Anda di halaman 1dari 26

Urgensi Pengembangan Wawasan Multikultural

Di Kalangan Majelis Taklim


Oleh: M. Gazali Rahman, MH.I.

Abstrak
Mengelola kemajemukan bukanlah perkara yang mudah. Di satu sisi, umat
beragama sebagai salah satu komponen bangsa berusaha memelihara identitas dan
memperjuangkan aspirasinya. Pada sisi lain, mereka juga dituntut untuk memberi
andil dalam rangka memelihara kerukunan dan keutuhan bangsa. Dalam kaitan ini
diperlukan kearifan dan kedewasaan di kalangan umat beragama untuk memelihara
keseimbangan antara kepentingan kelompok dan kepentingan nasional. Sehubungan
dengan hal ini pula, diperlukan kebijakan strategis yang dapat menciptakan dan
memelihara kerukunan umat beragama guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang
aman, damai, maju, sejahtera, dan bersatu.
Tulisan ini mencoba mengangkat urgensi dan peran majelis taklim dalam
upaya membangun sikap inklusiv di kalangan umat Islam sendiri. Sebab disadari
bahwa multikulturalisme dalam perspektif agama merupakan salah satu wacana yang
paling menantang terhadap kerangka kesarjanaan dan keilmuan dunia Islam dalam
berbagai perspektifnya dewasa ini. Sekalipun dunia Islam sejak kelahirannya
bersentuhan dengan berbagai tradisi yang multikultural atau heterogen, tetapi
kesadaran akan pentingnya mempertimbangkan realitas multikultural begitu melanda
dunia muslim, di mana setiap orang secara inherent dalam dirinya diberikan kebebasan
meyakini, bertindak dalam kerangka agama berdasar keyakinan masing-masing tanpa
ada paksaan dari siapa pun.
Majelis taklim sebagai bagian terkecil dari kelompok masyarakat agama pada
dasarnya memiliki peran sentral yang dapat menjadi batu loncatan menanamkan nilai-
nilai multikultural di kalangan anggotanya. Sebab, majelis taklim sesungguhnya
merupakan model tersendiri dalam sistem pendidikan masyarakat yang memiliki
karakter khas, independensi, dan terlepas dari polarisasi yang selama ini mengkotak-
kotakkan masyarakat Islam. Wawasan multikultural yang dikembangkan di kalangan
majelis taklim tentunya diharapkan dapat mereduksi eksklusivitas di berbagai dimensi
yang banyak terjadi saat ini, baik dari segi perbedaan agama terhadap mereka yang di
luar majelis taklim, ataupun secara internal dari berbagai aspek kehidupan sosial
seperti perbedaan tingkat kecerdasan, penghasilan, penguasaan teknologi, dan aneka
perbedaan lainnya.

Kata Kunci: Wawasan Multikultural, Majelis Taklim

A. Pendahuluan
Bangunan persaudaraan dan persatuan sesama umat Islam dewasa ini, secara
jujur diakui sampai hari ini, masih riskan dan menyedihkan. Alasannya, banyak di
antara di antara mereka yang masih seiman dan sekeyakinan, justeru saling melakukan
hal-hal yang dapat menyingkap tirai perselisihan, percekcokan, dan permusuhan
antara sesamanya. Tentu saja, timbulnya percekcokan dan ketidakakuran antara
sesama Muslimin itu adalah disebabkan oleh masih sempitnya wawasan mereka
terhadap Islam, selain disebabkan pula oleh lemahnya keimanan.
Manusia sebagai makhluk sosial mempunyai sifat kodrati berupa sifat
ketergantungan, sesuai dengan asal kejadiannya. Sifat ketergantungan manusia kepada
sesamanya menjadi jelas apabila diperhatikan mekanisme hubungan anak dengan
orang tuanya, khususnya kepada ibunya, terutama pada awal perkembangan
kehidupannya. Ketergantungan itu tidak hanya ketika ia berada dalam rahim ibunya,
tetapi juga setelah lahir ia tetap memerlukan alam lingkungannya, demi kelangsungan
hidupnya.
Hal tersebut mengasumsikan adanya kesadaran kolektif yang perlu
dikembangkan dalam wujud simbiosis mutualisme antar sesama manusia dalam relasi
kehidupannya dan di tengah kondisi multikultural yang ada. Majelis Taklim dan peran
da'i/da'iyah menjadi sangat penting dalam kaitan ini, yakni bagaimana agar wawasan
multikultural dapat mengakar dan membumi di Indonesia dan di Gorontalo pula
tentunya.
Pada prinsipnya, hidup manusia adalah pengalaman bersama, bahkan dalam
unsur-unsurnya yang paling individual, merupakan kehidupan bersama. Tingkah laku
dan strukturnya yang asasi, selalu menunjuk kepada pribadi orang lain, atau dengan
kata lain, manusia adalah anak masyarakat. Jadi, keterbukaan dan hidup bersama
dengan orang lain, merupakan sifat hakiki manusia, sebab antara satu dengan lainnya
saling membutuhkan.
Secara falsafi, manusia diciptakan sedemikian rupa sehingga hidup selalu
berkelompok, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Manusia dikenal melalui bangsa
dan sukunya, suatu identitas yang merupakan bagian tak terpisahkan dari keberadaan
hidup bermasyarakat. Jika hubungan ini tidak terjadi dan menyebabkan mereka hidup
menyendiri dan terpisah, maka tidaklah mungkin dapat mengenali mereka satu
persatu. Akibatnya, kehidupan bermasyarakat yang merupakan dasar hubungan antar
manusia, menjadi tidak ada.
Faktor perbedaan sifat, warna kulit dan tubuh, merupakan dasar untuk
mengenali seseorang. Sekiranya semua bersifat, berwarna kulit dan tubuh yang sama,
dan sekiranya mereka tidak diatur oleh berbagai jenis hubungan, maka mereka akan
menjadi seperti produk-produk baku suatu pabrik, semuanya sama, sehingga tidak

2
terbedakan. Hal yang demikian akan menyebabkan ketiadaan kehidupan masyarakat,
yang berdasarkan hubungan dan pertukaran gagasan, kerja dan komoditi.
Perbedaan antar manusia merupakan suatu syarat penting bagi adanya
kehidupan bermasyarakat. Sebab, setiap suku dan etnis yang ada, masing-masing
mempunyai budaya dan tradisi tersendiri. Dengan adanya sikap keterbukaan dan
saling melakukan kontak antara masing-masing suku, selain dapat menambah
khazanah budaya masing-masing, juga dapat mempercepat arus informasi dan laju
perkembangan ilmu pengetahuan.
Alqur’an dalam menuntun anggota masyarakat untuk memperoleh
kebahagiaan hidup yang sempurna, baik di dunia maupun di akhirat, memberikan
penekanan tersendiri pada aspek kehidupan yang diimplementasikan dalam pola
kerukunan di antara anggota masyarakat. Karena itu, sangat beralasan bilamana
tuntunan persatuan itu dibarengi dengan tata cara pelaksanaannya. Hal tersebut tentu
dimaksudkan agar suasana kerukunan dapat tercipta dengan harmonis, langgeng di
tengah-tengah masyarakat yang heterogen, seperti di Indonesia.
Gagasan multikultural bukanlah sesuatu yang ditakuti dan baru, setidaknya ada
empat alasan untuk itu. Pertama, bahwa Islam mengajarkan menghormati dan
mengakui keberadaan orang lain. Kedua, konsep persaudaraan Islam tidak hanya
terbatas pada satu sekte atau golongan saja. Ketiga, dalam pandangan Islam bahwa
nilai tertinggi seorang hamba adalah terletak pada integralitas takwa dan kedekatannya
dengan Tuhan.
Mengenai konsep kerukunan yang dibawa Alqur’an sifatnya mujmal (global),
karenanya penjelasan tentang teknik operasionalnya adalah Sunnah Nabi. Melalui
Sunnah Nabi, operasionalisasi konsep kerukunan dijelaskan kepada masyarakat dalam
bentuk yang lebih kongkret lagi. Dalam kaitan ini, Nabi Muhammad saw. memberikan
analogi berupa hubungan antara satu anggota badan dengan anggota lainnya yang
tidak dapat dipisahkan (HR Muslim dari Nu’man ibn Basyir).
Sejarah menunjukkan bahwa, masyarakat yang dipimpin oleh Nabi
Muhammad Saw di Madinah, terdiri atas berbagai agama, yaitu Islam, Yahudi, dan
Nasrani. Namun, perbedaan agama tersebut tidak menghalangi mereka untuk menjalin
kerukunan bersama. Umat Islam pada saat itu sangat menghargai para penganut agama
lain, sebaliknya pun demikian. Terciptanya kerukunan tersebut, dinafasi oleh ajaran
Alqur’an.

