasik yang
biasa diajarkan di pesantren.
Tawasuth menjadi visi besar dakwah keislaman
sebagaimana firman Allah Swt:
ُ ً اا ا ا ا ا ا ُ ُن ً ا ا
طا ل ات ُك ُونوا ُْ اه اداء اع الى ن
َالناسِ اِو اي ِكو ا اكم أمة ِوس
ِ وكذلك جعلن
ً ا ُ ا
ِ ِالر ُسو ُل اعليِكم ْه
يدا ن
Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat
pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran
penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia umumnya dan
supaya Allah SWT menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap
dan perbuatan) kamu sekalian. (QS al-Baqarah: 143).
2. Tawazun
Tawazun berarti seimbang, bahwa dalam
melandaskan dalil, NU mengambil keseimbangan antara
dalil yang bersumber dari al-Qur’an dan sunah (dalil naqli)
91
dan dalil yang bersumber dari rasionalitas (dalil aqli). Dalil
Naqli bersifat sakral dan transendental karena datangnya
dari Allah Swt melalui proses pewahyuan. Dalil ini
membedakan dengan kepercayaan yang dogmanya
bersumber dari wangsit. Sebagai dalil yang diturunkan untuk
manusia, maka dalil aqli juga diperlukan. Fungsinya adalah
mengaktualisasikan dalil naqli agar bisa dipahami oleh
masyarakat dan efektif menyelesaikan berbagai fenomena
yang dihadapi oleh manusia. Bukankah Islam -sebagai
agama yang membawa rahmat bagi semesta- harus
diposisikan sebagai piranti pemberi solusi atas seluruh
persoalan manusia. Dengan kata lain, sakralitas dalil naqli
tidak lantas menutup rasionalitas manusia untuk
memahami substansi terdalam dari nash. Sementara dalil
aqli menawarkan pemahaman yang rasional dan sesuai
dengan realitas. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt:
اَ ل اي ُق ا
وم ال اقدِ اأ ِر اسلِ انا ُر ُس ال انا بال اَيِ انات اِو اأ انزلِ انا ام اع ُه ُم الك ات ا
ِ اب اواِلِ اَّز ا
ِاس بالقسط ن
ُ الن
“Sunguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa
bukti kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama
mereka al-kitab dan neraca (penimbang keadilan) supaya manusia
dapat melaksanakan keadilan.” (QS al-Hadid: 25)
3. I’tidal
I’tidal bermakna tegak lurus, bahwa NU akan terus
berkomitmen untuk berjuang demi tegaknya agama Allah
Swt (i’la’ kalimatillah). Historitas berdirinya Nahdlatul
Ulama menunjukkan bahwa apapun dimensinya, NU
92
didirikan dengan mental perjuangan demi tegaknya agama
Allah Swt. Maka apapun situasinya, bagi NU itu tetaplah
sebuah perjuangan. .
Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt:
ا ُ ُ ُ ا
آم ُنوا كونوا َ نوام اََّ لله ْ اه اِداء بالقسط اوَل ِين ا ايا اأ شي اها نالذ ا
ا ُ ُ ا ا ا ا انُ ا ا ُ ا
آَ َو ٍم اعلى أ نَِل تعدلوا اعدلوا ُه او أَ ار ُب ل نلتق اوى ْنِ يجرمنكم
ُ ا
َِ او ناَ ُقوا الل اه إ نَ الل اه اخََّر ب اما تع املو ا
“Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian
menjadi orang-orang yang tegak membela (kebenaran) karena Allah
menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Dan janganlah
kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak
adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada
taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah
Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS al-Maidah: 8)
4. Tasamuh
Secara etimologi, tasamuh bermakna toleransi. NU
menegaskan dirinya sebagai organisasi yang mampu
mengakomodir keragaman budaya keagamaan dan
menghargai perbedaan yang ada. Hal ini sesuai dengan
firman Allah Swt:
ا ا ا ا ا ًن ً ن ن ان ا
ف ُقوَل ل ُه َوَل لينا ل اعل ُه اي اتذك ُر أو ايخش ى
“Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa AS dan Nabi
Harun AS) kepadanya (Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah
lembut dan mudah-mudahan ia ingat dan takut.” (QS. Thaha: 44)
93
Keempat prinsip dasar perjuangan NU ini menjadi
landasan dalam berdakwah yang berkelindan dengan
perjuangan Walisongo dalam mendakwah agama Islam di
tanah Jawa.
Secara operasional, NU memformulasi dakwah
dialogis yang mengkompromikan prinsip syariat dengan
prinsip kejawen yang telah dulu ada. Pada satu sisi, budaya
kejawen berisi keluhuran-keluhuran nilai sangkan paraning
dumadi yang mengakui keberadaan Tuhan yang Maha
Berkehendak sehingga mempengaruhi perilaku
masyarakatnya. Namun pada sisi lain, ada ritual-ritual
sinkretisme yang dipengaruhi oleh animisme, dinamisme,
Hindu, dan Budha.
Realitas ini oleh NU didekati secara persuasive
dengan tidak serta merta melarang secara frontal atas ritual
yang sudah dijalaninya. Secara gradual, masyarakat
dibiarkan tetap menjalani ritualnya dan secara berangsur
disisipi dengan nilai-nilai agama Islam dengan tanpa
menanggalkan budaya. Salah satu contohnya adalah pada
tradisi selametan. Bagi masyarakat kejawen, sesajen adalah
ritual penghambaan kepada Dewa untuk memanjatkan
keselamatan dan kesejahteraan. Pada prosesnya, sejumlah
mantra dibaca dan ragam makanan disajikan, seperti ayam,
bubur, dan menyan. Formula ini menjadi hasil dari
akulturasi antara budaya Jawa dengan animisme,
dinamisme, Hindu, dan Budha yang telah mengakar di
masyarakat Jawa.
Corak budaya adalah potret dan realitas masyarakat.
Maka tak mudah jika ada kekuatan yang hendak
menghilangkan atau mengintervensinya. Di sinilah NU
94
menawarkan pola akulturatif-kompromistis antara budaya
tersebut dengan nilai-nilai Islam. Secara teknis, nilai-nilai
Islam yang substansial diintegrasikan ke dalam ritual
tersebut. Aziz (2019: 43) menguraikan contoh dakwah
akulturatif-kompromostis NU di Bubakan Semarang.
Pertama, Punggahan, merupakan prosesi doa
bersama di akhir bulan Sya’ban. Bagi masyarakat Bubakan –
yang secara umum dikenal oleh masyarakat Jawa, Sya’ban
disebut juga dengan Ruwah; dari kata arwâh, jamak dari kata
rûh (roh). Bagi masyarakat, pada akhir bulan Sya’ban roh
nenek moyang naik ke atas. Momentum ini dimanfaatkan
untuk berdoa agar roh mereka tenang. Ketenangan mereka
berpengaruh terhadap keluarga dan masyarakat sekitar
sehingga memotivasi masyarakat untuk mendatangi musala
atau masjid guna memanjatkan doa. Jika itu tak dilakukan,
akan lahir ketakutan bahwa roh tersebut akan marah
sehingga berdampak kepada ketenangan dan kesejahteraan
masyarakat.
Kedua, Pudunan, berasal dari kata mudun yang
berarti turun. Jika bulan Sya’ban diyakini sebagai
momentum naiknya arwah, maka pudunan -yang dilakukan
pada akhir Ramadhan- diyakini sebagai momentum
turunnya arwah (kembali ke bumi). Pada momen ini,
berbagai doa dipanjatkan dengan motivasi sebagaimana
pada punggahan.
Ketiga, Kabumi yang merupakan akronim dari
“sedekah bumi”. Keyakinan bahwa bumi adalah tempat di
mana manusia hidup berdampingan dengan makhluk tak
kasat mata (ghaib). Maka Kabumi diposisikan sebagai
ikhtiar masyarakat untuk menciptakan ketenangan dan
95
membangun relasi harmoni dengan makhluk tak kasat mata.
Bahkan, di beberapa tempat, pemerintah setempat telah
menjadikan kabumi sebagai pesta rakyat dan agenda rutin.
Awalnya, ketiga seremonial di atas disebut dengan
sesajen, yang bermakna menyajikan berbagai jenis makanan
dengan disertai berbagai ragam doa. Namun dengan
kecerdasan para tokoh NU, acara yang semula bernuansa
sinkretis dapat diformulasi ulang prosesi ritualnya dengan
mengintegrasikan nilai-nilai dan materi keagamaan yang
bersesuaian dengan agama Islam. Jika sebelumnya mereka
membaca sejumlah mantra dan membakar kemenyan,
sekarang prosesi diisi dengan pembacaan tahlil dan
pemberian sedekah.
Uraian di atas menunjukkan bahwa NU menempatkan
dirinya sebagai organisasi yang menjadi sistem nilai dan
berkontribusi terhadap reformulasi budaya local sehingga
melahirkan budaya yang akulturatif-kompromistis yang
diterjemahkan ke dalam beberapa pendekatan:
1. Pendekatan Psikologi
Para tokoh NU sadar bahwa pada masa itu,
mereka berhadapan dengan kelompok masyarakat yang
terbilang mapan. Kemapanan itu sedikitnya bisa dilihat
dari beberapa aspek; pertama, ideologi; kedua, budaya.
Yang pertama berhubungan dengan keyakinan
terhadap Tuhan. Kuatnya pengaruh animisme,
dinamisme, Hindu, dan Budha membentuk pola
keyakinan terhadap Dewa sebagai pengatur semesta.
Dari sini lahir berbagai mitologi-mitologi yang
dipersonifikasikan ke dalam berbagai benda, seperti
pohon besar, macan putih, buaya putih, dan
96
sebagainya. Bagi masyarakat kejawen, berbagai
kemujuran dan musibah, selalu dikaitkan dengan sikap
Dewa.