3
Oleh karena itu, untuk menciptakan kerukunan hidup yang harmonis dalam
tatanan kehidupan masyarakat di Indonesia, harus dicerminkan melalui persaudaraan
yang tidak dibatasi oleh perbedaan warna kulit, suku, tempat tinggal, dan agama,
namun diikat dengan tali “persatuan nasional”, adalah pondasi dari bangunan kokoh.
Kehidupan masyarakat heterogen, dengan segala gerak dan aktivitas sosialnya dinafasi
oleh ajaran Alqur’an, akan melahirkan kebahagiaan dan kesentosaan hidup, yang
menjadi dambaan hidup setiap manusia.
Sudah menjadi hukum alam bahwa apabila manusia telah berkumpul dan
berserikat serta terjalin interaksi sosial di antara mereka, maka “riak-riak kecil” akan
senantiasa muncul ke permukaan. Ironisnya, riak-riak kecil tersebut terkadang meluas
dan melebar serta akan merusak persatuan yang telah dibina. Karenanya, setiap
anggota masyarakat harus mampu menghindarkan diri dari perbuatan suka mencela,
suka memperolok-olok sesamanya, suka memberikan gelar-gelar atau panggilan yang
jelek, suka berprasangka buruk dan menghina serta segala macam tindakan yang bisa
mengganggu hubungan silaturrahmi dan merusak kerukunan bersama.
Sekiranya petunjuk-petunjuk yang dibawa oleh Alqur’an mampu ditransfer
dalam bentuk tingkah laku oleh semua warga masyarakat yang ada di Indonesia, dapat
dipastikan bahwa kemelut yang terjadi di berbagai daerah dewasa ini, tidak akan
pernah muncul ke permukaan.

B. Pembahasan

1. Urgensi Pengembangan Wawasan Multikultural


Tidak bisa dipungkiri bahwa gelombang modernisasi dan globalisasi budaya
telah meruntuhkan sekat-sekat kultural, etnik, idiologi dan agama. Mobilitas sosial,
ekonomi, pendidikan, dan politik menciptakan keragaman dalam relasi-relasi
keragaman. Kini, cukup sulit menemukan komunitas-komunitas sosial yang homogen
dan monokultur. Fenomena multikultural sudah menjadi bagian dari imperatif
peradaban manusia. Multikulturalisme melingkupi pluralitas ras,etnik, jender, kelas,
dan agama bahkan sampai pilihan gaya hidup.
Konsep ini setidaknya bertumpu pada dua keyakinan. Pertama, secara sosial
semua kelompok budaya dapat di reperentasikan dan hidup berdampingan bersama
dengan orang lain. Kedua, diskriminasi dan resisme dapat direduksi melalui penetapan
citra positif keragaman etnik dan pengetahuan budaya-budaya lain, Untuk itu

4
wawasan dan gagasan multikulturalisme perlu dikukuhkan dalam segala aspek
kehidupan.1
Dalam kaitan itu, Imam Tolkhah mengemukakan tiga tantangan
multikulturalisme dewasa ini yaitu: Pertama, adanya hegemoni Barat dalam bidang
politik, ekonomi, sosial dan ilmu pengetahuan. Komunitas, terutama negara-negara
berkembang perlu mempelajari sebab-sebab dari dominasi kekuatan Barat dalam
bidang-bidang tersebut dan mengambil langkah-langkah seperlunya untuk
mengatasinya sehingga dapat berdiri sama tegak dengan dunia Barat. Kedua,
esensialisasi budaya. Dalam hal ini multikulturalisme berupaya untuk mencari essensi
budaya sendiri tanpa jatuh ke dalam pandangan yang xenophobia dan etnosentrisme.
Multikulturalisme dapat melahirkan tribalisme yang sempit yang pada akhirnya
merugikan komunitas di dalam era globalisasi. Ketiga, proses globalisasi. Globaliasasi
dapat berupa monokulturalisme karena gelombang dahsyat gobalisasi yang
menggelinding menghancurkan bentuk-bentuk kehidupan bersama dan budaya
tradisional. Memang tidak ada budaya yang statis namun masyarakat yang kehilangan
akar budayanya akan kehilangan tempat berpijak dan akan disapu bersih oleh
gelombang dahsyat globalisasi.2
Bagi Islam, gagasan multikultural bukanlah sesuatu yang ditakuti dan baru,
setidaknya ada empat alasan untuk itu. Pertama, bahwa Islam mengajarkan untuk
menghormati dan mengakui keberadaan orang lain. Kedua, konsep persaudaraan Islam
tidak hanya terbatas pada satu sekte atau golongan saja. Ketiga, dalam pandangan
Islam bahwa nilai tertinggi seorang hamba adalah terletak pada integralitas takwa dan
kedekatannya dengan Tuhan.
Jelasnya bila pengajaran multikultural dapat dilakukan dalam berbagai dimensi
kehidupan yang hasilnya akan melahirkan peradaban yang juga melahirkan toleransi,
demokrasi, kebajikan, tolong menolong, tenggang rasa, keadilan, keindahan,
keharmonisan dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya. Intinya, gagasan dan rancangan
pengembangan wawasan multikultural adalah sebuah keniscayaan dengan catatan

1
Kardinal Julius Darmoatmojo, Pendidikan Multikulturalisme melalui pendekatan Sosiologi
Agama, dalam Buku “ Menggagas Kerukunan Umat beragama Di Indonesia, Jakarta-PPKH, 2002), h.
10.
2
Imam Tholchah MA, Mewaspadai dan Mencegah Konflik antar Umat Bergama (Departemen
agama, 2001), h. 127.

5
bahwa kehadirannya tidak mengaburkan dan atau menciptakan ketidakpastian jati diri
para kelompok yang ada.

2. Urgensi Majelis Taklim


Majelis taklim merupakan institusi pendidikan yang sangat populer di
kalangan masyarakat muslim. Karena itu majelis taklim banyak dibicarakan, ditulis,
bahkan diteliti oleh kalangan akademisi, karena sifatnya yang sangat fenomenal.
Kajian, pembahasan dan tulisan-tulisan tentang majelis taklim mengisyaratkan bahwa
majelis taklim menempati tempat tersendiri di hati umat Islam, bahwa majelis taklim
diharapkan memberikan harapan dan peluang yang sangat potensial untuk membina,
membangun dan memberdayakan umat Islam dalam berbagai aspeknya, khususnya
dalam masalah pengetahuan keagamaan.
Salah satu faktor penting diketahui adalah pengembangan wawasan keagamaan
jamaah. Selama ini masyarakat memahami, ketika mereka sudah melaksanakan rukun
Islam, sudah memperoleh predikat haji, tidak makan makanan yang haram, maka
persoalan agama sudah selesai dan komplit. Ternyata setelah mereka mengikuti
majelis taklim, pemahaman mereka semakin meningkat tentang eksistensi Islam
sebagai agama. Islam tidak hanya terbatas pada masalah pokok saja, tapi jauh lebih
luas mencakup semua aspek kehidupan manusia.
Dari segi pengembangan pengetahuan agama, setidaknya majelis taklim
sebagai institusi pendidikan non formal telah banyak memberikan sumbangsih yang
cukup banyak kepada setiap anggota. Pengajian dan pembelajaran yang dilakukan
sebanyak empat kali dalam satu bulan atau sekali dalam satu minggu dirasakan
mampu untuk menggugah perasaan jamaah, untuk lebih dalam dan lebih giat menggali
pengetahuan keislaman.
Dalam paradigma pendidikan, lingkungan masyarakat sebagai salahsatu
lingkungan pendidikan telah di akui serta memegang peranan yang sangat penting
dalam memberdayakan umat (masyarakat) dalam berbagai aspek, termasuk aspek
kehidupan beragama. Maka tidak heran akhir-akhir ini pendidikan berbasis
masyarakat semakin mendapat perhatian yang besar dari berbagai kalangan
masyarakat, baik pemerintah maupun pakar-pakar pendidikan. Salah satu kegiatan
pendidikan dan kelompok belajar yang berbasis masyarakat dan saat ini sedang