Ketakutan masyarakat terhadap sikap Dewa,
menjadi basis munculnya berbagai budaya yang
diformulasikan sebagai ketaatan mereka kepada Dewa.
Sesajen -sebagai salah satu budaya yang mengakar di
masyarakat- adalah contoh riil betapa kuatnya ideologi
masyarakat terhadap keberadaan Dewa. Meskipun pada
perkembangannya terjadi pergeseran -dari keyakinan
terhadap Dewa menjadi keyakinan kepada “Tuhan
Lain”, budaya-budaya tersebut tetaplah bertahan.
Realitas ini menuntut segenap tokoh
masyarakat untuk memilih pendekatan psikologi, yaitu
dengan cara berbaur dengan mereka dan tidak secara
sporadis mengenalkan mereka kepada nilai-nilai Islam.
Terlebihm karakter masyarakat Jawa sangat
menghormati warisan nenek moyangnya.
2. Pendekatan Normatif
Pendekatan ini dipilih ketika psikologi
masyarakat Jawa telah mulai terbuka dengan kehadiran
agama Islam. Sebagai bentuk aktualisasi sikap tasamuh
NU adalah memberikan ruang yang cukup kepada
mereka untuk mengekpresikan keyakinannya kepada
sang Hyang, sebagai symbol Tuhan Pengatur Alam.
Meskipun keyakinannya sama, namun para tokoh NU
mencoba mengintegrasikan syariat dan nilai Islam ke
dalam ritual mereka. Jika biasanya mereka menyediakan
sesajen dengan pembacaan mantra, secara gradual
97
mantra diganti dengan pembacaan shalawat dengan
nada dan intonasi yang mirip dengan saat mereka
membaca mantra.
3. Pendekatan budaya
Masyarakat Jawa sangat kental dengan
kehidupannya akan hal mistik. Lebih lagi dengan adat
istiadat dan kebiasaan yang hampir setiap hari
dilakukan oleh orang Jawa selalu sarat dengan unsur
mistisnya. Niels Mulder memaparkan bahwasanya
mistisisme lebih kepada hal kebatinan. Karena di dalam
kebatinan yang dilakukan oleh setiap orang juga
termasuk praktik mistisisme. Praktik kebatinan sendiri
adalah upaya berkomunikasi dengan realitas tertinggi;
sebagai cabang pengetahuan ia mempelajari tempat
manusia di dunia ini dan di semesta.
Aliran kebatinan mengisyaratkan bahwa
manusia memiliki dua sisi; lahir dan batin. Keduanya
memiliki hubungan yang erat karena saling melengkapi.
Aspek batin memberikan bimbingan agar ekspresi lahir
menjadi terkendali. Dengan demikian, maka pranata
sopan santun dan tradisi dapat teraktualisasikan secara
baik dalam pranata agama formal dan perilaku moral
(Mulder, 2001: 40-41).
99
Pesantren menjadi benteng bagi manuver dakwah
kultural yang diusung oleh NU. Ada dua hal penting yang
menguatkan posisi NU sebagai lembaga pendidikan yang
mengafirmasi dakwah kultural dan pelembagaan
domestikasi Hukum Islam. Pesantren didesain untuk
mengakomodasi masyarakat -utamanya kalangan grassroot-
agar mendapatkan pendidikan agama yang memadai. Hidup
di tengah masyarakat Jawa yang multikultural, mendorong
kalangan pesantren untuk ikut andil secara aktif dalam
proses edukasi yang massif. Kurikulum pesantren didesain
dengan komponen materi yang mengakomodir kebutuhan
masyarakat di bidang agama (bahasa, tafsir, dan fiqh)
dengan pola yang sederhana (sorogan). Pesantren
memposisikan dirinya sebagai lembaga yang siap
memberikan solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi
oleh masyarakat. Pada level ini, pesantren melakukan
inovasi dari sisi metodologi dan substansi. Secara
metodologi, pesantren mengukuhkan pendapat keempat
madzhab fiqh sunni yang diantaranya menggunakan urf
sebagai salah satu sumber Hukum Islam. Ini menjadi alat
untuk merespon berbagai tradisi yang berkembang di
masyarakat. Di sini pesantren mendapatkan persemaian
sebagai lembaga yang mampu meresepsi kearifan lokal.
Itulah sebabnya pesantren dinilai sebagai lembaga yang
secara aktif memproduksi hukum -dengan kekayaan literasi-
sehingga dapat memberikan kepastian hukum atas berbagai
persoalan yang berkembang. Dengan kata lain, kekuatan
literasi yang dimiliki oleh para santri di pesantren,
memberikan ruang luas bagi proses modifikasi Hukum
Islam. Pada posisi ini, proses domestifikasi Hukum Islam
100
mendapatkan persemaian. Kajian Hukum Islam adalah
kajian yang terus berkembang sesuai dengan dinamika yang
terjadi di masyarakat. Kuatnya pengaruh Walisongo dan
sanad keilmuan yang bersambung kepada para ulama klasik,
memberikan legitimasi intelektual dan kultural.
101
102
BAB IV
DOMESTIKASI DAN KONSTRUKSI HUKUM
ISLAM ENKULTURATIF
103
dan sebagainya yang menunjukkan kuatnya pengaruh ajaran
dan agama sebelum Islam.
Kondisi faktual ini -dalam diskursus domestikasi
Hukum Islam- diposisikan sebagai modal spiritual dan tidak
dihadap-hadapkan secara konfrontatif dengan Hukum
Islam. Domestikasi Hukum Islam menjunjung prinsip dasar
Islam yang tersistematisasi dalam terma baku seperti “Islam
agama rahmat”, “tidak ada paksaan dalam beragama”,
“agamamu dan agamaku”, dan sebagainya.
Pada awal perjumpaannya, Walisongo melakukan
pendekatan persuasif. Komponen Islam tidak serta merta
melebur dengan pola ritualitas yang sudah ada. Bahkan,
bentuk-bentuk formal keislamaan tidak terlihat secara kasat
mata. Walisongo melakukan penetrasi pada integrasi nilai
universal yang menjadi common platform beragama, seperti
doa, kontemplasi, penghormatan kepada sesama, kesalehan
sosial, dan sebagainya. Akulturasi budaya dipilih dalam
kondisi ini bahwa dikotomi formal keislaman dapat
dibedakan dengan mudah.
Pada perkembangannya, secara gradual nilai-nilai
pada formal keislaman dimunculkan. Secara berurutan,
obyek penetrasi dari domestikasi Hukum Islam
memfokuskan aspek; pertama, kesadaran komunal tentang
kesamaan visi beragama; kedua, kesamaan pada orientasi
keyakinan beragama; ketiga, formalisasi budaya sebagai
instrumen beragama; keempat, enkulturasi budaya
keagamaan; kelima, formalisasi agama.
Secara teoritis, domestikasi Hukum Islam
melakukan integrasi nilai yang bertolak dari kesadaran
komunal bahwa common platform di antara kaum beragama
104
adalah kebutuhan mendasar untuk memeluk agama. Ini
berkaitan dengan keyakinan alam bawah sadar tentang
suatu agama. Terlepas dari adanya perbedaan dari aspek
formal, manusia berkebutuhan untuk untuk mendapatkan
ketenangan dan keselamatan dari segala pengaruh jahat. Di
sinilah keputusan beragama mendapatkan tempat
persemaian. Pada satu sisi, manusia menyadari eksistensi
kekuatan metafisis yang memberikan pengaruh baik dan
buruk. Pada sisi lain, muncul kesadaran kolektif bahwa
aspek-aspek fisik seperti uang, jabatan, kelas sosial, dan
sebagainya tidak menjamin tercapaianya ketenangan batin.
Realitas di atas menjadi pintu masuk domestikasi
Hukum Islam. Secara umum, Marranci (2020: 8)
menyatakan, Hukum Islam tidak diintegrasikan secara
formal, tapi secara nonformal; bukan bentuk yang
diintegrasikan, tetapi substansinya bahwa Islam dengan
agama dan kepercayaan menjadi kebutuhan primer bagi
manusia.
Ciri khas dari agama adalah adanya keyakinan
terhadap kekuatan metafisis. Ini sebagai konsekuensi logis
dan ideologis bagi pemeluk agama dan kepercayaan. Aspek
pertama berhubungan dengan konsekuensi beragama yang
diikat oleh sistem keyakinan. Beragama tidak bebas nilai.
Ada sistem-sistem keyakinan yang mengikat pemeluknya
sehingga tidak ada pilihan kecuali mentaatinya. Adapun
yang kedua berhubungan dengan upaya untuk membangun
komitmen beragama dengan terus memperbaiki kualitas
ibadah sebagai bentuk ketaatannya kepada kekuatan
metafisis.
105
Pada level ini, domestikasi Hukum Islam
diposisikan sebagai penguat sistem keyakinan bahwa tujuan
umat beragama adalah sama; Tuhan. Jika pada aspek
pertama penetrasinya terletak pada kepemelukan agama dan
keyakinan secara formal, pada aspek ini penetrasinya
terletak pada kepentingan memperkuat ideologi agama.
Pilihan untuk memeluk agama dan kepercayaan,
disertai dengan kepentingan untuk mengekspresikan dan
memanifestasikan agama dan kepercayaannya melalui
seperangkat media. Candi, pertapaan, masjid, wihara, pura,
dan sebagainya adalah media yang tak terpisahkan bagi
umat beragama. Keyakinan tidak berhenti pada sikap
batiniah, melainkan disertai dengan komitmen menunaikan
ibadah dengan menggunakan berbagai perangkat atau
media penyerta. Di sinilah domestikasi Hukum Islam
menawarkan pola persuasif dengan melakukan reorientasi
terhadap keyakinan kepada kekuatan metafisis.