6
tumbuh dan semakin berkembang yakni lembaga pengajian atau pendidikan Islam
yang disebut dengan Majelis Taklim.
Majelis taklim adalah suatu lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh
masyarakat dan dibimbing oleh alim ulama, yang bertujuan membina dan
mengajarkan hubungan antara manusia dengan Allah Swt. dan antara manusia dengan
sesamanya serta manusia dengan lingkungannya serta bertujuan untuk membina
masyarakat yang bertakwa dan beriman kepada Allah Swt.3
Majelis taklim sebagai lembaga pendidikan tertua merupakan kesinambungan
pendidikan yang dilaksanakan oleh Rasulullah. Ketika di Mekah, pendidikan
ditekankan oleh Rasulullah pada bidang iman, sedangkan di Madinah banyak
diarahkan pada bidang muamalah yang merupakan manifestasi iman yang telah
ditanamkan di Mekah.
Sebagai suatu lembaga pendidikan, yakni pendidikan non formal, maka majelis
taklim mempunyai fungsi dan peranan yang sangat penting dalam pembinaan umat.
Hal ini dapat dibayangkan bilamana umat hanya terikat pada pendidikan formal yang
mempunyai waktu terbatas sehingga pengetahuan agama yang mereka terima sangat
minim, sedangkan Islam mengajarkan untuk menuntut ilmu sebanyak-banyaknya,
khususnya ilmu keislaman.
Majelis taklim merupakan lembaga pendidikan Islam non formal dan
merupakan fenomena budaya religius yang tumbuh dan berkembang di tengah
komunitas muslim Indonesia. Majelis taklim ini merupakan institusi pendidikan Islam
non formal, dan sekaligus lembaga dakwah yang memiliki peran strategis dan penting
dalam pengembangan kehidupan beragama bagi masyarakat. Majelis taklim sebagai
institusi pendidikan Islam yang berbasis masyarakat peran strategisnya terutama
terletak dalam mewujudkan learning society, suatu masyarakat yang memiliki tradisi
belajar tanpa dibatasi oleh usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan dapat menjadi
wahana belajar, serta menyampaikan pesan-pesan keagamaan, wadah
mengembangkan silaturrahmi dan berbagai kegiatan kegamaan lainnya, bagi semua
lapisan masyarakat.

3
Departemen Agama, Pedoman Majelis Ta’lim (Jakarta: Proyek Penerangan, Bimbingan dan
Dakwah Khutbah Agama Islam Pusat, 2000), h. 9

7
Urgensi majelis taklim yang demikian itulah, yang menjadi spirit
diintegrasikannya majelis taklim sebagai bagian penting dari Sistem Pendidikan
Nasional, sebagaimana dituangkan dalam Undang-undang RI nomor 20 Bab VI pasal
26 ayat 1 yang menyatakan bahwa pendidikan non formal diperlukan untuk
menambah dan melengkapi pendidikan formal. Bahkan pada ayat 4 secara eksplisit
disebutkan majelis taklim merupakan bagian dari pendidikan non formal. Hal ini
menunjukkan bahwa majelis taklim merupakan bagian penting dari sistem pendidikan
nasional.
Sebagai bagian dari sistem Pendidikan Nasional, majelis taklim melaksanakan
fungsinya pada tataran non formal, yang lebih fleksibel, terbuka, dan merupakan salah
satu solusi yang seharusnya memberikan peluang kepada masyarakat untuk
menambah dan melengkapi pengetahuan yang kurang atau tidak sempat mereka
peroleh pada pendidikan formal, khususnya dalam aspek keagamaan. Kedudukan
majelis taklim yang demikian semakin mendapat dukungan dari masyarakat yang
indikasinya bisa dilihat dengan semakin berkembangnya majelis taklim dari tahun ke
tahun. Sesuai dengan data yang tercatat di Direktorat Pendidikan dengan tingkat
pertumbuhan yang signifikan di kalangan komunitas muslim.
Akan tetapi dalam perjalanannya terjadi hubungan yang tidak linear antara
pertumbuhan dan program (kajian). Dalam realitas yang ada mayoritas majelis taklim
masih sangat primordial, dalam arti ikatan antara masyarakat penggagas majelis
taklim dengan kegiatan (materi) yang dilakukan sangat erat berhubungan. Misalnya
majelis taklim yang dilahirkan ibu-ibu berbeda dengan majelis taklim bapak-bapak
dan seterusnya. Ikatan-ikatan primordial seperti ini pada hakekatnya tidak bisa
dilepaskan dari persoalan kepentingan, baik kepentingan keagamaan, kepentingan
sosial kemasyarakatan, maupun kepentingan kelompok. Bila yang demikian dicoba
ditelusuri tentu akan ditemukan berbagai model dan karakter majelis taklim dan
masing-masing memiliki daya tarik yang perlu untuk diungkapkan. Lebih jauh sekedar
mengungkapkan, dengan ditemukannya masing-masing karakter, bisa diproyeksikan
untuk menemukan model majelis taklim yang ideal di masa mendatang.
Majelis taklim, secara konseptual dapat diartikan sebagai tempat untuk
melaksanakan kegiatan ceramah umum atau pengajian Islam. Kegiatan ini banyak
dilakukan di mesjid, di halaman mesjid atau juga di kantor-kantor, baik kantor

8
pemerintah maupun swasta dan di tempat lain yang dikhususkan untuk itu. Majelis
taklim merupakan institusi pendidikan non formal keagamaan, dimana prinsip
kegiatannya adalah kemandirian dan swadaya masyarakat dari masing-masing
anggotanya.
Kedudukan majelis taklim sebagai pendidikan non formal di Indonesia tidak
perlu diragukan lagi. Dalam Undang-undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003, dinyatakan
dengan jelas pada fasal 26 ayat 1 bahwa pendidikan non formal diperlukan untuk
menambah dan melengkapi pendidikan formal. Bahkan pada ayat 4 secara eksplisit
disebutkan majelis taklim merupakan bagian dari pendidikan non formal. Hal ini
menunjukkan bahwa majelis taklim merupakan bagian penting dan integral dari sistem
pendidikan nasional.
Sebagai institusi pendidikan Islam non formal, majelis taklim dilihat dari
karakteristiknya secara umum adalah lembaga (institusi) yang melaksanakan
pendidikan, atau pengajian agama Islam, memiliki kurikulum, ustaz/guru, jamaah,
metode, materi dan tujuan pembelajaran.4
Sementara itu dalam Ensiklopedi Islam yang diterbitkan oleh Kementerian
Agama RI, ditemukan karakteristik majelis taklim, adalah lembaga pengajian Islam
yang memiliki ciri-ciri tersendiri dilihat dari sudut metode dan buku pegangan yang
digunakan, jamaah, pengajar (ustaz) materi yang diajarkan, sarana dan tujuan.5
Sebagai lembaga dakwah sekaligus wadah pembinaan umat majelis taklim
mempunyai beberapa fungsi diantaranya: 1) wadah untuk menyampaikan pesan-pesan
keagamaan kepada jamaahnya; 2) wadah yang memberi peluang kepada jamaah untuk
tukar menukar pikiran, berbagi pengalaman, dalam masalah keagamaan; 3) wadah
yang dapat membina keakraban di antara sesama jamaahnya; dan 4) sebagai wadah
informasi dan kajian keagamaan serta kerjasama di kalangan umat.6
Kepentingan majelis taklim untuk komunitas muslim tentu tidak diragukan
lagi. Dengan memperhatikan perkembangan dan eksistensi majelis taklim, maka
majelis taklim sebagai lembaga pendidikan non fomal pada masa sekarang ini
mempunyai kedudukan tersendiri dalam mengatur pelaksanaan pendidikan agama
4
Badan Kontak Majelis Ta’lim (BKMT), Laporan Hasil Simposium dan Muktamar V BKMT
(Jakarta, t.p., 2000), h. 120.
5
Departemen Agama, Pedoman …., h. 675.
6
(Rosihan Anwar, 2002; v)

9
dalam rangka dakwah Islamiyah dan merupakan salahsatu alat bagi pelaksanaan
pendidikan seumur hidup (long life education).
Keberadaan majelis taklim khususnya dalam era globalisasi sangat penting,
terutama dalam upaya menangkal dampak negatif dari globalisasi itu sendiri. Tetapi,
untuk menjaga eksistensi majelis taklim itu sendiri, maka ia harus mampu
memanfaatkan dampak positif globalisasi.
Keberadaan majelis taklim menjadi sangat penting karena ia berada di tengah-
tengah masyarakat, dan masyarakat adalah salahsatu dari tiga lingkungan pendidikan.
Kedudukan majelis taklim sebagai lembaga pendidikan non-formal mempunyai fungsi
sebagai berikut:
1) Membina dan mengembangkan agama Islam dalam rangka membentuk masyarakat
yang takwa kepada Allah Swt.
2) Sebagai wadah silaturrahim yang dapat menghidupkan dakwah dan ukhuwah
Islamiah.
3) Sebagai sarana dialog berkesinambungan antara ulama, umara, dan umat.
4) Sebagai media mempunyai gagasan modernisasi yang bermanfaat bagi
pembangunan umat.7
Berdasarkan fungsi-fungsi tersebut, maka majelis taklim yang berada di tengah-
tengah masyarakat harus dipergunakan eksistensinya, sehingga dapat membentengi
masyarakat/umat dari pengaruh-pengaruh negatif utamanya generasi muda dan remaja
yang masih sangat mudah dipengaruhi oleh berbagai hal. Di sinilah keberadaan
majelis taklim sebagai lembaga pendidikan non-formal yang sangat penting, di
samping pendidikan formal. Bila fungsi-fungsi majelis taklim tersebut berjalan
sebagaimana mestinya, maka akan mengalami suatu kehidupan yang penuh
kedamaian.
Dengan kata lain, orientasi wawasan keagamaan jamaah diarahkan pada:
a. Pengajaran dan pengembangan pengetahuan.
b. Penambahan wawasan dalam aspek “penguatan dan mengokohkan akidah”. Dalam
berbagai penyajian materi wawasan penguatan akidah, hampir selalu dilakukan.
Orientasi ini di pilih karena disadari betul oleh para pengurus maupun
ustaz/ustazah, jamaah majelis taklim dalam kehidupan kesehariannya banyak

7
Departemen Agama, Pedoman …., h. 10.

10
bersentuhan dengan kehidupan sosial yang tidak Islam (kurang Islami). Sebagai
muslim minoritas, diperlukan benteng akidah yang kuat untuk tetap dapat menjaga
keimanan lebih baik.
c. Wawasan keagamaan yang dikembangkan selain yang di atas, adalah para ustaz
dan pengurus berusaha memberikan pemahaman tentang keterkaitan antara
pengetahuan agama dengan pengamalannya. Jamaah diberi penyadaran akan
urgensi dan makna pengamalan agama yang di mereka pahami sebelumnya dalam
praktek. Pengetahuan shalat misalnya, hendaknya diaktualisasikan dalam
pengamalan nyata, sehingga diperoleh pribadi muslim yang bersih, jujur,
berakhlak mulia, dan terjalin ukuwah Islamiyah yang kuat.

3. Mewarnai Majelis Taklim dengan Wawasan Multikultural


Setiap tafarruq (perpecahan) merupakan ikhtilaf (perbedaan), namun tidak
setiap ikhtilaf (perbedaan) merupakan tafarruq (perpecahan). Namun setiap ikhtilaf
bisa dan berpotensi untuk berubah menjadi tafarruq atau iftiraq antara lain karena:
a) Faktor pengaruh hawa nafsu, yang memunculkan misalnya ta’ashub (fanatisme)
yang tercela, sikap kultus individu atau tokoh, sikap mutlak-mutlakan atau
menang-menangan dalam berbeda pendapat, dan semacamnya. Faktor pelibatan
hawa nafsu inilah secara umum yang mengubah perbedaan wacana dalam
masalah-masalah furu’ ijtihadiyah yang ditolerir menjadi perselisihan hati yang
tercela.
b) Salah persepsi (salah mempersepsikan masalah, misalnya salah mempersepsikan
masalah furu’ (cabang) sebagai masalah ushul (pokok). Hal ini biasanya terjadi
pada sebagian kalangan umat Islam yang tidak mengakui dan tidak memiliki
fiqhul ikhtilaf. Yang mereka miliki hanyalah fiqhut tafarruq wal iftiraq (fiqih
perpecahan), dimana bagi mereka setiap perbedaan dan perselisihan merupakan
bentuk perpecahan yang tidak mereka tolerir.
c) Tidak menjaga moralitas, akhlak, adab, dan etika dalam berbeda pendapat dan
dalam menyikapi para pemilik atau pengikut madzhab dan pendapat lain.8

8
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat,
(Cet. XI; Bandung: Mizan, 2000), h. 496)

11
Islam adalah agama yang diturunkan Tuhan untuk menjadi rahmat bagi alam
semestanya. Pesan kerahmatan dalam Islam benar-benar tersebar dalam teks-teks
Islam, baik Alqur’an maupun hadis.
Kata “rahman” yang berarti kasih sayang, berikut derivasinya, disebut berulang-
ulang dalam jumlah yang begitu besar, lebih dari 90 ayat dalam Alqur’an. Bahkan, dua
kata rahman dan rahim yang diambil dari kata ‘rahmat’ dan selalu disebut-sebut kaum
Muslim setiap hari adalah nama-nama Tuhan sendiri (asmaul husna). Nabi
Muhammad SAW pernah bersabda, “Sayangilah siapa saja yang ada di muka bumi
niscaya Tuhan menyanyanginya.”
Alqur’an, sumber Islam paling otoritatif, menyebutkan misi kerahmatan ini,
wama> arsalna>ka illa> rahmantan lil’a>lami>n (Aku tidak mengutus Muhammad,
kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta). Ibnu Abbas, ahli tafsir awal, mengatakan
bahwa kerahmatan Allah meliputi orang-orang Mukmin dan orang kafir. Alqur’an
juga menegaskan, rahmat Tuhan meliputi segala hal (QS. al-A’raf/7: 156). Karena itu,
para ahli tafsir sepakat bahwa rahmat Allah mencakup orang-orang Mukmin dan
orang-orang kafir, orang baik (al-birr) dan yang jahat (al-fajir), serta semua makhluk
Allah.
Alqur’an memiliki posisi yang amat vital dan terhormat dalam masyarakat
Muslim di seluruh dunia. Di samping sebagai sumber hukum, pedoman moral,
bimbingan ibadah, dan doktrin keimanan, Alqur’an juga merupakan sumber peradaban
yang bersifat historis dan universal.
Kehadiran sosok Muhammad Rasulullah dan Alqur’an ini telah mengubah
orientasi cara berpikir masyarakat Arab yang kala itu sangat kesukuan menjadi
berpikir kosmopolit. Tradisi dan energi saling berperang antarsuku diubah menjadi
kekuatan, lalu diarahkan untuk membangun peradaban baru yang bersifat kosmopolit,
melewati batas etnis dan wilayah kesukuan mereka.
Karena itu, pusat-pusat peradaban Islam bermunculan di berbagai wilayah di
luar Makkah-Madinah, tempat Alqur’an diwahyukan. Semua ini terjadi karena
kehadiran Alqur’an mampu mengubah pola dan cara berpikir mereka. Pranata dan
wibawa hukum ditegakkan sehingga muncul masyarakat Madinah.
Fungsi kerahmatan ini ditegaskan oleh Nabi Muhammad SAW melalui
sabdanya, innama> bu’istu li utammima maka>rima al-akhla>k (Aku diutus Tuhan