106
Kedua premis di atas bertemu pada nilai
universalitas Islam yang memiliki visi besar sebagai agama
yang menjadi rahmat bagi semesta (rahmatan lil alamin). Pada
konteks ini, letak rahmat terletak pada kemampuan untuk
mengintegrasikan misi agama dengan kearifan lokal di suatu
tempat. Dengan kata lain, Domestikasi Hukum Islam
memberikan legitimasi bahwa agama Islam membuka diri
bagi pemeluknya untuk berdialektika dengan pluralitas
masyarakat berikut dengan budayanya.
Domestikasi Hukum Islam memiliki semangat
membumikan nilai-nilai keislaman dan menjadikan budaya
masyarakat sebagai media. Hal ini memberikan pesan
bahwa visi besar agama Islam adalah menciptakan
keteraturan. Hukum Islam dengan segala perangkatnya
merupakan aturan yang bersifat sakral karena bersumber
dari wahyu. Pada sisi ini, maka secara substansi manusia
pada posisi taken for granted bahwa Hukum Islam diposisikan
sebagai aturan dari Allah Swt yang bersifat mengikat. Pada
sisi lain, agama memuat unsur profan ketika pada level
aktualisasinya di mana Hukum Islam akan berdialektika
dengan unsur-unsur alamiah di dalam masyarakat. Ini
adalah bentuk pemahaman terhadap QS. Al-Anbiya’: 107 di
mana misi dakwah Rasulullah Saw adalah menebar rahmat
bagi semesta. Maka transformasi Hukum Islam harus
memperhatikan psikologi masyarakat dan diaktualisasikan
secara gradual.
Uraian di atas bersesuaian dengan tingkatan Islam,
Iman dan Ihsan yang tidak bisa ditukar posisinya.
Manifestasi keislaman seseorang bisa dilihat dari
ketaatannya terhadap instrument-instrumen yang bersifat
107
visual, seperti pengucapan syahadat, penunaian shalat lima
waktu, ketaatan membayar zakat, pelaksanaan puasa di
bulan Ramadlan, dan penuanaian ibadah haji bagi yang
mampu.
Aktualisasi keislaman dapat diaktualisasikan pada
konteks domestikasi Hukum Islam bahwa tahap pertama
dalam berdakwah adalah performa. Di sinilah domestikasi
Hukum Islam mendapatkan ruang persemaian bahwa
formalisasi Hukum Islam melalui perangkat-perangkat
budaya, adalah hal substantif sebagai tahapan awal
membumikan Islam sebagai rahmat bagi semesta.
Setelah Islam, satu tingkat di atasnya adalah iman;
suatu sistem kepercayaan terhadap hal-hal yang bersifat
metafisis. Keimanan terhadap Rukun Iman memberikan
pesan bahwa formalisasi Hukum Islam adalah tangga
menuju pemahaman Islam yang substantif. Artinya,
substansi keagamaan menjadi pengisi tatanan formalistik
yang telah mapan. Ketika praktik keagamaan telah sampai
pada level ini, poin pentingnya adalah bagaimana keimanan
ditempatkan sebagai spirit dalam mengukuhkan aktualisasi
Hukum Islam. Pada bagian ini, maka kemapanan Islam
Jawa yang kental dengan atribut Jawa dengan kekayaan
makna dan filosofi, menjadi modal social yang memadai
bahwa budaya Jawa telah membuat road map menuju aspek
ketuhanan. Di sinilah Hukum Islam memberikan corak
warna; bagaimana visi ketuhanan tersebut dikelola dengan
bingkai Hukum Islam. Peran ini telah dimainkan dengan
sangat rapi oleh Walisongo. Berbagai tradisi lokal di Jawa,
tidak dihilangkan tetapi justru dijadikan sebagai media
dakwa secara persuasif. Hasilnya sangat menggembirakan;
108
bagaimana masyarakat Jawa Abangan berbondong-bondong
memeluk Islam tanpa harus meninggalkan tradisi Jawa yang
telah mengakar di masyarakat.
Kondisi di atas memberikan efek psikis yang
signifikan bahwa agama Islam, bukanlah agama yang
konfrontatif dengan budaya, melainkan justru mengadopsi
budayanya dalam aktualisasi Hukum Islam. Dari sini
muncul Hukum Islam Integratif yang memadukan antara
nilai-nilai keislaman dengan nilai-nilai kebudayaan.
Bukankah pola ini telah lebih dulu dilakukan oleh
Rasulullah Saw ketika mendakwahi kaum kafir di Makkah
yang telah lebih dulu mengenal paganisme. Apakah
Rasulullah Saw serta menolak mengilangkan paganism
tersebut? Jawabannya adalah tidak. Bukankah ayat-ayat
Makkiyah bercorak seruan untuk menciptakan kemapanan
keimanan kepada Allah Swt (tauhid)? Pada ayat Makkiyah,
mereka tidak diberikan beban lebih dalam urusan ibadah.