12
hanya untuk menyempurnakan akhlak). Akhlak luhur adalah moral dan nilai-nilai
kemanusiaan, seperti kejujuran, keadilan, menghormati, dan menyayangi orang lain
dan sebagainya. Sementara itu, kekerasan, kesombongan, dan kezaliman adalah
berlawanan dengan akhlakul karimah.
Dalam konteks Islam rahmatan lil ’a>lamin, Islam telah mengatur tata
hubungan menyangkut aspek teologis/ ketuhanan, ritual, sosial, dan kemanusiaan.
Dalam segi teologis, Islam memberi rumusan tegas yang harus diyakini oleh setiap
pemeluknya. Namun, hal ini tidak dapat dijadikan alasan untuk memaksa non-Muslim
memeluk Islam (la> ikra>ha fi> al-di>n). Begitu halnya dalam tataran ritual yang
memang sudah ditentukan operasionalnya dalam Alqur’an dan hadis.
Berkaitan dengan hal ini, Alqur'an terlebih dahulu menegaskan bahwa orang
yang beriman itu bersaudara, dan memerintahkan untuk mengadakan ishlah
(perbaikan hubungan), jika terjadi perselisihan di antara dua orang (kelompok) kaum
muslim. Al-Quran juga memberikan petunjuk tentang bagaimana mempererat
persaudaraan dengan mengemukakan contoh-contoh yang menjadi penyebab
terjadinya keretakan di antara kaum muslimin sebagai digambarkan dalam QS. Al-
Hujurat [49]: 11-12.
‫وم ِم ْن َق ْوٍم َع َسى أَ ْن يَ ُكونُوا َخ ْي ًرا ِم ْن ُه ْم َواَل نِ َساءٌ ِم ْن نِ َس ٍاء َع َسى أَ ْن يَ ُك َّن َخ ْي ًرا ِم ْن ُه َّن َواَل َتل ِْم ُزوا‬ ٌ َ‫ين َء َامنُوا الَ يَ ْس َخ ْر ق‬
ِ َّ
َ ‫يَاأ َُّي َها الذ‬
ِ َّ ِ َ ِ‫ب فَأُولَئ‬ ِ ِ‫اب بِْئس ااِل سم الْ ُفسو ُق ب ْع َد اإْل‬
‫ين َء َامنُوا‬ َ ‫) يَاأ َُّي َها الذ‬١١(‫ك ُه ُم الظَّال ُمو َن‬ ْ ُ‫َم َيت‬
ْ ‫يمان َو َم ْن ل‬ َ َ ُ ُ ْ َ ِ ‫أَْن ُف َس ُك ْم َواَل َتنَ َاب ُزوا بِاأْل َلْ َق‬
‫َح َم أ َِخ ِيه َم ْيتًا‬
ْ ‫َح ُد ُك ْم أَ ْن يَأْ ُك َل ل‬
َ‫بأ‬ ُّ ‫ضا أَيُ ِح‬
ً ‫ض ُك ْم َب ْع‬
ُ ‫ب َب ْع‬ ْ َ‫سوا َواَل َي ْغت‬
ُ‫س‬ َّ ‫ض الظَّ ِّن إِثْ ٌم َواَل تَ َج‬ ِ
َ ‫اجتَنِبُوا َكثِ ًيرا م َن الظَّ ِّن إِ َّن َب ْع‬ ْ
ِ
‫يم‬
ٌ ‫اب َرح‬ ٌ ‫فَ َك ِر ْهتُ ُموه َو َّات ُقوا اللَّهَ إِ َّن اللَّهَ َت َّو‬
ُWahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum (pria) mengolok-olok
kaum yang lain, karena boleh jadi mereka (yang diolok-olok) itu lebih baik
daripada (yang mengolok-olok); dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok)
wanita-wanita lain, karena boleh jadi wanita-wanita yang diperolok-olok lebih
baik dari mereka (yang memperolok-olokan), dan janganlah kamu mencela
dirimu sendiri, dan janganlah kamu saling memanggil dengan gelar yang jelek.
Seburuk-buruk panggilan adalah (sebutan) yang buruk sesudah iman. Barang
siapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Wahai orang-
orang yang beriman jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya
sebagian prasangka itu buruk adalah dosa, janganlah kamu mencari-cari
kesalahan orang lain, dan janganlah kamu menggunjing sebagian yang
lain.Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang
sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.

13
Ayat tersebut memberikan penjelasan mengenai hal-hal yang harus dilakukan
untuk mendapatkan hubungan persaudaraan, yaitu:
1) Janganlah saling mengolok antara satu sama lainnya;
2) Janganlah mencela diri sendiri;
3) Janganlah saling memanggil dengan gelar yang buruk;
4) Jauhilah kebanyakan prasangka;
5) Jangan saling mencari kesalahan orang lain;
6) Janganlah saling menggunjing.

Dengan memperhatikan petunjuk pemantapan ukhuwah tersebut, ditemukan


bahwa kebanyakan daripadanya disampaikan dalam bentuk larangan. Hal ini dapat
dimengerti bahwa melarang sesuatu berarti mafhumnya adalah memerintahkan
demikian pula sebaliknya. Di samping itu pula perlu dipahami bahwa al-takhliyah
(menyingkirkan yang jelek) harus didahulukan daripada al-tahliyah (menghiasi diri
dengan kebaikan).
Di samping itu dalam rangka memperkokoh persaudaraan di antara sesama
muslim ini Nabi mengambarkan konsep persaudaraan sebagai berikut:
a. Seorang muslim dengan muslim lainnya seperti satu badan.
Apabila salah satu bagian badan tersebut sakit, maka seluruh anggota badan
lainnya turut merasakan sakit. Hal ini dijelaskan Nabi Saw. (HR. Bukhari: 5552)
ْ ‫ْج َس ِد إِذَا ا ْشتَ َكى ُع‬ ِ ِ ِ ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه وسلَّم َترى الْم ْؤ ِمنِين فِي َتر‬ ِ ُ ‫ال رس‬
ُ‫اعى لَه‬
َ ‫ض ًوا تَ َد‬ َ ‫احم ِه ْم َوَت َوادِّه ْم َوَت َعاطُف ِه ْم َك َمثَ ِل ال‬
ُ َ َ ُ َ َ ََ َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ َ َ‫ق‬
َّ ِ‫َسائُِر َج َس ِد ِه ب‬
ُ ‫الس َه ِر َوال‬
‫ْح َّمى‬
Menurut hadis tersebut, antara sesama muslim harus saling menyayangi,
mencintai dan bahkan di dalam riwayat lain Nabi saw. menyatakan tidak beriman
seseorang sehingga dia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya
sendiri.
b. Memelihara dan menjaga hak-hak orang muslim.
Tuntunan Nabi saw. bagi umatnya adalah agar menjaga dan memelihara hak-
hak orang lain atas muslim lainnya sebagaimana pesan Rasulullah Saw. (HR.
Turmuzi: 2660).
ِ ‫ت بِالْمعر‬
‫وف يُ َسلِّ ُم َعلَْي ِه إِذَا ل َِقيَهُ َويُ ِجيبُهُ إِذَا َد َعاهُ َويُ َش ِّمتُهُ إِذَا‬ ِ ِ ِ ‫ول اللَّ ِه صلَّى اللَّه َعلَي ِه وسلَّم لِل‬
ُ ْ َ ٌّ ‫ْم ْسل ِم َعلَى ال ُْم ْسل ِم س‬ ُ َ ََ ْ ُ َ ُ ‫ال َر ُس‬ َ َ‫ق‬
ُّ ‫ب لَهُ َما يُ ِح‬
‫ب‬ ُّ ‫ات َويُ ِح‬
َ ‫ض َو َي ْتبَ ُع َجنَ َازتَهُ إِذَا َم‬
َ ‫ودهُ إِذَا َم ِر‬
ُ ‫س َو َي ُع‬
َ َ‫َعط‬

14
Dari hadis tersebut dapat dipahami bahwa konsep ukhuwah dengan sesama
muslim dengan cara memelihara hak-hak mereka dalam hal:

1) Mengucapkan salam di saat bertemu;


2) Memenuhi undangan jika dipangil untuk hadir;
3) Mendoakan ketia ia bersin;
4) Mengunjunginya jika sakit;
5) Mengantarkan jenazahnya jika dia wafat;
6) Mencintai apa yang dia cintai.

c. Mendoakan dan tidak berbuat zalim satu sama lain.


Allah menganjurkan orang Islam untuk senantiasa mendoakan saudaranya
sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-A`raf [7]: 151.
ِ ِ َّ ‫ت أَرحم‬ َ ِ‫َخي َوأَ ْد ِخلْنَا فِي َر ْح َمت‬
ِ ‫ب ا ْغ ِفر لِي وأِل‬
‫ين‬
َ ‫الراحم‬ ُ َ ْ َ ْ‫ك َوأَن‬ َ ْ ِّ ‫ال َر‬ َ َ‫ق‬

Musa berdoa: "Ya Tuhanku, ampunilah aku dan saudaraku dan masukkanlah kami ke
dalam rahmat Engkau, dan Engkau adalah Maha Penyayang di antara para
penyayang".
Dan QS. Al-Hasyr/59: 10.
َ َّ‫ين َء َامنُوا َر َّبنَا إِن‬ ِِ ِ ِ ِ ِ ِ‫والَّ ِذين جاءوا ِمن ب ْع ِد ِهم ي ُقولُو َن ر َّبنَا ا ْغ ِفر لَنَا وإِلِ ْخوانِنَا الَّ ِذين سب ُقونَا بِاإْل‬
‫ك‬ َ ‫يمان َواَل تَ ْج َع ْل في ُقلُوبنَا غاًّل للَّذ‬
َ ََ َ َ َ ْ َ َْ َْ َُ َ َ
‫يم‬ ِ ٌ ‫رء‬
ٌ ‫وف َرح‬ َُ
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka
berdoa: "Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah
beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian
dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya
Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang".

Dalam konteks ini juga, pengembangan nilai-nilai kemanusiaan/humanisme


dan nasionalisme yang memiliki tiga komponen substansi Islam. Pertama, ukhuwah
basyariyah atau insaniyah (persaudaraan antar manusia). Islam menganggap bahwa
seluruh umat manusia, tanpa harus membedakan suku, ras, warna kulit, bahkan agama,
adalah saudara yang harus dilindungi dan saling melindungi. Islam mengharamkan
penganiayaan terhadap orang lain di luar Islam dan meniscayakan hormat-
menghormati dan sifat toleransi.

15
Kedua, ukhuwah wathaniyah (persaudaraan antar bangsa). Kerjasama
antarbangsa mesti dijalin sebaik mungkin dalam rangka menuju perdamaian dan
kesejahteraan dunia. Hubungan bangsa-bangsa ini tanpa membedakan latar belakang
agama bangsa tersebut.
Ketiga, ukhuwah Islamiyah (persaudaraan antarumat Islam). Sejarah peradaban
Islam diwarnai oleh perbedaan corak pandang keberagamaan, baik domain teologi,
hukum, maupun spiritualitas.9
Ketiga macam ukhuwah ini harus diwujudkan secara berimbang menurut
porsinya masing-masing. Satu dengan lainnya tidak boleh dipertentangkan. Melalui
tiga dimensi ukhuwah inilah, Islam rahmatan lil ‘alamin (pemberi rahmat alam
semesta) akan terealisasi. Sebab, ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathaniyah
merupakan landasan dan hal yang fundamental bagi terwujudnya ukhuwah insaniyah.
Oleh karena itu, baik sebagai umat Islam maupun bangsa Indonesia, kita harus
memperhatikan ukhuwah Islamiyah, ukhuwah insaniyah, dan ukhuwah wathaniyah
secara serius, saksama, dan penuh kejernihan. Dalam hidup bertetangga dengan orang
lain, bukan famili, bahkan non-Muslim atau non-Indonesia, kita diwajibkan
berukhuwah dan memuliakan mereka dalam arti kerjasama yang baik selama mereka
tidak menginjak dan menyakiti.
Dalam kaitan itu, beberapa sikap dan prinsip yang perlu menjadi landasan
dalam membina kerukunan hidup secara internal antara lain adalah:
a) Mendahulukan Prinsip Persamaan
Aspek terpenting yang menyatukan bangsa dan masyarakat Indonesia dalam
dimensi hidupnya yang tertinggi adalah keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Kemudian adalah sikap implementasi dari sikap kemanusiaan yang adil dan
beradab. Kedua aspek sikap ini dapat difahami, dihayati dan diamalkan akan
menghasilkan persahabatan, persaudaraan, saling menghargai, saling menolong dan
saling mendukung.
Walaupun demikian, fitrah manusia adalah berbeda (berselisih) antara satu
dengan yang lain, namun yang terpenting adalah adanya keinginan yang besar untuk
rukun kembali. Persoalan menjadi rumit jika seseorang itu beragama, tetapi tidak
memiliki hubungan vertikal (iman) kepada Tuhan yang baik. Maka yang terjadi ia

9
Ibid.

16
akan melakukan tindakan keji, suka merendahkan orang lain, suka memfitnah, egois,
tidak fair, pembohong, penebar kebencian, suka menjelekkan keyakinan orang lain
dan sebagainya. Orang seperti ini ternyata dianggap tokoh di masyarakat dan memiliki
pengikut. Maka, yang ideal adalah yang beragama dan beriman. Kelompok pertama
dapat dikatakan lebih banyak jumlahnya daripada kelompok yang kedua.
Dengan mengedepankan prinsip-prinsip persamaan dan tidak memperhatikan/
mengenyampingkan segala perbedaan niscaya kemajuan akan dapat diraih bersama-
sama. Masing-masing menyadari dan secara bersama-sama memperlihatkan dan
menyebarkan nilai-nilai ajaran agama dan tidak mentolerir berbagai bentuk
permusuhan dan aksi kekerasan.

b) Menanamkan kesadaran sebagai makhluk sosial


Tak satu pun manusia yang benar-benar sama dengan yang lainnya, justru
karena itulah kehidupan itu menjadi lebih berwarna. Perbedaan antara satu manusia
dengan yang lainnya, pada akhirnya memunculkan keindahan sendiri dalam kehidupan
bermasyarakat.
Menyadari begitu pentingnya warna kehidupan. Idealnya manusia harus
belajar menghargai perbedaan yang ada, karena hanya jalan seperti itulah harmoni
kehidupan bermasyarakat, plus warna dari keanekaragaman akan benar-benar terjaga.
Manusia juga semestinya mengerti, sepenting rasa butuhnya pada orang lain,
sepenting itu menumbuhkan perasaan aman dalam kebersamaan hidup. Karena dirinya
tidak bisa hidup tanpa eksistensi orang lain, maka menjaga eksistensi orang lain agar
tetap mengada menjadi salah satu kebutuhan utamanya. Namun disayangkan,
keserakahan, ambisi, juga keinginan mendapatkan lebih yang ada pada diri manusia
seringkali melupakan diri akan kebutuhan sesungguhnya dari yang hidup. Ia lupa
kalau kehidupan sesungguhnya tak mungkin dijalani sendirian. Bukannya saling
menjaga dan mengasihi, sebaliknya, saling berebut dan saling meniadakan yang pada
akhirnya merampas kedamaian hidup itu sendiri.
Kenyataan semacam ini terjadi karena manusia lebih sering dikuasai nafsu dari
pada akal sehatnya, sebagaimana mafhum diketahui, dalam diri manusia terdapat dua
kekuatan yang berlawanan dan saling menguasai sesamanya, dua kekuatan tersebut
adalah nafsu dan akal. Nafsu (keinginan dan kemarahan) adalah potensi yang
cenderung mendorong manusia ke arah keburukan dan kejahatan yang dapat merusak

17
kehormatan, merampas hak serta menimbulkan pertumpahan darah. Sedangkan akal
adalah potensi yang dapat digunakan untuk mengetahui yang baik dan buruk. Karena
akal dapat mendorong kepada tindakan jujur dan adil, sehingga bermanfaat bagi
pembinaan masyarakat, perbaikan sarana dan kesejahteraan mereka. Bila nafsu dan
amarah menguasai kekuatan akal, maka manusia akan merugi, namun bagi mereka
yang beriman, beramal saleh dan saling menasehati dalam menaati kebenaran dan
berlaku sabar, maka kekuatan nafsu dan amarah itu tidak akan mampu
mempengaruhinya.
Belakangan, kalangan yang sadar akan pentingnya menjaga harmoni dalam
kebersamaan hidup mulai merumuskan undang-undang atau semacam aturan sebagai
upaya pencegahan atas nafsu serakah manusia yang sering tak terkendali itu.
Meskipun untuk hal ini, para filosof, sosiolog juga ahli hikmah telah turun tangan,
namun tetap saja pada kenyataannya undang-undang atau aturan-aturan yang mereka
buat, tak sepi dari kelemahan, karena tidak abadi, tidak universal, serta tidak tidak
dapat memenuhi kebutuhan dalam segala situasi dan kondisi. Kelemahan itu telah
menunjukkan betapa terbatasnya kemampuan akal manusia sebagai penyusunnya.
Siapapun orangnya, tidak pandang bulu, laki-laki maupun perempuan, kaya
maupun yang miskin, orang timur atau barat, kulit hitam maupun putih pastilah
mendambakan hidup dalam kedamaian. Bisa dikatakan bahwa perdamaian adalah
salah satu kebutuhan manusia yang harus dipenuhi. Sifat dasar manusia tidaklah
nyaman berada di dalam suasana pertikaian, tidak pula merasa tentram dalam suasana
rusuh. Tidak suka dimusuhi, dan rindu akan ketentraman. Inilah mengapa perdamaian
menjadi suatu kebutuhan.
Agama sangat memahami apa yang diinginkan oleh umat manusia, karena itu
persoalan perdamaian menjadi porsi penting dalam ajaran agama. Untuk mewujudkan
perdamaian, manusia harus disadarkan adanya perbedaan-perbedaan yang tak
mungkin dihindari. Perbedaan adalah sesuatu yang alamiah, sesuatu yang kodrati dan
tidak mungkin ditiadakan. Peniadaan hanya akan memunculkan konflik. Konflik
inilah yang menjadi ancaman besar bagi perdamaian. Dalam ajaran agama hindu
dikatakan: "Semoga bumi yang memberi tempat kepada penduduk yang berbicara
berbeda-beda bahasa, berbeda tatacara, agama menurut tempat tinggalnya,