Setelah aspek keimanan mencapai titik mapan, barulah
Allah Swt menurunkan ayat-ayat Madaniyah yang secara
gradual mengenalkan berbagai ibadah yang harus ditunaikan
seorang muslim.
Kemapanan dalam hal keislaman dan keimanan,
menghantarkan seseorang pada level ihsan; suatu sistem
yang mengedukasi manusia agar meneguhkan posisinya
sebagai agent of change di masyarakat melalui nilai-nilai
keagamaan. Pada sisi ini, manusia tidak lagi disibukkan pada
atribut-atribut yang letterlijk dan bernuansa Arab. Maka
ungkapan “kita sebagai orang Indonesia yang muslim”
disemangati oleh kemampuan membumikan universalitas
nilai-nilai Islam yang bersesuaian dengan lokalitas.
109
Tingkatan Islam, Iman, dan Ihsan menjadi pijakan
penting dalam domestikasi Hukum Islam menuju
terciptanya Hukum Islam yang berkeadilan. Terma ini
mengandung pesan bahwa puncak agama adalah keadilan.
Ketika al-Qur’an secara eksplisit menyatakan pentingnya
berdakwah dengan bahasa kaum sebagaimana disebutkan di
dalam QS. Ibrahim: 14, maka visi dakwah keislaman,
bukanlah mentransformasikan hal-hal formalistik an sich,
melainkan pada hal-hal substantif yang bersifat universal
(keadilan).
Pada QS. Al-Nahl: 125, memberikan framework
tentang hikmah dalam berdakwah. Secara etimologi, kata
“hikmah” berarti kebijaksanaan yang bisa diaktualisasikan
pada beberapa aspek; pertama, materi; kedua, psikologi;
ketiga, ekspektasi.
Aspek materi berhubungan dengan kecerdasan
dalam memilih komponen-komponen dakwah yang
persuasif, bukan konfrontatif. Persuasif tidak dimaknai
dengan sikap lemah dan ikut arus yang ada, melainkan
kecermatan dalam memanfaatkan momentum dan memilih
komponen yang proporsional. Secara teknis, domestikasi
Hukum Islam menawarkan konsep tentang pemilihan jenis
budaya yang dapat diintegrasikan dengan Hukum Islam
dengan batasan-batasan yang tidak bertentangan dengan
nilai ketauhidan yang menjadi basis dari misi transformasi
Hukum Islam.
Domestikasi Hukum Islam akan masuk pada bagian
dari budaya yang membuka ruang integrasi. Ketika
masyarakat melakukan sesajen, maka domestikasi Hukum
Islam akan masuk ke dalam aspek meluruskan niat bahwa
110
tumpuan dari semua permohonan adalah Tuhan, bukan
kepada kekuatan ghaib pada pohon, keris, atau roh nenek
moyang. Jika varian menu makanan hendak disajikan
kepada pohon, keris, dan roh jahat, maka domestikasi
Hukum Islam melakukan reorientasi bahwa sajian makanan
adalah bentuk sedekah kepada yang hadir sesuai dengan
sabda Rasulullah Saw bahwa sedekah dapat menjadi
penangkal bahaya.
Pada aspek psikologi, domestikasi Hukum Islam
berkepentingan untuk mendekati masyarakat secara
persuasif. Bukan materi formal yang dibawa, melainkan
kesamaan visi untuk memperkuat relasi harmoni dengan
Tuhan. Secara psikis, masyarakat Jawa telah meyakini
sepenuhnya bahwa sesajen adalah media yang meneguhkan
relasi harmoni dengan berbagai kekuatan semesta. Pada
bagian ini, domestikasi Hukum Islam ikut serta
meneguhkan misi tersebut bahwa kekuatan Tuhan adalah di
atas segalanya.
Psikologi berhubungan dengan keyakinan atas pola
yang telah dilakukan secara terus menerus dan hasilnya
telah dirasakan. Pada level ini, domestikasi Hukum Islam
ikut meneguhkan bahwa keyakinan dan pengharapan
terhadap Tuhan, akan menyebabkan turunnya rahmat.
Secara teknis, masyarakat Jawa telah akrab dengan
doa dan primbon yang diwarisi secara turun temurun. Pada
bagian ini, domestikasi Hukum Islam tidak dengan serta
merta mengamandemen ritual yang mereka lakukan.
Bukankah doa dan pengharapan bisa diungkapan dengan
bahasa apapun?; bukankah Allah Swt Dzat yang Maha
Mengetahui keinginan hamba-Nya?
111
Aspek terakhir dari pemaknaan kata “hikmah”
adalah ekspektasi. Pada kurun selama 23 tahun dakwah
Rasulullah Saw memberikan pesan mendasar bahwa
gradualitas adalah konsekuensi alamiah dalam berdakwah.
Pada bagian ini, domestikasi Hukum Islam tidak serta merta
melakukan perubahan mendasar pada budaya yang telah
mapan. Terlebih, doktrin animisme, dinamisme, Hindu dan
Budha telah mangakar di dalam masyarakat Jawa. Maka
domestikasi Hukum Islam, bukan merubah pola pikir
keagamaan masyarakat Jawa secara frontal, melainkan pada
proses integrasi nilai keagamaan dan kebudayaan sehingga
melahirkan local genious di masyarakat.
Penulis menilai, kata “hikmah” mengandung pesan
tentang urgensi membangun narasi, literasi, dan resepsi
Hukum Islam yang berkeadilan; Hukum Islam yang
kontekstual dengan kondisi factual di masyarakat. Dengan
pola ini, Islam meneguhkan identitasnya sebagai agama
pamungkas dan penyempurna yang dibawa oleh Rasulullah
Saw. Ini memberikan beberapa konsekuensi logis terhadap
persemaian domestikasi Hukum Islam.
Pertama, Islam sebagai agama samawi terakhir,
memberikan perangkat Hukum Islam yang komprehensif,
universal, dan up to date. Komprehensif dimaknai bahwa al-
Quran dan sunah sebagai sumber primer Hukum Islam,
harus diposisikan sebagai sumber yang hidup, yang dikaji
dan diaktualisasikan sehingga nilai-nilainya bisa
diaktualisasikan kapanpun dan dimanapun. Relevansi al-
Quran dan sunah tidak lekang oleh waktu. Susunan bahasa
dengan tingkat sastra tertinggi yang materinya berasal dari
Allah Swt, harus dijadikan sebagai motivasi bagi umat Islam
112
untuk terus menghidupkan al-Quran dan sunah di dalam
kehidupan. Bukankah Allah Swt telah memberikan ruang
yang sangat memadai bagi orang-orang yang kritis
melakukan kajian. Hal itu diungkapkan dengan redaksi -
misalnya- la’allakum tatafakkarun, la’ayatin liulil albab, dan
seterusnya, sehingga secara substansi, Hukum Islam akan
relevan sepanjang masa.
Kedua, secara empirik, interpretasi dan eksplorasi
Hukum Islam menunjukkan terjadinya domestikasi Hukum
Islam. Elaborasi al-Quran dan sunah yang tertuang dalam
sumber Hukum Islam seperti Istihsan, Maslahah Mursalah,
Qaul Sahabi, menunjukkan bahwa domestikasi Hukum
Islam tidak terbantahkan. Kreasi-kreasi pengembangan
Hukum Islam menjadi sebuah keniscayaan karena teks al-
Quran dan sunah berhenti dengan wafatnya Rasulullah Saw,
sementara fenomena yang dihadapi oleh manusia
berkembang sangat dinamis.
Ketiga, pada aspek “Islam” -sebagai entitas dan
sistem universal, semua pemeluknya tunduk dan patuh.
Sementara pada aspek “fikr Islamy (pemikiran keislaman)”,
terdapat ruang yang sangat memadai untuk
menginterpretasikan “Islam” sesuai dengan kondisi factual
di masyarakat. Dengan kata lain, interpretasi budaya dalam
mengaktualisasikan Hukum Islam adalah sebuah
keniscayaan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
domestikasi Hukum Islam adalah kebutuhan di tengah
kompleksitas kondisi sosio-kultural masyarakat yang
merajut Hukum Islam pada posisi dialektis dengan budaya
113
masyarakat sehingga Islam Rahmatan lil Alamin mendapatkan
ruang persemaian.
Demistifikasi
Domestikasi
118
REFERENSI
Al-Quran al-Karim
Asymawi, Muhammad Sa’id, 1992, Ushulu al-Syari’ah,
Beirut: al-Maktabah al-Syaqafiyyah,
Al-Akkad, Abbas Mahmud, 1998, Ketuhanan Sepenjang
Ajaran Agama-Agama dan Pemikiran Manusia, terj.
A. Hanafi, Jakarta: Bulan Bintang
Ali, Muhammad Daud, 1995, Lembaga-lembaga Islam di
Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Ali, A. Yusuf, 1983, The Holy Qur’an, Translation and
Commentary, Jeddah: Dar al-Qiblah
Al-Khalaf, Saud bin Abdul Aziz, 2004, Dirasat fi al-Adyan al-
Yahudiyyah wa al-Nashraniyyah, Makkah: Maktabah
Adwa Salaf
Arkoun, Mohammad, 1996, Rethinking Islam, Terj. Yudian
W.Asmin, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Asyqar, Umar Sulaiman, 1991. Tarikh fi al-Islam, Amman:
Dar Nafa'is.
Aziz, Fakhrudin, “Formula Pemeliharaan Agama (Ḥifz aL-
Din) pada Masyarakat desa Dermolo Jepara:
Implementasi Maqāṣid al-Sharī’ah dengan
Pendekatan Antropologi”, Al-Ahkam, Volume 27,
Nomor 1, April 2017.