18
memperkaya hamba dengan ribuan pahala, laksana lembu menyusui anak-anaknya tak
pernah kekurangan.
Kemunculan konflik sesungguhnya bermula dari ketidakmampuan seseorang
menerima sesuatu yang berbeda dengan dirinya. Perbedaan tersebut bermacam-
macam, bisa karena perbedaan warna kulit, asal suku dan golongan, juga adat dan
kebiasaan. Ada orang-orang yang berkehendak membuat semua orang seperti dirinya,
karenanya jika ada oranglain yang berbeda ia pun lantas memerangi, disinilah
terjadinya konflik.
Agama jelas menolak itu, perbedaan bukanlah kehendak manusia, upaya
menjadikan semua orang sama adalah perbuatan sia-sia bahkan mengancam sisi
kemanusiaan itu sendiri. Di dalam agama Islam gagasan tentang perdamaian
merupakan pemikiran yang sangat mendasar dan mendalam karena berkaitan dengan
watak agama Islam. Semua tatanan Islam bertitik tolak dari pemikiran tersebut. Semua
pengarahan dan penetapan hukum Islam bertemu dengan pemikiran tersebut. "Hai
manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi
Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat/49: 13).
Dengan firman tersebut Allah menghilangkan sebab-sebab yang
memungkinkan terjadinya pemusuhan. Perbedaan ras, suku, bangsa dan bahasa serta
budaya, sama sekali tidak dapat dijadikan alasan untuk menghadirkan konflik. Dalam
ayat di atas telah jelas bahwa jaminan Allah mengarahkan manusia untuk saling
mengenal dan hidup rukun bukan saling membunuh dan saling bertentangan.
Islam menegakkan Perdamaian untuk kepentingan semua. Bahkan penyebutan
kata "Islam" sendiri mengisyaratkan bahwa esensi dari agama ini adalah kedamaian.
Kata Islam adalah variant dari akar kerja Arab S(sin) L(lam) M(mim) yang juga
melahirkan kata salam artinya damai. Pada saat yang sama kata ini didefinisikan
berkait dengan keutuhan, kesehatan, kesejahteraan dan kebaikan. Dalam konteks
tertentu salam sangat mirip dengan konsep Kristen tentang keselamatan.
Demi terwujudnya perdamiaan di muka bumi ini, agama tidak hanya mengajak
pemeluknya menerima perbedaan-perbedaan ras, adat dan warna kulit belaka.

19
c) Menjadikan perbedaan sebagai potensi positif untuk saling mengisi
Dalam kehidupan sehari-hari, kita selalu bersinggungan dengan perbedaan.
Perbedaan seringkali menjadi pemicu masalah yang berlanjut menjadi konflik bila kita
memahami, mengatasi dan menyikapinya dengan cara yang tidak tepat. Secara
hakikat, manusia itu sama, tetapi tak pernah ada manusia yang benar-benar sama
dalam segala hal. Kemiripan wajah, kesamaan hobi, bahkan ikatan batin dan pertautan
rasa yang kuat pun tidak menjadikan kita sama dengan mereka atau aku adalah dia
dan kamu adalah saya. Kita berbeda dan memiliki perbedaan karena perbedaan adalah
harmoni yang membuat hidup kita lebih berarti. Di dalam perbedaan, tersimpan arti
yang pantas untuk dimengerti. Dengan perbedaan, kita mampu merasakan makna
kebersamaan, sehingga kita bisa memahami bahwa perbedaan adalah alasan untuk
sebuah pengertian.
Perbedaan merupakan keadaan, sifat dan karakter yang diciptakan Tuhan
dengan tujuan agar manusia saling mengenal, berinteraksi, saling memahami dan
memberi manfaat satu sama lain. Memahami dan menyikapi perbedaan dan memang
bergantung kepada cara pandang kita terhadap perbedaan tersebut. Jika kita
memandangnya sebagai sebuah ancaman, maka perbedaan akan menjadi masalah yang
sulit diatasi. Namun, jika perbedaan dipandang sebagia fitrah kemanusiaan dan
anugerah Yang Maha Sempurna, maka perbedaan itu akan terasa indah mewarnai
hidup kita. Cara pandang kita terhadap perbedaan sangat menentukan terhadap cara
kita meyikapinya dan mengatasinya. Karena itu, pengertian merupakan hal yang
penting untuk kita miliki dan kita terapkan dalam memahami, menyikapi dan
mengelola perbedaan.
Pengertian merupakan refleksi dan realisasi kesadaran akan fakta nyata
kehidupan yang tidak selalu sama dan tidak pernah sempurna. Di dalam pengertian
ada ketulusan, kesiapan dan ketegaran untuk menerima kekurangan juga mensyukuri
kelebihan diri sendiri maupun orang lain. Pengertian merupakan tindak lanjut dari rasa
menghargai. Dengan menghargai kita bisa mengerti dan menerima, sehingga
pengertian menjadi sikap utama yang dapat membuat kita bertahan dan menikmati
perbedaan sebagai sebuah warna kehidupan. Tanpa pengertian, kita tak akan bisa
hidup berdampingan dengan tentram, nyaman dan damai dalam perbedaan.

20
Pengertian merupakan sebuah proses mengerti dan memahami, sehingga bisa
kita latih, kita tumbuhkan dalam diri kita dan kita manfaatkan untuk hidup kita. Ada
beberapa hal yang dapat kita jadikan pembiasaan sehubungan dengan melatih
pengertian dan menyikapi perbedaan.
 Pertama, mengembangkan cara berpikir positif dan menghindari dominasi
prasangka. Orang yang bersikap dan berdasarkan prasangka semata tidak akan bisa
memandang positif kehidupan dan segala perbedaan yang dihadapinya, sehingga
cenderung pesimis dan menganggap perbedaan sebagai sebuah ancaman yang bisa
menyerang kita sewaktu-waktu. Karena itu, berpikir positif akan menumbuhkan
sikap dan tindakan positif juga menentramkan perasaan.
 Kedua, hindari sikap menonjolkan diri dan merendahkan orang lain. Tempatkanlah
sesuatu pada tempatnya dan sesuai porsinya. Hal ini merupakan realisasi dari
bersikap dan bertindak adil. Bersikap wajar dan bertindak benar merupakan cara
tepat menyikapi perbedaan.
 Ketiga, senantiasa mengoreksi dan introspeksi diri, serta tidak cepat menghakimi
orang lain. Telusuri kebenaran sebuah informasi secara objektif, serta biasakan
untuk tidak cepat menjustifikasi sebelum kita melakukan verifikasi kebenaran
sesuatu. Hal ini merupakan langkah antisipatif terhadap informasi provokatif yang
akan menjadikan perbedaan sebagai jalan perpecahan. Koreksi diri akan membuat
kita senantiasa tenang dan tegar menghadapi masalah, termasuk perbedaan.
 Keempat, meningkatkan kepekaan diri terhadap orang lain dan lingkungan kita
karena kepekaan akan membuat kita peduli terhadap keadaan di sekeliling kita.
Kepekaan dan kepedulian ini akan melahirkan penghargaan dan pengertian kita
akan perbedaan.
 Kelima, bersikap sabar, tulus, toleran dan tegas. Sikap-sikap seperti itu merupakan
esensi dari pengertian dalam menyikapi perbedaan. Tegas tidak identik dengan
keras, tetapi mampu menempatkan kebenaran pada porsinya.
Kelima langkah tersebut merupakan langkah yang bisa terus kita latih dalam
keseharian kita untuk lebih meningkatkan pengertian, memahami arti perbedaan dan
menyikapinya dengan tepat. Perbedaan bisa kita manfaatkan sebagai energi untuk
mengerti dan kita jadikan potensi untuk memaksimalkan kemampuan kita memahami
orang lain. Insya Allah. Saya, Anda dan kita semua memang tidak bisa menghindari

21
perbedaan yang sering kali menimbulkan masalah dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, paling tidak dengan menanamkan pengertian dalam diri kita, kita telah
membiasakan diri menyikapi perbedaan, serta berupaya untuk menciptakan kerukunan
dan ketenteraman di atas perbedaan itu.