Azra, Azyumardi, 1994, Jaringan Ulama Timur Tengah:
Bandung: Mizan
______________, 1999, Islam Reformis Dinamika Intelektual
dan Gerakan, Jakarta: Rajawali Pers
Baidhawy, Zakiyudin,tt, Pendidikan Agama Berwawasan
Multikultural, Yogyakarta: Lesfi,
119
Berger, Peter L, 1990, Sacred Canopy, Jakarta: Rajawali
Press
120
Glock, C.Y dan R. Stark, 1992, Dimensi-dimensi Keberagamaan,
Jakarta: Rajawali Press
Hakim, Didik Lutfi, “Monotheisme Radikal”, Jurnal
Teologia, Volume 25, No 2, 2014
Harahap, Iqbal Ibrahim, 2014, Bapak Semua Agama; dalam
Pengantar, Tangerang: Lentera Hati
Hadiwijono, Harun, 1983, Konsepsi tentang Manusia dalam
kebatinan Jawa, Jakarta: Sinar Harapan.
Hamid, Yusuf, 2000, Al Maqashid al-Ammah, Kairo: Darul
Hadis
Hatmansyah, “Strategi dan Metode Dakwah Walisongo”,
Jurnal Hiwar, Volume 3 No 5, 2015
Ismail, Faisal, 1998, Sejarah dan Kebudayaan Islam dari Zaman
Permulaan Hingga Zaman Khulafaurasyidin, Yogyakarta:
Bina Usaha
Ismail, Muhammad Bakar, 2016, al-Fiqh al-Islamy, Kairo:
Darul Manar
_____________________, 2010, Al-Islam wa al-Syariah,
Kairo: Darul Manar
Karim, Khalil ‘Abdul, 1990, al-Judzuru al-Tarikhiyyah li al-
Syari’ah al-Islamiyyah, Kairo: Sina
Khalaf, Abdul Wahab, 2007, Ushul al-Fiqh al-Islamy,
Kairo: Darul Manar
Khudhari, Muhammad Bik, 2011, Mukhadharah Tarih al-
Umam al-Islamiyah, Beirut: Dar Qalam
Koentjaraningrat, Pembitjaraan Buku Clifford Geertz, The
Religion of Java , Madjalah Ilmu Sastera Volume 1,
1974.
Madjid, Nurcholish Al-Quds, 1996, Yerusalem: Tanah
Kelahiran Para Nabi, dalam Muhammad Wahyuni
121
Nafis (ed), Rekonstruksi dan Renungan, Religius
Islam, Jakarta: Paramadina
Maliky, Maman A, 2005, Sejarah Kebudayaan Islam,
Yogyakarta: Pokja Akademik
Manullang, Sardjana Orba, “Understanding of Modern
Society Perception on Sociology of Islamic Law in
Indonesia”, International Journal of Humanities,
Literature, and Arts, 2020
Marranci, Gabrielle, 2020, The Anthropology of Islam,
London: Routlede
Niels, Mulder, 2001, Mistisisme Jawa, Yogyakarta: LKiS,
Philips, Abu A, 2005, Asal-usul dan Perkembangan Fiqh:
Analisis Historis atas Madzhab, Doktrin, dan Kontribusi ,
M. Fauzi Arifin penj., Bandung: Nusa media dan
Nuansa
Rahman, Budi Munawar, 1995, Kontekstualisasi Doktrin Islam
dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina
Rochanah, 2014, Dinamika Pemikiran dan Peradaban Islam
Masa Khulafaur Rasyidin, Yogyakarta: Qaulun
Pustaka
Roland Barthes, 1972, Mythologies, New York, Hill and
Wang Publisher
Sabiq, Sayyid, 1986, ‘Aqidah al-Islam, Bandung: Diponegoro
Simuh, 1995, Sufisme Jawa, Yogyakarta: Lesfi
Sodikin, Ali, dkk, 2009, Sejarah Peradaban Islam Dari Masa
Klasik Hingga Modern, Lesfi: Yogyakarta
Sirry, Mun’im A, 2010, Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar,
Risalah Gusti:Surabaya
122
Suparlan, Supardi, 2000, Agama dalam Teori Sosial,
Bandung: Cakrawala
_______________, Menuju Masyarakat Indonesia yang
Multikultural Tauhid sebagai Esensi Ajaran Islam Al-
Munzir Vol. 7, No. 2, November 2014
Suryanegara, A Mansur, 1995, Menemukan Sejarah Wacana
Pergerakan Islam di Indonesia, Bandung: Mizan
Sutardi, Tedi, 2007, Mengungkap Keberagaman Budaya,
Bandung: PT Setia Purna Inves
Wahid, Abdurrahman, 2006, Islamku, Islam Anda ,Islam Kita:
Agama Masyarakat Negara Demokrasi, Jakarta: The
Wahid Institute
Zuhayli, Muhamad, tt. Wadlifat al-Din fi al-Hayat wa hajat al-
Nas ilaihi, Libya: Jam’iyyah Dakwah Islamiyah
123