d) Meningkatkan kesadaran ukhuwah islamiyah


Dalam rangka peningkatan dan pengembangan kesadaran ukhuwah islamiyah,
diperlukan sikap-sikap dasar yang dapat mengkondisikan tumbuhnya budaya ukhuwah
seperti sikap sabar, lapang dada, terbuka, maupun mengakui kebenaran dan kebesaran
dari manapun datangnya, juga tidak memaksakan keseragaman yang tidak atau belum
diterima pihak lain, tidak menilai perbedaan pendapat sebagai permusuhan tetapi lebih
mengutamakan kesamaan yang ada dari perbedaannya.
Upaya-upaya pendekatan lebih lanjut memang masih perlu disempurnakan.
Masih cukup banyak jalan yang dapat ditempuh asal ada kemauan yang sungguh-
sungguh dan penuh keikhlasan. Generasi Islam kontemporer tampaknya lebih
memberi harapan untuk mewujudkan peningkatan ukhuwah tersebut, karena danya
kondisi internal yang dimiliki, seperti sikap yang lebih rasional dan cosmopolitan,
tidak menanggung sentimen kesejarahan, mempunyai kesamaan dan kebutuhan
cultural yang lebih besar, mempunyai sarana komunikasi dan jalur interaksi social
yang lebih luas serta mempunyai wawasan keagamaan yang lebih terbuka.
Kesemuanya itu masih didukung lagi dengan kondisi eksternal seperti
dorongan pemerintah untuk mengembangkan ukhuwah islamiyah. Sebab gambaran
kelabu hubungan internasional dunia Islam seperti kasus Iran-Irak dan lainnya
memberikan pelajaran berharga bagi umat Islam untuk lebih mawas diri dalam
menjalani kehidupan ini. (Thalhah Hasan, 2001: 63-65)
Tujuan kerjasama dalam mengaktualisasikan nilai nilai toleransi itu antara lain:
1. Mewujudkan masyarakat yang rukun dan sadar kemajemukan,
sehingga tertanam kesadaran pada seluruh lembaga dan organisasi sosial maupun
politik terutama di daerah daerah yang rawan konflik perlunya bekerjasama untuk
menciptakan lingkungan yang kondusif dan membangun daerahnya bagi
kepentingan masyarakat.
2. Menciptakan situasi dan kondisi masyarakat yang selalu
waspada terhadap berbagai kemungkinan yang menyebabkan pecahnya konflik

22
terutama yang bersifat SARA. Adapun metode ataupun cara cara yang dapat
digunakan dalam strategi ini di antaranya dengan edukasi (sebagai salah satu
upaya preventif), dialog dan rekonsiliasi.
Hal lain yang tidak kalah pentingnya dan patut untuk menjadi perhatian
selanjutnya adalah bagaimana menyikapi perbedaan agama. Kerukunan hidup
antarumat beragama juga menjadi signifikan dalam kehidupan masyarakat yang
heterogen. Apalagi dengan melihat dan menyadari realitas keharmonisan hidup
antarumat beragama yang belakangan ini mulai redup. Dalam beberapa kasus,
persinggungan kecil yang muncul di tengah masyarakat selalu dapat menjadi pemicu
meledaknya konflik dalam skala yang lebih besar. Realitas yang terjadi di Ambon,
Poso, Sampit, dan beberapa wilayah lain yang mungkin tidak terpublikasikan, patut
menjadi pelajaran bagi bangsa besar ini.
Beberapa alternatif solusi yang dapat ditempuh untuk meretas dan
meminimalisir munculnya kembali konflik horizontal antarumat beragama antara lain:
1) Perlunya pemahaman dan penerimaan multikulturalisme secara realistis.
2) Langkah pembauran dan integrasi semua etnis dalam kehidupan masyarakat.
3) Me-manage berbagai perbedaan dalam masyarakat Indonesia yang pluralistik
menjadi potensi dalam pembangunan bangsa.
4) Peningkatan kemampuan memahami dan mengkomunikasikan ajaran agama
dengan arif.
5) Pentingnya sikap keteladanan para pemimpin agama dalam berinteraksi dengan
kaum agama lain.
Dengan demikian, untuk meminimalisasi dan mengeliminasi konflik sosial,
pendekatan represif atau keamanan tidaklah tepat. Kini lebih diperlukan pendekatan
pemecahan masalah, yang melihat konflik dari berbagai aspeknya, termasuk latar
belakangnya, issue sentralnya, dan sebagainya. Pendekatan multikultural merupakan
salah satu alternatif yang dapat dimanfaatkan guna mengeliminasi setidak-tidaknya
mengurangi konflik sosial yang sering muncul selama ini.
Pemahaman terhadap ajaran Islam adalah pemahaman yang terbuka, yang
karena keterbukaannya itu ia bersikap inklusif dan benar benar mampu menjadi rahmat
bagi seluruh alam. Islam harus merupakan kebahagiaan bagi setiap orang bahkan
untuk setiap makhluk.

23
Artikulasi keberagamaan seperti itu akan terwujud dalam kehidupan umat
beragama yang saling mengakui, saling menghormati, dan bahkan saling bekerjasama
antar penganut-penganut agama yang tumbuh dan berkembang di Indonesia. Hal itu
kemudian akan dapat diwujudkan dalam beberapa bentuk sebagai berikut:
a. Sikap saling mengakui dan menyadari pluralitas
b. Sikap saling menghormati (toleransi)
c. Sikap saling bekerjasama (resiprokal)

C. Penutup
Sebaik baik agama di sisi Allah swt, ialah semangat mencari kebenaran yang
lapang, tidak sempit, toleran, demokratis, tanpa kefanatikan dan tidak membelenggu
jiwa. Sebab itu Islam harus dipahami sebagai ajaran dan cita cita, yang intinya ialah
sikap hidup yang baik dan berserah diri kepada Tuhan Yang Maka Kuasa. Islam
adalah sebuah ide, sebuah cita-cita kemanusiaan yang universal.
Dari uraian yang telah dipaparkan, maka beberapa pokok pikiran yang dapat
menjadi kesimpulan dari penelitian ini, yaitu:
1. Sikap toleran adalah menjadi hal yang mutlak dalam kehidupan masyarakat yang
majemuk.
2. Pendekatan agama sangat diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat, karena
agama dapat berfungsi sebagai fondasi dan pembekal kekuatan masyarakat untuk
menegakkan nilai nilai etis dalam memproses tumbuhnya toleransi. Agama yang
sebenar benarnya agama adalah agama yang sesuai dengan sunnatullah. Oleh
karena itu, Islam berprinsip: tidak ada paksaan dalam agama dan menjunjung nilai
nilai toleransi.
3. Bahwa Islam sangat menganjurkan kepada manusia untuk saling menghargai,
menghormati, membangun sikap toleran dalam menyelesaikan permasalahan dan
aktifitas kehidupan dalam bermasyarakat.

Pada akhirnya, memahami substansi ajaran Islam yang rahmatan lil a’lamin
dengan niat menemukan kebenaran dan persinggungan rabbani (ketuhanan) mutlak
dilakukan dengan saling membuka diri dan membuka hati agar tidak salah tafsir dalam
memahami ajaran Islam dari berbagai perspektif.

24
Dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk, membangun sikap
toleran, rukun, bekerjasama dan penuh persaudaraan dalam pandangan Islam adalah
sesuatu yang sangat penting bahkan wajib diwujudkan. Dengan cara seperti itu aspek
kemajemukan dari masyarakat Indonesia akan menjadi sumber potensi yang sangat
kuat dalam mencapai kebahagiaan, kesejahteraan dan kemakmuran dari bangsa dan
negara kita yang tercinta ini. Dalam pandangan Islam hal ini lebih dikenal dengan
“Baldatun Thayyibatun Warabbun Ghafur”.

25
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Ghafur, Waryono. Tafsir Sosial, Yogyakarta: Elsaq Press, 2005.


Arifin Abbas, Zaenal. Perkembangan Pikiran Terhadap Agama, Jakarta: Pustaka
Husna, 1984.
Azra, Azyumardi. Konteks Berteologi di Indonesia Pengalaman Islam, Jakarta:
Paramadina, 1999.
Efendi, Djohan. Merajut Kedewasaan Beragama, dalam Agama di Tengah Kemelut,
Komaruddin Hidayat et. all, Jakarta: Mediaciita, 2001.
Lardner Carmody, Dennis. In The Path of Master, Tri Budi Sastrio, (penj.) Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2003.
Le Gai Eaton, Charles. Remembering God Reflections, penj, Burhan Wirasubrata,
Jakarta: Cendekia sentra Muslim, 2002.
M. Noor, Hasan. Keteduhan Batin, dalam Agama di Tengah Kemelut, Komaruddin
Hidayat et. all, Jakarta: Mediacita, 2001.
Muchtar, Aflatun. Tunduk Kepada Allah, Jakarta: Khazanah Baru, 2001.
Qutub, Sayyid. Islam dan Perdamaiaan Dunia, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987.
Rahmat, Jalaluddin. Islam Alternatif, Bandung: Mizan, 1991.
Shihab, Umar. “Ketulusan Beragama”, dalam Agama Di tengah Kemelut, Komaruddin
Hidayat et. all, Jakarta: Mediacita, 2001.
Tholkhah, Hasan. Mewaspadai dan Mencegah Konflik Antar Umat Bergama.
Departemen Agama, 2001.

26

Anda mungkin juga menyukai